• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV MAKNA PERJANJIAN PERKAWINAN ADAT DAYAK NGAJU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV MAKNA PERJANJIAN PERKAWINAN ADAT DAYAK NGAJU"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

MAKNA PERJANJIAN PERKAWINAN ADAT DAYAK

NGAJU

1. Pementasan Ulang Kehidupan Leluhur

Perjanjian perkawinan merupakan bagian dari perkawinan yang sesuai dengan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat Dayak Ngaju. Bagi masyarakat Dayak Ngaju, perkawinan adalah ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bersepakat untuk membangun kehidupan bersama yang mempunyai dasar dan pengukuhan yang luhur dan suci.

Keluhuran dan kesucian perkawinan ini diungkapkan oleh Hermogenes Ugang sebagai bentuk-bentuk keluhuran yang bersumber pada kekuatan Raying Sang Pencipta yang oleh orang Ngaju diamalkan dan dihayati secara tekun dan teliti.182 Kekuatan Raying yang adikodrati ini membuat seluruh tatanan kehidupan masyarakat menjadi suci (sakral), dengan kata lain segala sesuatu yang jasmani adalah rohani, dan yang rohani itu ada pada segala sesuatu yang jasmani.183 Untuk menjaga dan mempertahankan keluhuran perkawinan, maka masyarakat Dayak Ngaju memiliki perjanjian dalam perkawinan. Bila kita berbicara mengenai perjanjian perkawinan, mau tidak mau kita berbicara tentang asal mula perkawinan dan asal mula perjanjian perkawinan. Sebagaimana diungkapkan dalam bab tiga, orang Dayak melihat bahwa adat perkawinan sudah diatur sejak semula, yaitu sejak nenek moyang mereka yang pertama yaitu: Raja Garing Hatungku dengan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang. Ketika itu manusia belum menyadari bahwa perbuatan mereka dapat mencemarkan keluhuran hidup. Hal itu terjadi pada waktu

182Hermogenes Ugang, Menelusuri 48-49 183 Ibid.

(2)

Garing Hatungku dan Nyai Endas ketika melangsungkan perkawinan tanpa “pentahbisan” dari Raying. Perkawinan yang “tidak resmi” itu mengakibatkan Nyai Endas mengalami keguguran berkali-kali dan akibat keguguran itu menghasilkan segala jenis binatang, tumbuhan liar dan sebagainya (lih. Bab I).

Jika merujuk pada konsep di atas, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian perkawinan sebagai salah satu bentuk keluhuran yang bersumber dari Raying, yang dianggap sakral. Kesakralan perjanjian perkawinan juga dapat dilihat ketika terjadi pelanggaran terhadap perjanjian maka, si pelanggar akan mendapat sanksi adat

(singer) karena dianggap melanggar keluhuran perkawinan. Pelanggaran ini disebut Durkheim sebagai pelanggaran religius yang berakibat hukuman-hukuman dan penderitaan bagi pelanggarnya; masyarakat sekitar juga ikut menghukumnya, sehingga si pelanggar menderita lahir batin.184

Bagi masyarakat Dayak Ngaju, perjanjian perkawinan merupakan pementasan ulang kehidupan leluhur. Melalui perjanjian itu, sepasang suami istri berjanji untuk selalu setia satu sama lain. Barang-barang hadat yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dan keluarganya, merupakan simbol-simbol yang memiliki makna dan nilai-nilai moral, penghargaan, kesungguhan dan kesetiaan. Pemberian seorang calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanitanya merupakan pementasan ulang peristiwa lampau yang pernah dialami oleh leluhur manusia. Sebagaimana Garing Hatungku memberikan/menyanggupi permintaan

Nyai Endas, demikian juga seorang laki-laki berusaha untuk memenuhi permintaan dari pihak perempuan dan keluarganya.

184 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, Translated by Joseph Word Swain

(1976), 302 dalam Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 60.

(3)

Masyarakat Dayak Ngaju memahami bahwa perkawinan yang luhur dan suci adalah perkawinan yang sesuai dengan tatanan adat, yaitu melalui tahapan-tahapan seperti: Bisik Kurik dan Hakumbang Auh, Mamanggul, Maja Misek dan pemenuhan hukum adat perkawinan (Jalan hadat). Carol dan Melvin mengatakan bahwa beberapa tahapan yang dilakukan sebelum perkawinan ini merupakan salah satu bentuk upacara dan perayaan dari suatu perkawinan yang resmi.185

Jika di analisis, perkawinan yang disertai dengan perayaan-perayaan merupakan perkawinan yang terjadi karena mereka telah melakukan perkawinan berdasarkan keluhuran perkawinan. Perayaan tersebut sebagai sarana pemberitahuan kepada masyarakat yang hadir, bahwa kedua orang tersebut sudah melaksanakan perkawinan menurut hukum adat Dayak Ngaju. Pemberitahuan ini hanya dapat dilakukan oleh kedua mempelai, orang tua dan keluarga mempelai yang tidak melanggar kesucian perkawinan seperti yang diajarkan oleh leluhur; dalam pengertian bahwa kedua mempelai tidak melanggar keluhuran perkawinan dengan perbuatan yang melanggar kesusilaan (melakukan hubungan seks sebelum menikah). Perkawinan yang tidak sesuai dengan adat akan mendatangkan bencana dan hal-hal yang buruk dalam perkawinan, sebagaimana yang dialami oleh nenek moyang pertama ketika perkawinan mereka tidak direstui oleh Raying Hatalla Langit.

2. Mempererat Hubungan Sosial

Perjanjian perkawinan sebagai sarana untuk mempererat hubungan sosial. Di dalamnya terdapat unsur kepentingan bersama yang menyatukan kedua keluarga, maupun dua kelompok masyarakat dimana kedua calon mempelai tinggal. Merujuk pada konsep perjanjian perkawinan menurut Soetojo Prawirodamidjojo, terlihat

185

(4)

bahwa perjanjian adalah persetujuan yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung, berdasarkan asas kebebasan dan kesepakatan bersama dengan tetap berpegang pada hukum, agama dan kesusilaan.186 Berdasarkan konsep tersebut, perjanjian perkawinan masyarakat Dayak Ngaju terbentuk atas kesepakatan bersama, sebelum perkawinan itu dilaksanakan. Untuk mencapai kesepakatan bersama antar kedua pihak ini, maka didalamnya terjadi hubungan interaksi dan komunikasi antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, keluarga, kerabat dekat dan masyarakat. Hal ini juga terlihat ketika kedua calon mempelai menyatakan keinginan mereka untuk menikah, maka orang tua dan seluruh keluarga mengadakan musyawarah bersama untuk menindak lanjuti masalah tersebut. Pihak orang tua laki-laki pun mengirimkan orang yang bisa dipercaya untuk menyampaikan maksud hati anaknya, (bisik kurik) yang dilanjutkan dengan hakumbang auh (penjajakan). Jika ternyata duit kumbang tidak dikembalikan, maka dilanjutkan dengan acara

mamanggul (meminang) dan setelah itu maja misek (bertunangan). Jadi, seluruh proses ini melibatkan tidak hanya kedua calon mempelai, tetapi juga orang tua, keluarga masing-masing pihak, kerabat dan masyarakat. Keterlibatan dari semua pihak ini, menunjukkan dukungan yang diberikan agar pelaksanaan perkawinan dapat berjalan dengan baik.

Dan yang paling penting dalam setiap acara tersebut adalah adanya musyawarah dari kedua belah pihak calon mempelai, mengenai perjanjian perkawinan. Pembuatan perjanjian perkawinan merupakan rentetan peristiwa yang membutuhkan pemikiran dari kaum keluarga, kerabat dekat baik pihak laki-laki

186Lihat Soetojo Prawirodamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di

Indonesia,(Surabaya: Airlangga University Press, 1994), 57, Lihat juga, K. Wantjik Saleh, SH,

(5)

maupun pihak keluarga perempuan. Peristiwa ini menunjukkan solidaritas yang tinggi dari seluruh keluarga. Perasaan bahagia dan sukacita terpancar dari sikap seluruh keluarga, karena mereka akan memiliki anggota baru dalam keluarga. Semangat kebersamaan dan persaudaraan yang kuat merupakan cerminan dari falsafah budaya betang yang sudah ada sejak dahulu kala. Demikian juga ketika pembicaraan tiba pada masalah Jalan hadat, maka keluarga kedua belah pihak bermusyawarah untuk menentukan nilai materi pengganti barang (garantung, lilis) yang pada masa sekarang sulit didapatkan. Dalam hal ini, tidak ada penentuan standar nilai materi yang melembaga seperti yang terdapat pada masyarakat Leo Kunak Rote (belis).187 Walaupun demikian, bukan berarti masyarakat Dayak Ngaju tidak mempunyai standar nilai terhadap status seseorang, tetapi dalam hal ini masyarakat Dayak Ngaju lebih melihat kepada nilai moral yang terkandung dalam pelaksanaan jalan hadat itu. Bahwa di dalam pemberian itu terdapat sikap hormat dan penghargaan dari seorang laki-laki kepada seorang wanita dan keluarganya.

Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa besarnya nilai materi barang hadat

yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan akan menunjukkan status sosialnya dalam masyarakat. Ketika nilai materi pengganti barang dicantumkan dalam Surat Perjanjian Perkawinan, dalam bentuk rupiah atau sebidang kebun maupun tanah perwatasan, secara otomatis pandangan yang muncul dalam masyarakat adalah: “dia barangai utus oloh toh!” (tidak sembarangan asal orang ini) atau sebaliknya: “oloh biasa ih ampi!” (sepertinya orang biasa/sederhana saja). Berbagai tanggapan dan pandangan dari masyarakat mengenai status sosial seseorang pasti muncul.

187 Judith A. Folabessy, “Standarisasi Tu‟u Belis di Leo Kunak-Kabupaten Rote Ndao” (Tesis di

(6)

Mengenai status sosial yang dimaksud, Koentjaraningrat mengatakan bahwa dalam beberapa masyarakat terdapat istilah “lapisan sosial takresmi,” artinya: “anggota masyarakat tidak mempunyai kesadaran atau konsepsi yang jelas tentang seluruh susunan pelapisan dan kelas-kelas dalam masyarakat mereka . . . kecuali hanya dengan sebutan-sebutan yang kabur seperti kaum atasan, kaum terpelajar, golongan menengah, . . .dsb.”188 Berdasarkan pemahaman ini, nampak jelas bahwa dalam masyarakat Dayak Ngaju, sebelum adanya penghapusan mengenai perbudakan (bab III, 1.5), lapisan sosial yang berlaku bersifat resmi. Namun, pada masa sekarang hal itu sudah tidak seketat dulu dan terlihat tidak jelas, sebutan-sebutan yang diberikan kabur. Walau demikian, biasanya anggota masyarakat tahu siapa yang mereka pandang lebih tinggi dari mereka, dan siapakah orang yang mereka pandang lebih rendah dari mereka; dan mereka tahu benar bagaimana mereka bersikap terhadap orang-orang tersebut.189 Sebab itu, dalam masyarakat Dayak Ngaju hampir tidak pernah terdengar keluhan mengenai pemberian jalan hadat. Karena pihak laki-laki sebagai pihak pemberi cukup tahu dan menyadari kepada siapa, dan keturunan dari mana dia memberikan barang-barang tersebut. Sebaliknya pihak perempuan pun menyadari siapa, dan keturunan dari mana laki-laki yang akan menikah dengannya. Hal itu tentunya sudah diketahui sebelum mereka memutuskan untuk menikah. Karena itu, biasanya orang tua selalu mengarahkan dan membimbing anak-anaknya dalam memilih pasangannya. Akan dilihat bagaimana kehidupan keluarganya, asal usulnya, kualitas dan pendidikan orang itu.

188 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, 175-176 189 Ibid.

(7)

Dalam masyarakat Dayak Ngaju, persyaratan jalan hadat terdiri dari 16 sampai 17 butir. Persyaratan ini mutlak dan itu tidak bisa dirubah. Biasanya yang sering mendapat perhatian secara khusus adalah palaku dan panginan jandau

(biaya pesta), karena jumlah yang dibayarkan lebih besar dibanding syarat-syarat yang lain. Untuk Palaku, dibayar dengan 5 (lima) pikul garantung (gong). Jumlah berat barang hadat tersebut, berpedoman pada Palaku ayun indu je bawi (Palaku

yang dimiliki ibu calon mempelai wanita). Namun dalam hal pembayarannya berbeda, karena disesuaikan dengan nilai materi sekarang. Biasanya Palaku

diberikan dari harta kekayaan orang tua calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan, sebagai bentuk berkah dan restu orang tua. Sedangkan untuk

panginan jandau, jumlah yang dibayarkan tergantung kesepakatan bersama. Namun sebenarnya, jumlah yang dibayar tidaklah terlalu besar jika pesta itu dilaksanakan dengan sederhana, cukup di rumah mempelai wanitanya, seperti yang dilakukan para orang tua jaman dahulu. Tidak perlu di gedung atau harus acara yang mewah dan makanan istimewa. Karena yang terpenting adalah doa restu dari keluarga maupun masyarakat.

Jika dianalisis, barang –barang adat yang diberikan dalam jalan hadat ini bersifat flexibel; dalam arti sesuai dengan keadaan jaman perkawinan itu dilaksanakan, dan kemampuan dari pihak laki-laki. Disini terlihat bahwa masyarakat Dayak Ngaju memiliki aturan yang pada satu pihak tegas dan mutlak, dalam arti tidak dapat ditoleransi. Namun dipihak lain ada aturan-aturan yang longgar, tidak kaku; dalam pengertian dapat ditoleransi sesuai dengan kemampuan. Sifat toleran yang tinggi, tidak memaksakan kehendak sendiri kepada pihak lain, menyebabkan hingga sejauh ini, tidak ada keluhan mengenai pemenuhan adat. Yang penting adalah niat hati dan kesungguhan dari masing-masing pihak. Niat

(8)

dan kesungguhan hati inilah yang menghantar kedua mempelai untuk memasuki perkawinan. Jadi, pada prinsipnya jumlah nilai materi yang dibayar dalam jalan hadat dibicarakan oleh kedua belah pihak melalui musyawarah, sehingga mencapai kesepakatan. Umumnya nilai materi diberikan sesuai dengan kemampuan pihak laki-laki. Karena bukan masalah jumlah satuan materinya yang menjadi sasaran penting, melainkan nilai-nilai penting yang ada didalamnya. Penerapan Jalan hadat diharapkan tidak hanya sekedar memenuhi tuntutan adat, tetapi sebagai bukti penghargaan (sikap moral) calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya, sebagaimana yang terlihat dari makna simbol yang terdapat dalam barang-barang jalan hadat tersebut.

Jadi, dalam masyarakat Dayak Ngaju, penerapan Jalan Hadat dilakukan sebagai upaya mempertahankan hubungan sosial agar tetap berjalan dalam keadaan serasi, selaras dan seimbang, terutama hubungan sosial dengan anggota keluarga, baik pihak keluarga mempelai laki-laki dan pihak keluarga mempelai perempuan dan juga sejumlah masyarakat. Suasana yang akrab, sikap gotong royong dan saling bekerjasama (handep), terlihat sejak menjelang pelaksanaan perkawinan sampai hari pelaksanaan perkawinan. Rasa persamaan dan persaudaraaan selama acara ini berlangsung menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi dalam masyarakat Dayak Ngaju

3. Melegitimasi Perkawinan.

Perjanjian perkawinan memiliki nilai hukum untuk melegitimasi perkawinan. Hal ini dapat dilihat dalam hubungannya dengan sistem hukum yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Ngaju, dimana sistem tersebut memiliki struktur mengenai kelembagaan adat, bagaimana hubungan dan cara bekerjanya lembaga adat itu berkaitan dengan adat perkawinan adat Dayak Ngaju (lihat bab 3). Berdasarkan

(9)

teori Ter Haar, bahwa hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat lahir dan dipelihara oleh keputusan para warga masyarakat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum.190 Merujuk pada teori dan data di lapangan, perjanjian perkawinan termasuk dalam ranah hukum adat Dayak, dimana seorang hakim adat dalam hal ini adalah Damang Kepala Adat dan Mantir Adat yang mengambil keputusan, harus memahami sistem hukum adat dan kenyataan sosial, serta memperhatikan tuntutan keadilan dan kemanusiaan; khususnya ketika diperhadapkan pada masalah pelanggaran perjanjian perkawinan tersebut. Dalam perkawinan, Damang Kepala Adat beserta Mantir Adat adalah lembaga hukum, yang berwenang mensahkan adat perkawinan sesuai dengan hukum adat yang berlaku.

Dalam masyarakat Dayak Ngaju, perjanjian perkawinan dipelihara oleh anggota masyarakat dan diperkuat oleh aturan-aturan seperti yang termuat dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No 16 tahun 2008, khusus mengenai penyelesaian sengketa terdapat dalam Bab X pasal 27. Dan didalam aturan-aturan itu, terdapat sanksi-sanksi.

Berkaitan dengan aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, maka tidak ada perbedaan yang prinsip antara UU perkawinan tersebut dengan perkawinan menurut adat Dayak Ngaju. Begitu juga dengan Pasal 2 Undang-Undang perkawinan menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan yang bersangkutan dan perkawinan tersebut dicatat pada Kantor Pencatatan Sipil setempat. Hal ini

190 Ter Haar, dalam pidato dies tahun 1930, “Peradilan Landraad berdasarkan hukum tak tertulis”

(10)

sejalan dengan perkawinan adat Dayak Ngaju, dimana suatu perkawinan disahkan oleh adat. Setelah perkawinan tersebut disahkan oleh adat, kemudian dikukuhkan oleh agama melalui upacara-upacara keagamaan. Barulah kemudian perkawinan tersebut dicatat dalam Kantor Pencatatan Sipil, agar ada kepastian hukum dan alat bukti yang kuat bagi perkawinan..

Jika perkawinan masyarakat Dayak Ngaju memiliki kekuatan secara adat, agama dan negara, maka perjanjian perkawinan adat Dayak Ngaju pun dilaksanakan berdasarkan aturan yang sesuai dengan hukum adat, agama dan negara. Dalam masyarakat Dayak Ngaju, perjanjian perkawinan dibuat sebelum perkawinan berlangsung, yaitu mulai dari pra perkawinan: Hakumbang auh, maja misek dan pada pelaksanaan perkawinan secara adat. Perjanjian tersebut dibuat berdasarkan asas kebebasan dan kesepakatan bersama. Hal ini, sejalan dengan perjanjian perkawinan dalam UUP pasal 29. Namun yang membedakan keduanya adalah dalam hal pengesahan. Jika dalam pasal 29 perjanjian perkawinan disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan,191 maka dalam masyarakat Dayak Ngaju, perjanjian perkawinan tersebut disahkan atau dikukuhkan oleh mantir adat dan diperkuat oleh Damang Kepala Adat di wilayah yang bersangkutan. Jadi, perjanjian perkawinan yang ditandatangani oleh kedua calon mempelai, orang tua, saksi-saksi dari kedua belah pihak dan pengukuhan oleh Mantir Adat dan Damang Kepala Adat, menunjukkan bahwa perkawinan yang dilaksanakan adalah sah menurut hukum adat Dayak Ngaju. Keabsahan dari perkawinan itu telah disaksikan oleh masyarakat yang hadir dalam perkawinan. Sebagai bukti mereka adalah saksi,

191K. Wantjik Salih, Hukum Perkawinan Indonesia, cetakan ketujuh, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

(11)

maka kepada mereka diberikan duit turus (uang saksi), terutama kepada para orang tua.

Bagi masyarakat Dayak Ngaju, perjanjian perkawinan adalah hubungan yang menyangkut hak dan kewajiban antara seorang suami dengan seorang istri. Sebagaimana tercantum dalam surat perjanjian bahwa mereka berdua berjanji untuk saling mencintai, saling memelihara dan saling setia dengan tidak menceraikan pasangan sampai akhir hidup. Mereka memiliki hak untuk mencintai dan dicintai oleh pasangannya. Inilah yang dinamakan oleh Michael P. Jonhson sebagai

personal commitment dalam perkawinan, yaitu perasaan saling mencintai sehingga perasaan inilah yang membuat mereka memiliki keinginan untuk mempertahankan perkawinan. Dipertahankannya suatu hubungan, sebagai akibat dari hubungan yang memuaskan dari kedua pihak.192 Selain mereka memiliki hak-hak dalam perkawinan, mereka juga mempunyai kewajiban untuk memelihara perkawinan itu sampai maut memisahkan. Hal ini pula yang dimaksud oleh Michael sebagai moral commitment dalam perkawinan. 193 Jadi, perjanjian perkawinan telah mempersatukan suami istri, perjanjian ini pulalah yang mengikat mereka dalam ikatan perkawinan. Dan perjanjian itu merupakan sarana untuk mempertahankan perkawinan agar tetap kuat, dalam hal ini perjanjian perkawinan sebagai hukum yang mengikat hubungan mereka.

Perjanjian perkawinan sebagai hukum yang mengikat mengandung pengertian bahwa, perjanjian itu benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani masyarakat Dayak, dan tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan

192Michael P. Johnson, The Tripartite Nature of Marital Commitment: Personal, Moral, and

Structural Reasons to Stay Married, (The Pennsylvania State University) dalam “Journal of Marriage and the Family”, Vol. 61, No. 1 , Februari 1999,161

(12)

adat istiadat. Adat istiadat sebagai kebiasaan normatif yang telah berwujud dalam aturan tingkah laku ini, berlaku dan dipertahankan dalam masyarakat. Sehingga, apabila perjanjian perkawinan ini tidak dilaksanakan, maka akan menimbulkan reaksi dari masyarakat (sanksi Sosial). Orang tersebut dianggap belom dia bahadat

(hidup tidak beradat). Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang itu tidak menghargai adat, tidak memiliki aturan hidup, bertindak menurut kehendak sendiri dan tidak memiliki identitas diri sebagai orang Dayak. Jadi, perjanjian perkawinan itu ada karena ia merupakan bagian dari adat istiadat dan sebagai salah satu entitas suku Dayak Ngaju. Dan, sebagai entitas suku, perjanjian perkawinan merupakan gagasan ideal perkawinan yang telah diwariskan sejak dulu oleh leluhur sebagai tuntunan dan bimbingan dalam membangun rumah tangga. Tidak heran jika dalam perjanjian perkawinan terdapat sanksi adat (singer) bagi yang melakukan pelanggaran. Singer termasuk sanksi negatif berupa hukuman terhadap pihak yang melakukan pelanggaran, yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Besarnya denda adat ditentukan oleh kedua belah pihak. Karena hukum perkawinan Suku Dayak Ngaju tidak menghendaki terjadinya perceraian, maka perceraian dicegah dengan memberlakukan persyaratan yang berat sebelum perkawinan. Persyaratan serta ketentuan akibat perjanjian diatur dalam perjanjian antara kedua calon pasangan suami istri. Salah satu hal yang diatur dalam perjanjian tersebut adalah akibat dari perceraian, baik cerai mati maupun cerai hidup. Jika terjadi perceraian, maka pihak yang bersalah wajib membayar singer hatulang belom (denda perceraian) sesuai dengan perjanjian perkawinan, ditambah dengan hukuman dari Lembaga Adat (membayar uang sidang) dan biaya pesta adat sebagai sarana untuk memulihkan ketidakseimbangan yang terjadi akibat perceraian tersebut. Sidang penyelesaian kasus ini dilakukan oleh Mantir Adat dalam Kerapatan Mantir/Let

(13)

Perdamaian Adat tingkat desa. Sanksi adat diberikan sebagai upaya untuk membuat jera pelaku dengan membayar kerugian yang diderita oleh pihak korban atau menebus kesalahan sehingga tidak ada kecenderungan untuk tindakan balas dendam. Disamping itu juga, dalam sanksi terkandung sikap menghormati dan menghargai orang lain dan nilai-nilai keadilan. Konsep keadilan, ganti rugi dan upaya mengembalikan keseimbangan tatanan kehidupan menjadi alasan kuat orang Dayak menggunakan istilah singer (denda adat).

Konsep mengenai perjanjian perkawinan sebagai suatu hukum yang mengikat bagi suami istri ini, jika dikaitkan dengan teori Michael P. Johnson, maka konsep inilah yang dimaksud sebagai Structural Commitment atau komitmen struktural, yang turut mempengaruhi keputusan seseorang untuk tetap bertahan dalam suatu perkawinan.194 Karena walaupun tidak ada larangan secara ketat mengenai perceraian, pada dasarnya masyarakat Dayak Ngaju tidak menyetujui adanya hal itu. Reaksi dari ketidaksetujuan ini, akan terlihat dari tekanan sosial dari pihak keluarga, teman dan masyarakat. Demikian juga proses birokrasi melalui Lembaga Adat Dayak, dan prosedur hukum perceraian yang sulit akan menghabiskan waktu serta biaya.

Berdasarkan analisa mengenai makna dari perjanjian perkawinan adat Dayak Ngaju di atas, maka jelaslah bahwa Perjanjian perkawinan merupakan ikrar hidup bersama dihadapan keluarga dan masyarakat secara umum, yang masih terus dipelihara dan dilaksanakan oleh masyarakat Dayak Ngaju sebagai adat istiadat dari leluhur. Perjanjian perkawinan masih terus dipertahankan karena didalamnya mengandung nilai-nilai budaya, nilai kesetiaan, nilai moral, termasuk nilai kekerabatan. Perjanjian perkawinan dapat dilihat sebagai antisipasi jika terjadi

(14)

hal yang tidak diinginkan dalam perkawinan atau paling tidak meminimalisir tindakan perceraian dalam kehidupan masyarakat di kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah.

Referensi

Dokumen terkait

14/RDTR-PGD/VIII/PBJ-DCT/2012 tanggal 6 Agustus 2012 untuk Seleksi Sederhana Pekerjaan Jasa Konsultansi Penyusunan Revisi RDTR Kecamatan Pegandon, bersama ini disampaikan nama-nama

Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya-upaya kepolisian Resort Dompu dalam menanggulangi tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh pelajar di Kabupaten Dompu

Observasi adalah pengamatan yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis terhadap aktivitas individu atau obyek lain yang diselidiki. Adapun jenis-jenis observasi

kompetensi diri yang baik merupakan ciri dari salah satu dimensi burnout. yaitu low personal accomplishment (Maslach, Leiter &

Media sosial sangat berpengaruh terhadap minat beli konsumen pada Mahasiswa program studi Manajemen Universitas Pasir Pengaraian terbukti dengan banyaknya jumlah

Karena itu dalam penelitian ini setiap gejala yang terkait dengan pemasaran promosi pada perusahaan konveksi di Tulungagung akan dikaji secara menyeluruh dan mendalam

Salah seorang tokoh yang dapat dianggap sebagai pelopor lahirnya Ilmu Pengetahuan Alam di samping Galileo Galilei adalah Francis Bacon (1560 – 1626) yang ajarannya dalam

Keuntungan (kerugian) dari perubahan nilai aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual 219 (505)a. c Bagian efektif dari lindung nilai arus kas -