• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN KEUANGAN DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKEMBANGAN KEUANGAN DAERAH"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

62 KAJIAN EKONOMI REGIONALPROV. ACEH | TRIWULAN 2-2012

Kinerja keuangan daerah khususnya APBA sedikit membaik dibandingkan tahun

lalu. Hal ini tercermin dari adanya peningkatan persentase realisasi anggaran. Hingga November 2012, realisasi anggaran keuangan bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) tercatat 64,9% untuk realisasi keuangan dan sebesar 76% untuk realisasi fisik dari total keseluruhan pagu anggaran sebesar Rp9.511 miliar pada tahun 2012

Namun demikian, sampai dengan akhir 2012, diperkirakan anggaran yang

tersedia tidak dapat direalisasikan 100% dari total pagu. 5.1. Realisasi Pendapatan Pemerintah Aceh

Anggaran pendapatan Pemerintah Aceh tahun 2012 tercatat meningkat sebesar 22,93% menjadi Rp8,7 triliun dari tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut utamanya didorong oleh adanya peningkatan Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus sebesar Rp1,3 triliun. Beberapa komponen utama lainnya dalam struktur anggaran pendapatan pemerintah adalah dana bagi hasil pajak/bukan pajak dan dana alokasi khusus yang masing-masing tercatat sebesar Rp1,01 triliun dan Rp911 miliar.

Hingga 10 Agustus 2012, realisasi pendapatan APBA tercatat masih minim, dibawah 50%. Berdasarkan data sementara, Pendapatan Provinsi Aceh hanya terealisasi sebesar Rp3,4 triliun atau mencapai 39,13% dari total anggaran 2012 sebesar Rp8,7 triliun. Persentase realisasi pendapatan terbesar terdapat pada komponen Dana Perimbangan yaitu mencapai Rp1,17 triliun dari total Rp1,97 triliun yang dianggarkan atau terealisasi sebesar 59,34%. Masih minimnya realisasi anggaran, disinyalir karena adanya permasalahan proses perencanaan pengadaan yang kurang matang, permasalahan terkait lahan khususnya proyek prasarana dan sarana publik, isu ketersediaan Sumber Daya Manusia yang sesuai di bidangnya serta penggantian Pimpinan Daerah.

Apabila dilihat secara nominal, realisasi penerimaan utamanya disumbangkan oleh Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus. Dana penyesuaian dan otonomi khusus membukukan realisasi paling besar dengan nominal Rp1,6 triliun atau memiliki porsi sebesar 48,18% dari total realisasi sebesar Rp3,4 triliun. Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak serta Dana Alokasi Umum menempati urutan kedua dan ketiga dengan realisasi pendapatan terbesar, masing-masing sebesar Rp623 miliar dan Rp531 miliar. Meski realisasi PAD terhadap APBA sudah lebih dari 40%, namun demikian, komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) ternyata merupakan penyumbang terkecil bagi realisasi penerimaan daerah, yaitu hanya memiliki pangsa sebesar 11.05% dengan nominal Rp376 miliar. Lebih detail lagi, Pajak daerah hanya mencatat realisasi pendapatan sebesar Rp322 miliar, retribusi daerah sebesar Rp2,3 miliar, Hasil pengelolaan kekayaan daerah sebesar Rp1,7 miliar serta komponen lain-lain PAD yang sah sebesar Rp49,9 miliar. Dibandingkan ke-32 Provinsi lainnya, total PAD Provinsi Aceh menduduki peringkat ke-19 terendah.

(3)

KAJIAN EKONOMI REGIONALPROV. ACEH | TRIWULAN 2-2012 63 Gambar 5.1 Pendapatan Asli Daerah Menurut Provinsi di Indonesia

Dalam kaitannya dengan kapasitas fiskal, persentase PAD merupakan hal yang perlu mendapat perhatian sejalan dengan semangat otonomi daerah dimana daerah diberikan hak untuk menarik PAD, namun disisi lain juga dapat membelanjakan anggaram secara efisien dan strategis. Disamping itu, otonomi daerah juga memberikan ruang terhadap Pemerintah Daerah untuk menawarkan insentif fiskal untuk proyek investasi strategis seperti infrastruktur. Namun pada kenyataannya, belum banyak daerah yang mampu melakukan perimbangan antara mengumpulkan PAD dengan mengalokasikan anggaran belanja seoptimal mungkin. Hal ini terbukti dari masih besarnya SILPA di akhir tahun.1 Di Aceh sendiri, SILPA Tahun Anggaran sebelumnya tercatat sebesar Rp1,5 triliun dan tahun 2012 diperkirakan sebesar Rp804,13 miliar.

Melihat permasalahan diatas, ke depan, Pemerintah Aceh dituntut untuk lebih strategis dalam menentukan skala prioritas alokasi belanja untuk memicu investasi dalam menghadapi potensi melambatnya ekonomi. Beberapa tantangan fiskal daerah ke depan diperkirakan sebagai berikut:

 Peningkatan kapasitas fiskal yang diukur dari unsur PAD serta peningkatan baik kuantitas, kualitas, dan realisasi belanja modal daerah yang diarahkan untuk pembangunan infrastruktur.

 Peningkatan peran Pemerintah Daerah dalam optimalisasi fiskal daerah untuk mendukung pembangunan dan investasi terutama di sektor utama yang dapat menaikkan daya saing daerah. Dukungan terhadap program MP3EI khususnya yang terkait pengembangan infrastruktur perlu difokuskan.

1

Tinjauan Ekonomi Regional Triwulan III 2012, Bank Indonesia

804.28

18,685

9,068.16

(4)

64 KAJIAN EKONOMI REGIONALPROV. ACEH | TRIWULAN 2-2012

Gambar 5.2. Realisasi Pendapatan Pemerintah Aceh

5.2 Realisasi Belanja Pemerintah Aceh

Realisasi Belanja Daerah hingga 10 Agustus 2012 mencapai Rp2,7 triliun. Besarnya realisasi belanja pada periode tersebut terutama didorong oleh Belanja Langsung dengan nominal Rp1,7 triliun. Lebih detail lagi, yang menjadi pendorong utamanya adalah belanja barang dan jasa sebesar Rp1,3 triliun. Sementara itu, pengeluaran dalam rangka pembentukan modal masih tercatat rendah, hanya berkisar Rp359 miliar. Rendahnya realisasi belanja modal mengindikasikan masih rendahnya serapan anggaran yang diperuntukan bagi pembangunan infrastruktur sehingga akan berdampak pada rendahnya pertumbuhan ekonomi Aceh. Sementara itu, komponen Belanja Tidak Langsung telah terealisasi sebesar Rp987 miliar yang didominasi oleh komponen belanja pegawai sebesar Rp428 miliar dan Belanja Bunga sebesar Rp266 miliar.

Gambar 5.3. Realisasi Belanja Pemerintah Aceh

(5)

KAJIAN EKONOMI REGIONALPROV. ACEH | TRIWULAN 2-2012 65 5.3. Perkembangan Realiasi dan Tingkat Penggunaan Anggaran Berdasarkan Satuan Kerja Pengguna

Anggaran (SKPA)

Kinerja keuangan daerah khususnya APBA sedikit membaik dibandingkan tahun lalu. Hal ini tercermin dari adanya peningkatan persentase realisasi anggaran. Hingga November 2012, realisasi anggaran keuangan bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) tercatat 64,9% untuk realisasi keuangan dan sebesar 76% untuk realisasi fisik dari total keseluruhan pagu anggaran sebesar Rp9.511 miliar pada tahun 2012. Sementara target realisasi keuangan hingga 15 November 2012 sebesar 75% dan target realisasi fisik sebesar 76%, sehingga masih terdapat deviasi masing-masing sebesar -10,1% dan -11%. Sampai dengan akhir 2012, diperkirakan anggaran yang tersedia tidak dapat direalisasikan 100% dari total pagu. Disamping karena waktu pengerjaan yang sudah tidak memungkinkan, tampaknya pergantian pemerintahan dipertengahan tahun anggaran berdampak pada perlunya waktu penyesuaian terhadap terlaksananya program tahunan.

Menilik kinerja per SKPA, terdapat 20 SKPA yang berkinerja baik dengan realisasi keuangan lebih dari 75% dan 10 SKPA sudah merealisasikan keuangannya 70-74%. Masih rendahnya realisasi anggaran keseluruhan didorong oleh masih adanya 12 SKPA yang anggaran keuanganya terealisasi dibawah 65%.

Gambar 5.4 Realisasi Pembelanjaan Pemerintah Provinsi di Aceh

(6)

66 KAJIAN EKONOMI REGIONALPROV. ACEH | TRIWULAN 2-2012 INBOX

APAKAH TATA KELOLA PEREKONOMIAN DAERAH TELAH MENINGKAT2

Pada dasarnya, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi dengan pembangunan nasional. Pembangunan daerah diarahkan untuk mencapai target n3sional yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi, dan masalah pembangunan di daerah. Maka dari itu, upaya terwjudnya pembangunan nasional merupakan tanggung jawab bersama pemerintah purat, provinsi, dan kabupaten/sehingga pembangunan nasional merupakan satu kesatuan yang saling bersinergi antar kinerja pembangunan daerah (Hariyoga, 2009)

Dengan kerangka diatas, Pemerintah republik Indonesia telah melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah sejak tahun 2001. Kebijakan tersebut berdasarkan fakta bahwa wilayah seluas Indonesia dengan setiap daerah yang ada di dalamnya memiliki kondisi dan potensi ekonomi tertentu yang sangat bervariasi. Dengan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah, daerah-daerah tersebut diharapkan mampu untuk mengembangkan potensi ekonominya dengan lebih efektif dan efisien (Kuncoro, 2005)

Dalam perspektif makroekonomi, potensi ekonomi daerah merupakan elemen yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi nasional. Intinya adalah, potensi ekonomi daerah melibatkan pendekatan daerah dan menyeluruh, yang menjadi koreksi bagi pendekatan industrial yang telah digunakan oleh rezim sebelumnya. Sebagai tambahan, sebagian besar pelaku ekonomi adalah usaha mikro kecil menengah yang mencapai 44.7 juta orang atau 99.9 persen dari total lapangan kerja dan mereka adalah basis sumber daya daerah. Dengan demikian, potensi ekonomi daerah inilah yang paling memungkinkan untuk mengatasi masalah penganguran, kemiskinan, dan meningkatkan lonjakan pertumubuhan ekonomi nasional (Sebayang dan Kuncoro, 2011)

Keberhasilan potensi ekonomi daerah akan bergantung pada bagaimana daerah menyusun dan mengelola wilayahnya, termasuk meningkatkan investasi dan minat investor sesuai dengan kerangka desentralisasi fiskal, politik dan administrasi (Mahi, 2009). Desentralisasi menghasilkan pertumbuhan daerah yang relatif tinggi, dibandingkan rata-rata nasional, akan tetapi beberapa daerah membutuhkan percepatan pertumbuhan. Pada pertengahan tahun 2000-an pertumbuhan ekonomi daerah dan distribusi pendapatan antar daerah relatif tidak mengalami perubahan (Grafik 1 dan 2). Fakta tersebut menunjukkan pentingnya bagi pemerintah daerah untuk memfasilitasi potensi ekonomi daerah demi terwujudnya peningkatan standar hidup yang berkelanjutan.

Menurut Lewis (2003), kinerja perekonomian daerah yang ada di Indonesia sangat bervariasi sejak desentralisasi pada 2001. Beberapa daerah/kota telah menunjukkan kemajuan ekonomi yang hebat, investasi yang kuat, dan lapangan pekerjaan yang luas. Tapi banyak daerah lain yang cukup tertinggal, gagal untuk menumbuhkan

2

(7)

KAJIAN EKONOMI REGIONALPROV. ACEH | TRIWULAN 2-2012 67 perekonomian secara keseluruhan. Kemudian terdapat fakta bahwa kebijakan otoritas daerah dan isu keamanan memiliki elemen penting untuk menunjang kualitas iklim investasi daerah.

Istiandari (2009) mempelajari kinerja perekonomian daerah dan menghubungkannya dengan pendapatan daerah serta tingkat kemiskinan. Menurut hasil kajiannya, kebanyakan daerah di Jawa memiliki tata kelola yang lebih baik dalam memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan. Ia juga menemukan adanya kesenjangan yang sangat jauh terkait pelaksanaan tata kelola antar kabupaten/kota. Bertolak dari beberapa studi diatas, untuk memahami bentuk dari distribusi relatif tata kelola daerah, Haryo Kuncoro tertarik untuk mendalami proses dinamika tata kelola perekonomian daerah di Indonesia.

Dengan metodologi yang digunakannya, disimpulkan bahwa tata kelola perekonomian daerah khususnya kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan tidak ada perubahan yang segnifikan pada kinerja tata kelola perekonomian daerah paska desentralisasi fiskal. Tidak berubahnya kinerja tata kelola perekonomian daerah dikarenakan masalah lahan, program pengembangan usaha, pajak dan pungutan serta biaya transaksi lainnya, keamanan dan peraturan daerah.

Hasil tersebut mengemukakan perlunya peningkatan tata kelola perekonomian daerah dengan menciptakan iklim investasi untuk mendorong pertumbuhan aktifitas ekonomi. Industri di daerah akan berkembang jika daerah tersebut memiliki iklim investasi yang baik. Terkait bagaimana meningkatkan iklim investasi, pemerintah daerah seharusnya fokus pada pembangunan ekonominya utamanya pembangunan infrastruktur yang baik di wilayah tersebut, khususnya aksesibilitas lahan dan program pengembangan usaha. Oleh karena itu, sudah sepatutnya Pemerintah daerah berfokus pada kebijakan peningkatan infrastruktur.

Akhirnya, perlu digarisbawahi bahwa tata kelola perekonomian daerah merupakan syarat bagi pertumbuhan perekonomian daerah, tapi bukan merupakan kondisi yang cukup untuk peningkatan kinerja perekonomian daerah. Hal ini juga sejalan dengan gagasan bahwa segala usaha untuk meningkatkan tata kelola daerah membutuhkan perhatian yang lebih besar untuk memahami bagaimana karakteristik struktural yang mengatur ekonomi politik daerah hingga pada akhirnya berpengaruh terhadap kinerja perekonomian yang sejalan dengan desentralisasi dan otonomi daerah.

Mempelajari hasil studi tersebut, diharapkan struktur kepemimpinan Aceh yang baru dapat menjadikan tata kelola perekonomian Aceh lebih baik sehingga pada akhirnya tidak hanya pertumbuhan ekonomi dalam tataran kontekstual semata yang dapat dicapai, tetapi dapat mengakselerasi kesejahteraan masyarakatnya.

(8)

68 KAJIAN EKONOMI REGIONALPROV. ACEH | TRIWULAN 2-2012

Gambar

Gambar 5.2. Realisasi Pendapatan Pemerintah Aceh
Gambar 5.4 Realisasi Pembelanjaan Pemerintah Provinsi di Aceh

Referensi

Dokumen terkait

aspek struktur sosial masyarakat Madura sebagai satu komunitas, dan otonomi-relasi antara aspek jatidiri orang Madura dengan makna nasionalisme yang disadari telah

Pada kesempatan ini akan diteliti salah satu geguritan yang berjudul "Geguritan Nyepi" .Beberapa kekhasan dalam teks Geguritan Nyepi membuat

Jika dalam suatu model regresi terdapat autokorelasi maka akan menyebabkan varians sampel tidak dapat meng- gambarkan varians populasinya dan model regresi yang dihasilkan tidak

Std.. sebesar 0,003 dimana p value tersebut kurang dari batas kritis penelitian 0,05 sehingga hipotesis penelitian ini diterima yang berarti penerapan teknik relaksasi

Kolej RISDA Kelantan Sijil Kemahiran Malaysia Kursus Pembuat Pakaian Wanita Tahap 2 12 Bulan 0 57 0. Kolej RISDA Semporna Sijil Kemahiran Malaysia Kursus Kejuruteraan Sistem

berpengaruh terhadap impor jagung Indonesia tahun 1985-2012. 4) Koefisien determinasi sebesar 0,643 mempunyai arti bahwa 64,3 persen variasi impor jagung Indonesia tahun 1985-2012

Gambar 5: Grafik Hasil Titik Pencocokan Citra Bawah laut dengan Koreksi Gamma dan Histogram Equalization Dari 50 buah tersebut diuji dengan algoritma SIFT tanpa peningkatan

Penelitian ini mencoba untuk mengembangkan sistem informasi untuk pengendalian stok dan penjualan dan pembangunan prototipe sistem yang akan diimplementasikan dengan Java dan