• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH SELF ESTEEM DAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERILAKU CYBERBULLYING SISWA MAN 1 TANGERANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH SELF ESTEEM DAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERILAKU CYBERBULLYING SISWA MAN 1 TANGERANG"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh:

EY Fhadly Rachma Akbar NIM: 1110070000110

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

(B) July 2015

(C) EY Fhadly Rachma Akbar

(D) The influence of Self-Esteem and Parenting toward Cyberbulliying Behavior Student MAN 1 Tangerang

(E) xiv + 78 pages + attachments

(F) Adolescent take part as straggle and critical period in human life. In this un-stable period, juvenile is searching for identities so they can easily engaged with hostilities and behave aggressively in cyberspace and called cyber bullying. Cyber-bullying is a term to describe a juvenile that getting bad exhilarate experience such be insulted, be threatened, be humiliated or being target from other juvenile in cyber space.

This research using quantitative approach with multiple regression analysis method. Samples are 201 students from MAN 1 Tangerang. Instrument data collection with cyber bullying scale by Willard (2007), self-esteem scale by Michinton (1993) and Parental Authority Questionnaire (PAQ) by Bury (1991).

This research give us information that self-esteem (especially feeling regarding itself and feeling regarding life) and parenting significantly influence cyber bullying behaviour toward students in MAN 1 Tangerang. Therefore, I give suggestion for the juveniles to use effectively their idle time with something positive with cyber space, such positive blogging. Beside, active in extracurricular after school. In the other hand, there some note also for the parent to give move more control for them and more keep watch on them.

(6)

vi ABSTRAK

(A) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (B) Juli 2015

(C) EY Fhadly Rachma Akbar

(D) Pengaruh Self-Esteem dan Pola Asuh Orang Tua terhadap perilaku Cyberbullying pada Siswa MAN 1 Tangerang.

(E) xiv + 78 halaman + lampiran

(F) Remaja merupakan periode paling menantang dan menyulitkan di kehidupan manusia. Pada masa tersebut seorang anak sedang mencari jati dirinya dan

mudah terlibat dalam permusuhan dan perilaku agresif di dunia maya atau yang disebut dengan cyberbullying. Cyberbullying merupakan istilah yang digunakan pada saat seorang anak atau remaja mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan seperti dihina, diancam, dipermalukan, atau menjadi target bulan-bulanan oleh remaja yang lain dengan menggunakan teknologi internet, teknologi digital interaktif maupun teknologi mobile.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi berganda. Sampel berjumlah 201 siswa MAN 1 Tangerang. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah skala cyberbullying yang dikembangkan oleh Willard (2007)., Skala self-esteem yang dikembangkan oleh Michinton (1993) dan PAQ (Parental Authority Questionnaire) untuk mengukur skala pola asuh orang tua yang dikembangkan oleh Bury (1991). Hasil penelitian menunjukkan terdapat empat dari delapan IV, yaitu self-esteem (perasaan mengenai diri sendiri, perasaan terhadap hidup) dan pola asuh orang tua (pola asuh otoriter, pola asuh permisif) yang mempengaruhi perilaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang secara signifikan. Disarankan kepada para remaja untuk menggunakan waktu luang dengan hal-hal yang positif, seperti menggunakan internet untuk berlatih menulis seperti menulis hal-hal yang positif di blog. dan remaja juga lebih aktif disekolah dengan mengikuti eksktrakulikuler. Untuk orang tua diharapkan agar lebih preventif dalam mengawasi anak

(7)

vii

hidayat dan kasih sayang yang diberikan oleh-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul “PENGARUH SELF-ESTEEM DAN POLA ASUH ORANG TUA

TERHADAP PERILAKU CYBERBULLYING PADA SISWA MAN 1 TANGERANG” ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam penulis panjatkan

kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabat. Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak, baik dalam bentuk bantuan pikiran, tenaga dan waktu dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karenanya dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si Dekan Fakultas Psikologi, Wadek I Dr. Abdul Rahman Shaleh M.Si, beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan mengembangkan potensi sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Miftahuddin, M.Si Dosen Pembimbing Akademik atas bimbingan, pengarahan, saran, kritik yang membangun serta dukungan yang berarti kepada penulis selama penyusunan skripsi berlangsung.

3. Dr. Risatianti Kolopaking, M. Si., Psi dosen pembimbing Seminar Proposal Skripsi sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi atas bimbingan, pengarahan, saran, kritik yang membangun serta dukungan yang berarti kepada penulis selama penyusunan skripsi berlangsung. Skripsi sekaligus Dosen Pembimbing

(8)

viii

Skripsi atas bimbingan, pengarahan, saran, kritik yang membangun serta dukungan yang berarti kepada penulis selama penyusunan skripsi berlangsung.

4. Seluruh dosen Fakultas psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan sumbangsih ilmunya kepada penulis.

5. Terimakasih kepada responden (siswa/I MAN 1 Tangerang) yang sudah mau meluangkan waktunya untuk mengisi kuesioner penulis.

6. Kepada mama (Efilizia) dan Ayah (Yurnalis) yang telah banyak memberikan semangat, bimbingan serta fasilitas yang berguna dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Kepada Abang abangku, EY Eka Kurniawan dan EY Alga Mukhara, terima kasih atas support dan doanya.

8. Eka Zaini yang selalu setia memberikan support, masukan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah memberikan kemudahan selalu untuknya.

9. Sahabatku “IPK 4.1”, R. Badai L., Leo T., Dwi M. Yahya. S.psi terima kasih atas gangguan, dukungan dan doa kalian selama ini. Semoga Allah memberikan kelancaran dan kemudahan bagi kalian pula.

10. Teman teman kelas C 2010 yang sudah memberikan support agar penulis dapat menyelesaikan skripsi. Terima kasih atas kebersamaan selama 4 tahun perkuliahan.

(9)

ix

Semoga segala bantuan yang telah diberikan dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun akan sangat berguna agar pada penulisan selanjutnya dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, serta bagi pembaca umumnya.

Jakarta, 1 Juli 2015

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Pembatasan Masalah ... 6

1.3. Perumusan Masalah ... 7

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

1.4.1. Tujuan Penelitian ... 8

1.4.2. Manfaat Penelitian ... 9

1.4.2.1. Manfaat teoritis ... 9

1.4.2.2. Manfaat praktis ... 9

1.5. Sistematika Penulisan ... 10

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Cyberbullying ... 11

2.1.1. Definisi cyberbullying ... 11

2.1.2. Dimensi cyberbullying ... 13

2.1.3. Faktor-faktor cyberbullying ... 16

2.1.4. Pengukuran cyberbullying ... 18

2.2. Pola asuh orang tua ... 19

2.2.1. Definisi pola asuh orang tua ... 19

2.2.2. Jenis-jenis pola asuh orang tua ... 19

2.2.3. Pengukuran pola asuh orang tua. ... 21

2.3. Self-esteem ... 21 2.3.1. Definisi self-esteem ... 21 2.3.2. Dimensi self-esteem ... 22 2.3.3. Pengukuran self-esteem ... 25 2.4. Kerangka Berfikir ………...29 2.5. Hipotesis Penelitian ... 29

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 31

3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 35

3.2.1. Variabel Penelitian ... 35

3.2.2. Definisi Operasional ... 36

3.3. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 37

3.3.1. Teknik pengumpulan data ... 37

(11)

3.5.Teknik Analisis Data ... 50

BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1. Karakteristik Responden ... 48

4.2. Hasil Uji Hipotesis Penelitian ... 50

4.2.1. Analisis regresi variabel penelitian ... 50

4.2.2. Pengujian proporsi varians masing-masing IV ... 54

BAB 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1.Kesimpulan ... 56 5.2.Diskusi ... 56 5.3.Saran ... 58 5.3.1. Saran metodologis ... 58 5.3.2. Saran praktis ... 59 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(12)
(13)

xiv

(14)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dibahas beberapa hal, yaitu: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

1.1. Latar Belakang Masalah

Menurut Li (2005) cyberbullying adalah perilaku bullying yang dilakukan melalui media komunikasi di dunia maya seperti e-mail, telepon seluler, personal digital assistant (PDA), instant messaging atau jaringan world wide. Cyberbullying merupakan penyalahgunaan dari teknologi dimana seseorang menulis teks atau mengunggah gambar dengan tujuan mengolok-olok dan mempermalukan orang lain. Lebih jauh lagi teks yang pelaku unduh mengundang komentar dari pihak ketiga (bystander) yang sering kali ikut melecehkan dan mempermalukan korban. Sehingga dapat memperparah dampak bagi korban cyberbullying. Biasanya korban cyberbullying menjadi malas pergi ke sekolah, depresi dan cenderung menghindari kontak sosial (Camfield, 2006).

Cyberbullying diawali dari aktivitas trolling atau meninggalkan pesan bernada kasar, ejekan, hingga merendahkan di profil seseorang di sebuah jejaring sosial. Peristiwa ini sering terjadi di kalangan anak-anak dan remaja sehingga membutuhkan kesadaran orang tua dan juga pengelola jejaring sosial tersebut mengenai bahaya bullying di dunia maya.

Cyberbullying biasanya bukan hanya komunikasi satu kali, ini terjadi secara berulang kali, kecuali jika itu adalah sebuah ancaman serius terhadap

(15)

keselamatan pada remaja. Cyberbullying merupakan aksi dimana pelaku bertindak diluar batas kepada orang lain dengan cara mengirim atau memposting materi yang dapat merusak kredibilitas, menghina atau melakukan serangan sosial dalam berbagai bentuk dengan memanfaatkan internet atau teknologi digital lainnya. Media ini bisa berupa SMS, e-mail, facebook, twitter, chatroom dan sebagainya, baik melalui komputer ataupun ponsel. Selain itu, dengan aksesibilitas layanan e-mail gratis, seperti Hote-mail dan Yahoo, seorang anak tunggal yang melakukan cyberbullying dapat berkomunikasi dengan korban menggunakan beberapa identitas dan beberapa alamat e-mail.

Pelaku cyberbullying menggunakan berbagai sarana untuk melakukan aksinya. Jejaring sosial dan pesan text (SMS) sebagai sarana yang banyak digunakan untuk melakukan cyberbullying. Pelaku cyberbullying biasanya adalah anak-anak yang ingin berkuasa atau senang mendominasi. Anak-anak ini biasanya merasa lebih hebat, berstatus sosial lebih tinggi dan lebih popular dikalangan teman-teman sebayanya. Sedangkan korbannya biasanya anak-anak atau remaja yang sering diejek dan dipermalukan karena penampilan mereka, keluarga mereka, atau cara mereka bertingkah laku.

Jeremy Todd, chief executive dari lembaga sosial Family Lives, menekankan bahwa kejadian cyberbullying meningkat sedangkan orang tua tidak memahami perkembangan teknologi masa kini. Padahal apa yang terjadi pada anak-anak tersebut memerlukan perhatian dan pengawasan dari orang tua agar peristiwa di atas tak terjadi pada mereka. Kowalski dan Limber (2007)

(16)

3

menemukan bahwa pesan instan, chat room, situs web dan e-mail yang paling sering dilaporkan metode untuk intimidasi elektronik.

Data menunjukkan bahwa pengguna internet terus meningkat dalam lima tahun terakhir mulai tahun 2007 hingga 2012. Sejauh ini, grafik pertumbuhan pengguna internet Indonesia tidak jauh berbeda dengan negara lain. Hal ini disampaikan Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII), bahwa selama periode April hingga Juli 2013 di 42 kota dari 31 propinsi di Indonesia pengguna internet di Indonesia terus tumbuh. Diketahui pada 2007 jumlah pengguna internet 20 juta orang, lalu meningkat menjadi 25 juta pada 2008, 30 juta pada 2009, 42 juta pada 2010, 55 juta pada 2011, 63 juta pada tahun 2012 (Yusuf, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia (PSIUII) pada tahun 2012 yang dilakukan ke beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Yogyakarta menyebutkan bahwa 91% anak memiliki pengalaman cyberbullying, 77% diantaranya disebabkan oleh faktor kurangnya perhatian orang tua. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja memiliki kerentanan yang cukup tinggi terhadap cyberbullying. Hal ini terjadi pada remaja karena pada masa tersebut adalah waktu transisi, saat seorang anak sedang mencari jati dirinya. Pada saat itu perkembangan dan perubahan cepat terjadi, termasuk dalam aspek kognitif, sosial, sikap, nilai-nilai seksual dan kematangan psikososial (Steinberg & Sheffield, 2001).

Salah satu ciri dalam cyberbullying adalah anonimitas. Penyembunyian identitas tersebut membuat seseorang sebagai pelaku cyberbullying merasa aman

(17)

dan kurang bertanggung jawab terhadap aktivitas yang terjadi di dunia maya, sehingga mudah terlibat dalam permusuhan dan perilaku agresif (Li, 2005). Biasanya pelaku cyberbullying banyak menghabiskan waktu di dunia maya sehingga penyebaran pesan atau gambar yang dibuat pelaku sangat cepat (David & Feldman dalam Heirman & Walrave, 2008).

Menurut penelitian terdahulu, faktor yang mempengaruhi cyberbullying adalah pengawasan orang tua. Frick (1999) menyatakan bahwa pola asuh orang tua adalah bentuk disiplin pemantauan, pengawasan, pengarahan serta pemberian hukuman terhadap anak. Dalam hal ini dibutuhkan hubungan interaksi dua arah yang bersifat fisik, afektif dan kognitif antar orang tua dengan anak yang mengarahkan anak ke arah pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Liau (2005) dalam penelitiannya mengenai cyberbullying, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi cyberbullying adalah kemudahan akses internet, frekuensi seseorang dalam mengakses internet, pengawasan orang tua, komunikasi anak dengan orang tua, dan jenis media internet yang digunakan.

Faktor lain dari cyberbullying adalah strain, self-esteem, dan empati. Penelitian Hinduja (2010) menyatakan bahwa anak-anak yang pernah mengalami cyberbullying dipengaruhi oleh self-esteem mereka. Self-esteem sendiri memiliki pengertian yaitu penilaian yang diberikan pada diri individu, berdasarkan penerimaan atau penolakan diri (Michinton, 1993). Hawley (2012) menyatakan

(18)

5

self-esteem adalah konstruk sosial yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kepercayaan diri, citra diri, kesadaran diri, sikap dan nilai.

Dalam sebuah penelitian mengenai Cyberbullying and Self Esteem mengemukakan bahwa para remaja yang melakukan cyberbullying adalah remaja yang mempunyai kepribadian otoriter dan kebutuhan yang kuat untuk menguasai dan mengontrol orang lain (Patchin & Hinduja, 2010). Remaja tersebut hanya mementingkan dirinya sendiri dibandingkan diri orang lain dan seringkali ia menganggap orang lain tidak ada artinya. Selain itu, hasil dari penelitian pada 30 sekolah menengah atas di Amerika Serikat dengan menggunakan random sampling, juga menekankan pada self-esteem seorang remaja dalam melakukan cyberbullying, yang mana seseorang yang melakukan cyberbullying cenderung mempunyai self-esteem yang rendah karena hal ini merupakan suatu perilaku yang tidak menguntungkan bagi dirinya sendiri dan hanya akan mengarah pada perilaku agresif seseorang. Perilaku tidak terpuji ini juga sangat berdampak pada pelaku cyberbullying itu sendiri, yang mana dengan memiliki self esteem yang rendah akan berdampak pada prestasi akademiknya di sekolah, perilaku kriminal, dan kesehatan yang buruk.

Selain itu, penelitian lain menemukan bahwa siswa laki-laki lebih mungkin melakukan tindakan cyberbullying dibandingkan siswa perempuan (Li, 2005). Li (2008) meneliti kembali, hasilnya menyatakan bahwa laki-laki memiliki peluang lebih besar untuk melakukan cyberbullying. Pelaku biasanya adalah anak-anak yang ingin berkuasa atau senang mendominasi. Anak-anak-anak ini biasanya

(19)

merasa lebih hebat, berstatus sosial lebih tinggi, dan lebih populer di kalangan teman-teman sebayanya.

Dari data-data beberapa temuan penelitian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa perilaku cyberbullying pada remaja merupakan permasalahan yang patut mendapatkan perhatian dan pemecahan solusi yang tepat agar remaja menyadari perilaku yang mereka lakukan memiliki dampak psikologis bagi orang lain. Peneliti berasumsi bahwa self-esteem termasuk faktor internal yang mempegaruhi cyberbullying. Sedangkan pola asuh orang tua memiliki pengaruh terhadap cyberbullying karena sudah menjadi kewajiban dari orang tua untuk bisa mengontrol dan mengawasi anak. Dalam hal ini pola asuh orang tua termasuk dalam faktor eksternal yang mempengaruhi cyberbullying.

Peneliti menganggap penting untuk melakukan penelitian tentang perilaku cyberbullying, karena masih kurangnya penelitian tentang cyberbullying di Indonesia. Dengan demikian, peneliti mengangkat judul penelitian yaitu “pengaruh self-esteem dan pola asuh orang tua terhadap perilaku pelaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang.”

1.2. Pembatasan Masalah

Untuk membatasi ruang lingkup dalam penelitian ini, maka penulis membatasi penelitian ini pada cyberbullying dan variable-variabel yang mempengaruhinya, yaitu self-esteem dan pola asuh orang tua. Adapun definisi dari masing-masing variable adalah sebagai berikut:

(20)

7

1. Cyberbullying adalah perilaku kejam kepada orang lain dengan mengirim hal yang berbahaya atau terlibat dalam bentuk lain dari kekejaman sosial yang menggunakan internet atau teknologi digital lainnya. Bentuk kegiatan tersebut berupa pelecehan secara langsung dan tidak langsung yang memiliki tujuan untuk merusak reputasi atau mengganggu hubungan dari yang ditargetkan (Willard, 2007; Calvete, 2014).

2. Self-esteem dalam penelitian ini dibatasi pada penilaian individu atas sejauh mana dirinya dianggap berharga, baik oleh dirinya sendiri maupun orang lain, yang dibatasi pada perasaan mengenai diri sendiri, perasaan terhadap hidup, dan hubungan dengan orang lain (Michinton, 1993). 3. Pola asuh orang tua dalam penelitian ini dibatasi pada penilaian anak

terhadap pola asuh orang tua dalam mendidik, mengajarkan, menerapkan aturan-aturan serta memberikan perhatian dan kasih sayang (Baumrind, 1965; Buri, 1999).

4. Subjek penelitian ini dilakukan pada siswa-siswi MAN 1 Tangerang.

1.3. Perumusan Masalah

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

“Apakah ada pengaruh self-esteem (perasaan mengenai diri sendiri, perasaan terhadap hidup, hubungan dengan orang lain) dan pola asuh orang tua (otoriter, demokratis, permisif) terhadap perilaku pelaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang?”. Dan seberapa besar pengaruh variabel-variabel tersebut.

(21)

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan penelitian

Secara pokok dan prinsip tujuan penelitian ini adalah menjawab pertanyaan penelitian yang telah peneliti rumuskan di atas. Oleh karenanya tujuan dan manfaat substansial penelitian ini sangat berkaitan erat dengan pertanyaan penelitiannya, yaitu:

1. Untuk mengukur pengaruh perasaan mengenai diri sendiri terhadap perilaku pelaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang.

2. Untuk mengukur pengaruh perasaan terhadap hidup terhadap perilaku pelaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang.

3. Untuk mengukur pengaruh hubungan dengan orang lain terhadap perilaku pelaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang.

4. Untuk mengukur pengaruh pola asuh otoriter terhadap perilaku pelaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang.

5. Untuk mengukur pengaruh pola asuh demokratis terhadap perilaku pelaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang.

6. Untuk mengukur pengaruh pola asuh permisif terhadap perilaku pelaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang

7. Untuk mengukur pengaruh jenis kelamin terhadap perilaku pelaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang.

(22)

9

1.4.2. Manfaat penelitian

Hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat, antara lain manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1.4.2.1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan ilmu psikologi, khususnya ilmu psikologi klinis, psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan yang terkait dengan terkait dengan cyberbullying, self-esteem dan pola asuh orang tua.

1.4.2.2. Manfaat praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh praktisi yang bergerak dalam dunia pendidikan dan psikologi pendidikan agar memperoleh pengetahuan dan masukan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyberbullying

b. Dengan adanya penelitian ini maka dapat membantu para pendidik agar mengetahui bagaimana siswa di kelas nya melakukan atau menghindari perilaku cyberbullying sehingga para siswa mampu mengetahui dampak dari perilaku tersebut tidak baik.

1.5. Sistematika Penulisan

Penelitian ini menggunakan teknik penulisan American Psychological Assosiation (APA) Style. Dan secara garis besar sistematika penulisan ini adalah:

(23)

BAB 1: PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB 2: LANDASAN TEORI

Dalam bab ini dijelaskan teori-teori yang berhubungan dengan isi penelitian sebagai dasar pemikiran untuk membahas permasalahan dalam penelitian skripsi, yaitu:

BAB 3: METODELOGI PENELITIAN

Dalam bab ini dipaparkan beberapa hal yaitu populasi, sampel dan teknik pengambilan sampel, variabel penelitian dan definisi operasional variabel, instrumen pengumpulan data, uji validitas konstruk, metode analisis data dan prosedur penelitian.

BAB 4: HASIL PENELITIAN

Dalam bab ini, dipaparkan mengenai gambaran subjek penelitian, hasil analisis deskriptif, kategorisasi skor variabel penelitian, hasil pengujian hipotesis, pembahasan hasil pengujian hipootesis dan proporsi varians.

BAB 5: KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Dalam bab ini dipaparkan mengenai kesimpulan, diskusi dan saran.

DAFTAR PUSTAKA

(24)

11 BAB 2

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan diuraikan mengenai teori dan konsep dari variabel-variabel penelitian. Berisi definisi-definisi, aspek-aspek dan faktor-faktor yang mempengaruhi variabel.

2.1. Cyberbullying

2.1.1. Definisi Cyberbullying

Cyberbullying merupakan bentuk perilaku agresi yang melibatkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi seperti ponsel, kamera video, e-mail, dan halaman web untuk menulis atau mengirim melecehkan atau pesan memalukan untuk orang lain (Ybarra & Mitchell, 2004).

Menurut Bulton dan Underwood (dalam Lindenberg, Veenstra, Verhulst & Winter, 2005) bullying adalah perilaku agresi yang dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan niat menyakiti atau mengganggu orang lain secara fisik, verbal maupun psikologis. Olweus dan Pepler (dalam Shariff, 2005) membedakan bullying menjadi dua bentuk yaitu overt dan covert. Overt bullying melibatkan agresi fisik, seperti memukul, menendang, mendorong, dan menyentuh seksual. Hal ini dapat disertai dengan covert bullying, yaitu korban dikeluarkan dari kelompok sebaya, digunjing, diancam dan diganggu. Covert bullying bersifat random atau diskriminatif. Perilaku mencakup pelecehan verbal yang menggabungkan rasial, penghinaan seksual, atau homophobic. Menurut Harmon dan Leishman (dalam Shariff, 2005) cyberbullying merupakan bentuk covert bullying yang berupa verbal dan tertulis.

(25)

Menurut Li (2005) bentuk baru bullying dikenal sebagai cyberbullying (atau pelecehan maya) kini mulai dikenal pada abad ke-21, cyberbullying adalah perilaku bullying yang dilakukan melalui alat komunikasi seperti e-mail, telepon seluler, personal digital assistant (PDA), instant messaging atau jaringan world wide. Hinduja dan Patchin (2007) mendefinisikan cyberbullying sebagai bahaya yang disengaja dan berulang melalui media elektronik. Menurut Campbell (2007) Intimidasi Cyber memiliki berbagai faktor yang dapat menonjolkan dampak dari perilaku bullying, berpotensi termasuk khalayak yang lebih luas, anonimitas, sifat lebih abadi dari kata-kata tertulis dan kemampuan untuk mencapai target setiap saat dan di setiap tempat termasuk dipertimbangkan sebelumnya safe haven seperti rumah target. Sedangkan Belsey, Berson & Feron (dalam Dilmac, 2009) mengartikan cyberbullying sebagai perilaku individu atau kelompok yang menggunakan teknologi elektronik dengan tujuan untuk melakukan pelecehan atau mengirimkan pesan kejam dengan sengaja.

Definisi lain mengenai cyberbullying menurut Willard (2007) adalah perilaku kejam kepada orang lain dengan mengirim hal yang berbahaya atau terlibat dalam bentuk lain dari kekejaman sosial yang menggunakan internet atau teknologi digital lainnya. Bentuk kegiatan tersebut berupa pelecehan secara langsung dan tidak langsung yang memiliki tujuan untuk merusak reputasi atau mengganggu hubungan dari yang ditargetkan. Dalam hal ini Willard (2007) juga menjelaskan bahwa frekuensi menentukan seseorang dikatakan menjadi pelaku cyberbullying. Contohnya, pada hari yang sama pelaku bisa berulang kali mengirim pesan menyakitkan atau

(26)

13

memalukan yang ditujukan kepada orang lain. Kowalski dan Limber (2012) menyatakan cyberbullying merupakan perilaku bullying yang dilakukan melalui e-mail, instant messaging, dalam sebuah chat room, website, atau melalui pesan digital atau gambar yang dikirim dari telepon seluler.

Dari beberapa pengertian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa cyberbullying adalah perilaku bullying yang dilakukan secara sengaja dalam media elektronik. Kesimpulan peneliti lebih merujuk pada pendapat peneliti terdahulu yaitu Willard (2007) bahwa cyberbullying merupakan salah satu bentuk bullying yang dilakukan melalui media elektronik seperti komputer ataupun telepon seluler, berupa pesan singkat berisi hal yang menghina perasaan orang lain dalam sebuah chat room , atau melalui media online. Dalam hal ini frekuensi juga menentukan seseorang dapat dikatakan menjadi pelaku cyberbullying.

2.1.2. Dimensi Cyberbullying

Ada beberapa aspek cyberbullying menurut Willard (2007) yaitu:

a. Flaming, perkelahian secara online menggunakan pesan elektronik dengan bahasa kasar dan vulgar.

b. Harassment, perilaku yang berulangkali mengirimkan pesan jahat dan menghina.

c. Denigration, mengirimkan pesan fitnah tentang seseorang yang bertujuan untuk merusak reputasi atau persahabatan.

(27)

d. Impersonation, berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan untuk merusak reputasi atau persahabatan orang tersebut.

e. Outing, menyebarkan gambar pribadi secara online.

f. Exclusion, sengaja berbuat kejam terhadap seseorang dalam kelompok online.

2.1.3. Karakteristik Cyberbullying

Menurut Suler (2004) ada beberapa karakteristik cyberbullying, yaitu:

1. Anonimitas disosiatif

Anonimitas adalah salah satu faktor utama yang meciptakan efek disinhibisi, karena seseorang memiliki kesempatan untuk memisahkan tindakan yang mereka lakukan secara online dari identitas diri mereka di kehidupan nyata.Ketika seseorang memutuskan untuk beranonim, keputusan tersebut dibuat karena adanya rasa perlidungan.Sehingga sebagai pelaku lebih bebas mengungkapkan yang tidak biasa mereka ungkapkan di kehidupan nyata tanpa mempermalukan diri mereka sendiri.

2. Invisibilitas

Adanya anggapan „anda tidak bisa melihat saya‟. Adanya sifat inivisibilitas memudahkan seseorang berpura-pura menjadi anak-anak ataupun orang dewasa. Hal ini disebabkan karena orang lain sebagai lawan bicara dalam online tidak bisa secara langsung membaca atau melihat ekspersi langsung selama berinteraksi.

(28)

15

3. Asynchronity

Pada proses interaksi di dunia maya, seseorang tidak selalu bisa untuk langsung membalas pesan. Terkadang dibutuhkan waktu bebeapa jam bahkan hari. Pada situasi tersebut sering orang memilih untuk keluar dari chat atau mem-block lawan bicaranya. Dampaknya, beberapa orang berpikir dapat dengan mudah menuliskan pesan yang emosional dan bermusuhan dalam media sosial dengan rasa aman, karena dapat meninggalkan begitu saja. 4. Solipsistic introjection

Solipistic introjection adalah tidak adanya isyarat sosial langsung yang dikombinasikan dengan komunikasi tulisan serta dapat mengubah batasan diri. Pada situasi ini seseorang dapat merasa bahwa pikiran mereka menyatu dengan teman online mereka. Aktivitas seakan-akan berbicara pada diri sendiri ini mendorong muculnya disinhibisi, karena terasa lebih aman berbicara pada diri sendiri dibandingkan orang lain.

5. Imajinasi disosiatif

Frinch (dalam Suler, 2004) menyatakan sadar ataupun tidak sadar beberapa orang memiliki anggapan bahwa dunia online layaknya seperti permainan dan tidak menggunakan norma seperti kehidupan nyata. Hal ini menyebabkan saat mereka meninggalkan dunia online tersebut, mereka dapat melepas tanggung jawab atas hal yang terjadi dalam dunia online.

(29)

6. Minimalisasi status dan otoritas

Dalam dunia online semua orang memiliki status yang sama, sehingga tidak ada pengaruh yang besar jika seseorang mengekspresikan status mereka dalam dunia online. Karena setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menampilkan dirinya. Pada dunia online semua orang tidak membedakan status, kekayaan, ras ataupun jenis kelamin.

2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi cyberbullying

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi cyberbullying pada remaja, yaitu: a. Traditional bullying

Riebel, Jager dan Fischer (2009) menunjukkan adanya hubungan antara bullying dalam kehidupan nyata dengan dunia maya (cyberspace). Maka dimungkinkan bahwa bullying yang dimulai di dunia nyata menjalar ke dunia maya. Hal ini berarti dunia maya memberikan lahan bagi para bullies untuk menghina orang lain.

b. Penggunaan internet

Pew Internet dan American Life Project (dalam Hesse, Nelsen & Krepes, 2005) melakukan upaya penelitian pada tahun 2002-2003 untuk memastikan karakteristik demografi dan perilaku remaja yang menggunakan internet. Survei diberikan kepada 6369 sampel usia antara 15-65 tahun. Pada bulan April 2003 penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa 63% dari sampel yang menggunakan internet adalah remaja usia 15-38 tahun. Jumlah 63% ini mewakili lebih dari setengah jumlah sampel yang ditentukan dalam penelitian

(30)

17

tersebut. Survei di Indonesia menyatakan peningkatan pengguna internet pada 2007 jumlah pengguna internet 20 juta orang, lalu meningkat menjadi 25 juta pada 2008, 30 juta pada 2009, 42 juta pada 2010, 55 juta pada 2011, hingga mencapai 63 juta tahun 2012 (Yusuf, 2012).

Peningkatan frekuensi penggunaan teknologi dari tahun ke tahun, seharusnya dapat memprediksi tindakan cyberbullying. Faktor yang berkaitan dengan penggunaan internet pada remaja ini dijelaskan oleh Subrahmanyan dan Greenfield (2008) yaitu berasal dari pemantauan dari orang tua dan penggunaan komunikasi online.

c. Jenis kelamin

Penelitian yang dilakukan Campbell (2005) menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan yang sama besar dalam melakukan cyberbullying. Sedangkan penelitian Li (2007) menyatakan bahwa laki-laki lebih sering melakukan tindakan cyberbullying dibandingkan perempuan.

d. Budaya

Penelitian yang dilakukan oleh Li (2007) mengindikasikan bahwa budaya merupakan prediktor yang paling kuat dalam cyberbullying. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Baker (2010) mengenai bullying yang mengindikasikan bahwa budaya memainkan peran penting dalam bullying dan cyberbullying.

(31)

2.1.6. Pengukuran cyberbullying

Beberapa alat ukur dalam penelitian terdahulu cyberbullying adalah Cyberbullying Questionare (CBQ) dan Cyberbullying and Cyber victimization Scale. Cyberbullying Questionare (CBQ) terdiri atas 21 multiple choice. Alat ukur ini dikembangkan oleh Smith et al, (2008) dalam penelitiannya yang dilakukan untuk korban anak usia 11-16 tahun.

Di Indonesia, bebeberapa tahun terakhir juga ikut menyumbang dalam pengembangan alat ukur cyberbullying melalui penelitian-penelitian. Pratiwi (2011) mengukur perilaku cyberbullying dengan alat ukur yang dibuat sendiri mengacu pada teori Willard (2007) berupa aktivitas-aktivitas cyberbullying. Alat ukur ini dapat digunakan untuk melihat frekuensi aktivitas pelaku, korban, maupun pengamat. Terdiri atas 32 item untuk melihat akivitas pelaku, 24 item untuk korban dan 17 item untuk pengamat. Permatasari (2012) juga menggunakan alat ukur cyberbullying berdasarkan aktivitas-aktivitas dalam cyberbullying. Alat ukur tersebut terdiri atas 10 item bentuk cyberbullying, 6 item tujuan cyberbullying dan 7 item dampak cyberbullying.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang merujuk pada teori Willard (2007), dengan menyesuaikan sampel yang digunakan yaitu pelaku. Terdiri atas 14 item yang mengacu pada aktivitas-aktivitas dalam cyberbullying sesuai dengan teori Wilard (2007) yaitu perkelahian secara online menggunakan bahasa

(32)

19

kasar (flaming), berulangkali mengirimkan pesan menghina (harrassment), mengirimkan rumor atau fitnah (denigration), mengirimkan gambar pribadi secara online (outing), mengungkapkan informasi yang memalukan secara online (trickery), mengeluarkan seseorang dari online (exclusion).

2.2. Pola Asuh Orang Tua

2.2.1. Definisi pola asuh orang tua

Baumrind (dalam Santrock, 2007) menjelaskan bahwa pola asuh orang tua adalah sikap orang tua terhadap anak dengan mengembangkan aturan-aturan dan mencurahkan kasih sayang kepada anak. Sedangkan Maccoby (dalam Barus, 2003) mendefinisikan pola asuh sebagai interaksi orang tua dan anak yang di dalamnya orang tua mengekspresikan sikap-sikap, nilai-nilai, minat-minat dan harapan-harapannya dalam mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak.

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa pola asuh orang tua adalah sikap orang tua terhadap anak dengan mengembangkan aturan-aturan dan mencurahkan kasih sayang kepada anak.

2.2.2. Jenis-jenis pola asuh orang tua

Diana Baumrind (dalam Santrock, 2007) membagi 3 macam pola asuh orang tua diantaranya pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif. Adapun masing-masing jenis pola asuh tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

1. Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter adalah pola asuh membatasi dan bersifat menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua dan menghormati

(33)

pekerjaan dan usaha. Orang tua otoriter menetapkan batas-batas yang tegas dan tidak member peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah). Pola asuh otoriter diasosiasikan dengan inkompetensi social anak-anak. Selain itu, anak-anak yang orang tuanya otoriter seringkali cemas akan perbandingan social, gagal memprakarsai kegiatan dan memiliki keterampilan komunikasi yang rendah.

2. Pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis mendoraong anak-anak mandiri tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Musyawarah yang verbal yang ekstensif dimungkinkan dan orang tua memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Pola asuh demokratis diasosiasikan dengan kompetensi social anak-anak. Anak-anak yang mempunyai orang tua demokratis berkompeten secara social, percaya diri dan bertanggung jawab secara sosial.

3. Pola asuh permisif

Orang tua yang permisif adalah orang tua yang menghargai ekspresi diri dan pengaturan diri. Mereka hanya membuat sedikit permintaan dan membiarkan anak memonitor aktivitas mereka sendiri sedapat mungkin. Mereka hangat, jarang menghukum, tidak mengontrol dan tidak meuntut (Papalia, 2009). Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa jenis pola asuh orang tua yaitu Pola Asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif.

(34)

21

2.2.3. Pengukuran Pola Asuh

Pola asuh merupakan variabel laten yakni variabel yang tidak dapat diamati, sehingga memerlukan sebuah instrument dalam pengukurannya. Instrumen yang dapat mengukur pola asuh adalah Parental Authority Questionnaire (PAQ) yang dikembangkan oleh Buri (dalam Riberio, 2009). PAQ didesain berdasarkan pengukuran tiga pola pengasuhan Baumrind (dalam Riberio, 2009) yaitu pola asuh otoriter, demokratis dan permisif. PAQ terdiri atas 30 item, 10 untuk tiap pola asuh yang berbeda dalam lima poin format Likert mulai dari “sangat setuju” sampai “setuju”.

2.3. Self –Esteem

2.3.1. Definisi self-esteem

Coopersmith (dalam Burns, 1993) menyebutkan self esteem mengacu kepada evaluasi seseorang tentang dirinya sendiri, baik positif maupun negatif dan menunjukkan tingkat di mana individu meyakini dirinya sendiri sebagai individu yang mampu, penting, berhasil dan berharga. Dengan kata lain, self esteem merupakan penilaian individu tentang dirinya yang diekspresikan melalui tingkah lakunya sehari-hari. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa self esteem adalah evaluasi terhadap perasaan dan penilaian individu tentang dirinya. self esteem berpengaruh besar terhadap harapan individu, tingkah laku dan penilaian individu tentang dirinya sendiri dan orang lain. Penilaian tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan terhadap diri dan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya berharga.

(35)

2.3.2. Komponen self-esteem

Menurut Felker (1974), komponen self esteem adalah:

1. Feeling of belonging, yaitu perasaan individu bahawa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan individu tersebut diterima oleh anggota kelompok lainnya. Ia akan memiliki penilaian yang positif akan dirinya jika ia merasa diterima dan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Individu akan menilai sebaliknya jika ia merasa ditolak atau tidak diterima oleh kelompok tersebut.

2. Feeling of competence, yaitu perassaan individu bahwa ia dapat melakukan seseuatu untuk mencapai hasil yang diharapkan. Jika ia berhasil mencapai tujuan maka ia akan memberikan penilaian yang positif terhadap dirinya. Selain itu, ia merasa percaya terhadap pikiran, perasaan dan tingkah laku yang berhubungan dengan kehidupannya (Frey & Carlock, 1987).

3. Feeling of worth, yaitu perasaan individu bahwa dirinya berharga. Individu yang memiliki perasaan berharga akan menilai dirinya secara positif, merasa yakin terhadap diri sendiri, dan mempunyai harga diri atau self respect (Frey & Carlock, 1987).

Minchinton (1993) dalam bukunya yang berjudul Maximum Self-esteem menguraikan tiga aspek dari self-esteem, yaitu:

1. Perasaan mengenai diri sendiri

Seorang individu menerima yang ada pada dirinya, merasa nyaman dengan dirinya, dan apapun keadaannya. Self-esteem yang tingi digambarkan sebagai

(36)

23

penerimaan diri oleh individu tersebut dan mengapresiasikan nilai-nilai sebagai manusia seutuhnya. Self-esteem yang rendah terbentuk dari keyakinan bahwa dirinya memiliki keberhagaan yang rendah, sehingga membuat individu tersebut takut untuk mencoba suatu hal.

2. Perasaan tentang kehidupan

Self-esteem tinggi dinyatakan dengan menerima tanggung jawab dan memiliki perasaan untuk mengontrol setiap bagian dari kehidupan. Seseorang tidak menyalahkan dirinya sendiri atas semua permasalahan. Individu tersebut membuat harapan yang realistis dan tujuan yang dapat diraih. Self-esteem yang rendah terwujud dari kehidupan dan apa yang ada di dalamnya sering diluar kendali. Seseorang dengan self-esteem yang rendah selalu merasa tidak berdaya dan lemah.

3. Hubungan dengan orang lain

Individu dengan self-esteem tinggi memiliki toleransi dan menghormati setiap orang. Tidak memaksa menanamkan keyakinan-keyakinan atau nilai-nilai yang dimiliki pada orang lain karena individu tidak membutuhkan penerimaan dari orang lain untuk membuatnya meras berguna. Self-esteem rendah mencerminkan kurangnya penghargaan yang mendasar untuk orang lain. Tidak bertoleransi kepada orang lain dan yakni orang lain akan mengikuti kemauannya.

Dari tiga aspek self-esteem tersebut peneliti menggunakan seluruh aspek self-esteem untuk mengukur pengaruh self-esteem terhadap perilaku cyberbullying. Peneliti

(37)

menggunakan ketiga dimensi dari self-esteem tersebut untuk kepentingan alat ukur dan kebutuhan penelitian.

2.3.3 Pembentukan Self Esteem

Pembentukan self-esteem terjadi sejak usia pertengahan kanak-kanak dan terus berkembang sampai remaja akhir. Self-Esteem tumbuh dari interaksi sosial dan pengalaman seseorang baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan yang akan membentuk harga diri atau self-esteem menjadi harga diri positif atau negatif (Papalia, 1995). Harga diri cenderung stabil seiring bertambahnya usia, dengan asumsi perasaan remaja mengenai dirinya sendiri secara bertahap akan terbentuk seiring dengan bertambahnya waktu sehingga menjadi lebih tidak fluktuatif dalam menghadapi berbagai pengalaman yang berbeda (Steinberg, 1999).

2.3.4 Karakteristik individu berdasarkan self-esteem

Coopersmith (1967), membagi tingkat harga diri individu menjadi dua golongan yaitu:

1. Individu dengan harga diri yang tinggi:

a. Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik;

b. Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial; c. Dapat menerima kritik dengan baik;

d. Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri;

e. Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitanya sendiri;

(38)

25

f. Memiliki keyakinan diri, tidak didasarkan atas fantasi, karena mempunyai kemampuan, kecakapan dan kualitas diri yang tinggi; g. Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang kepribadianya; h. Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang menyenangkan

sehingga tingkat kecemasanya rendah dan memiliki ketahanan diri yang seimbang.

2. Individu dengan harga diri yang rendah: a. Memiliki perasaan inferior.

b. Takut gagal dalam membina hubungan social. c. Terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi. d. Merasa diasingkan dan tidak diperhatikan.

e. Kurang dapat mengekspresikan diri. f. Sangat tergantung pada lingkunganya. g. Tidak konsisten.

h. Secara pasif mengikuti lingkunganya.

i. Menggunakan banyak taktik mempertahankan diri (defense mechanism).

j. Mudah mengakui kesalahan.

2.3.5. Pengukuran self-esteem

(39)

1. The Self Esteem Scale oleh Rosenberg pada tahun 1965. Alat ukur ini mengukur keberhargaan diri dan penerimaan diri individu secara global. Alat ukur ini terdiri dari 10 item dengan menggunakan skala likert.

2. The Feeling of Inadequency Scale oleh Janis dan Field pada tahun 1959. Alat ukur ini mengukur kesadaran diri, ketakutan sosial dan perasaan kekurangan yang ada pada diri individu. Alat ukur ini terdiri dari 32 item dengan menggunakan skala likert.

3. Self-esteem diukur dengan menggunakan kuesioner baku self-esteem yang telah diadaptasi kedalam bahasa Indonesia berdasarkan alat ukur yang dikembangkan oleh Minchinton (1993). Terdiri dari 25 item, yaitu 20 item favorable dan 5 item unfavorable.

Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan alat ukur dengan menggunakan kuesioner baku self-esteem yang dikembangkan oleh Minchinton (1993) dengan alasan alat ukur tersebut mampu mengevaluasi perilaku dari tiga domain yang berhubungan dengan diri, yaitu perasaan mngenai diri sendiri, perasaan terhadap hidup dan hubungan dengan orang lain.

2.4. Kerangka Berpikir

Cyberbullying merupakan masalah yang rentan terjadi dikalangan remaja. Pesatnya perkembangan dan kemudahan akses internet pada saat ini, membuka peluang para remaja terlibat dalam cyberbullying. Terlebih lagi, masa remaja adalah masa dimana seseorang sedang mencari jati diri dan senang melihat serta mencoba hal baru.

(40)

27

Menurut peneliti cyberbullying banyak terjadi dikalangan remaja karena masa remaja adalah masa terjadinya perubahan baik fisik maupun psikis. Menurut Santrock (2012) masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah.

Berdasarkan pernyataan tersebut jelas bahwa remaja sangat rentan mengalami masalah psikososial, yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul akibat terjadinya perubahan dalam dirinya dan sosial.

Beberapa faktor seperti self-esteem dan pola asuh orang tua memiliki andil dalam perilaku cyberbullying. Perlakuan orang tua terhadap anak mempengaruhi cara anak memandang, menilai, dan mempengaruhi sikap anak tersebut terhadap orang tua, serta mempengaruhi kualitas hubungan yang berkembang di antara mereka (Santrock, 2012). Dari orang tua juga seorang anak membentuk tingkah laku.

Berdasarkan teori Dianna Baumrind (1991) pola asuh orangtua merupakan cara-cara bagaimana orangtua menanggapi kebutuhan dan tuntutan anak, cara mereka mendisiplinkan anak, dan dampak yang diberikan bagi perkembangan anak. Ada tiga jenis pola asuh orangtua, yaitu (1) otoriter (authoritarian), merupakan gaya pengasuhan yang bersifat menghukum dan membatasi; (2) otoritatif (authoritative), merupakan gaya pengasuhan yang mendorong anak-anak untuk mandiri, namuntetap menetapkan batasan-batasan dan mengendalikan tindakan anak; dan (3) permisif (permissive), merupakan gaya pengasuhan yang tidak berusaha mengontrol anaknya, membiarkananak-anak untuk mengatur aktivitasnya sendiri, dan tidak

(41)

menuntut anak-anak untuk mematuhistandar peraturan yang ditetapkan oleh orang tua.

Selain pola asuh orang tua, menurut peneliti self-esteem juga memiliki pengaruh dalam terjadinya cyberbullying. Pernyataan ini berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Guarini, Passini, Melothi dan Brigh (2012) menemukan bahwa perilaku cyberbullying dipengaruhi oleh self-esteem dari pelaku cyberbullying. Maka pada penelitian ini, peneliti ingin melihat pengaruh self-esteem yaitu perasaan terhadap diri sendiri, perasaan terhadap hidup, dan perasaan mengenai orang lain pada perilaku cyberbullying.

Dalam sebuah penelitian mengenai Cyberbullying and Self Esteem mengemukakan bahwa para remaja yang melakukan cyberbullying adalah remaja yang mempunyai kepribadian otoriter dan kebutuhan yang kuat untuk menguasai dan mengontrol orang lain (Patchin & Hinduja, 2010). Remaja tersebut hanya mementingkan dirinya sendiri dibandingkan diri orang lain dan seringkali menganggap orang lain tidak ada artinya.

Seseorang yang melakukan cyberbullying cenderung mempunyai self-esteem yang rendah karena hal ini merupakan suatu perilaku yang tidak menguntungkan bagi dirinya sendiri dan hanya mengarah pada perilaku agresif seseorang. Perilaku tidak terpuji ini juga sangat berdampak pada pelaku cyberbullying itu sendiri, yang mana dengan memiliki self esteem yang rendah akan berdampak pada prestasi akademiknya di sekolah, perilaku kriminal, dan kesehatan yang buruk.

(42)

29

Gambar 2.1 Bagan kerangka berpikir 2.6. Hipotesis Penelitian

2.6.1. Hipotesis Mayor

H: Ada pengaruh yang signifikan antara self-esteem, pola asuh orang tua dan jenis kelamin terhadap perilaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang.

2.6.2. Hipotesis Minor

H1: Ada pengaruh signifikan dimensi Demokratis pada variabel pola asuh orang tua terhadap perilaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang.

Self-Esteem

Pola Asuh Orang Tua

Perilaku Cyberbullying Faktor demografis Otoriter Demokratis Permisif

Perasaan terhadap hidup Hubungan dengan orang lain Perasaan terhadap diri sendiri

(43)

H2: Ada pengaruh signifikan dimensi Otoriter pada variabel pola asuh orang tua terhadap perilaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang.

H3: Ada perngaruh signifikan dimensi Permisif pada variable pola asuh orang tua terhadap perilaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang.

H4: Ada pengaruh signifikan dimensi perasaan memgenai diri sendiri pada variabel self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang. H5: Ada pengaruh signifikan dimensi perasaan terhadap hidup pada variabel

self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang.

H6: Ada pengaruh signifikan dimensi hubungan dengan orang lain pada variabel self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang.

H7: ada pengaruh signifikan dimensi jenis kelamin terhadap perilaku cyberbullying pada siswa MAN 1 Tangerang.

(44)

31 BAB 3

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini, peneliti akan memaparkan tentang metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Didalamnya akan dibahas mengenai pendekatan dan jenis penelitian, subjek penelitian variabel yang digunakan dalam penelitian, definisi operasional setiap variabel, teknik pengumpulan data serta blue print yang digunakan sebagai acuan untuk instrumen penelitian.

3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 3.1.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua pelajar MAN 1 Tangerang kelas X, XI dan XII. Siswa kelas X terdiri atas 200 siswa, kelas XI terdiri atas 180 siswa dan kelas XII terdiri atas 200 siswa. . Dengan demikian, jumlah seluruh populasi di MAN 1 Tangerang adalah 570 siswa.

3.1.2 Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengguna internet aktif yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Siswa menggunakan internet lebih dari 1 jam per hari, baik menggunakan laptop maupun smartphone.

2. Siswa mau mengikuti penelitian.

Selanjutnya, dari jumlah tersebut peneliti menetapkan jumlah sampel sebanyak 201 siswa. Penetapan jumlah sampel tersebut disesuaikan dengan kemampuan peneliti berdasarkan pertimbangan waktu dan dana sampel dalam penelitian ini.

(45)

3.1.3. Teknik pengambilan sampel

Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel bersifat non-probability sampling. Teknik non-probability sampling dimana peneliti memberikan kesempatan yang sama kepada semua anggota populasi untuk ditetapkan sebagai anggota sampel dan peluangnya anggota populasi yang menjadi sampel bisa dihitung atau diketahui. Teknik sampling yang digunakan adalah accidental sampling, yaitu metode pengambilan sampel dengan memilih siapa yang kebetulan ada atau dijumpai.

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel 3.2.1 Variabel penelitian

Dalam penelitian ini terdapat 2 variabel yaitu Dependent Variabel (DV) dan Independent Variabel (IV). Berikut akan diuraikan Dependent Variabel dan Independent variable dalam penelitian.

1. Independent variable (IV): Pola asuh orang tua dan Self-Esteem 2. Dependent Variabel (IV): Cyberbullying

3.2.2 Definisi operasional variabel

Adapun definisi operasional dari variabel-variabel penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

1. Cyberbullying menurut Willard (2007) adalah perilaku kejam kepada orang lain dengan mengirim hal yang berbahaya atau terlibat dalam bentuk lain dari kekejaman sosial yang menggunakan internet atau teknologi digital lainnya.

(46)

33

2. Self esteem adalah penilaian individu atas sejauh mana dirinya dianggap berharga oleh dirinya sendiri ataupun orang lain. Peneliti menggunakan kriteria yang dikemukakan oleh Minchinton (1993) yaitu:

a. Perasaan mengenai diri sendiri adalah seorang individu menerima yang ada pada dirinya, merasa nyaman dengan dirinya apapun keadaannya.

b. Perasaan terhadap hidup adalah menerima tanggung jawab dan memiliki perasaan untuk mengontrol setiap bagian kehidupan. Selain itu, individu tidak menyalahkan dirinya sendiri atas semua permasalahan.

c. Hubungan dengan orang lain adalah memiliki toleransi terhadap orang lain, tidak memaksa menanamkan nilai-nilai yang dimiliki pada orang lain.

3. Pola asuh orang tua menurut Baumrind (dalam Santrock, 2007) adalah sikap orang tua terhadap anak dengan mengembangkan aturan-aturan dan mencurakan kasih sayang kepada anak. Peneliti menggunakan criteria yang dikemukakan oleh Buri (1991) yaitu:

a. Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang membatasi dan bersifat menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua.

(47)

b. Pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis adalah orang tua yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka.

c. Pola asuh permisif

Pola asuh permisif adalah orang tua yang menghargai ekspresi diri dan pengetahuan dini anak.

3.3 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengukuran self-esteem dan pola asuh orang tua terhadap cyberbullying diadaptasi dari bahasa inggris, sehingga kemudian peneliti akan melakukan adaptasi item-item dalam instrument tersebut.

Format pengukuran menggunakan skala likert dengan empat pilihan jawaban yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju.

1. Sangat setuju, apabila subjek merasa sangat setuju berdasarkan pernyataan yang diberikan.

2. Setuju, apabila subjek merasa setuju berdasarkan pernyataan yang diberikan.

3. Tidak setuju, apabila subjek merasa tidak setuju berdasarkan pernyataan yang diberikan .

4. Sangat tidak setuju, apabila subjek merasa sangat tidak setuju berdasarkan pernyataan yang diberikan.

(48)

35

Tabel 3.1 Tabel Skala Alternative SKALA FAVOURABLE (+) UNFAVOURABLE (-) Sangat Setuju (SS) 4 1 Setuju (S) 3 2 Tidak Setuju (TS) 2 3

Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4

Berdasarkan tabel, skala disajikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga responden tinggal memberi tanda silang (X) pada kolom atau tempat yang telah disediakan.

3.3.1. Skala cyberbullying

Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah skala cyberbullying yang dibuat sendiri mengacu pada teori Willard (2007). Skala cyberbullying dibuat sendiri oleh peneliti karena sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah pelaku cyberbullying. Skala ini disusun berdasarkan aktivitas-aktivitas dalam cyberbullying. Terdiri atas 14 item yaitu 11 item favorable dan 3 item unfavorable. Adapun pembagian item-item tiap aspek dapat dilihat pada tabel 3.2 Alat ukur cyberbullying.

Tabel 3.2. Blue print skala cyberbullying

No Dimensi Indikator Item Jumlah

Fav Unfav 1.  Flaming Harassment Denigration Outing Impersonation Exclusion 5 1 2,4,10 3,6,8,14 9,11 7,12 13 1 1 3 5 2 2 Jumlah Item 13 1 14

(49)

3.3.2. Skala self-esteem

Self-esteem diukur dengan menggunakan kuesioner baku self-esteem yang telah diadaptasi kedalam bahasa Indonesia berdasarkan alat ukur yang dikembangkan oleh Minchinton (1993). Terdiri dari 25 item, yaitu 20 item favorable dan 5 item unfavorable. Adapun pembagian item-item tiap aspek dapat dilihat pada tabel 3.3.

Tabel 3.3. Blue Print skala Self-Esteem

Dimensi Indikator Item Jumlah

Fav Unfav

1. Perasaan mengenai diri sendiri

 Menerima diri sendiri

 Merasa nyaman terhadap diri sendiri

 Menghargai keberhagaan diri

1,5,9 16 6,9, 11 10 3 1 4 2. Perasaan terhadap hidup  Menerima kenyataan  Bertanggung jawab

 Memiliki perasaan untuk mengontrol kehidupan 2,13, 18 14 12, 23, 24 3 22 7,25 3 2 5 3 Hubungan dengan orang lain

 Memiliki toleransi terhadap orang lain

 Menghormati orang lain

 Tidak memaksa menanamkan nilai-nilai kepada orang lain

4,15, 20 17, 19 8, 21, 24 3 2 3 Jumlah Item 20 5 25

3.3.3. Skala pola asuh orang tua

Skala pola asuh yang digunakan dalam penelitian diadaptasi dari Parental Authority Questionnaire (PAQ) yang dikembangkan oleh Buri (dalam Riberio, 2009). PAQ didesain berdasarkan pengukuran tiga pola pengasuhan Baumrind (dalam Riberio, 2009) yaitu pola asuh otoriter, demokratis dan permisif. PAQ terdiri atas 23 item, 10 untuk tiap pola asuh yang berbeda dalam lima poin format

(50)

37

Likert mulai dari “sangat setuju” sampai “setuju”. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table 3.4.

Tabel 3.4. Blue Print skala Pola Asuh Orang Tua

Dimensi Indikator Item Jumlah

Fav Unfav

1. Pola Asuh Otoriter

(Authoritarian)

 Orang tua bersifat membatasi, menghukum dan hanya sedikit melakukan komunikasi verbal

 Mendesak anak untuk mengikuti petunjuk dan usaha orang tua 7,12, 18, 2,3,9 16 3 4 2. Pola asuh Demokratis

 Mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan anak

 Pembuatan aturan keluarga ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama 8,22, 11,20,23, 15 4,5 3 5 3 Pola asuh permisif

 Orang tua bersikap serba bebas (membolehkan)

 Tidak memberikan pengawasan dan pengarahan pada tingkah laku anak

6,14,19 13,17,21

1,10 6 3

Jumlah Item 17 6 23

3.4 Uji Validitas Konstruk

Untuk menguji validitas alat ukur dalam penelitian ini, peneliti menggunkan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dengan software Lisrel 8.70 adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk mendapat kriteria hasil CFA yang baik yaitu:

1. Dilakukan uji CFA dengan model satu faktor dan dilihat nilai Chi-Square yang dihasilkan. Jika nilai Chi-Square tidak signifikan (p> 0.05) berarti

(51)

semua item hanya mengukur satu faktor saja. Namun jika Chi-Square signifikan (p< 0,05), maka perlu dilakukan modifikasi terhadap model pengukuran yang diuji sesuai langkah kedua berikut ini.

2. Jika Chi-Square signifikan (p< 0,05) , maka dilakukan modifikasi model pengukuran dengan cara membebaskan parameter berupa korelasi kesalahan pengukuran. Ini terjadi ketika suatu item selain mengukur konstruk yang ingin diukur, item tersebut juga mengukur hal yang lain(mengukur lebih dari satu konstruk/ multidimensional), jika setelah beberapa kesalahan pengukuran dibebaskan untuk saling berkorelasi dan akhirnya diperoleh model yang fit, maka model terakhir inilah yang akan digunakan pada langkah selanjutnya.

3. Jika telah diperoleh model yang fit, maka dilakukan analisis item dengan melihat apakah muatan faktor item tersebut signifikan dan mempunyai koefisien positif. Untuk melihat signifikan tidaknya item tersebut mengukur faktornya, digunakan t-test terhadap koefisien muatan faktor item. Jika t>1.96 maka item tersebut signifikan dan tidak akan di drop, begitupun sebaliknya.

4. Setelah itu dilihat apakah ada item yang muatan faktornya negatif. Dalam hal ini, jika ada pernyataan negatif, maka ketika dilakukan skoring terhadap item, arah skoringnya diubah menjadi positif. Jika setelah diubah arah skoringnya masih terdapat item bermuatan negatif, maka item tersebut akan di drop.

(52)

39

5. Apabila kesalahan pengkurannya berkorelasi terlalu banyak dengan kesalahan pengukuran pada item lain, maka item seperti ini pun dapat di drop karena bersifat multidimensi yang sangat kompleks.

Selanjutnya, dengan menggunakan SPSS 17.0 dan model satu faktor kemudian dihitung (di estimasi) nilai satu faktor (true score) bagi setiap orang untuk variabel yang bersangkutan. Dalam hal ini yang dianalisis faktor hanya item yang memiliki nilai faktor positif. Item yang bernilai faktor negatif di drop dan tidak diikut sertakan dalam skoring.

3.4.1 Uji aliditas konstruk cyberbullying

Langkah pertama peneliti menganalisis apakah 14 item yang ada bersifat

unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur kecemasan akan kematian. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan chi-square = 1080.38, df = 77, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.255. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi terhadap model. Di mana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya. Setelah dilakukan 49 kali pembebasan item, diperoleh model fit dengan chi-square = 41.09, df = 28, P-value = 0.05265, RMSEA = 0.048. Nilai chi-square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak signifikan), yang artinya model bersifat satu faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu cyberbullying.

Selanjutnya dilihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan

(53)

dengan melihat T-Value bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut.

Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Cyberbullying

No item Lamda Error T-Value Signifikan

1 0.81 0.06 12.61 2 0.54 0.07 7.94 3 0.99 0.06 17.27 4 0.74 0.06 11.43 5 0.64 0.07 8.86 6 0.72 0.07 10.44 7 0.56 0.07 8.33 8 0.79 0.06 12.92 9 0.79 0.06 12.58 10 0.51 0.06 8.00 11 0.47 0.07 6.88 12 0.38 0.07 5.61 13 0.58 0.08 7.06 14 0.34 0.08 4.44

3.4.2 Uji validitas konstruk self-esteem 1. Perasaan mengenai diri sendiri

Langkah pertama peneliti menganalisis apakah 7 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur faktor perasaan mengenai diri sendiri. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan chi-square = 326.57, df = 14, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.334. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi terhadap model. Di mana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya. Setelah dilakukan 10 kali pembebasan item, diperoleh model fit dengan chi-square = 2.75, df = 4, P-value = 0.60074, RMSEA = 0.000. Nilai chi-square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak signifikan), yang artinya model bersifat satu faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu faktor perasaan mengenai diri sendiri.

(54)

41

Selanjutnya dilihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat T-Value bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel berikut.

Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Perasaan Mengenai Diri Sendiri

No item Lamda Error T-Value Signifikan

1 0.71 0.06 11.30 5 0.61 0.06 9.37 6 0.39 0.11 3.50 9 0.90 0.05 16.60 10 0.96 0.05 17.96 11 0.42 0.07 5.85 16 0.47 0.09 5.18

2. Perasaan terhadap hidup

Langkah pertama peneliti menganalisis apakah 11 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar-benar hanya mengukur faktor perasaan terhadap hidup. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit, dengan chi-square = 574.70, df = 44, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.246. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi terhadap model. Di mana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya. Setelah dilakukan 25 kali pembebasan item, diperoleh model fit dengan chi-square = 24.50, df = 20, P-value = 0.22142, RMSEA = 0.034. Nilai chi-square menghasilkan P-value > 0.05 (tidak signifikan), yang artinya model bersifat satu faktor (unidimensional) dimana seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu faktor perasaan terhadap hidup.

Selanjutnya dilihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan atau tidak. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian

Gambar

Gambar 2.1 Bagan kerangka berpikir  2.6. Hipotesis Penelitian
Tabel 3.1 Tabel Skala Alternative SKALA  FAVOURABLE (+)  UNFAVOURABLE (-)  Sangat Setuju (SS)  4  1  Setuju (S)  3  2  Tidak Setuju (TS)  2  3
Tabel 3.3. Blue Print skala Self-Esteem
Tabel 3.4. Blue Print skala Pola Asuh Orang Tua
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

activity of ceria-promoted Ni catalyst supported on powder alumina (96%) was quite close to the equilibrium CO conversion (99.6%) at the same temperature (250 ° C) and CO/S molar

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh aromaterapi lemon (cytrus) terhadap penurunan nyeri menstruasi pada mahasiswi keperawatan di Universitas

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua dan guru menjawab bahwa pentingnya bahasa Inggris pada anak usia dini, semakin dini anak-anak diajarkan semakin

Sampai tahun 2013, jumlah tenaga kependidikan untuk menunjang kegiatan administrasi akademik, administrasi keuangan dan kepegawaian serta administrasi umum pada

Pada penelitian tentang pelayanan kefarmasian telah dilakukan oleh Rosita (2012) dengan judul “Studi Mengenai Pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di apotek-apotek

Penderajatan utk NSCLC ditentukan menurut International Staging System For Lung Cancer berdasarkan sistem TNM. Pengertian T tumor yg dikatagorikan atas

Ada beberapa hal positif yang dapat dilihat dari penggunaan gadget yaitu: mempermudah menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, memberikan berbagai macam informasi diseluruh

[r]