• Tidak ada hasil yang ditemukan

Emisi gas metana tertinggi pada 7 hari setelah pemupukan terdapat pada perlakuan Urea Tebar 100% sebesar mg CH 4 /m 2 /jam.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Emisi gas metana tertinggi pada 7 hari setelah pemupukan terdapat pada perlakuan Urea Tebar 100% sebesar mg CH 4 /m 2 /jam."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAHASAN

Pemupukan merupakan suatu kegiatan penambahan hara ke dalam tanah untuk meningkatkan kadar hara tanah. Kadar hara tanah ditingkatkan untuk mendukung suplai hara ke dalam tanaman.

Peubah vegetatif dan generatif selama ini masih menjadi tolak ukur keberhasilan pemupukan tanaman. Namun seiring kesadaran lingkungan, pengamatan terhadap tingkat emisi dan pengaruhnya terhadap tanah menjadi sesuatu yang ikut dipertimbangkan.

Pertumbuhan

Peubah pertumbuhan vegetatif berupa tinggi tanaman dan jumlah daun menunjukkan perlakuan pupuk Bungkil Benam 100% memberikan hasil terbaik. Tinggi tanaman yang dihasilkan oleh perlakuan Bungkil Benam 100% mencapai 123.41 cm atau dengan pertambahan hingga 73.41 cm. Hasil penelitian ini menguatkan penelitian sebelumnya tentang pengaruh pupuk nitrogen pada tanaman jarak pagar. Romli et al. (2006) menyatakan bahwa tinggi tanaman dan jumlah cabang dipengaruhi oleh dosis pupuk N dan dosis pupuk P2O5 tetapi tidak dipengaruhi oleh dosis pupuk K2O. Perhitungan jumlah cabang menunjukkan bahwa jumlah cabang tersier terbanyak dihasilkan dari perlakuan pupuk Urea Tebar 100% dengan jumlah cabang sebanyak 20.6 cabang/tanaman. Namun hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan pupuk Bungkil Benam 100%.

Penggunaan bungkil 100% juga menghasilkan peubah generatif terbaik yaitu persentase tanaman berbunga yang mencapai 80 % pada minggu ke-12. Hal ini juga didukung oleh jumlah cabang produktif yang tidak berbeda nyata dengan hasil penggunaan pupuk Urea Tebar 100%.

Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan bungkil 100% mampu menggantikan penggunaan pupuk urea baik aplikasi tebar atau aplikasi benam. Peningkatan dosis pupuk N dari 0 hingga 90 kg N/ha dapat meningkatkan tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah tandan, jumlah buah, berat 100 biji, dan hasil biji sebesar 122.18 kg/ha panen pertama (tahun pertama) (Romli et al. 2006).

(2)

Pengaruh unsur N terlihat sangat nyata pada pertumbuhan vegetatif tanaman terutama pada pertambahan jumlah daun dan biomassa yang terbentuk. Pemberian pemupukan nitrogen mampu memberikan pengaruh positif pada peningkatan jumlah daun yang akhirnya meningkatkan kapasitas penyerapan CO2 dan simpanan C tanaman.

Panen

Hasil analisis menunjukkan bahwa hasil jumlah buah terbanyak dihasilkan dari perlakuan pupuk Urea Tebar 100% sebanyak 28.56 buah. Hasil ini tidak berbeda dengan perlakuan urea benam 100%, Bungkil Tebar 100%, Bungkil Benam 50%, Bungkil Benam 100%, dan Slow Release Tebar 100% maupun 50%. Bila pada populasi 2 500 per ha, hasil ini lebih tinggi dari penelitian yang dilakukan Romli et al. (2006) yang pada dosis yang sama yang hanya menghasilkan jumlah buah 22.95 buah.

Peubah bobot buah dan jumlah biji dipengaruhi oleh perlakuan pemupukan. Bobot buah terbanyak diperoleh dari penggunaan pupuk Urea Tebar 100% sebanyak 147.01 g/tanaman. Jumlah biji terbanyak juga dihasilkan dari perlakuan Urea Tebar 100% sebanyak 75 biji/pohon. Hasil tertinggi bobot buah dan jumlah biji pada perlakuan Urea Tebar 100%, tidak berbeda dengan perlakuan urea benam 100%, Bungkil Tebar 100%, Bungkil Benam 50%, Bungkil Benam 100%, dan Slow Release Tebar 100% maupun 50%.

Hasil perhitungan bobot kering biji selama 5 bulan menunjukkan bahwa penggunaan pupuk Urea Tebar 100% memberikan bobot biji kering tertinggi sebesar 70.64 kg/ha selama 5 bulan. Hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan urea benam 100%, Bungkil Tebar 100%, Bungkil Benam 50%, Bungkil Benam 100%, slow release Urea Tebar 50% dan slow Release Urea Tebar 100%.

Hasil produksi tergolong rendah dikarenakan kondisi lahan dengan ketersediaan unsur P dan K yang rendah. Unsur fosfor sangat diperlukan oleh tanaman untuk pembentukan bunga dan buah. Unsur P yang tinggi di lahan berkapur lebih banyak terikat oleh unsur Ca membentuk Ca-P.

(3)

Diurnal Change

Hasil pengukuran siklus harian gas CH4 dan N2O menggambarkan nilai yang berfluktuasi tergantung pada waktu pengambilan sampel. Emisi CH4 mengalami kenaikan setelah matahari terbit, selanjutnya mengalami nilai yang menurun hingga naik menjelang tengah malam. Pola emisi CH4 yang dihasilkan sedikit berbeda dengan penelitian sebelumnya. Aulakh et al. (2001) menyatakan bahwa pada siklus harian, tingkat emisi CH4 umumnya meningkat dengan cepat setelah matahari terbit, mencapai puncak pada awal sore dan menurun dengan cepat serta mendatar pada malam hari. Buendia et al. (1997) melaporkan bahwa pola emisi diurnal flux CH4 relatif sama pada berbagai lokasi pada iklim yang sama dan tergantung pada fenologi tanaman.

Emisi N2O meningkat mulai dari matahari terbit, mulai menurun hingga tengah hari dan naik kembali menjelang sore. Saat matahari terbenam, emisi N2O mulai menurun hingga kisaran rendah yang stabil hinga matahari terbit. Emisi N2O harian menunjukkan adanya dua puncak yang terjadi pada siang hari. Hasil korelasi emisi N2O dan suhu menunjukkan tidak adanya korelasi. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Penurunan suhu dapat menurunkan tingkat emisi N2O. Hal ini dikarenakan suhu merupakan faktor utama dalam pengaturan proses nitrifikasi dan denirifikasi (Bing et al. 2006).

Emisi Gas CH4

Emisi gas CH4 dan N2O ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya pH, Eh, dan kadar hara. Analisis emisi pada hari ke-7 dan ke-14 setelah aplikasi pemupukan menunjukkan pengaruh pupuk yang berbeda nyata terhadap emisi CH4 dan N2O.

Emisi pada hari ke-3 dan ke-5 tidak berbeda kemungkinan dikarenakan reaksi enzimatik yang memang memerlukan waktu dan kondisi substrat yang dimanfaakan bakteri masih dalam kondisi yang melebihi kemampuan dalam menghasilkan CH4 dan N2O dari bahan yang ada. Emisi gas berbeda nyata mulai 7 hari setelah perlakuan, kemungkinan karena kondisi substrat sudah mulai berbeda sehingga tingkat emisi mulai berbeda.

(4)

Emisi gas metana tertinggi pada 7 hari setelah pemupukan terdapat pada perlakuan Urea Tebar 100% sebesar 1.126 mg CH4/m2/jam. Emisi CH4 terbentuk melalui proses reduksi gas karbon dioksida yang terjadi dalam suasana reduksi. Proses pembentukan metana melibatkan organism methanogen. Methanogen adalah organisme uniseluler anaerobik yang awalnya digolongkan sebagai bakteri namun saat ini digolongkan sebagai archea (Garcia 1990; Woese et al. 1990).

Emisi gas metana tertinggi pada 14 hari setelah pemupukan terdapat pada perlakuan Bungkil Tebar 50%. Hasil uji korelasi menujukkan bahwa kadar amonium berkorelasi posiif dengan emisi gas CH4 pada hari ke-14 setelah pemupukan (p: 0.0487; r: 0.55565). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar amonium akan semakin tinggi pula emisi CH4 yang dihasilkan. Seluruh methanogen menggunakan NH4+ sebagai sumber nitrogen, meskipun kemampuan untuk menangkap molekul nitrogen dan gen nif terdapat pada ketiga ordo metanogen (Methanobacteriales, Methanococcales and Methanomicrobiales) (Palmer dan Reeve 1993).

Berbagai penelitian sebelumnya juga menguatkan pengaruh amonium terhadap peningkatan emisi CH4. Amonium merupakan penghambat penting dalam proses oksidasi CH4 (Bender dan Conrad 1994; King dan Schnell 1994; Boeckx dan Van Cleemput 1996; Hanson dan Hanson 1996; Hütsch et al. 1996; Kravchenko et al. 2002). Dengan semakin tingginya amonium, penghambatan dalam proses oksidasi CH4 semakin tinggi sehingga emisi CH4 makin tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa penghambatan amonium menjadi faktor penting yang dapat meningkatkan emisi CH4 (Scheutz dan Kjeldsen 2004).

Pemupukan N dapat mengurangi serapan CH4 yang berarti meningkatkan emisi bersih CH4 (Steudler et al. 1989; Castro et al. 1994; Jassal et al. 2011). Hal ini dikarenakan oksidasi CH4 oleh methanotrop dihambat oleh N khususnya amonium (Bodelier dan Laanbroek 2004; Steudler et al. 1989; Willison et al. 1995) melalui interaksi kompeitif amonim terhadap sisi aktif enzim MMO (methane monooxygenase) (Hanson dan Hanson 1996). Kemampuan bakteri nitrifikasi untuk mengoksidasi CH4 berkurang pada konsentrasi amonium ≥ 15 ppm (Jones dan Morita 1983).

(5)

Emisi gas CH4 pada hari ke-14 setelah terdapat pada perlakuan mencapai 1.521 mg CH4/m2/jam. Sedangkan bila dilihat dari rata-rata harian, pengunaan pupuk Urea Benam 100% mampu mengasilkan emisi hingga 0.909 mg CH4/m2/jam atau kehilangan C sebesar 0.163 kg/ha/hari dari emisi CH4.

Emisi gas CH4 pada lokasi penelitian ini tergolong rendah dengan rata-rata harian mencapai 0.612 mg CH4/m2/jam atau 14.697 mg CH4/m2/hari. Nilai emisi ini lebih rendah dari emisi CH4 di lahan padi sebesar 18.0 hingga 27.1 mg CH4 /m2/jam di Indonesia (Nugraho et al. 1994), 19.5 hingga 32.2 mg CH4/m2/jam di Thailand (Yagi et al. 1994) dan di daerah Srilangka yang mencapai 0.85-2.2 g CH4/m2/hari (Namaratne, 1997). Penelitian di negara Srilangka lainnya dengan aplikasi pupuk organik dan pupuk kimia pada lahan padi juga menunjukkan emisi yang lebih tinggi yaitu mencapai 0.79-0.84 g CH4/m2/hari (Sirisena et al. 2004). Pengukuran terhadap emisi di lahan padi sawah juga dilakukan oleh Paretta (2009) dengan kisaran nilai emisi harian sebesar -2.169 – 0.623 mg CH4/m2/jam, sedangkan fluks gas metana pada pola penanaman padi PTT mencapai 417.3 mg CH4/m2/hari (non PTT tergenang) dan 207.2 mg CH4/m2/hari (PTT tergenang) (Isminingsih 2009). Emisi CH4 memiliki nilai yang rendah pada lahan kering (Silva et al. 2011) karena CH4 dapat dikonsumsi oleh methanotrop tanah (McLain dan Martens 2006).

Kadar air tidak berkorelasi dengan emisi gas CH4. Wu et al. (2010) menyatakan bahwa tingkat flux CH4 pada lahan kering lebih dominan dipengaruhi oleh suhu, hanya panda kondisi ekstrim rendah (stress kekeringan) dan ekstrim tinggi (hambatan difusi gas) kadar kelembaban tanah memiliki pengaruh yang kuat. Namun von Fischer dan Hedin (2007) menyatakan bahwa peningkatan kelembaban tanah pada lahan kering menyebabkan terjadinya peningkatan flux CH4.

Nilai pH pada penelitian ini tidak menunjukkan pengaruh dan tidak berkorelasi dengan emisi CH4 yang dihasilkan. Hal ini disebabkan hasil pengamatan masih dalam kisaran yang sama dalam rentang yang baik bagi pertumbuhan bakteri penghasil gas CH4. Nilai pH optimum untuk produksi CH4 adalah 6.6-68 (Whittenbury et al. 1970) atau 7.5-8.5 (Parashar et al. 1991). Produksi CH4 pada lahan padi sawah tergenang sangat sensitif terhadap pH

(6)

dengan nilai optimum berada pada kisaran 6.7 dan 7.1 (Wang et al. 1993). Pengaruh pH tanah terhadap produksi CH4 bervariasi pada empat jenis tanah di India namun mencapai maksimum pada pH sekitar 8.2 (Parashar et al. 1991).

Nilai potensial redoks (Eh) yang teramati pada penelitian ini berada pada kisaran -2.73 hingga -43.45 mV. Nilai ini lebih besar dari kondisi reduksi yang memacu inisiasi pembentukan CH4 pada lahan sawah yaitu -100 hingga -200 mV (Yagi dan Minami 1990). Masscheleyn et al. (1993) juga mengemukakan bahwa pada proses inkubasi tanah sawah, CH4 terbentuk pada potensial redoks -150 mV. CH4 dapat diproduksi pada lahan padi pada kisaran -150 hingga -160 mV (IPCC 2001). Nilai potensial redoks pada kisaran -100 mV hingga +200 mV seharusnya dapat mengurangi tingkat emisi CH4 dikarenakan kisaran ini terlalu tinggi bagi produksi CH4 (Hou et al. 2000). Namun, adanya emisi CH4 yang muncul pada kondisi Eh tinggi di atas -100 mV juga dialami pada penelitian yang dilakukan oleh Paretta (2009). Paretta (2009) mengamati adanya emisi gas CH4 di lahan sawah sebesar - 2.169 – 0.623 mg CH4/m2/jam pada kondisi Eh sebesar -133.38 – 31.38 mV.

Pengaruh pupuk terhadap emisi CH4 pada hari ke-7 dan hari ke-14 menunjukkan pola yang berbeda. Hal ini menunjukkan pola yang tidak konsisten pada waktu yang berbeda. Pengaruh pupuk N bervariasi terhadap emisi CH4. Pemberian pupuk urea memiliki pengaruh yang sangat kecil terhadap emisi CH4 (Silva et al. 2011). Pemupukan nitrogen tidak mempengaruhi flux CH4 (Kettunen

et al. 2005). Aplikasi pupuk urea mampu meningkatkan flux CH4 yang

kemungkinan disebabkan oleh peningkatan pH yang mengikuti hidrolisis urea dan penurunan potensial redoks, yang menstimulasi aktivitas methanogenik (Wang et al. 1993).

Emisi Gas N2O

Emisi gas dinitrogen oksida dapat diproduksi oleh tanah baik melalui proses denitrifikasi pada kondisi anoxia atau melalui nitrifikasi dengan kehadiran O2 (Duxbury et al. 1982). Namun, emisi gas N2O tertinggi dihasilkan pada kondisi anoxia dalam proses denitrifikasi. Nitrifikasi menjadi sumber utama N2O pada konsentrasi O2 lebih besar dari 0.35 kPa (Khalil et al. 2004).

(7)

Emisi gas N2O pada hari ke-7 setelah perlakuan menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan kontrol pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan pupuk nitrogen mampu meningkatkan emisi N2O (Jassal et al. 2011). Dengan penambahan sumber nitrogen, pemberian pupuk mampu meningkatkan emisi gas N2O dari tanah, dengan jumlah gas yang diproduksi dikontrol oleh beberapa faktor, seperti kegiatan budidaya, kondisi iklim dan karakteristik tanah (Aulakh et al. 1992).

Pengamatan emisi pada hari ke-14 setelah pemupukan menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar nitrogen akan meningkatkan emisi. Tingginya kadar NH4+ dan NO3- mampu meningkatkan emisi gas N2O (Bing et al. 2006). Tingginya kadar NO3- juga berperan penting dalam meningkatkan emisi N2O (Yagi et al. 1997; Luo et al. 1999; Woodward et al. 2009) dikarenakan mampu mendukung proses denitrifikasi (Yagi et al. 1997). Hal ini terlihat dari tingkat emisi pada keseluruhan penggunaan dosis 100% pada ketiga jenis pupuk (urea tebar, urea benam, bungkil tebar, bungkil benam dan slow release tebar) memiliki tingkat emisi yang tinggi melebihi 4.522 mg N2O/m2/jam. Bila dilihat dari jumlah NH4+ dan NO3-, penggunaan pupuk dosis 50% memiliki nilai yang tinggi melebihi 220 ppm kecuali pada perlakuan slow release tebar 50%. Tingginya tingkat emisi ini dapat menunjukkan lemahnya daya serap tanaman (Bing et al. 2006).

Ketersediaan NO3 - menjadi sangat penting dalam proses denitrifikasi yang berperan dalam menghasilkan emisi gas N2O. Proses denitrifikasi melibatkan bakteri fakultatif anaerob yang mampu menggunakan NO3- sebagai aksepor elektron proses respirasi pada kondisi oksigen yang rendah atau kondisi anaerob (Hochstein dan Tomlinson 1988).

Emisi gas N2O tertinggi pada hari ke-14 terdapat pada perlakuan Slow Release Benam 100%. Hal ini dikarenakan kadar nitrogen yang ketersediaanya lebih tinggi. Aplikasi pupuk dengan metode benam dan jenis pupuk slow release memungkinkan ketersediaan pupuk yang lebih lama.

Emisi gas N2O tertinggi pada hari ke-14 setelah pemupukan dicapai oleh penggunaan pupuk Slow Release Benam 100% sebesar 5.913  mg N2O/m2/jam atau 141.919 mg N2O/m2/hari. Bila dilihat dari rataan emisi harian, pengunaan pupuk Slow Release Benam 100% menghasilkan emisi gas N2O tertinggi

(8)

mencapai 1.913 mg N2O/m2/jam. Hasil ini menujukkan bahwa dengan aplikasi nitrogen sebesar 72 kg N/ha, kehilangan N dari emisi gas N2O dapat mencapai 0.146 kg N/ha/hari. Nilai emisi ini lebih tinggi hingga 16 kali lipat dibandingkan tingkat emisi yang dihasilkan dari lahan budidaya jagung di China yang memiliki emisi harian hanya mencapai 0.121 mg N2O/m2/jam dan 46 kali lebih tinggi dibandingkan tingkat emisi yang dihasilkan oleh lahan budidaya kedelai di China dengan emisi harian 0.0425 mg N2O/m2/jam (Chen et al. 1997). Emisi yang dihasilkan dari penelitian ini juga lebih tinggi dibandingkan emisi rataan yang dihasilkan dari lahan padi dengan penggenangan kontinyu di Filipina yang hanya mencapai < 2 mg N2O/m2/hari (Abao et al. 2000). Pengamatan terhadap emisi gas N2O lainnya yang dilakukan di lahan padi sawah oleh Paretta (2009) menghasilkan tingkat emisi harian pada kisaran nilai -351.86 – 220.60 μg N/m2/jam atau sebesar 0.693 - 1.106 mg N2O/m2/jam.

Penggunaan pupuk slow release 100% memberikan hasil tingkat emisi N2O yang lebih tinggi pada hari ke-14. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan dengan aplikasi pupuk urea slow release. Bing et al. (2006) menyatakan bahwa penggunaan pupuk urea bersalut polimer (polymer-coated urea) memberikan tingkat denitrifikasi dan flux N2O yang lebih tinggi pada pertanaman kubis setelah 20 hingga 40 hari setelah penanaman. Sedangkan penggunaan pupuk urea menghasilkan puncak denitrifikasi dan emisi N2O setelah aplikasi pupuk nitrogen. Penggunaan pupuk urea bersalut polimer (polymer-coated urea) tidak menunjukkan pengaruh dalam pengurangan kehilangan denitrifikasi dan emisi gas N2O.

Emisi gas N2O pada pengamatan hari ke-3 hingga hari ke-14 menunjukkan peningkatan. Puncak emisi N2O diperoleh pada hari ke-14 dan mungkin juga dapat berlanjut. Hal ini berbeda dengan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan. Puncak emisi gas N2O terjadi segera setelah pemberian pupuk N pada musim tanam jagung (Yuan et al. 2006) atau pada penanaman kubis (Bing et al. 2006). Flux N2O tertinggi juga terjadi segera setelah pemupukan pada kondisi kadar air yang tinggi dan terutama pada awal musim tanam saat tidak terjadi kompetisi N vegetatif (Kettunen et al. 2005). Tingkat emisi yang rendah pada saat awal, mungkin terjadi karena pengaruh kadar air yang rendah sehingga kadar

(9)

oksigen tanah menjadi lebih tinggi yang menghambat proses denitrifikasi. Pada konsentrasi O2 yang lebih tinggi, metabolisme aerobik dari denitrifier akan terpacu dan terjadi penghambatan nitrogen oksida reduktase sehingga proses reduksi NO3- tidak dapat terjadi (Knowles 1982; Wrage et al. 2001). Hal ini juga dapat terjadi karena tingginya kadar NO3- dalam tanah. Kadar NO3- yang relatif tinggi memungkinkan dalam menghambat proses reduksi N2O (Zou et al. 2006).

Penggunaan pupuk Bungkil Benam 100% yang sebelumnya menghasilkan pertumbuhan dan produksi tinggi, dari segi emisi terlihat bahwa emisi N2O tergolong tinggi. Hal ini didukung oleh kadar nitrat yang tinggi. Perkembangan N2O berhubungan dengan ketersedian NO3- dalam tanah. Kadar air akan mempengaruhi ketersediaan substrat dalam proses nitrifikasi dan denitrifikasi, seperti pertukaran O2 dan N2O antara tanah dan atmosfer (Petersen et al. 2008).

Banyaknya N2O yang diemisikan akan lebih tinggi bila pH rendah. Hal ini dikarenakan N2O reduktase akan terhambat pada pH rendah (Knowles 1982). Nilai pH optimum untuk proses denitrifikasi bervariasi tergantung sifat tanah. Namun, pada pH diatas 7, N2 merupakan gas penting yang dihasilkan pada proses denitrifikasi dibandingkan N2O (Simek et al. 2002). Pengamatan pH setelah 2 minggu aplikasi pupuk terlihat tidak terdapat pengaruh pemupukan terhadap kadar pH tanah. Hal ini dikarenakan rentang pH yang sama pada nilai yang masih memungkinkan produksi gas N2O. Nilai pH yang optimum untuk pembentukan gas N2O adalah 8.5, dengan penurunan yang tajam pada nilai dibawah 6.5 (Heynes dan Knowles 1984) walaupun masih memungkinkan hingga pH 3.5 (Aulakh et al. 1992).

Kadar air pada pengamatan minggu ke-2 setelah aplikasi pupuk tidak menunjukkan adanya korelasi terhadap tingkat emisi N2O. Begitu juga dengan nilai potensial redoks tanah. Perbedaan nyata pada peubah kadar air hanya disebabkan oleh aplikasi pupuk yang berbeda. Hal ini berbeda dengan Maag dan Vinther (1996) yang menyatakan bahwa persentase N2O-N yang diproduksi akan meningkat dengan peningkatan kelembaban tanah dan menurun dengan peningkatan suhu. Perubahan kelembaban tanah menstimulasi nitrifikasi (melalui pengeringan tanah) dan denitrifikasi (melalui peningkatan air tanah) dan oleh

(10)

karenanya meningkatkan emisi N2O (Bronso et al. 1997; Zheng et al. 1997; Abao et al. 2000).

Nilai potensial redoks (Eh) yang teramati pada penelitian ini berada pada kisaran -2.73 hingga -43.45 mV. Produksi N2O secara signifikan terjadi pada potensial redoks diatas +250 mV (Masscheleyn et al. 1993), sedangkan dibawah +200 mV tidak signifikan (Hou et al. 2000). Potensial redoks dalam kisaran -100mV hingga +200 mV seharusnya dapat menurunkan tingkat emisi N2O dikarenakan nilai ini lebih sesuai untuk produksi N2 dibandingkan N2O (Hou et al. 2000).

Pola Emisi Harian

Hasil pengamatan pola emisi harian terlihat bahwa pada tren emisi gas CH4 dan N2O memiliki pola yang berbeda. Emisi CH4 menunjukkan pola yang diawali dengan kenaikan emisi, penurunan, kemudian pada hari ke-14 mengalami kenaikan. Apabila dilihat dari peubah lingkungan yang teramati, terlihat bahwa tren yang sama dimiliki oleh suhu tanah. Suhu tanah dan tingkat emisi memiliki tren yang sama walaupun hasil uji korelasi menunjukkan nilai yang tidak signifikan (p: 0.177; r: 0.822). Emisi CH4 sangat responsif terhadap suhu. Suhu tidak hanya memiliki pengaruh terhadap produksi CH4 itu sendiri namun juga mempengaruhi dekomposisi bahan organik yang digunakan oleh methanogen (Chin dan Conrad 1995). Wassman et al. (1998) mengamati tingkat produksi CH4 yang lebih cepat dan nilai maksimum yang lebih tinggi pada peningkatan suhu antara 25 dan 35oC. Hattori et al. (2001) mencatat suhu optimum sebesar 40oC untuk produksi CH4 pada daerah persawahan Jepang yang disebabkan populasi methanogen yang dominan pada suhu tersebut.

Suhu tanah yang teramati memiliki kisaran 28.37-30.32 oC. Hal ini merupakan kisaran yang masih memungkinkan produksi CH4. Kebanyakan methanogen adalah mesofilik, dan dapat berfungsi pada kisaran suhu 20-40oC (Topp dan Pattey 1997). Peubah lingkungan lainnya seperti suhu udara, radiasi matahari dan kadar air, tidak menunjukkan tren yang berhubungan dengan emisi CH4. Radiasi dan suhu udara yang teramati memiliki korelasi positif yang nyata (p:0.020; r:0.979).

(11)

Emisi N2O tidak menunjukkan tren maupun korelasi pada keseluruhan peubah lingkungan yang diamati. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan pada lokasi pengamatan tidak menunjukkan pengaruh terhadap emisi N2O. Fluktuasi Peubah Tanah Pada berbagai Kedalaman

Kadar nitrogen diamati juga setelah 5 bulan aplikasi pemupukan pada berbagai kedalam. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis pupuk masih mempengaruhi simpanan nitrogen anorganik dalam tanah. Penggunaan pupuk bungkil benam masih memberikan ketersediaan nitrogen yang lebih tinggi dibandingkan pupuk slow release urea dan urea benam. Penggunaan pupuk bungkil juga memberikan nilai pH yang lebih tinggi dan kadar air yang lebih tinggi. Kadar air yang lebih tinggi mencipatakan kondisi Eh yang lebih rendah.

Apabila dilihat dari tingkat kedalaman lapisan tanah, terlihat bahwa semakin dalam lapisan tanah, nilai pH semakin menurun. Penurunan nilai pH diikuti oleh kenaikan nilai Eh tanah. Hal ini dikarenakan pH dan Eh tanah memiliki korelasi nyata negatif ( p<.0001; r : -0.84013). Namun pada kedalaman yang berbeda ini, kadar air tidak menjadi faktor pembeda antar kedalaman. Kadar nitrat dan amonium antar kedalaman juga tidak berbeda. Hal ini kemungkinan disebabkan pada kedalaman hingga 60 cm masih merupakan zona perakaran atau rhizosfer tanaman jarak, sehingga ketersediaan hara masih tinggi.

Kadar amonium tidak berbeda pada saat pengamatan 2 minggu hingga pengamatan lima bulan setelah perlakuan. Namun, kadar nitrat menunjukkan tingkat penurunan yang sangat signifikan. Hal ini dikarenakan nitrat merupakan unsur yang sangat mudah tercuci. Nitrat memiliki muatan negatif yang sama dengan muatan liat tanah.

Analisis terhadap kadar karbon organik tanah menunjukkan bahwa dengan penggunaan pupuk mampu meningkatkan kadar C-organik tanah. Apabila dilihat dari kedalaman tanah, semakin dalam lapisan tanah, kadar C-organik semakin menurun. Hal ini dikarenakan pada lapisan atas memiliki material organik yang lebih tinggi baik berupa serasah, bagian tanaman maupun C-organik hasil aktivitas organisme tanah. Apabila dibandingkan berdasarkan perlakuan, terlihat bahwa penggunaan Bungkil Benam 100% mampu memberikan peningkatan kadar

(12)

C-organik. Perlakuan pupuk Slow release 100% memiliki kemampuan meningkatkan C-organik terendah, bila dibandingkan dengan penggunaan Bungkil Benam 100% dan Urea benam 100%.

Peningkatan kadar C-organik tanah akibat penggunaan pupuk menunjukkan bahwa dengan dengan adanya penambahan pupuk, kadar hara semakin baik dan kemampuan tanah dalam menyimpan C-organik semakin tinggi. Namun, peningkatan kadar C-organik tanah pada sisi lain juga mampu meingkatkan emisi C dari tanah ke udara. Peningkatan emisi yang mungkin terjadi dikarenakan adanya peningkatan substrat sebagai bahan yang akan direduksi atau dioksidasi yang akhirnya dapat lepas ke udara dalam bentuk CO2 atau CH4. Hal ini terlihat dari emisi yang CH4 yang dihasilkan sejalan dengan kadar C-organik tanah yang teramati. Kadar C-organik tanah tertinggi berturut-turut terdapat pada Bungkil Benam 100%, Urea benam 100%, dan terakhir Slow Release Benam 100%. Emisi yang dihasilkan pada 14 hari setelah perlakuan juga menunjukkan pola yang sama yaitu Bungkil Benam 100% (0.895 CH4/m2/jam), Urea Benam 100% (0.800 CH4/m2/jam) dan Slow Release Benam 100% (0.782 CH4/m2/jam).

Pengujian terhadap kadar N-total menunjukkan pola yang sama dengan pengamatan C-organik tanah. Semakin dalam tanah, kadar N-total semakin menurun. Nilai N-total tertinggi berturut-turut terdapat pada Bungkil Benam 100%, Urea benam 100%, dan terakhir Slow release urea benam 100%. Namun, tingginya N-total tidak menunjukkan pola yang sama dengan tingkat emisi yang dihasilkan pada 14 hari setelah perlakuan. Hal ini dikarenakan emisi N2O lebih dipengaruhi oleh kadar N tanah tersedia (nitrat dan amonium).

Kapasitas Serapan CO2 dan Simpanan Karbon

Tanaman memiliki kemampuan dalam mengambil CO2 dari udara. Hal ini dapat diamati dari kapasitas fotosintesisnya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemupukan berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan jumlah daun tanaman jarak. Hal ini kemungkinan dikarenakan peningkatan kemampuan tanaman dalam mempertahankan kondisi yang optimum untuk menjalankan fotosintesis. Pupuk N merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi klorofil daun yang berperan besar pada proses fotosintesis. Laju fotosintesis tanaman jarak

(13)

termasuk rendah bila dibandingkan tanaman kedelai. Laju fotosintesis tanaman jarak yang diukur oleh Raden (2009) sebesar 5.39145 μmol CO2/m2/s lebih rendah dibandingkan dengan tanaman kedelai yang memiliki laju fotosintesis sebesar 20.67 – 25.36 μmol CO2/m2/s (Muhuria 2007).

Hasil analisis menunjukkan bahwa kemampuan penyerapan CO2 tertinggi pada umur tanaman 5 bulan terdapat pada perlakuan Bungkil Benam 100% yang mencapai 0.1177 ton CO2/ha/hari. Kemampuan tanaman dalam menyerap CO2 pertahun (365 hari) dapat mencapai 42.961 ton CO2/ha/tahun pada perlakuan Bungkil Benam 100% atau 42% lebih tinggi dibandingkan kontrol.

Kemampuan serapan CO2 pada tanaman jarak tergolong tinggi bila dibandingkan dengan tanaman tahunan lainnya. Tanaman jarak pagar yang digunakan pada penelitian ini ditanam di lahan kapur yang tergolong lahan-lahan marginal. Walupun ditanam di lahan marginal, kemampuan serapan CO2 dapat mencapai 42.96 ton CO2/ha/tahun. Apabila ditumbuhkan pada lahan yang memiliki kondisi optimum, memungkinkan bagi tanaman jarak menyerap hingga dua kali lipat atau mampu mencapai 80 ton CO2/ha/tahun. Tanaman hutan seperti Agathis dammara memiliki kapasitas serapan CO2 sebesar 6.94 ton/ha/tahun, Tectona grandiis (tanaman jati) sebesar 57.5 ton/ha/tahun, Acacia mangium sebesar 251.39 ton/ha/tahun dan Acacia auriculiformis sebesar 20.69 ton CO2/ha/tahun (Ardiansyah 2009). Tanaman E.grandis memiliki kapasitas serapan sebesar 31.95 ton CO2/ha/tahun (Retnowati 1998), tanaman meranti (Shorea sp.) sebesar 18.64 ton CO2/ha/tahun (Heriansyah dan Mindawati 2005).

Apabila dilihat dari akumulasi karbon dalam bentuk biomassa tanaman, terlihat bahwa potensi penyerapan CO2 sangat besar, namun akumulasi biomassa sangat kecil. Akumulasi karbon yang mampu ditambat oleh tanaman berdasarkan hasil analisis karbon hanya mencapai nilai rata-rata sebesar 24.03 % dari keseluruhan CO2 yang ditambat melalui proses fotosintesis. Hal ini dikarenakan sebagian besar hasil fotosintesis digunakan untuk menjalankan aktivitas hidup tanaman dan hanya sedikit yang mampu diakumulasi. Hasil fotosintesis digunakan oleh tanaman untuk 1) menghasilkan energi bagi kehidupannya melalui respirasi dengan melepas CO2; 2) mempertahankan hidup dari cekaman lingkungan baik

(14)

dalam bentuk fisik dengan membentuk organ pertahanan diri maupun dalam bentuk kimia dengan pembentukan senyawa tertentu; 3) dilepas ke tanah dalam bentuk asam-asam organik dalam kegiatan penyerapan hara maupun pertahanan terhadap pathogen tanah dan 4) untuk pertumbuhan atau regenerasi tanaman.

Penggunaan pupuk nitrogen secara nyata mampu meningkatan biomassa tanaman. Kemampuan ini didukung oleh nitrogen yang berperan besar mendukung pertumbuhan vegetatif tanaman. Proporsi simpanan karbon dalam tanaman terdapat pada batang dengan persentase rata-rata mencapai 80.01 %. Sedangkan daun dan tangkai daun berturut-turut sebesar 15.36 % dan 4.62 %.

Penggunaan pupuk Bungkil Benam 100% mampu meningkatkan simpanan karbon hingga 4.65 ton C/ha/5 bulan. Bila diasumsikan peningkatan serapan karbon tiap bulannya adalah sama, maka dalam setahun tanaman jarak mampu menyerap karbon sebesar 11.159 ton C/ha/tahun atau 62.32 % lebih besar dibandingkan tanpa pemupukan.

Energi

Energi pada kegiatan budidaya tanaman jarak pagar memiliki kisaran nilai 9 875.55 - 82 603.62 MJ/ha yang dihitung selama 5 bulan. Input energi ini lebih besar bila dibandingkan energi untuk budidaya tanaman kedelai yaitu sebesar 753 359 – 888 474 kkal/ha atau 3 156.57 - 3722.71 MJ/ha selama 1 musim (Moeljanto 1994). Namun, kegiatan budidaya jarak pagar memiliki input energi yang lebih rendah bila dibandingankan budidaya padi konvensional dengan input sebesar 17 162 407 MJ/ha (Anuar 1994). Input energi pada kegiatan budidaya tumpang sari jagung manis dan kacang hijau dengan olah tanah sempurna sebesar 32 941.74 – 34 423.54 MJ/ha (Santoso 2004).

Output energi yang dihasilkan apabila memperhitungkan keseluruhan biomassa, menunjukkan bahwa budidaya tanaman jarak menghasilkan energi yang sangat tinggi sebesar 84 934.97 - 159 004.22 MJ/ha dengan energi bersih sebesar 7 175 - 134 675 MJ/ha. Output energi yang dihasilkan pada kegiatan tumpang sari jagung manis dan kacang hijau dengan olah tanah sempurna sebesar 115 979.26 – 131 449.08 MJ/ha dengan efisiensi biji sebesar 97-105 % dan efisiensi total biomassa sebesar 352 – 382 % (Santoso 2004). Kegiatan budidaya kedelai mampu

(15)

menghasilkan energi sebesar 3 947.98 – 6 019 MJ/ha/musim dengan efisiensi energi sebesar 1.15 – 1.80 (Moeljanto 1994), sedangkan budidaya padi mampu menghasilkan energi sebesar 40 610 455 MJ/ha (Anuar 1994). Efisiensi kegiatan budidaya jarak dengan memperhitungkan keseluruhan biomassa sebagai komponen hasil mencapai rata-rata 801.41 % selama 5 bulan. Namun, bila hanya memperhitungkan jumlah buah dan biji jarak yang dihasilkan, efisiensi hanya memiliki rataan 17. 53 %. Hal ini karenakan rendahnya produksi buah dan biji karena rendahnya kadar fosfat yang menunjang pembentukan buah dan biji.

Penggunaan pupuk Bungkil Benam 100% yang sebelumnya menunjukan pertumbuhan dan produktivitas yang tinggi, justru menghasilkan energi bersih yang tidak terlampau tinggi. Penentuan efisiensi energi menunjukan bahwa walaupun biomassa maupun produktivitas tanaman tinggi, bisa saja efisiensi energinya rendah dikarenakan input yang besar.

Energi bersih yang dihasilkan tanaman jarak tergolong besar dan dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Pemanfaatan energi biomassa yang ada dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu 1) direct combustion (pembakaran langsung); 2) memanfaatkanya sebagai pembangkit listrik energi biomassa; 3) pemanfaatan sebagai sumber bahan bakar cair dengan terlebih dulu mengkonversi dalam proses fermentasi; 3) pemanfaatan sebagai sumber bahan bakar gas. Pemanfaatan energi yang dengan direct combustion (pembakaran langsung) akan menghasilkan energi sejumlah energi yang dihasilkan pada total energi output. Metode penggunaannya adalah dengan terlebih dahulu mengeringkan semua bahan biomassa.

Keuntungan Ekonomi Budidaya Jarak

Keuntungan ekonomi budidaya jarak dalam penelitian ini dapat dilihat dari efisiensi energi yang dihasilkan dari perbandingan output dalam bentuk biji dan buah dengan input yang digunakan. Penggunaan perbandingan input total dan output total dalam perhitungan ekonomi tidak dapat dilakukan dikarenakan output total berupa biomassa yang dihasilkan belum dapat dikomersilkan. Namun, analisis ekonomi berdasarkan biji dan buah dalam kegiatan penelitian ini belum memberikan keuntungan. Hal ini dikarenakan hasil produksi tergolong rendah

(16)

dikarenakan kondisi lahan yang marginal dan ketersediaan unsur fosfor yang rendah.

Keuntungan ekonomi budidaya jarak pada penelitian ini didapat dalam bentuk lain. Keuntungan yang diperoleh dirasakan oleh PT Indocement dan masyarakat sekitar. Bagi PT Indocement, penggunaan tanaman jarak sangat bermanfaat bagi kegiatan revegetasi dan sumber bahan bakar. Tanaman jarak pagar memiliki kemampuan tumbuh membentuk biomassa yang lebih baik dibandingkan tanaman lain. Tanaman jarak memiliki kemudahan tumbuh yang lebih baik, walaupun dalam media lahan marginal. Kemampuan inilah yang membuat tanaman jarak dimanfaatkan dalam revegetasi lahan. Biji yang dihasilkan jarak dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar pabrik pengolahan semen.

Pemanfaatan jarak bagi masyarakat sekitar lebih banyak dari sisi peningkatan pendapatan dari kegiatan budidaya. Masyarakat sekitar banyak terlibat dalam pemeliharaan lahan dan pemanenan buah jarak. Pemanenan buah jarak harus dilakukan beberapa kali dalam seminggu. Hal ini dikarenakan panen buah jarak yang tidak serempak.

Pemanfaatan lahan jarak di sekitar lokasi penelitian juga dilakukan dalam bentuk pemanfaatan lahan sela. Tanaman sela ditanam di lahan sela antar tanaman jarak. Jenis tanaman yang ditanam antara lain palawija (Kedelai, kacang tanah) dan juga sayur-sayuran (daun bawang, kentang hitam, cabai). Penanaman tanaman sela dilakukan dalam bedengan kecil antar tanaman jarak, sehingga tidak mengganggu tanaman utama. Hal ini memberikan manfaat lebih pada lahan budidaya jarak pagar.

Gambar

Gambar 15 Tanaman sela yang ditanam di antara pertanaman jarak pagar

Referensi

Dokumen terkait

Kabupaten/Pemerintah Kota untuk penyelesaiannya. Penyelesaian batas daerah Kabupaten Lombok Barat dengan Kota Mataram sudah terbit Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 55

Kertas di daur ulang untuk dimanfaatkan sebagai bahan pengisi dan dicampur dengan semen sebagai perekat, maka serat kertas maupun kandungan lain pada kertas akan

(4.3) Problem stabilizacije sustava postaje problem pronalaska matrice K tako da sustav (4. Problem povratne veze stanja se moˇze preformulirati: za par matrica.. 37.. 1) daje

Kepemimpinan kepala madrasah berbasis religius dalam meningkatkan kinerja guru di Madrasah Tsanawiyah Mambaul Ulum Bata-Bata Palengaan Pamekasan, merupakan salah satu

Sitti Murniati Muhtar, Stategi komunikasi dalam pelaksanaan program corporate social responsibility (CSR) oleh Humas PT semen tonasa terhadapkomunitas lokal di Kabupaten

Penelitian deskriptif dengan desain cross sectional dan teknik purposive sampling ini dilakukan di Kampus Pakuwon City Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Foto/Gambar Jenis Jenis Nama Nama Produk Produk Harga Harga Shower Shower Cebok Cebok ONDA S 75 ONDA S 75 MCS MCS Rp.A. Shower Shower Cebok Cebok ONDA S 75 ONDA S 75 WCS

- Kasus 1: Hasil Kajian Bapepam-LK Tahun 2006 Tentang Penerapan Prinsip-Prinsip OECD 2004 dalam Peraturan Bapepam dan tahun 2010 tentang Pedoman Good Corporate Governance