Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | C - 1
Desain Taman sebagai Zona Terapi dan Edukasi Penyandang
Cacat
Studi Kasus: Konsep Therapeutic Garden pada Redesain
Bangunan YPAC Surakarta
Anggana Fitri Satwikasari
(Perancangan Arsitektur, Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
Abstrak
Bangunan Yayasan Pembinaaan Anak Cacat (YPAC) Surakarta sudah berdiri sejak tahun 1953 dan sebagian besar ruangan di gedung ini masih dipergunakan sebagai ruang terapi. Karena keterbatasan ruang untuk terapi, sedikitnya open space yang tersedia, dan banyak area yang tidak dipergunakan dengan semestinya, hampir seluruh bangunan menjadi terlihat sesak dan tidak menarik untuk anak-anak yang merupakan penghuni utama di bangunan tersebut. Konsep redesain kemudian diusulkan terhadap bangunan tersebut kepada pengelola dan penghuni agar menjadi lebih rehabilitatif dan edukatif. Analisa behavioral mapping dengan fokus pada metode place-centered map menjadi langkah awal untuk mengetahui pergerakan penghuni bangunan di beberapa area strategis. Hasil analisa dan penelitian lebih lanjut terhadap bangunan beserta penghuninya memunculkan konsep therapeutic garden sebagai alternatif area terapi baru.
Kata-kunci : redesain, therapeutic garden, behavioral mapping, place-centered map
Pendahuluan
Cerebral Palsy dan tuna daksa
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh beberapa kelainan dan yang paling mendasar adalah cerebral palsy (Wikipedia, 2011). Intervensi medis terbatas pada pengobatan dan pence-gahan komplikasi yang mungkin timbul dari konsekuensi CP.
Kebutuhan ruang untuk terapi anak penyandang cacat
Ditinjau dari aspek psikologis, anak tunadaksa cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif, memisahkan diri dari llingkungan (PPK-LK Dikdas, 2010). Terapi rehabilitasi bagi para pasien penyandang cacat tersebut membutuh-kan ruang-ruang khusus yang dirancang sesuai dengan kegiatan program pemulihannya dan
memiliki standar khusus untuk disesuaikan dengan kondisi pasien yang terbatas kemam-puan geraknya.
Konsep arsitektur hijau dan therapeutic garden
Konsep perancangan arsitektur hijau pada inti-nya berpegang pada satu hal, yaitu desain yang ramah lingkungan. Beberapa aspek yang dapat tergolong desain ramah lingkungan adalah penghawaan alami, pencahayaan alami, dan open space yang mendukung terciptanya ruang hijau bagi sebuah bangunan. Jenis open space yang belakangan ini sangat sering digunakan untuk media penyembuhan dan rehabilitasi adalah therapeutic garden.
Therapeutic garden atau taman terapi adalah sebuah tempat yang keadaan lingkungannya diadaptasi berdasarkan perilaku yang ingin dibentuk di kawasan tersebut, biasanya adalah
Studi Kasus: Konsep Therapeutic Garden pada Redesain Bangunan YPAC Surakarta
C - 2 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
kegiatan-kegiatan yang berupa terapi fisik. Taman ini dirancang khusus untuk memudahkan pengguna yang ada di dalamnya dan dirancang khusus sesuai dengan kebutuhan pasien atau penggunanya (Mark Epstein, 2011). Penataan elemen-elemen lanskap sebuah therapeutic garden berfokus pada tata tumbuhan, unsur lanskap yang disesuaikan dengan kebutuhan terapi, dan elemen tambahan lainnya. Hal yang terpenting dalam konsep taman terapi ini adalah taman tersebut dapat menerapkan lima jenis gaya belajar yang efisien untuk terapi, yaitu deduktif, induktif, visual dan pendengar-an, impulsif dan reflektif (Thomson et al, 1994.).
Desain therapeutic garden idealnya adalah berupa desain kolaborasi dengan melibatkan orang yang akan menggunakan dan merawat taman tersebut. Pengembangan taman biasanya dilakukan oleh tim desain profesional kesehatan, seperti dokter, perawat, terapis okupasi, terapis rekreasi, gerontologis dan anggota staf lain.
Gambar 1 Contoh lebar dan desain jalan sirkulasi
kursi roda di taman. (Sumber: http://www.sustland. umn.edu)
Gambar 2 Ukuran maksimal kemiringan tanah pada
sirkulasi lanskap taman. (Sumber: http://www. sustland.umn.edu)
Mengingat subjek utama pada perancangan ini adalah para penyandang cacat yang mayoritas membutuhkan kursi roda sebagai penunjang pergerakan mereka, berikut ini adalah beberapa design-guidelines sirkulasi di healing-garden dari SULIS (Sustainable urban landscape Information Series) Universitas Minnesota yang dapat memberikan gambaran mengenai kebutuhan ruang gerak bagi para penyandang cacat tersebut.
Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) di Surakarta
Prof Soeharso adalah pemrakasa, perintis pembangunan dan pengembangan dari Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Tubuh dan lembaga – lembaga lain, termasuk Yayasan Pembinaan Anak Cacat ( YPAC) di Indonesia. Yayasan pertama yang ia dirikan terletak di Surakarta. Pelayanan rehabilitasi medis yang disediakan di yayasan ini adalah berupa bebe-rapa sarana terapi untuk pelatihan anak-anak cacat agar mereka dapat mencapai tingkat kemandirian mereka. Terapi-terapi yang dise-diakan di yayasan ini adalah sebagai berikut: 1. Fisioterapi
2. Terapi Okupasi 3. Terapi Wicara 4. Hydroterapy
5. Pelayanan pemeriksaan dan konsultasi psikologi
6. Pembuatan alat bantu 7. Operasi
8. Prana Healing
Kolam hydrotherapy yang berada di tengah kompleks bangunan dan menjadi pusat kegiatan terapi outdoor anak-anak penyandang cacat tersebut adalah termasuk dalam bagian elemen therapeutic garden yang sebenarnya telah dimiliki oleh yayasan ini. Tetapi karena keter-sediaan open space yang sedikit, taman di sekeliling kolam ini tidak terlihat begitu menonjol dan tidak berfungsi dengan baik. Jika ada area kosong yang dapat dimanfaatkan,
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | C - 3 therapeutic garden yang dapat membantu
program-program terapi di yayasan tersebut.
Gambar 3. Kondisi kolam hydroterapy khusus bagi
anak-anak penyandang cacat di YPAC Surakarta (sumber : dokumentasi pribadi)
Gambar 4. siteplan awal gedung YPAC Surakarta (sumber : analisa pribadi)
Fungsi-fungsi pelayanan yang ada pada yayasan ini hanya tercukupi dengan ruang-ruang yang telah ada pada bangunan lama. Pelayanan medis yang disediakan seperti ruang-ruang terapi dan bangsal untuk anak-anak asrama pada akhirnya hanya menyesuaikan keterbatas-an jumlah dketerbatas-an kondisi ruketerbatas-ang yketerbatas-ang ada pada bangunan lama tersebut. Ruang terapi yang sempit dan sirkulasi yang tidak sesuai standar keamanan dan kenyamanan bagi penyandang cacat cukup menjadi masalah yang serius jika
penghuninya. Metode
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah berupa metode wawancara dengan pihak-pihak terkait di YPAC dan pengamatan langsung terhadap kegiatan aktif objek di bebe-rapa wilayah pengamatan dengan mengum-pulkan dokumentasi berupa foto dan catatan khusus yang merupakan bagian dari metode behavioral mapping, sehingga dapat diketahui kekurangan yang ada pada bangunan awal yayasan tersebut, untuk kemudian dapat men-jadi data utama pengembangan perancangan kembali bangunan yayasan ini.
Proses analisa data diperdalam dengan metode behavioral mapping khususnya metode place center map dengan mengambil contoh beberapa ruang untuk diteliti pergerakan aktivitas peng-guna ruangan tersebut. Penulis mengambil con-toh ruang yang sering digunakan sebagai aktivi-tas penghuni, yaitu ruangan terapi okupasi dan fisoterapi, area pendopo dan kolam hydro-therapy serta kamar tidur anak didik yayasan. Metode pengujian data yang digunakan adalah metode uji persepsi dengan teknik wawancara. Dari hasil desain awal kemudian dilakukan wawancara kepada 2 aspek, yaitu anak penyan-dang cacat yang merupakan anak didik di YPAC Surakarta tersebut, dan salah seorang staff/pe-ngurus YPAC Surakarta tersebut. Penulis mem-buat beberapa poin pertanyaan untuk kemudian diajukan kepada beberapa koresponden sehing-ga akan didapatkan feedback yang dapat men-jadi acuan keberhasilan rancangan redesain penulis.
Analisis dan Interpretasi
Langkah pertama yang dilakukan adalah analisa zoning terlebih dahulu untuk mengetahui per-bedaan fungsi setiap massa dalam bangunan. Kemudian diteliti lebih lanjut mengenai per-gerakan penghuni di beberapa area dengan teknik place center map dengan menenntukan tempat-tempat strategis yang menjadi pusat aktivitas penghuni, lalu memperhatikan
per-Studi Kasus: Konsep Therapeutic Garden pada Redesain Bangunan YPAC Surakarta
C - 4 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
gerakan penghuni di area-area tersebut (Gam-bar 5 dan 6).
Gambar 5. Analisis place center map ruang terapi
dan kamar tidur (sumber : analisa penulis)
Gambar 6. Analisis place center map area tengah
(pendopo dan kolam) (sumber : analisa penulis) Pertimbangan yang digunakan untuk menen-tukan area mana saja yang akan diredesain dan area mana yang dapat dipertahankan adalah keputusan bersama antara pengurus dengan penulis yang telah membicarakan mengenai rencana desainnya terhadap para pengurus tersebut. Dari pertimbangan bersama dengan pengurus yang lebih memahami mengenai karakteristik bangunan dan kegiatan di dalam-nya, maka diputuskan bagian-bagian yang akan diubah maupun yang dapat dipertahankan seperti yang terlihat pada Gambar 7.
Konsep redesain juga diterapkan pada per-ubahan alur sirkulasi, perper-ubahan konsep zoning massa, dan yang paling utama adalah pene-rapan konsep therapeutic garden di area tengah.
Gambar 7. Zoning area yang akan dirubah (merah)
dan dipertahankan (biru) (sumber : analisa penulis)
Gambar 8. Rencana pembagian zona area di
therapeutic garden YPAC Surakarta (sumber : analisa penulis)
Di zona-zona tersebut, akan disediakan hardscape yang dapat menjadi alternatif terapi baru bagi para pasien maupun vegetasi pe-nunjang yang sesuai dengan fungsi terapi masing-masing zona. Elemen-elemen hardscape yang ditambahkan adalah sebagai berikut:
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | C - 5 pengganti pendopo.
2. Square stepping path, diposisikan di area terapi tengah.
3. Discussion table, sebagai penunjang terapi wicara yang berada di bagian utara asrama. 4. Mini-theater
5. Playground, berada di sebelah timur asrama 6. Textured path
Zona warna biru adalah zona terapi fisioterapi yang akan digunakan sebagai terapi fisik anak-anak tunadaksa. Disediakan beberapa elemen hardscape yang diharapkan dapat membantu melatih pergerakan mereka. Sedankan terapi okupasi akan lebih efektif jika disamarkan men-jadi sebuah playground yang edukatif, dimana anak-anak penyandang cacat tersebut dapat belajar lebih mandiri dalam beraktifitas sehari-hari.
Gambar 9. Perspektif taman tengah (Taman
fisioterapi dan hydrotherapy) (sumber: analisa penulis)
Gambar 10. Talking therapy section (taman terapi
wicara) (sumber: analisa penulis)
Area terapi wicara yang terdapat di bagian utara asrama. Terdiri dari mini-theatre dan discussion table untuk pelatihan berbicara anak-anak penyandang cacat. Mereka dapat lebih terlatih
diri mereka agar tidak rendah diri lagi.
Gambar 11. Square-stepping path (taman fisioterapi)
dan textured path (sumber: analisa penulis) Kesimpulan
Hasil wawancara dan survey desain menun-jukkan bahwa konsep therapeutic garden diterima oleh penghuni dan pengelola gedung YPAC Surakarta. Walaupun kemungkinan untuk mewujudkan keseluruhan taman tersebut tidak akan terlaksana dalam waktu dekat, tetapi mulai tahun ini (2013) sudah akan diterapkan dalam proyek renovasi yang sebenarnya.
Daftar Pustaka
Satwikasari, Anggana Fitri. (2011). Tugas Akhir: Redesain Bangunan Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Surakarta. Universitas Islam Indonesia Rabinowitz, Harvey Z et all. (1989). Pengantar
Arsitektur: Evaluasi Pascahuni. Jakarta: Erlangga Said, Ismail. (2011). Therapeutic effects of garden:
preference of ill Children towards garden over ward in malaysian Hospital environment.
http://www.maot.org, 21 April 2011, Massachusetts Association for Occupational Therapy, Inc
Zeisel, John. (1984). Inquiry by Design: Tools for Environment-Behavior Research. Cambridge University Press.
Kliment, Stephen A. (2000). Building Type Basics for Healthcare Facilities. John Wiley & Sons,Inc.