• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian Profil Bursa Efek Indonesia ( Indonesia Stock Exchange

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian Profil Bursa Efek Indonesia ( Indonesia Stock Exchange"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian

Pada penelitian ini penulis memilih perusahaan di industri jasa (non-keuangan) yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI) periode tahun 2010-2013. Perusahaan jasa dipilih sebagai objek penelitian karena perusahaan jasa merupakan perusahaan yang tergolong dalam kategori high knowledge-based industries and frequency (Firer & Stainbank, 2003:33) dan merupakan industri perusahaan yang mendominasi laju pertumbuhan berdasarkan lapangan usaha (sektoral) di Indonesia pada tahun 2013 (Badan Pusat Statistik, 2014:2).

1.1.1. Profil Bursa Efek Indonesia (Indonesia Stock Exchange)

Secara historis, pasar modal telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Pasar modal atau bursa efek telah hadir sejak jaman kolonial Belanda dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. Pasar modal ketika itu didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC.

Meskipun pasar modal telah ada sejak tahun 1912, perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan pada beberapa periode kegiatan pasar modal mengalami kevakuman. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti perang dunia ke I dan II, perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia, dan berbagai kondisi yang menyebabkan operasi bursa efek tidak dapat berjalan sebagimana mestinya.

Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1977, dan beberapa tahun kemudian pasar modal mengalami pertumbuhan seiring dengan berbagai insentif dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah (sumber: www.idx.co.id, diakses pada tanggal 31 Maret 2014). Setelah 30 tahun diaktifkannya kembali pasar modal di Indonesia, pada tahun 2007 dibentuklah Bursa Efek Indonesia (Indonesia Stock Exchange (IDX)) yang merupakan penggabungan dari Bursa Efek Jakarta (BEJ) dengan Bursa Efek Surabaya (BES) yang berperan sebagai bagian dari Self Regulatory Organization (SRO) pasar modal Indonesia.

Bursa Efek Indonesia (BEI) menggunakan sistem perdagangan bernama Jakarta Automated Trading System (JATS) sejak tahun 1995, menggantikan sistem manual yang digunakan sebelumnya. Kemudian pada tahun 2009, sistem JATS ini sendiri telah digantikan dengan sistem baru bernama JATS-NextG yang memiliki kapasitas lebih besar dari sistem sebelumnya dan mampu menangani multi products dalam single platform.

Sebagai regulator dan fasilitator, pengembangan BEI tidak berhenti sampai di sini. BEI terus-menerus mengembangkan diri dan meluncurkan produk-produk investasi pasar modal baru dalam upaya memperluas kesempatan untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam berkompetisi dengan bursa-bursa tingkat dunia (Bursa Efek Indonesia, 2012b:7).

(2)

2 1.1.2. Visi dan Misi Bursa Efek Indonesia

Visi:

Menjadi bursa yang kompetitif dengan kredibilitas tingkat dunia.

Misi:

Menciptakan daya saing untuk menarik investor dan emiten, melalui pemberdayaan Anggota Bursa dan Partisipan, penciptaan nilai tambah, efisiensi biaya serta penerapan good governance.

1.1.3. Logo Bursa Efek Indonesia

Selain visi dan misi, PT Bursa Efek Indonesia juga memiliki logo perusahaan. Berikut adalah logo PT Bursa Efek Indonesia.

GAMBAR 1.1.

LOGO BURSA EFEK INDONESIA

Sumber: www.idx.co.id, diakses pada tanggal 31 Maret 2014

1.1.4. Perusahaan Industri Jasa (Non Keuangan) di Bursa Efek Indonesia

Industri jasa adalah industri atau sektor bisnis yang bergerak di bidang pelayanan atau jasa. Kata jasa sendiri adalah setiap tindakan atau kinerja yang dapat ditawarkan satu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan sesuatu. Produksinya mungkin saja terkait atau mungkin juga tidak terkait dengan produk fisik (Kotler & Keller, 2012:378). Kotler dan Keller (2012:378) menjelaskan bahwa bisnis jasa tersebar ke dalam beberapa sektor seperti contohnya di sektor pemerintahan meliputi pengadilan, pelayanan ketenagakerjaan, rumah sakit, lembaga pemberi pinjaman, militer, kepolisian dan pemadam kebakaran, kantor pos, lembaga pembuat peraturan, serta sekolah-sekolah. Di sektor nirlaba swasta seperti museum, badan amal, gereja, perguruan tinggi, yayasan, dan rumah sakit juga berada dalam bisnis jasa. Selain itu, sebagian besar sektor bisnis seperti perusahaan penerbangan, bank, hotel, perusahaan asuransi, firma hukum, perusahaan konsultan manajemen, praktik kedokteran, perusahaan film, perusahaan perbaikan ledeng, serta perusahaan real estat juga merupakan bisnis di bidang jasa.

Mendukung pernyataan dari Kotler dan Keller diatas, Hoffman dan Bateson (2011:31) juga mengklasifikasikan bisnis jasa ke dalam 9 sektor diantaranya pendidikan dan pelayanan kesehatan; kegiatan keuangan; pemerintahan; informasi; rekreasi dan perhotelan; jasa profesional dan bisnis;

(3)

3

transportasi dan utilitas; grosir dan perdagangan ritel; serta jasa lainnya. Berdasarkan pengklasifikasian dari kedua sumber diatas, maka sektor-sektor yang termasuk ke dalam bisnis atau industri jasa (selain sektor keuangan) yang terdaftar di BEI tahun 2010-2013 adalah sebagai berikut:

TABEL 1.1.

DAFTAR SEKTOR YANG TERMASUK DALAM INDUSTRI JASA (NON-KEUANGAN) DI BEI TAHUN 2010-2013

Nama Sektor Jumlah

Perusahaan 1. Property, Real Estate and Building Construction

a. Property and Real Estate b. Building Construction c. Others

38 6 0 2. Infrastructure, Utilities & Transportation

a. Energy

b. Toll Road, Airport, Harbor, and Allied Products c. Telecommunications

d. Transportation

e. Non Building Construction f. Others 2 3 6 13 4 0 3. Trade, Service & Investment

a. Wholesale (Durable & Non Durable Goods) b. Retail Trade

c. Tourism, Restaurant & Hotel d. Advertising, Printing & Media e. Health Care

f. Computer and Service g. Investment Company h. Others 28 17 18 10 0 4 6 3 Jumlah 158 perusahaan

Sumber: Bursa Efek Indonesia

1.2. Latar Belakang Penelitian

Perkembangan ekonomi disertai persaingan usaha di era globalisasi saat ini memberikan dampak yang cukup besar di dalam pengelolaan suatu bisnis. Para pelaku bisnis mulai menyadari bahwa kemampuan bersaing tidak hanya terletak pada kepemilikan aktiva berwujud, tetapi lebih kepada inovasi, sistem informasi, pengelolaan organisasi dan sumber daya manusia yang dimilikinya. Agar dapat terus bertahan, dengan cepat perusahaan-perusahaan mengubah bisnisnya yang didasarkan pada tenaga kerja (labor-based business) menuju bisnis yang didasarkan pada pengetahuan (knowledge-based business), sehingga karakteristik utama perusahaannya menjadi perusahaan berbasis ilmu pengetahuan (Rambe, 2012:85). Menurut Basyar (2012:1), labor-based business memegang prinsip perusahaan padat karya, dalam artian bahwa semakin banyak karyawan yang dimiliki perusahaan maka akan meningkatkan produktivitas perusahaan sehingga perusahaan dapat berkembang. Sedangkan, berkembangnya perusahan-perusahaan yang menerapkan knowledge-based business akan bergantung pada bagaimana kemampuan manajemen untuk mendayagunakan nilai-nilai

(4)

4

yang tidak tampak (the hidden value) dari aset tidak berwujud dalam menciptakan nilai perusahaan sehingga akan memberikan keunggulan kompetitif berkelanjutan.

Dengan perkembangan yang disertai dengan transisi perekonomian saat ini, perusahaan dituntut untuk dapat memanfaatkan semua aset yang dimiliki tidak hanya tangible asset namun juga harus memperhitungkan intangible asset dalam meningkatan nilai perusahaan. Menurut Puspitasari & Meiranto (2011:2), modal yang konvensional seperti sumber daya alam, sumber daya keuangan dan aktiva fisik lainnya menjadi kurang penting dibandingkan dengan modal yang berbasis pada pengetahuan dan teknologi. Dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi, maka akan dapat tercipta inovasi-inovasi dalam penggunaan aset sehingga lebih efisien dan ekonomis, yang nantinya akan memberikan nilai tambah serta keunggulan bersaing untuk perusahaan (Rahimli, 2012:40).

Perubahan paradigma perusahaan dari yang didasarkan pada tenaga kerja (labor-based business) menuju bisnis berdasarkan pengetahuan (knowledge-based business) telah berkembang menjadi isu yang berkepanjangan, dimana beberapa penulis menyatakan bahwa manajemen dan sistem pelaporan yang telah mapan selama ini secara berkelanjutan kehilangan relevansinya, karena tidak mampu menyajikan informasi yang esensial bagi eksekutif untuk mengelola proses yang berbasis pengetahuan (knowledge-based process) dan intangible resources (Bornemann & Leitner, 2002:8). Keterbatasan laporan keuangan dalam menjelaskan nilai perusahaan, mengakibatkan pelaporan keuangan seringkali dianggap kurang memadai sebagai pelaporan kinerja keuangan. Keterbatasan dari informasi akuntansi sebagai sarana pemberi informasi bagi pengguna laporan keuangan menunjukkan bahwa meningkatnya kesenjangan antara nilai pasar dan nilai buku ekuitas perusahaan dalam financial market (Canibano et al. dalam Ayuso & Sanchez, 2001:3).

Berkurangnya atau bahkan hilangnya aktiva tetap dalam neraca perusahaan tidak menyebabkan hilangnya penghargaan pasar terhadap mereka. Ini tercermin dari banyaknya perusahaan saat ini yang memiliki aktiva berwujud yang tidak signifikan dalam laporan keuangan namun penghargaan pasar atas perusahaan-perusahaan tersebut sangat tinggi (Roos dalam Arsalan, 2012:494). Arsalan (2012:494) juga mengungkapkan bahwa semakin meningkatnya perbedaan antara harga saham (market value) dengan nilai buku aktiva (net assets) yang dimiliki perusahaan menunjukkan adanya hidden value. Penghargaan lebih atas suatu perusahaan dari para investor tersebut diyakini disebabkan oleh intellectual capital yang dimiliki perusahaan. Berikut merupakan beberapa data market value, net assets dan hidden value dari beberapa perusahaan publik internasional (sumber: www.forbes.com, diakses pada tanggal 25 Maret 2014).

(5)

5 TABEL 1.2.

MARKET VALUE DAN ASSET (DALAM MILYAR DOLLAR AMERIKA) BEBERAPA PERUSAHAAN PUBLIK INTERNASIONAL

Company Market

Value Net Assets Hidden Value

Percentage of Hidden Value Google 268.4 93.8 174.6 65% McDonald’s 99.9 35.4 64.5 65% SAP 103.9 35.5 68.4 66% Accenture 53.3 16.4 36.9 69% Nike 49.4 15.6 34.3 69% Sprint Nextel 17.5 51.6 - - Advanced Info Service 23.2 3.1 20.1 87%

Sumber: Data diolah penulis dari www.forbes.com, diakses pada tanggal 25 Maret 2014.

Berdasarkan tabel 1.2 di atas dapat dilihat bahwa Google Inc. memiliki market value sebesar US$ 268.4 Milyar, sedangkan net assets yang dimiliki hanya sebesar US$ 93.8 Milyar. Selisih antara market value dengan net assets sebesar US$ 174.6 Milyar. Angka ini menunjukkan bahwa terdapat hidden value yang tidak tercantum di dalam laporan keuangan Google Inc. yaitu sebesar US$ 174.6 Milyar atau 65% dari market value-nya. Hal yang sama juga terjadi pada salah satu perusahaan sektor restoran makanan siap saji di Amerika Serikat yaitu McDonald’s Corp. yang memiliki market value sebesar US$ 99.9 Milyar, sedangkan net assets-nya sendiri sebesar US$ 35.4 Milyar. Angka tersebut menunjukkan bahwa terdapat hidden value yang tidak dicantumkan ke dalam laporan keuangan sebesar US$ 64.5 Milyar atau 65% dari keseluruhan market value-nya.

Advanced Info Service (AIS) dan Sprint Nextel Corp. merupakan perusahaan yang sama-sama bergerak di bidang jasa telekomunikasi. AIS memiliki market value sebesar US$ 23.2 Milyar dan memiliki net assets sebesar US$ 3.1 Milyar, sedangkan Sprint Nextel Corp. memiliki market value sebesar US$ 17.5 Milyar dan net assets sebesar US$ 51.6 Milyar. Sprint Nextel Corp. memiliki nilai aset yang jauh lebih besar dari AIS, tetapi AIS memperoleh nilai pasar yang lebih tinggi dibandingkan Sprint Nextel Corp.. Hal ini menunjukkan bahwa tangible asset tidak lagi menjadi bahan pertimbangan utama bagi pasar dalam menentukan nilai dari suatu perusahaan.

Dapat disimpulkan bahwa dalam tabel 1.2 diatas menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang cukup besar antara market value dengan net assets dari beberapa perusahaan internasional yang membuktikan bahwa terdapat hidden value yang tidak diungkapkan di dalam laporan keuangan dari perusahaan-perusahaan tersebut yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangannya dalam pengambilan keputusan.

Berdasarkan bukti-bukti hidden value tersebut, seharusnya ada informasi lain yang perlu disampaikan kepada para pengguna laporan keuangan, sehingga dapat menjelaskan nilai lebih (value added) yang dimiliki perusahaan. Salah satu pendekatan yang digunakan dalam penelitian dan pengukuran intangible assets adalah Intellectual Capital yang telah menjadi fokus perhatian dalam

(6)

6

berbagai bidang, baik manajemen, teknologi informasi, sosiologi, maupun akuntansi (Ulum, 2008a:1). Pernyataan tersebut juga didukung oleh pernyataan dari Chen et al. (2005:159) yaitu “The limitation on financial statements in explaining firm value underline the fact that the source of economic value is no longer the production of material goods, but the creation of intellectual capital”.

Intellectual capital umumnya diidentifikasikan sebagai perbedaan antara nilai pasar perusahaan (bisnis perusahaan) dengan nilai buku aset perusahaan tersebut atau dari financial capital-nya (Ulum, 2009:21). Hal ini didasarkan dari observasi sejak akhir tahun 1980-an, dimana nilai pasar dari bisnis kebanyakan dan bisnis secara khusus yang berdasarkan pengetahuan telah menjadi lebih besar dari nilai yang dilaporkan dalam laporan keuangan (Roslender & Fincham, 2004:179). Edvinsson & Malone dalam Ulum (2009:21) mengidentifikasikan intellectual capital sebagai nilai yang tersembunyi (hidden value) dalam bisnis, yang artinya bahwa intellectual capital tidak terlihat secara umum layaknya aset tradisional berupa aset fisik, dan juga aset semacam ini tidak ditampilkan ke dalam laporan keuangan perusahaan.

Istilah Intellectual Capital pertama kali diperkenalkan oleh John Kenneth Galbraith pada tahun 1969 yang kemudian dikembangkan oleh Peter F. Drucker pada tahun 1993 (Bontis dalam Wicaksana & Rohman, 2011:2). Sedangkan di Indonesia sendiri fenomena Intellectual Capital mulai berkembang sejak munculnya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 19 (Revisi 2000) tentang aktiva tidak berwujud. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, maka PSAK No. 19 (Revisi 2000) kembali direvisi oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI). Menurut PSAK No. 19 (Revisi 2009), aktiva tidak berwujud adalah aset non-moneter yang dapat diidentifikasi tanpa wujud fisik. Suatu aset dikatakan dapat diidentifikasi jika dapat dipisahkan, yaitu dapat dipisahkan atau dibedakan dari entitas dan dijual, dipindahkan, dilisensikan, disewakan atau ditukarkan, baik secara tersendiri atau bersama-sama dengan kontrak terkait, aset atau liabilitas teridentifikasi, terlepas dari apakah entitas bermaksud untuk melakukan hal tersebut; atau timbul dari kontrak atau hak legal lainnya, terlepas dari apakah hak tersebut dapat dialihkan atau dipisahkan dari entitas atau dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban lainnya (Ikatan Akuntan Indonesia, 2009:4).

Abidin dalam Ulum (2009:3) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia cenderung menggunakan conventional based dalam membangun bisnisnya karena masih menjalankan bisnis berdasarkan tenaga kerja (labor based business) sehingga produk yang dihasilkan masih miskin akan kandungan teknologi dan sulit bersaing di pasar internasional. Bukti kurangnya daya saing perusahaan Indonesia di pasar internasional dapat dilihat pada tabel 1.3 bahwa dari 491 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, hanya 9 perusahaan yang tercatat pada Forbes 2000.

Berikut tabel 1.3 yang menunjukkan data market value, sales, profit, net assets dan hidden value dari beberapa perusahaan Indonesia yang terdaftar pada Forbes 2000 (sumber: www.forbes.com, diakses pada tanggal 30 Maret 2014).:

(7)

7 TABEL 1.3.

MARKET VALUE DAN ASSET (DALAM MILYAR DOLLAR AMERIKA) PERUSAHAAN PUBLIK INDONESIA YANG TERDAFTAR DI FORBES 2000

Company Market

Value Net Assets Hidden Value

Percentage of Hidden Value

Bank Mandiri 24 65.5 - -

Bank Rakyat

Indonesia 22.4 57 - -

Bank Central Asia 27.1 46 - -

Telkom Indonesia 21.4 11.5 9.9 46% Bank Negara Indonesia 9 34.6 - - Perusahaan Gas Negara 13.5 3.9 9.6 71% Gudang Garam 9.8 4.3 5.5 56% Semen Indonesia 11.2 2.8 8.4 75% Bank Danamon Indonesia 5.9 16.1 - -

Sumber: Data diolah penulis dari www.forbes.com, diakses pada tanggal 30 Maret 2014.

Berdasarkan tabel 1.3 di atas, perusahaan Indonesia yang telah berhasil menerapkan knowledge based business dalam prakteknya adalah PT. Telekomunikasi Indonesia,Tbk dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero), Tbk dari industri jasa; serta PT. Gudang Garam, Tbk dan PT. Semen Indonesia (Persero), Tbk dari industri manufaktur. Hal ini terbukti dengan market value perusahaan-perusahaan tersebut yang lebih besar dibandingkan dengan net assets yang dimilikinya sehingga terdapat hidden value yang tidak tercantum ke dalam laporan keuangan perusahaan.

Sawarjuwono & Kadir (2003:37) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan berkembang seperti Indonesia belum memberikan perhatian lebih terhadap human capital, structural capital, dan customer capital. Padahal agar dapat bersaing dalam era knowledge based business, ketiga komponen intellectual capital ini diperlukan untuk menciptakan value added bagi perusahaan. Human capital merupakan pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang dimiliki orang-orang yang ada dalam perusahaan. Structural capital adalah sistem operasional, proses menghasilkan produk atau jasa, budaya organisasi, dan filosofi manajemen yang mendukung usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja bisnis secara keseluruhan. Dan customer capital adalah hubungan yang harmonis yang dimiliki perusahaan dengan mitranya yang dapat menambah nilai bagi perusahaan.

Gupta & Gupta (2014:7) juga menyatakan bahwa pentingnya teori dan kontribusi empiris yang berhubungan dengan pengukuran dan pelaporan intellectual capital. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa intellectual capital telah menjadi komponen yang penting dan sangat dibutuhkan bagi perusahaan-perusahaan modern saat ini terutama yang bergerak dalam bidang knowledge-based business.

(8)

8

Intellectual Capital menjadi aset yang berharga dalam dunia bisnis modern saat ini. Pengakuan mengenai intellectual capital dalam menciptakan nilai dan keunggulan kompetitif mendapatkan perhatian besar bagi para akademisi. Hal ini menyebabkan banyaknya pengembangan metode dalam mengukur intellectual capital. Beberapa konsep pengukuran telah diciptakan dan dikembangkan oleh beberapa peneliti, salah satunya yaitu model yang dikembangkan oleh Pulic dalam Ulum (2008b:78).

Pulic mengembangkan metode Value Added Intellectual Capital Coefficient (VAICTM) pada tahun 1997 untuk menyajikan informasi tentang value creation efficiency dari aset berwujud (tangible asset) dan aset tidak berwujud (intangible assets) yang dimiliki perusahaan, atau dengan kata lain VAICTM merupakan instrumen untuk mengukur kinerja intellectual capital perusahaan (Ulum, 2009:86). Metode ini relatif mudah dan sangat mungkin untuk dilakukan, karena dikontruksi dari akun-akun dalam laporan keuangan perusahaan (neraca, laba rugi). Data yang dibutuhkan untuk menghitung berbagai rasio adalah angka-angka keuangan standar yang umumnya tersedia dari laporan keuangan perusahaan (Zuliyati & Arya, 2011:117).

Model VAICTM dianggap telah memenuhi kebutuhan dasar ekonomi kontemporer dari ‘sistem pengukuran’ yang menunjukkan nilai sebenarnya dan kinerja suatu perusahaan, karena tujuan utama dalam ekonomi yang berbasis pengetahuan adalah untuk menciptakan value added (Lasiyono, 2013:106). Komponen utama dari VAICTM adalah physical capital (VACA – Value Added Capital Employed), human capital (VAHU – Value Added Human Capital), dan structural capital (STVA – Structural Capital Value Added) (Ulum, 2009:87).

Menurut Kamath (2007:98), logika utama dalam penggunaan VAICTM sebagai alat untuk mengukur kinerja adalah: (1) Potensi intelektual merupakan sumber daya yang paling penting dari kesuksesan perusahaan, terutama dalam ekonomi pengetahuan; (2) Meningkatkan efisiensi dari potensi intelektual adalah cara yang paling sederhana, murah dan aman untuk memastikan kesuksesan bisnis yang berkesinambungan; (3) VAICTM telah terbukti kesesuaiannya sebagai alat untuk mengukur Intellectual Capital; dan (4) Fakta bahwa perusahaan memiliki pengeluaran yang lebih tinggi untuk potensi intelektual daripada modal fisik, dan bahwa dengan VAICTM ditemukan sebuah indikator yang dapat diandalkan untuk potensi intelektual adalah alasan yang sangat tepat untuk memberikan perhatian yang lebih terhadap potensi intelektual.

Penelitian tentang Intellectual Capital sendiri sudah banyak dilakukan baik di luar negeri, maupun di Indonesia, diantaranya adalah Chen et al. (2005) yang melakukan penelitiannya di Taiwan. Dalam penelitiannya, Chen et al. (2005) dapat membuktikan bahwa terdapat hubungan yang positif antara intellectual capital dengan nilai pasar dan kinerja keuangan, serta kemungkinannya juga berpengaruh di dalam kinerja keuangan masa depan. Chen et al. (2005) menggunakan data-data perusahaan publik di Taiwan dengan menggunakan metode regresi untuk membuktikan hipotesisnya. Hasi penelitian dari Chen et al. ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Firer & Williams (2003). Dalam penelitiannya ditemukan bahwa hubungan antara intellectual capital dengan kinerja keuangan 75 perusahaan publik di Afrika Selatan terbatas dan tidak konsisten.

(9)

9

Di Indonesia, peneliti yang membahas mengenai Intellectual Capital yaitu salah satunya adalah Ulum et al (2008). Penelitian Ulum et al (2008) yang berjudul ‘Intellectual Capital dan Kinerja Perusahaan; Suatu Analisis dengan Pendekatan Partial Least Square’ ini membahas mengenai pengaruh intellectual capital terhadap kinerja keuangan pada perusahaan di sektor perbankan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sebanyak 130 bank yang beroperasi di Indonesia pada periode tahun 2004-2006. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat pengaruh Intellectual Capital (VAICTM) terhadap kinerja keuangan perusahaan perbankan selama tahun periode pengamatan (2004-2006), serta terdapat pengaruh juga antara Intellectual Capital terhadap kinerja keuangan perusahaan di masa depan, baik untuk periode 2004-2005, maupun 2005-2006. Namun, penelitian tersebut tidak dapat membuktikan adanya pengaruh antara Rate of Growth of Intellectual Capital (ROGIC) terhadap kinerja keuangan di masa depan. Terdapat hasil yang berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh Kuryanto & Syafruddin (2008), karena dari penelitian yang mereka lakukan tidak menunjukkan bahwa adanya pengaruh positif antara Intellectual Capital suatu perusahaan dengan kinerjanya, semakin tinggi nilai intellectual capital, kinerja masa depan perusahaan tidak semakin tinggi, tidak ada pengaruh positif antara tingkat pertumbuhan Intellectual Capital sebuah perusahaan dengan kinerja masa depan perusahaan. Penelitian ini menggunakan 73 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2003-2005 dari 4 jenis industri yang digunakan sebagai sampel yakni 44 perusahaan manufaktur, 11 perusahaan properti, 12 perusahaan jasa, dan 6 perusahaan perdagangan.

Adanya variasi dari hasil penelitian yang telah disebutkan di atas menambah ketertarikan untuk melakukan penelitian dalam lingkungan industri yang berbeda. Perbedaan pengetahuan dan pemanfaatan teknologi yang mungkin menjadi salah satu penyebab perbedaan hasil penelitian tersebut. Hal ini dikarenakan pada era knowledge-based business, pengetahuan dan teknologi memegang peranan penting. Perbedaan perkembangan dan penggunaan teknologi mungkin dapat mengakibatkan perbedaan dalam implikasi dan penggunaan intellectual capital di tiap-tiap negara. Penggunaan dan pemanfaatan intellectual capital yang berbeda menyebabkan perbedaan kinerja keuangan perusahaan dan kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai (Ferdiansah, 2012:2).

Oleh karena itu, penelitian ini berusaha meneliti pengaruh intellectual capital terhadap kinerja keuangan perusahaan industri jasa (non-keuangan) yang tercatat di BEI. Pemilihan industri jasa sebagai sampel dipicu oleh masih jarangnya penelitian yang menggunakan sampel perusahaan jasa di Indonesia. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan lebih didominasi oleh perusahaan di industri manufaktur serta keuangan. Selain itu penelitian ini juga menggunakan perusahaan di industri jasa disebabkan oleh fenomena angka laju pertumbuhan berdasarkan bidang lapangan usaha (sektoral) pada tahun 2013 yang ditampilkan dalam tabel 1.4 di bawah ini:

(10)

10 TABEL 1.4.

NILAI PDB MENURUT LAPANGAN USAHA TAHUN 2011-2013, LAJU PERTUMBUHAN DAN SUMBER PERTUMBUHAN TAHUN 2013

Sumber: Badan Pusat Statistik (2014:2)

Berdasarkan tabel 1.4 di atas, laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang mencapai 10,19%, diikuti oleh Sektor Keuangan, Real Estat, dan Jasa Perusahaan sebesar 7.56%, Sektor Konstruksi 6,57%, Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran 5.93%. Sektor-sektor yang disebutkan di atas memicu penelitian ini agar menggunakan Sektor-sektor tersebut sebagai sampel yang akan diuji. Selain nilai laju pertumbuhan berdasarkan lapangan usaha di atas, pemilihan sampel perusahaan jasa pada penelitian ini juga mengacu pada penelitian Firer & Stainbank (2003) yang menggunakan perusahaan yang masuk dalam kategori high knowledge-base industries and frequency di Afrika Selatan. Industri yang masuk ke dalam kategori tersebut ditunjukkan oleh tabel 1.5 di bawah ini:

(11)

11 TABEL 1.5.

HIGH KNOWLEDGE-BASED INDUSTRIES AND FREQUENCY

Sumber: Firer & Stainbank, (2003:33)

Berdasarkan tabel 1.5 di atas, beberapa industri high knowledge-based yang akan menjadi objek penelitian seperti penjelasan di sub bab 1.1.4. antara lain adalah Business Service; Communication; Real Estate; serta Health and Social Services. Hal ini menunjukkan bahwa 4 dari 6 kategori yang masuk ke dalam industri high knowledge-based didominasi oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri jasa.

Pada penelitian ini sektor keuangan tidak dimasukkan pada kelompok industri yang diteliti, karena telah banyak penelitian tentang intellectual capital yang menggunakan sampel perusahaan di sektor keuangan. Selain itu menurut Abdolmohammadi (2005:404), sektor keuangan termasuk dalam industri “old economy” yang aktivitasnya selalu menggunakan aktiva keuangan.

Selain intellectual capital, penelitian ini juga akan mengukur kinerja keuangan dan hubungannya dengan nilai VAICTM dari perusahaan industri jasa (non-keuangan) yang terdaftar di BEI pada tahun 2010-2013. Kinerja keuangan merupakan hal penting untuk diketahui karena menjadi tolak ukur bagi investor dalam menilai suatu perusahaan dan mengambil keputusan investasi pada perusahaan. Jika dengan intellectual capital terbukti memberikan efisiensi biaya yang dikeluarkan perusahaan, maka investor akan memberikan nilai yang tinggi terhadap perusahaan yang memiliki intellectual capital lebih besar. Selain itu jika intellectual capital merupakan sumberdaya yang terukur untuk peningkatan competitive adventage, maka intellectual capital akan memberikan kontribusi terhadap kinerja keuangan perusahaan (Ulum, 2009:94). Oleh karena itu intellectual capital diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak perusahaan untuk menentukan kebijakan terkait dengan kinerja keuangan perusahaan dan bagi para investor dalam menilai perusahaan tersebut.

Ukuran kinerja keuangan perusahaan dalam penelitian ini menggunakan rasio profitabilitas Return on Assets (ROA) (Chen et al., 2005; Ulum et al., 2008; Firer & Williams, 2003), dan Return on Equity (ROE) (Chen et al., 2005), rasio aktivitas yang diukur dengan Assets Turnover (ATO) (Firer &

(12)

12

Williams, 2003; Ulum et al., 2008), serta rasio pertumbuhan atau Growth Revenues (GR) (Chen et al., 2005; Ulum et al, 2008).

Rasio ROA dapat merefleksikan keuntungan bisnis dan efisiensi perusahaan dalam pemanfaatan keseluruhan aset (Ulum et al., 2008:9). Jika dengan intellectual capital dapat meminimalkan pengeluaran sehingga aset yang dimiliki dapat digunakan secara lebih efisien, maka akan dapat dihasilkan keuntungan bagi perusahaan sehingga meningkatkan angka profitabilitas ROA.

Rasio ROE digunakan untuk mengukur tingkat pengembalian atas investasi dari pemegang saham (Ehrhardt & Brigham, 2011:100). Jika dengan pengelolaan intellectual capital yang optimal, profitabilitas perusahaan dapat meningkat serta menghasilkan keuntungan yang lebih besar bagi perusahaan. Hal tersebut akan meningkatkan nilai ROE dalam laporan kinerja perusahaan sehingga dapat memikat para investor untuk berinvestasi pada perusahaan yang memiliki intellectual capital yang lebih besar.

Rasio ATO dihitung untuk melihat seberapa efisien perusahaan menggunakan aktivanya untuk menghasilkan penjualan (Keown et al., 2005:81). Dengan pengelolaan intellectual capital yang baik, maka penggunaan aset dapat semakin lebih efektif dan efisien. Selain itu jasa yang dapat dihasilkan semakin berkualitas sehingga jumlah pendapatan semakin meningkat dan meningkatkan angka ATO perusahaan.

Yang terakhir adalah perhitungan intellectual capital terhadap rasio GR. Rasio GR digunakan untuk mengukur perubahan pendapatan perusahaan, karena jika terdapat peningkatan pendapatan maka biasanya menjadi sinyal bagi perusahaan untuk dapat tumbuh dan berkembang (Chen et al., 2005:165). Dengan mengoptimalkan intellectual capital, maka perusahaan akan lebih produktif sehingga angka pendapatan akan semakin meningkat secara berkala.

Dalam penelitian ini data yang akan digunakan adalah data sekunder berupa laporan keuangan tahunan perusahaan dari perusahaan industri jasa (non-keuangan) yang tercatat di BEI tahun 2010-2013. Intellectual capital sebagai variabel independen diukur menggunakan model Pulic yaitu VAICTM (Value Added Intellectual Capital) mengacu bahwa adanya hubungan VAICTM dengan kinerja keuangan dan telah dibuktikan secara empiris oleh beberapa penelitian terdahulu yang sudah penulis uraikan sebelumnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini mengambil judul “ANALISIS

PENGARUH INTELLECTUAL CAPITAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN

PERUSAHAAN INDUSTRI JASA (NON-KEUANGAN) YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2010-2013”.

1.3. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas maka penulis mengidentifikasi permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut:

(13)

13

1. Bagaimana pengaruh Intellectual Capital yang diukur oleh Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) terhadap kinerja keuangan yang diukur oleh Return on Assets (ROA) pada perusahaan jasa non-keuangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-2013?

2. Bagaimana pengaruh Intellectual Capital yang diukur oleh Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) terhadap kinerja keuangan yang diukur oleh Return on Equity (ROE) pada perusahaan jasa non-keuangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-2013?

3. Bagaimana pengaruh Intellectual Capital yang diukur oleh Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) terhadap kinerja keuangan yang diukur oleh Assets Turnover (ATO) pada perusahaan jasa non-keuangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-2013?

4. Bagaimana pengaruh Intellectual Capital yang diukur oleh Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) terhadap kinerja keuangan yang diukur oleh Growth Revenues (GR) pada perusahaan jasa non-keuangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-2013?

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:

1. Mengetahui pengaruh Intellectual Capital yang diukur oleh Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) terhadap kinerja keuangan yang diukur oleh Return on Assets (ROA) pada perusahaan jasa non-keuangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-2013.

2. Mengatuhui pengaruh Intellectual Capital yang diukur oleh Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) terhadap kinerja keuangan yang diukur oleh Return on Equity (ROE) pada perusahaan jasa non-keuangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-2013.

3. Mengetahui pengaruh Intellectual Capital yang diukur oleh Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) terhadap kinerja keuangan yang diukur oleh Assets Turnover (ATO) pada perusahaan jasa non-keuangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-2013.

4. Mengetahui pengaruh Intellectual Capital yang diukur oleh Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) terhadap kinerja keuangan yang diukur oleh Growth Revenues (GR) pada perusahaan jasa non-keuangan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2010-2013.

1.5. Kegunaan Penelitian 1.5.1. Aspek Teoritis

1) Penelitian ini dapat memberikan manfaat teoritis dalam pengembangan ilmu akuntansi kontemporer, terutama dalam kajian intellectual capital.

2) Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan intellectual capital dalam bidang dan kajian yang sama.

(14)

14

1.5.2. Aspek Praktis

1) Bagi investor dan calon investor, penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam mengukur kinerja intellectual capital yang selanjutnya dapat digunakan untuk menilai competitive adventage (keunggulan bersaing) perusahaan sehubungan dengan keputusan investasi mereka.

2) Bagi manajer perusahaan, penelitian ini diharapkan menjadi tambahan informasi pada penilaian kinerja organisasi bisnis serta pengelolaan intellectual capital perusahaan untuk dapat menciptakan nilai bagi perusahaan (firm’s value creation).

1.6. Sistematika Penulisan Tugas Akhir

Sistematika penulisan dicantumkan untuk memberikan gambaran umum mengenai penelitian yang dilakukan. Maka penulis menyusun sistematika penulisan dengan format sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini dibahas mengenai tinjauan objek studi yaitu perusahaan jasa (non-keuangan) yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, latar belakang masalah, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LINGKUP PENELITIAN

Pada bab ini dibahas tentang teori-teori yang berkaitan dengan penelitian dan mendukung pemecahan permasalahan. Penelitian terdahulu yang terkait dengan ‘Analisis Pengaruh Intellectual Capital terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan’ juga akan dipaparkan dalam bab ini. Selain itu di dalam bab ini juga akan dibahas kerangka pemikiran dari penelitian yang dilaksanakan dan juga hipotesis awal dari penelitian ini.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berkaitan dengan tata cara bagaimana penelitian ini dilaksanakan. Mulai dengan jenis penelitian yang digunakan, metode pengumpulan data, sampel dan populasi penelitian, serta bagaimana teknis pengolahan data dan pengujian hipotesis dilakukan.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berkaitan dengan pembahasan data hasil penelitian. Dalam bab ini data hasil penelitian akan diolah sedemikian rupa sehingga hasil penelitian yang diperoleh diharapkan bisa digeneralisasikan menjadi sebuah kesimpulan sebagai jawaban dari penelitian atas ‘Analisis Pengaruh Intellectual Capital terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Jasa (Non-Keuangan) yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2013’ ini.

(15)

15 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini dibahas mengenai kesimpulan dari hasil penelitian, dan saran yang diberikan untuk penelitian selanjutnya, untuk perusahaan, investor, dan regulator.

Referensi

Dokumen terkait

Kata Kunci : Intellectual Capital, Physical Capital, Human Capital, Structural Capital, Value Added Intellectual Coefficients (VAIC TM ), Kinerja Keuangan

Intellectual Capital dengan menggunakan metode Value Added Intellectual Coefficient (VAIC TM ) dan pengukurannya VACA, VAHU, STVA sebagai variabel laten yang

Metode yang digunakan untuk mengukur Intellectual Capital adalah dengan menggunakan komponen utama dari Value Added Intellectual Coefficient (VAIC) yaitu Value Added Capital

Variabel independen dalam penelitian ini adalah Intellectual Capital yang diukur menggunakan metode Pulic yaitu VAIC TM ( Value Added Intellectual Coefficient )

Value Added Capital Employed (VACA) dan Structural Capital Value Added (STVA) berpengaruh positif terhadap Return on Assets (ROA) Sedangkan Value Added Human

Keywords: Profitability, Structural Capital Value Added (STVA), Value Added Capital Employed (VACA), Value Added Human Capital (VAHU), Value-Added Intellectual

Untuk mengetahui pengaruh secara simultan Value Added Capital Employed (VACA), Value Added Human Capital (VAHU), dan Sturctural Capital Value Added (STVA) terhadap Return

Modal intelektual dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan model Value Added Intellectual Coefficient (VAIC) yang dikembangkan oleh Pulic (1998) yang terdiri dari