Bambang Setyowahyudi
STRATEGI PENANGANAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Strategi Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang
Hak Cipta @ Bambang Setyowahyudi. 2016 Penulis
Bambang Setyowahyudi Editor
Sahid Teguh Widodo Mohammad Jamin Supanto
Ilustrasi Sampul Ardi Baskoro Penerbit & Pencetak
Penerbitan dan Pencetakan UNS Press Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126
Telp. (0271) 646994 Psw. 341 Fax. (0271) 7890628 Website : www.unspress.uns.ac.id
Email : unspress@uns.ac.id Cetakan 1, Edisi I, Januari 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang All Right Reserved
Kata Pengantar
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, ridho, kekuatan dan pertolonganNya sehingga penyusunan buku dengan judul Strategi Penanganan Tindak
Pidana Pencucian Uang. Tanpa izin, berkah, dan innayah dariNya, mustahil semua akan terwujud.
Buku ini adalah pengembangan dari Karya Tulis Prestasi Perorangan (KTP2) yang pernah saya susun untuk memenuhi salah satu tugas selama mengikuti proses Diklat PIM I angkatan XXV tahun 2013 dengan lokus penulisan pada instansi penulis yaitu Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Dalam kesempatan ini pula penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan perhargaan yang tinggi kepada :
1. Jaksa Agung Republik Indonesia cq Jaksa Agung Muda Pembinaan dalam menugaskan penulis untuk mengikuti Diklat PIM tingkat I Angkatan XXV, tahun 2013.
2. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara yang telah memberikan kesempatan dan spirit serta ijin menggunakan lokus penulisan
dalam rangka mengikuti Diklat Pim I LAN-RI di Pejompongan Jakarta.
3. Widyaiswara selaku pendamping serta pembimbing Karya Tulis Prestasi Perorangan.
Semoga Buku ini dapat dimanfaatkan oleh segenap pembaca, mahasiswa, peneliti, dan masyarakat luas yang tertarik untuk meneliti pada bidang ilmu ini.
Wassalam.
Solo, Januari 2016 penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar... v
Daftar Isi ... vii
Bab I PENDAHULUAN ... 1
Bab II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (TPPU) ………. 4
2.1 Pengertian TPPU ... 4
2.2 Unsur-Unsur TPPU ... 6
2.2.1 Pelaku ... 6
2.2.2 Transaksi Keuangan ... 10
2.2.3 Perbuatan Melawan Hukum ... 20
2.2.4 Sangsi ... 23
2.3 Mekanisme TPPU ... 29
2.3.1 Tahap Penempatan (Placement) ... 29
2.3.2 Tahap Pelapisan (Layering) ... 36
2.2.3 Tahap Penggabungan (Integration).. 38
2.4. DAMPAK NEGATIF TPPU ... 40
Bab III PENETAPAN PERMASALAHAN DAN STRATEGI PENANGANAN TPPU ... 43 3.1 Asset Tracing & Asset Forfeiture ... 43
3.2 TPPU sebagai Tindak Pidana Lintas Negara ……….. 47
BAB IV PERAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI ……….. 64
4.1 Pengantar ……….. 64
4.2 Eksistensi dan Peran Jaksa Pengacara Negara ……… 74
4.3 Peran JPN dalam hubungannya dengan pidana Pembayaran Uang Pengganti (PUP) ……….. 80
4.4 Peran JPN dalam hal terbitnya putusan lepas (onslag) atau putusan bebas (vrijsprak) ……… 100
4.5 Pengajuan gugat perdata terhadap para ahli waris pelaku tindak pidana korupsi …. 103 BAB V PERAN JAKSA PENGACARA NEGARA PADA PENANGANAN TPPU ... 109
Bab VI PENUTUP ... 114
DAFTAR PUSTAKA ... 117
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 121
Lampiran 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ……….. 121
Lampiran 2 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-065/A/JA/07/2007 tentang Pembinaan Karier Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia ... 242
Lampiran 3 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-066/A/JA/07/2007 tentang Standar Minimum
Profesi Jaksa ... 269 Lampiran 4 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor :
PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku
Jaksa ………... 275
Lampiran 5 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-068/A/JA/07/2007 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia ………... 279
BAB I PENDAHULUAN
Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan salah satu tindak pidana yang menjadi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan terhadap upaya pencapaian tujuan Negara untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera, aman, adil dan makmur karena tindak pidana tersebut dapat mengancam stabilitas perekonomian Negara dan tujuan utama pelaku sebagai upaya untuk menyamarkan suatu perbuatan pidana lainnya menjadi dengan modus yang selalu dapat diperbaharui oleh pelaku menuntut para penegak hukum untuk aktif mengenal, menemukan permasalahan, membuat strategi penanganan tindak pidana pencucian uang dengan mengajak segenap lapisan masyarakat serta media massa baik media tulis maupun elektronik untuk turut berpartisipasi didalam upaya penanganan tindak pidana pencucian uang dalam kerangka penegakan hukum di Indonesia.
Bahwa upaya Indonesia dalam penanganan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang telah diapresiasi dengan baik oleh dunia Internasional berdasarkan hasil Pertemuan
International Cooperation Review Group (ICRG),
tanggal 22-23 Juni 2015, di Brisbane, Australia, menerangkan Indonesia sebagai salah satu negara yang berhasil melakukan penanganan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang berdasarkan review ICRG sebagai salah satu organ penilai dari lembaga Financial Action Task Force on
Money Laundering (FATF). Penghargaan tersebut
seyogyanya mampu meningkatkan semangat para penegak hukum dengan peran aktif masyarakat dan media pada penangangan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Optimalisasi penangangan dan
pemberantasan tindak pidana khususnya tindak pidana pencucian uang harus dilakukan secara prosedural sesuai dengan peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum dan pencideraan
terhadap Hak Asasi Manusia yang dimiliki setiap warga Negara, sehingga para penegak hukum wajib memahami dengan baik substansi peraturan perundang-undangan terkait tindak pidana pencucian uang serta jeli mengetahui kegiatan-kegiatan perekonomian yang dapat dijadikan celah bagi pelaku tindak pidana pencucian uang dengan modus baru serta aktif mengajak masyarakat untuk berpasrtisipasi dalam upaya penanganan tindak pidana pencucian uang.
BAB II
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
2.1 PENGERTIAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Beberapa pengertian tentang tindak pidana pencucian uang dapat diuraiakan sebagai berikut :
1. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor : 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
(selanjutnya disebut ‘UU-PPTPPU’),
menerangkan : “Pencucian Uang adalah segala
perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”;
2. Black’s Law Dictionary menyatakan pencucian uang (money laundering) sebagai : “term
applied to taking money gotten illegally and washing or laundering it so it appears to have been gotten legall” (istilah yang diterapkan
ilegal dan ‘mencucinya’ sehingga tampaknya didapatkan secara legal);
Secara umum definisi pencucian uang adalah perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. Akan tetapi demi pemenuhan pelaksanaan asas legalitas atau asas ‘Nullum Delictum Sine Previa
Lege Poenalli” yang pada pokoknya menerangkan
tiada suatu perbuatan dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum apabila tidak diatur lebih dahulu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Maka, tindak pidana pencucian uang harus dipahami sebagai tindak pidana yang dilakukan dengan cara-cara yang diatur pada UU-PPTPPU. Sehingga, agar tidak terjadi kesalahan dalam identifikasi benar atau tidaknya suatu perbuatan pidana sebagai tindak pidana pencucian uang dalam transaksi perekonomian yang terjadi di
masyarakat, maka harus benar-benar dipahami tentang unsur, mekanisme dilakukannya tindak pidana tersebut serta tindak pidana terkait tindak pidana pencucian uang.
2.2 UNSUR TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Berdasarkan UU-PPTPPU dapat diketahui beberapa unsur tindak pidana pencucian uang, antara lain :
1. Pelaku
Kualifikasi subyek hukum sebagai pelaku pada tindak pidana pencucian uang dapat mengacu pada :
Pasal 1 angka 9 menerangkan : “setiap
orang adalah orang perseorangan atau korporasi”. Dan pengertian Korporasi terdapat dalam Pasal 1 angka 10 yang menyatakan bahwa “korporasi adalah
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.
Berdasarkan UU-PPTPPU dapat diketahui 2 (dua) jenis pelaku tindak pidana pencucian uang sebagai berikut :
i. Pelaku aktif yaitu orang yang secara langsung melakukan proses transaksi keuangan, kualifikasi tindakan aktif tersebut dapat diketahui pada Pasal 3 UU-PPTPPU yang menerangkan :
“Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat
berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
BAB III
PEMETAAN PERMASALAHAN DAN STRATEGI PADA PENANGANAN TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG
Penanganan tindak pidana pencucian uang harus dimulai dengan pemetaan permasalahan yang dapat menjadi kendala pada pemberantasan tindak pidana tersebut, diuraikan sebagai berikut :
1. Terkait Pelaksanaan Penelusuran Aset (Asset
Tracing) dan Sita Aset (Asset Forfeiture) Pada
Saat Penanganan Tindak Pidana Asal (Predicate
Crime)
Tindakan penelusuran aset pribadi milik Pelaku untuk disita adalah salah satu upaya pencegahan / preventif terjadinya tindak pidana pencucian uang pada saat penanganan
predicate crime, namun tidak semua tindak
pidana asal / tindak pidana pemicu terjadinya pencucian uang (predicate crime) sebagaimana yang diterangkan pada Pasal 2 ayat (1)
UU-PPTPPU tersebut diberlakukan kegiatan penelusuran aset untuk dilakukan penyitaan (aset milik pribadi pelaku bukan barang hasil tindak kejahatan/corpora delictie) hanya tindak
pidana yang menimbulkan kerugian
keuangan Negara, yakni : Korupsi.
Pelaku Predicate Crime yang menghasilkan kekayaan / uang dalam jumlah besar dari tindak pidananya tersebut dapat dimungkinkan telah melakukan tindak pencucian uang sebelum diketahui aparat penegak hukum sehingga seringkali aparat penegak hokum hanya melakukan sita terhadap barang yang diduga sebagai hasil kejahatan (corpora delictie) dan alat melakukan kejahatan (instrumenta delictie), terhadap aset yang didalilkan Pelaku Predicate
Crime sebagai miliknya bukan dari hasil tindak
pidana susah untuk dilakukan penelusuran karena terbentur pada belum ada peraturan
perundang-undangan yang memberikan
melakukan upaya penelusuran aset untuk disita sebanyak 25 (dua puluh lima) tindak pidana asal Pencucian Uang (Predicate Crime) selain korupsi, maka upaya tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Membahas tentang upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang maka karena adanya predicate crime yang tidak dikenakan upaya penelusuran aset milik pribadi (didalilkan bukan corpora delictie oleh pelaku), sehingga potensi meningkatnya tindak pidana pencucian uang oleh pelaku predicate crime lainnya tersebut dapat menjadi permasalahan utama karena pelaku tindak pidana pencucian uang akan selalu melakukan modus baru mengingat perputaran uang pada sistem keuangan dan transaksi perekonomian sangat cepat.
Strategi penanganan perkara untuk permasalahan tersebut adalah dengan pilihan metode sebagai berikut :
Membuat peraturan atau menambahkan pada peraturan perundang-undangan yang telah ada untuk dapat dilakukannya penelusuran aset yang didalilkan pelaku sebagai milik pribadi (bukan hasil tindak pidana) atau aset yang tidak berada di penguasaan pelaku tetapi sebenarnya merupakan hasil kejahatan khusus pada predicate crime yang diterangkan pada Pasal 2 ayat 1 UU-PPTPPU;
Aktif melakukan sosialisasi tentang pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana kepada masyarakat, demi
mendapatkan partsipasi masyarakat yang proaktif membantu aparat penegak hukum dalam memberikan informasi / laporan dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang, karena seringkali masyarakat sekitar pelaku predicate crime lebih mengetahui hal-hal yang bersifat personal dari pelaku misalnya : tindakan, gaya hidup, histori perekonomian pelaku, pekerjaan yang
sebenarnya dan informasi lain yang dapat mengarah pada dugaan terjadinya predicate
crime dan pencucian uang;
2. Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Tindak Pidana Lintas Negara (Transnational Crime)
Tahap penempatan (placement) yang
menempatkan uang hasil predicate crime kedalam sistem keuangan online perbankan memungkinkan uang tersebut dipindahkan ke rekening bank di Negara lain, tahap layering / pelapisan memungkinkan uang hasil predicate
crime digunakan pelaku untuk berinvestasi atau
membeli barang tidak tetap (properti) di luar negeri, dan sita aset tersebut dapat juga sebagai implementasi dari upaya perampasan aset tanpa pemidanaan atau dikenal dengan Non Conviction based (NCB) Asset Forfeiture.
Tantangan pada penanganan tindak pidana pencucian uang apabila berada pada situasi tersebut adalah tindakan aparat hukum untuk melakukan penelusuran dan sita aset milik
BAB IV
PERAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI
4.1 Pengantar
Kejaksaan bukanlah hal yang asing bagi bangsa Indonesia, istilah kejaksaan sendiri sudah ada sejak lama bahkan sebelum kemerdekaan.Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta. Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, epatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang
pengadilan
,
para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar inisterie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitiedi dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi ) dan itu juga mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden No. 55 tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.
Berlanjut pada masa Reformasi hadir ditengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada. Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-undang tentang Kejaksaan
juga mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Kehadiran undang-undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya.
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, secara konseptual Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.Pembaharuan undang-undang tentang Kejaksaaan Republik Indonesia tersebut dimaksudkan untuk memantapkan edudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
lembaga negara pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh
kekuasaan pihak manapun, yakni yang melaksanakan secara merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Dalam peranannya berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, Kejaksaan terdiri atas :
a. Kejaksaan Agung yang berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia.
b. Kejaksaan Tinggi yang berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
c. Kejaksaan Negeri yang berkedudukan di ibu kota/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten / kota.
Adanya pembagian kewenangan atas wilayah hukum tersebut dimaksudkan agar terwujudnya daya guna pemerintahan yang dimaksudkan dalam proses pembentukannya.
BAB V
PERAN JAKSA PENGACARA NEGARA PADA PENANGANAN TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG
Peran Jaksa Pengacara Negara diatur pada Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor : 16 Tahun 2004 yaitu : “(2) Di bidang perdata dan tata
usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”, fungsi Jaksa Pengacara Negara
terutama pada aspek keperdataan dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang telah diterangkan pada Bab sebelumnya, namun akan diuraikan kembali pada pokoknya sebagai berikut :
1. Pelaksanaan penanganan tindak pidana pencucian uang yang memerlukan tindakan penelusuran aset di luar negeri, maka hal tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi hubungan bilateral Indonesia dengan Negara lain tempat
aset berada dengan memperhatikan sektor-sektor yang dapat mempengaruhi keharmonisan hubungan bilateral tersebut, salah satunya sektor bisnis dan perekonomian. Perjanjian bilateral di bidang bisnis/investasi adalah BIT, yang tujuan utama dibuatnya perjanjian tersebut adalah kedua Negara sebagai Para Pihak sepakat untuk menjamin kelangsungan investasi pada Investor dari masing-masing Negara di wilayah Negara-Negara pihak Perjanjian. Respon negatif yang mungkin bisa timbul adalah prosentase gugatan arbitrase oleh investor Negara lain yang diminta MLA kepada pemerintah Indonesia yang terus meningkat dapat memberikan penilaian bahwa Pemerintah Indonesia gagal memenuhi prestasi pada BIT dan tidak memberikan timbal balik yang sepadan pada perjanjian investasi bilateral tersebut. Peran Jaksa Pengacara Negara dalam hal ini adalah untuk mewakili Pemerintah Indonesia untuk beracara di Lembaga Arbitrase yang disepakati Para Pihak. Korelasi penanganan
perkara perdata dengan penanganan tindak pidana pencucian uang terutama pentingnya peran MLA dengan Negara lain tempat aset berada adalah untuk menunjang hubungan diplomatis yang harmonis sehingga tidak ada sentimen negatif kepada kredibilitas Pemerintah Indonesia yang dapat menjadi hambatan dilakukannya MLA;
2. Terkait biaya penanganan perkara tindak pidana pencucian uang baik didalam negeri atau diluar negeri yang menjadi beban keuangan Negara (Social Cost), maka Peran Jaksa Pengacara Negara adalah sebagai berikut :
a. Jaksa Pengacara Negara dapat mengajukan gugatan uang pengganti terhadap terpidana
atau ahli warisnya apabila predicate crime
adalah korupsi dalam hal jika setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang telah
BAB VI PENUTUP
Berdasarkan uraian pada bab–bab
sebelumnya terkait strategi penanganan tindak pidana pencucian uang, maka disimpulkan berikut ini.
1. sempurnanya penanganan suatu tindak pidana pencucian uang harus dinilai dari unsur Pelaku, Unsur terjadinya Transaksi Keuangan, adanya unsur Perbuatan Melawan Hukum serta harus adanya sanksi pidana bagi pelaku dan Penanganan tindak pidana pencucian uang dapat berdiri sendiri tanpa menunggu pembuktian predicate crime, sebagaimana
diterangkan pada Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 atas uji materiil yang menguatkan ketentuan Pasal 69 UU-PPTPPU;
2. Mekanisme tindak pidana pencucian uang terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu tahap
penempatan (placement), tahap pelapisan
(layering) dan tahap penggabungan
(integration) dengan tantangan pembuktian yang berbeda-beda pada setiap tahapnya; 3. Strategi penanganan perkara tindak pidana
pencucian uang seharusnya memperhatikan beberapa aspek yang terkait yaitu : Pelaksanaan Penelusuran Aset (Asset Tracing) dan Sita Aset (Asset Forfeiture) Pada Saat Penanganan Tindak Pidana Asal (Predicate
Crime), Tindak Pidana Pencucian Uang
Sebagai Tindak Pidana Lintas Negara (Transnational Crime) dan biaya penanganan perkara tindak pidana pencucian uang baik didalam negeri atau diluar negeri yang menjadi beban keuangan Negara (Social Cost);
Peran Jaksa Pengacara Negara pada aspek keperdataan dalam penanganan tindak pidana pencucian uang antara lain : mengajukan gugatan uang pengganti terhadap terpidana atau ahli
atau yang penanganannya dilakukan secara bersama pada 1 (satu) berkas perkara (dakwaan kumulatif) dan mengajukan gugatan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang berdasarkan Pasal
1365 KUHPerdata apabila BUMN menjadi korban
Predicate Crime dan/atau tindak pidana pencucian
DAFTAR PUSTAKA
Aminullah, Erman, 2005, “Berpikir Sistematik Untuk
Pembuatan Kebijakan Publik, Bisnis dan Ekonomi”, Penerbit PPM, Jakarta
Checkland, P., & Scholes, J., “Soft Systems
Methodology In Action, John Wiley & Sons.
New York, 1980
Danim, Sudarman, 2004, “Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok”, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta
Dunn, William N, 2000, “Pengantar Analisis
Kebijakan “, Alih Bahasa : Samodra
Wibawa, University Press, Yogyakarta Kejaksaan Republik Indonesia, 2008, “Reformasi
Birokrasi Kejaksaan”, Jakarta
Mustopadidjaja, AR, 2003, “Manajemen Proses
Kebijakan Publik”, Lembaga Administrasi
Negara Kerjasama Dengan Duta Pertiwi Foundation, Jakarta.
Mustopadidjaja, AR, 2005, “Dimensi-dimensi Pokok
Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Duta Pertiwi Foundation, Jakarta
Nanus, Burt, 1992 “Visionary Leadership: Creating
A Compelling Sense Of Direction For Your Organization:, Jossey-Bass Publishers, San
Francisco.
Ringland, Gill, 1998, “Scenario Planning,: Managing For the Future, John Wiley & Sons, New York.
Said Zainal Abidin, 2004, “Kebijakan Publik, Yayasan Lancar Siwah” Jakarta
Salusu, J. 2000, “Pengambilan Keputusan Stratejik
Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non
Profit”, Grasindo, Jakarta.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1998 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN
Undang-undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Rencana Pembangunan JangkaMenengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka enengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009
Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
Peraturan Presiden RI Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kejaksaan Republik Indonesia
Keputusan Presiden RI Nomor 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kejaksaan Republik Indonesia
Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-065/A/JA/07/2007 tentang Pembinaan Karier
Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia
Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-066/A/JA/07/2007 tentang Standar Minimum
Profesi Jaksa
Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode Perilaku
Peraturan Jaksa Agung RI Nomor :
PER-068/A/JA/07/2007 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia
Peraturan Jaksa Agung RI Nomor :
PER-009/A/JA01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
Rencana Strategis Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2010-2014
LAKIP Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Jaksa agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Tahun 2012
LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010
TENTANG
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang memerlukan
landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum, serta penelusuran dan pengembalian Harta Kekayaan hasil tindak pidana;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
perlu disesuaikan dengan
perkembangan kebutuhan
penegakan hukum, praktik, dan standar internasional sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
membentuk Undang-Undang
tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG
PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
2. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang.
3. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih.
4. Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.
5. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah: a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari
profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;
b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010
TENTANG
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
I. UMUM
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam konsep antipencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidanatersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
Apabila Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atauorganisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapatmenurunkan tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya pencegahan danpemberantasan tindak
pidana Pencucian Uang memerlukan
landasanhukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakanhukum serta penelusuran dan pengembalian Harta Kekayaan hasil tindakpidana.
Penelusuran Harta Kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukanoleh lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam
peraturanperundang-undangan. Lembaga
keuangan memiliki peranan pentingkhususnya dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa danmelaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas (financial intelligence unit)sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepadapenyidik.
Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam membantu penegakanhukum, tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko, yaitu risikooperasional, hukum, terkonsentrasinya Transaksi, dan reputasi karenatidak lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana
untuk mencuci uang hasil tindak pidana. Dengan pengelolaan risiko yangbaik, lembaga keuangan
akan mampu melaksanakan fungsinya
secaraoptimal sehingga pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil danterpercaya.
Dalam perkembangannya, tindak pidana Pencucian Uang semakinkompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yangsemakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkantelah merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, FinancialAction Task Force (FATF) on Money
Laundering telah mengeluarkan
standarinternasional yang menjadi ukuran bagi
setiap negara dalam pencegahandan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidanapendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendationsdan 9 Special Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenaiperluasan Pihak Pelapor
pedagangpermata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor.
Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang perludilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateralatau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan ataumelibatkan Harta Kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi.
Penanganan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia yang dimulai sejakdisahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak PidanaPencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arahyang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksanaUndang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyediajasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan,
LembagaPengawas dan Pengatur dalam
pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan danAnalisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegakhukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksipidana dan/atau sanksi administratif.
Lampiran 2:
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA
P E R A T U R A N
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER-065/A/JA/07/2007
TENTANG
PEMBINAAN KARIR PEGAWAI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : bahwa seiring dengan
Program Pembaruan
Kejaksaan Republik
Indonesia yang dilandasi
oleh United Nations
Guidelines on the Role of Prosecutor atau Pedoman
Perserikatan
Bangasa-Bangsa tentang Peranan Jaksa, hasil pertemuan puncak Pejabat Tinggi Negara dibidang Hukum dan Peradilan serta pimpinan
Profesi Hukum (Law
Summit) ke III di Jakarta
tanggal 16 April 2004, hasil Assesment Satu Tahun
Agenda Pembaruan
Kejaksaan Republik
Indonesia tanggal 5
September 2006 dan hasil rapat koordinasi Kejaksaan Republik Indonesia tanggal 18 – 21 Desember 2006,
dipandang perlu
menyempurnakan dan
memadukan ketentuan
tentang Pembinaan Karir
Pegawai Kejaksaan
Republik Indonesia dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian
sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. 2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 100 tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam
Jabatan Struktural
sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 13
Tahun 2002 tentang
Pemerintah Nomor 100
tahun 2000 tentang
Pengangkatan Pegawai
Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural.
5. Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 2003
tentang Wewenang
Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1997 tentang Pegawai Negeri Sipil yang menduduki Jabatan Rangkap.
7. Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN JAKSA AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PEMBINAAN KARIR
PEGAWAI KEJAKSAAN
REPUBLIK INDONESIA. BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia ini yang dimaksud dengan :
1. Sistem karir adalah pembinaan kepegawaian dimana untuk pengangkatan pertama didasarkan atas kecakapan pegawai yang bersangkutan, kemudian dalam pengembangan selanjutnya, masa kerja, pengalaman, kesetiaan, pengabdian, konduite dan syarat-syarat objektif lainnya juga turut menentukan.
2. Sistem prestasi kerja adalah pembinaan kepegawaian dimana untuk pengangkatan seseorang dalam suatu jabatan atau kenaikan pangkat didasarkan atas kecakapan dan prestasinya.
3. Kaderisasi adalah proses guna mempersiapkan, membentuk dan menempatkan kader-kader pada jabatan strategis untuk mengganti personil yang sudah waktunya meninggalkan jabatan
tersebut, baik karena faktor umur, maupun karena kondisi dan kebutuhan organisasi yang mengharuskan demikian.
4. Mutasi adalah kegiatan dari pimpinan untuk memindahkan pegawai dari jabatan atau tugas yang satu ke tugas yang lain atau dari daerah kerja yang satu ke daerah kerja yang lain.
5. Promosi adalah kegiatan dari pimpinan untuk memindahkan pegawai dari pangkat dan atau jabatan ke tingkat yang lebih tinggi.
6. Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan selanjutnya disebut BAPERJAKAT adalah badan musyawarah pimpinan di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia yang memberikan pertimbangan atas pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pegawai negeri sipil dalam dan dari jabatan struktural eselon II, eselon III atau pegawai yang berpangkat golongan IV/a ke atas serta jabatan lain yang dipandang perlu diberikan pertimbangan kepada Jaksa Agung. 7. Pertelaan adalah surat usulan yang memuat
data-data pegawai di lingkungan Kejaksaan RI yang diusulkan untuk diangkat, dipindahkan dan diberhentikan dalam dan dari jabatan struktural eselon II, eselon III atau pegawai yang berpangkat golongan IV/a ke atas serta jabatan lain yang dipandang perlu.
BAB II
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Pasal 2
(1) Pendidikan dan pelatihan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pembinaan Pegawai Negeri Sipil secara menyeluruh dan merupakan salah satu upaya guna meningkatkan kualitas pegawai dilingkungan Kejaksaan Republik Indonesia agar menjadi professional, memiliki integritas kepribadian
dan berdisiplin, sehingga mampu
mengemban visi dan misi Kejaksaan Republik Indonesia.
(2) Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Jaksa Agung.
BAB III JENJANG KARIR
Pasal 3
Dalam rangka pembinaan pegawai di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia, terdapat pilihan dalam meniti karirnya, yaitu :
a. Melalui Jabatan Struktural. b. Melalui Jabatan Fungsional. c. Melalui jabatan rangkap.
Pasal 4
(1) Pembinaan Pegawai di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia melalui jabatan struktural, diberlakukan ketentuan yang berlaku untuk jabatan struktural.
(2) Pembinaan Pegawai di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia melalui jabatan fungsional, diberlakukan ketentuan yang berlaku untuk jabatan fungsional.
(3) Pembinaan Pegawai di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia melalui jabatan rangkap, diberlakukan ketentuan yang berlaku untuk jabatan rangkap.
Pasal 5
a. Pola pembinaan pegawai di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia menggambarkan jalur pengembangan karir dan menunjukkkan keterkaitan dan keserasian antara jabatan, pangkat, pendidikan pelatihan struktural dan pendidikan lainnya serta masa jabatan seseorang Pegawai Negeri Sipil sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun.
b. Pola pembinaan pegawai di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia dilakukan dengan
memperhatikan penugasan di bidang teknis administrasi / manajerial maupun di bidang operasional secara seimbang dan berkelanjutan. c. Pola Pembinaan sebagaimana di atas sedapat
mungkin memperhatikan keahlian dan atau pendidikan yang telah diikuti.
d. Komponen dan mekanisme Penilaian Prestasi yang digunakan dalam Pola Pembinaan Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia diatur lebih lanjut dalam Instruksi Jaksa Agung.
BAB IV KADERISASI
Pasal 6
Seseorang yang akan diproyeksikan sebagai kader harus memiliki :
a. Integritas kepribadian yang baik.
b. Prestasi sangat baik / memuaskan dalam pendidikan dan pelatihan.
c. Catatan prestasi yang menonjol baik dalam bidang yustisial maupun non yustisial.
Pasal 7
Pembinaan kader dilakukan secara terarah yang dilaksanakan oleh atasan, dengan cara :
a. Penugasan khusus dalam tugas yustisial maupun non-yustisial.
b. Pengembangan mutu/kemampuan profesionalisme.
c. Mengarahkan untuk bertumbuh dan
berkembangnya integritas kepribadian.
d. Meneliti data yang ada secara obyektif apakah yang bersangkutan masih berpotensi untuk dipromosikan menduduki jabatan yang lebih tinggi guna meningkatkan kepemimpinannya.
Pasal 8
Kaderisasi dilaksanakan secara terbuka sehingga tidak menutup kemungkinan bagi Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia yang lain untuk menyusul sebagai kader yang baru, berdasarkan data-data kaderisasi yang terbaru sebagaimana dimaksud dalam pasal 6.
Pasal 9
Bagi pejabat yang menonjol prestasinya perpindahan jabatan diusahakan berjenjang dengan memperhatikan Pasal 5 peraturan ini dan persyaratan yang berlaku.
Pasal 10
Perpindahan jabatan secara berjenjang perlu diterapkan bagi kader-kader Pimpinan agar mereka mempunyai pengalaman cukup dalam berbagai
penugasan yang dapat dipakai sebagai bekal dalam menduduki jabatan pimpinan.
BAB V M U T A S I
Pasal 11
Mutasi Jabatan dilaksanakan dengan prinsip : Orang yang tepat pada jabatan yang tepat, sehingga setiap tugas dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien.
Pasal 12
(1) Di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia mutasi dilaksanakan sebagai berikut :
a. Mutasi Nasional. a.1. Kaderisasi.
a.1.1. Seorang pegawai di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia yang dikategorikan sebagai kader, dimasa mendatang akan diproyeksikan untuk menjabat suatu jabatan strategis.
a.1.2. Adapun proses kaderisasi di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia dilaksanakan antara lain dengan memberikan
penugasan-penugasan melalui mutasi (tour of duty dan tour of area), sehingga dengan demikian kader akan mempunyai wawasan luas untuk memangku suatu jabatan strategis. a.2. Mutasi dengan kriteria promosi adalah
pemindahan dari satu jabatan ke jabatan lain yang lebih tinggi tingkatannya karena pegawai yang terkena mutasi tersebut, prestasinya sangat menonjol dalam pelaksanaan tugas disamping memenuhi persyaratan lainnya.
a.3. Mutasi dengan kriteria penyegaran dimaksudkan agar seseorang pegawai di lingkungan Kejaksaan RI tidak terlalu lama bertugas di suatu tempat sehingga akan menimbulkan kejenuhan dan sikap apatis, sehingga berakibat menurunnya kinerja dan dedikasi dalam bertugas. a.4. Mutasi dengan kriteria perluasan
wawasan dilaksanakan dengan
pengalihan tugas antar wilayah (tour of area) sehingga seorang pegawai dilingkungan Kejaksaan RI akan memperoleh wawasan lebih dari satu wilayah dimana dari setiap wilayah akan mendapat pengalaman yang merupakan tantangan baru yang harus dapat diatasi.
a.5 Waktu penugasan pada huruf a.3 dan a.4 tidak lebih dari 3 tahun, hal ini untuk menghindari terjadinya kolusi.
a.6. Mutasi berdasarkan kebijakan pimpinan yang didasarkan atas alasan tertentu dan kebutuhan dinas.
b. Mutasi Lokal dapat diusulkan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi di daerah hukumnya dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
b.1. Hanya meliputi jabatan struktural sampai dengan eselon IV dan jabatan fungsional sampai dengan golongan IV/a.
b.2. Untuk pengembangan organisasi dan demi kelancaran tugas kedinasan
dengan tetap memperhatikan
peningkatan kualitas dan profesionalisme aparatur Kejaksaan.
b.3. Dalam hal tertentu, sebelum usulan disetujui Jaksa Agung, Kepala Kejaksaan Tinggi dapat menerbitkan surat perintah melaksanakan tugas
b.4. Usulan mutasi lokal merupakan prioritas sepanjang tidak masuk dalam rencana mutasi nasional.
(2) Dalam rangka mutasi, penyebaran Jaksa harus merata sesuai dengan kebutuhan daerah.
BAB VI P R O M O S I
Pasal 13
(1) Tahapan jenjang karir pegawai Kejaksaan Republik Indonesia ditetapkan 6 (enam) jenjang jabatan struktural yang terdiri dari:
a. Jenjang pertama adalah Jabatan Struktural Eselon V
b. Jenjang Kedua adalah Jabatan Struktural Eselon IV
c. Jenjang ketiga adalah Jabatan Struktural Eselon III/b
d. Jenjang Keempat adalah Jabatan Struktural Eselon III/a
e. Jenjang Kelima adalah Jabatan Struktural Eselon II/b
f. Jenjang Keenam adalah Jabatan Struktural Eselon II/a
(2) Disamping melalui jabatan struktural, karir pegawai Kejaksaan Republik Indonesia ditempuh melalui jenjang jabatan fungsional dan/ atau jabatan lain yang ditetapkan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberdayaan Jaksa Fungsional dilakukan sesuai dengan kompetensi, kebutuhan dinas dan prinsip “orang yang tepat menduduki jabatan yang tepat” yang selanjutnya akan diatur dalam Instruksi Jaksa Agung (INSJA).
BAB VII SYARAT – SYARAT
Pasal 14
(1) Syarat umum untuk menduduki suatu jabatan struktural pada setiap jenjang jabatan struktural adalah sebagai berikut :
1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa 2. Memiliki kemampuan manajerial, kemampuan
teknis fungsional dan kecakapan serta pengalaman yang diperlukan.
3. Memiliki integritas kepribadian yang tinggi 4. Memiliki potensi untuk berkembang
5. Memiliki dedikasi dan tanggung jawab terhadap tugas dan organisasi.
6. Berprestasi dalam melaksanakan tugas
7. Mampu menjaga reputasi diri dan instansinya 8. Daftar Urut Kepangkatan (DUK) menjadi
pertimbangan.
9. Seluruh unsur penilaian Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan 2 (dua) tahun terakhir berturut-turut memperoleh kualifikasi baik dengan nilai setiap unsur minimal 80 (delapan puluh), dan khusus unsur kesetiaan minimal 91 (sembilan puluh satu).
10. Tidak sedang menjalani hukuman disiplin atau ada catatan di dalam Clearance Kepegawaian (dalam proses pemeriksaan) dari Jaksa Agung Muda Pengawasan.
(2) Syarat khusus untuk menduduki suatu jabatan struktural pada setiap jenjang jabatan struktural adalah sebagai berikut :
a. Jabatan Struktural Eselon V yang dijabat oleh :
a.1 Kepala Urusan, Kepala Sub Seksi dan Pemeriksaan Pembantu pada Kejaksaan Negeri.
a.2 Kepala Urusan, Kepala Sub Seksi dan Pemeriksa Pembantu pada Kejaksaan Tinggi.
harus memenuhi persyaratan :
1. Pangkat Ajun Jaksa Madya (III/a) atau Yuana Wira Tata Usaha (III/a) sampai dengan Ajun Jaksa (III/b) atau Muda Wira Tata Usaha (III/b)
2. Diutamakan telah lulus DIKLAT Teknis. b. Jabatan Struktural Eselon IV yang dijabat
oleh :
b.1 Kepala Sub Bagian, Kepala Seksi dan Pemeriksa pada Kejaksaan Negeri.
b.2 Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.
b.3 Kepala Sub Bagian, Kepala Seksi dan Pemeriksa pada Kejaksaan Tinggi.
b.4 Kepala Sub Bagian, Kepala Sub Bidang, Kepala Seksi dan Pemeriksa pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia. harus memenuhi persyaratan :
1. Serendah-rendahnya berijazah Sarjana Hukum kecuali untuk jabatan struktural yang tidak mengelola fungsi jaksa.
2. Untuk Jabatan Struktural yang tidak mengelola fungsi Jaksa dapat dijabat oleh pegawai tata usaha, diutamakan yang berijazah Sarjana.
3. Pangkat Jaksa Pratama (III/c) atau Madya Wira Tata Usaha (III/c) sampai dengan Jaksa Muda (III/d) atau Sena Wira Tata Usaha (III/d)
4. Diutamakan sedang menjabat jabatan struktural Eselon V sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.
5. Diutamakan telah lulus DIKLAT Teknis. c. Jabatan Struktural Eselon III.b
c.1 Yang dijabat oleh pengkaji pada Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri Tipe B, harus memenuhi persyaratan :
1. Berijazah serendah-rendahnya Sarjana Hukum.
2. Pangkat Jaksa Muda (III/d) sampai dengan Jaksa Madya (IV/a).
3. Diutamakan sedang menjabat jabatan Eselon IV.
4. Masa Pengabdian di Kejaksaan minimal 10 (sepuluh) tahun dan pengalaman di 2 (dua) daerah Kejaksaan.
6. Diutamakan yang telah lulus DIKLAT Fungsional Kejaksaan dan DIKLAT Teknis.
7. Hasil Psikotest dipertimbangkan.
c.2 Yang dijabat oleh Kepala Bagian Tata Usaha pada Kejaksaan Tinggi.
1. Berijazah serendah-rendahnya Sarjana.
2. Pangkat Jaksa Muda (III/d) atau Sena Wira Tata Usaha (III/d) sampai dengan Jaksa Madya (IV/a) atau Adi Wira Tata Usaha (IV/a).
3. Diutamakan sedang menjabat jabatan Eselon IV.
4. Masa pengabdian di Kejaksaan Minimal 10 (sepuluh) tahun.
5. Diutamakan telah lulus DIKLAT PIM III. 6. Diutamakan yang telah lulus DIKLAT
Teknis.
7. Hasil Psikotest dipertimbangkan. d. Jabatan Struktural Eselon III.a
d.1 Yang dijabat oleh Asisten Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri Tipe A.
1. Berijazah serendah-rendahnya Sarjana Hukum.
2. Pangkat Jaksa Madya (IV/a) sampai dengan Jaksa Utama Pratama (IV/b).
3. Sedang menjabat jabatan Eselon III.b. 4. Masa pengabdian di Kejaksaan Minimal 15 (lima belas) tahun.
5. Diutamakan telah lulus DIKLAT PIM III 6. Diutamakan yang telah lulus DIKLAT
Fungsional Kejaksaan dan DIKLAT Teknis.
7. Hasil Psikotest dipertimbangkan.
d.2 Yang dijabat oleh Kepala Bagian, Kepala Bidang, Kepala Sub Direktorat dan Inspektur Pembantu pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
1. Berijazah serendah-rendahnya Sarjana Hukum atau Sarjana Non Hukum
2. Pangkat Jaksa Madya (IV/a) atau Adi Wira Tata Usaha (IV/a) sampai dengan Jaksa Utama Pratama (IV/b) atau Nindya Wira Tata Usaha (IV/b).
3. Untuk jabatan struktural yang tidak mengelola Fungsi Jaksa dapat dijabat oleh Pegawai Tata Usaha.
4. Diutamakan sedang menjabat jabatan struktural Eselon III.b.
5. Masa pengabdian di Kejaksaan Minimal 15 (lima belas) tahun
6. Diutamakan telah lulus DIKLAT PIM III. 7. Bagi Jaksa diutamakan telah mengikuti
dan lulus salah satu DIKLAT Fungsional Kejaksaan dan DIKLAT Teknis dan bagi Tata Usaha telah lulus DIKLAT Teknis sesuai dengan jabatannya.
8. Hasil Psikotest dipertimbangkan
e. Jabatan Struktural Eselon II.b yang dijabat oleh Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi, Staf
Umum dan Staf Khusus Jaksa Agung Republik Indonesia.
1. Berijazah serendah-rendahnya Sarjana Hukum.
2. Pangkat Jaksa Utama Pratama (IV/b) sampai dengan Jaksa Muda Utama (IV/c). 3. Sedang menjabat jabatan struktural
Eselon III.a.
4. Masa pengabdian di Kejaksaan Minimal 20 (dua puluh) tahun.
5. Diutamakan telah lulus DIKLAT PIM II 6. Diutamakan telah mengikuti dan lulus
DIKLAT Fungsional Kejaksaan Tingkat Menengah.
7. Hasil Psikotest dipertimbangkan. f. Jabatan Struktural Eselon II.a
f.1 Yang dijabat oleh Kepala Kejaksaan Tinggi dan Staf Ahli yang diangkat oleh Jaksa Agung Republik Indonesia.
1. Diutamakan berijazah S-2 Hukum / Non Hukum atau serendah-rendahnya Sarjana Hukum.
2. Pangkat Jaksa Utama Muda (IV/c) sampai dengan Jaksa Utama Madya (IV/d).
3. Diutamakan sedang menjabat jabatan struktural Eselon II.b.
4. Masa pengabdian di Kejaksaan Minimal 25 (dua puluh lima) tahun.
6. Diutamakan telah mengikuti dan lulus DIKLAT Fungsional Kejaksaan Tingkat Menengah.
7. Hasil Psikotest dipertimbangkan.
f.2 Yang dijabat oleh Sekretaris Jaksa Agung Muda, Kepala Biro, Kepala Pusat, Kepala Direktorat dan Inspektur pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia. 1. Diutamakan berijazah S-2 Hukum /
Non Hukum atau serendah-rendahnya Sarjana Hukum / Sarjana Non Hukum. 2. Pangkat Jaksa Utama Muda (IV/c) atau
Muda Pati Tata Usaha (IV/c) sampai dengan Jaksa Utama Madya (IV/d) atau Madya Pati Tata Usaha (IV/d). 3. Sedang menjabat jabatan struktural
Eselon II.a tersebut pada butir h.1, kecuali jabatan tersebut butir 5.
4. Masa pengabdian di Kejaksaan Minimal 25 (dua puluh lima) tahun. 5. Untuk Jabatan yang tidak mengelola
Fungsi Jaksa dapat dijabat oleh Pegawai Tata Usaha.
6. Diutamakan telah lulus DIKLAT PIM II 7. Bagi Jaksa diutamakan yang telah
mengikuti dan lulus DIKLAT Fungsional Kejaksaan Tingkat Menengah, dan bagi Tata Usaha telah mengikuti dan lulus salah satu DIKLAT Teknis sesuai dengan jabatannya.
BAB VIII
BADAN PERTIMBANGAN JABATAN DAN KEPANGKATAN
Pasal 15
Susunan Badan Pertimbangan dan Kepangkatan adalah sebagai berikut :
(1) Ketua merangkap anggota:
Jaksa Agung Muda Pembinaan. (2) Sekretaris merangkap anggota :
Kepala Biro Kepegawaian.
(3) Para anggota :
a. Jaksa Agung Muda Intelijen.
b. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum. c. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana
Khusus.
d. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.
e. Jaksa Agung Muda Pengawasan. Pasal 16
BAPERJAKAT bertugas memberi pertimbangan kepada Jaksa Agung tentang:
a. Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II dan eselon III serta jabatan lain yang dipandang perlu.
b. Pemberian kenaikan pangkat bagi para pegawai yang menduduki jabatan struktural, menunjukkan
prestasi kerja luar biasa baiknya, menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara dan pertimbangan perpanjangan batas usia pensiun pegawai negeri sipil yang menduduki jabatan struktural eselon I dan eselon II.
Pasal 17
Tata Kerja BAPERJAKAT
(1) Sidang BAPERJAKAT diadakan minimal 2 kali dalam setahun.
(2) Sebelum sidang BAPERJAKAT, sekretaris
BAPERJAKAT menyampaikan bahan-bahan
sidang kepada ketua dan anggota-anggota BAPERJAKAT.
(3) Bahan-bahan tersebut pada ayat (2) berisi rencana pengangkatan, profile assesmen, formasi jabatan dan bahan-bahan kelengkapan lainnya.
(4) Sekretaris diwajibkan mempersiapkan bahan untuk sidang BAPERJAKAT, menyelenggarakan dan mengelola notulen sidang BAPERJAKAT, mempersiapkan daftar usulan serta rencana pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kejaksaan RI dalam dan dari jabatan struktural eselon II dan eselon III serta jabatan lain yang dipandang perlu serta tugas-tugas lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan sidang BAPERJAKAT.
(5) Setiap anggota BAPERJAKAT dapat
mengemukakan pendapat dan alasan-alasan berdasarkan pada penilaian objektif atas
perpaduan sistem prestasi kerja dan sistem karir dalam mempertimbangkan dan merumuskan keputusan-keputusan BAPERJAKAT,
(6) Notulen dan hasil sidang BAPERJAKAT disahkan dalam sidang BAPERJAKAT oleh ketua dan anggota BAPERJAKAT untuk selanjutnya dilaporkan kepada Jaksa Agung RI untuk mendapatkan Keputusan.
Pasal 18
Dalam hal tertentu Jaksa Agung atau Wakil Jaksa Agung atas penugasan Jaksa Agung dapat memimpin langsung sidang BAPERJAKAT.
BAB IX
PERPINDAHAN DAERAH KERJA ATAU JABATAN STRUKTURAL
Pasal 19
(1) Dalam rangka pengembangan karir, peningkatan kemampuan, dan pengalaman, dalam jangka waktu tertentu para pejabat Kejaksaan RI dapat dilakukan perpindahan daerah kerja atau jabatan struktural.
(2) Perpindahan jabatan struktural sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan baik dalam jenjang jabatan struktural yang sama maupun
untuk jenjang jabatan struktural setingkat lebih tinggi.
(3) Lamanya menduduki suatu jabatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kepentingan dinas dan pertimbangan lain dari pimpinan.
BAB X
JABATAN STRUKTURAL
YANG TIDAK MENGELOLA FUNGSI JAKSA Pasal 20
(1) Jabatan struktural yang tidak mengelola fungsi Jaksa dijabat oleh pegawai Kejaksaan yang bukan jaksa.
(2) Rincian jabatan yang tidak mengelola fungsi jaksa sesuai dengan susunan organisasi dan tata kerja Kejaksaan diatur dalam Keputusan Jaksa Agung.
BAB XI
PEMBERHENTIAN DAN PENSIUN Pasal 21
(1) Pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil adalah pemberhentian yang mempunyai akibat hilangnya status sebagai Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
(2) Ketentuan mengenai alasan dan tata cara
pemberhentian dengan hormat,
pemberhentian dengan tidak hormat, pemberhentian sementara bagi Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan Republik Indonesia yang menduduki jabatan struktural dan/ atau fungsional, yang terkena pemberhentian berpedoman kepada Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
(3) Bagi jaksa yang menduduki jabatan struktural yang telah memasuki usia 58 tahun untuk eselon III dan 60 tahun untuk eselon I dan II, satu hari setelah mencapai usia pensiun strukturalnya langsung beralih menjadi jaksa fungsional sampai dengan usia 62 tahun. (4) Tata cara pengajuan berhenti dan pensiun
bagi Pegawai negeri Sipil Kejaksaan Republik Indonesia yang menduduki jabatan struktural dan/ atau fungsional berpedoman kepada Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
BAB XII PENUTUP
Pasal 22
Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ini akan diatur lebih lanjut dalam bentuk Instruksi Jaksa Agung (INSJA).
Pasal 23
Dengan berlakunya Peraturan Jaksa Agung Ini, semua ketentuan yang mengatur tentang Pembinaan Karir di Kejaksaan Republik Indonesia tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Jaksa Agung ini.
Pasal 24
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : J a k a r t a Pada tanggal : 12 Juli 2007
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Lampiran 3:
PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER-066/A/JA/07/2007 TENTANG
STANDAR MINIMUM PROFESI JAKSA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka
meningkatkan
profesionalisme diperlukan Jaksa yang berkualitas,
memiliki kemampuan
intelektual, integritas kepribadian dan disiplin tinggi guna melaksanakan tugas penegakan hukum dalam mewujudkan keadilan
dan kebenaran, maka
disusun Standar Minimum Profesi Jaksa yang meliputi pengetahuan dan keahlian dalam melaksanakan tugas-tugas profesi;
perwujudannya perlu diterbitkan Peraturan Jaksa Agung R.I.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang
Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890);
2. Undang-undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik
Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 67 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4401);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3176);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia;
6. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor KEP-030/JA/1988 tentang Doktrin Kejaksaan “Tri Krama Adhyaksa”;
7. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-068/A/JA/07/2007 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan
Pegawai Kejaksaan
Republik Indonesia;
8. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER -065/A/JA/07/2007 tentang Pembinaan Karir
Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia;
9. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-069/A/JA/07/2007 tentang Ketentuan– Ketentuan Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan Republik Indonesia; M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN JAKSA AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG STANDAR
MINIMUM PROFESI JAKSA Pertama : Standar Minimum Profesi
Jaksa meliputi :
A. Pengetahuan
Seorang jaksa dituntut untuk memiliki kemampuan menerapkan pengetahuan
dalam melaksanakan tugasnya, minimal meliputi :
1. Ketentuan hukum pidana materiil dan formil;
2. Ketentuan hukum perdata materiil dan formil;
3. Ketentuan hukum tata usaha negara materiil dan formil;
4. Ketentuan intelijen kejaksaan;
5. Ketentuan hukum adat di tempat penugasan;
6. Ketentuan Hak Asasi Manusia (HAM), baik nasional maupun instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia;
7. Peraturan perundang- undangan tingkat nasional dan daerah;
8. Konvensi Internasional yang relevan dengan tugas jaksa;
9. Manajemen umum dan Kejaksaan; 10. Etika hukum;
11. Disiplin ilmu lainnya yang menunjang pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang;
12. Pengetahuan tentang perkembangan ilmu hukum, dan praktik hukum nasional maupun internasional.
B. Keahlian
Seorang jaksa dituntut untuk memiliki keahlian, yang meliputi :
1. Penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris;
2. Mengoperasikan komputer.
Kedua : Standar Minimum Profesi
Jaksa sebagaimana diatur dalam Peraturan Jaksa Agung R.I ini bersifat saling melengkapi dengan Kode Perilaku Jaksa guna menjaga dan meningkatkan kualitas serta integritas Jaksa .
Ketiga : Peraturan ini mulai berlaku
sejak ditetapkan dan
dilaksanakan secara
bertahap.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 12 Juli 2007
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Lampiran 4:
PERJA NOMOR : PER-067/A/JA/07/2007 TTG KODE PERILAKU JAKSA (C.O.C)
P E R A T U R A N JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : PER-067/A/JA/07/2007 TENTANG KODE PERILAKU JAKSA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka
mewujudkan Jaksa yang memiliki integritas kepribadian serta disiplin tinggi guna melaksanakan tugas penegakan hukum dalam
mewujudkan keadilan dan
kebenaran, maka disusun Kode Perilaku Jaksa;
b. bahwa sebagai perwujudannya perlu diterbitkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara