• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. suatu proses yang dilakukan oleh seseorang yang dapat mempengaruhinya dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. suatu proses yang dilakukan oleh seseorang yang dapat mempengaruhinya dalam"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Kerangka Teori dan Literatur II.1.1. Persepsi

II.1.1.1 Pengertian Persepsi

Persepsi diartikan oleh Schiffman, L.G. dan Kanuk, L.L. (2004: 137) sebagai suatu proses yang dilakukan oleh seseorang yang dapat mempengaruhinya dalam memilih, mengatur dan menafsirkan stimuli ke dalam gambar yang berarti dan dapat diterima dengan logika mengenai dunia.

Robbins, S.P., & Coulter, M. (2005: 49) mengatakan bahwa persepsi adalah suatu proses menafsirkan kesan terhadap sesuatu untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam mengenai lingkungan.

Sedangkan persepsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1061) adalah “1) tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu; serapan; 2) proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya”.

Sarwono (2009: 86) juga mengartikan persepsi sebagai suatu kemampuan seseorang untuk membeda-bedakan, mengelompokkan, dan memfokuskan sesuatu berdasarkan inderanya.

Dari berbagai pendapat mengenai persepsi, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu di mana individu tersebut menafsirkan sesuatu (objek) berdasarkan kesan yang diperoleh melalui inderanya. Hal ini dapat menyebabkan setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai

(2)

suatu objek yang sama. Persepsi sangat penting karena perilaku manusia didasarkan pada persepsi mereka mengenai realitas yang ada, bukan mengenai realita itu sendiri.

II.1.1.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Menurut Robbins, S.P., Judge, T.A. (2008: 52) ada tiga faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu :

1. Pelaku Persepsi

Bila seorang individu memandang pada suatu target tertentu dan mencoba untuk menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu akan dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi dari pelaku persepsi tersebut. Karakteristik pribadi relevan mempengaruhi persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan pengharapan.

2. Target

Karakteristik-karakteristik dalam target yang akan diamati dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang, dan atribut-atribut lain dari target membentuk cara seseorang memandang.

3. Situasi

Situasi adalah hal penting dalam setiap individu melihat objek-objek atau peristiwa-peristiwa. Unsur-unsur dalam lingkungan sekitar mempengaruhi persepsi-persepsi individu, seperti waktu, keadaan atau tempat kerja, dan keadaan sosial.

(3)

II.1.2. Korupsi (Corruption) II.1.2.1. Teori Dasar

Setiap tindakan dilakukan karena ada sesuatu yang mendorong atau memotivasi orang tersebut untuk melakukan sesuatu. Terkadang tanpa disadari hal yang memotivasi itu berasal dari kepribadiannya. Sigmund Freud mengemukakan teori mengenai kepribadian. Freud dalam Psikologi Kepribadian (2002: 124) mengatakan bahwa kepribadian terdiri dari tiga elemen, yaitu Das Es (the id), Das Ich (the ego), dan Das Ueber Ich (the super ego). Ketiga unsur ini saling berhubungan dan mempengaruhi perilaku manusia.

1. Das Es (the id)

Das Es merupakan aspek biologis dan merupakan satu-satunya elemen kepribadian yang sudah ada sejak lahir. Energi psikis dalam das Es dapat meningkat karena adanya ransangan dari dalam maupun luar, dan bila energi tersebut meningkat maka akan menimbulkan tegangan dan pengalaman yang tidak menyenangkan. Das Es memegang prinsip kenikmatan, dan berusaha untuk menghindari rasa yang tidak menyenangkan. Misalnya, orang haus maka akan membayangkan minuman yang menyegarkan.

2. Das Ich (the ego)

Das Ich merupakan aspek psikologis yang timbul karena adanya kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan kenyataan. Das Ich merupakan aspek yang timbul dari das Es dan berusaha memenuhi kebutuhan atau keinginan dari das Es dengan cara yang nyata. Misalnya, bila seseorang merasa haus, maka ia akan mencari minuman. Singkatnya, das Ich mendorong seseorang untuk

(4)

3. Das Ueber Ich (the super ego)

Das Ueber Ich merupakan aspek sosiologi kepribadian. Das Ueber Ich juga dianggap sebagai aspek moral kepribadian karena lebih mengejar kesempurnaan daripada kesenangan semata.

Segala sesuatu dapat terjadi karena adanya sesuatu atau hal lain yang dapat mendorong atau memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu. Begitu juga dengan perilaku manusia. Manusia akan berperilaku sedemikian rupa karena ada yang memotivasinya. Salah satu teori motivasi yang paling terkenal adalah teori Kebutuhan dari Abraham Maslow. Dalam Essentials of Organizational Behavior (2008: 70), Maslow mengurutkan lima kebutuhan dasar setiap manusia. Lima kebutuhan tersebut sebagai berikut.

Gambar 2.1. Teori Kebutuhan

sumber : Robbins, S.P., & Judge, T.A. (2008). Essentials of Organizational Behavior (9th ed)

1. Fisiologis (physiological)

(5)

2. Keamanan (safety)

Kebutuhan keamanan meliputi rasa terlindungi dari bahaya, baik secara fisik maupun secara emosi.

3. Sosial (social)

Kebutuhan sosial meliputi rasa kasih sayang, memiliki sesuatu, penerimaan, dan persahabatan.

4. Penghargaan (esteem)

Kebutuhan akan penghargaan terdiri dari kebutuhan penghargaan internal dan kebutuhan akan penghargaan eksternal. Penghargaan internal meliputi hormat diri, pencapaian, dan lain-lain. Sedangkan penghargaan eksternal seperti penghargaan atas status, pengakuan, dan perhatian.

5. Aktualisasi diri (self-actualization)

Kebutuhan akan aktualisasi diri merupakan kebutuhan yang dapat memotivasi seseorang untuk menjadi seseorang berdasarkan kemampuannya, seperti pemenuhan diri sendiri, ataupun dapat mencapai potensi seseorang.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan atau perilaku seseorang didasari oleh kepribadiannya yang terdiri dari das Es, das Ich, dan das Ueber Ich yang ketiganya saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dasarnya, seperti kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri.

II.1.2.2. Sejarah Fraud

(6)

dan memberantas fraud seperti sekarang ini. Contohnya adalah kasus fraud yang dilakukan oleh perusahaan besar seperti Enron. Enron merupakan perusahaan energi Amerika yang berbasis di Houston, Texas, Amerika Serikat. Kasus fraud yang dilakukan oleh Enron adalah kasus yang paling menggemparkan karena kasus ini juga melibatkan Kantor Akuntan Publik yang ternama, yaitu Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen. Selain Enron, kasus serupa juga terjadi pada WorldCom, Xerox dan perusahaan-perusahaan besar lainnya. Kasus yang terjadi ini akhirnya melatar belakangi munculnya Sarbanes Oxley Act. Sarbanes Oxley Act adalah nama lain dari undang-undang reformasi perlindungan investor (The Company Accounting Reformand Investor Protection Act of 2002) yang ditandatangani George Bush bulan Juli tahun 2002 lalu. Tujuan utama dari Undang-Undang ini yaitu untuk meningkatkan pertanggungjawaban keuangan perusahaan publik (good corporate governance) sehingga memperkecil kemungkinan bagi perusahaan atau organisasi untuk melakukan fraud.

Beberapa hal yang diatur dalam Sarbanes Oxley Act menurut Santoso (2004) dalam Sukanto (2007), antara lain:

a. Membentuk komite audit dan menetapkan tanggung jawab dari komite audit.

b. Menetapkan beberapa tanggung jawab baru kepada dewan komisaris, dewan direksi (manajemen).

c. Menambah tanggung jawab dan anggaran bagi SEC.

d. Mendefinisikan jasa “non audit” yang tidak boleh diberikan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) kepada klien.

(7)

f. Menetapkan pembatasan kompensasi eksekutif.

g. Menetapkan aturan mengenai cara untuk menghadapi conflict of interest. h. Memperbesar dan memperberat hukuman untuk kasus corporate fraud. i. Menetapkan beberapa persyaratan pelaporan baru.

j. Menetapkan kode etik bagi pejabat terutama pejabat di bagian keuangan.

k. Mengharuskan lebih banyak pengungkapan mengenai informasi keuangan dan hasil yang dicapai oleh manajemen.

II.1.2.3. Pengertian Fraud

Tindak kecurangan sudah sering terjadi termasuk di Indonesia. Fraud secara umum diartikan sebagai bentuk kecurangan – tidak jujur. Pengertian fraud menurut Albrecht bersaudara dan Zimbelman (2009: 7), yaitu

“ fraud is a generic term, and embraces all the multifarious means which human ingenuity can devise, which are resorted to by one individual, to get an advantage over another by false representations. No definite and invariable rule can be laid down as a general proposition in defining fraud, as it includes surprise, trickery, cunning and unfair ways by which another is cheated. The only boundaries defining it are those which limit human knavery”.

Fraud diidentifikasikan menjadi empat elemen menurut Golden, T.W., Steven, L.K., dan Mona, M.C. (2006: 2), yaitu:

a. A false representation of material nature

b. Scienter – knowledge that the representation is false, or reckless disregard for the truth

c. Reliance – the person receiving the representation reasonably and justifiably relied on it

d. Damage – financial damages resulting from all of the above

Maksud dari pengertian di atas adalah pertama, fraud merupakan penyajian yang salah dan bersifat material. Kedua, merupakan pengetahuan mengenai penyajian yang

(8)

menerima penyajian yang layak atau memadai dan dapat dibenarkan berdasarkan penyajian tersebut. Dan yang keempat memiliki arti kerugian yang berasal dari tiga tindakan di atas yang berhubungan dengan keuangan atau finansial.

Definisi Fraud menurut The Institute of Internal Auditor dalam Karni (2002: 34), kecurangan adalah suatu tindakan penipuan yang disengaja yang meliputi adanya ketidakberesan dan tindakan yang melawan atau tidak sesuai dengan hukum (ilegal). Dan tindak kecurangan ini dapat memberikan menfaat dan/atau kerugian bagi suatu perusahaan atau organisasi yang dilakukan oleh pihak di luar atau pihak di dalam organisasi.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecurangan (fraud) berbeda dengan kesalahan yang disengaja. Fraud adalah suatu tindakan yang melawan atau melanggar hukum yang dilakukan oleh orang dari dalam maupun luar perusahaan atau organisasi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan untuk pribadi dan/ atau kelompok yang secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain.

II.1.2.4. Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Fraud

Seperti yang kita tahu bahwa segala sesuatu terjadi pasti ada faktor-faktor yang mendorong atau menjadi penyebabnya. Ada 3 faktor yang mempengaruhi atau mendorong seseorang untuk melakukan fraud yang disebut fraud triangle (Albrecht, W.S, Albrecht, C.C, Albrecht, C.O, Zimbelman, M. (2009: 33), yaitu: tekanan (pressure), kesempatan (opportunity) dan rasionalisasi agar kecurangan dapat diterima (rationalization).

(9)

Gambar 2.2. The Fraud Triangle

sumber : Albrecht, W.S., Albrecht, C.C., Albrecht, C.O., & Zimbelman, M.. (2009). Fraud Examination (3rd ed)

1. Tekanan (pressure)

Tekanan adalah suatu kondisi yang mempengaruhi atau mendorong seseorang untuk melakukan fraud dikarenakan orang tersebut memiliki masalah di bidang keuangan maupun non-keuangan yang sulit namun harus diselesaikan oleh pegawai atau manajemen. Tekanan (Pressure) terdiri dari empat, yaitu:

a. Tekanan Keuangan (Financial Pressure)

Contoh tekanan keuangan yang dapat menyebabkan seseorang melakukan kecurangan (fraud), antara lain:

Serakah (Greed).

Orang yang serakah akan selalu merasa tidak puas sehingga akan mendorong mereka untuk melakukan kecurangan.

(10)

Orang yang memiliki gaya hidup yang serba mewah tentunya akan mendorong mereka untuk melakukan kecurangan agar mereka dapat membeli barang-barang mewah.

Memiliki hutang yang besar (High bills or personal debt).

Orang yang memiliki hutang atau kewajiban yang besar tentunya akan lebih terdorong untuk melakukan segala cara agar mereka dapat segera melunasi hutang tersebut.

Mengalami kerugian keuangan (Personal financial losses).

Orang yang mengalami kerugian akan melakukan hal yang sama seperti orang yang memiliki hutang yang besar.

Ada kebutuhan keuangan yang tidak terduga (Unexpected financial needs). b. Kebiasaan Buruk (Vice Pressure)

Orang yang memiliki kebiasaan buruk seperti berjudi (gambling), memakai obat-obatan terlarang (drugs), minum minuman keras (alkohol) tentunya dapat mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya membeli obat-obat terlarang dan minuman keras. Orang yang memiliki kebiasaan yang buruk biasanya akan terbiasa untuk melakukan penyimpangan.

c. Tekanan yang Berhubungan dengan Pekerjaan (Work-related Pressure)

Tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan didorong oleh faktor-faktor sebagai berikut:

• Hanya memperoleh sedikit pengakuan atas kinerjanya • Tidak merasa puas atas pekerjaannya

(11)

• Tertarik ingin mendapatkan promosi • Merasa gaji yang diberikan terlalu rendah d. Adanya Tekanan yang lain (Other Pressure).

Tekanan lain dapat didorong oleh:

• Tekanan dari gaya hidup pasangan, bila seseorang sudah menikah tentunya mereka akan berusaha untuk membahagiakan dengan memenuhi semua keinginan pasangan hidupnya termasuk melakukan kecurangan.

• Krisis keuangan dapat menyebabkan seseorang untuk berbuat nekat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

• Tekanan sosial, di mana seseorang memiliki keinginan kuat untuk sukses. 2. Kesempatan (opportunity)

Kesempatan adalah suatu kondisi yang memungkinkan seseorang (pegawai/manajemen) untuk melakukan penyimpangan atau kecurangan (fraud). Faktor utama dari adanya peluang berkaitan dengan pengendalian internal perusahaan. Pengendalian internal perusahaan yang lemah atau bahkan sama sekali tidak ada pengendalian internal di dalam perusahaan akan memunculkan adanya peluang untuk melakukan kecurangan (fraud). Selain itu, pegawai perusahaan yang memiliki posisi yang lebih tinggi dan sudah bekerja cukup lama untuk suatu perusahaan akan memiliki akses yang lebih besar untuk melakukan kecurangan (fraud) karena mereka sangat memahami kondisi riil perusahaan sehingga mengetahui letak kelemahan pengendalian internal dan memiliki waktu yang cukup untuk mempelajari bagaimana cara untuk melakukan kecurangan (fraud).

(12)

3. Rasionalisasi (rationalization)

Rasionalisasi adalah suatu pemikiran, nilai atau apapun yang yang dapat menjadi pembenaran atas tindakan penyimpangan atau kecurangan yang dilakukan sebagai suatu tindakan yang wajar atau dapat diterima, misalnya:

a. Tindak kecurangan dengan tujuan yang baik (white lie)

b. Kecurangan juga dilakukan oleh orang lain, baik dalam jajaran yang sama maupun dilakukan oleh atasan

c. Hanya meminjam uang perusahaan dan akan segera dikembalikan

d. Perusahaan tidak akan mengalami kerugian jika pelaku mengambil sedikit aset maupun uang dari perusahaan karena perusahaan mendapatkan keuntungan yang lebih besar

e. Pelaku percaya bila mereka melakukan kecurangan, hidupnya akan menjadi lebih baik

f. Tidak akan merugikan pihak lain

Selain tiga faktor pendorong terjadinya fraud yang dikenal dengan fraud triangle, ada juga faktor yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan fraud yang dikenal dengan Teori GONE dalam Fraud Auditing, yaitu:

G = Greed (keserakahan) O = Opportunity (kesempatan) N = Need (kebutuhan)

E = Exposure (Pengungkapan)

(13)

a. Faktor Individu

Faktor individu adalah faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan kecurangan (fraud) berasal dari masing-masing individu sendiri dan bukan dari pihak-pihak lain ataupun faktor lingkungan sekitar. Faktor individu sendiri dibagi lagi menjadi dua:

Faktor Moral; faktor ini berkaitan dengan keserakahan (Greed) dan faktor-faktor ini meliputi karakter, integritas dan kejujuran yang berhubungan dengan keserakahan. Hal-hal yang perlu ada untuk meminimalkan terjadinya fraud yang diakibatkan oleh faktor moral adalah:

→ Misi organisasi yang jelas dan dikomunikasikan kepada seluruh karyawan/ manajer

→ Aturan perilaku dalam etika secara tertulis

→ Model manajemen yang bertindak sesuai misi dan aturan perilaku organisasi

→ Praktek dalam penerimaan karyawan sehingga mencegah dan mengurangi karyawan yang memiliki moral tidak baik

• Faktor Motivasi

Faktor motivasi adalah faktor yang berhubungan atau berkaitan dengan kebutuhan setiap orang seperti kebutuhan finansial (Need). Seseorang yang memiliki kebutuhan yang lebih akan lebih termotivasi atau terdorong untuk melakukan fraud.

b. Faktor Generik

(14)

untuk melakukan kecurangan (fraud) berasal kemungkinan-kemungkinan yang berhubungan dengan perusahaan atau organisasi sebagai korban dari tindakan fraud.

Faktor kesempatan (opportunity) adalah faktor di mana seseorang melakukan tindakan yang bersifat negatif/ menyimpang (fraud) yang dapat dilakukannya karena status atau kedudukan yang dimilikinya. Pada umumnya kesempatan untuk melakukan fraud selalu ada pada setiap kedudukan.

Faktor Pengungkapan (exposure)

Pengungkapan atas tindakan negatif atau kecurangan harus ditindaklanjuti agar mencegah kemungkinan adanya tindakan kecurangan (fraud) terulang kembali. Faktor pengungkapan berkaitan dengan kemungkinan apakah fraud dapat diungkap atau tidak, sifat serta luasnya hukuman terhadap pelaku fraud.

II.1.2.5. Jenis Fraud

The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) mendefinisikan Fraud

sebagai penyalahgunaan wewenang atau jabatan (Occupational Fraud). Occupational

Fraud diartikan sebagai suatu bentuk kecurangan di mana seseorang dengan sengaja

menggunakan wewenang atau jabatannya menyalahgunakan sumber daya atau aset yang dimiliki perusahaan untuk memperoleh keuntungan pribadi. The Association of

Certified Fraud Examiners (ACFE) mengklasifikasikan Occupational Fraud menjadi 3

(15)

Gambar 2.3.

Fraud Tree

(16)

II.1.2.5.1. Kecurangan Pelaporan Keuangan (Fraudulent Statement)

Fraudulent statement meliputi tindakan seperti:

• Manipulasi, pemalsuan, atau pengubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang menjadi sumber penyusunan laporan keuangan.

• Representasi yang salah atau penghapusan yang disengaja atas peristiwa, transaksi maupun informasi signifikan lainnya yang ada dalam laporan keuangan.

• Salah penerapan yang disengaja atas prinsip-prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian, atau pengungkapan.

Tindakan fraudulent statement merupakan tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau manajemen perusahaan atau instansi pemerintah dengan cara-cara di atas untuk menghasilkan laporan keuangan yang bagus (window dressing) untuk memperoleh keuntungan.

II.1.2.5.2. Penyalahgunaan Asset (Asset Misappropriations)

Asset misappropriation adalah kecurangan yang dilakukan oleh pegawai

maupun manajemen perusahaan dengan cara menyalahgunakan, menggelapkan atau mencuri aset perusahaan yang dapat menyebabkan laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Asset misappropriation merupakan tindakan fraud yang paling mudah dideteksi karena aset perusahaan berwujud (tangible) dan dapat dihitung. Penyalahgunaan aset dapat dilakukan dengan cara mencuri kas, mencuri persediaan atau aset-aset perusahaan lainnya.

(17)

II.1.2.5.3. Korupsi (Corruption)

II.1.2.5.3.1. Pengertian Korupsi (Corruption)

Secara etimologi, korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptio atau

corruptus, dalam bahasa Inggris dan Prancis corruption yang memiliki arti merusak

atau menghancurkan, dan dapat juga menunjukkan suatu keadaan atau perbuatan yang busuk (Semma, 2008).

Korupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 736) adalah tindakan penyelewengan atau penggelapan uang negara yang dilakukan oleh perusahaan, yayasan, dan organisasi lainnya demi keuntungan pribadi atau orang lain.

Sedangkan Alatas, S.H dalam Korupsi Musuh Bersama (2004) menyebutkan “corruption is the abuse of trust in the interest of private gain”. Pengertian menurut Alatas dapat diartikan bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan atau keuntungan pribadi.

Dalam bukunya, Danil, E (2011: 7) menyimpulkan bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan yang melanggar norma-norma tugas, kesejahteraan, dan kerahasiaan serta mengabaikan dampak dari tindakan tersebut karena menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum.

Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hongkong mengatakan bahwa suatu tindakan dikatakan sebagai tindakan korupsi jika seseorang atau individu melakukan pelanggaran dengan menggunakan kekuasaannya untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan mengorbankan kepentingan orang lain.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah tindak kecurangan yang dilakukan lebih dari satu orang di mana mereka saling

(18)

norma-norma dan hukum yang berlaku, di mana hasil atau akibat dari tindakan tersebut dapat merugikan pihak-pihak lain seperti negara dan/ atau masyarakat untuk kepentingan dan keuntungan pribadi, kelompok atau pihak-pihak yang terlibat. Suradi (2006) mengelompokan tindakan korupsi menjadi empat, yaitu:

1. Konflik kepentingan (conflict of interest). Konflik kepentingan terjadi ketika seseorang melakukan tindakan dengan mengatasnamakan kepentingan pihak lain sehingga memungkinkan orang tersebut tidak dipersalahkan.

2. Penyuapan (bribery) meliputi penawaran, permintaan, pemberian atau penerimaan kepada seseorang untuk mempengaruhi orang yang menerimanya dalam pengambilan atau pembuatan keputusan.

3. Penerimaan yang tidak sah/ legal (illegal gratuities) meliputi penerimaan sesuatu yang berharga dan bernilai karena telah melakukan tindakan sesuai dengan keinginan pihak yang memberi. Penerimaan yang tidak sah/ legal mirip dengan penyuapan, hanya saja pemberian diberikan setelah tindakan yang diminta dilakukan.

4. Pemerasan secara ekonomi (economic extortion) yaitu suatu tindakan di mana seseorang melakukan pemerasan terhadap individu atau organisasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Biasanya tindakan pemerasan dilakukan jika orang yang memeras pihak lain memiliki suatu informasi yang berharga dan bersifat rahasia bagi orang lain.

II.1.2.5.3.2. Klasifikasi Korupsi

(19)

1. Korupsi Transaksi, adalah suatu tindak korupsi yang dilakukan di mana dua belah pihak melakukan kerja sama atau kesepakatan dalam bentuk suap dan kedua belah pihak yang memberi dan menerima uang suap tersebut akan saling mendapatkan keuntungan.

2. Korupsi Ekstortif, adalah suatu tindak korupsi yang dilakukan oleh pihak eksekutif atau orang menduduki jabatan tinggi. Korupsi ekstortif merupakan korupsi yang bersifat memaksa karena tindakan korupsi ekstortif tidak memberikan alternatif bagi pihak yang diberi uang suap.

3. Korupsi Investif, adalah tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat karena didorong adanya janji-janji dan harapan terhadap sesuatu yang akan menghasilkan di masa mendatang.

4. Korupsi Nepolistik, yaitu tindakan korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki jabatan atau wewenang yang tinggi di mana mereka akan memberikan perlakuan khusus bagi keluarga atau teman dekat mereka untuk memperoleh kesempatan mendapatkan fasilitas atau mengutamakan kepentingan mereka.

5. Korupsi Otogenik, yaitu tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat pada saat mereka memberikan dan menyebarluaskan informasi yang bersifat rahasia kepada pihak luar dan memperoleh keuntungan dari tindakannya tersebut.

6. Korupsi Suportif merupakan korupsi yang dilakukan oleh beberapa orang (lebih dari dua orang) dalam satu bagian, divisi atau departemen di mana mereka akan saling melindungi dan menutupi tindak korupsi yang mereka lakukan.

(20)

II.1.2.6. Pelaku Fraud

Kecurangan (fraud) berdasarkan pelakunya diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu manajemen, pegawai dan pihak di luar organisasi (ekstern).

1. Fraud yang dilakukan oleh manajemen (Management Fraud) adalah kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dengan sengaja memberikan informasi yang salah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan terjadi di lingkungan pimpinan suatu instansi. Management Fraud juga dikenal dengan White Collar Crime (kejahatan kerah putih).

2. Fraud yang dilakukan oleh pegawai (Employee Fraud) merupakan tindak kecurangan yang dilakukan oleh pegawai yang bekerja di dalam perusahaan atau organisasi walaupun manajemen telah membuat usaha-usaha untuk mencegahnya (preventive).

3. Fraud yang dilakukan oleh pihak-pihak di luar Organisasi (ekstern) merupakan kecurangan (fraud) yang dilakukan oleh pemasok (vendor), pelanggan (customer) di mana mereka akan membuat perusahaan menderita kerugian untuk membayar sejumlah uang atas barang atau jasa yang tidak diterima atau membuat customer menerima barang atau jasa yang seharusnya tidak mereka terima.

II.1.2.7. Badan Pemberantas Korupsi

Terdapat beberapa badan atau lembaga yang dibentuk untuk memberantas tindakan korupsi baik di Luar Negeri maupun di Indonesia. Badan pemberantas korupsi yang dibentuk, sebagai berikut:

(21)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah badan atau lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya tidak dipengaruhi oleh siapapun dan bersifat independen. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk pada tanggal 29 Desember 2003 berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK memiliki tugas untuk melakukan koordinasi dan supervisi, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara untuk memberantas segala bentuk tindak korupsi.

KPK berhasil mengungkap adanya tindakan korupsi dan menangkap pelaku tindakan korupsi dengan peran serta dan kepedulian masyarakat untuk melaporkan kasus korupsi yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Masyarakat dapat melaporkan setiap tindakan korupsi yang diketahui melalui surat, telepon, faksimile, SMS maupun datang langsung ke kantor KPK. Masyarakat juga dapat melaporkan dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) secara online melalui KPK WHISTLEBLOWER'S SYSTEM (KWS).

2. Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura

CPIB adalah lembaga anti korupsi yang bersifat independen karena terpisah dari kepolisian dan bertanggung jawab untuk menyelidiki dan mencegah tindak korupsi yang terjadi di Singapura. CPIB merupakan lembaga anti korupsi tertua di dunia. Lembaga ini dibentuk oleh Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew pada tahun 1952. CPIB didirikan berdasarkan Prevention of Corruption Act (chapter 241). CPIB dipimpin oleh seorang direktur yang bertanggung jawab langsung kepada

(22)

CPIB bertanggung jawab untuk menjaga integritas pelayanan publik dan mendorong transaksi-transaksi yang bebas korupsi; menyelidiki malpraktek yang dilakukan oleh pejabat dan melaporkannya kepada departemen pemerintah dan badan umum untuk tindakan pendisiplinan. Selain itu, CPIB diberi kekuasaan untuk menyelidiki pelanggaran lain menurut hukum tertulis selama penyelidikan korupsi. CPIB memiliki kekuatan untuk menyelidiki tersangka, keluarga tersangka atau agen dan untuk memeriksa catatan keuangan mereka; meminta kehadiran saksi; serta menyelidiki pelanggaran-pelanggaran lainnya.

3. Independent Commission Againts Corruption (ICAC) di Hongkong

ICAC dibentuk oleh Gubernur Hongkong, Sir Murray MacLehose pada tanggal 15 Februari 1974 dan menjadi badan anti korupsi yang kuat. ICAC menggunakan “three-pronged strategy” yang terbukti efektif dalam memberantas korupsi, yaitu investigasi, pencegahan korupsi, dan memberikan pendidikan mengenai korupsi di Hongkong. ICAC di Hongkong dibentuk karena tindakan korupsi yang semakin banyak terjadi di lingkungan birokrasi.

ICAC memiliki kekuasaan untuk melakukan pencarian, penyitaan, penangkapan, penahanan serta izin untuk mengambil sampel non-intim dari seseorang untuk analisis forensik. ICAC juga memperoleh kekuasaan untuk memperoleh nomor rekening bank, memeriksa bisnis dan dokumen-dokumen pribadi sampai membuat tersangka untuk memberikan rincian mengenai aset, pendapatan dan pengeluaran mereka untuk mencegah adanya tindak pidana penyuapan. Selain itu juga terdapat peraturan untuk menciptakan pemilihan umum yang adil, terbuka, jujur, dan bebas dari tindak korup dan ilegal. ICAC di Hongkong dikatakan sebagai model universal

(23)

cukup besar, memiliki tenaga ahli yang banyak serta konsistensi dukungan dari pemerintah lebih dari 30 tahun.

4. Serious Fraud Office (SFO) di New Zealand

SFO dibentuk pada tahun 1990 berdasarkan Undang-Undang Penipuan Serius (Serious Fraud Act). SFO bertanggungjawab untuk menyelidiki dan melakukan penuntutan atas kasus-kasus yang dianggap serius atau kecurangan (fraud) yang kompleks. SFO memiliki kuasa untuk memperoleh informasi atau dokumen yang relevan terkait dengan penyelidikan serta memaksa setiap orang untuk menghadiri wawancara dan menjawab seluruh pertanyaan dengan jujur. SFO memprioritaskan kasus seperti: korban penipuan investasi, fraud yang melibatkan orang-orang yang menduduki posisi penting (misalnya pengacara), masalah penyuapan dan korupsi serta kasus-kasus lain yang dapat merusak reputasi Selandia Baru (New Zealand) untuk pasar keuangan yang adil dan bebas korupsi. Dan hanya Direktur SFO yang memiliki wewenang hukum untuk memulai penyelidikan.

SFO membagi pelaksanaan menjadi dua bagian, yaitu pendeteksian tindakan fraud yang serius pada bagian I, dan penyelidikan untuk mengidentifikasi kasus yang kemungkinan fraud pada bagian II. Setiap Unit terdiri dari pemeriksa keuangan yang berpengalaman, akuntan forensik, dan pengacara penyelidik yang dipimpin oleh seorang manajer umum. Dan setiap tim paling sedikit tiga orang dengan keahlian seperti yang disebutkan di atas.

5. Independent Commission Againts Corruption (ICAC) di New South Wales

ICAC didirikan oleh Pemerintah New South Wales pada Maret 1989 berdasarkan Undang-Undang Komisi Independen Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun

(24)

mempublikasikan tindak pidana korupsi, melakukan pencegahan korupsi secara aktif dan mendidik masyarakat luas tentang korupsi. Badan pemberantas korupsi di Australia memiliki nama yang sama dengan badan pemberantas korupsi di Hongkong. ICAC New South Wales tidak memiliki wewenang untuk menyelidiki orang atau perusahaan swasta kecuali berhubungan dengan sektor publik. Selain itu, ICAC New South Wales tidak memiliki wewenang di bidang penuntutan, Jaksa Agung lah yang menentukan apakah dapat dilakukan penuntutan atau tidak kasus yang diselidiki oleh ICAC.

II.1.2.8. Peraturan Anti-Korupsi di Indonesia

Selain dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberantas korupsi, Indonesia juga sudah membuat hukum yang mengatur dengan jelas mengenai tindak pidana korupsi. Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mendukung tindakan untuk melawan korupsi di Indonesia, antara lain:

1. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini menjelaskan secara detail mengenai tindak pidana korupsi serta sanksi pidana dan sanksi administrasi atas tindak pidana apabila seseorang melakukan tindakan dengan menggunakan wewenang atau jabatannya dan merugikan orang lain untuk kepentingannya sendiri seperti yang sudah diatur di dalam yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang tersebut.

2. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini menjabarkan mengenai Komisi Pemberantasan

(25)

segala hal yang berhubungan dengan tindakan pemberantasan korupsi sampai ketentuan pidana bagi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang melanggar ketentuan yang sudah diatur.

3. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Undang-Undang ini menjelaskan mengenai pengertian tindak korupsi, kolusi dan nepotisme; hak dan kewajiban Penyelenggara Negara; hubungan antar Penyelenggara Negara; peran serta masyarakat untuk memberantas korupsi; sampai sanksi yang akan diberikan bila Penyelenggara Negara melakukan pelanggaran.

4. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang ini menjelaskan mengenai tindakan yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana pencucian uang, sanksi-sanksi yang akan dijatuhkan, pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 Tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi. Peraturan ini menjelaskan mengenai hal-hal seputar pegawai komisi, sistem manajemen sumber daya manusia, evaluasi pelaksanaan, tugas dan masa kerja tim penasihat komisi, dan ketentuan peralihan. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran

Serta Masyarakat dan Pemberian Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan ini menjelaskan mengenai hak dan tanggung jawab masyarakat untuk mencari, memperoleh, memberikan informasi, saran dan

(26)

jawaban dari penegak hukum; hak dan tanggung jawab masyarakat untuk memperoleh perlindungan hukum; pemberian penghargaan kepada masyarakat yang ikut berperan aktif seperti pemberian piagam atau premi.

II.1.3. Penelitian Terdahulu

Sebelumnya sudah terdapat penelitian serupa, dan penelitian yang pernah dilakukan tersebut dapat dijadikan pedoman bagi penulis.

II.1.3.1. Pengaruh Kepuasan Gaji dan Kultur Organisasi Terhadap Persepsi Aparatur Pemerintah Daerah Tentang Tindak Korupsi (Firma Sulistyowati)

Penelitian yang dilakukan oleh Firma Sulistyowati ini bertujuan untuk mengetahui apakah kepuasan gaji berpengaruh terhadap persepsi aparatur pemerintah daerah tentang tindak korupsi, dan apakah kultur organisasi berpengaruh terhadap persepsi aparatur pemerintah daerah tentang tindak korupsi. Objek penelitian yang digunakan oleh penulis adalah aparatur pemerintah daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), khususnya di delapan (8) instansi, yaitu Dinas Kimpraswil, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pertaian, Biro Umum Setda, Biro Tata Pemerintahan Setda, Biro Kepegawaian dan Bawasda.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara acak dengan membagi 160 kuesioner pada delapan (8) instansi di DIY. Pengujian validitas dalam penelitian ini menggunakan korelasi bivariat pearson correlation, sedangkan pengujian realibilitas dengan cronbach alpha. Hasil dari penelitian ini adalah hubungan antara kepuasan gaji dengan persepsi tentang tindak pidana korupsi negatif, sehingga kepuasan

(27)

hubungan antara kultur organisasi dengan persepsi tentang tindak pidana korupsi positif, sehingga kultur organisasi secara parsial berpengaruh terhadap persepsi tentang tindak pidana korupsi; dan secara keseluruhan kepuasan gaji dan kultur organisasi berpengaruh terhadap persepsi tentang tindak pidana korupsi.

II.1.3.2. Persepsi Mahasiswa Akuntansi Universitas Bina Nusantara Terhadap Fraudulent Financial Statement (Yeni)

Penelitian yang dilakukan oleh Yeni (2011) ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi mahasiswa akuntansi Universitas Bina Nusantara terhadap opportunity sebagai faktor pemicu terjadinya Fraudulent Financial Statement, bagaimana persepsi mahasiswa akuntansi Universitas Bina Nusantara terhadap pressures sebagai faktor pemicu terjadinya Fraudulent Financial Statement, dan bagaimana persepsi mahasiswa akuntansi Universitas Bina Nusantara terhadap rationalization sebagai faktor pemicu terjadinya Fraudulent Financial Statement. Objek penelitian yang digunakan oleh penulis adalah mahasiswa akuntansi Universitas Bina Nusantara angkatan 2007 dan 2008. Hal ini dikarenakan mahasiswa akuntansi semester 6 sudah mendapatkan mata kuliah Pemeriksaan Auditing, sedangkan mahasiswa akuntansi semester 8 sudah mendapatkan mata kuliah Pemeriksaan Auditing I dan Audit atas Kecurangan.

Peneliti menggunakan sampel sebanyak 99 orang untuk mahasiswa akuntansi angkatan 2007 dan 130 orang untuk mahasiswa akuntansi angkatan 2008 dari jumlah mahasiswa sebanyak 230 untuk mahasiswa akuntansi angkatan 2007 dan 300 untuk mahasiswa akuntansi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

(28)

data primer yang dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner untuk mahasiswa semester 6 dan 8 serta modul sejarah Universitas Bina Nusantara dan modul jurusan Akuntansi sebagai data sekunder. Hasil dari penelitian ini adalah 1) faktor opportunity, pressures dan rationalization berpengaruh secara signifikan terhadap Fraudulent Financial Statement 2) Mahasiswa akuntansi telah memiliki persepsi yang baik mengenai Fraudulent Financial Statement khususnya pada faktor-faktor pemicu kecurangan tersebut. 3) Faktor pressures merupakan faktor pemicu yang paling dominan dan faktor pressures dapat berasal dari faktor eksternal dan internal pribadi pelaku.

II.1.3.3. Opini Siswa SMA Terhadap Citra KPK (Icha Marina Elliza)

Icha Marina Elliza melakukan penelitian ini pada tahun 2009 di Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui opini siswa Negeri 3 Medan terhadap citra KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), untuk mengetahui agenda pemberantasan korupsi di Indonesia di kalangan pelajar, serta untuk mengetahui kredibilitas KPK di kalangan pelajar SMA. Objek penelitian yang digunakan oleh penulis adalah semua siswa-siswi SMA Negeri 3 Medan yang memilih konsentrasi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), yaitu sebanyak 118 orang. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif yang menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian berdasarkan fakta yang sebenarnya. Peneliti memperoleh data dengan mengamati, membuat kategori perilaku, mengamati gejala dan mencatatnya.

Cara perolehan yang digunakan adalah dengan menyebarkan kuesioner secara langsung pada siswa-siswi SMA Negeri 3 Medan. Dan peneliti juga mendampingi

(29)

opini mereka terhadap citra KPK, pendapat mereka mengenai kinerja, dan prestasi KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia serta kritik dan saran terhadap KPK. Hasil dari penelitian ini adalah 1) Keberadaan KPK dirasa penting oleh siswa SMA Negeri 3 Medan. 2) KPK dianggap belum serius dalam menjalankan tugas walaupun KPK dianggap memiliki kualitas dan kecakapan dalam memberantas korupsi. 3) KPK dianggap telah memiliki strategi yang baik dan efektif dalam memberantas korupsi. 4) siswa-siswi SMA Negeri 3 Medan setuju dengan strategi penyadapan telepon (ponsel) dan menganggap strategi tersebut tidak tidak menggangu privasi seseorang. 5) KPK diangap melakukan tebang pilih dalam memberantas korupsi. 6) Opini siswa SMA Negeri 3 Medan terhadap citra KPK secara keseluruhan baik (positif). 7) siswa SMA Negeri 3 Medan beranggapan KPK merupakan organisasi dengan kredibilitas yang baik.

II.1.3.4. Persepsi Mahasiswa Terhadap Fraud (Studi Empiris Pada Mahasiswa Akuntansi Universitas Hasanuddin) (Musryadi)

Musryadi melakukan penelitian ini pada tahun 2010 di Universitas Hasanuddin, Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi mahasiswa Akuntansi Universitas Hasanuddin terhadap Fraud. Objek penelitian yang digunakan oleh penulis adalah mahasiswa akuntansi Universitas Hasanuddin angkatan 2007 dan 2008 yang telah dan/ atau sedang mengikuti mata kuliah audit 1, audit 2 dan system informasi akuntansi. Peneliti menggunakan sampel sebanyak 100 orang. Metode yang digunakan peneliti adalah metode observasi untuk memahami persepsi mereka terhadap fraud. Selain itu, peneliti juga menyebarkan kuesioner kepada responden dengan pertanyaan tertutup dan terbuka.

(30)

Hasil dari penelitian ini adalah 1) mahasiswa akuntansi Universitas Hasanuddin setuju bahwa fraud merupakan pelanggaran kepercayaan diri (fiduciary duty). 2) Sebagian besar responden sepakat bila fraud membahayakan dua kebutuhan manusia yang paling dasar, yaitu kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sosial. 3) Sebagian besar responden sepakat bila fraud disebabkan karena penerapan hukum yang kurang konsisten. 4) mahasiswa Universitas Hasanuddin sangat setuju kalau fraud terjadi karena kebocoran atau kelalaian pada sisi akuntansi dan audit.

II.1.3.5. Firm Accounting Practices, Accounting Reform and Corruption in Asia (Xun Wu)

Penelitian yang dilakukan oleh Xun Wu (2005) ini fokus pada sektor korporasi yang merupakan sumber utama masalah korupsi di Asia, khususnya dampak dari praktek perusahaan akuntan yang melakukan penyuapan. Xun Wu memeriksa beberapa karakteristik penyuapan di perusahaan Asia dan menguji hubungan antara praktek kantor akuntan dan tindak penyuapan, mengetahui pentingnya praktek akuntansi dalam mengurangi tindak penyuapan, serta efektivitas akuntansi baru sebagai strategi anti korupsi.

Populasi yang digunakan adalah perusahaan-perusahaan akuntansi yang berada di Asia. Penelitian ini menggunakan dua model ekonometrik, yaitu model probit dan model regresi interval yang digunakan untuk menguji hipotesis mengenai hubungan antara praktek kantor akuntan dengan penyuapan.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa praktek akuntansi yang lebih baik akan membantu untuk mengurangi timbulnya tindak penyuapan dan jumlah untuk biaya

(31)

Table 2.1. Penelitian Terdahulu Nama Peneliti

(Tahun)

Pertanyaan Riset Metode Penelitian Hasil Penelitian

Firma Sulistyowati (2007)

1. Apakah kepuasaan gaji berpengaruh terhadap

persepsi aparatur

pemerintah daerah tentang tindak korupsi

2. Apakah kultur organisasi berpengaruh terhadap

persepsi aparatur

pemerintah daerah tentang tindak korupsi

membagi 160

kuesioner pada

delapan (8) instansi di DIY

1. hubungan antara kepuasan gaji dengan persepsi tentang tindak pidana korupsi negatif, sehingga kepuasan gaji secara parsial tidak berpengaruh terhadap persepsi tentang tindak pidana korupsi 2. hubungan antara kultur organisasi

dengan persepsi tentang tindak pidana korupsi positif, sehingga kultur organisasi secara parsial berpengaruh terhadap persepsi tentang tindak pidana korupsi

3. secara keseluruhan kepuasan gaji dan kultur organisasi berpengaruh terhadap persepsi tentang tindak pidana korupsi.

Yeni (2011) 1. persepsi mahasiswa

akuntansi Universitas Bina

Nusantara terhadap

opportunity sebagai faktor

pemicu terjadinya

Fraudulent Financial

Statement

2. persepsi mahasiswa akuntansi Universitas Bina

Nusantara terhadap

pressures sebagai faktor

pemicu terjadinya

Fraudulent Financial

Statement

3. persepsi mahasiswa akuntansi Universitas Bina

Nusantara terhadap

rationalization sebagai faktor pemicu terjadinya

Fraudulent Financial Statement metode Probability Sampling dengan pendekatan Simple Random Sampling menyebarkan kuesioner untuk mahasiswa semester 6 dan 8

1. faktor opportunity, pressures dan

rationalization berpengaruh secara signifikan terhadap Fraudulent Financial

Statement

2. Mahasiswa akuntansi telah memiliki persepsi yang baik mengenai Fraudulent

Financial Statement khususnya pada

faktor-faktor pemicu kecurangan tersebut.

3. Faktor pressures merupakan faktor pemicu yang paling dominan dan faktor

pressures dapat berasal dari faktor

eksternal dan internal pribadi pelaku.

Icha Marina Elliza (2009)

1. opini siswa Negeri 3 Medan terhadap citra KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) 2. agenda pemberantasan korupsi di Indonesia di kalangan pelajar 3. kredibilitas KPK di kalangan pelajar SMA

menyebarkan kuesioner, mendampingi responden dalam proses pengisian kuesioner

1. Keberadaan KPK dirasa penting oleh siswa SMA Negeri 3 Medan

2. KPK dianggap belum serius dalam menjalankan tugas walaupun KPK dianggap memiliki kualitas dan kecakapan dalam memberantas korupsi 3. KPK dianggap telah memiliki strategi

yang baik dan efektif dalam

memberantas korupsi

4. Siswa-siswi SMA Negeri 3 Medan setuju dengan strategi penyadapan telepon (ponsel) dan menganggap strategi tersebut tidak tidak menggangu privasi

(32)

Nama Peneliti (Tahun)

Pertanyaan Riset Metode Penelitian Hasil Penelitian

5. KPK diangap melakukan tebang pilih dalam memberantas korupsi

6. Opini siswa SMA Negeri 3 Medan terhadap citra KPK secara keseluruhan baik (positif)

7. Siswa SMA Negeri 3 Medan

beranggapan KPK merupakan organisasi dengan kredibilitas yang baik.

Musryadi (2010)

persepsi mahasiswa

Akuntansi Universitas

Hasanuddin terhadap Fraud

metode observasi, menyebarkan kuesioner dengan pertanyaan tertutup dan terbuka

1. mahasiswa akuntansi Universitas Hasanuddin setuju bahwa fraud

merupakan pelanggaran kepercayaan diri (fiduciary duty)

2. Sebagian besar responden sepakat bila

fraud membahayakan dua kebutuhan

manusia yang paling dasar, yaitu kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sosial 3. Sebagian besar responden sepakat bila

fraud disebabkan karena penerapan

hukum yang kurang konsisten

4. Mahasiswa Universitas Hasanuddin sangat setuju kalau fraud terjadi karena kebocoran atau kelalaian pada sisi akuntansi dan audit

Xun Wu (2005)

Firm Accounting Practices, Accounting Reform and Corruption in Asia

model ekonometrik, yaitu model probit dan model regresi interval

praktek akuntansi yang lebih baik akan membantu untuk mengurangi timbulnya tindak penyuapan dan jumlah untuk biaya penyuapan sehingga melumpuhkan praktek korupsi pada sumbernya.

II.2. Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah metode survey. Penelitian survey adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner atau dengan melakukan wawancara dengan responden untuk memperoleh informasi yang sejenis dari berbagai orang atau kelompok.

Dalam penelitian ini penulis akan menyebarkan kuesioner kepada setiap angkatan mahasiswa jurusan akuntansi Universitas Bina Nusantara sebagai alat utama dalam pengumpulan data. Kuesioner akan disebarkan secara langsung kepada responden. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan rating scale dengan dengan skala penilaian 1 sampai 4 sehingga hasilnya lebih tepat dan jelas.

(33)

Metode yang akan digunakan dalam pengambilan sample adalah propotionate stratified random sampling untuk menyajikan hasil yang lebih representatif.

II.3. Pengembangan Hipotesis

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan persepsi mahasiswa jurusan Akuntansi Universitas Bina Nusantara Angkatan 2008, 2009 dan 2010 mengenai tindak korupsi. Oleh karena itu, maka penulis dapat memunculkan hipotesis sebagai berikut.

Yeni (2011) menyebutkan bahwa tekanan (pressure) memicu terjadinya fraud, khususnya fraudulent financial statement. Dan serakah (greed) merupakan salah satu tekanan yang mendorong terjadinya fraud. Menurut Darwis (2010) dorongan keserakahan merupakan salah satu faktor internal yang dapat menyebabkan seseorang melakukan korupsi. Selain itu di dalam bukunya, Maheka (2006) mengatakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi adalah kemiskinan dan keserakahan. Masyarakat yang kurang mampu akan melakukan korupsi karena memiliki kesulitan ekonomi, sedangkan bagi masyarakat yang hidupnya berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menggunakan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti dan menguji mengenai faktor serakah (greed) sebagai faktor yang memicu terjadinya korupsi.

Ha1 : Faktor Keseerakahan (Greed) memicu terjadinya tindakan korupsi.

Para pejabat banyak melakukan korupsi karena adanya kesempatan untuk mengumpulkan harta kekayaan andaikata mereka sudah tidak menjabat lagi di kemudian hari (Loqman, 2006). Penelitian sebelumnya telah melakukan penelitian

(34)

tindakan fraud, khususnya fraudulent financial statement (Yeni, 2011). Oleh karena itu penulis ingin menguji apakah faktor kesempatan (opportunity) juga mempengaruhi atau mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Oleh karena itu, peneliti menghasilkan hipotesis sebagai berikut.

Ha2 : Faktor Kesempatan (Opportunity) memicu terjadinya tindakan korupsi. Seperti yang disebutkan di atas bahwa tekanan (pressure) sendiri memiliki arti yang luas, dan contoh serta faktor-faktor yang menimbulkan tekanan (pressure) itu banyak. Dan salah satu yang menyebabkan tekanan (pressure) itu muncul adalah karena adanya kebutuhan. Darwis (2010) juga menyebutkan bahwa salah satu faktor internal yang dapat menyebabkan seseorang melakukan korupsi karena adanya dorongan kebutuhan hidup yang mendesak. Oleh sebab itu, peneliti ingin meneliti lebih dalam mengenai faktor kebutuhan (need) sebagai faktor yang memicu terjadinya korupsi.

Ha3 : Faktor Kebutuhan (Need) memicu terjadinya tindakan korupsi.

Pengungkapan (exposure) atas tindakan negatif secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kemungkinan adanya tindakan kecurangan (fraud) terulang kembali. Semakin besar kemungkinan fraud terungkap maka semakin kecil kemungkinan untuk melakukan fraud. Luna, D. M (2006) mengatakan bahwa pencegahan, transparasi dan penegakan merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan dampak positif untuk memberantas korupsi.

Selain itu Maheka (2006) mengatakan salah satu faktor yang menyebabkan korupsi dikarenakan konsekuensi bila seseorang tertangkap karena melakukan korupsi lebih rendah atau kecil daripada keuntungan dari tindakan korupsi. Semakin keras atau berat hukuman yang akan diterima maka semakin kecil kemungkinan untuk melakukan

(35)

menyebabkan terjadinya korupsi di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara dikarenakan tidak adanya transparansi, lemahnya lembaga peradilan dan aturan hukum negara, akuntabilitas yang buruk, struktur sosial yang elitis serta tidak adanya corporate governance. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka peneliti ingin menguji apakah pengungkapan (exposure) merupakan salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya korupsi.

Ha4 : Faktor Pengungkapan (Exposure) memicu terjadinya tindakan korupsi. Selain untuk menjawab permasalahan penelitian di atas, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah apakah terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa jurusan Akuntansi dan non Akuntansi Universitas Bina Nusantara Angkatan 2008, 2009 dan 2010 menjadi mengenai tindak Korupsi, maka penulis dapat memunculkan hipotesis sebagai berikut.

Ha5 : Terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa jurusan akuntansi dan non akuntansi Universitas Bina Nusantara Angkatan 2008, 2009 dan 2010 terhadap korupsi.

Referensi

Dokumen terkait

Terhadap usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2015 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus

Dari hasil pengukuran bathimetri ini nanti bisa diketahui besarnya laju sedimentasi yang terjadi yang selanjutnya digunakan untuk memprediksi berapa sisa usia guna Waduk

Beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa teknik Make a Match adalah suatu model pembelajaran dalam pembelajaranya siswa mencari pasangan dari kartu

Masukan sel rata kanan : Jika data lebih panjang dari panjang sel maka lebihnya akan mengisi sel disebelah kirinya yang kosong, jika sel sebelah kiri terisi maka data akan

Semua bayi baru lahir di fasilitas kesehatan harus segera mendapatkan tanda pengenal berupa gelang yang dikenakan pada bayi dan ibunya untuk menghindari tertukarnya bayi,

Oleh karena itu, demokratisasi lokal menghadirkan adanya peran aktor dan atau elite politik lokal yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi proses

Data hasil pretest pada Tabel I dapat dijelaskan bahwa nilai nilai rata- rata (mean) pretest yang diperoleh pada kelas eksperimen I adalah 31,53 lebih rendah dibandingkan pada kelas

KESATU : Menetapkan Petunjuk Teknis Pemberian Penghargaan dan Pemberian Hukuman Disiplin Bagi Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya