• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

15 BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tulisan ini berisi tentang praktek kekuasaan yang dilakukan oleh otoritas kekuasaan dalam budaya Jawa pada masa kehidupan modern terhadap segolongan masyarakat yang tetap menjaga nilai-nilai tradisional dalam kehidupannya. Praktek kekuasaan Jawa akan dilihat dalam lingkup penguasaan tanah oleh Kasultanan Yogyakarta melalui penerapan serat kekancingan terhadap masyarakat pengguna tanah berstatus sultan ground sehingga dapat mempengaruhi ketundukan masyarakat modern kepada penguasanya, selain itu juga melihat dampak-dampak yang dihasilkan dari penerapan serat kekancingan.

Kerajaan, pada masa sekarang ini telah bergeser peran dan fungsinya. Sehingga kekuasaannya pun sudah jauh lebih sedikit dibanding pada masa kejayaannya yang cenderung absolut, meskipun keberadaannya masih diperhitungkan seperti di Inggris. Dalam konteks Indonesia, salah satu daerah yang sangat kental akan kuasa kerajaannya adalah Jawa. Salah satu kerajaan besar di Jawa adalah Kerajaan Mataram yang terbagi menjadi dua masa, yaitu Mataram kuno (berbasis agama Hindu) dan Mataram baru (tahun 1586) yang lebih dikenal dengan Mataram Islam yang merupakan cikal-bakal Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (di Yogyakarta) dan Kasunanan Surakarta (di Solo). Raja di Yogyakarta bergelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan di Solo bergelar Susuhunan Pakubuwono. Konsep kekuasaan Jawa menitikberatkan pada kepemilikan tanah yang luas dan kekuasaan yang besar pada Raja atau priyayi1.Konsep ini terejawantahkan dengan adanya filosofi Jawa bahwa raja atau priyayi laki-laki akan sempurna jika memiliki lima syarat utama, yaitu garwa (istri), kukila (burung kicauan), turangga (kendaraan/kuda), griya

1

Dari kata para yayi (para adik) yang merupakan saudara-saudara Raja atau kerabat Raja yang merupakan golongan elit (bangsawan) dalam struktur masyarakat kerajaan. Selengkapnya pada http://www.britannica.com/EBchecked/topic/477417/priyayi. Diakses pada Kamis, 4 Desember 2014 pukul 00.53.

(2)

16 (ndalem/rumah), dan praja (tanah). Dari filosofi Jawa inilah penulis merasa tertarik pada salah satu syarat tersebut, yaitu praja yang berarti tanah. Karena dari tanah inilah, seseorang bisa menjadi sangat hebat kedudukan dan kekuasaannya. Dari filosofi tersebut jelas bahwa salah satu aspek penting dalam kekuasaan Jawa adalah kepemilikan tanah yang menjadi suatu sumber daya agraria yang penting bagi kepemimpinan raja. Dengan tanah, maka raja akan memiliki legitimasi yang kuat dari para pejabat local seperti bupati yang menjadi bawahanya di tingkat local untuk mengelola tanahnya.

Dilihat dari sisi historis, makna tanah bagi kerajaan Mataram berasal dari asal-usul keluarga Mataram sendiri yang merupakan keturunan petani, sehingga jelas bahwa kerajaan Mataram memiliki konsep yang sangat mengagungkan pentingnya kepemilikan tanah yang luas agar kekuasaanya menjadi lebih kokoh dan kuat. Kekuasaan raja yang besar dapat ditandai oleh wilayah kerajaannya yang luas, kerajaan yang ditaklukan luas, serta kesetiaan para bupati dan punggawa lainnya dalam menjalankan tugas kerajaan yang diberikan pada mereka. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya daerah kekuasaan kerajaan Mataram yang didapat dari usahanya menaklukan kerajaan lain yang meliputi hampir seluruh Pulau Jawa, bahkan hingga ke Bali dan Lombok.

Karena banyaknya daerah kekuasaanya inilah maka raja Mataram sebagai pemerintah pusat merasa perlu untuk mengangkat raja atau bangsawan pribumi local dari daerah yang telah ditaklukan sebagai bupati untuk dijadikan kepala daerah jajahan yang memiliki kewenangan otonom di tingkat local dalam menjalankan pemerintahan. Masing-masing bupati atau bangsawan local ini wajib memberikan upeti kepada raja sebagai pemerintah pusat. Masing-masing bupati dan bangsawan lokal tentu memiliki abdi-abdi sendiri yang juga memberikan mereka upeti seperti hubungan antara bupati dengan raja. Hubungan ini membentuk hubungan yang hierarkis dan bersifat paternalistik sebagai raja di posisi puncak karena raja digambarkan sebagai gung binathara, bau dhendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum, dan penguasa dunia)2.

2

Moedjanto,Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya Oleh Raja-raja Mataram, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), h. 77.

(3)

17 Raja sebagai patron yang berkuasa akan memberikan “hadiah” berupa triman3 kepada bupati (sebagai klien) yang menunjukkan ketundukan dan loyalitasnya pada raja. Pemberian triman tersebut akan membuat hubungan antara raja dengan penerima triman akan menjadi lebih dekat, sehingga anak buah raja akan semakin banyak, dan otomatis akan membuat kedudukannya lebih kuat. Sehingga apapun yang dilakukan raja di pusat, maka bupati di daerah akan berusaha mengikutinya sebagai tanda loyalitasnya pada raja karena para bupati dan kawula (rakyat jelata) beranggapan bahwa apapun yang dilakukan oleh raja selalu benar sehingga legitimasi kekuasaannya tidak perlu dipertanyakan lagi.

Dalam struktur birokrasi Jawa, raja menjadi pusat dari seluruh berjalannya pemerintahan kerajaan. Struktur politik yang berlaku dalam kerajaan merupakan lingkaran kekuasaan yang pusatnya adalah raja dan lembaga kraton. Dalam lingkaran pusat ini terdapat raja, para bangsawan, dan kerabat raja yang memiliki kekuasaan langsung dibawah raja. Golongan kaum bangsawan inilah yang merupakan abdi dalem yang mencurahkan perhatiannya untuk mengabdi pada raja dan merupakan sistem birokrasi kerajaan yang pada dasarnya merupakan kepanjangan tangan dari raja. Para abdi dalem ini tidak melayani kepentingan umum, namun hanya kepentingan raja. Sehingga perhatian utamanya adalah melayani kepentingan raja, bukan kepentingan rakyat. Karena abdi dalem merupakan golongan elit sosial dalam masyarakat, maka mereka diberi kewenangan untuk menyelenggarakan kekuasaan territorial, menetapkan pajak, keamanan, pengadilan, dan keagamaan. Dengan kewenangan yang diberikan oleh raja tersebut, para abdi dalem ini bertindak seperti raja-raja kecil yang memiliki kekuasaan di wilayahnya. Kewenangan yang diberikan raja pada mereka lebih berfungsi sebagai kekuasaan, bukan sebagai pelayanan pada masyarakat.

Kerajaan yang menjalankan konsep kekuasaan Jawa seperti yang telah dipaparkan diatas salah satunya adalah kraton Kasultanan Yogyakarta. Kasultanan Yogyakarta menjadi satu-satunya kerajaan yang dapat tetap mempertahankan kekuasaannya hingga sekarang karena pengaruhnya yang besar. Tidak seperti kerajaan-kerajaan lain di Indonesia yang kebanyakan “hilang” setelah terjadinya

3

(4)

18 semangat pembaruan anti-feodalisme pada tahun 1950-an. Eksistensi Yogyakarta dapat bertahan karena bergerak cepat dengan mendukung gerakan revolusi nasional pada tahun 1945 dan membuatnya sangat terkenal dalam lingkup nasional4.

Yogyakarta merupakan daerah yang masih berpegang teguh pada konsep kekuasaan Jawa yang direpresentasikan dengan hadirnya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Sri Sultan Hamengkubuwana sebagai rajanya. Kerajaan yang ada di Yogyakarta merupakan salah satu pecahan dari Kerajaan Mataram Islam. Belum lama ini Yogyakarta telah ditetapakan sebagai salah satu daerah istimewa setelah memperjuangkan keistimewaannya sejak lama. Kentalnya sistem pemerintahan DIY akan kuasa kerajaan jelas terlihat pada jabatan Gubernur DIY yang hanya bisa diduduki oleh raja kraton Yogyakarta (Sultan) dan Wakil Gubernur yang hanya bisa diduduki oleh Adipati Paku Alam yang bertahta sesuai dengan paugeran (peraturan) Kraton serta Pura Pakualaman. Hal ini berarti jelas bahwa siapapun yang bukan raja atau Sultan kraton Yogyakarta dan bukan Pakualam tidaklah berhak untuk menduduki jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Karena penetapan jabatan itulah Sultan memiliki kekuasaan yang besar sebagai raja maupun sebagai Gubernur. Alasan itulah yang mendasari mengapa Yogyakarta yang menjadi lokus penelitian. Lebih jelas, lokus penelitian ini di area nJeron Beteng, yaitu diKelurahan Kadipaten, Kecamatan Kraton.

Dalam kacamata politik, konsep kekuasaan Jawa yang sudah diterapkan sejak lama oleh Kasultanan Yogyakarta nyatanya masih kuat bertahan hingga kini. Kasultanan Yogyakarta yang berjalan berdasarkan pada old rule melalui konsep kekuasaan Jawa yang hingga kini masih sangat kental dan kuat pengaruhnya terdiri dari old platform serta new platform yang berjalan beriringan menjadi dasar yang membuat kekuasaan Kasultanan Yogyakarta tetap stabil. Hak atas tanah yang dimiliki oleh kraton Yogyakarta bermula dari adanya perjanjian Giyanti yang berisi mengenai pembagian wilayah kekuasaan antara Belanda

4

Gerry Van Klinken, “Kembalinya Para Sultan” dalam Jamie S. Davidson dkk., (eds) Adat dalam Politik Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka obor Indonesia, 2010), h. 168.

(5)

19 dengan kerajaan Mataram.Dari sini pulalah kerajaan Mataram terbagi dua.Setelah kraton Yogyakarta mendapat wilayahnya, tanah-tanah kekuasaannya secara mutlak dimiliki oleh raja sebagai penguasa tunggal.Raja yang menempati posisi tertinggi dalam struktur sosial memberikan sebagian tanah-tanahnya kepada kerabatnya.Hal ini dimaksudkan untuk menjaga hubungan yang bersifat patroimonial dengan dasar sama-sama untung.Raja sebagai penguasa tertinggi bertindak sebagai patron memberikan tanah agar legitimasi kekuasaannya tetap kuat dan stabil, sedangkan para kerabat (bangsawan) penerima tanah yang bertindak sebagai klien mendapat nilai dari tanah tersebut dan mendapat perlindungan dari patron.Kerabat raja juga memiliki “bawahannya” sendiri yang bertindak sebagai klien, sehingga hubungan yang bersifat patrimonial tidak hanya berhenti pada lingkup raja dengan para kerabatnya saja, tapi juga mencangkup hingga masyarakat kecil. Hubungan inilah yang mejadi old rule yang berjalan di Yogyakarta. Dasar hukum yang digunakan untuk mengatur old rule tersebut yang berlaku di Yogyakarta merupakan peraturan yang sudah ada dan diterapkan sejak lama (old platform), yaitu paugeran kraton dan rijksblaad yang dibuat dan berlaku ketika masa kolonial. Namun sejak Kasultanan memutuskan bergabung dengan NKRI maka hukum positif (sebagai new platform) juga mulai dijalankan sebagai dasar berjalannya Yogyakarta sebagai Provinsi.

Sebagai kerajaan yang berdasar pada kultur Jawa, eksistensi kekuasaan Kasultanan Yogyakarta bertumpu pada penguasaan tanah. Dengan kuasa yang besar pada tanah, Kasultanan Yogyakarta memiliki kekuasaan yang relatif stabil sejak dulu, sehingga penerapan serat kekancingan pun menjadi kebijakan yang sangat penting bagi Kasultanan untuk meredam laju pelepasan tanah-tanah SG yang semakin lama semakin marak. Tanpa kekuasaan tanah yang kuat, maka Kasultanan Yogyakarta hanya akan menjadi sebuah simbol kebudayaan saja.

Setelah Yogyakarta ditetapkan sebagai daerah yang istimewa, melalui pengesahan UU Keistimewaan pada tanggal 30 Agustus 2012 yang menjadi dasar baru (new platform) bagi kekuasaan Kasultanan, terdapat peraturan yang mulai dilakukan oleh pihak kraton sebagai pemilik mayoritas tanah yang tersebar di DIY. Kebijakan tersebut mengenai penataan sultan ground (SG) yang bernama

(6)

20 serat kekancingan yang sejatinya lahir dan diatur (mulanya) berdasarkan paugeran kraton (old platform). Sertifikat tersebut menegaskan bahwa para pihak pemakai SGdiberi hak untuk memanfaatkan dan atau menempati tanah bukan keprabontetapi bukan merupakan ijin kepemilikan tanah. Dari penerapan serat kekancingan inilah dapat dilihat bahwa antara old platform dengan new platform berjalan beriringan.

Serat kekancingan yang dikeluarkan oleh pihak kraton bertujuan untuk mengatur tanah-tanah yang berstatus Sultan Ground (SG) yang sudah dikelola dan atau dipakai oleh masyarakat melalui berbagai hak yang telah ditentukan sebelumnya oleh kraton. Tanah-tanah berstatus SG yang dapat dipakai dan atau dikelola oleh masyarakat merupakan bentuk pertanggungjawaban raja untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya yang sudah dilakukan sejak masa reorganisasi agraria kraton tahun 1918.

Mulanya hukum yang mengatur mengenai perihal pemanfaatan SG hanya berdasarkan paugeran tradisional yang tidak tertulis serta nilai-nilai tradisional yang diyakini oleh masyarakat dalam budaya Jawa. Namun karena semakin lama tanah dengan status SG semakin banyak yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan dalam beberapa kasus terdapat SG yang lepas (pindah tangan kepemilikan) dari pihak kraton, maka penataan tanah-tanah SG mulai digalakkan kembali dengan menerapkan serat kekancingan, namun dasar hukum dari penerapan serat kekancingan pun masih berdasar pada paugeran kraton di masa awalnya. Dasar hukum serat kekancingan yang jelas dan pasti baru ada setelah UUK DIY ditetapkan. Kebijakan serat kekancingan sesungguhnya sudah dilakukan oleh pihak kraton sebelum UUK DIY ditetapkan meski penerapannya masih sangat jauh dari kata berhasil karena belum memiliki dasar hukum yang pasti. Dengan adanya penetapan keistimewaan DIY melalui UUK, maka keleluasaan DIY untuk mengatur daerahnya menjadi semakin luas, termasuk pengaturan penataan tanah-tanah SG. Serat kekancingan yang kini digalakkan oleh Kasultanan memiliki dasar hukum yang pasti, yaitu Perdais DIY yang merupakan turunan dari UUK DIY. Meski serat kekancingan lahir dari suatu konsep tradisional yang berdasar pada hubungan yang bersifat patrimonial antara raja dengan rakyatnya, namun

(7)

21 dalam perkembangannya kini, konsep tradisional tersebut berjalan berdampingan dengan suatu konsep baru yang menjadi dasar hukum pengaturannya, yaitu Perdais DIY.

Dalam konsep kekuaasaan Jawa, raja digambarkan sangat berkuasa atas segala aspek sehingga legitimasi kekuasaannya bersifat mutlak, rakyat tidak bisa bersikap selain sendika dhawuh. Para rakyat biasa tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa pasrah menuruti apa kemauan Sultan (ndherek karsa dalem), karena tidak mungkin melawan rajanya sendiri. Penerapan serat kekancingan yang dilakukan oleh kraton membuat masyarakat pemakai sultan ground seolah tidak bisa mengatakan tidak pada kebijakan serat kekancingan karena kepemilikan tanah dikuasai oleh satu pihak saja, yaitu Sultan (kraton). Hal ini bisa sangat mempengaruhi konsep pengakuan masyarakat akan kekuasaan kraton yang juga berimbas pada ketundukan masyarakat pada kraton. Sehingga memungkinkan adanya pergeseran konsep pengakuan dan ketundukan dari masyarakat. Pengakuan kekuasaan kraton ini bisa saja telah bergeser menjadi formalitas saja, dengan berbagai aspek yang melatarbelakanginya, sehingga ketundukan masyarakat ala konsep kekuasaan Jawa telah ikut bergeser dan dapat mempengaruhi makna eksistensi kekuasaan Jawa.

Secara konseptual, penelitian ini akan menggunakan bingkai rational choice atau pilihan rasional yang akan dipadukan dengan konsep kekuasaan Jawa dan konsep agraria. Kacamata rational choice bisa melihat pemikiran masyarakat yang melatarbelakangi tindakan-tindakan yang diambil masyarakat untuk menanggapi serat kekancingan. Tindakan yang diambil bisa saja mengakibatkan ketundukan pada pihak kraton hanya sebatas untuk pemenuhan kepentingannya, yaitu mendapatkan hak pemakaian tanah untuk menjadi tempat tinggal dan atau tempat usaha. Konsep ini menempatkan manusia sebagai makhluk yang rasional. Sedangkan konsep kekuasaan Jawa dapat mengkerangkai konsep kekuasaan yang dijalankan oleh kraton Kasultanan Yogyakarta. Lalu kacamata agraria akan bisa membantu melihat berjalanya konsep kekuasaan Jawa yang berjalan dalam hubungannya dengan penguasaan tanah yang merupakan salah satu aspek dalam agraria melalui penerapan serat kekancingan yang dikeluarkan oleh kraton.

(8)

22 Dalam beberapa tulisan, terdapat karya yang sebelumnya sudah membahas mengenai tanah di Yogyakarta seperti yang ditulis oleh Umar Kusumoharyono yang berjudul “Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground) Yogyakarta Setelah Berlakunya UU No. 5/1960”. Tulisan tersebut berisi mengenai eksistensi tanah di Yogyakarta yang berstatus sultan ground (SG) setelah berlakunya UUPA yang diundangkan dan berlaku secara nasional pada tahun 1960. Dalam konteks pengaturan tanah SG di Yogyakarta, nyatanya UUPA pada saat diundangkan dan berlkaku secara nasional, Yogyakarta merupakan daerah yang pada saat itu belum menerapkan UUPA. Hal itu dikarenakan adanya tanah-tanah yang berstatus SG yang pengaturannya sudah memiliki dasar hukum tersendiri. Sebelum berlakunya UUPA, tanah-tanah di Yogyakarta sejak tahun 1946 diatur melalui berbagai Maklumat dan Petunjuk Jawatan Praja Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur hak-hak atas tanah dan segala sesuatu yang berhubungan dengan status tanah, antara lain Maklumat No. 13 tahun 1946 tentang tanah negeri. Setelah UUPA berlaku pada tahun 1960, pengaturan pertanahan belum banyak berubah karena UUPA belum berlaku penuh. Perubahan yang sangat nampak baru terlihat pada tahun 1984, yaitu saat UUPA dilaksanakan sepenuhnya di DIY. Dengan demikian, maka seluruh peraturan pelaksanaan dari Undang – Undang tersebut juga berlaku di Daerah Istimewa Yogyakarta5.

Selain yang sudah dipaparkan diatas, penelitian yang juga sudah dilakukan sebelumnya berjudul “Politik Agraria di Yogyakarta: Identitas Patrimonial dan Dualisme Hukum Agraria” yang ditulis oleh Wasisto Raharjo Jati. Isi tulisan ini memiliki inti yang mirip seperti penelitian yang sudah di paparkan sebelumnya milik Umar Kusumoharyono, yaitu mengenai dasar hukum pengaturan pertanahan di Yogyakarta. Tulisan Wasisto Raharjo Jati berisi mengenai dualitas dasar hukum pengaturan pertanahan di Yogyakarta. Adanya dualisme dalam penerapan hukum agraria di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri telah membawa dampak

5

Selengkapnya pada http://eprints.uns.ac.id/1816/1/44-fullteks.pdf dalam “Eksistensi Tanah Kasultanan (Sultan Ground) Yogyakarta Setelah Berlakunya UU No. 5/1960” oleh Umar Kusumoharyono.Diunduh pada Rabu, 26 Maret 2014 pukul 14.35 WIB, h. 1 – 2.

(9)

23 pada ambiguitas dan ambivalensi terhadapa otoritas regulasi agraria daerah. Adapun ambiguitasnya terletak pada multintepretasi terhadap pemaknaan “hak asal-usul” maupun “sertifikasi hak milik” dalam dualisme hukum agraria di Yogyakarta. Adanya hak asal-usul tersebut memberikan kewenangan bagi kraton untuk melakukan penataan dan menginventarisasi kembali tanah keprabon dan juga tanah non keprabon yang disinyalir dimiliki secara tidak sah. Sedangkan sertifikasi hak milik dimaknai sebagai bentuk demokratisasi agraria dengan memberikan sertifikasi hak milik tanah kepada masyarakat sesuai dengan agenda landreform UU Pokok Agrarai. Ambivalensi dilihat dari ketidakjelasan posisi pemerintah / kraton dalam sistem regulasi tanah di Yogyakarta6.

Penelitian ini akan meneliti mengenai upaya penguasaan atas tanah ala kekuasaan Jawa yang dilakukan oleh Kasultanan Yogyakarta melalui seratkekancingan beserta dampak yang ditimbulkannya. Penelitian ini akan melacak mengenai dasar lama (old platform) yang menjadi dasar kekuasaan raja atas tanah-tanah kekuasaannya dan penataannya pada masa awal. Selain itu juga akan membahas mengenai dasar baru (new platform) yang digunakan menjadi dasar penataan SG melalui serat kekancingan setelah Yogyakarta bergabung dengan Republik Indonesia dan menjadi sebuah provinsi. Tidak lupa juga akan membahas mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan dari penerapan serat kekancingan terhadap masyarakat pemakai SG. Peneliti berasumsi bahwa masyarakat modern memiliki pemikiran yang lebih rasional dan kritis sehingga akan mempengaruhi pola pikirnya dalam menentukan pilihan yang menyangkut kehidupannya. Peneliti merasa tertarik untuk melihat secara lebih jelas pengaruh praktek kekuasaan kraton melalui serat kekancingan terhadap masyarakat pemakai SG.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sebelumnya adalah jika penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya kebanyakan melihat perdebatan mengenai dasar hukum pengaturan pertanahan yang dualistis sehingga

6

Selengkapnya pada Wasisto Raharjo Jati, “Politik Agraria di Yogyakarta: Identitas Patrimonial dan Dualisme Hukum Agraria”, Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11, Nomor 1, (2014), h. 25-37.

(10)

24 menimbulkan permasalahan tersendiri. Sedangkan penelitian ini memiliki lingkup yang lebih khas lagi, yaitu mengenai penerapan serat kekancingan untuk mengatur tanah SG yang dilakukan oleh kraton Yogyakarta sebagai ruang bertemunya antara dua dasar hukum pengaturan pertanahan, yaitu old platform dan new platform. Penelitian ini menjadi penting karena dapat menjadi bahasan baru jika kekuasaan Jawa hari ini bisa berjalan beriringan dengan konsep yang jauh lebih modern meski kolaborasi tersebut dapat memunculkan dampak dan resiko baru.

B. Rumusan Masalah

Guna menjawab keingintahuan penulis mengenai konsep kekuasaan Jawa yang dilakukan oleh Kasultanan Yogyakarta, maka pertanyaanya adalah:

“Bagaimana praktek kekuasaan Kraton Kasultanan Yogyakarta atas sumber daya agraria melalui serat kekancingan di Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Kraton ?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan terkait dengan praktek kekuasaan yang terjadi di Yogyakarta, yaitu:

1. Untuk mengetahui sejauh mana eksistensi kekuasaan kraton Yogyakarta terhadap masyarakat pemakai sultan ground melalui seratkekancingan.

2. Untuk mengetahui praktek kekuasaan kraton atas tanah melalui seratkekancingan.

D. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini akan menggunakan konsep kekuasaan Jawa untuk mengkerangkai sistem kekuasaan yang dilakukan oleh Kasultanan Yogyakarta. Sebagai salah satu sifat kekuasaan Jawa, patrimonialisme juga akan digunakan untuk mendukung konsep kekuasaan Jawa, yaitu untuk menganalisa hubungan antara raja dengan abdi dalem dan masyarakat biasa (kawula). Konsep tersebut

(11)

25 akan dipadukan dengan teori agraria yang akan digunakan untuk melihat penguasaan kraton atas tanah melalui serat kekancingan. Selain itu, penelitian juga akan menggunakan perspektif rational choice (pilihan rasional) untuk melihat hubungan antara pihak Kraton dengan masyarakat pemakai sultan ground (SG) melalui dampak yang ditimbulkan oleh penerapan serat kekancingan karena pilihan-pilihan yang diambil oleh masyarakat. Konsep-konsep tersebut ditujukan untuk mempermudah dalam melihat bekerjanya kekuasaan kraton atas sumber daya agraria serta hubungan antara kraton dengan para pihak pemakai SG.

D.1 Kekuasaan Jawa

Kekuasaan Jawa menurut Anderson7 terdapat empat hal yang menjadi dasar pemikiran kekuasaan dalam perspektif kebudayaan Jawa, yaitu:

a) Kekuasaan itu konkrit

Bagi orang Jawa, kekuasaan itu ada, terlepas dari orang yang mungkin mempergunakannya. Kekuasaan bukan suatu anggapan teoritis, melainkan suatu realitas yang benar-benar ada. Kekuasaan adalah daya yang tidak bisa diraba, penuh misteri, dan bersifat ketuhanan yang meghidupkan alam semesta. Kekuasaan terwujud dalam setiap aspek dunia alami, pada batu, kayu, awan dan api. Tetapi semua itu dinyatakan secara murni dalam misteri pokok kehidupan, yaitu proses generasi dan regenerasi. Dalam pemikiran tradisional Jawa, tidak ada garis batas yang tegas antara zat organis dan zat inorganik, karena segala sesuatunya ditopang oleh kekuasaan yang tidak terlihat.

b) Kekuasaan itu homogen

Dari konsep ini timbul pendapat bahwa semua kekuasaan itu sama jenisnya dan sama pula sumbernya. Kekuasaan di tangan satu individu atau satu kelompok adalah identik dengan kekuasaan yang ada di tangan individu atau kelompok lain manapun.

c) Jumlah kekuasaan di alam semesta tetap

7

Fachry Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern, (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h. 24-25.

(12)

26 Menurut pandangan orang Jawa, alam semesta tidak bertambah luas dan tidak pula bertambah sempit. Demikian pula jumlah kekuasaan yang terdapat didalamnya selalu tetap. Karena kekuasaan itu ada begitu saja, dan bukan merupakan hasil dari organisasi, kekayaan, persenjataan, dan lain – lain, malah lebih dulu ada daripada lainnya dan membuat semuanya seperti adanya, maka jumlah keseluruhannya tidak berubah, walaupun pembagian kekuasaan dalam alam semesta mungkin dapat berubah.

d) Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan

Karena semua kekuasaan berasal dari sumber tunggal yang homogen, maka kekuasaan itu sendiri lebih dahulu ada daripada masalah-masalah baik dan buruk. Menurut cara pemikiran orang Jawa, menuntut hak berkuasa berdasarkan sumber-sumber kekuasaan yang berbeda-beda (contohnya menyatakan bahwa kekuasaan yang berdasarkan kekayaan adalah sah, sementara kekuasaan berdasarkan persenjataan tidak sah) tidak ada artinya. Bagi orang Jawa, hal semacam itu tidak relevan dipertanyakan. Sebab, kekuasaan tidak absah dan bukan pula tidak absah. Yang penting, kekuasaan itu ada. Dengan demikian, orang Jawa memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang konkret, homogen, tetap jumlah keseluruhannya, dan sebagai kekuasaan tidak memiliki implikasi moral yang inheren.

Dalam perspektif pemikiran Jawa, terdapat konsep kosmos yang terdiri dari mikro kosmos (dunia manusia) dan makro kosmos (alam jagad). Dalam pemikiran Jawa, raja atau ratu dilihat sebagai eksponen mikro kosmos kerajaan. Sejalan dengan pemikiran ini, Soemarsaid Moertono8 menyatakan bahwa terdapat dua faktor penting, pertama, terdapat paralelisme antara mikro dan makro kosmos. Kedua, ada suatu kebutuhan interaksi antara mikro dengan makro kosmos. Kedua faktor tersebut menentukan tatanan sosial yang harus dihayati sebagai sesuatu yang telah teratur dengan tetap. Raja dalam hal ini (terutama di masa akhir kerajaan Mataram) adalah pusat mikro kosmos kerajaan dan duduk di puncak hierarki status. Karena mikro kosmos memiliki hubungan paralel dengan makro kosmos, raja Hindu Jawa diidentifikasikan dengan Tuhan, umumnya Dewa

8

(13)

27 Wisnu, dan ratunya diidentifikasikan dengan kesaktian Dewa. Karena itu, orang Jawa percaya bahwa raja adalah satu-satunya media yang menghubungkan dunia mikro kosmos dengan alam makro kosmos. Dan karena raja dianggap sebagai penghubung antara manusia dengan Tuhan, maka semua keputusannya tidak bisa dibantah dan kekuasaannya menjadi tidak terbatas9.

Raja sebagai posisi puncak struktur kelas memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap seluruh aspek, kekuatan raja ini digambarkan sebagai gung binathara, bau dhendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum, dan penguasa dunia10. Karena besarnya kekuasaan raja itulah maka legitimasi raja menjadi sangat kuat, kekuatannya pun bersifat mutlak. Konsep-konsep Hindu itu pun berlanjut ketika Islam datang dan mempengaruhi konsep-konsep kekuasaan. Apapun bentuknya kemudian, konsep-konsep tentang raja di dalam perspektif kebudayaan Jawa merupakan kombinasi pengaruh antara ajaran-ajaran Islam dan Hindu – Budha. Dalam hal ini jelas bahwa berbagai pengaruh yang masuk memperkaya konsepsi raja, bahkan memperkukuh kedudukannya. Maka dari itu tidak mengherankan bahwa ungkapan wenang murba wisesa menyatakan bahwa kekuasaan absolut raja yang diturunkan dari kekuasaan Tuhan memperlihatkan sekali posisi raja sebagai refleksi Tuhan11.

Karena itu, meskipun terjadi guncangan-guncangan kekuasaan (misalnya ketika Mataram terpecah menjadi dua di Surakarta dan Yogyakarta) kepercayaan rakyat tetap kukuh kepada raja. Sikap rakyat yang semacam ini erat kaitannya dengan nilai-nilai atau konsep supremasi raja disosialisasikan kepada rakyat selama berabad-abad. Bahwa raja atau Sultan memiliki kekuatan-kekuatan magis yang melekat pada benda-benda suci milik raja, dan semua itu tidak bisa dipisahkan dari raja. Bahkan hingga sekarang, menurut Selo Soemardjan12 rakyat Yogyakarta tetap percaya bahwa pusaka-pusaka tertentu dalam istana Sultan

9

Ibid., h. 27. 10

Moedjanto, loc. cit. 11

Fachry Ali, op. cit., h. 27-28. 12

(14)

28 (tombak, keris, atau panji) mempunyai kekuatan magis yang membantu setiap raja, yang sah dan kosmologis berhak memerintah.

Dalam konsep kekuasaan Jawa, kepemilikan tanah menjadi salah satu aspek terpenting yang dapat menentukan strata sosial seseorang dalam struktur sosial masyarakat Jawa. Kekuasaan Jawa yang mengagungkan kepemilikan tanah berasal dari asal-usul keluarga Mataram sendiri yang merupakan keturunan petani, sehingga jelas bahwa kerajaan Mataram memiliki konsep yang sangat mengagungkan pentingnya kepemilikan tanah yang luas agar kekuasaanya menjadi lebih kokoh dan kuat. Kekuasaan raja yang besar dapat ditandai oleh wilayah kerajaannya yang luas, kerajaan yang ditaklukan luas, serta kesetiaan para bupati dan punggawa lainnya dalam menjalankan tugas kerajaan yang diberikan pada mereka.

Penentuan kedudukan seseorang menurut budaya Jawa dapat digunakan dua kriteria, pertama, prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh hubungan darah seseorang dengan pemegang pemerintahan. Kedua, prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh posisi seseorang di dalam hirarki birokratis13. Pada konsep kekuasaan Jawa terdapat pembilahan struktur kelas yang hierarkis yang dibedakan dalam empat tingkat, yaitu para raja, para kepala propinsi (setingkat dengan bupati), kepala desa, dan orang kebanyakan atau rakyat jelata14.

Pada puncak hierarki adalah raja sendiri. Raja menjadi kepala karena keturunan langsung dari aristokrasi yang sedang berkuasa. Keluarga raja menduduki tingkat tertinggi, dan semua warganya diberi kehormatan dan berhak menuntut akan pengabdian rakyat. Seorang bangsawan istana yang menurut kelahiran dekat dengan raja yang sedang memerintah, memiliki status sosial yang tinggi. Semakin dekat dengan raja, maka akan semakin tinggi juga status sosialnya. Sesudah keluarga Raja, kemudian menyusul sederet pejabat-pejabat istana dari tingkat tinggi, termasuk didalamnya adalah pejabat-pejabat militer, sipil, agama, dan pejabat kehakiman. Kecuali para ulama istana,

13

Ibid., h. 38. 14

D.H. Burger, Perubahan – perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1983), h. 11.

(15)

29 pejabat tinggi itu disebut mantri atau mandarin. Jabatan mereka tidak turun-temurun, dan golongan bangsawan tidak diperkenankan memegang jabatan itu.

Dapat dikatakan bahwa inti dari golongan yang berstatus adalah para pemegang jabatan kerajaan. Suatu demarkasi yang jelas terlihat antara kelas yang berkuasa dengan orang-orang kebanyakan. Selain itu, juga terdapat golongan-golongan sosial yang berada diluar kelas yang memegang pemerintahan, yaitu, pertama, kaum bangsawan daerah yang terdiri atas kepala-kepala daerah (akuwu) dan pembesar-pembesar daerah (anden). Selanjutnya terdapat pemimpin agama (aping hay), petani – petani bebas (anak thani), dan hamba sahaya (bertya) yang merupakan golongan penduduk terbesar dalam kerajaan15.

Praktek kekuasaan yang berjalan berdasarkan pada konsep kekuasaan Jawa dilakukan oleh kraton Yogyakarta, yaitu dalam penerapan kebijakan serat kekancingan. Serat kekancingan adalah kebijakan yang dikeluarkan kraton untuk kepentingan menata kembali tanah-tanah SGyang tersebar di berbagai daerah di DIY. Sertifikat tersebut menegaskan bahwa masyarakat diberi hak untuk memanfaatkan dan atau menempati tanah Kasultanan yang bukan keprabon tetapi bukan merupakan ijin kepemilikan tanah. Hal ini dapat dilihat bahwa kraton sebagai pemilik tanah berkepentingan untuk mempertahankan dan memperkuat kekuasaannya melaui serat kekancingan karena meski masyarakat diberi hak untuk memakai tanah milik kraton, namun kepemilikan tetap pada kraton yang sewaktu-waktu berhak memakai tanahnya. Penerapan serat kekancingan dilakukan agar dapat menjaga tanah-tanah kekuasaan kraton agar tetap luas sehingga eksistensinya tetap kuat.

D.2 Sumber Daya Agraria

Secara etimologi (asal – usul) istilah agraria berasal dari kata bahasa Latin ager yang artinya lapangan, pedusunan, wilayah atau tanah negara16. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi mengatakan bahwa saudara kembar dari

15

Fachry Ali, op. cit., h. 37-38.

16Lihat, Kamus Bahasa Latin-Indonesia karangan Prent, dkk, 1969; juga World Book

(16)

30 istilah itu adalah agger yang artinya tanggul penahan/pelindung, pematang, tanggul sungai, jalan tambak, reruntuhan tanah, bukit17. Dari defenisi ini jelas bahwa agraria tidak hanya sebatas tanah atau pertanian saja. Kata-kata seperti pedusunan, bukit, dan wilayah jelas menunjukkan arti yang lebih luas dari hanya sekedar tanah karena di dalamnya terdapat hal yang terwadahi olehnya. Tanah dan pertanian hanyalah merupakan sebagian kecil aspek agraria.

Lingkup agraria dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu lingkup objek dan lingkup subyek agraria. Lingkup objek agraria meliputi beragam sumber agraria, yaitu tanah, dan udara yang dikelola melalui kegiatan ekonomi tertentu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa lingkup objek agraria mencakup unsur-unsur tanah/air/udara beserta kekayaan alami yang melekat padanya, yang dikelola orang melalui kegiatan-kegiatan ekonomi seperti pertanian, perikanan, perhutanan, pertambangan, dan kedirgantaraan. Objek agraria yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah tanah, lebih khusus lagi yaitu tanah yang berstatus sebagai sultan ground (SG) di Yogyakarta. Tanah dengan status SG ini ditata oleh kraton dengan cara menerapkan serat kekancingan yang ditujukan oleh masyarakat pengguna SG.

Sedangkan lingkup subyek agraria meliputi tiga kategori sosial penguasa atau pemilik dan pemanfaat (pengguna) sumber-sumber agraria, yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumah tangga), swasta (private sector), dan pemerintah (sebagai representasi negara). Ketiga pihak subyek tersebut memiliki hubungan teknis agraris atau hubungan kerja dengan sumber-sumber agraria, yang artikulasinya berbeda antara satu dengan subyek yang lain menurut orientasi kepentingan sosial ekonominya. Selain memiliki hubungan teknis agraris (dimensi kerja), antara satu dengan objek lain juga terjalin hubungan sosial agraris yang berpangkal pada perbedaan-perbedaan akses (penguasaan/pemilikan/pemanfaatan) terhadap sumber-sumber agraria18. Kepentingan-kepentingan tersebut mungkin serupa tetapi mungkin juga berbeda antara satu dengan subyek yang lain.

17

Felix Sitorus, “Lingkup Agraria” dalam Endang Suhendar dkk., (eds.) Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi (Bandung: Akatiga, 2002), h. 27.

18

(17)

31 Perbedaan kepentingan itu dapat menjadi sumber konflik apabila dikenakan pada suatu sumber agraria yang sama. Tetapi juga dapat menjadi sumber kerjasama apabila para subyek dapat merumuskan suatu kesepakatan perihal tumpang – tindih pemilikan/penguasaan pemanfaatan sumber agraria. Konflik juga dapat bersumber dari perbedaan artikulasi pemanfaatan sumber-sumber agraria19. Lingkup subyek dari tulisan ini meliputi kraton Yogyakarta sebagai pemilik otoritas tanah SG, bangsawan/priyayi yang merupakan kerabat raja, dan masyarakat biasa pengguna tanah-tanah SG. Sebagai pemilik otoritas tanah SG, kraton tentu memiliki posisi yang paling tinggi di banding subyek lainnya. Hubungan antar subyek pun akan saling berbeda. Hubungan teknis agraris dilihat melalui tiga hubungan, yaitu hubungan antara raja (kraton) dengan kerabatnya (golongan bangsawan/priyayi), hubungan antara raja (kraton) dengan masyarakat biasa, dan hubungan antara kerabat raja (bangsawan/priyayi) dengan masyarakat biasa.

Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan seperti sumber-sumber agraria menunjuk pada dimensi sosial dalam hubungan-hubungan agraria.Hubunganpengusaan/pemilikan/pemanfaatan membawa implikasi terbentuknya ragam hubungan sosial, sekaligus interaksi sosial, antara ketiga kategori subyek agraria.Hubungan sosial agraris tersebut, berikut hubungan teknis agraris, dapat digambarkan sebagai hubungan segitiga. Intinya adalah satu dan lain subyek saling berhubungan secara sosial dalam kaitan hubungan teknis masing-masing subyek dengan sumber-sumber agraria. Pola-pola hubungan sosial agraris antara ketiga subyek sangat ditentukan oleh konteks struktur agraria di suatu negara20.Terdapat beberapa tipe dalam struktur agraria, yaitu tipe naturalistis dan feodalistik yang merupakan tipe – tipe awal, juga terdapat tipe kapitalistik (sumber-sumber agraria dikuasai oleh pihak non penggarap, seperti perusahaan), sosialis (sumber-sumber agraria dikuasai oleh negara atau kelompok kerja), dan tipe populis/neo populis (sumber-sumber agraria dikuasai oleh rumah tangga pengguna). 19 Ibid., h. 36. 20 Ibid., h. 36-37.

(18)

32 Bagi negara-negara agraris (termasuk Indonesia), masalah tanah pada hakikatnya merupakan masalah yang sangat mendasar.Sepanjang sejarah, dimulai ketika masa manusia berburu, lalu berkembang menjadi bertani nomaden hingga bertani menetap, penguasaan dan pemanfaatan tanah sering menimbulkan permasalahan atau sengketa.Masalah penguasaan tanah bukanlah hal yang sederhana, karena hal tersebut menyangkut bukan saja hubungan manusia dengan tanah, melainkan juga (dan justru terutama) menyangkut hubungan manusia dengan manusia.Sehingga dapat berarti bahwa masalah agraria merupakan masalah yang kompleks karena merupakan jaringan yang memiliki hubungan antar – manusia21.

Jika dilihat dari segi historis, maka penguasaan tanah menjadi masalah yang sangat mendasar, karena sejak itu tanah mempunyai fungsi pokok kehidupan yaitu baik sebagai tempat tinggal maupun sebagai faktor produksi yang utama. Struktur penguasaan dan peruntukan tanah, yang biasa dikenal dengan nama struktur agraria selalu melandasi struktur sosial, maka pengaturan kembali atau perombakan penguasaan tanah yang lebih dikenal dengan landreform akan mengarah pada perombakan struktur sosial22.Struktur penguasaan di sini adalah susunan sebaran atau distribusi, baik mengenai pemilikan (penguasaan formal), maupun penguasaan efektif (garapan/operasional) atas sumber-sumber agraria, juga sebaran alokasi atau peruntukannya23.

Dalam konteks penguasaan sumber-sumber agraria yang dilakukan oleh pihak kraton, dilakukan dengan menguasai salah satu objek agraria, yaitu tanah. Lebih tepatnya adalah tanah SG yang bertujuan untuk memperkuat posisi kraton sebagai penguasa dan menegaskan kembali betapa besar kuasanya atas tanah di DIY yang juga menjadi basis kekuatannya. Penguasaan tanah ini dilakukan

21

Gunawan Wiradi, Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 21-23.

22

Ibid., h. 23-25. 23

Gunawan Wiradi, “Struktur Penguasaan Tanah dan Perubahan Sosial di Pedesaan Selama Orde Baru: Perdebatan yang Belum Selesai” dokumen dipresentasikan di Seminar tentang Pembaruan Agraria (Bandung: 2001), h. 1.

(19)

33 melalui media serat kekancingan sebagai penjamin bahwa masyarakat pengguna SG hanya diberikan hak memakai tanah, bukan memiliki.

D.3 Rational Choice sebagai Dasar Tindakan Politik

Elster (1998, h. 22) mengatakan bahwa inti dari teori pilihan rasional (rational choice) adalah bahwa ketika dihadapkan pada beberapa jenis tindakan, orang biasanya melakukan apa yang mereka yakini memiliki kemungkinan memiliki hasil yang terbaik24. Mancur Oslon (1956) menunjukkan bahwa individu yang memiliki kepentingan pribadi tidak akan selalu ambil bagian dalam tindakan kolektif untuk memperjuangkan tujuan bersama. Misalnya, mengapa begitu banyak di antara kita yang terus bertindak merusak lingkungan, meskipun kita tahu bahwa apa yang sedang kita lakukan itu anti-sosial? Suatu penjelasan yang masuk akal adalah, kita merasa bahwa mengubah cara kita hanya akan mempunyai sedikit (atau bahkan tidak mempunyai) dampak terhadap keseluruhan masalah, dan ada biaya finansial dan lainnya yang besar jika kita hidup dengan cara yang berbeda dengan orang lain. Akibatnya adalah suatu kesalahan tindakan kolektif, ketika kepentingan pribadi rasional mengarah pada ruginya setiap orang25.

John Rawl (1972) berargumen bahwa individu (yang secara hipotesis) tidak tahu posisi sosial apa yang akan mereka tempati, dan karenanya tidak berat sebelah, akan secara rasional menerima kontrak sosial yang mengandung suatu prinsip melindungi diri mereka sendiri terhadap kasus ketika mereka berubah menjadi salah satu diantara yang paling tidak beruntung. Ini berarti bahwa dalam teori pilihan rasional masing-masing individu yang memiliki kepentingan yang berbeda tidak akan selalu turut dalam tindakan kolektif apabila tindakan tersebut akan berdampak negative bagi dirinya. Pilihan rasional berguna baik bagi mereka yang mencoba menjelaskan fenomena politik maupun mereka yang orientasinya

24

Dalam David Marsh & Gerry Stoker, Teori dan metode dalam ilmu politik, (Cet. 2; Bandung: Nusa Media, 2011), h. 76.

25

(20)

34 normative26. Menurut Powel (1999) terdapat beberapa keuntungan yang diklaim dengan metode ini, diantaranya adalah, pertama, oleh karena model ini dengan sendirinya merupakan penyajian realitas yang disederhanakan, yang dikonstruksi dengan suatu pandangan untuk meningkatkan pemahaman kita, ia memaksa kita untuk menghadapi apa yang ingin kita jelaskan, apa yang menjadi inti dalam penjelasan tentang fenomena yang kita minati, dan apa yang bisa dihilangkan dari model sebagai suatu yang hanya bersifat sampingan atau tidak penting. Kedua, jika diterapkan secara benar, ia akan menjamin bahwa dalil-dalil yang terkandung di dalamnya diikuti secara logis, sehingga metode ini dapat digunakan untuk melihat apakah bisa dibangun suatu landasan yang koheren secara logis bagi kesimpulan yang didapat diyakini secara luas. Teori pilihan rasional mengambil preferensi, keyakinan, dan strategi feasible individu sebagai penyebab tindakan yang mereka lakukan27.

Teori pilihan rasional menawarkan seperangkat alat yang berharga terhadap ilmu politik. Teori pilihan rasional dapat membantu memperjelas bagaimana struktur timbul dan berubah. Teori pilihan rasional dapat digunakan oleh beragam ilmuwan sosial yang beroprasi dalam paradigma yang berbeda-beda, karena hasil yang diperoleh sangat tergantung pada gagasan tentang struktur yang didatangkan dari tempat lain. Namun, seperti alat lain, ia meninggalkan jejak pada pekerjaan kita.

Pilihan rasional yang berjalan pada masyarakat memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Perbedaan latar belakang ini disebabkan karena status dalam masyarkat yang juga berbeda. Pilihan rasional yang diterapkan oleh masyarakat yang berstatus sebagai abdi dalem kraton yang merupakan warga asli Kelurahan Kadipaten berbeda dengan pilihan rasional yang diterapkan oleh masyarakat pendatang. Masyarakat yang berstatus sebagai abdi dalem memilih untuk bersikap sendika dhawuh dalam menanggapi kebijakan serat kekancingan. Hal ini karena abdi dalem masih sangat menghormati nilai-nilai dan menjunjung tinggi paugeran kraton. Sedangkan masyarakat pendatang memilih untuk memanfaatkan sebaik

26

Ibid., h. 79. 27

(21)

35 mungkin tanah yang ditempatinya yang merupakan SG. Yang dimaksud pemanfaatan sebaik mungkin yang dilakukan oleh masyarakat pendatang adalah dengan melihat tanah-tanah yang ditempati dan atau dikelolanya sebagai sumber ekonomi yang potensial. Mereka memilih untuk menyewakan tanah dan atau rumah yang mereka pakai agar dapat menjadi salah satu sumber pemasukan ekonomi, padahal praktek semacam itu dilarang oleh kraton. Sehingga serat kekancingan menjadi salah satu komoditi ekonomi yang sangat penting.

E. Definisi Konseptual

1. Praktek kekuasaan Jawa dapat didefinisikan sebagai praktek kekuasaan yang dilakukan oleh otoritas kekuasaan dalam budaya Jawa dengan cara menerapkan sistem feodalisme.

2. Sumber daya agraria dapat didefinisikan sebagai sumber daya yang meliputi lapangan, pedusunan, wilayah atau tanah negara.

F. Definisi Operasional

1. Indikator Praktek Kekuasaan Jawa:  Sifat kekuasaannya

 Aktor: raja, priyayi, abdi dalem, masyarakat biasa  Saluran-saluran kekuasaan

 Implementasi praktek kekuasaan Jawa  Dinamika praktek kekuasaan Jawa 2. Indikator Agraria:

 Tanah atau permukaan bumi. Jenis sumber agraria ini adalah modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan.

 Perairan. Jenis sumber agraria ini adalah modal alami utama dalam kegiatan perikanan, baik perikanan sungai maupun perikanan danau dan laut.

 Hutan. Inti pengertian “hutan” disini adalah kesatuan flora dan fauna yang hidup dalam suatu wilayah (kawasan) di luar kategori tanah pertanian.

(22)

36  Bahan tambang. Jenis sumber agraria ini meliputi ragam bahan tambang/mineral yang terkandung di dalam “tubuh bumi” (di bawah permukaan dan di bawah laut).

 Udara. Jenis sumber agraria ini tidak saja merujuk pada “ruang diatas bumi dan air” tetapi juga materi “udara” (CO2) itu sendiri.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana praktek kekuasaan Jawa yang merupakan sistem yang sudah ada sejak lama tetap digunakan untuk menguasai salah satu obyek agraria, yaitu tanah melalui serat kekancingan yang dikeluarkan oleh kraton sebagai pemerintah tradisional di Yogyakarta. Situasi yang sudah berbeda memungkinkan adanya pergeseran ketundukan dari masyarakat, khususnya masyarakat pengguna sultan ground yang sudah tidak lagi tunduk berdasarkan kewibawaan dan kharisma kraton, namun sudah ada aspek ekonomi dan politik yang menjadi sebab-sebab pergeseran tersebut. Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif yang dianggap dapat melihat hal yang diteliti dengan lebih mendalam dan mendetil. Salah satu cara dalam penelitian kualitatif adalah dengan studi kasus (case study). Alasan dipilihnya metode ini karena dianggap dapat melihat praktek kekuasaan kraton atas sumber daya agraria melalui berbagai kasus yang terjadi pada area nJeron Beteng, sehingga akan diketahui sejauh mana praktek tersebut dan implikasinya pada masyarakat.

Tipe studi kasus yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tipe studi kasus deskriptif. Tipe ini digunakan untuk mendiskripsikan suatu campur tangan atau fenomena dimana terdapat konteks dalam kehidupan nyata28. Tujuan dari studi kasus deskriptif adalah untuk menggambarkan suatu gejala, fakta atau

28

Pamela Baxter & Susan Jack, “Qualitative Case Study Methodology: Study Design and Implementation for Novice Researchers”, Jurnal The Qualitative Report Volume 13, Nomor 4, (2008), h. 548.

(23)

37 realita29. Dengan demikian penelitian ini ditujukan untuk menggali, menganalisa lalu menjelaskan mengenai praktek kekuasaan kraton atas sumber daya agraria yang berupa tanah. Sebagai salah satu metode penelitian, studi kasus memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan studi kasus diantaranya adalah bisa memahami kasus yang diteliti secara lebih mendalam dan juga dekat dengan subyek yang diteliti. Sedangkan kekurangannya adalah harus bisa mencari narasumber yang tepat dan yang bisa dipercaya, karena data selama penelitian akan berasal dari narasumber tersebut. Selain itu, kelemahannya harus bisa mendapat kepercayaan narasumber agar penelitian bisa berjalan dengan lancar dan narasumber akan lebih mudah kita eksplor. Kekurangan lainnya adalah membutuhkan waktu yang relatif lama agar bisa mendapat hasil penelitian yang mendalam. Untuk mengatasi berbagai kelemahan atau kekurangan tersebut dapat dilakukan dengan cara mulai menjalin hubungan dengan calon narasumber sebelum tahap pencarian data benar-benar dilakukan, hal ini agar dapat menghasilkan kedekatan dengan narasumber sehingga akan memudahkan untuk menggali data.

2. Unit Analisa Data

Penelitian dilakukan kepada pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan obyek penelitian yang meliputi masyarakat pengguna sultan ground di Kelurahan Kadipaten. Selain itu juga pihak kraton sebagai pemilik kuasa yang memiliki hubungan dengan hal serat kekancingan.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini mencangkup data primer dan data sekunder. Data primer akan diperoleh dengan melakukan wawancara dengan para narasumber yang meliputi masyarakat pengguna sultan ground sebagai target wawancara utama. Selain itu juga akan melakukan wawancara kepada pihak kraton sebagai pihak yang mengeluarkan peraturan bagi serat kekancingan,

29

J. R. Raco, Metode penelitian kualitatif: jenis, karakter dan keunggulannya, (Jakarta: Grasindo, 2009), h. 50.

(24)

38 wawancara akan dilakukan ke bagian Kawedanan Panitikismo yang mengurus perihal serat kekancingan dan peruntukannya.

Selain melalui data primer, sumber data juga didapat dari sumber sekunder yang terkait dengan tema penelitian. Data sekunder bisa didapat melalui literature, dokumen, internet, maupun data observasi.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data akan dilakukan dengan tiga cara, yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi.

 Observasi

Adler & Adler (Denzin & Lincoln 1994, h. 378)30 menyebutkan dua prinsip pokok yang mencirikan teknik observasi. Pertama, observer kualitatif tidak boleh mencampuri urusan subjek penelitian. Kedua, observer kualitatif harus menjaga sisi alamiah dari subjek penelitian. Observasi dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pemilihan seting, peneliti masuk dalam seting yang sesuai dengan kepentingan penelitiannya (bisa didapat melalui jalur formal maupun informal), lalu pengumpulan data yang dilakukan secara terus menerus hingga mencapai titik jenuh. Di dalam observasi, hasil yang diperoleh periset adalah ‘perasaan melibat’ dalam subjek penelitian. Tetapi, dalam hal ini penulis harus memiliki garis demarkasi yang tegas, yaitu untuk tidak larut dalam peristiwa yang dimiliki subjek yang sedang diteliti31. Penelitian juga akan dilakukan dengan melakukan observasi tempat, aktor, situasi, objek, dan perasaan.

 Wawancara

Data dalam penelitian kualitatif lebih berupa kata-kata, maka wawancara menjadi alat yang sangat penting. Penelitian ini akan menggunakan jenis wawancara terstruktur dengan cara menyiapkan bahan-bahan wawancara secara ketat. Hal ini dilakukan agar arah wawancara tidak melebar kemana-mana

30

Dalam Agus Salim, Teori dan paradigma penelitian sosial: buku sumber untuk penelitian kualitatif, (Cet. 2; Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 14.

31 Ibid.

(25)

39 sehingga akan didapat data yang padat. Lebih khusus, penelitian ini akan menggunakan model wawancara struktur alamiah – informal dengan cara pertanyaan yang dikembangkan secara spontan selama terjadi percakapan.

Wawancara dalam penelitian kualitatif berlangsung dari alur umum ke alur khusus. Wawancara tahap pertama biasanya hanya bertujuan untuk memberikan deskripsi dan orientasi awal perihal masalah dan subjek yang dikaji. Temuan-temuan yang muncul pada tahap ini kemudian diperdalam, dikonfirmasikan pada wawancara berikutnya, demikian seterusnya hingga mencapai titik jenuh32. Wawancara akan dilakukan kepada pihak masyarakat pengguna sultan ground dan kepada pihak Kraton. Wawancara kepada masyarakat mencangkup baik yang masih merupakan kerabat kraton (darah biru) maupun masyarakat biasa (non darah biru) dan juga abdi dalem. Pemilihan target wawancara yang berasal dari macam-macam status tersebut diharapkan dapat memperoleh data yang lebih beragam, selain itu masyarakat tersebut juga merupakan pihak-pihak yang menjadi target serat kekancingan sehingga dengan mewawancarai mereka dapat mengetahui operasionalisasi serat kekancingan kepada masyarakat beserta sikap masyarakat. Selain dengan masyarakat, wawancara juga dilakukan kepada pihak kraton sebagai pemilik kuasa yang memiliki hubungan dengan hal serat kekancingan, yaitu Kawedanan Panitikismo. Wawancara kepada Panitikismo sebagai pihak yang berwenang mengelola tanah sultan ground dipilih sebagai salah satu target karena dapat memberikan keterangan mengenai seluk-beluk pengelolaan tanah sultan ground melalui serat kekancingan sehingga dapat memperoleh data yang lengkap.

 Dokumentasi

Dokumentasi merupakan data sekunder yang diperlukan untuk memperkuat data yang didapat dari wawancara dan observasi. Dokumentasi bisa mencangkup dokumentasi yang berhubungan dengan obyek penelitian.

32

(26)

40 5. Teknik Analisa Data

Penelitian yang kaya akan data tidak akan berarti sama sekali jika data tersebut tidak dirangkai dalam struktur makna yang baik. Proses analisa data data kualitatif berlangsung selama dan pasca pengumpulan data. Proses analisis mengalir dari tahap awal hingga tahap penarikan kesimpulan hasil penelitian. Karenanya, sebagaimana dinyatakan oleh Miles & Hubermen, analisis data kualitatif dikaitkan sebagai model alir (flow model). Meski demikian, proses analisis data tidak kaku oleh batasan – batasan kronologis tersebut. Komponen-komponen analisa data secara interaktif saling berhubungan selama dan sesudah pengumpulan data. Karakter tersebut menjadikan analisis data kualitatif disebut model interaktif.

Proses analisis data kualitatif dijelaskan ke dalam tiga langkah, pertama, reduksi data yang merupakan lagkah pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar yang diperoleh di lapangan. Kedua, penyajian data yang berisi mengenai deskripsi kumpulan informasi yang tersusun yang memungkinkan untuk melakukan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data yang biasa digunakan adalah dalam bentuk teks naratif. Ketiga, penarikan kesimpulan dan verifikasi. Dari permulaan pengumpulan data, peneliti mencari makna dari setiap gejala yang diperoleh di lapangan, mencatat keteraturan atau pola penjelasan dan konfigurasi yang mungkin ada alur kausalitas dan proposi33.

H. Sistematika Penulisan

Agar tulisan ini menjadi tulisan yang mudah dipahami maka diperlukan adanya sistematika penulisan. Pada bab pertama tulisan ini berisi penjabaran mengenai pendahuluan penelitian. Pendahuluan penelitian tersebut mencangkup latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, definisi konseptual, definisi operasional serta metode penelitian.

Pada bab kedua tulisan ini akan membahas mengenai profil serat kekancingan. Di awali dengan melacak sejarah wilayah kekuasaan Kraton

33

(27)

41 Yogyakarta sehingga didapatkan persebaran sultan ground. Dilanjutkan dengan wilayah magersari dan masyarakat pemakai SG yang berdampak pada lahirnya serat kekancingan serta perkembangannya. Lebih khusus, akan melihat sultan ground yang berada di Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai serat kekancingan.

Pada bab ketiga tulisan ini berisi tentang analisa hubungan antara kekuasaan Kasultanan Yogyakarta dengan munculnya serat kekancingan, dari sinilah akan dapat dilacak hak atas tanah Kasultanan (sebagai old platform) yang pada perkembangannya akan melahirkan kebijakan serat kekancingan yang diatur juga berdasar hak atas tanah Kasultanan dalam UUK DIY (new platform). Selain itu juga akan membahas mengenai implementasi serat kekancingan dalam masyarakat pemakai tanah-tanah Kasultanan melalui berbagai hak pakai beserta dinamikanya. Dinamika yang ada dilihat dari tingkat kepedulian masyarakat pengguna sultan ground untuk mengurus serat kekancingan beserta berbagai macam alasan yang melatarbelakanginya.

Pada bab keempat tulisan ini berisi tentang dampak dari diterapkannya serat kekancingan untuk masyarakat yang menggunakan sultan ground, baik pengindung, masyarakat magersari, tuan tanah yang diindung, serta bagi pihak Kasultanan. Selain itu, pada bab ini juga akan melihat pergeseran ketundukan masyarakat terhadap Kraton Yogyakarta sebagai hasil dari pilihan-pilihan rasional masyarakat. Pada bab terakhir, yaitu bab kelima tulisan ini akan berisi mengenai kesimpulan efektivitas kebijakan serat kekancingan sebagai alat “penataan” Sultan Ground yang berimbas pada ketundukan masyarakat terhadap Kraton. Kesimpulan ini akan ditarik dari analisis pada bab sebelumnya (bab 2 – bab 4) sehingga akan jelas alur cerita tulisan ini dan jelas juga jawaban dari rumusan masalah dalam tulisan ini.

Referensi

Dokumen terkait

(iv) Untuk mengimplementasikan hal tersebut, akan dibentuk kelompok kerja selambat-lambatnya dalam 2 bulan yang akan melakukan analiss data dan informasi

Sesuai dengan uraian di atas maka peneliti bermaksud mengadakan penelitian dengan judul Pengembangan Green Behaviour Siswa Melalui Model Pembelajaran Pelayanan (Service

dan bahasa Arab sebagai alat untuk fakultas Syariah, Tarbiyah jurusan PAI, dll. Dari sini, dibuatlah rencana pengembangan dan pengajaran bahasa Arab selanjutnya. Ini

Berdasarkan permasalahan diatas dan dari hasil pemboran sumur sebelumnya terutama hasil pemboran sumur ST-28 sampai dengan ST-132 tersebut diatas, maka DOH Kalimantan

dalam bidang tasawuf, Ar-Raniry sangat dikenal di Aceh terutama ketika ia menentang paham wujudiyyah Hamzah Fansuri yang menjadi keyakinan masyarakat Aceh pada masa

Jika Anda memiliki lebih dari 1 (satu) rekening yang terhubung dengan kartu ATM BCA yang Anda gunakan untuk registrasi layanan m-BCA, maka secara otomatis semua

Berdasarkan hasil fenomena dan teori yang dipaparkan, peneliti kemudian tertarik untuk melakukan penelitian peran efikasi diri terhadap stres pada sopir angkot di

Dosen-dosen di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang telah mendidik dan memberikan dorongan moral