• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berupa sediaan injeksi dalam bentuk iv-admixture. Pemberian obat tersebut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berupa sediaan injeksi dalam bentuk iv-admixture. Pemberian obat tersebut"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Mayoritas pemberian obat pada pasien ICU diberikan secara parenteral yang berupa sediaan injeksi dalam bentuk iv-admixture. Pemberian obat tersebut umumnya dilakukan dengan mencampur satu atau lebih sediaan steril dalam satu wadah yang kemudian diberikan secara drip. Pencampuran larutan obat parenteral biasanya dapat terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu pencampuran dua atau lebih obat dalam wadah yang sama atau pada Y-site dimana dua atau lebih jalur intravena bertemu (Murney, 2008). Pencampuran obat tersebut dilakukan dengan berbagai pertimbangan, salah satu pertimbangannya adalah adanya pengurangan komplikasi pasien seperti sepsis dan phlebitis yang terkait dengan pemberian terlalu banyak sediaan parenteral (Levchuk, 1992). Tujuan lain pelaksanaan pencampuran sediaan parenteral adalah untuk menyediakan dan menjaga kadar obat tetap dalam darah melalui pemberian obat secara kontinyu dengan kecepatan yang lambat dan terkontrol (Maharani dkk., 2013).

Pencampuran sediaan parenteral memiliki beberapa kekurangan, salah satunya adalah kemungkinan terjadinya inkompatibilitas obat, yang dapat mengganggu stabilitas dan atau efektivitas obat yang dicampurkan (Royal College of Nursing, 2009). Inkompatibilitas obat yang timbul dapat berupa perubahan warna, kekeruhan, pembentukan gas, dan pengendapan atau dapat menyebabkan

(2)

reaksi kimia yang tak terlihat seperti perubahan pH atau reaksi kompleks yang dapat mengakibatkan pembentukan senyawa pengiritasi atau toksik atau mengurangi bioavailabilitas zat aktif. Data kualitatif mekanisme inkompatibilitas obat banyak, namun informasi kuantitatif dalam praktek klinik sangat terbatas (Bertsche dkk., 2008).

Beberapa contoh informasi kuantitatif yang ada adalah penelitian yang di instalasi rawat inap RSUD Prof. Margono Soekarjo Purwokerto tahun 2014, peneliti mendapatkan angka kejadian inkompatibilitas fisika pencampuran sediaan intravena sebesar 4,92% dari 61 pencampuran. Hasil observasi inkompatibilitas yang didapatkan terdiri dari 3,28% kabut sementara dan 1,64% endapan sementara (Aisyiyah, 2014).

Sementara di India, pada penelitian yang dilakukan di salah satu rumah sakit pendidikan tahun 2015 diperoleh 28,94% inkompatibilitas dari 114 kombinasi yang terdiri dari obat-pelarut dan obat-obat (Nagaraju dkk., 2015). Di Ceko, penelitian dilakukan pada dua ICU yaitu medical ICU dan ICU bedah diperoleh 6,82% dan 2,16% pasang obat inkompatibel pada masing-masing ICU (Machotka dkk., 2014).

Melihat kurangnya penelitian mengenai inkompatibilitas pada pencampuran sediaan parenteral di Indonesia selama ini, maka penelitian mengenai hal tersebut sangat diperlukan. Hal ini mengingat inkompatibilitas dapat mempengaruhi bioavailabilitas sehingga menurunkan efektivitas obat bahkan inkompatibilitas juga dapat menyebabkan kematian. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Bethesda dengan pertimbangan rumah sakit tersebut adalah rumah sakit swasta

(3)

yang besar di Yogyakarta, banyak dirujuk serta memiliki fasilitas ICU dengan jumlah 10 tempat tidur dalam pelayanannya.

B. Rumusan Masalah

1. Berapa persentase penggunaan sediaan parenteral pada pasien ICU di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta?

2. Bagaimana pola inkompatibilitas obat intravena di ICU Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta?

3. Berapa persentase potensi terjadinya inkompatibilitas pada penggunaan obat intravena pada pasien ICU di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui persentase penggunaan sediaan parenteral pada pasien ICU di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.

2. Mengetahui pola inkompatibilitas obat intravena di ICU Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.

3. Melihat persentase potensi terjadinya inkompatibilitas pada penggunaan obat intravena pada pasien ICU di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.

(4)

D. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai salah satu sumber informasi tentang kejadian inkompatibilitas pada penggunaan sediaan parenteral intravena pasien ICU di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.

2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai rekomendasi bagi rumah sakit untuk mengurangi risiko terjadinya inkompatibilitas pada penggunaan sediaan parenteral intravena.

3. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan bagi farmasis dan tenaga kesehatan lain dalam meningkatkan pelayanan kefarmasian di rumah sakit. 4. Penelitian ini diharapkan dapat memicu peneliti selanjutnya untuk melakukan

penelitian yang lebih lanjut dalam skala laboratorium dan cara pengatasannya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pemberian Obat Intravenous Admixture

Ketika satu atau lebih produk steril ditambahkan pada cairan untuk pemberian intravena, hasil campurannya dikenal sebagai IV-admixture (Gennaro, 2000). Cairan untuk pemberian intravena umumnya adalah larutan saline normal (NaCl 0,9%) atau dekstrosa (5%) atau kombinasi keduanya (Nagaraju dkk., 2015). Syarat pencampuran sediaan intravena antara lain adalah larutan untuk pemberian intravena yaitu berupa larutan steril yang terdiri dari gula, asam amino, atau elektrolit (zat yang mudah dibawa oleh sistem sirkulasi atau mudah terlarut).

(5)

Sediaan intravena dipreparasi dengan Water for Injection USP, bebas pirogen, bebas partikel atau tidak ada partikel yang tidak terlarut, larutan jernih, dan memastikan efek terapi serta keamanan dari campuran berdasarkan studi yang sudah dilakukan sebelumnya (Gennaro, 2000).

Salah satu alasan/keadaan di mana perlu dilakukan pencampuran obat di dalam satu wadah yaitu alternatif yang paling baik pada pemberian banyak obat (multiple drugs therapy) mengingat terbatasnya pembuluh vena yang tersedia, sehingga lebih convenience (nyaman) bagi pasien (Murney, 2008). Namun demikian, campuran tersebut dapat mengubah sifat dari senyawa obat yang ada, yang kemudian menyebabkan terjadinya inkompatibilitas.

2. Inkompatibilitas

Stabilitas sediaan farmasi adalah kemampuan suatu formulasi pada wadah tertentu untuk mempertahankan sifat-sifatnya baik dari aspek fisika, kimia, mikrobiologi, terapeutik, dan toksikologi. Evaluasi stabilitas sediaan farmasi dibagi menjadi stabilitas kimia dan fisika (Gennaro, 2000).

Pengetahuan mengenai stabilitas fisika dalam formulasi sangat penting karena tiga alasan utama. Pertama, dari segi penampilan. Adanya perubahan penampilan fisik seperti perubahan warna atau terbentuknya kabut dapat mengurangi nilai produk dari pasien. Yang kedua, adanya beberapa produk yang dikemas dalam kemasan multiple-dose, keseragaman dosis dari zat aktif selama penyimpanan harus dijaga. Larutan yang bekabut atau emulsi yang pecah dapat menimbulkan ketidakseragaman dosis. Ketiga, zat aktif harus tetap utuh bagi pasien selama shelf life yang terprediksi. Stabilitas kimia disebabkan oleh reaksi

(6)

oksidasi, reduksi, hidrolisis, rasemisasi, dan dekarboksilasi (Gennaro, 2000). Salah satu bentuk ketidakstabilan obat adalah inkompatibilitas.

Inkompatibilitas adalah reaksi yang tidak diinginkan yang terjadi antara obat dengan larutan, wadah atau dengan obat lainnya. Dua jenis inkompatibilitas yang berkaitan dengan pemberian intravena adalah inkompatibilitas fisik dan kimia (Royal College of Nursing, 2010). Sementara pada pustaka lain disebutkan bahwa inkompatibilitas terdiri dari tiga jenis yaitu inkompatibilitas fisik, kimia, dan terapeutik (Gennaro, 2000).

Inkompatibilitas fisik paling mudah teramati dan dapat dideteksi dengan perubahan penampilan campuran, seperti perubahan warna, pembentukan endapan, atau timbulnya gas (Gennaro, 2000). Inkompatibilitas fisik juga dikenal sebagai inkompatibilitas farmasetik atau inkompatibilitas visual (Nagaraju dkk., 2015). Nilai pH dan kapasitas dapar (nilai pKa) dari larutan intravena dan obat yang digunakan adalah faktor utama yang bertanggung jawab untuk inkompatibilitas fisik (Newton, 2009).

Inkompatibilitas fisik seringnya dapat diprediksikan dengan mengetahui karakteristik kimia dari obat yang terlibat. Kejadian inkompatibilitas fisik contohnya seperti pada garam natrium dari asam lemah, seperti fenitoin natrium atau fenobarbital natrium, mengendap sebagai asam bebas ketika ditambahkan dalam larutan intravena dengan pH asam. Garam-garam kalsium mengendap ketika ditambahkan dalam media basa. Injeksi yang membutuhkan pelarut khusus seperti diazepam, mengendap ketika ditambahkan ke larutan berair karena kelarutannya yang rendah di air (Gennaro, 2000). Kejadian lainnya seperti pada

(7)

pencampuran Amoksisilin sodium dan Midazolam HCl yang membentuk endapan putih (Trissel, 1998).

Inkompatibilitas fisik yang tidak terlihat adalah reaksi antara obat dengan bahan plastik (adsorpsi). Hal ini memicu obat menjadi tidak bergerak dari bagian dalam wadah infus atau selang infus dan menurunkan konsentrasi serta secara drastis menurunkan jumlah obat yang diberikan pada pasien (Trissel, 1998).

Dekomposisi senyawa obat yang dihasilkan dari kombinasi sediaan parenteral disebut inkompatibilitas kimia. Kebanyakan inkompatibilitas kimia merupakan hasil dari hidrolisis, oksidasi, reduksi, atau kompleksasi dan hanya dapat dideteksi dengan metode analisis yang sesuai (Gennaro, 2000).

Akibat dari inkompatibilitas kimia adalah jumlah dari zat aktif berkurang dan/atau terjadi pembentukan senyawa toksik oleh produk (Höpner, 2007). Kejadian inkompatibilitas kimia misalnya pada pencampuran Midazolam HCl dan Cefepime HCl yang menyebabkan kehilangan cefepime >10% dalam satu jam. Contoh lain yaitu pada pencampuran meropenem dengan Ringer Laktat (RL) yang menyebabkan kehilangan meropenem hingga 12% dalam 10 jam (Trissel, 1998).

Salah satu masalah yang dapat ditimbulkan dari inkompatibilitas adalah ekstravasasi. Pengatasan yang dapat dilakukan jika diduga terjadi ekstravasasi:

a. hentikan injeksi dengan segera;

b. tinggalkan kanula/jarum pada tempatnya;

c. keluarkan obat (aspirasikan) melalui kanula/jarum; dan d. naikkan anggota badan (Aslam dkk., 2003).

(8)

Inkompatibilitas terapeutik adalah interaksi farmakologi yang tidak diinginkan yang terjadi antara dua atau lebih obat yang dapat menimbulkan:

a. potensiasi efek terapeutik dari zat aktif;

b. hilangnya efektivitas dari satu atau lebih zat aktif; dan c. terjadinya efek toksik pada pasien (Gennaro, 2000).

Adanya endapan dan senyawa toksik akibat inkompatibilitas dapat menyebabkan berbagai pengaruh buruk bagi pasien. Reduksi atau eliminasi zat aktif dapat menimbulkan kegagalan terapi. Tingkat keparahan terutama tergantung pada kondisi pasien (usia, berat badan, keparahan penyakit, dan lain-lain) dan tergantung pada jenis obat yang diberikan. Akibat dari inkompatibilitas fisikokimia obat khususnya cukup parah pada pasien neonatus dan anak-anak (Höpner, 2007).

Pengemas sediaan farmasi adalah alat yang menampung obat dan kemungkinan dapat kontak langsung dengan sediaan. Immediate container merupakan pengemas yang kontak langsung dengan obat sepanjang waktu. Pengemas tidak boleh berinteraksi secara fisika maupun kimiawi dengan sediaan sehingga tidak mengubah kekuatan, kualitas, atau kemurnian zat aktifnya melebihi batas yang diperbolehkan (Gennaro, 2000).

Pemilihan pengemas dapat memiliki pengaruh yang besar terhadap stabilitas beberapa sediaan. Beberapa komponen pengemas dapat menyebabkan perubahan fisika dan kimia yang mungkin bersifat time-temperature dependent. Gelas (kaca) dan plastik merupakan komponen pengemas yang banyak digunakan (Gennaro, 2000).

(9)

Penggunaan pengemas gelas memiliki beberapa kekurangan, seperti lepasnya alkali, namun hal ini dapat diatasi dengan pemilihan pengemas gelas yang sesuai dengan sediaan. Pemilihan pengemas yang sesuai dapat dilakukan berdasarkan komposisi pengemas gelas yang bervariasi tergantung jumlah dan tipe silika yang ditambahkan serta kondisi perlakuan panas yang digunakan (Gennaro, 2000).

Pengemas plastik yang digunakan biasanya adalah polyethylene, polystyrene, polyvinyl chloride, dan polypropylene dengan densitas yang berbeda untuk menyesuaikan dengan sediaan tertentu. Kekurangan dari pengemas plastik yaitu bahan dari plastik sendiri dapat terlepas ke dalam sediaan, atau komponen sediaan dapat terabsorbsi oleh dinding pengemas. Salah satu contohnya yaitu pada minyak atsiri yang bersifat permeable terhadap plastik. Gas seperti oksigen atau karbon dioksida di udara, diketahui bermigrasi melalui dinding pengemas dan dapat mempengaruhi sediaan (Gennaro, 2000). Beberapa contoh obat yang terikat pada plastik selama pemberian infus dan cara pengatasannya dapat dilihat pada tabel I.

Apoteker adalah tenaga kesehatan yang memiliki kualifikasi untuk bertanggung jawab dalam pencampuran sediaan parenteral dengan memiliki pengetahuan mengenai aspek fisika, kimia, dan terapeutik dari campuran sediaan parenteral. Apoteker juga dilatih untuk dapat mengambil keputusan dalam pelaksanaan pencampuran obat yang kompatibel untuk diberikan pada pasien (Gennaro, 2000).

(10)

Tabel I. Beberapa Contoh Obat yang Terikat pada Plastik Selama Pemberian Infus dan Cara Pengatasannya (Aslam dkk., 2003)

Obat Jenis Plastik Makna Cara Pengatasan

Insulin (Adsorpsi) Semua (termasuk gelas)

Disarankan untuk dihindari

Hindari penambahan pada larutan infus, berikan dalam alat pemompa (syringe

pump)

Diazepam (Absorpsi) PVC Sedapat mungkin dihindari

Hindari kantung dan perangkat PVC. Gunakan perangkat sambungan polietilen dan alat pemompa (kehilangan sedikit pada pemompa; ganti pemompa setiap 12-24 jam)

Nitrat (Permeasi) PVC, nylon Disarankan untuk dihindari

Hindari kantung dan perangkat PVC, gunakan kantung polietilen atau alat pemompa. Gunakan sambungan polietilen atau bahan yang tidak mengabsorbsi obat dengan pompa

Hal di bawah ini dapat digunakan untuk membantu apoteker dalam mengambil keputusan terkait dapat atau tidaknya suatu campuran untuk digunakan:

a. mengecek pedoman dari pabrik, Trissel’s Handbook on Injectable Drugs dan sumber-sumber lain;

b. coba untuk menggunakan rute lain;

c. coba pisahkan obat dengan mengatur waktu pemberian obat;

d. ganti obat dengan obat-obat yang dapat bercampur atau yang dapat diberikan dengan rute yang lain;

e. jangan tambahkan obat ke dalam larutan obat yang berkonsentrasi tinggi atau pada produk darah;

(11)

f. jangan ada banyak obat dalam satu larutan;

g. jangan mencampur obat yang perbedaan pHnya besar;

h. jangan mencampur obat jika salah satu obat tidak stabil, atau mempunyai waktu paruh yang pendek, atau atau obat tersebut peka akan reaksi hidrolisis atau fotolisis;

i. jika suatu obat mengandung ko-solven hal itu berarti mungkin obat tersebut kurang larut, oleh karena itu jangan dicampur dengan obat lain; dan

j. hindari mencampur obat yang dapat berinteraksi dengan wadah (Aslam dkk., 2003).

Selain itu beberapa situasi dalam pencampuran obat dapat berisiko, berikut uraiannya dari yang berisiko paling besar:

a. mencampur obat-obat berkonsentrasi tinggi pada satu alat suntik yang sama untuk jangka waktu yang lama;

b. mencampur obat-obat berkonsentrasi rendah dalam satu wadah/botol untuk jangka waktu yang lama;

c. menambahkan suatu obat ke dalam jalur infus yang mengandung obat lain, dekat dengan botolnya;

d. menambahkan suatu obat ke dalam jalur infus yang mengandung obat lain, dekat dengan pasiennya; dan

e. memberikan obat-obat melalui lumen yang berbeda pada kateter yang sama (Aslam dkk., 2003).

(12)

3. Rekam Medis

Menurut Permenkes RI No. 269/MENKES/PER/III/2008, rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Dokter, dokter gigi dan/atau tenaga kesehatan tertentu bertanggungjawab atas catatan dan/atau dokumen yang dibuat pada rekam medis. Rekam medis pasien rawat inap di rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu lima tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat atau dipulangkan. Setelah batas waktu lima tahun dilampaui, rekam medis dapat dimusnahkan.

Informasi rekam medis tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal:

a. untuk kepentingan kesehatan pasien;

b. memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan;

c. permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri;

d. permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan

e. untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien (Depkes RI, 2008). Permintaan rekam medis untuk tujuan tersebut harus dilakukan secara tertulis kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat menjelaskan isi rekam medis secara tertulis atau langsung kepada

(13)

pemohon tanpa izin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan (Depkes RI, 2008).

Pemanfaatan rekam medis dapat dipakai sebagai:

a. pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien;

b. alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dan penegakkan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi;

c. keperluan pendidikan dan penelitian;

d. dasar pembayar biaya pelayanan kesehatan; dan e. data statistik kesehatan (Depkes RI, 2008).

F. Keterangan Empiris

Inkompatibilitas merupakan kejadian yang tidak diharapkan terutama bagi pasien ICU yang memerlukan perawatan intensif. Oleh karena itu diperlukan identifikasi pola inkompatibilitas pada penggunaan sediaan parenteral intravena yang potensial terjadi sehingga kejadian inkompatibilitas dapat dicegah.

Gambar

Tabel I. Beberapa Contoh Obat yang Terikat pada Plastik Selama Pemberian Infus dan  Cara Pengatasannya (Aslam dkk., 2003)

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisa data di kelurahan Bambe kecamatan Driyorejo, pola yang sering muncul menunjukkan bahwa penerima kartu jamkesmas pada kelurahan tersebut yang tepat

Dengan pendekatan yang berbeda dari metode di atas, PATRIQUIN (1973) telah menggunakan beberapa assosiasi parameter statistik dengan padang lamun untuk perhitungan kecepatan

landraad yaitu mengadili dalam perkara landraad yaitu mengadili dalam perkara perdata dan pidana bagi orang indonesia. perdata dan pidana bagi

a) Mohon Bapak/Ibu memilih satu jawaban dengan cara member tanda ceck list (√) pada kotak “Ya”atau “Tidak” untuk jawaban yang dianggap paling tepat dan bila Bapak/Ibu

Peningkatan total asam selama fermentasi sangat berkaitan dengan meningkatnya bakteri asam laktat (Tabel 1), mikroba dominan pada fermentasi tempoyak, yang pada penelitian

Akibat kondisi demikian maka banyak kebijakan koperasi terhadap anggotanya merupakan hasil imbas dari kondisi ekonomi kapitalis yang menggambarkan ketidak berdayaan koperasi

Pembelajaran dengan media kartu bilangan ARIF dikatakan berpengaruh digunakan terhadaphasil belajar matematika jika nilai rata – rata hasil belajar siswa yang diajarkan

(1) Perubahan atribusi dan perilaku usaha tani petani yang semakin komersial, munculnya pelaku-pelaku baru dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian, munculnya pelaku-pelaku