BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Burnout
1. Definisi Burnout
Istilah burnout pertama kali diperkenalkan oleh Freudenberger pada
tahun 1973 (Farber, 1991; Widiyanti, Yulianto & Purba, 2007). Burnout
dapat terjadi diantara karyawan yang tidak mampu mengatasi tekanan
pekerjaan yang luas yang menuntut energi, waktu, dan sumber daya,
burnout juga dapat terjadi diantara karyawan yang bekerja di bidang
pelayanan, serta dapat terjadi karena situasi kerja yang tidak sesuai
dengan kebutuhan dan harapan (Rizka, 2013).
Burnout merupakan sindrom psikologis yang merupakan reaksi
individu terhadap tekanan pekerjaan yang berkepanjangan (Maslach &
Leiter, 1997; Lorensya & Wirawan, 2009). Putra & Mulyadi (2010),
memaparkan bahwa burnout adalah kondisi seseorang yang terkuras
habis dan kehilangan energi psikis maupun fisik yang dialami dalam
bentuk kelelahan fisik, mental, dan emosional. Biasanya hal itu
disebabkan oleh situasi kerja yang tidak mendukung atau tidak sesuai
dengan kebutuhan dan harapan.
Burnout didefinisikan oleh Leatz & Stoler (1993) sebagai kelelahan
fisik, mental, dan emosional yang terjadi karena tekanan yang dialami
keterlibatan emosional yang tinggi, dan ditambah dengan tingginya
standar keberhasilan pribadi (Leatz & Stoler, 1993; Zulkarnain, 2011).
Burnout juga merupakan sindrom yang terdiri dari emotional
exhaustion, depersonalization, reduce personal accomplishment yang
terjadi diantara individu-individu yang melakukan pekerjaan yang
memberikan pelayanan kepada orang lain dan sejenisnya (Maslach &
Jackson, 1986; Jansen, dkk, 1996).
Berdasarkan beberapa definisi tokoh di atas, dapat disimpulkan
bahwa burnout adalah suatu kondisi dimana individu mengalami
kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian pribadi
yang merupakan hasil dari ketidakmampuan individu dalam mengatasi
tekanan kerja yang dialami dalam waktu yang cukup lama.
2. Dimensi Burnout
Burnout dapat dijabarkan ke dalam tiga dimensi (Maslach, Leiter &
Schaufeli, 2001) yaitu :
a. Exhaustion. Ketika mengalami exhaustion, individu akan
merasakan energinya seperti terkuras habis dan ada perasaan “kosong” yang tidak dapat diatasi lagi. Pada dimensi ini, akan
muncul perasaan lelah berkepanjangan baik secara emosional
(bosan, sedih, tertekan, frustrasi, putus asa, dan tidak berdaya),
mental (tidak berharga, rasa gagal, dan lain-lain), dan fisik (sakit
menyatakan lelah secara fisik dapat meliputi sakit kepala, susah
tidur, demam, sakit punggung, rentan terhadap penyakit, tegang
pada otot leher dan bahu, mual-mual, gelisah dan perubahan
kebiasaan makan (Pines & Aroson, 1989; Amelia & Zulkarnain,
2005).
b. Depersonalization/cynicism. Dimensi ini merupakan
perkembangan dari dimensi kelelahan. Depersonalisasi adalah
coping (proses mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan
dengan kemampuan individu) yang dilakukan individu untuk
mengatasi kelelahan. Perilaku ini juga merupakan upaya untuk
melindungi diri dari perasaan kecewa, karena penderitanya
menganggap bahwa dengan berperilaku seperti itu maka mereka
akan aman dan terhindar dari ketidakpastian dalam bekerja.
Gambaran dari depersonalisasi adalah adanya sikap sinis terhadap
orang-orang yang berada dalam lingkup pekerjaan, menjaga jarak
dari lingkungan kerja, dan cenderung menarik diri serta
mengurangi keterlibatan diri dalam bekerja
c. Low Personal Accomplishment. Dimensi ini ditandai dengan
adanya perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, pekerjaan bahkan
terhadap kehidupannya. Selain itu mereka juga merasa belum
melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam hidupnya yang akan
memicu timbulnya penilaian rendah terhadap kompetensi diri dan
mampu melakukan tugas dan menganggap tugas-tugas yang
dibebankan terlalu berlebihan sehingga tidak sanggup lagi
menerima tugas baru.
Berdasarkan uraian di atas maka dimensi burnout adalah exhaustion,
depersonalization, dan low personal accomplishment.
3. Gejala Burnout
Smith, Segal, & Segal (2014), menyatakan bahwa terdapat beberapa
gejala burnout secara umum. Gejala burnout ini dapat digunakan
sebagai tanda peringatan bahwa ada sesuatu yang salah yang perlu
ditangani. Gejala burnout, yaitu :
a. Gejala fisik
1. Merasa lelah dan terkuras energinya.
2. Menurunnya kekebalan tubuh, sering sakit-sakitan seperti sakit
kepala, nyeri punggung, nyeri otot, flu, dan lain sebagainya.
3. Perubahan nafsu makan dan susah tidur.
b. Gejala emosional
1. Merasa gagal dan selalu ragu dengan kemampuan.
2. Merasa tidak berdaya dan kurang semangat.
3. Kehilangan motivasi.
4. Semakin sinis dan berfikir negatif.
c. Perilaku
1. Lari dari tanggung jawab.
2. Menunda-nunda waktu dalam menyelesaikan tugas.
3. Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan
tugas.
4. Menggunakan obat-obatan dan alkohol.
5. Frustrasi.
6. Bolos kerja atau datang terlambat dan pulang lebih awal.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Burnout.
Terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
timbulnya burnout pada karyawan :
a. Interaksi dengan client
Caputo (1991) menyatakan bahwa pekerjaan yang melibatkan
interaksi langsung dengan pelanggan dapat menimbulkan tekanan
yang berpotensi menyebabkan burnout. Karyawan biasanya
dituntut untuk dapat menunjukkan kebaikan, kesabaran, kepedulian
dan rasa hormat, bersikap sabar dan tenang dalam menghadapi
pelanggan, aktif dalam memberikan penjelasan yang dibutuhkan
pelanggan, dan efektif ketika menghadapi pelanggan dan berbagai
kebutuhannya tanpa memperdulikan rasa lelah dan marah yang
dengan pelanggan adalah perawat, dokter, penjaga perpustakaan,
dan lain-lain (Caputo, 1991; Fatmawati, 2012).
b. Beban kerja yang berlebihan
Caputo (1991) menyatakan banyaknya tanggung jawab yang
harus diterima dan banyaknya tugas-tugas yang harus ditangani
yang diberikan secara terus menerus diidentifikasikan sebagai
penyebab terjadinya burnout (Caputo, 1991; Sedjo, 2005).
c. Dukungan sosial
Dari hasil penelitian yang dilakukan Adawiyah (2013),
menyatakan adanya hubungan negatif yang sangat signifikan antara
dukungan sosial dengan kecenderungan burnout. Hal ini
menunjukkan bahwa dukungan sosial yang tinggi dapat
mendukung berkurangnya kecenderungan burnout. Karena dengan
adanya dukungan sosial yang tinggi maka individu dapat lebih baik
dalam menyelesaikan tekanan pekerjaan yang berpotensi
menimbulkan burnout.
d. Persepsi terhadap lingkungan kerja
Persepsi terhadap lingkungan kerja dengan kecenderungan
burnout telah diteliti oleh Andriani (2004) yang menunjukkan hasil
terdapat korelasi negatif antara persepsi terhadap kondisi
lingkungan kerja terhadap kecenderungan burnout pada perawat
Instalasi Gawat Darurat. Artinya semakin positif persepsi terhadap
sebaliknya. Kondisi linkungan kerja meliputi kondisi fisik
(penerangan, suhu udara atau temperatur, dan kebisingan) dan non
fisik/struktur kerja (kekaburan peran, konflik peran, beban kerja,
dan tanggung jawab).
e. Kurangnya kontrol
Banyaknya tugas yang harus dilakukan membuat seseorang sulit
menentukan prioritas, mana tugas yang harus dilaksanakan terlebih
dahulu karena seringkali banyak tugas yang harus menjadi prioritas
karena tingkat kepentingan yang sama tingginya atau karena sama
tingkat urgensinya. Ketika seseorang tidak dapat melakukan
kontrol terhadap pekerjaannya maka hal itu akan lebih mudah
memicu terjadinya burnout (Maslach & Leiter, 1997; Nurjayadi,
2004).
f. Sistem imbalan yang tidak memadai
Kurangnya keseimbangan antara imbalan (gaji, imbalan) dan
pekerjaan yang harus dilakukan karyawan akan melemahkan
semangat untuk menyukai pekerjaan dan akhirnya membuat
seseorang merasa terbelenggu dengan hal-hal rutin yang
mengakibatkan turunnya komitmen dan motivasi kerja. Hal ini
menandakan burnout mulai muncul (Maslach & Leiter, 1997;
g. Interaksi dengan rekan kerja
Dalam melaksanakan pekerjaannya, karyawan juga harus
berinteraksi dengan rekan-rekan kerja lainnya. Interaksi yang buruk
dapat memicu timbulnya tekanan yang akan menyebabkan burnout
(Caputo, 1991; Fatmawati, 2012).
h. Hilangnya keadilan
Salah satu kondisi dari sistem manajemen yang dapat
menimbulkan ketidakadilan adalah penerapan aturan yang tidak
konsisten. Ketika pekerja merasakan ketidakadilan akan timbul
berbagai reaksi dan sebagian orang dapat bereaksi dengan cara
menarik diri dan mengurangi keterlibatannya dalam pekerjaan.
Selanjutanya gejala-gejala kejenuhan kerja mulai tampak (Maslach
& Leiter, 1997; Nurjayadi, 2004).
i. Peran ambigu
Peran ambigu adalah kekaburan tanggung jawab atau harapan
dalam pekerjaan. Ketidakjelasan tujuan individu dan organisasi
atau adanya parameter dan ruang lingkup pekerjaan yang tidak
jelas dapat menyebabkan stres yang kronis yang nantinya berujung
kepada burnout (Caputo, 1991; Sedjo, 2005).
j. Konflik nilai
Sistem nilai akan mempengaruhi interaksi seseorang dengan
pekerjaannya. Dewasa ini krisis yang terjadi dalam dunia kerja
bertentangan satu sama lain. Namun seringkali pihak manajemen
melupakan kebutuhan pekerjanya. Sehingga menimbulkan konflik
atau pertentangan bagi pekerja. Tidak ada penyaluran keluhan bagi
karyawan dan akhirnya terjadi proses exhaustion. Karena mereka
merasa harus menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan
organisasi (Maslach & Leiter, 1997; Nurjayadi, 2004).
k. Kepribadian
Menurut Maslach, faktor kepribadian merupakan salah satu
faktor penting yang menentukan munculnya burnout (Maslach,
Leiter & Schaufeli, 2001; Ginting & Rahmat 2005). Hasil
penelitian Hardiyanti membuktikan bahwa orang yang memiliki
tingkat neuroticism yang tinggi lebih mungkin untuk mengalami
burnout (Hardiyanti, 2013). Hasil penelitian Adawiyah, (2013)
menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan
antara kecerdasan emosional dengan kecendrungan burnout. Orang
yang memiliki kecerdasan emosional akan mampu untuk
mengelola emosinya sehingga memungkinkan orang tersebut untuk
bertindak lebih rasional dan tentunya terhindar dari burnout. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti & Astuti (2008),
menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara kepribadian
hardiness dengan burnout. Artinya semakin rendah kepribadaian
Hardiness maka burnout pada individu cenderung semakin tinggi
menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara konsep diri
dengan tingkat burnout. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
positif konsep diri seseorang, maka semakin rendah tingkat burnout
yang dialami oleh seseorang dan sebaliknya.
l. Jenis kelamin
Schultz & Schultz (1994) mengungkapkan bahwa wanita
memperlihatkan frekuensi lebih besar untuk mengalami burnout
daripada pria, disebabkan karena seringnya wanita mengalami
kelelahan emosional (Schultz & Schultz, 1994; Sihotang, 2004).
m. Status perkawinan
Caputo (1991) menyatakan bahwa, individu yang belum
menikah lebih banyak mengalami burnout dari pada individu yang
sudah menikah. Ini dikarenakan dukungan sosial yang diterima dari
pasangan dapat membantu individu menyelesaikan tekanan
pekerjaannya (Caputo, 1991; Fatmawati, 2012).
n. Usia
Orang-orang dengan usia muda cendrung lebih rentan
mengalami burnout dari pada orang-orang dengan usia yang lebih
tua. Karena dianggap semakin banyak pengalaman bekerja
seseorang maka semakin kecil kemungkinan untuk mengalami
burnout karena sudah terbiasa untuk mengatasi tuntutan kerja
Berdasarkan uraian di atas maka faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi burnout adalah interaksi dengan client, beban kerja yang
berlebihan, dukungan sosial, persepsi terhadap lingkungan kerja,
kurangnya kontrol, sistem imbalan yang tidak memadai, interaksi
dengan rekan kerja, hilangnya keadilan, peran ambigu, konflik nilai,
kepribadian, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, dan
usia.
B. Bullying di Tempat Kerja 1. Definisi Bullying
Dalam Bahasa Indonesia, secara harfiah kata bully diartikan sebagai
penggertak atau orang yang mengganggu orang lemah. Istilah bullying dalam Bahasa Indonesia, disebut “Menyakat” yang berasal dari kata
sakat dan pelakunya (bully) disebut penyakat (Rudi, 2010).
Einarsen, Hoel, Zapf & Cooper (2003) menyatakan bahwa bullying
dapat dikatakan terjadi dengan adanya pengulangan, periode waktu
yang lama dan adanya pola perilaku.
Peneliti Devanport, Schwartz, Elliott (2005) menggunakan istilah
mobbing untuk menjelaskan bullying. Mobbing merupakan suatu
bentuk serangan emosional yang ditujukan untuk seorang individu
melalui rumor, perilaku tidak sopan, dan perilaku yang berbahaya yang
dilakukan oleh beberapa individu yang dikumpulkan oleh satu orang
tersebut keluar dari pekerjaannya (Davenport, Schwartz & Elliott, 2005;
Daniel, 2009).
Bullying di tempat kerja adalah berbagai bentuk perilaku yang
dilakukan secara berulang-ulang, sistematis, dan di tujukan pada
seorang karyawan atau sekelompok karyawan yang mana perilaku
tersebut dapat mengancam keselamatan dan kesehatan korban (Dealing
With Workplace Bullying, 2005; Guidelines on The Prevention of
Workplace Harassment, 2012).
Hoel dan Cooper (2000) juga menyatakan bahwa bullying
merupakan suatu kondisi yang mana seorang karyawan atau beberapa
karyawan secara berulang-ulang menerima perlakuan negatif dari
seseorang atau beberapa orang karyawan selama periode waktu tertentu
dan target bullying sendiri mengalami kesulitan dalam membela dirinya
sendiri atas perilaku yang diterimanya.
Peyton (2003) mendefinisikan bullying sebagai perilaku yang
negatif, menyinggung dan mengancam keamanan seseorang yang
nantinya akan mengakibatkan stres. Perilaku tersebut biasanya
bertujuan untuk menyakiti korban. Korban bullying sering tidak
menyadari bahwa mereka sedang di ganggu. Mereka sering berfikir
bahwa mereka adalah satu-satunya orang yang terus melakukan
kesalahan dan mereka biasanya menyadari bahwa ada sesuatu yang
salah dengan mereka. Mereka biasanya takut untuk melaporkan hal
Berdasarkan penjelasan di atas, bullying di tempat kerja merupakan
segala bentuk perilaku yang bersifat negatif yang dilakukan secara
berulang-ulang, sistematis, dan ditujukan kepada seorang karyawan
atau sekelompok karyawan yang mana perilaku tersebut bertujuan
untuk membuat korban tersakiti dan keluar dari pekerjaannya, perilaku
tersebut dimulai dari menyebarkan rumor sampai melakukan tindakan
yang berbahaya pada target bullying yang nantinya semua perilaku itu
dapat mengancam keselamatan dan kesehatan korban.
2. Pihak-pihak yang terlibat didalam bullying
Pihak-pihak yang terlibat dalam bullying ada tiga (Johnson &
Johnson, 2007), yaitu: (i) Bully, yaitu orang yang terus menerus
melakukan perilaku bullying contohnya seperti menyakiti secara verbal
maupun non verbal. (ii) Victim, yaitu target yang dikenakan perilaku
bullying dan (iii) Bystanders, yaitu korban yang menyaksikan terjadinya
perilaku bullying.
3. Indikator Perilaku Bullying
Dalam penelitian ini alat yang digunakan untuk mengukur bullying
adalah NAQ-R yang dikembangkan oleh Einarsen, Hoel & Notelaers,
(2009). Einarsen, Hoel & Notelaers (2009) menyatakan bahwa NAQ-R
mengukur satu persatu dari indikatornya. Einarsen, Hoel & Notelaers
(2009) menyatakan bahwa terdapat tiga Indikator bullying :
a. Work-related bullying: Perilaku atau tindakan negatif yang terkait
dengan pekerjaan. Perilaku ini juga merupakan perilaku yang
menimbulkan kesulitan saat melaksanakan pekerjaan. Seperti
memberikan tugas dengan deadline yang tidak memungkinkan,
memberikan tugas diluar kemampuan korban, dan lain-lain.
b. Person-related bullying: Perilaku atau tindakan negatif yang terkait
dengan target. Seperti menyebarkan gosip mengenai korban,
mengejek korban, dan lain-lain.
c. Physical intimidation bullying : Perilaku atau tindakan negatif yang
berkaitan dengan intimidasi fisik. Contohnya, memberikan perilaku
intimidasi seperti mendorong, menunjuk-nunjuk korban, atau
menghalangi jalannya, dan lain-lain.
.
4. Dampak bullying
Setiap individu akan bereaksi secara berbeda terhadap bullying.
Reaksi yang dialami korban bullying pada umumnya (Bullying At
Work: A Guide For Employees, 2009; Oade, 2009):
a. Cemas, panik dan susah tidur.
b. Mengalami gangguan konsentrasi dan gangguan dalam membuat
keputusan.
d. Merasa terisolasi.
e. Mengalami resiko bunuh diri.
f. Depresi.
g. Mengalami penurunan harga diri.
h. Mengalami keluhan fisik seperti mual-mual, sakit kepala, dan sakit
punggung.
i. Marah tanpa alasan yang jelas.
C. Pengaruh Bullying Di Tempat Kerja Terhadap Burnout Pada Kayawan Menurut hasil studi Cordes & Dougherty (1993), burnout dapat
memberikan dampak negatif terhadap pekerja antara lain penurunan kinerja
pekerja, penurunan kepuasan kerja, peningkatan tingkat absen dan juga
turnover. Dampak-dampak ini nantinya akan mempengaruhi produktifitas
perusahaan (Cordes & Dougherty, 1993; Advani, Sarang, Kumar, & Rohtas,
2005).
Menurut Caputo (1991), banyak sekali faktor-faktor yang dapat turut
menyebabkan burnout diantaranya yaitu idealisme yang tinggi,
overcommitment, single mindedness, kurangnya kontrol dalam bekerja,
banyak berhadapan dengan publik, peran ambigu, beban kerja berlebihan
yang diberikan secara terus menerus dan kurangnya personal support
(Caputo, 1991; Sedjo, 2005). Lovell & Lee (2011), menyatakan bahwa
burnout dapat juga merupakan hasil dari bullying di tempat kerja (Lovell &
Bullying memiliki konsekuensi yang merugikan bagi korbannya. Korban
bullying dilaporkan menghasilkan masalah psikologis seperti
ketidakberdayaan (Mathiesen & Einarsen, 2004; Mikkelsen & Einarsen,
2002; Aydin, 2012) dan masalah kesehatan fisik seperti sakit kepala dan
insomnia (Workplace Bullying Institute, 2012). Masalah psikologis seperti
ketidakberdayaan serta masalah kesehatan fisik seperti sakit kepala dan
insomnia merupakan ciri dari salah satu dimensi burnout yaitu dimensi
exhaustion (Maslach, Leiter & Schaufeli, 2001).
Selanjutnya, korban bullying dilaporkan sering tidak masuk kerja
(Agervold & Mikkelsen, 2004; Gardner, dkk, 2009) Sering tidak masuk
kerja merupakan suatu bentuk jaga jarak dari lingkungan kerja yang masuk
kedalam salah satu ciri dimensi burnout yaitu depersonalisasi. Ketika
mengalami depersonalisasi, individu akan menjaga jarak dari lingkungan
kerja (Maslach, Leiter & Schaufeli, 2001).
Selain itu, Oade (2009) juga menyatakan bahwa korban bullying dapat
mengalami penurunan harga diri yang mana individu menganggap dirinya
tidak memiliki kemampuan yang baik dalam pekerjaannya. Hal ini tentunya
mirip dengan ciri dari dimensi burnout yaitu low personal accomplishment.
Ketika mengalami low personal accomplishment mereka akan membuat
penilaian yang rendah terhadap kompetensi diri dan pencapaian
Einarsen, Hoel & Notelaers (2009) mengatakan bahwa
indikator-indikator bullying terdiri dari work-related bullying, person-related bullying
dan physical intimidation bullying.
Indikator pertama dari bullying adalah work-related bullying.
Work-related bullying dapat meliputi memberikan tugas dengan deadline yang
tidak memungkinkan dan memberikan tugas diluar kemampuan korban
(Einarsen, Hoel & Notelaers, 2009). Hal ini tentunya akan membuat
individu yang bersangkutan mengalami tekanan. Tekanan yang
terus-menerus menyerang akan menyebabkan gejala fisik dan emosional pada
korbannya (Donnellan, 2006). Contoh dari gejala yang dialami dapat berupa
frustrasi, tidak beraya, putus asa, insomnia, sinis terhadap orang-orang
dalam lingkungan kerja dan merasa tidak memiliki kompetensi diri yang
baik. Frustasi, tidak berdaya, putus asa dan insomnia merupakan beberapa
ciri dari salah satu dimensi burnout yaitu exhaustion, selanjutnya bersikap
sinis terhadap orang-orang dalam lingkungan kerja merupakan ciri dari
salah satu dimensi burnout yaitu depersonalisasi, dan merasa tidak memiliki
kompetensi diri yang baik merupakan ciri dari salah satu dimensi burnout
yaitu low personal accomplishment (Maslach, Leiter & Schaufeli, 2001).
Indikator kedua dari bullying adalah person-related bullying. Contoh dari
person-related bullying adalah menyebarkan gosip dan mengejek korban
(Einarsen, Hoel & Notelaers, 2009). Hal ini tentunya akan membuat
individu yang bersangkutan mengalami rasa sedih, tertekan, frustrasi, sakit
tertekan, frustrasi dan sakit kepala merupakan salah satu ciri dari dimensi
burnout yaitu exhaustion. Selanjutnya sinis merupakan salah satu ciri dari
dimensi burnout yaitu depersonalization, dan merasa tidak puas dengan diri
sendiri merupakan ciri dari salah satu dimensi burnout yaitu low personal
accomplishment (Maslach, Leiter, Schaufeli, 2001).
Indikator ketiga dari bullying adalah physical intimidation bullying.
Contoh dari physical intimidation bullying adalah memberikana perilaku
intimidasi seperti mendorong korban, menunjuk-nunjuk korban,
menghalangi jalannya serta memberikan ancaman kekerasan (Einarsen,
Hoel & Notelaers, 2009). Hal ini tentunya akan menimbulkan rasa tidak
berdaya, tertekan, insomnia, sinis, dan merasa tidak puas dengan
pekerjaannya. Rasa tidak berdaya, tertekan, dan insomnia merupakan salah
satu ciri dari dimensi burnout yaitu exhaustion, selanjutnya sinis merupakan
salah satu ciri dari dimensi burnout yaitu depersonalization, dan selanjutnya
merasa tidak puas dengan pekerjaannya merupakan salah satu ciri dari
dimensi burnout yaitu low personal accomplishment (Maslach, Leiter,
Schaufeli, 2001).
D. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan uraian teoritis di atas maka hipotesa yang diajukan dalam
penelitian ini adalah “ada pengaruh positif bullying di tempat kerjaterhadap
burnout pada karyawan”. Hipotesa di atas mengandung pengertian bahwa
Selain itu, terdapat tiga hipotesis lainnya yang juga ingin dibuktikan
didalam penelitian ini berkaitan dengan bullying di tempat kerja, yaitu :
1. Ada pengaruh positif work-related bullying terhadap burnout pada
karyawan. Work-related bullying dapat meningkatkan burnout pada
karyawan.
2. Ada pengaruh positif person-related bullying terhadap burnout pada
karyawan. Person-related bullying dapat meningkatkan burnout pada
karyawan.
3. Ada pengaruh positif Physical intimidation bullying terhadap burnout
pada karyawan. Physical intimidation bullying dapat meningkatkan