• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA mm glukosa. Sekresi insulin fase cepat. Sekresi insulin fase lambat Insulin (ng/ml/islet)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA mm glukosa. Sekresi insulin fase cepat. Sekresi insulin fase lambat Insulin (ng/ml/islet)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Diabetes melitus tipe-2, merupakan sindroma yang disebabkan oleh resistensi insulin atau terganggunya sensitivitas insulin pada jaringan otot, lemak dan hati, serta defek sekresi insulin, terutama defek sekresi insulin fase cepat oleh sel β pankreas. Dari gangguan tersebut di atas, defek sekresi insulin merupakan penyebab terjadinya hiperglikemia yang berkepanjangan. Gangguan sensitivitas insulin, atau yang dikenal sebagai resistensi insulin sudah terjadi 1 – 2 dekade sebelum terjadinya hiperglikemia (DeFronzo et al, 1992, Gerich, 2003). Defek sekresi insulin sel β pankreas yang dicetuskan oleh asupan glukosa ke dalam sel β pankreas, diduga kuat disebabkan oleh terganggunya fungsi mitokondria sebagai sumber produksi ATP (Lowell & Shulman, 2005, Maassen et al, 2004)

Sekresi insulin fase lambat Sekresi insulin fase cepat

Waktu (jam) Insulin (n g/mL/ is let ) 11.1 mM glukosa

Gambar 1 Ilustrasi pola sekresi insulin pada pulau Langerhans pankreas yang diinkubasi dalam larutan glukosa 11 mM (Grodsky 2000).

Pada penelitian in vitro, sel β pankreas normal yang diinkubasi dalam media yang mengandung glukosa dengan konsentrasi 11 mM selama 24 jam secara terus menerus, menunjukkan pola sekresi insulin bifasik (gambar 1), yaitu diawali dengan sekresi fase cepat yang terjadi pada 5-10 menit pertama setelah terpapar glukosa dengan konsentrasi 11 mM, yang selanjutnya diikuti oleh sekresi fase lambat, dengan puncak sekresi insulin sekitar jam ke 2-4, dan selanjutnya terjadi

(2)

penurunan sekresi insulin hingga mencapai sekresi minimal, yang dikenal sebagai sekresi basal (Grodsky, 1989, Rorsman et al., 2000, Grodsky, 2000).

Fenomena ini sangat erat hubungannya dengan interaksi yang sangat kompleks dari beberapa komponen sel, antara lain:

1. Kompleks ATP-dependent potassium channel (K+ATP), yang berperan dalam

proses depolarisasi membran sel β pankreas secara fisiologis (Aguilar-Bryan & Bryan, 1999).

2. Kanal ion kalsium (Ca2+channel), khususnya VDCC (Voltage Dependent

Calcium Channels) tipe-L, yang berperan dalam proses influks ion kalsium ke dalam sel β pankreas, sebagai pencetus sekresi insulin, (Nunemaker et al, 2004, Schulla et al, 2003, Garcia-Barrado et al, 1996).

3. Ultra-struktur granul insulin yang menggambarkan distribusi granul insulin di dalam sitosol, yang berperan dalam terjadinya sekresi insulin dengan pola bifasik (Daniel et al, 1999, Rorsman & Renstrom, 2003).

ATP-Dependent Potassium Channel (K+ATP)

ATP-Dependent Potassium Channel (K+ATP), merupakan alat yang sangat

penting dalam proses sekresi insulin, karena merupakan penghubung utama antara proses metabolik dan sekresi insulin, melalui aktivitas elektrik membran, atau terjadinya depolarisasi membran sel β pankreas (Bryan & Aguilar-Bryan, 1997). Peran K+ATP ini sangat penting dalam proses sekresi insulin, dan bisa dianggap

sebagai inisiator fisiologis dalam rangkaian proses sekresi atau eksositosis granul insulin, karena proses fisiologis sekresi insulin yang dicetuskan oleh glukosa selalu diawali inhibisi kanal K+ATP ini. Besarnya peran K+ATP ini juga terlihat dari

begitu besarnya jumlah kanal K+ATP pada sel β pankreas, yaitu sekitar 103 sampai

104 dalam satu sel. Untuk dapat menjalankan fungsi tersebut di atas, K+ATP terletak

pada daerah granul insulin (Geng et al, 2003), bahkan K+

ATP sebagai sensor ATP

terletak dalam satu tempat dengan kanal ion kalsium (VDCC), sensor cAMP dan sensor ion kalsium (Ca2+) (Shibasaki et al, 2004).

(3)

Membran plasma

Gambar 2 Ilustrasi ATP-dependent K+ channel (K+

ATP) (Bryan & Aguilar-Bryan,

2000).

K+ATP adalah sebuah kompleks protein berbentuk tetramer dari 4 unit, di

mana masing masing unit terdiri atas 2 subunit, yaitu reseptor sulfonilurea (SUR-X), sebuah protein yang termasuk dalam superfamili ATP-binding cassette (ABC) dan kanal ion kalium KIR6.x (Potassium inward rectifier) (Aguilar-Bryan et al,

1995, Aguilar-Bryan & Bryan, 1999, Aguilar-Bryan et al, 2001, Aguilar-Bryan et al, 1998) (gambar 2). Subunit SUR-X mempunyai isoform SUR1 dan SUR2 yang dibedakan dari afinitasnya terhadap sulfonilurea, sedangkan SUR2A dan SUR2B dibedakan dari afinitasnya terhadap diazoxide (Aguilar-Bryan & Bryan, 1999, Babenko et al, 1998, Inagaki et al, 1995, Bryan & Aguilar-Bryan, 2000). K+ATP

ini tidak hanya terdapat pada sel β pankreas saja, tetapi juga tersebar di berbagai jenis sel, dengan perbedaan komponen SUR, termasuk di sel α pankreas dan berfungsi sebagai regulator sekresi glukagon (Gromada et al, 2004).

K+ATP dengan komponen SUR1 dan KIR6.2, mempunyai afinitas tinggi

terhadap sulfonilurea, terutama diketemukan pada sel β pankreas. K+ATP dengan

SUR2A dan KIR6.2, mempunyai afinitas lebih rendah terhadap sulfonilurea,

(4)

SUR2B dan KIR6.1 atau KIR6.2 banyak diketemukan di jaringan otot polos

(Babenko et al, 1998, Aguilar-Bryan et al, 2001, Bryan & Aguilar-Bryan, 2000). Reseptor ATP terletak pada subunit KIR6.2,sedangkan reseptor sulfonilurea

dan diazoxide terletak pada subunit SUR-1 (gambar 3). Dalam kondisi istirahat, kanal K+ATP pada sel β pankreas selalu dalam keadaan terbuka, yang

memungkinkan ion kalium keluar menuju ekstraselular untuk mempertahankan konsentrasi kalium intraselular sekitar 130 mM dan konsentrasi ekstraselular 4 – 5 mM. Berbeda dengan sel otot, khususnya otot jantung, K+ATP dengan komponen

SUR2A dan KIR6.2 selalu dalam keadaan tertutup, dan terbuka bila dalam kondisi

iskemia.

Gambar 3 Ilustrasi kompleks ATP-dependent potassium channel (K+ATP)

(MacDonald & Wheeler, 2003)).

glibenklamid glibenklamid

Dalam keadaan istirahat, atau tanpa adanya peningkatan glukosa, pergeseran ion kalium menuju kompartemen ekstraselular akan menimbulkan potensial membran (resting membrane potential) sekitar -70 sampai -60 mV. Bila kadar glukosa dalam media inkubasi ditingkatkan sampai sekitar 7 mM, maka sudah akan terlihat peningkatan tegangan listrik membran atau sudah mulai terjadi depolarisasi, tetapi belum mencapai ambang untuk mencetuskan aktivitas elektrik membran. Aktivitas elektrik sel β pankreas baru terlihat bila glukosa ditingkatkan lebih tinggi sampai konsentrasi 11 mM, di mana terjadi depolarisasi yang lebih besar sehingga tegangan listrik atau potensial membran mencapai ambang elektrik,

(5)

yaitu sekitar –50 mV. Depolarisasi membran ini terjadi karena terhentinya pergeseran ion kalium dari intra-selular menuju ektra-selular, akibat tertutupnya kanal K+ATP (Mears & Atwater, 2000).

Gambar 4 Aktivitas elektrik sel β pakreas. (Mears & Atwater, 2000)

Peningkatan rasio ATP/ADP akibat metabolisme glukosa akan menyebabkan terjadinya ikatan antara ATP dengan reseptornya pada subunit KIR6.2 dan terjadilah inhibisi atau penutupan kanal K+ATP. Inhibisi K+ATP ini

menyebabkan depolarisasi atau terjadinya perubahan potensial membran menjadi sekitar -30 mV sampai -40 mV yang berdampak pada terbukanya kanal ion kalsium VDCC (gambar 4). Proses yang sama juga bisa terjadi bila berbagai golongan sulfonilurea berikatan dengan reseptornya pada subunit SUR-1. Sebaliknya akan terjadi aktivasi kanal K+ATP bila diazoxide berikatan dengan

reseptornya pada subunit SUR-1 yang mengakibatkan kanal K+ATP tetap terbuka,

sehingga tidak terjadi depolarisasi membran, yang selanjutnya tidak terjadi aktivitas elektrik membran, dengan demikian tidak terjadi proses sekresi insulin, yang diinisiasi oleh kanal K+ATP (gambar 5).

(6)

gliburid

Gambar 5 Aktivitas elektrik sel β pankreas pada pemberian sulfonilurea (gliburid) dan diazoxide (Mears & Atwater, 2000)

Kanal ion kalsium (Ca2+

channels)

Ion kalsium sebagai intracellular (2nd) messenger, sangat vital dalam berbagai fungsi sel, termasuk sekresi insulin oleh sel β pankreas. Untuk menjamin kestabilan konsentrasi ion kalsium intraselular, diperlukan kanal ion kalsium untuk masuk ke dalam sel, dan transporter ataupun penukar ion kalsium untuk membawa ion kalsium keluar dari sitosol ke kompartemen ekstraselular (Belkacemi et al, 2005). Ion kalsium masuk ke dalam sel melalui 3 pintu, yaitu:

1. VDCC, Voltage-Dependent Calcium Channel.

2. Transient Receptor Potential (TRP)-related Ca2+ channel, dan 3. SOC, Store-operated Ca2+ channel.

Sedangkan untuk membawa ion kalsium keluar dari sitosol diperlukan bantuan: 1. PMCA (Plasma membrane Ca2+-ATPase), Kalsium-ATPase membran

plasma

(7)

VDCC (Voltage dependent calcium channels).

VDCC merupakan kanal influks kalsium yang paling banyak dipelajari, dan mempunyai peran sangat penting dari berbagai sel dengan berbagai fungsi, termasuk fungsi sekresi insulin sel β pankreas (Nunemaker et al, 2004).

Gambar 6 Ilustrasi kanal kalsium yang bergantung tegangan lsitrik membran tipe-L (VDCC=voltage-dependent calcium channel; DHP=letak reseptor dihidropiridin; +++ = voltage-sensor) (MacDonald & Wheeler, 2003))

Sampai saat ini, berdasarkan kekuatan arus listrik yang diperlukan untuk aktivasi kanal kalsium tersebut, dikenal 3 subfamili (Catterall et al, 2003), yaitu antara lain:

1. L-type high voltage-activated (HVA) Ca2+ channel, atau VDCC tipe-L, yang untuk aktivasinya diperlukan depolarisasi kuat, dan aktivasinya cukup lama, serta dapat dihambat oleh antagonis Tipe-L seperti dihidropiridin, fenilalkilamin dan benzothiazepine. Tipe-L ini terdiri atas CaV1.1, 1.2, 1.3

dan 1.4, banyak terdapat di jaringan otot dalam fungsi kontraksi dan sel endokrin dalam fungsi sekresi hormon. Tipe-L, khususnya CaV1.2 inilah

yang sangat berperan pada proses sekresi insulin fase cepat (Schulla et al, 2003). Kanal kalsium tipe ini akan terbuka atau teraktivasi bila ada peningkatan tegangan listrik membran (depolarisasi), hal ini dimungkinkan karena VDCC tipe-L mempunyai sensor tegangan listrik (voltage-sensor) (gambar 6). Depolarisasi yang diperlukan untuk terbukanya VDCC tipe-L

(8)

ini tidak hanya terjadi akibat penutupan kanal K+ATP semata, tetapi bisa juga

dicetuskan oleh kondisi lain, seperti asam amino L-arginina atau kondisi artifisial dengan menambahkan 25 meq kalium ke dalam media inkubasi. Asam amino L-arginina yang bermuatan positif dapat menembus membran sel, sekaligus menyebabkan terjadinya depolarisasi yang cukup kuat untuk membuka VDCC tipe-L ini. Penambahan 25 meq KCl ke dalam media inkubasi dapat mengaktivasi VDCC tipe-L karena perubahan konsentrasi ion kalium ekstraselular akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran sampai mencapai tegangan listrik sekitar sampai -30 mV, yang mampu membuka hampir semua VDCC tipe-L. Perhitungan ini didapat dari persamaan Nernst: E= -58 log [K]o/[K]i. (E=perbedaan tegangan) (Hille,

1984)

2. Non-L-type HVA channel, terdiri atas 3 subfamili, CaV2.1 (tipe-P/Q), CaV2.2

(tipe-N), dan CaV2.3 (Tipe-R), yang untuk aktivasinya juga diperlukan

depolarisasi yang kuat, tetapi tidak terhambat oleh antagonis tipe-L, terutama terdapat pada jaringan syaraf atau neuron dalam proses neurotransmisi. CaV2.3 sangat berperan pada proses sekresi insulin fase

lambat, khususnya pada penambahan granul insulin pada posisi RRP (Jing et al, 2005).

3. Low voltage-activated (LVA) T-type Ca2+ channel (Tipe T), terdiri atas CaV3.1, 3.2 dan 3.3 yang untuk aktivasinya diperlukan depolarisasi lemah,

dan aktivasinya hanya sesaat saja, serta tidak terhambat oleh antagonis tipe-L dan Tipe-N, P/Q serta R. Walaupun belum jelas perannya dalam sekresi insulin, Tipe-T inipun juga terdapat pada sel β pankreas (Zhuang et al, 2000)

Sesuai dengan fungsinya sebagai komponen yang berperan dalam sekresi insulin, VDCC tipe-L ini berkedudukan sangat berdekatan atau berdampingan dengan granul insulin yang sudah dalam posisi docked (Eliasson et al, 1996). Jumlah VDCC tipe-L mencapai hampir 50% dari seluruh kanal kalsium yang ada pada sel β pankreas. VDCC tipe-L CaV1.2, berperan sangat penting dalam proses sekresi

(9)

insulin, khususnya sekresi fase cepat (Schulla et al, 2003), sedangkan fase ke dua atau fase lambat dipengaruhi oleh keberadaan CaV2.3 (Jing et al, 2005).

Ultrastruktur granul insulin.

Di dalam sitosol sel β pankreas mencit, tersebar sekitar 9.000 – 10.000 granul insulin. Ditinjau dari jarak antara granul dengan membran sel, posisi granul insulin yang sudah dekat dengan membran sel, dapat dikelompokkan ke dalam 2 posisi, yaitu granul cadangan dan granul yang siap untuk disekresikan (gambar 7). Granul insulin cadangan berada dalam posisi hampir menempel pada membran sel (almost docked), berjumlah sekitar 2000 granul, terletak pada jarak kurang dari 0,2 μm dari membran sel, sedangkan granul yang siap disekresikan berada dalam posisi sudah menempel pada membran sel (docked) berjumlah sekitar 650 granul.

Almost docked docked

Gambar 7 Ultrastruktur sel β pankreas tikus dan hubungannya dengan sekresi insulin bifasik (Roorsman 2003).

(10)

Granul insulin dalam posisi sudah menempel pada membran sel (docked) ini dikelompokkan lagi ke dalam 2 bagian (Bratanova-Tochkova et al, 2002, Olofsson et al, 2002, Rorsman & Renstrom, 2003), yaitu:

1. Readily Release Pool (RRP), berjumlah sekitar 50 granul, adalah posisi granul insulin yang sudah menempel atau lebih tepat dikatakan terkait pada membran sel, yang betul-betul siap untuk disekresikan dan kelompok RRP inilah yang bertanggung jawab terjadinya sekresi insulin fase cepat (Barg et al, 2002) (gambar 8). Insulin ya ng disekresi / 1 sel beta glukosa

Gambar 8 Ilustrasi pola sekresi insulin dan pool granul (Rorsman 2003).

Granul insulin dalam posisi RRP ini terkait pada membran sel akibat bergabungnya 4 protein SNARE (gambar 9), yang membentuk sebuah kompleks protein, yaitu:

a. Synaptobrevin-2/VAMP-2 (berada pada dinding granul), dengan b. Syntaxin, SNAP-25 dan Synaptotagmin (berada pada membran sel) Kompleks SNARE ini sangat berperan, baik dalam proses penggabungan granul insulin dengan membran sel maupun terjaminnya influks ion kalsium (Ca2+) ke dalam suatu area yang sangat dekat dengan granul insulin yang siap disekresikan. Fungsi ini bisa terlaksana karena Syntaxin, SNAP-25 dan Synaptotagmin bergabung dengan salah satu bagian intraselular kanal

(11)

kalsium VDCC tipe-L yang berfungsi sebagai pintu gerbang masuknya Ca2+ ke dalam sitosol (gambar 9) (Daniel et al, 1999). Dari berbagai penelitian, ditunjukkan bahwa gangguan sekresi insulin fase cepat inilah yang merupakan defek awal pada DM tipe-2 (Fukushima et al, 2004a, Fukushima et al, 2004b, Hosker et al, 1989, Nesher et al, 1987).

Gambar 9 Ilustrasi protein SNARE, granul insulin dan VDCC tipe-L dalam posisi docked, dan proses eksositosis insulin (Daniel et al, 1999)

2. Sekitar 600 granul akan bertanggung jawab terhadap terjadinya sekresi insulin fase lambat selama sekitar 2 jam, dengan kecepatan sekresi sekitar 5 granul tiap menit (Bratanova-Tochkova et al, 2002).

Fisiologi Sekresi Insulin

Untuk mempelajari mekanisme kerja obat atau herbal yang bersifat insulinotropik atau insulin sekretagog, diperlukan pengenalan fisiologi sekresi insulin secara lebih mendalam. Regulasi sekresi insulin dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori (Masharani et al, 2004, Weir et al, 2000), yaitu (gambar 10):

(12)

1. Stimulan sekresi insulin secara langsung (direct stimulant insulin release), seperti glukosa, manosa, asam amino leusin, arginina, stimulasi vagal, dan obat obat golongan sekretagog insulin sulfonilurea dan glinid, yang dapat mencetuskan rangkaian proses sehingga terjadi sekresi insulin secara langsung karena dapat mencetuskan terjadinya depolarisasi membran secara langsung, baik dengan atau tanpa melibatkan K+ATP (Doyle & Egan, 2003).

2. Penguat sekresi insulin (amplifiers of glucose-induced insulin release), adalah berbagai zat yang dapat meningkatkan sekresi insulin yang telah diawali oleh glukosa, jadi tanpa glukosa bahan dalam golongan ini tidak bisa mencetuskan sekresi insulin. Adapun bahan-bahan yang tergolong dalam kelompok ini adalah sebagai berikut:

a. Hormon enterik seperti Glucagon-like peptide-1 (GLP-1), Gastric Inhibitory Peptide (GIP), Cholesistokinin, Sekretin dan Gastrin

b. Neural amplifier : stimulasi adrenergik β dan kolinergik c. Asam amino arginina.

3. Penghambat sekresi insulin (inhibitors of insulin release) (Sieg et al, 2004) a. neural : pengaruh adrenergik α dari katekolamin

b. humoral : somatostatin

c. obat-obat: diazoxide, phenytoin, vinblastin, colchicine.

Sampai sebelum tahun 2004, mekanisme sekresi insulin oleh glukosa secara fisiologis dapat digambarkan sebagai berikut. Setelah glukosa masuk ke dalam sel β pankreas melalui transporter glukosa isoform-2 (GLUT-2), oleh enzim glukokinase / heksokinase, akan diubah menjadi glukosa-6 fosfat (G6P) dan selanjutnya terjadilah proses pembentukan ATP. Alam memberikan kemampuan sel β pankreas dengan sistem transport glukosa yang sangat baik. Sistem transport ini diperankan oleh transporter glukosa isoform-2 (GLUT–2) yang tidak bergantung pada keberadaan insulin, dan selalu siap dipermukaan membran sel. Transporter ini aktif dengan Km 5.5 mM/L, dan glukokinase juga mempunyai Km

(13)

dipergunakan untuk menangani peningkatan glukosa dalam sirkulasi dalam konsentrasi yang tinggi dan perubahan yang cepat seperti yang terjadi pada keadaan sehabis makan, atau kondisi prandial. Di samping glukokinase, sel juga mempunyai kelengkapan enzim Heksokinase dengan nilai Km sebesar 0.01 mM/L.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa fungsi heksokinase lebih ke arah pemeliharaan sel dalam menjaga energi β sel (gambar 11)

SUR AC epinefrin norepinefrin syaraf parasimpatis AC galanin somatostatin GLP-1 leusina VIP Ach PI IP3 IP3R DAG PKC cAMP cAMP PKA GS GS GI GI (-) (+) Sulfonilurea Diazoxide K+ GIP arginina metabolisme depolarisasi medula adrenal syaraf simpatis

Gambar 10 Ilustrasi berbagai faktor yang dapat mempengaruhi sekresi insulin, baik stimulator maupun inhibitor (Weir et al, 2000).

Rangkaian reaksi proses sekresi insulin oleh glukosa ini dapat dikelompokkan dalam beberapa tahap (Newgard & Johnson, 2000):

1. Tahap 1: tahap peningkatan rasio ATP/ADP, yang dapat terjadi melalui 3 mekanisme yang berbeda (gambar 11), yaitu:

(14)

a. Produksi dari glikolisis dari triose-fosfat menjadi piruvat (sumber ATP dari alur ini tidak cukup untuk terjadinya inhibisi kanal K+ATP)

b. Proses perubahan reduced nicotinamide dinucleotide phosphate (NADH) dalam mitokondria, ini merupakan sumber ATP terbesar dalam rangkaian proses sekresi insulin. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang mendapatkan adanya inhibisi sekresi insulin pada penggunaan asam bongkrek sebagai inhibitorATP/ADP translokase di dalam mitokondria (Kiranadi et al, 1991)

c. Oksidasi piruvat dalam mitokondria.

Gambar 11 Skema tiga sumber pembentukan ATP yang berasal dari alur metabolisme glukosa dalam rangkaian regulasi sekresi insulin yang difasilitasi oleh glukosa pada sel β pankreas (Newgard & Johnson, 2000) glukosa GLUT-2 glukosa glukokinase / heksokinase G6P Triose-P gliserol-P Piruvat TCA NADH ATP ADP ATP1 ATP2 ATP3 FADH Ca2+ Ca2+ K+

Sekresi insulin

(15)

2. Tahap 2: Inhibisi K+ATP. Peningkatan rasio ATP/ADP akan diikuti terikatnya

ATP dengan reseptornya pada subunit KIR6.2 yang mengakibatkan inhibisi

atau penutupan kanal K+ATP.

3. Tahap 3: Penutupan kanal K+ATP akan meningkatkan terhentinya pergeseran

ion kalium dari intra menuju ekstraselular. Kondisi ini menyebabkan terjadinya depolarisasi membran dan tegangan listrik membran sel akan meningkat dari sekitar -70 mV menjadi sekitar -40 mV, sehingga melampaui ambang aktivitas elektrik membran yaitu sekitar – 50 mV.

ATP/ADP

K

+ATP (-) SU (-)

glukosa

(+)

VDCC

sekresi

insulin

Depolarisasi membran repolarisasi Ca2+ (+) (+) (+) (-)

K

V

Gambar 12 Ilustrasi tahapan proses fisiologik sekresi insulin oleh sel β pankreas. Terlihat terjadinya aktivasi VDCC dan KV akibat depolarisasi secara

bersamaan. Aktivasi KV terjadi sedikit lebih lambat dibanding

(16)

4. Tahap 4: Aktivasi VDCC tipe-L. Depolarisasi membran sel yang meningkatkan potensial membran sekitar -40 mV akan diikuti dengan aktivasi atau terbukanya kanal kalsium VDCC tipe-L yang memungkinkan masuknya ion kalsium (Ca2+) ke dalam sitosol. Bersamaan dengan aktivasi VDCC tipe-L, depolarisasi juga mengakibatkan aktivasi atau terbukanya voltage dependent potassium channels (KV), tetapi proses ini terjadi sedikit

lebih lambat dibanding dengan aktivasi VDCC. Aktivasi KV ini akan

memungkinkan masuknya kembali ion kalium ke dalam sitosol, sehingga terjadi repolarisasi kembali tegangan listrik membran sel (gambar 12).

5. Perubahan konsentrasi ion kalsium intraselular [Ca2+]i selanjutnya

mencetuskan proses eksositosis atau sekresi insulin dari sekitar 50 granul insulin yang sudah dalam posisi RRP dalam waktu yang bersamaan dan terjadilah sekresi insulin fase cepat.

6. Posisi RRP yang sudah mengalami eksositosis akan digantikan oleh granul cadangan, dengan kecepatan eksositosis sekitar 5 granul tiap menit. Proses pergeseran granul insulin ini mutlak memerlukan energi yang berasal dari metabolisme glukosa, tanpa metabolisme glukosa tidak terjadi pengisian posisi RRP yang sudah kosong tersebut yang berdampak pada tidak terjadinya sekresi insulin fase lambat.

Henquin (2004) menyempurnakan teori tersebut di atas dan ada beberapa perubahan yang mendasar tentang sekresi insulin. Sekresi insulin terjadi karena adanya suatu kompleks alur yang dapat dikelompokkan ke dalam dua alur pokok, yaitu triggering dan amplifying pathway (gambar13). Triggering pathway ditandai dengan terbukanya kanal kalsium VDCC setelah membran sel mengalami depolarisasi, dan secara fisiologis, sekresi insulin baru bisa terjadi bila diperkuat oleh amplifying pathway. Triggering pathway yang didahului penutupan kanal K+ATP, disebut sebagai K+ATP-dependent triggering pathway. Dalam berbagai

penelitian terbukti bahwa sekresi insulin juga dapat dicetuskan oleh berbagai faktor eksternal, seperti asam amino tertentu, berbagai zat yang bekerja sebagai insulin sekretagog, serta aktivitas yang menyebabkan depolarisasi membran sel, seperti asam amino L-arginina yang dimasukkan dalam kelompok stimulan

(17)

langsung (Herchuelz et al, 1984, Weinhaus et al, 1997). Karena zat tersebut dapat menyebabkan depolarisasi membran tanpa melalui inhibisi kanal K+ATP, maka alur

tersebut dikenal sebagai K+ATP-independent triggering pathway (Henquin, 2004,

Bratanova-Tochkova et al, 2002). SUR 1 Kir 6.2 SUR 1 Kir 6.2 glukosa metabolisme 1

nutrien

K +

ATP ADP messenger lain Triggering pathway

Ca

2+

Ca

2+ 3

-+

amplifying pathway amplifying pathway

sekresi insulin

2 4 4

arginin

6

?

?

?

α2-adr GLP-1

+

+

-5

+

-Henquin, Diabetes (53) Suppl 3; 2004

VGCC

Gambar 13 Skema fisiologi sekresi insulin serta lokasi potensial tempat bekerjanya berbagai obat insulin sekretagog pada sel β pankreas (Henquin, 2004).

Glukosa sebagai stimulan langsung sekresi insulin, tidak hanya berpengaruh baik pada triggering pathway saja, karena secara fisiologis triggering pathway saja, tidak akan cukup untuk mencetuskan sekresi insulin, tetapi juga bekerja pada amplifying pathway melalui alur metabolisme yang menghasilkan penambahan peningkatan rasio ATP/ADP, dan pengaktifan second (2nd) messenger.

Henquin (2004) menjelaskan sangat rinci tentang adanya 6 lokasi potensial tempat bekerjanya berbagai obat golongan insulin sekretagog (gambar 13). Dengan berpedoman pada teori ini, maka penelitian mekanisme kerja obat

(18)

golongan insulin sekretagog akan menjadi sangat jelas, dan dapat dipakai untuk mengidentifikasi salah satu dari 6 lokasi tempat bekerja obat tersebut.

Lokasi-1 adalah lokasi yang dapat menstimulasi metabolisme sel β pankreas melalui aktivasi glukokinase, inhibisi glukosa-6-fosfatase, sumber energi alternatif dan inhibisi Na+/Ca2+ exchanger di mitokondria. Lokasi-2 adalah lokasi yang dapat meningkatkan kalsium sitosol [Ca2+]i dengan cara inhibisi kanal K+ATP, baik

melalui interaksi dengan subunit SUR-1 ataupun KIR6.2. Lokasi-3 adalah lokasi

yang juga dapat meningkatkan kalsium sitosol [Ca2+]I, tetapi tidak melalui kanal

K+

ATP melainkan dengan inhibisi kanal kalium lainnya, aktivasi kanal kalsium,

bekerja pada kanal ion lain dan inhibisi proses yang menurunkan ion kalsium sitosol [Ca2+]i. Lokasi-4 merupakan lokasi terjadinya amplifikasi amplifying

pathway melalui aktivasi dari proses amplifikasi yang dimediasi oleh nutrien selain glukosa, inhibisi AMP-kinase, inhibisi 11β-hidroksisteroid dehidrogenase tipe-1, sensitisasi ion kalsium, inhibisi degradasi cAMP dan aktivasi PKC pathway. Lokasi-5 merupakan lokasi yang berhubungan dengan reseptor membran sel, seperti antagonis reseptor inhibitorik ataupun agonis reseptor stimulatorik. Lokasi-6 merupakan lokasi yang berhubungan dengan reseptor pada inti sel.

Henquin (2004) juga sangat jelas memperlihatkan mekanisme kerja Glucagon like peptide-1 (GLP-1) yang bersifat penguat sekresi insulin yang difasilitasi oleh glukosa. GLP-1 bersifat glucose dependent, karena tanpa glukosa tidak akan terjadi inisiasi triggering pathway. Terlihat jelas GLP-1 dapat meningkatkan efisiensi [Ca2+]i yang dicetuskan oleh triggering pathway pada

lokasi 3 dan meningkatkan efisiensi amplifying pathway pada lokasi 4. Hal ini memperkuat teori sebelumnya yang mengemukakan bahwa GLP-1 bekerja dengan prinsip mekanisme cross talk pada proses sekresi insulin yaitu dengan memperkuat inhibisi kanal K+ATP dan aktivasi VDCC oleh protein kinase A (PKA)

yang terbentuk setelah GLP-1 berikatan dengan reseptornya di membran sel β pankreas. Inhibisi kanal K+ATP dan aktivasi VDCC oleh PKA tidak secara

langsung, tetapi memperkuat alur yang difasilitasi oleh glukosa sehingga disebut pula sebagai glucose competence concept. Teori ini mengemukakan bahwa GLP-1 bekerja sebagai penguat alur K+ATP-dependent triggering pathway dan amplifying

(19)

pathway (Habener, 2000). Henquin (2004) memperbaiki teori tersebut di atas, dengan memperjelas mekanisme kerja GLP-1, seperti dalam gambar 13.

Gambar 14 Peran Potassium dependent channel (Kv2.1) dalam mekanisme

glucose compentence concept oleh GLP-1 (MacDonald & Wheeler, 2003).

Pada penjelasan di atas, belum diketahui secara pasti bagaimana PKA dapat memperkuat aktivasi VDCC. McDonald (2003) memperjelas mekanisme ini. Setelah GLP-1 berikatan dengan reseptornya pada membrane sel β, akan terjadi aktivasi protein G oleh GLP-1, selanjutnya akan diikuti aktivasi adenilsiklase (AC) sebagai enzim yang mengaktifkan cAMP. Terbentuknya cAMP akan diikuti oleh aktivasi protein kinase A (PKA) yang bersifat inhibitor kanal Kv2.1 (Voltage

dependent potassium channels). Inhibisi ini juga terjadi pada alur metabolisme secara fisiologis akibat terbentuknya NADPH oleh mitokondria yang dapat

(20)

meningkatkan rasio NADPH/NADP+. Inhibisi KV2.1 ini, akan memperkuat

depolarisasi yang terjadi akibat inhibisi K+ATP oleh metabolisme glukosa, jadi

GLP-1 tidak langsung bekerja pada VDCC. Proses inilah yang dimaksud sebagai kerja GLP-1 dalam memperkuat alur amplifying pathway (gambar 14). Dari penelitian terdahulu, diketemukan adanya penurunan efektifitas, penurunan sekresi GLP-1 pada DM tipe-2 (Nauck et al, 1986). Dengan penjelasan tersebut dapat dimengerti bahwa salah satu sebab terganggunya sekresi insulin fase cepat adalah kurangnya dukungan yang memperkuat alur triggering dan amplifying pathway oleh GLP-1.

BRIN-BD11

BRIN-BD11 adalah salah satu jenis sel lestari penghasil insulin (clonal glucose-responsive insulin-secreting cell) yang cukup stabil, dan mempunyai sifat yang mendekati fisiologi sel β pankreas. BRIN-BD11 dapat dipergunakan untuk berbagai penelitian yang berhubungan dengan sekresi insulin, dan dapat mengatasi beberapa keterbatasan pada penggunaan islet cell yang diisolasi dari pankreas tikus atau mencit seperti kesulitan teknis isolasi islet Langerhans, heterogenisitas selular dan hormonal dari islet, dan penurunan produksi insulin secara cepat dalam kondisi kultur jaringan.

BRIN-BD11 dibentuk dari proses fusi-elektrik (electrofusion) dari RINm5F dan pancreatic islet cells tikus New England Deaconess Hospital (NEDH). Dari proses ini dihasilkan tiga jenis sel lestari penghasil insulin, yaitu BRIN-BG5, BRIN-BG7 dan BRIN-BD11. Di antara ketiga jenis sel tersebut, BRIN-BD11 mempunyai tingkat respons yang paling baik terhadap perbedaan konsentrasi glukosa, karena mempunyai kandungan GLUT-2 dan glukokinase yang terbanyak (McClenaghan & Flatt, 2000, McClenaghan et al, 1996).

Secara morfologi, BRIN-BD11 tumbuh sebagai sel monolayer pada kultur sel dengan sifat epiteloid, yang cukup stabil walaupun sudah mengalami lebih dari 50 passage (McClenaghan et al, 1996).

BRIN-BD11 pernah dicoba untuk ditransplantasikan ke tikus diabetes yang diberi streptosotozin, ternyata memberikan perbaikan glukosa darah hingga mencapai normoglikemia pada hari ke 7 sampai 20. Di samping itu BRIN-BD11

(21)

yang diambil kembali dari tempat transplan dan dilakukan kultur ulang, menunjukkan perbaikan respons sekresi insulin dari BRIN-BD11 tersebut (Davies et al, 2001).

Dibanding dengan sel lestari penghasil insulin lain seperti RIN5mF, HIT-T15, dan INS, BRIN-BD 11 mempunyai sifat yang paling mendekati sel β pankreas walaupun INS mempunyai kandungan granul insulin paling banyak. BRIN-BD11 mempunyai sensitivitas terhadap glukosa dengan menunjukkan perbedaan respons sekresi insulin pada berbagai konsentrasi glukosa, sedangkan yang lainnya tidak (Akbarsha et al, 1990). Profil metabolisme BRIN-BD11 juga lebih baik dibanding dengan sel induknya RIN5mF (Rasschaert et al, 1996).

Mekanisme glucose sensing dimiliki oleh BRIN-BD11, karena mempunyai kelengkapan GLUT-2 dan rasio glukokinase/heksokinase yang tinggi, serta kandungan insulin sekitar 77 ng/106 sel, jauh lebih tinggi dibanding dengan sel induknya RINm5F yang hanya mempunyai kandungan insulin sekitar 0,6 ng/106 sel. Secara dinamika, BRIN-BD11 mampu menunjukkan pola sekresi insulin fase cepat dengan puncak sekresi pada menit ke 2 setelah kadar glukosa media ditingkatkan dari 1,1 mM menjadi 16,7 mM. Sekresi insulin akut oleh BRIN-BD11 pada media dengan kadar glukosa 16,7 mM selama 20 menit menunjukkan peningkatan sebesar 1,4 kali dibanding inkubasi pada media dengan kadar glukosa 1,11 mM. Sekresi insulin ini dapat dihambat oleh 0,5 mM diazoxide dan sebaliknya terjadi peningkatan tajam, sekitar 9 kali pada pemberian 25 mM KCl (McClenaghan et al, 1996).

Media terbaik yang dapat dipakai untuk pemeliharaan adalah RPMI 1640, dengan kadar glukosa 11,1 mM, dan sekresi insulin terbaik setelah 10 hari inkubasi (Akbarsha et al, 1990). Jumlah sel berkembang biak menjadi 2 kali lipat dalam kurun waktu 20 jam.

BRIN-BD11 juga telah dipakai di berbagai pusat penelitian, yang berhubungan dengan efek insulinotropik berbagai herbal seperti jamur Agaricus campestris (Gray & Flatt, 1998c), Eucalyptus globulus (Gray & Flatt, 1998c), Medicago sativa (Gray & Flatt, 1997), Agrimony eupatria (Gray & Flatt, 1998a). BRIN-BD11 juga dapat dipakai untuk mempelajari pengaruh berbagai obat pada sel β pankreas (Ball et al, 2004, Ball et al, 2005, McClenaghan et al, 2001,

(22)

Kamagate et al, 2002) bahkan dapat pula mempelajari berbagai metabolisme dan fisiologi sel β pankreas (Welters et al, 2004, Rasschaert et al, 1996, McClenaghan et al, 1996)

Gambar 15 BRIN-BD11 pada hari ke 0, sesaat setelah dipindahkan ke botol pada proses subkultur (Pemotretan gambar 16 – 18 dilakukan tanpa skala, dengan inverted microscope).

(23)

Gambar 17 BRIN-BD11 pada hari ke-7 dalam proses kultur

Sambiloto (Andrographis paniculata)

Sambiloto adalah nama di daerah Jawa Tengah, Sunda: Ki oray, Melayu : Sambilata, Maluku: pepaitan dan Malaysia: Hempedu Bumi. Sambiloto dalam klasifikasi sistem Engler termasuk dalam divisi : Embryophyta siphonogama, Subdivisi: Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Bangsa Tubiflorae, Suku Acanthaceae serta Marga: Andrographis. Menurut klasifikasi modern (Integrated Sistem of Classification) termasuk divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, anak kelas Asteridae, bangsa Scrophulariales dan suku Acanthaceae. Sambiloto termasuk tanaman Herba, semusim, tinggi + 35 - 90 cm. Batang berkayu, pangkal bulat, masih muda berbentuk segi empat setelah tua bulat, percabangan monopodial, hijau. Daun tunggal bulat telur, bersilang berhadapan pangkal dan ujung runcing, tepi rata, panjang + 5 cm, lebar + 1,5 cm., pertulangan menyirip, panjang tangkai + 30 mm, hijau keputih putihan, hijau.

(24)

Gambar 18 Foto tanaman sambiloto (Andrographis paniculata) umur tanam 30 hari (kiri), 60 hari (tengah) dan 90 hari (kanan) setelah dipindahkan dari tempat persemaian. Foto diambil di rumah kaca BALITRO

Daun sambiloto mengandung saponin, flavonoid dan tanin (Hanan, 1996). Kandungan aktif dari sambiloto adalah antara lain andrografolid (AP1) (gambar 19), 14-deoksi-11,12 didehidroandrografolid (AP3) dan neo-andrografolid (AP4) yang rasanya sangat pahit (Pholphana et al, 2004). Kandungan andrografolid mencapai 2,5 – 4,6% dari bobot kering. Andrografolid sangat mudah diabsorbsi melalui saluran cerna, dan hampir seluruhnya diabsorbsi pada pemberian oral pada tikus. Sebagian besar andrografolid (55%) terikat pada albumin dalam sirkulasi, dan sedikit dalam keadaan bebas, sehingga hanya sedikit yang bisa masuk ke dalam sel. Konsentrasi maksimum yang dapat dicapai dalam sirkulasi darah setelah pemberian 20 mg andrografolid peroral pada manusia 393 ng/mL atau sekitar 1,12 μM andrografolid. Konsentrasi tertinggi tercapai dalam 90 sampai 120 menit setelah pemberian andrografolid peroral. Waktu paruh andrografolid sekitar 6,6 jam (Panossian et al, 2000).

Ditinjau dari aspek toksikologi, berdasarkan kriteria Gleason, sambiloto termasuk ke dalam golongan yang Practically Non Toxic, mengingat dosis toksik akut (LD50 ) sebesar 71,27 mg/10 gBB. Efek toksisitas yang terlihat adalah

(25)

Gambar 19 Rumus bangun andrografolid; 3,14,19-trihidroksi-8(17),12-labdadien-16,15-0lide; C20H30O5 (BM:350.454)

Manfaat klinis sambiloto

Sambiloto berkhasiat sebagai obat berbagai jenis penyakit antara lain demam, penyakit kulit, kencing manis, diuretika, antialergi, antitukak lambung radang telinga dan obat masuk angin.

Berbagai pengaruh sambiloto yang telah dibuktikan antara lain, pemberian 20 mg serbuk kering daun sambiloto ke pada tikus albino selama 60 hari dapat menyebabkan depresi spermatogenesis sebagai dampak dari sifat sambiloto sebagai antiandrogen (Akbarsha et al, 1990).

Pada penelitian yang membandingkan ekstrak sambiloto (A. paniculata nees) dengan minyak ikan, terihat bahwa ekstrak sambiloto tersebut bersifat anti-arteriosklerosis dan mencegah restenosis pasca angioplasti, sedangkan minyak ikan tidak mempunyai sifat tersebut (Inagaki et al, 1996).

Sifat inhibisi kanal kalsium juga terlihat pada penelitian yang menggunakan ekstrak kering daun sambiloto. Pada konsentrasi 0.4 mg/mL dalam media inkubasi vasa deferens tikus, terlihat inhibisi influks ion kalsium secara total (Burgos et al, 2000), fenomena serupa juga terlihat pada penelitian yang menggunakan ekstrak

(26)

kering sambiloto dengan konsentrasi 0.4 mg/mL pada media inkubasi uterus tikus (Burgos et al, 2001).

Fraksi etanol dari serbuk kering daun sambiloto ternyata juga bersifat antihistamin, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai herbal antialergi (Aldi et al, 1996).

Sambiloto juga mempunyai sifat antimikrobial, termasuk antimalaria. Serbuk daun sambiloto dapat menghilangkan gejala subyektif infeksi saluran nafas bagian atas sederhana (Coon & Ernst, 2004). Empat jenis Xanthones yang dihasilkan dari ekstraksi akar sambiloto, ternyata terbukti dapat menurunkan derajat parasitemia Plasmodium berghei pada mencit Swiss Albino sampai sebesar 62% pada pemberian oral dengan konsentrasi 30 mg/kgBB (Dua et al, 2004), sedangkan ekstrak daun sambiloto yang dibuat infus, tidak mempunyai pengaruh sebagai antimalaria (Dzulkarnaen et al, 1996). Dari fakta tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa daun dan akar sambiloto mempunyai perbedaan komponen kandungan bahan aktif sehingga mempunyai manfaat klinis yang berbeda pula.

Manfaat sambiloto dalam dunia diabetes.

Di samping begitu banyak manfaat klinis sambiloto, baik daun maupun akarnya, ternyata daun sambiloto juga mempunyai peranan dalam dunia diabetes. Sudah cukup banyak penelitian-penelitian hewan yang membuktikan bahwa daun sambiloto bermanfaat dalam perbaikan profil glukosa darah.

Pada tahun 1994, Borhanudin mendapatkan bahwa pemberian ekstrak air daun sambiloto dengan konsentrasi 10 mg/kgBB pada kelinci diabetes, dapat mencegah peningkatan glukosa darah pada pemberian 2 mg/kgBB glukosa peroral, tetapi tidak bisa mencegah kenaikan glukosa darah yang diakibatkan oleh adrenalin. Di samping itu pada pemberian jangka panjang sekitar 6 minggu, sambiloto juga tidak menunjukkan pengaruh dalam penurunan glukosa darah puasa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ektrak air daun sambiloto berperan pada absorbsi glukosa dari saluran cerna (Borhanuddin et al, 1994).

(27)

Pemberian peroral ekstrak etanol daun sambiloto dengan konsentrasi 0.1 – 0.4 g/kgBB dapat memperbaiki profil glukosa darah tikus diabetes-STZ sebanding dengan pemberian 0.5 g/kgBB metformin, tetapi tidak terlihat adanya perbedaan kadar insulin darah, baik pada kelompok kontrol, metformin maupun sambiloto. Dari penelitian tersebut diambil simpulan bahwa perbaikan profil glukosa darah disebabkan oleh perbaikan metabolisme glukosa. Pada penelitian ini, juga terlihat keunggulan sambiloto dalam memperbaiki kadar trigliserida darah, di mana pada pemberian sambiloto terjadi penurunan trigliserida sebesar 49.8%, sedangkan metformin hanya menurunkan trigliserida darah sebesar 27.7% (Zhang & Tan, 2000).

Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa di samping memperbaiki profil glukosa darah pada tikus diabetes-STZ, ekstrak etanol daun sambiloto juga bersifat antioksidan. Dibanding dengan metformin, perbaikan oksidatif stres bukanlah disebabkan oleh perbaikan glukosa darah semata, tetapi oleh sambiloto, karena perbaikan glukosa darah oleh metformin pada penelitian yang sama tidak menunjukkan perbaikan oksidatif stres tersebut (Nunemaker et al, 2004).

Mafauzy (2002) melanjutkan penelitian tentang manfaat sambiloto pada tikus diabetes-STZ. Secara keseluruhan terlihat adanya penurunan glukosa darah dan penurunan angka kematian tikus diabetes-STZ pada pemberian sambiloto peroral, baik dalam bentuk serbuk kering dengan konsentrasi 1 g/kgBB, maupun ekstrak etanol dengan konsentrasi 2 mg/kgBB (Mafauzy et al, 2002), hasil yang sama juga ditunjukkan penelitian yang serupa, hanya perbedaan konsentrasi serbuk sambiloto sebesar 0.5 mg/kgBB dan konsentrasi ekstrak yang dilakukan dengan metode freez-dried sebesar 6.25 mg/kg BB (Husen et al, 2004). Kedua penelitian ini tidak menjelaskan lebih rinci tentang kesetaraan antara ekstrak dan serbuk kering daun sambiloto, sehingga tidak bisa secara langsung membandingkan kekuatan antidiabetesnya.

Penelitian selanjutnya membuktikan bahwa sambiloto dalam bentuk andrograflid meningkatkan ambilan glukosa oleh jaringan otot melalui peningkatan transkripsi mRNA transporter glukosa isoform-4 (GLUT-4) (Niki et al, 2003), dan aktivasi reseptor adrenergik α-1 (Hsu et al, 2004).

(28)

Berdasarkan fakta dari berbagai penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa baik serbuk kering daun sambiloto, ekstrak air, ekstrak etanol serta andrografolid itu sendiri, bermanfaat dalam menurunkan kadar glukosa darah. Seluruh penelitian di atas, membuktikan manfaat sambiloto sebagai herbal yang bersifat menurunkan kadar glukosa darah, sebagai perbaikan metabolisme dan ambilan glukosa, tetapi masih belum ada penelitian tentang pengaruh sambiloto pada sel β pankreas.

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Di samping Radio-Immuno Assay (RIA), ELISA merupakan salah satu metoda yang dipergunakan dalam prosedur uji atau deteksi. ELISA menggunakan prinsip dasar reaksi antigen-antibodi yang bersifat sangat spesifik dan sensitif, sehingga dapat memberikan hasil dengan nilai akurasi yang cukup tinggi. Disebut sebagai immunoassay karena menggunakan pelabelan enzim seperti alkalin-fosfatase, horseradish peroksidase dan β-galaktosidase, yang dapat menghasilkan reaksi warna setelah bereaksi dengan kromogen sebagai substrat dari enzim tersebut. ELISA berkembang dalam berbagai variasi teknik pemeriksaannya dalam upaya meningkatkan akurasi serta sensitivitas pemeriksaan tersebut, bahkan satu zat yang sama dapat diidentifikasi dengan berbagai teknik berbeda. Berbagai sistem ELISA mempunyai tiga parameter dasar yang serupa yaitu:

1. Reaktan yang melekat pada solid phase, yang biasanya berupa lempeng mikrotiter plastik dengan format 8 X 12 sumur.

2. Pemisahan antara reagen yang bebas dan terikat pada reaktan yang sudah dilekatkan pada solid phase dengan teknik pencucian sederhana.

3. Pembacaan hasil didapat melalui terbentuknya warna tertentu.

Walaupun demikian sebetulnya teknik pemeriksaan ELISA ini hanya terdiri atas tiga metoda ELISA dasar, yaitu: direct, indirect dan sandwich ELISA. Sandwich ELISA dapat digolongkan dalam 2 sistem, yaitu direct dan indirect sandwich ELISA (Crowther, 2001). Pada kesempatan ini hanya akan dibahas metoda direct sandwich ELISA yang berhubungan dengan penelitian ini dalam proses deteksi insulin yang disekresikan oleh BRIN-BD11.

(29)

ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ ENZ (i)

Proses pelekatan antibodi-1 secara pasif pada solid phase.

(ii)

Setelah kelebihan antibodi-1 dibuang dengan proses pencucian, ditambahkan antigen yang akan dideteksi.

(iii)

Setelah inkubasi, kelebihan antigen yang tidak berikatan dengan antibodi-1 pada solid phase dibuang dengan proses pencucian.

(iv)

Dilakukan pemberian antibodi-2 yang sudah diberi label enzim (konjugat), dan diinkubasi untuk memberi kesempatan terjadinya ikatan antigen dengan antibodi-2.

(v)

Kelebihan antibodi-2 dibuang dengan proses pencucian.

(vi)

Setelah terjadi proses katalisis kromogen oleh enzim, maka akan terbentuk warna tertentu yang dapat dibaca intensitasnya dengan alat spektrofotometer.

Gambar 20 Ilustrasi tahapan proses yang terjadi pada metoda direct sandwich ELISA.

Keterangan gambar:

ENZ

Solid phase; Antibodi-1; Antigen; Antibodi-2

Kromogen sebelum terbentuk warna Kromogen setelah terbentuk warna

(30)

Direct sandwich ELISA merupakan prosedur pemeriksaan ELISA yang tidak terlalu kompleks untuk mendeteksi antigen. Sistem ini terbatas hanya untuk antigen yang mempunyai paling tidak dua epitop antigenik yang berbeda baik jenis maupun posisi dalam molekul antigen tersebut, karena sistem ini memerlukan tempat terikat yang berbeda antara antibodi yang dilekatkan pada solid phase dan antibodi yang diberi label enzim. Dengan demikian, ukuran dan topografi dari epitop sangat menentukan keberhasilan dari cara ini.

Prosedur ini diawali dengan menempelkan antibodi secara pasif pada permukaan solid phase pada dasar sumur lempeng mikrotiter plastik. Bila menggunakan kit komersial, antibodi spesifik sudah dilekatkan pada solid phase, dengan demikian sudah siap pakai. Antigen yang akan dideteksi ditambahkan ke dalam sumur dan diinkubasi selama kurun waktu tertentu untuk memberikan kesempatan terjadinya reaksi antigen dan antibodi yang sudah ada di solid phase dasar sumur. Kelebihan antigen yang tidak terikat dengan antibodi dibuang dengan proses pencucian sederhana, bisa secara manual atau menggunakan alat pencuci otomatis.

Langkah berikutnya adalah penambahan antibodi yang sudah diberi label enzim tertentu dan spesifik (konjugat) terhadap antigen tetapi pada epitop yang berbeda. Setelah masa inkubasi tertentu, diharapkan terjadi proses antigen-antibodi yang ke dua pada epitop yang berbeda dengan yang pertama.. Kelebihan konjugat dibuang dengan melakukan pencucian sederhana, bisa secara manual ataupun dengan alat pencuci otomatis. Dengan demikian pada dasar sumur mikrotiter plastik akan tertinggal suatu kompleks antibodi-antigen-konjugat (antibodi ke dua dengan label enzim). Enzim tersebut akan menimbulkan warna tertentu bila ditambahkan kromogen yang cocok. Intensitas warna yang ditimbulkan dapat diukur secara kuantitatif dengan alat spektrofotometer, peningkatan intensitas warna tersebut sebanding dengan jumlah antigen yang dimaksud.

Gambar

Gambar 1   Ilustrasi pola sekresi insulin pada pulau Langerhans pankreas yang   diinkubasi dalam larutan glukosa 11 mM (Grodsky 2000)
Gambar 2  Ilustrasi ATP-dependent K +  channel (K + ATP ) (Bryan & Aguilar-Bryan,  2000)
Gambar 4   Aktivitas elektrik sel β pakreas.    (Mears & Atwater, 2000)
Gambar 5  Aktivitas elektrik sel β pankreas pada pemberian sulfonilurea   (gliburid) dan diazoxide  (Mears & Atwater, 2000)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Electronic mail (email) merupakan jenis layanan internet yang paling popular, yaitu layanan surat elektronik yang dapat digunakan untuk mengrim atau menjawab, mengirimkan

maka Pokja 5 (lima) Unit Layanan Pengadaan Kordinator Wilayah Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara menetapkan Pemenang pada Paket tersebut di atas sebagai berikut

Berdasarkan data pada gambar 1.1 yang di berikan Dinas PU Kota Bandung kepada penulis terkait hasil capaian sasatan kerja pegawai (SKP) di Dinas PU Kota Bandung periode

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan ada atau tidak pengaruh signifikan dari variabel bebas belanja pemerintah di sektor kesehatan (GH)

Dalam pengujian data covid-19 dengan algoritma Naïve Bayes, penelitian ini dapat dilakukan pengujian dengan memprediksi atribut yang memiliki 7 atribut dan

Efektifitas pembelajaran akidah akhlak dalam pembentukan katakter pada siswa Madarasah Aliyah Hidayutul Mubtadiin Sayung Demak sudah berjalan dengan lancar dan

Namun demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa Pityrosporum ovale lebih banyak tumbuh pada media Sabouraud Dektrose Agar olive oil yang ditambahkan dengan air

Setelah melakukan penelitian tentang penggunaan simple future tense pada siswa di Sekolah Menengah Atas (SMA), peneliti menyarankan kepada penelitian