• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH DAN METODE ISTINBATH HUKUM IMAM ABU HANIFAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH DAN METODE ISTINBATH HUKUM IMAM ABU HANIFAH"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

30

BAB II

BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH DAN METODE ISTINBATH HUKUM IMAM ABU HANIFAH

A. Riwayat Hidup Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah, salah satu kota besar di Irak, lahir seorang Nu‟man bin Stabit bin Marzaban yang di kenal dengan sebutan Imam Abu Hanifah. Ia dilahirkan pada tahun 80 H/699 M pada masa Khalifah Umayah, „Abdul Malik bin Marwan. Dari nama kakek moyangnya kita tidak perlu lagi berusah payah untuk mengetahui bahwa bayi yang dilahirkan ini yang kelak di masa muda dan tuanya diberi gelar Abu Hanifah merupakan keturunan bangsa Persia.

Kiranya sudah ditakdirkan, ternyata bayi ini setelah beranjak dewasa dan memiliki bekal ilmu pengetahuan agama yang luas kelak menjadi imam pertama bagi golongan ahlussunnah. Ia bukanlah berasal dari keturunan suku Quraisy atau bukan keturunan suku Mudhari. Bahkan sebagian sejarawan menyatakan bukan dari keturunan bangsa Arab. Meski demikian, kelak diberi gelar Imam Agung dan dikenal sebagai imam kaum Muslim.1

Inilah salah satu keistimewaan besar dari agama Islam yang sama sekali tidak pernah membeda-bedakan warna kulit, suku, atau antara bangsa satu dengan lainnya. Dalam pandangan Islam, manusia di muka bumi adalah sama dan derajat tak ubahnya seperti jeriji sisir. Tidak ada keutamaan bagi bangsa Arab atas bangsa lainnya kecuali dengan takwa. Dan Abu Hanifah an-Nu‟man adalah pemilik takwa

1 Muchlis M Hanafi, Biografi Lima Mazhab (IMAM ABU HANIFAH) Peletak Dasar-Dasar Fiqih Pendiri Mazhab Hanafi (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 2.

(2)

itu, kemudian pemilik ilmu dan amal. Karena itu, keutamaannya jauh lebih tinggi dari kebanyakan orang Arab.

Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa kakek Abu Hanifah bernama Zuthi, seorang hamba sahaya milik bani Taimillah bin Tsa‟labah. Dengan cara itu, mereka beranggapan telah bisa menodai keagungan Abu Hanifah serta menggeser kedudukanya yang mulia. Sebuah cara jahiliyah yang selalu banggakan status sosial dan keturunan. Mereka lupa bahwa membangga-banggakan keturunan sudah tidak zamannya lagi dengan bersinanrnya cahaya syariah Islam yang sangat memuliakan manusia sepanjang masa. Islam menjadikan ukuran manusia kemuliaan manusia ada pada kebenaran iman dan amal shaleh. Bila tidak, maka Abu Jahal jauh lebih mulia daripada kebanyakan pembesar kaum Muslim pada periode pertama.2

Meski apapun yang dikatakan oleh sebagian ahli sejarah dengan niat baik di satu sisi maupun niat buruk pada sisi lainnya tentang berbagai hal berkaitan dengan asal-usul Abu Hanifah, namun bisa dipastikan bahwa imam agung adalah berasal dari keluarga merdeka dari bangsa Persia, keluarga yang tidak pernah mengenal perbudakan dan merasakan hinya menjadi hamba sahaya. Sebenarnya masalah ini telah dijelaskan secara tegas oleh Ismail, cucu Abu Hanifah yang bersumpah bahwa para pendahulunya tidak pernah mengalami perbudakan. Antara lain ia katakan, “saya Ismail bin Hammad bin Nu‟man (Abu Hanifah) bin

2

(3)

Stabit bin Nu‟man bin Marzaban bersal dari keturunan Persia yang merdeka. Demi Allah, keluarga kami satu kalipun tidak pernah mengalami perbudakan.”3

Imam Abu Hanifah telah tumbuh dalam lingkungan keilmuan yang kelak membuatnya menduduki posisi yang begitu itnggi dan mulia diantara para fuqaha‟ Islam dan menjadikannya sebagai imam besar pada satu zaman yang di dalamnya hidup banyak ulama besar di satu sisi, dan di sisi lain banyak pula para musuh Islam yang senantiasa berupaya merusak dan merongrong akidah dan syariah Islam dari jalannya yang lurus.

Imam Abu Hanifah mempunyai beberapa putra, diantaranya ada yang dinamakan Hanifah, maka karena itu beliau diberi gelar oleh banyak orang dengan Abu Hanifah. Selain itu, menurut riwayat lain: sebab beliau mendapat gelar Abu Hanifah karena beliau adalah seorang yang rajin melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-sungguh mengerjakan kewajiban dalam agama, karena perkataan hanif dalam bahasa arab artinya lurus menjalankan agama yang benar.

Adapun yang meriwayatkan bahwa beliau mendapat gelar Imam Abu Hanifah lantaran dari eratnya berteman dengan tinta. Karena perkataan hanifah menurut lughot Irak, artinya dawat atau tinta. Karena kebiasaan beliau yang senantiasa membawa dawat guna menulis atau mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh para guru beliau atau lainnya, dengan demikian beliau mendapat gelar dengan Abu Hanifah.4

Setelah Abu Hanifah menjadi seorang ulama besar, dan terkenal disegenap kota-kota besar, serta terkenal di sekitar Jazirah Arabiyah pada umumnya, maka

3 Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Vol. XIII, h. 326.

(4)

beliau dikenal pula dengan gelar: Imam Abu Hanifah. Setelah ijtihad atau buah penyelidikan beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui serta diikuti oelh banyak orang dengan sebutan “Mazhab Imam Abu Hanifah”.

Menurut Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah berperawakan sedang dan termasuk orang yang mempunyai postur tubuh ideal, paling bagus logat bicaranya, paling bagus suaranya saat bersenandung dan paling bisa memberikan keterangan kepada orang-orang yang diinginkannya, . berkulit sawo matang dan tinggi badannya, berwajah tampan, berwibawa dan tidak banyak bicara kecuali menjawab pertanyaan yang dilontarkan. Selain itu dia tidak mau mencampuri persoalan yang bukan urusannya.5

AdapunHammadanaknya Imam Abu Hanifah berkata, “Abu Hanifah itu orangnya tidak terlalu jangkung, berpenampilan rapid an selalu mengenakan minyak wangi,beliau di ketahui dengan aroma wanginya apabila dating atau keluar dari rumahsebelum kamu melihat orangnya.6

ImamAbu Hanifah suka berpakaian yang baik-baik serta bersih, senang memakai bau-bauan yang harum dan suka duduk ditempat duduk yang baik.Lantaran dari kesukaannya dengan bau-bauan yang harum, sehingga dikenal oleh orang ramai tentang baunya, sebelum mereka melihat kepadanya.7

Imam Abu Hanifah juga amat suka bergaul dengan saudara-saudaranya dan para kawan-kawannya yang baik, tetapi tidak suka bergaul dengan sembarangan orang.Berani menyatakan sesuatu hal yang didalam hati sanubarinya, dan berani

5Syaikh Ahmad Farid, Min A‟lam as-Salaf, diterjemahkan oleh Masturi Ilham dan Asmu‟i Taman, 60 Biografi Ulama Salaf. Cet. II (Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 2007), h. 170.

6

Muchlis M Hanafi,Op. cit., h. 82.

7Moenawar Chalil, Biografi 4 Serangkai Imam Mazhab (Depok: Gema Insani, 2016), h. 21.

(5)

pula menyatakan kebenaran kepada siapa pun juga, tidak takut dicela ataupun dibenci orang, dan tidak pula gentar menghadapi bahaya bagaimanapun keadaannya.

Diantara kegemaran Imam Abu Hanifah adalah mencukupi kebutuhan orang untuk menarik simpatinya.Sering ada orang lewat, ikut duduk di majlisnya tanpa sengaja. Ketika dia hendak beranjak pergi, ia segera menghampirinya kemudian bertanya tentang kebutuhannya. Jika dia punya kebutuhan, maka Abu Hanifah akan memberinya. Kalau sakit, maka ia antarkan. Jika memiliki utang, maka ia akan membayarkannya sehingga terjalinlah hubungan baik antara keduanya.8

B. Pendidikan Imam Abu Hanifah

Pada mulanya Abu Hanifah adalah seorang pedagang, karena ayahnya adalah seorang pedagang besar dan pernah bertemu dengan Ali ibn Abi Thalib. Pada waktu itu Abu Hanifah belum memutuskan perhatian kepada ilmu, turut berdagang di pasar, menjual kain sutra, di samping berniaga ia tekun menghapal al-Qur‟an dan amat gemar membacanya.

Sementara Abu Hanifah, orang yang telah mendorongnya untuk terjun mempelajari ilmu adalah Sya‟bi, seorang ulama fiqih dan hadits. Ia melihat dalam diri pemuda Nu‟man bin Stabit ada tanda-tanda kecerdasan yang luar biasa sehingga ia menasehatinya agar serius menuntut ilmu pengetahuan.9

Namun demikian ImamAbu Hanifah tidak melepas usahanya sama sekali. Imam Abu Hanifah pada mulanya gemar belajar ilmu qira‟at, hadits, nahwu,

8Hendri Andi Bastoni, 101 Kisah Tabi‟in, (Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 2006), h. 46.

(6)

sastra, syar‟i, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa itu. Diantara ilmu-ilmu yang dicintainya adalah ilmu teologi, sehingga beliau salah seorang tokoh yang terpandang dalam ilmu tersebut.Karena ketajaman pikirannya, beliau sanggup menangkis serangan golongan khawarij yang doktrin ajarannya sangat ekstrim.

Selanjutnya, Imam Abu Hanifah menekuni ilmu fiqih di Kufah yang pada waktu itu merupaka pusat perhatian para ulama fiqih yang cenderung rasional, di Irak terdapat Madrasah Kuffah yang dirintis oleh Abdullah ibn Mas‟ud (wafat 63 H/682 M). Kepemimpinan Madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim al-Nakha‟i, lalu Muhammad ibn Abi Sulaiman al-Asy‟ari (wafat 120 H).

Hammad ibn Sulaiman adalah salah seorang Imam besar (terkemuka) ketika itu. Ia murid dari „Alqamah ibn Qais dan al-Qadhi Syuri‟ah, keduanya adalah tokoh dan pakar fiqih yang terkenal di kuffah dari golongan tabi‟in, dari Hamdan ibn Sulaiman itulah Abu Hanifah belajar fiqih dan hadits. Selain itu, Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijaz untuk mendalami fiqih dan hadits sebagai nilai tambahan dari apa yang diperoleh di Kufah.

Sepeninggalan Hammad, majlis Madrasah Kufah sepakat mengangkat Imam Abu Hanifah menjadi kepala Madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqih. Fatwa-fatwanya itu merupakan dasar utama dari pemikiran Mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini.10

Kufah di masa itu adalah sebuah kota besar, tempat tumbuh aneka rupa ilmu, tempat berkembang kebudayaan lama. Disana diajarkan filsafah Yunani, Persia

10Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 95.

(7)

dan disana pula sebelum Islam timbul beberapa mazhab Nasrani memperdebatkan beberapa masalah-masalah aqidah, serta didiami oleh aneka bangsa. Masalah-masalah politik, dasar-dasar aqidah di Kufahlah tumbuhnya.

Disini hidup golongan Syi‟ah, Khawarij, Mu‟tazilah, sebagaimana disana pula lahir ahli-ahli ijtihad terkenal. Di Kufah diaka itu terdapat halaqah ulama: 1. Halaqah untuk mengaji (mudzakarah) bidang aqidah.

2. Halaqah untuk bermudzakarah dalam bidang fiqih. Dan Abu Hanifah berkonsentrasi kepada bidang fiqih.11

Imam Abu Hanifah tidak menjahui bidang-bidang ini.Ia mengusai bidang qiraat, bidang arabiyah, bidang ilmu kalam. Dia urut berdiskusi dalam bidang kalam dan menghadapi partai-partai keagamaan yang tumbuh pada waktu itu. Pada waktu itu ia menghadapi fiqih dan menggunakan segala daya akal untuk fiqih dan perkembangannya.Setelah menyelesaikan pendidikannya di Kufah dan Basrah, Abu Hanifah pergi ke Makkah dan Madinah sebagai pusat dari ajaran agama Islam. Lalu bergabung sebagai murid dari Ulama terkenal Atha‟ bin Abi Rabah.12

Abu Hanifah pernah bertemu dengan tujuh sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu, diantaranya: Anas bin Malik, Abdullah bin Harist, Abdullah bin

11

Syaikh Muhammad al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, (Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 2005), h. 4.

12A. Rahman Doi, diterjemahkan Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syar‟i The Islamic Laz), Cet. II (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 122.

(8)

Abi Aufah, Watsulah bin al-Aqsa, Ma‟qil bin Yasar, Abdullah bin Anis dan Abu Thufail („Amir bin Wastilah).13

Guru Abu Hanifah kebanyakan dari kalangan “tabi‟in” (golongan yang hidup setelah para sahabat Nabi). Diantara mereka itu ialah Imam Atha bin Abi Raba‟ah (wafat pada tahun 114 H), Imam Nafi‟ Maula Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H).Adapun orang alim ahli fiqih yang menjadi guru beliau yang paling masyhur ialah Imam Hamdan bin Abu Sulaiman (wafat pada tahun 120 H), Imam Hanafi berguru kepada beliau sekitar 18 tahun.

Diantara orang yang pernah menjadi guru Abu Hanifah ialah Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ady ibn Stabit, Imam Abdur Rahman bin Harmaz, Imam Amr bin Dinar, Imam Manshur bin Mu‟tamir, Imam Syu‟bah bin Hajjaj, Imam Ashim bin Abin Najwad, Imam Salamah bin Kuhail, Imam Qatadah, Imam Rabi‟ah bin Abi Abdur Rahman, dan dari ulama tabi‟in dan tabi‟it Tabi‟ib.14

Adapun faktor-faktor Abu Hanifah mencapai ketinggian ilmu dan yang mengarahkannya ialah:

1. Sifat-sifat kepribadiannya, baik yang merupakan tabiatnya ataupun yang diusahakan, kemudian menajdi suatu melekat padanya. Ringkasnya sifat-sifat yang mengarahkan jalan pikirannya dan kecenderungannya.

2. Guru-guru yang mengarahkannya dan menggariskan jalan yang dilaluinya, atau menampakkan kepadanya aneka rupa jalan, kemudian Abu Hanifah mengambil salah satunya.

13Al-Samsuddin Al-Syarkasy, al-Mabsuth, Juz. 7 (Beirut: Darul Kitab Amaliyah, 1993),

h. 3.

14

(9)

3. Kehidupan pribadinya, pengalaman-pengalaman dan penderitaan-penderitaannya yang menyebabkan dia menempuh jalan itu hingga keujungnya.

4. Masa yang mempengaruhi dan lingkungan yang dihayati yang mempengaruhi sifat-sifat pribadinya.

Sifat-sifat yang dimiliki Abu Hanifah itu di antaranya:

1. Seorang yang teguh pendirian, yang tidak dapat diombang-ambingkan pengaruh-pengaruh luar.

2. Berani mengatakan yang salah terhadap yang salah, walaupun yang disalahkan itu seorang besar.

3. Mempunyai jiwa merdeka, tidak mudah larut dalam pribadi orang lain. Hal ini telah disarankan oleh gurunya Hamdan.

4. Suka meneliti suatu hal yang dihadapi, tidak berhenti pada kulit-kulit saja, tetapi terus mendalami isinya.

5. Mempunyai daya tangkap luar biasa untuk memuntahkan hujjah lawan. Abu Hanifah belajar kepada Imam Amir Syarahil asy-Syu‟bi (wafat pada tahun 104 H), asy-Syu‟bi ini telah melihat dan memperlihatkan keadaan pribadi beliau dan kecerdasan akalnya, lalu menasehati supaya rajin belajar ilmu pengetahuan, dan upaya mengambil tempat belajar yang tertentu (khusus) di majlis-majlis para Ulama, para cerdik pandai yang ternama waktu itu.15

Nasehat baik ini diterima oleh Abu Hanifah dan memperlihatkan kesungguhannya, lalu dimasukan ke dalam hati sanubarinya, dan selanjutnya

15

(10)

beliau mengerjakan dengan benar-benar. Yakni, sejak itulah beliau rajin belajar dan giat menuntut pengetahuan yang bertalian dengan keagamaan dan seluas-luasnya.

Pada awalnya Abu Hanifah mempelajari ilmu pengetahuan yangbersangkut paut dengan hukum-hukum keagamaan, kemudian mempelajari pengetahuan tentang kepercayaan kepada tuhan atau sekarang disebut “ilmu kalam” dengan sedalam-dalamnya.Oleh karena itu beliau termasuk orang yang amat luas mempelajarinya dan sangat rajin membahas dan membicarakannya.Sehingga beliau sering bertukar fikiran atau berdebat masalah ini, baik dengan kawan maupun dengan lawan.Imam Abu Hanifah berpendapat “ilmu kalam” adalah salah satunya ilmu paling tinggi dan amat besar kegunaannya dalam lingkup keagamaan dan ilmu ini termasuk dalam bahagian pokok agama (ushuluddin).

Kemudian Imam Abu Hanifah memiliki pandangan lain, yakni hati sanubari beliau tertarik mempelajari ilmu fiqh, ialah ilmu agama yang didalamnya hanya selalu membicarakan atau membahas soal-soal yang berkenaan dengan hukumannya, baik yang berkenaan dengan urusan ibadah maupun berkenaan dengan urusan mu‟amalat atau masyarakat.

Sebagai bukti, bahwa beliau seorang yang pandai tentang ilmu fiqh, ialah sebagaimana pengakuan dan pertanyaan para cerdik pandai, dan alim ulama dikala itu. Antara lain Imam Muhammad Abi Sulaiman, seorang guru beliau yang paling lama, setelah mengetahui kepandaian beliau tentang ilmu fiqh, maka sewaktu-waktu ini beliau pergi keluar kota atau daerah lain, terutama dikala pergi ke Basrah dalamwaktu yang lama, maka beliaulah yang disuruh mengganti atau

(11)

mewakili kedudukan ilmu, seperti member fatwa tentang hukum-hukum agama dan memberi pelajaran kepada murid beliau.16

Imam Abu Hanifah dikenal karena kecerdasannya. Suatu ketika ia menjumpai Imam Malik yang tengah duduk bersama beberapa sahabatnya. Setelah Abu Hanifah keluar, Imam Malik menoleh kepada mereka dan berkata, “Tahukan kalian siapa dia?”. Mereka menjawab “Tidak”.Ia berkata, “Dialah Nu‟man bin Stabit. Seandainya ia berkata bahwa tiang masjid itu emas, niscaya perkataannya dipakai sebagai argument.” Imam Malik tidaklah berlebihan dalammenggambarkan diri Imam Abu Hanifah. Sebab, ia memang memiliki kekuatan dalam berargumen, daya tangkap yang cepat, cerdas dan tajam wawasannya.17

Kecerdasan Imam Abu Hanifah bukan hanya mengenai hukumIslam tapi menurut satu riwayat beliau juga terkenal orang pertama kali memiliki pengetahuan tentang cara membuat batu ubin. Benteng-benteng di kota Baghdad pada masa pemerintahan Al-Mansur, seluruh dindingnya terbuat dari batu ubin yang dibuat oleh Imam Abu Hanifah.18

C. Guru-Guru Imam Abu Hanifah

Menurut kebanyakan guru-guru beliau pada waktu itu ialah para ulama Tabi‟in dan Tabi‟it Tabi‟in diantaranya ialah:

1. Abdullah bin Mas‟ud (Kufah)

16Moenawir Chalil, op. cit., h. 30. 17Hendri Andi Bastoni, op. cit., h. 47. 18

(12)

2. Ali bin Abi Thalib (Kufah) 3. Ibrahim al-Nakhai (wafat 95 H)

4. Amir bin Syarahil al-Sya‟bi (wafat 104 H)

5. Imam Hammad bin Abu Sulaiman (wafat pada tahun 120 H) beliau adalah orang alim ahli fiqh yang paling Masyhur pada masa itu Imam Hanafi berguru kepadanya dalam tempo kurang lebih 18 tahun lamanya.

6. Imam Ath bin Abi Rabah (wafat pada tahun 114 H)

7. Imam Nafi‟ Maulana Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H) 8. Imam Salamah bin Kuhail

9. Imam Qatadah

10. Imam Rabi‟ah bin Abdurrahman dan masih banyak lagi ulama-ulama besar lainnya.

D. Murid-Murid Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah adalah seorang yang cerdas, karya-karyanya sangat terkanal dan mengagumkan bagi setiap pembacanya, maka banyak diantara murid-muridnya yang belajar kepadanya hingga mereka dapat terkenal kepandaiannya dan diakui oleh dunia Islam.19

Murid-murid Imam Abu Hanifah yang paling terkenal yang pernah belajar dengannya di antaranya ialah:

1. Imam Abu Yusuf, Ya‟qub bin Ibrahim al-Anshari, dilahirkan pada tahun 113 H. Beliau ini setelah dewasa lalu belajar macam-macam ilmu pengetahuan

19

(13)

yang bersangkut paut dengan urusan keagamaan, kemudian belajar menghimpun atau mengumpulkan hadits dari Nabi SAW yang diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah asy-Syaibani, Atha bin as-Saib, Imam Abu Yusuf termasuk golongan ulama ahli hadits yang terkemuka, beliau wafat pada tahun 183 H.

2. Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad asy-Syaibani, dilahirkan di kota Irak pada thaun 132 H. Beliau sejak kecil semula bertempat tinggal di Kufah, lalu pindah ke kota Baghdad dan berdiam disana. Beliaulah seorang alim yang bergaul rapat dengan kepala Negara Harus ar-Rasyid di Baghdad, beliau wafat pada tahun 189 H di kota Ryi.

3. Imam Zafar bin Hudzail bin Qais al-Kufi, dilahirkan pada tahun 110 H. Pada mulanya beliau ini belajar dan rajin menuntut ilmu hadits, kemudian berbalik pendirian amat suka mempelajari ilmu akal atau ra‟yi. Sekalipun demikian, beliau tetap suka belajar dan mengajar, maka akhirnya beliau kelihatan menjadi seorang dari murid Imam Abu Hanifah yang terkenal ahli qiyas, beliau wafat lebih dahulu dari lainnya pada tahun 158 H.

4. Imam Hasan bin Ziyad al-Luluy, beliau seorang murid Imam Hanafi yang terkenal seorang alim dan ahli fiqh, beliau wafat pada tahun 204 H.

Empat orang itulah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah yang akhirnya menyiarkan dan mengembangkan aliran dan buah ijtihad beliau yang utama, dan mereka itulah yang mempunyai kelebihan besar dalam memecahkan atau mengupas soal-soal hukum yang bertalian dengan agama.

(14)

E. Karya-Karya Imam Abu Hanifah

Sebagian ulama yang terkemuka dan banyak memberikan fatwa, Imam Abu Hanifah meninggalkan banyak ide dan buah fikiran.Sebagian ide dan buah fikirannya dituliskan dalam bentuk buku, tetapi kebanyakan dihimpun oleh murid-muridnya untuk kemudian dibukukan.Kitab-kitab yang ditulisnya sendiri antara lain:20

1. Al-Fara‟id: yang khusus membicarakan masalah waris dan segala

keuntungannya menurut hukum Islam.

2. Asy-Syurut: yang membahas tentang perjanjian.

3. Al-Fiqh al-Akbar: yang membahas ilmu kalamm atau teologi dan diberi syarah (penjelasan) oleh Imam Abu Mansyur Muhammad al-Maturidi dan Imam Abu al-Muntaha al-Maula Ahmad bin Muhammad al-Maghnisawi. Jumlah kitab yang ditulis oleh murid-muridnya cukup banyak, didalamnya terhimpun ide dan buah fikiran Imam Abu Hanifah. Semua itu kemudian jadi pegangan pengikut mazhab Hanafi. Ulama mazhab Hanafi membagi kitab-kitab itu kepada tiga tingkatan:

1. Tingkat al-Ushul (masalah-masalah pokok), yaitu kitab-kitab yang berisi masalah-masalah langsung yang diriwayatkan Imam Hanafi dan sahabatnya kitab dalam kategori ini disebut juga Zahir ar-Riwayah (teks riwayat) yang terdiri atas enam kitab yaitu:21

20Moenawir Chalil, op. cit., h. 68.

21Abdul Aziz Dahlan Dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,

(15)

a. Al-Mabsuth: (Syamsudin Al-Syarkhasi)

b. Al-Jami‟ As-Shagir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani) c. Al-Jami‟ Al-Kabir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)

d. As-Sair As-Saghir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)

e. As-Sair Al-Kabir: (Imam Muhammad bin Hasan Syaibani)

2. Tingkat Masail an-Nawazir (masalah yang diberikan sebagai nazar), kitab-kitab yang termasuk dalam kategori yang kedua ini adalah:

a. Harun an-Niyah: (niat yang murni) b. Jurj an-Niyah: (rusaknya niat) c. Qais an-Niyah: (kadar niat)

3. Tingkat al-Fatwa Wa al-Faqi‟at, (fatwa-fatwa dalam permasalahan) yaitu kitab-kitab yang berisi masalah-masalah fiqh yang berasal dari istinbath

(pengambilan hokum dan penetapannya) ini adalah kitab-kitab an-Nawazil

(bencana), dari Imam Abdul Lais as-Samarqandi.

Adapun cirri kahs fiqh Imam Abu Hanifah adalah berpijak kepada kemerdekaan berkehendak, karena bencana paling besar yang menimpa manusia adalah pembatasan atau perampasan kemerdekaan, dalam pandangan syari‟at wajib dipelihara.Pada satu sisi sebahagian manusia sangat ekstrim menilainya sehingga beranggapan Abu Hanifah mendapatkan seluruh hikmah dari Rasulullah SAW melalui mimpi atau pertemuan fisik. Namun, disisi lainada yang berlebihan dalam membencinya, sehingga mereka beranggapan bahwa beliau telah keluar dari agama.

(16)

Perbedaan pendapat yang ekstrim dan bertolak belakang itu adalah merupakan gejala logis pada waktu dimana Imam Abu Hanifah hidup. Orang-orang pada waktu itu menilai beliau berdasarkan perjuangan, perilaku, pemikiran, keberanian beliau yang kontroversi, yakni beliau mengajarkan untuk menggunakan akal secara maksimal, dan dalam hal itu beliau tidak peduli dengan pandangan orang lain.22

F. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah

Pola pemikiran Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum, sudah tentu sangat dipengaruhi latar belakang kehidupan serta pendidikannya, juga tidak terlepas dari sumber hukum yang ada.Imam Abu Hanifah dikenal sebagai Ulama al-Ra‟yi dalam menetapkan hukum Islam, baik yang di istinbathkan dari Al-Qur‟an ataupun Hadits, beliau banyak menggunakan nalar.23

Dari keterangan diatas, Nampak bahwa Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum syara‟ yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qath‟iy menggunakan ra‟yu dalam menetapkan hukum, Imam Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum di Kufah, yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulullah SAW.

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, Imam Abu Hanifah berijtihad untuk mengistinbathkan hukum, apabila sebuah masalah tidak terdapat hukum yang

qath‟iy (tetap dan jelas hukumnya dalam Al-Qur‟an dan Hadits), atau masih

22Abdurrahman Asy-Syarqawi, Kehidupan Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka, (Bandung: Al-Bayan, 1994), h. 49.

23

(17)

bersifat dzanny dengan menggunakan beberapa cara atau metode yang Imam Abu Hanifah gunakan dalam mengistinbathkan hukum adalah dengan berpedoman pada:24

1. Al-Qur‟an

Al-Qur‟an al-Karim adalah sumber hukum yang paling utama, yang dimaksud dengan Al-Qur‟an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tertulis dalam mushaf bahasa Arab, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, dan membacanya mengandung nilai ibadah, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.25

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Al-Qur‟an merupakan sendi al-Syariah dan tali Allah yang kokoh, ia adalah yang umum yang kembali kepadanya seluruh hukum-hukumnya, al-Kitab sumbernya, dan tidak ada satu sumber hukum melainkan harus tunduk kepadanya.

2. Al-Sunnah

Kata

ةنس

berasal dari kata26

ةنس

-

نسي

-

نس

secara estimologi berarti cara yang bisa dilakukan, apakah cara adalah sesuatu yang baik, atau yang buruk. Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun pengakuan dan sifat Nabi. Sedangkan sunnah dalam istilah Ulama fiqh adalah sifat hukum bagi suatu

24Moenawir Chalil, BiografI Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: PT. Bulan

Bintang, 1995), h. 79. Lihat juga Zilkayandi, op. cit., h. 55.

25A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian: Pengembangan dan Penerapan Hukum Islam. Cet. 7

(Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010), h. 62.

26Sairuddin, Kamus Arab Indonesia Al-Azhar. Cet. II (Jombang: Lintas Media, t.th), h.

(18)

perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.27

Menurut Imam Abu Hanifah al-Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan perinci kandungan al-Kitab yang mujmal sebagaimana fungsi Nabi SAW menyampaikan wahyu yang diturunkan padanya, menjelaskan dan mengajarkan.

3. Fatwa-fatwa (Aqwal) Sahabat

Fatwa-fatwa sahabat dijadikan Imam Abu Hanifah sebagai sumber pengambilan atau penetapan hukum dan ia tidak mengambil fatwa dari kalangan tabi‟in, hal ini disebabkan adanya dugaan terhadap pendapat ulama tabi‟in atau masuk dalam pendapat sahabat, sedangkan pendapat para sahabat diperoleh dari

talaqy dengan Rasulullah SAW, bukan hanya dengan berdasarkan ijtihad semata, tetapi diduga para sahabat tidak mengatakan itu sebagai sabda Nabi, khawatir salah berarti berdusta atas Nabi.28

Perlu ditambahkan bahwa dalam kitab-kitab Mazhab Imam Hanafi terdapat beberapa perkataan (aqwal), yakni qaul Imam Abu Hanifah sendiri, Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad bin Hasan dan Imam Zafar bin Hudzail, karena Imam Abu Hanifah melarang para muridnya untuk taqlid meskipun bertentangan dengan pendapatnya.

4. Qiyas

27Amir Syarifuddin, op. cit., h. 86-87. 28

(19)

Secara etimologi, kata qiyas berarti

ردق

artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan semisalnya. Sedangkan arti qiyas menurut terminologi terdapat beberapa definisi beberapa yang saling berdekatan.Salah satunya adalah pendapat Abu Zahrah yakni:

امهنيب ةعماج ةلعل همكح ىلع صوصنم رخأ رمأب همكح ىلع صوصنم يرغ رمأ قالحا

Artinya: “Menghubungkan (menyamakan) hukum perkara yang tidak ada ketentuannashnya dengan hukum perkara yang sudah ada ketentuan nashnya berdasarkan persamaan „illat hukum keduanya”.29

Dari definisi di atas, maka para ulama ushul menetapkan rukun qiyas yang terdiri dari 4 macam, yaitu:30

a. Ashal, yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi tempat mengqiyaskan. Ashal ini harus berupa ayat Al-Qur‟an atau sunnah, serta mengandung „illat hukum.

b. Far‟u, yaitu cabang atau sesuatu yang tidak di nashkan hukumnya yaitu yang diqiyaskan, yang disyaratkan tidak memiliki hukum sendiri, memiliki „illat hukum sama dengan „illat hukum yang ada pada ashal, tidak lebih dahulu dari ashal, dan memiliki hukum yang sama dengan

ashal.

c. Hukum ashal, yaitu hukum syarak yang dinashkan pada ashal kemudian menjadi hukum pula pada far‟u (cabang), yang disyaratkan berdifat

29Amir Syaifuddin, op. cit., h. 773. Lihat juga Zulkayandri, op. cit., h. 61. 30

(20)

hukum amaliyah, persyariatkannya rasional (dapat dipahami), bukan hukum yang khusus (seperti khusus untuk Nabi), dan hukum ashal masih berlaku.

d. „Illat hukum, yang sifat nyata dan tertentu yang berkaitan dengan ada dan tidak adanya hukum, „illat hukum disyaratkan dapat diketahui dengan jelas adanya „illat, dapat dipastikan terdapatnya „illat tersebut pada far‟u „illat merupakan penerapan hukum untuk mendapatkan Maqashid al-Syari‟iyyah dan „illat tidak berlawanan dengan nash.

5. Istihsan

Secara bahasa kata istihsan adalah bentuk mashdarnya

-

نسحتسي

-

نسحتسا

إ

اناسحتس

artinya menganggap sesuatu lebih baik, adanya sesuatu itu lebih baik untuk diikuti. Sedangkan menurut istilah syara‟ adalah penepatan hukum dari seseorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukan penyimpangan itu.31

6. Ijma‟

Secara bahasa ijma‟ berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk mashdarnya

-

عجما

عميج

-اعاجما

secara bahasa memiliki beberapa arti, diantaranya: ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan sesuatu dan sepakat.

31Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, diterjemahkan oleh Saefullah Maa‟sum, et al., eds. Cet. 11 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 401.

(21)

Sedangkan secara istilah syara‟ adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum syara‟ yang bersifat praktis (amaly). Para ulama telah sepakat tidak terkecuali Imam Abu Hanifah bahwa ijma‟ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) untuk menetapkan hukum syara‟.

7. „Urf (adat yang berlaku didalam masyarakat umat Islam)

Dilihat dari segi kata „urf berasal dari bahasa arab mashdarnya

فرعي

-

فرع

افرع

sering diartikan dengan sesuatu yang dikenal, contohnya dalam kalimat

دحمأ

افرع نلافنمىلوا

“Ahmad lebih dikenal dari yang lainnya”. Sedangkan menurut istilah

syara‟ adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulannya dan sudah mantab dan melekat dalam urusan-urusan mereka.

Para ulama sepakat apabila „urf bertolak belakang atau bertentangan dengan Al-Qur‟an dan Sunnah maka „urftersebut bertolak (tidak bisa diterima).

G. Penilaian para Ulama terhadap Imam Abu Hanifah

Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Imam Abu Hanifah, diantaranya:

1. Al-Futhail bin Iyadh berkata. “Abu Hanifah adalah seorang ahli fiqh dan terkenal dengan keilmuannya itu, selain itu dia juga terkenal dengan kewaraannya, banyak harta, sangat memuliakan dan menghormati orang-orang disekitarnya sabar dan menuntut ilmu siang dan malam, banyak bangun dimalam hari, tidak banyak berbicara kecuali ketika harus menjelaskan

(22)

kepada masyarakat tentang halal dan haramnya suatu perkara, beliau sangat piawai dalam menjelaskan kebenaran dan tidak suka dengan harta para penguasa.32

2. Abdullah Ibnul Mubarak berkata, “kalaulah Allah SWT tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”, dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, “wahai Abu Abdillah, orang yang jauh dari perbuatan ghaib adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya, kemudian beliau menimpali “Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbautan ghibah”. Beliau juga berkata, “Aku akan datang ke kota

Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara‟ di kotah Kufah? maka mereka penduduk kufah menjawab Abu Hanifah. Beliau juga berkata, “apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian Imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah, dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya.

3. Al-Qodhi Abi Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “saya tidak melihat seseorang yang lebih tau tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan

faqih hadits dari Abu Hanifah”.

32Syaid Ahmad Farid, Min A‟lam As-Salaf, diterjemahkan Masturi Ilham dan Asmu‟i, op. cit., h. 170.

(23)

4. Imam Syafi‟i berkata, “barang siapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) adalah masalah faqih hendaklah ia belajar kepada Abu Hanifah. 5. Faudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih,

terkenal dengan wara‟nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam mengajar dan mengamalkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi‟ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.

H. Pola Pikir dalam Istinbat Imam Mazhab tentang Wakaf

Wakaf adalah ijtihadiyyah33yang lahir dari pemahaman ulama terhadap hadits tentang pernyataan Umar bin Khattab tentang pemanfaatan tanahnya di Khaibar,34

33Kata ijtihad dalam lisan Arab diambil dari kata al-jahd, secara bahasa berarti al-thaqah

yang berarti energi, kekuatan, dan daya. Menurut arti harfiyah, ijtihad berarti mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha dengan sungguh-sungguh, bekerja dengan maksimal untuk mendapatkan suatu tujuan (tim dirasah islamiyah, 1987). Abdul Manan (2007) menemukan berbagai masalah yang dihadapi umat Islam saat ini, ijtihad tidak dapat dilakukan secara persial, tetapi harus dilakukan secara komprehensip dengan melibatkan pakar-pakar ilmu pengetahuan. Agar terlaksana dengan baik, pintu ijtihad dibuka kembali dengan ilmu yang baru, dengan menghilangkan keterikatan pada suatu mazhab. Berusaha bersungguh-sungguh menyatukan pendapat mazhab (ijtihad kontemporer), agar hasil ijtihad dapat berguna bagi umat Islam di dunia dengan cara menerapkan langkah-langkah praktis yang terprogram, teratur, sistematis, serta memadukan seluruh potensi yang merangkaikan informasinya untuk dituangkan ke dalam satu tujuan sehingga menjadi efektif dan bekerja (Abdul Manan, 2008). Yususf al-Qadrawi (2001) menemukan dua metode ijtihad intiqa‟i yaitu memilih pendapat dari pendapat yang paling kuat yang ada warisan fiqh Islam, kemudian memilih yang paling kuat dalilnya dan lebih sesuai dengan kondisi saat ini, kedua: ijtihad Insya‟i, yaitu pengambilan kesimpulan baru dari suatu persoalan, persoalan tersebut belum pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu.

34Selengkapnya hadits tersebut berarti sebagai berikut: diriwayatkan dari Abdullah dari Abdullah bin Umar ra.; bahwa Umar bin Khattab mendapat sebidang tanah di Khaibar. Lalu ia menghadap Rasulullah SAW. Untuk minta petunjuk, tentang apa yang semestinya dilakukan terhadap tanah tersebut. Umar berkata kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah! Saya menerima sebidang tanah di Khaibar dan saya belum pernah mendapat harta lebih baik dari tanah itu.” Rasulullah bersabda: “jika engkau mau, tahanlah bendanya dan sedekahkan hasilnya”. Umar pun menyedekahkannya dan mewasiatkan bahwa tanah itu tidak dapat dijual, dihibahkan, dan diwariskan. Umar mendistribusikan hasil kebun itu kepada orang-orang fakir, keluarganya, membebaskan hamba, orang-orang yang berjuang dijalan Allah, orang-orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan tamu. Dan tidak berdosa bagi orang yang mengelola harta wakaf tersebut

(24)

selain itu tidak ditemukan nasnya dalam Al-Qur‟an. Oleh karena itu, selama masalah yang berhubungan dengan muamalah, pintu ijtihad senantiasa terbuka luas.

Secara etomologi wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang berarti

“al-Habs”.35 Ia merupakan kata yang berbentuk masdar yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faidah.36

Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-„ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‟ah). Sedangkan dalam buku-buku fiqih, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan.Definisi wakaf menurut ahli fiqih adalah sebagai berikut:37

1. Imam Abu Hanifah38

untuk makan dari hasil wakaf dalam batas-batas wajar atau memberi makan orang lain dari hasil wakaf tersebut. (Nasa‟i, 1995: 233).

35Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 3, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 515. 36Ibnu Manzhur., Lisan Arab, Jilid 11, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 276. 37

Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Terjemahan: Ahkam al-Waqf fi al-Syari‟ah al-Islamiyah, (Jakarta: Kerja Sama Dompet Dhuafa Republika dan Ilman Press, Cet. I, 2004), h. 38-61.

38Mazhab Imam Hanafi adalah aliran fiqh yang merupakan hasil ijtihad Imam Abu

Hanifah, mazhab ini banyak menggunakan ra‟yu atau hasil pikiran. Mazhab ini dimulai dari Irak. Saat itu Irak merupakan tempat pengembangan fiqh aliran ro‟yu yang berakar dari masa sahabat Abdullah bin Mas‟ud yang dikirim Umar bin Khattab untuk menjadi guru dan qahdi di Kufah, Irak, dengan membawa paham fiqh Umar. Sementara, Umar bin Khattab terkenal sebagai ahli hukum Islam yang hasil ijtihadnya banyak menggunakan tujuan dari hukum dengan memahami ayat atau hadits secara rasional. Metode ijtihad yang mempengaruhi mazhab ini adalah qiyas, istihsan, urf, dan hiyal syar‟iyyah (Hilah). Baca juga Habib Nazhir dan Muhammad Hasanuddin (2004), Eksoklopedia Ekonomi dan Perbankan Syariah. Bandung: kaki langit, dan Abdul Aziz Dahlan, dkk. (1996), Eksiplodia Hukum Islam. Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve.

(25)

Imam Abu Hanifah Menta‟rifkan wakaf dengan menahan harta dalam milik wakif dan menyedekahkan manfaatnya seperti halnya pinjaman.39 Menurut Imam Abu Hanifah wakaf bukanlah transaksi melepaskan hak, melainkan sebuah amal yang dilaksanakan dengan cara memberikan manfaat atau hasilnya, bukan memberikan bendanya.40

Para pengikut mazhab Hanafi (ulama Hanafiyah) seperti Al Hafidz Abu Bishr Ad Dulabi, Al Hafidz Abu Ja‟far Ath Thahawi, Al Hafidz Ibnu Abi Al Awwam As Sa‟di, Al Hafidz Abu Muhammad Al Haritsi, Al Hafidz Abdul Baqi, Al Hafidz Abu Bakar Ar Razi Al Jashas, Al Hafidz Abu Nashr Al Kalabadzi, Al Hafidz Abu Muhammad As Samarqandi, Al Hafidz Syamsuddin As Saruji, Al Hafidz Alauddin Al Mardani, Al Hafidz Az Zaila‟i, Al Hafidz Mughulthai, Al Hafidz Badaruddin Al Aini, Al Hafidz Qasim bin Quthlubugha, berpendapat sama bahwa pada dasarnya benda yang dapat diwakafkan adalah benda tidak bergerak. Karena objek wakaf ituterus bersifat tetap „ain (dzat/pokok) nya yang memungkinkan dapat dimanfaatkan terus menerus. Abu Zahrah mengatakan dalam kitabnya Mudlarat fi al awqafbahwa, menurut mazhab Hanafi benda bergerak dapat diwakafkan dalam beberapa kondisi.

a. Hendaknya benda bergerak itu selalu menyertai benda tetap. Hal seperti tersebut ada dua hal:

1) Hubungannya sangat erat dengan benda tetap, seperti bangunan dan pepohonan menurut mereka (mazhab Hanafi) bangunan dan

39Ibnu al-Humam al-Hanafi, Syarah Fath al-Qadir, jilid 6,(Bairut: Dar Kutub

al-Ilmiyah, 1995), h. 190.

40Ibnu Abidin dan Muhammad Amin, Radd al-mukhtar, juz VI, (Bairut: Darr Kutub

(26)

pepohonan adalah termasuk benda bergerak yang bergantung kepada benda tidak bergerak.

2) Sesuatu yang khusus disediakan untuk kepentingan benda tetap, misalnya alat untuk membajak tanah atau lembu yang dipergunakan untuk bekerja.

b. Boleh mewakafkan benda bergerak berdasarkan atsar (perilaku) sahabat yang memperbolehkan mewakafkan senjata, baju perang dan binatang-binatang yang dipergunakan untuk berperang.

c. Boleh mewakafkan benda bergerak yang mendatangkan pengetahuan dan merupakan sesuatu yang sudah biasa dilakukan berdasarkan „urf (tradisi), seperti mewakafkan kitab-kitab dan mushaf Al-Qur‟an. Menurut pendapat mazhab Hanafi: Untuk mengganti benda wakaf yang dikhawatirkan tidak kekal adalah memungkinkan kekalnya manfaat. Mereka juga memperbolehkan mewakafkan barang-barang yang memang sudah biasa dilakukan pada masa lalu, seperti mewakafkan tempat memanaskan air, sekop untuk bekerja dan lain sebagainya.

2. Imam Maliki41

Mazhab ini berpendapat, bahwa pemilik dari harta wakaf sama seperti pendapat Imam Hanafi, yaitu harta wakaf tetap milik orang yang berwakaf. Perbedannya dengan ijtihad mazhab Abu Hanifah hanya dalam hal

41Mazhab Imam Malik dibangun oleh seorang yang terkenal dengan sebutan Imam Dar

al-Hijrah (94 H-179 H). Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Ashabi. Ia seorang ahli hadits, ahli fiqh dan Mujtahid besar. Sejak kecil ia dikenal gigih menuntut ilmu. Kehidupan ilmiahnya dimulai dengan menghafal Al-Qur‟an kemudian menghafal sejumlah hadits Rasulullah SAW. Dengan hanya mendengar bacaan gurunya, ia mampu menghafal 29 dari 30 hadits yang dibacakan gurunya (Abdul Aziz Dahlan, 1996: 1092-1093).

(27)

mentasarufkannya saja. Kalau Abu Hanifah memungkinkan harta itu dialihkan, kalau mazhab Imam Maliki tidak memungkinkan selama harta tersebut berada dalam status wakaf.

Selain itu, wakaf waktunya terbatas dan bila waktu yang telah dibatasi berlalu, orang yang berwakaf boleh mengambilnya kembali. Ketika Rasulullah menyatakan kepada Umar “jika kamu ingin, tahanlah asalnya dan sedekahkan hasilnya”. Sesuai dengan Imam Maliki, Rasulullah SAW, hanya menyedekahkan hasilnya saja. Jadi, wakaf dapat untuk waktu yang terbatas. Imam Malik mengemukakan bahwa tidak ada satu dalil yang mengharuskan wakaf itu untuk selama-lamanya.

Imam Malik pernah berkata: “saya seorang manusia, dan saya terkadang salah terkadang benar. Oleh sebab itu lihatlah dan pikirkanlah baik-baik pendapat saya, jika sesuai dengan Al-Qur‟an dan Sunnah maka ambilah dia dan jika tidak sesuai maka tinggalkanlah”. Artinya bahwa jika beliau menjatuhkan hukuman dalam masalah keagamaan, dan pada waktu menetapkan buah pikirannya itu bukan dari nash Al-Qur‟an dan Sunnah, maka masing-masing kita disuruh unutk melihat dan memperhatikannya kembali dengan baik tentang buah fikirannya, terlebih dahulu harus dicocokkannya dengan nash yaitu Al-Qur‟an dan Sunnah.42

42Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,

Departeman Agama RI, Pedoman Pengelolaan & Pengembangan Wakaf, (Jakarta: Departeman Agama RI, 2006), h. 43-44.

(28)

Menurut Mazhab Maliki

ٍةَّدُم ِةَغْ يِصِب ِّقِحَتْسُمِل ُهُتَّلُغ ِمِهاَرَدَك ُلْعَجْوَأ ِةَرْجُأِب اًكْوُلَْمَ َناَك ْوَلَو ًةَعَفْ نَم ْكِلَمْلا ُلْعَج

ُااَرَ ياَم

43

“menjadikan manfat pemilik harta baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepad orang yang berhak, dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki orang yang mewakafkan”

Definisi ini memberi pemahaman bahwa seseorang yang mewakafkan hartanya dapat menahan peggunaan harta benda tersebut secara penuh dan membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, dengan tetap kepemilikan harta yang pada diri orang yang mewakafkan. Adapun masa berlakunya harta yang diwakafkan tidak untuk selamanya, melainkan hanya untuk jangka waktu tertentu sesuai kehendak orang yang mewakafkan pada saat mengucakan sighat (akad) wakaf. Oleh karenanya menurut mazhab al-Maliki, tidak disyaratkan wakaf selama-lamanya dengan dasar bahwa pemilik harta wakaf itu tetap berada di tangan orang yang mewakafkan dan manfaat bagi yang menerima hasil atau manfaat wakaf tersebut.44

Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemiliknya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai

43Abdullah ibn Abd al-Muhsin al-Tarki, Al-Aqqaf fi Mamlakat „Arabiyah al-Su‟udiyah, (Riyad: Abdali Karum al-Dawkiyah, t.tp), h. 13.

44Muhammad al-Khatib Al-Sharbini, Mughni al-Muhtaj, Vol. 2, (Mesir: Mustofa al-Babi

(29)

dengan keinginan wakif. Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.45

Ulama Malikiyah, seperti yang dikemukakan Mustofa Salabi,46 menta‟rifkan wakaf adalah perbuatan menahan harta di dalam kekuasaan pewakaf dari berbagai transaksi dan mendermakan hasilnya pada sektor-sektor kebajikan. Imam Malik berkata bahwa kebaikan di jalan Allah (sabilillah) jumlahnya sangat banyak, namun demikian apabila seseorang menahan (mewakafkan) harta dengan tujuan untuk kebaikan di jalan Allah, artinya untuk kepentingan perang, seperti menahan kuda atau menahan senjata untuk kebaikan di jalan Allah, maksudnya adalah untuk kepentingan perang, bukan kepentingan lainnya.47

3. Imam Syafi‟i48

Ijtihad Imam Syafi‟i berbeda dengan ijtihad imam sebelumnya. Imam Syafi‟i berpendapat bahwa harta yang telah diwakafkan terlepas sama sekali dari pewakaf dan menjadi milik Allah SWT. Jadi, harta wakaf itu untuk selamanya dan tidak terbatas.

Alasan Imam Syafi‟i adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar tentang tanah di Khaibar. Imam Syafi‟i menganggap bahwa tindakan menyedekahkan harta dengan tidak menjual, mewariskan, dan menghibahkannya pada masa itu

45Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), h.

430.

46

Mustofa Salabi, Muhadharat fie al-Waqfi wa al-Washiyyah, (Bairut: DarKutub al-Ilmiyah, t,th), h.21.

47Malik bin Anas, Al-Mudawwamah al-Kubra, juz 4, (Bairut: Daral-Kutub al-Ilmiyah,

t.th), h. 417.

48Mazhab ini dinisbahkan kepada Imam Syafi‟i, nama lengkapnya Abu Abdullah

Muhammad bin Idris asy-Syafi‟i. Ia seorang mujtahid besar, ahli hadits, dan ahli bahasa arab. Dalam bidang hadits itu terkenal dengan gelar Nashir as-Sunnah (Pembela sunnah Rasulullah SAW). Dalam bidan „usul fiqh ia terkenal sebagai penyusun pertama kitab usul fiqh dan pendiri mazhab Syafi‟i.

(30)

didiamkan oleh Rasulullah, diamnya Rasulullah dianggap sebagai hadits

Taqriry.49

Beliau selalu memberikan peringatan terhadap murid-muridnya agar tidak begitu saja menerima apa-apa yang disampaikan oleh beliau sampaikan dalam masalah agama, yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur‟an maupun As-Sunnah. Diantara nasihat beliau tentang taklid buta, beliau pernah berkata kepada muridnya yaitu Imam A-Rabi: “Ya Abi Ishak, janganlah engkau bertaqlid

kepadaku, dalam tiap-tiap yang apa aku lakukan, dan pikirkanlah benar-benar bagi dirimu sendiri karena ia adalah urusan agama”. Dari pernyatan tersebut di atas kiranya cukup jelas pendapat Imam Syafi‟i tentang taqlid buta sunggung beliau melarang taqlid buta kepada beliau dan kepada para ulama lainnya dalam urusan hukum-hukum agama. Mazhab ini banyak di gunakan di Malaysia, Indonesia dan daerah lainnya.

Menurut mazhab al-Syafi‟i

ٍ َا ُم ٍفِّرَصُم ىَلَع ِهِتَ َ قَر ِ ِفرُّرَصَّتلا ِعْ َ ِب ِهِنْيَع ِااَ َ ب َعَم ِهِب ِ َافِتْنِ ْا ُنِكُْ ٍااَم ُ ْ َح

“Menahan harta yang memiliki manfaat dengan menjaga bentuk aslinya, dan barang tersebut lepas dari milik orang yang mewakafkan, serta disalurkan kepada hal yang diperbolehkan”

49

Dalam ilmu hadits, hadits itu ada tiga bentuk, yaitu: Pertama, hadits Qauly, yaitu hadits yang berisi ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW. Kedua, hadits Fi‟ly, yaitu hadits yang didasarkan pada perbuatan Nabi. Ketiga, Hadits Taqriry, yaitu Hadits yang berisi persetujuan atau ketetapan Nabi Muhammad SAW. Tentang perbuatan atau perbuatan sahabat, termasuk Nabi melihat satu perbuatan sahabat di hadapan beliau.

(31)

Kalimat

ِهِنْيَع ِااَ َ ب َعَم ِهِب ِ َافِتْنِ ْا ُنِكُْ

(yang bisa dimanfaatkan dengan menjaga bentuk aslinya) adalah kalimat penjelas yang mengecualikan (tidak mencakup) barang riil yang tidak bisa diambil manfaatnya. Seperti wangi-wangian dan makanan, karena keduanya tidak boleh diwakafkan, meskipun menyewa wangi-wangian itu dibolehkan, sedangkan makanan tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan mengonsumsinya.

Kalimat

ِهِتَ َ قَر ِ ِفرُّرَصَّتلا ِعْ َ ِب

dalam definisi ini ditambahkan untuk mengecualikan harta-harta lain yang ditahan, bukan termasuk wakaf. Sebab gadai misalnya, adalah barang yang tidak putus kepemilikannya. Beda dengan wakaf, pemiliknya tidak mempunyai hak kepemilikan lagi sehingga dilarang menjual, mengibahkan dan mewariskan.

Tambahan kalimat

ٍ َا ُم ٍفِّرَصُم ىَلَع

juga sebagai penjelas yang berfungsi membatalkan wakaf jika diberikan kepada jalur yang tidak boleh. Seperti memberi kepada orang yang memerangi kepada umat Islam dan orang yang suka berbuat Zina.50

Menurut mazhab al-Syafi‟i, bahwa status kepemilikan harta wakaf tidak lagi menjadi milik orang yang mewakafkan, dan bukan hak milik nazir (pengelola), akan tetapi kepemilikan harta wakaf menjadi hak Allah (untuk kepentingan umat Islam).

Syafi‟iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-„ain) dengan cara memutuskan hak

50

(32)

pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-„ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan.51

Ulama Syafi‟iyah menta‟rifkan wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan dan tidak musnah ketika digunakan dari berbagai transaksi yang bersifat memindahkan hak dan menyalurkan manfaatnya pada sector-sektor kebijakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.52

Ta‟rif ini tampak lebih lengkap jika dibandingkan dengan yang lain, mencakup ketentuan-ketentuan yang terkait dengan transaksi, harta benda yang diwakafkan, tujuan dan sasarannya secara eksplisit. Dari ta‟rif ini dapat difahami bahwa harta benda yang diwakafkan setelah ikrarnya diucapkan mengakibatkan terputus dari berbagai transaksi yang bersifat memindahkan hak seperti jual beli,

hibah, wasiat, hadiah dan waris.Persyaratan harta benda yang diwakafkan harus memiliki karakter lestari, tujuannya karena Allah semata-mata dan sasarannya unutk kebajukan (al-birr) dan kebaikan (al-ma‟rufi) atau sekurang-kurangnya bukan hal-hal yang dilarang oleh syari‟at.

4. Imam Hambali53

Ahmad bin Hambali mengemukakan ijtihadnya bahwa manakala seseorang telah mewakafkan hartanya, maka ia tidak lagi meiliki kekuasaan bertindak atas

51Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), h.

430.

52Abu Zakaria Al-Nawawi, Muhyiddin bin Syaraf, Kitab al-Majmu, juz XVI, (Beirut:

Darr Ihya al-Turats al-arabi. 1995), h. 243.

53Mazhab ini dinisbahkan kepada Imam Ahmad bin Hambal dan berkembang di Baghdad

(33)

harta benda yang diwakafkannya dan wakaf berlaku untuk selamanya. Hambali juga mengemukakan ijtihad bahwa harta yang telah diwakafkan tidak dapat ditarik kembali. Ia juga mengemukakan bahwa benda yang diwakafkan itu haruslah benda yang bisa dijual, namun setelah menajdi wakaf tidak dapat dijual.

Sesuai dengan mazhab ini, wakaf terjadi karena dua hal. Pertama, karena kebiasaan (urf), lazimnya wakaf model ini tidak disebutkan secara lisan, misalnya seseorang membangun masjid, kemudian ia mengizinkan orang lain beribadah di dalamnya. Dengan cara seperti ini, secara otomatis dapat dikatakan sebagai wakaf. Kedua, wakaf dengan lisan, misalnya ia memakai kata-kata habtsu, wakaftu, sabaltu, tasadaqtu, harramtu. Bila ia menggunakan kaliamt seperti itu, ia harus mengiringinya dengan niat wakaf.

Imam Ibnu Hambal merupakan seorang ahli sunnah dan ahli Atsar, dan beliau sangat keras terhadap penggunaan ra‟yu, maka demikian Imam Ibnu Hambal paling keras terhadap taqlid buta dan orang yang bertaqlid terhadap urusan agama. Pendirian beliau yang seperti itu dapat dibuktikan dengan ucapannya yang beliau sampaikan kepada salah satu muridnya seperti Imam Abu Dawud pernah mendengar bahwa Imam Ibnu Hambal pernah berkata: “janganlah engkau bertaqlid kepada saya, Imam Malik, Imam Syafi‟i, dan janganlah pula kepada Tsauri tetapi ambillah olehmu darimana mereka itu mengambil”. Dari perkataan beliau, jelas ras terhadap beliau melarang keras terhadap taqlid, dan beliau memerintahkan supaya orang mengambil segala sesuatu dari sumber yang telah mereka ambil.

(34)

Menurut mazhab al-Hambali

ِ ِاِْيرَغَو ِفِقاَولا ِفرُّرَصَت ِعْ َ ِب ِهِنْيَع ِااَ َ ب َعَم ِهِب ُعِفَتْنُمْلا ُهَلاَم ِفْرَصَّتلا ُقَلْ ُم ُكِلاَم ُ ْيِ َْتَ

َااَعَ ت ِاا َاِإ اَهَ بَّرَ َ ت ِةَعَفْ نَمْلا ِلْيِ ْسَتَو ِّرِب ِةَهِج َاِإ ِهِعْيِر ُفِّرَصُي ِهِتَ َ قَر

54

“Menahan secara mutlak kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta, dan memutuskan semua hak penguasaan terhadap harta tersebut, sedangkan manfaatnya diperuntukan kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah”

Pengertian wakaf yang dikemukakan oleh mazhab al-Hambali memberikan pemahaman bahwa apabila harta sudah diwakafkan oleh orang yang mewakafkan, maka status kepemilikan harta tersebut sudah tidak lagi menjadi miliknya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan.

Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan. Itu menurut para ulama ahli fiqih.55

Ulama Hanabilah mengartikan wakaf adalah menahan pokok dan menyalurkan hasilnya pada kebaikan.56Ta‟rif ini berasal dari petunjuk Nabi kepada Umar bin al-Khattab ketika bertanya, tentang amal apa yang terbaik untuk memanfaatkan perkebunan yang subur di Khaibar, jawabannya berupa kalimat

54Ibn „Abidin, Rad al-Muhtar, Vol. 6, 518. Baca: Al-Sharbani, Mughni al-Muhtaj, Vol. 3,

(Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1994), h. 522.

55Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), h.

430.

56Ibnu Qudamah, Abu Muhammad, Abdullah bin Ahmad bin Muhammad, Al-Mughni, juz

(35)

simpel tetapi mengandung makna yang mencakup seperti di atas. Selanjutnya

ta‟rif yang lebih lengkap diberikan oleh Musa bin Ahamad al-Hajjadi57 bahwa wakaf adalah tindakan orang dewasa yang cakap bertindak menurut hukum untuk menahan harta yang dapat dimanfaatkan dan memiliki karakter lestari dengan cara memutuskan berbagai transaksi serta menyalurkan hasilnya pada sektor-sektor kebajikan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Al-Bahuti al-Hanbali memberikan komentar bahwa ta‟rif tersebut mencakup apa yang dimaksud menahan pokok dan menyalurkan manfaat atau hasilnya pada kebaikan.

Setelah dipahami dari beberpa definisi wakaf menurut fuqaha secara terminologi, maka perlu dikemukakan definisi wakaf yang sesuai dengan hakikat hukum, muatan ekonomi, dan pernanan sosialnya, yaitu “wakaf adalah menahan harta baik secara abadi maupun sementara, untuk dimanfaatkan langusng atau tidak langsung, dan diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang untuk kebaikan umum maupun khusus”.

Memperhatikan ta‟rif yang dikemukakan oleh para ulama dapatlah disimpulkan bahwa pada prinsipnya wakaf adalah amal kebajikan (tabarru‟at) yang bersifat lestari, bukan amal kebajikan yang bersifat kansumtif, ditujukan untuk memfasilitasi kepentingan umum dan tujuannya hanya karena Allah semata-mata. Perbedaan yang mendasar dari ta‟rif tersebut terkait persoalan apakah amal tersebut untuk jangka waktu yang tak terbatas (mu‟abbad) ataukan jangka waktu tertentu (mu‟aqqat). Menurut Imam Abu Hanafiah amal tersebut bersifat sementara, sewaktu-waktu pemiliknya dapat mengabil kembali seperti

57Syaikh Manshur, Kasysyaf al-Qina‟, juz IV, (Bairut: Darr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h.

(36)

halnya pinjaman.Menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah harus dilaksanakan untuk jangka waktu yang tak terbatas, karena status pemilikan barang-barang yang diwakafkan telah berpindah ke pihak lain, yaitu milik Allah menurut ulama Syafi‟iyah dan menjadi milik penerima wakaf (mauquf alaih) menurut ulama Hanabilah. Sedangkan menurut ulama Malikiyah boleh kedua-duanya, boleh untuk sementara dan boleh pemilik, maka ia bebas menentukan pilihannya.

Dalam definisi wakaf di atas, telah dipaparkan secara menyeluruh semua bentuk dan jenis wakaf:

1. menahan harta untuk dikonsumsi atau dipergunakan secara pribadi. Ini menunjukkan bahwa wakaf berasal dari modal yang bernilai ekonomi dan bisa memberikan manfaat, seperti manfaat untuk shalat yaitu untuk masjid, manfaat tempat belajar yaitu sekolah, manfaat bagi orang berpergian yaitu kendaraan. Modal yang bernilai ekonomi ini juga bisa sesuatu yang dapat menghasilkan barang, seperti buah dan biji-bijian, atau seperti air sumur dan hasil prosuksi. Maka setiap barang barang yang bermanfaat atau menghasilkan barang disebut modal, hal ini menurut pengertian ekonomi. 2. Demikian juga, wakaf adalah sesuatu yang dapat memberikan manfaat secara

berulang-ulang untuk tujuan tertentu selama beberapa kurun waktu sama dengan wakaf modal yang menghasilkan berbagai manfaat tersebut. Karna itulah wakaf merupakan nilai ekonomi saat ini dan akan mendatangkan banyak manfaat wakaf di masa yang akan datang. Di antara contoh wakaf seperti ini adalah wakaf barang atau pelayanan secara berulang-ulang selama beberpa kurun waktu tertentu, seperti wakaf buku secara berkala (wakaf

(37)

barang) dan wakaf hak pemakaian jalan secara berkala (wakaf manfaat). Ini juga merupakan modal produksi yang dapat menghasilkan pelayanan atau barang di masa yang akan datang. Singkatnya, pengertian “menahan” adalah menahan dari konsumsi, kerusakan, jual beli dan semua tindakan yang bersifat pribadi. Namun tujuan penahanannya untuk tujuan tertentu dan itu hanya satu yaitu memanfaatkan untuk kebaikan.

3. definisi wakaf itu mencakup harta. Harta adakalnya tetap dan tidak bisa bergerak seperti tanah dan bangunan, dan adakalnya berupa benda bergerak, seperti buku dan senjata, bisa berupa barang, barang peralatan dan kendaraan, atau berupa uang seperti deposito atau pinjaman, bisa juga berupa manfaat yang mempunyai nilai uang seperti manfaat pengangkutan khusus orang sakit dan lanjut usia, atau berupa manfaat dari harta benda tetap yang diwakafkan oleh penyewa. Karena manfaat tersebut telah menjadi miliknya, seperti manfaat pemakaian jalan, dan manfaat tanah lapang yang dijadikan tempat shalat „Id al-Fitri dan „Id al-Adha secara berulang-ulang.58

4. mengandung pengertian melestarikan harta dan menjaga keutuhannya, sehingga memungkinkan untuk dimanfaatkan secara langsung atau diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang, seperti sawah, tambak (untuk perikanan), dan tanah tegalan. Dengan demikian, definisi ini menerangkan kelanjutan adanya harta atau benda yang diwakafkan, sehingga dapat memberi manfaat dan sadaqah yang terus berjalan seperti yang digambarkan oleh nabi Muhammad SAW. Pengertian menjaga dalam definisi ini juga

58

(38)

mencakup makna melindungi kepengurusan dan nilai ekonomi barangnya, sehingga wakaf dapat menghasilkan manfaat sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri.

5. definisi tersebut mengandung pengertian berulang-ulangnya manfaat dan berkelanjutan, baik berlangsung lama, sebentar atau selamanya. Adanya manfaat yang berulang-ulang dan berkelanjutan mengandung pengertian bahwa wakaf tersebut berjalan. Keberlangsungan wakaf tergantung pada jenis wakafnya atau batasan waktu yang ditetapkan oleh wakit, terkecuali sadaqah biasa dan bersifat sederhana yang biasanya dimanfaatkan sekali secara langsung dengan cara menghabiskan barangnya. Jadi sadaqah disebut jariyah apabila berlangsung atau selama manfaat wakaf dapat dimanfaatkan secara berulang-ulang, walaupun berulang-ulang dalam waktu yang tidak sangat lama, maka itu juga disebut sadaqah jariyah.Waktu keberlangsungan yang berkali-kali, maka akan dapat dimanfaatkan secara berulang-ulang tergantung pada jenis wakaf dan batasan waktu yang ditentukan oleh wakif (orang yang mewakafkan).

6. definisi wakaf mencakup wakaf langsung, yang menghasilkan manfaat langsung dari harta atau benda yang diwakafkan, demikian juga mencakup wakaf produkti yang memberi manfaat, dari hasil produksinya, baik berupa barang maupun jasa serta menyalurkan semua laba bersihnya sesuai dengan tujuan wakaf.

7. mencakup jalan kebaikan umum keagamaan, sosial dan sebagainya, sebagaimana juga mencakup kebaikan khsusus yang manfaatnya kembali

(39)

kepada keluarga dan keturunannya atau orang lain yang masih ada hubungannya dengan wakif (orang yang mewakafkan).

8. mencakup pentingnya penjagaan dan kemungkinan bisa diambil manfaatnya secara langsung atau dari manfaat hasilnya. Ini menentukan tugas yang mendasar bagi kepengurusan wakaf, dan perannya dalam menjaga kelestariannya dan menyalurkan manfaatnya bagi orang-orang yang berhak menerima wakaf baik dari masyarakat umum maupun kelompok khusus.

Referensi

Dokumen terkait

Menrt Mlyasa9 'ara mem#angkitkan na(s #elajar pada peserta didik dapat dengan 'ara Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita pa"ami #a"&a se'ara positi(9

Kαθώς πλησιάζει η κρίσιμη νύχτα της ψηφοφορίας στη Bουλή για την τύχη της κυβέρνησης Nβα, στις 4 προς 5 Aυγούστου, ο Kωνσταντίνος και ο

Oleh karena itu kebijakakan yang berkaitan dengan alutsista Arhanud yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi dalam membangun kemampuan satuan Arhanud dalam

Laporan penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Jumlah Peserta Sistem Ujian Online Program Studi Non Pendidikan Dasar di UPBJJ- UT

Adanya kecenderungan kekurangan zat besi, vitamin C dan tembaga yang kurang pada remaja akibat tidak memperhatikan pola makan dan kurangnya pengetahuan akan

Hasil penelitian ini menjukkan bahwa Bank Indonesia memberikan berperan dalam bidang pemasaran kepada pengrajin batik “Canting Emas” dengan seringnya memberikan informasi

Berdasarkan analisis penilaian pada aspek-aspek yang berkaitan dengan kemampuan mengonstruksi teks laporan hasil observasi oleh siswa kelas X SMA Negeri 7 Medan

Dari semua program ini yang paling difokuskan oleh Satlantas polisi resort Kuantan Singingi untuk mengatasi pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh kendaraan