• Tidak ada hasil yang ditemukan

Policy Brief Urgensi Rencana Aksi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia dan Struktur Hierarkinya dalam Hukum Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Policy Brief Urgensi Rencana Aksi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia dan Struktur Hierarkinya dalam Hukum Indonesia"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Bisnis dan Hak Asasi Manusia dan

Struktur Hierarkinya dalam Hukum Indonesia

Penulis:

Adzkar Ahsinin Kania Mezariani G

Wahyu Wagiman

Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM)

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM RI)

(4)
(5)

I. Pendahuluan

Bisnis dan hak asasi manusia semakin banyak muncul dalam agenda internasional pada dekade 1990an. Liberalisasi perdagangan, deregulasi domestik dan privatisasi di seluruh dunia memperluas jangkauan dan memperdalam dampak pasar bebas.1 Meningkatnya

kekuasaan perusahaan multinasional mengarah pada meningkatnya ketidaksetaraan dan pelanggaran hak asasi manusia. Namun, masih terdapat tentangan terhadap gagasan bah-wa hak-hak ekonomi dan sosial dapat dituntut dari aktor-aktor korporasi, dan bahbah-wa peru-sahaan-perusahaan memiliki kewajiban terkait hak-hak ini.2

Situasi yang serupa juga terjadi di Indonesia, setelah Reformasi 1998 dan perkembangan kap-italisme di Indonesia yang mengarah pada integrasi dengan kapkap-italisme neoliberal global. In-tegrasi ini menuntut pergeseran peran Negara untuk memfasilitasi kepentingan-kepentingan produksi dan reproduksi kapital, untuk memfasilitasi kepentingan publik.3 Pilihan sistem

ekonomi liberal ini lantas dipertegas dengan pengembangan institusi-institusi politik demokratik liberal4 dan agenda tatapemerintahan yang baik (good governance). Kedua

upaya ini diarahkan untuk mendukung terciptanya masyarakat yang terbuka bagi pasar.5

Upaya-upaya ini merupakan bagian dari rekomendasi institusi-institusi keuangan in-ternasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Inin-ternasional.6

Neoliberalisme dapat diartikan sebagai seperangkat prinsip ideologi dan politik yang diarahkan untuk penyebarluasan model ekonomi berskala global yang menekankan pada pasar bebas dan perdagangan bebas. Sebagai konsep, neoliberalisme terdiri dari tiga unsur: (1) ideologi; (2) model pemerintahan; (3) paket kebijakan.7 Ada dua argumen utama yang dibangun

neoliberalisme: (1) meminimalkan peran Negara dalam pasar dan (2) kebutuhan untuk mengembangkan perencanaan institusional untuk memastikan efisiensi pasar. 8

Berdasar-kan proses ini, Kanishka Jayasuriya memandang bahwa proses neoliberalisme lebih merupaBerdasar-kan suatu proses politik, bukannya proses ekonomi, yang memungkinkan neoliberalisme tetap berlanjut sebagai bagian dari proyek politik sebuah Negara. 9

Pasar bebas memerlukan regulasi, karena tidak ada sistem yang dapat tercipta tanpa regulasi. Regulasi demikian mengkodifikasi dan mencakup tiga kebebasan mendasar dalam neolib-1) Ruggie, John Gerard. Just Business: Multinational Corporations and Human Rights. (New York: W.W. Nor-ton & Company, Inc., 2013), hal. xxv

2) Riedel, Giacca, Golay. Economic, Social, and Cultural Rights in International Law: Contemporary issues and Challenges. (UK: Oxford University Press, 2014), hal. 194

(6)

eralisme, yaitu (1) peredaran modal secara bebas; (2) perdagangan bebas; dan (3) penana-man modal bebas.10 Perspektif serupa dinyatakan oleh R. Herlambang Perdana

Wiratra-man, yaitu bahwa untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan sistem pasar bebas, salah satu elemen tatapemerintahan yang baik adalah kerangka hukum pembangunan. 11

Karena peran pasar dianggap lebih penting daripada peran Negara, masyarakat sipil dan demokrasi partisipatoris di dalam pengendalian ekonomi dan arus barang serta modal, implikasinya adalah bahwa sektor swasta menjadi aktor-aktor utama dalam menguasai sektor-sektor yang terkait langsung dengan penghidupan manusia.12 Peran dominan

pe-rusahaan dalam ekonomi Indonesia semakin diakui oleh pemerintah Indonesia, terutama dalam masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ketika diluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). 13

Menurut Noer Fauzi Rachman, MP3EI diciptakan untuk memfasilitasi perusahaan-peru-sahaan raksasa dan para pemiliknya, untuk menanamkan modalnya di Indonesia. 14

MP3EI dikembangkan berdasarkan paradigma ekonomi neoliberal, karena ia berfokus pada konsepsi-konsepsi berikut. Pertama, semakin maju perekonomian suatu negara, semakin kecil proporsi anggaran negara itu di dalam pertumbuhan ekonomi. Kedua, dinamika perekonomian suatu negara akan berdasarkan pada sektor swasta yang men-cakup BUMN dan BUMD dan sektor swasta nasional serta internasional. 15 Untuk

membuka arus modal industri dan finansial, dan untuk memfasilitasi arus penanaman modal ke Indonesia, pemerintah Indonesia memotong semua peraturan yang meng-ganggu kepentingan bisnis. 16 Peran pemerintah, menurut MP3EI, adalah untuk

mem-fasilitasi aturan-aturan dan regulasi-regulasi yang memberikan insentif pada dunia usaha yang melakukan kegiatan produksi dan membangun infrastruktur melalui kebi-jakan perpakebi-jakan, bea masuk impor, aturan perburuhan, perizinan tanah dan lain-lain. Salah satu manifestasi peran pemerintah dalam memfasilitasi kerangka hukum bagi sektor swasta adalah UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan un-tuk Kepentingan Umum.17 Terdapat enam koridor ekonomi dengan fokus masing-masing di

dalam Master Plan, terkait dengan kekuatan dan keunggulan sumber daya yang terse-dia di masing-masing koridor. Fokus ekonomi di masing-masing koridor dalam dilihat dalam peta berikut ini.

3) Vedi R. Hadiz, Gerakan buruh mesti menjadi bagian dari perjuangan yang lebih luas, http://indoprogress. com/2013/03/prof-vedi-r-hadiz-gerakan-buruh-mesti-menjadi-bagian-dari-perjuangan-yang-lebih-luas/ 4) Demokrasi liberal menjunjung kebebasan individual, seperti pemikiran neoliberal yang berfokus pada asumsi bahwa pasar bebas dan perdagangan bebas menjamin kebebasan individual. Lihat David Harvey, op. cit.

5) Airlangga Pribadi, Transmutasi Neoliberalisme di Indonesia, http://indoprogress.com/2012/04/trans-mutasi-neoliberalisme-di-indonesia/

6) Alexander C. Chandra, A Dirty Word? Neo-liberalism in Indonesia’s Foreign Economic Policy, Trade Knowl-edge Network & International Institution for Sustainable, 2011, hal. 1

7) Manfred B. Steger dan Ravi K. Roy, Neoliberalism A Very Short Introduction, Oxford University Press, 2010, hal. 10-11

8) Anggun Trisnanto Hari Susilo, The Indonesian National Program for Community Empowerment (PNPM)

Rural: Decentralization in the Context of Neoliberalism and World Bank Policies, Institute of Social Studies,

2012

9) Kanishka Jayasuriya, Beyond New Imperialism: State and transnational regulatory governance in East Asia dalam Vedi R. Hadiz (ed.), Empire and Neoliberalism in Asia, Routledge, 2006, hal. 42

(7)

Sumber: Didi Novrian dan Dian Yanuardy, 2011

10) Susan George, Republik Pasar Bebas: Menjual Kekuasaan Negara, Demokrasi, dan Civil Society kepada

Kapi-talisme Global, Bina Rena Pariwara & INFID, Jakarta, 2002, hal. 20

11) Penyesuaian program struktural (penetapan struktur kerangka hukum untuk pembangunan tidak terpi-sahkan dari peran Bank Dunia untuk mengawali penyesuaian program struktural. Hukum dan penerapannya dipandang sebagai faktor penting untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Lihat R. Herlambang Perdana Wiratraman, Good Governance And Legal Reform In Indonesia, Tesis di Fakultas Pas-casarjana Mahidol University, 2006, hal. 88

12) Ivan Hadar, Jalan Ketiga, Bukan Sekedar Jalan Tengah, Serial Sejarah SosDem edisi 6 tahun 2, Juni-Agustus 2009

13) Lihat Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 32/2011 Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.

14) Noer Fauzi Rachman, et al, MP3EI: Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis

Indone-sia, Laporan Penelitian Sajogyo Institute 2014 “Proses-proses Kebijakan dan Konsekuensi dari MP3EI, Sajogyo

Institute, Bogor, 2014, hal. 2

15) Didi Novrian dan Dian Yanuardy, Mantra MP3EI: Investasi... Investasi... Investasi!, dalam Dian Yanuardy, et al, MP3EI: Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia, Sajogyo Institute, 2014, hal. 4

16) Berdasarkan dokumen MP3EI, setiap rencana pembangunan nasional dan regional, rencana lansekap nasional dan regional, dan kerangka regulasi akan dievaluasi. Langkah-langkah strategis akan diambil untuk merevisi atau mengubah peraturan untuk menarik investor, memberikan insentif pada sektor tarif, pajak dan mengubah peraturan perburuhan, perizinan dan pengadaan lahan. Lihat Didi Novrian dan Dian Yanuardy, ibid., hal. 11

17) Didi Novrian dan Dian Yanuardy, ibid., hal. 13. Sebelum program MP3EI diluncurkan, setelah penandatan-ganan Letter of Intent (LoI) antara Presiden Soeharto dan IMF hingga era reformasi, pemerintah bersama dengan DPR menyusun beberapa perundang-undangan dengan tujuan untuk memperkuat peran pasar dalam ekonomi Indonesia. Substansi undang-undang ini mencakup perbankan, pengelolaan sumber daya alam, perburuhan, investasi dan zona ekonomi khusus.

(8)

Ada dua mekanisme terpenting yang menjadi cara pemerintah berperan untuk memastikan keberhasilan MP3EI. Pertama, alokasi lahan-lahan tertentu oleh pemerintah untuk jangka panjang untuk kegiatan bisnis perusahaan-perusahaan raksasa. Hal ini dilakukan dengan meluaskan atau menambah hak penguasaan lahan untuk produksi komoditas global da-lam sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan dan kawasan-kawasan perkembangan ekonomi. Kedua, pembangunan infrastruktur sebagai layanan koneksi untuk mendorong arus barang dan pekerjaan, selain juga menghubungkan pusat-pusat industri. 18

Dalam proses pelaksanaan program MP3EI, muncullah dampak terhadap hak asasi ma-nusia dan kerusakan lingkungan sosial/ekologis di berbagai koridor ekonomi. Berikut ini adalah beberapa contoh pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan sosial/ ekologis: 19

1. Gagasan untuk menciptakan swasembada pangan nasional melalui hibah lahan ber-skala besar (lebih dari 1,2 juta hektar) ke 48 perusahaan dalam skema Merauke Inte-grated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua berdampak pada kerusakan sumber daya pangan lokal, perampasan lahan dan krisis pangan;

2. Pembangunan peleburan nikel di Sulawesi Tengah meningkatkan pertambangan nikel di Morowali, menimbulkan perampasan tanah melalui skema kompensasi yang meru-gikan petani, kerusakan laut, eksploitasi buruh, kondisi penambang yang parah dan berbagai kerusakan ekologis;

3. Sementara, di Sumatera Utara, proyek MP3EI dalam sektor pertanian di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei menimbulkan berbagai eksploitasi buruh melalui model sistem kerja yang berdasarkan pada jam kerja dan sanksi;

4. Penambangan nikel dan pembangunan peleburan nikel di Halmahera Timur (Maluku Utara) merusakan pulau-pulau kecil, menimbulkan perampasan tanah, masalah dis-tribusi lahan dan kerusakan laut;

5. Proyek-proyek MP3EI di Koridor Kalimantan yang berfokus pada investasi penam-bangan batu bara mempercepat kerusakan sosio-ekologis dan memicu konflik dengan masyarakat setempat;

6. Penambangan mangan di NTT menciptakan hubungan eksploitatif antara para pemi-lik tambang dan para buruh, termasuk keluarga mereka.

Pemerintahan Presiden Jokowi tetap menegaskan peran pemerintah melalui misi Nawacita, yang masih mengadopsi semangat MP3EI. Ini bisa dilihat dari upaya Presiden Jokowi untuk melanjutkan proyek-proyek MP3EI yang berfokus pada pembangunan infra-struktur, terutama tol laut. 20 Rencana tol laut ini terkait dengan konsep pembangunan

konektivitas dalam skema MP3EI melalui strategi (1) Membongkar dan memecah-mecah 18) Dian Yanuardy, MP3EI dan Perubahan Radikal dari Peran Negara, dalam Dian Yanuardy, et al., MP3EI:

Mas-ter Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia, Sajogyo Institute, 2014, p. 55

19) Mumtaza, et al, Di Atas Krisis Sosial-Ekologis Semacam Apa Megaproyek MP3EI Bekerja dalam Dian Yan-uardy, et al., MP3EI: Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia, Sajogyo Institute, 2014, hal. 68-69

(9)

blok dan pusat produksi komoditas ke berbagai pulau Indonesia; dan (2) Mengembang-kan infrastruktur yang diperluMengembang-kan untuk memfasilitasi industri untuk meneMengembang-kan biaya produksi dan meningkatkan keuntungan perusahaan. Tujuan konektivitas ini juga untuk menghubung-kan kegiatan-kegiatan ekonomi di masing-masing koridor, dan dengan kegiatan ekonomi regional dan global. 21 Hal ini tidak terpisahkan dari keberadaan MP3EI dan RPJMN yang

dapat dilihat dalam skema berikut.

Sumber: Didi Novrian dan Dian Yanuardy, 2011

Atas alasan-alasan ini, pembangunan tol laut yang diusulkan Jokowi memiliki potensi pelanggaran hak asasi manusia, bila tidak didahului oleh aksi nyata untuk memperbaiki lingkungan, selain menjamin hak-hak komunitas lokal dan nelayan lokal untuk mengelola wilayah pesisir dan laut untuk kegiatan mereka. 22

Untuk menyikapi semakin meningkatnya dampak negatif terhadap hak asasi manusia yang ditimbulkan korporasi, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengesahkan “Prinsip-Prinsip Pan-duan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Lindungi, Hargai dan Perbaiki,” yang juga dikenal sebagai Prinsip-Prinsip Ruggie, pada bulan Juni 2011.

Prinsip-Prinsip Ruggie mencakup tiga pilar, yaitu “lindungi, hargai dan perbaiki”. Yang per-tama adalah kewajiban Negara untuk melindungi warganya dari pelanggaran hak asasi ma-nusia yang dilakukan oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan, melalui kebijakan, regulasi dan proses pengadilan yang sesuai. Yang kedua adalah tanggung jawab korporasi untuk menghargai hak asasi manusia, yang memiliki arti bahwa dunia usaha harus mengambil tindakan due diligence agar tidak melanggar hak-hak orang lain dan untuk menanggapi dampak-dampak negatif yang parah yang mereka timbulkan. Yang ketiga adalah kebutu-han para korban untuk mendapatkan akses lebih besar ke pemulikebutu-han yang efektif, baik yudisial maupun non-yudisial. 23 Meskipun prinsip-prinsip ini bersifat sukarela dan

(10)

diang-gap sebagai anjuran semata, prinsip-prinsip ini banyak diajukan oleh organisasi-organisasi usaha dan dalam lingkup antarpemerintah, termasuk Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), yang merevisi Panduan untuk Perusahaan Multinasional pada ta-hun 2011. 24 Selain itu, terdapat beberapa standar internasional yang memuat hak asasi

manusia sebagai standar, seperti ISO 26000, dan juga kebijakan keberlanjutan dan standar kinerja baru dari International Finance Corporation (IFC).

Selain standar-standar global yang baru, Dewan Hak Asasi Manusia juga membentuk Kelom-pok Kerja Bisnis dan Hak Asasi Manusia pada tahun 2011, dengan tugas utama untuk men-dorong implementasi dan diseminasi Prinsip-Prinsip Panduan, mengidentifikasi dan bertu-kar praktik-praktik yang baik, membantu membangun kapasitas institusional negara-negara berkembang dan usaha kecil/menengah, dan memberikan rekomendasi lebih lanjut kepada Dewan. 25 Sudah diadakan tiga kali Forum Tahunan Global PBB tentang Bisnis dan Hak

Asasi Manusia, yang terakhir diadakan bulan Desember 2014 di Jenewa.

Dalam forum ini, Kelompok Kerja memperkenalkan dokumen panduan untuk Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk implementasi Prinsip-Prinsip Panduan. Kelompok Kerja me-nentukan empat kriteria untuk efektivitas rencana aksi nasional: rencana demikian ha-rus didasarkan pada Prinsip-Prinsip Panduan; bersifat spesifik konteks dan menangga-pi dampak-dampak hak asasi manusia yang potensial atau nyata-nyata disebabkan oleh korporasi; dikembangkan melalui proses yang inklusif dan transparan; dan ditinjau serta disempurnakan secara teratur.26 Dalam diskusi, masih ditemukan persepsi bahwa standar

hak asasi manusia itu bersifat buruk bagi perekonomian, dan menakutkan para investor. Ditegaskan kembali bahwa rencana aksi nasional merupakan langkah maju yang penting, dan pemerintah harus memberikan sinyal yang kuat ke dunia usaha mengenai ekspekta-si bahwa mereka harus menaati hak asaekspekta-si manuekspekta-sia melalui langkah-langkah seperti proses pengadaan pemerintah, penggunaan kredit untuk investasi dan perdagangan, dan dukungan terhadap organisasi non-pemerintah pada tingkat-tingkat yang berbeda.27 Pengembangan

rencana aksi demikian dapat memperkuat koherensi kebijakan dan harus dilakukan melalui proses yang terbuka dan inklusif.

Dalam konteks ini, pengembangan Rencana Aksi Nasional di Indonesia menemukan ra-20) Kebutuhan investasi untuk tol laut diperkirakan sekitar 700 milyar rupiah untuk lima tahun, yang akan ditanamkan oleh pemerintah, BUMN dan BUMD, dan sektor swasta. Berdasarkan catatan Bappenas, konsep awal tol laut terkait dengan 24 pelabuhan yang akan dibagi menjadi ‘pelabuhan poros’, pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpulan dan distribusi barang di kota-kota kecil. Lihat: http://www.antaranews.com/beri-ta/486898/indonesia-tawarkan-investasi-24-pelabuhan-tol-laut

21) Tiga konektivitas dalam MP3EI mencakup (1) Konektivitas ekonomi intra-koridor; (2) Konektivitas ekonomi antar koridor; (3) Konektivitas Internasional. Kesemua ini memerlukan pembangunan pelabuhan untuk (1) memperlancar arus barang, jasa dan informasi, (2) mengurangi biaya logistik, (3) menurunkan biaya tinggi dalam ekonomi, (4) menciptakan akses setara di setiap wilayah, dan (5) merealisasikan sinergi antara pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Didi Novrian dan Dian Yanuardy, op. cit.

23) http://www.jatam.org/masyarakat-sipil-poros-maritim-dan-tol-laut-harus-ramah-lingkungan-dan-sosial/ 24) Huijstee, Mariette Van; Ricco, Victor; Chaturvedi, Laura Ceresna. How to use the UN Guiding Principles

on Business and Human Rights in company research and advocacy: A guide for civil society organisations.

(SOMO, CEDHA, Dividep India: 2012), hal. 11

25) Riedel, Giacca, Golay. Economic, Social, and Culturan Rights in International Law: Contemporary issues

(11)

sionalitas dan legitimasi, karena RAN diharapkan untuk meningkatkan peran pemerintah melalui: 28

1. Membatasi pasar pada tempat-tempat yang tepat

2. Memperkuat peran utama pemerintah terhadap kepentingan umum dan negara yang demokratis.

II. Apa itu RAN?

Rencana Aksi Nasional (RAN) adalah dokumen kebijakan yang memuat bagaimana Negara mengartikulasikan prioritas-prioritas dan tindakan-tindakan yang akan dilakukannya untuk mendukung implementasi sebuah kewajiban dan komitmen internasional, regional atau na-sional terkait suatu lingkup atau topik kebijakan tertentu.29 Dalam bidang bisnis dan hak

asasi manusia, RAN didefinisikan sebagai “strategi kebijakan yang terus berkembang, yang dikembangkan Negara untuk melindungi warga dari dampak buruk pelanggaran hak asasi manusia oleh dunia usaha, sesuai dengan Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (Prinsip-Prinsip Panduan).” 30

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini sejak adopsi Prinsip-Prinsip Panduan pada tahun 2011, sudah ada 10 negara yang telah menyusun RAN (Lihat Tabel 1).

Tabel 1: Negara-negara yang sudah menyusun RAN 31

No. Negara Pengesahan (Peluncuran)

1 Inggris September 2013

2 Belanda Desember 2013

3 Italia Maret 2014

4 Denmark April 2014

5 Spanyol Musim panas 2014

6 Finlandia Oktober 2014

7 Lithuania Februari 2015

8 Swedia Agustus 2015

9 Norwegia Oktober 2015

10 Kolombia Desember 2015

26) Mo Ibrahim, Ketua Forum, Rangkuman Diskusi Forum Bisnis dan Hak Asasi Manusia, A/HRC/ FBHR/2014/3, hal. 9

27) Ibid., hal. 10

28) Susan George, op. cit., hal.3

29) Danish Institute for Human Rights (DIHR) dan International Corporate Accountable Roundtable (ICAR). National Action Plans On Business And Human Rights: A Toolkit For The Development, Implementation, And Review Of State Commitments To Business And Human Rights Frameworks; hal. 8

30) Kelompok Kerja PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Guidance on National Action Plans on Busi-ness and Human Rights. (Desember 2014), hal. ii

(12)

Selain itu, ada juga 20 negara yang sedang mempersiapkan RAN mereka, atau mengumum-kan komitmen mereka untuk menyusun RAN (Lihat Tabel 2).

Tabel 2: Negara-negara yang sedang menyusun RAN 32

No Negara No Negara 1 Argentina 11 Mauritius 2 Azerbaijan 12 Meksiko 3 Belgia 13 Mozambik 4 Kolombia 14 Myanmar 5 Jerman 15 Norwegia 6 Guatemala 16 Portugal 7 Yunani 17 Slovenia 8 Irlandia 18 Swedia 9 Yordania 19 Swiss

10 Malaysia 20 Amerika Serikat

Selain negara-negara tersebut, ada pula Badan-Badan Hak Asasi Manusia Nasional (NHRI) atau organisasi masyarakat sipil (CSO) yang sedang mengambil inisiatif untuk mengem-bangkan RAN di negara-negara mereka (Lihat Tabel 3).

Tabel 3: Negara-negara di mana NHRI atau CSO sedang menyusun RAN 33

No Negara 1 Ghana 2 Indonesia 3 Kazakhstan 4 Nigeria 5 Korea Selatan 6 Afrika Selatan 7 Tanzania 8 Filipina

Berdasarkan data di atas, terlihat kebanyakan negara Eropa sudah atau sedang mengem-31) States National Action Plans, http://www.ohchr.org/EN/Issues/Business/Pages/National ActionPlans.aspx 32) Ibid.

(13)

bangkan RAN. Ini disebabkan Komisi Eropa yang menerbitkan komunike yang mengun-dang semua negara anggota Uni Eropa untuk mengembangkan RAN untuk implementa-si UNGP sebelum akhir tahun 2012. 34 Sementara itu, Komisi Hak Asasi Manusia Antar

pemerintah ASEAN (AICHR) sudah melakukan studi tematik tentang CSR dan hak asasi manusia, yang meninjau langkah-langkah nasional terkait UNGP. Selama Forum Tahunan Bisnis dan Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 2013, AICHR dan organisasi regional lainnya mengungkapkan dukungan mereka untuk implementasi nasional UNGP dan peran organi-sasi regional dalam mendorong implementasi tersebut melalui langkah-langkah regional.

35 Hanya tiga negara anggota ASEAN yang sedang mengembangkan RAN, yaitu Malaysia,

Myanmar dan Filipina.

Kelompok Kerja PBB menganggap bahwa RAN dan proses pengembangannya dapat men-ciptakan: 36

1. Koordinasi dan koherensi yang lebih baik dalam pemerintah mengenai cakupan kebi-jakan publik yang terkait dengan bisnis dan hak asasi manusia;

2. Proses inklusif untuk mengidentifikasi prioritas nasional dan langkah-langkah kebija-kan serta tindakebija-kan nyata;

3. Transparansi dan prediktabilitas bagi para pemangku kepentingan domestik dan in-ternasional;

4. Proses pemantauan dan evaluasi implementasi yang berlanjut;

5. Platform untuk dialog antara pemangku kepentingan yang berlanjut; dan

6. Format yang fleksibel namun berlaku umum yang memfasilitasi kerjasama interna-sional, koordinasi dan pertukaran praktik baik dan pelajaran.

Selain itu, Danish Institute for Human Rights (DIHR) dan International Corporate Ac-countability Roundtable (ICAR) menjelaskan bahwa ada enam keuntungan RAN, yaitu: 37

1. RAN membantu koordinasi upaya untuk mencapai sasaran kebijakan tertentu di seluruh kalangan pemerintah, dengan mengidentifikasi dan melibatkan semua aktor yang relevan dalam penyusunan kebijakan

2. RAN membantu menghindari duplikasi atau inkonsistensi antardepartemen dalam pemerintah, sehingga membantu mendukung penggunaan sumber daya secara efisien 3. Sebagai dokumen kebijakan nasional yang terpusat, RAN memungkinkan pemerintah

untuk menjelaskan kepada para pemangku kepentingan posisi kebijakannya yang ko-heren, bahkan mengenai topik yang kompleks dan luas

4. RAN bia memberikan kesempatan yang konstruktif untuk kerjasama, dialog dan pem-bangunan rasa saling percaya antara pemangku kepentingan

33) Ibid.

34) Danish Institute for Human Rights (DIHR) dan International Corporate Accountable Roundtable (ICAR). National Action Plans On Business And Human Rights: A Toolkit For The Development, Implementation, And Review Of State Commitments To Business And Human Rights Frameworks; hal. 10

(14)

5. RAN dapat mendukung peniruan kebijakan lintas negara maupun dalam negara, dengan mengidentifikasi praktik-praktik baik dan pelajaran

6. Bila para pemangku kepentingan dilibatkan dalam proses RAN, RAN dapat membantu memobilisasi sumber daya di luar pemerintah untuk mencapai sasaran kebijakan.

III. Proses Pengembangan RAN

UNWG merekomendasikan agar pemerintah-pemerintah mengikuti sebuah proses lima tahap, yang tersusun dari 15 langkah. Tahap 1 hingga 3 menjelaskan pengembangan RAN awal. Tahap 4 dan 5 memuat siklus berlanjut implementasi, pemantauan dan pemutakhiran versi-versi baru dari RAN. 38

35) Ibid.

36) Kelompok Kerja PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Guidance on National Action Plans on Busi-ness and Human Rights. (Desember 2014), hal. 1

37) Danish Institute for Human Rights (DIHR) and International Corporate Accountable Roundtable (ICAR). National Action Plans On Business And Human Rights: A Toolkit For The Development, Implementation, And Review Of State Commitments To Business And Human Rights Frameworks; hal. 14

38) Kelompok Kerja PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Guidance on National Action Plans on Busi-ness and Human Rights. (Desember 2014), hal. ii

(15)

Tahap-tahap di atas dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori tahap. Tahap yang perta-ma adalah tahap konsultasi dan/atau pemetaan, yang kedua perancangan, dan yang ketiga pertimbangan politis dan perancangan ulang. Tujuh negara yang sudah menyusun RAN mengambil langkah yang berbeda-beda dengan karakter yang berbeda-beda pula. Ham-pir semuanya membentuk kelompok kerja lintas kementerian untuk melaksanakan tugas utama pengembangan RAN. Selain itu, struktur isi RAN juga bervariasi, beberapa dibagi berdasarkan pada tiga pilar, yang lainnya didasarkan pada fokus isu dan prioritas nasional. Beberapa negara ini melibatkan para pemangku kepentingan terkait melalui konsulta-si publik, dan membagi tanggung jawab ke beberapa kementerian. Menurut laporan pe-nilaian proses pengembangan RAN, yang dilakukan oleh Swiss Peace, ada 12 saran krusial dalam pengembangan RAN, yaitu:

1. Sejak awal proses, perlu dibentuk kelompok kerja lintas kementerian beranggotakan semua badan pemerintah yang relevan.

2. Anggota kelompok kerja harus secara formal menyepakati struktur, kompetensi dan prosedur kerja dalam kelompok.

3. Sejak awal proses perlu ada kesepakatan tentang badan yang memimpin. Badan itu harus diberi kompetensi dan sumber daya keuangan yang diperlukan untuk mengada-kan pertemuan, memimpin semua konsultasi internal dan eksternal, dan mengkoor-dinasi proses perancangan.

4. Dalam tahap awal, kelompok kerja lintas kementerian ini harus mengadakan pemeta-an internal kegiatpemeta-an-kegiatpemeta-an pemerintah ypemeta-ang terkait dengpemeta-an implementasi UNGP dan kelemahan-kelemahan yang ada.

5. Seorang konsultan eksternal harus diberikan mandat untuk mengadakan analisis in-dependen terhadap celah-celah implementasi UNGP yang ada.

6. Kelompok kerja lintas kementerian ini, bersamaan dengan pemetaan, harus memulai proses konsultasi ekstensif dengan para pemangku kepentingan. Ini dilakukan den-gan mengadakan wawancara mendalam, meminta masukan tertulis atau gabunden-gan keduanya.

7. Pertanyaan-pertanyaan spesifik yang diajukan kepada para pemangku kepentingan harus didefinisikan terlebih dulu oleh para anggota kelompok kerja.

8. Sebagai hasil pemetaan, analisis kelemahan dan konsultasi dengan para pemangku kepentingan, para anggota kelompok kerja harus menyepakati bersama sejumlah bidang kebijakan yang akan disasar dalam tahap perancangan RAN.

9. Kelompok kerja lintas kementerian ini harus berkolaborasi dengan akademisi yang terhormat. Mereka dapat ditugaskan untuk mengelola konsultasi dengan para pe-mangku kepentingan, memberikan masukan untuk pemetaan internal, dan member-ikan masukan selama proses perancangan.

10. Waktu yang dialokasikan untuk pengembangan RAN harus memadai. Memang sejak awal perlu ada penentuan jadwal yang disepakati, namun jadwal itu harus ditaati se-cara fleksibel selama proses ini.

(16)

11. Kelompok kerja lintas kementerian ini harus tetap dipertahankan sesudah penerbitan versi pertama RAN, untuk mengkoordinasi implementasinya dan melakukan pemu-takhiran secara periodik.

12. Para pemangku kepentingan non-pemerintah dan konsultan eksternal harus memiliki peran yang penting dalam meninjau implementasi RAN oleh pemerintah, dan dilibat-kan dalam pengembangan dan pemutakhirannya. 39

IV. Pengembangan RAN di Indonesia

Indonesia, yang menjadi tempat beroperasinya berbagai perusahaan multinasional, ada-lah perekonomian terbesar di Asia Tenggara. UUD 1945 dan Perubahannya memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia, yang diakui sebagai hak konstitusional. UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan sejumlah kewajiban terkait hak asasi ma-nusia kepada negara dan individu. Undang-undang itu menampilkan komitmen Indonesia untuk mendorong terciptanya masyarakat yang berdasarkan pada penghargaan terhadap hak-hak dasar ekonomi, sosial dan budaya, dan juga hak-hak sipil dan politik. 40 Indonesia

juga telah meratifikasi delapan perjanjian internasional, yaitu ICCPR, ICESCR, CERD, CE-DAW, CAT, CRC, CIMW, dan CRPD. Mengenai bisnis dan hak asasi manusia, pemerintah telah mengumumkan perhatiannya terhadap isu ini dalam sebuah sidang Dewan Hak Asasi Manusia pada tahun 2011, sebagai berikut:

Kami selama ini telah tegas menyusun kerangka hukum untuk memastikan bahwa dunia usaha berjalan secara benar dan memberikan manfaat bagi masyarakat lokal maupun nasional. Beberapa contoh langkah yang telah kami ambil adalah peraturan tentang CSR yang ketat, dan dimuatnya prinsip-prinsip EITI (Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif) dan Prinsip-Prinsip Sukarela Keamanan dan Hak Asasi Manusia dalam kebijakan nasional kami.

Kegiatan kami juga dilakukan di tingkat regional maupun internasional. Kami aktif berkontribusi pada upaya AICHR mengenai isu ini, dan mendukung Forum Tahunan Bisnis dan Hak Asasi Manusia.

Kami mendukung upaya-upaya untuk meningkatkan dan mempercepat implemen-tasi komprehensif Prinsip-Prinsip Panduan di tingkat nasional. Kami sepakat dengan pandangan Kelompok Kerja bahwa Rencana Aksi Nasional dan pelibatan ketiga pi-lar merupakan dasar untuk implementasi Prinsip-Prinsip Panduan secara efektif dan komprehensif. Indonesia sendiri sedang mempertimbangkan untuk memuat el-emen-elemen Prinsip-Prinsip Panduan dalam formulasi Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia yang keempat untuk periode 2014-2019. Pada saat yang sama, kami melanjutkan upaya untuk mempromosikan Prinsip-Prinsip Panduan ke semua pe-mangku kepentingan, termasuk pejabat pemerintah, komunitas bisnis, masyarakat sipil dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kami sepakat dengan pandangan Kelompok Kerja di dalam laporan tentang perlunya menciptakan dana global untuk

39) Graf, Andreas. Developing National Action Plans on Business and Human Rights. (Swiss Peace: April 2013), hal. 4 - 5

40) Waagstein, Patricia Rinwigati. Business and Human Rights in ASEAN: A Baseline Study. (HRRCA: 2013), hal. 103

(17)

mendukung implementasi Prinsip-Prinsip Panduan (...). 41

Namun, hingga saat ini, UNGP belum tercermin dalam rancangan Rancangan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2014-2019. Sementara itu, pelanggaran hak asasi manusia terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Menurut laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ta-hun 2014, terdapat setidaknya 1012 kasus terkait korporasi yang dilaporkan sebagai keluhan ke Komnas HAM. 42 Isu-isu utama, yang ditunjukkan oleh Komnas HAM terkait dunia usaha,

adalah hak-hak tentang lingkungan hidup, kesehatan, air, penghidupan, kepemilikan properti dan tanah, hak masyarakat adat, hak buruh, dan hak atas informasi. 43 Terlebih

lagi, kebijakan yang sudah ada tidak dapat memastikan bahwa perusahaan menghargai hak asasi manusia.

Atas alasan ini, untuk mempercepat implementasi UNGP, Komnas HAM bersama ELSAM mengadakan lokakarya dua hari yang dihadiri oleh perusahaan multinasional (MNC) dan badan usaha milik negara (BUMN) di sektor-sektor perkebunan dan ekstraktif, pada tahun 2014. Berdasarkan diskusi, perusahaan menyambut baik inisiatif untuk menyusun Panduan Nasional, sebagai cara untuk memuat Prinsip-Prinsip Panduan ke dalam konteks Indone-sia. Sebagai tindak lanjut diskusi ini, Komnas HAM dan ELSAM akan memformulasikan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Hingga belakangan ini belum ada RAN yang disusun oleh NHRI atau CSO; semuanya ma-sih dalam proses pengembangan. Pada bulan Maret 2015, Komisi Hak Asasi Manusia Afrika Selatan dan Institut Hak Asasi Manusia Denmark meluncurkan Panduan Negara tentang Hak Asasi Manusia dan Bisnis. 44 Namun, panduan ini adalah untuk memastikan

imple-mentasi Pilar 2, yang ditujukan kepada perusahaan untuk menghargai hak asasi manusia. Dengan kata lain, ini bukan RAN. Tantangan utama dalam pengembangan RAN adalah menentukan siapa saja pemangku kepentingan, dan menyiapkan format pelibatan semua pemangku kepentingan. Berdasarkan pelajaran dari tujuh negara yang telah memiliki RAN, amatlah penting untuk melibatkan pemangku kepentingan yang relevan dari tahap awal untuk menciptakan rasa kepemilikan terhadap proses pengembangan RAN itu.

Jadi, sebelum memilih para pemangku kepentingan, penting pula untuk menentukan prioritas nasional yang harus disertakan dalam RAN. Misalnya, koherensi kebijakan, tang-gung jawab korporasi, atau mekanisme pengajuan keluhan, dengan kata lain, ketiga pilar. Atau, apakah prioritas harus diberikan pada isu-isu hak asasi manusia dan bisnis yang ber-profil tinggi di Indonesia, seperti lingkungan, keamanan, korupsi oleh pelaku usaha, hak atas tanah, dan lain-lain yang perlu diperhatikan lebih lanjut.

Berbeda dari tahap rekomendasi yang dikembangkan oleh Kelompok Kerja PBB, tahap pertama harus mengidentifikasi sasaran prioritas nasional dari RAN berdasarkan situasi saat ini, memutuskan struktur RAN, kemudian memilih para pemangku kepentingan dan 41) Presentasi oleh Budi Tjahjono (Franciscans International) Jakarta, Indonesia September 2014. A Treaty on Business and Human Rights

42) Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Tentang Kondisi Hak Asasi Manusia Di

Indo-nesia 2014 ”Menatap Ke Depan”, hal. 5

43) Waagstein, Patricia Rinwigati. Business and Human Rights in ASEAN: A Baseline Study. (HRRCA: 2013), hal. 96

(18)

mengembangkan format keterlibatan. Setelah itu, konsultasi publik dapat diselenggarakan sebagai bagian dari sosialisasi isu-isu serta menerima masukan tentang cara untuk menca-pai tujuan yang sudah diputuskan sebelum proses dilakukan. Kemudian, proses penyusu-nan bisa dilakukan.

Langkah-langkah ini penting karena inisiator untuk mengembangkan RAN bukanlah ke-menterian, melainkan NHRI dan CSO. Rencana kerja dan tujuan harus dipastikan sebelum dibagikan kepada para pemangku kepentingan potensial, agar proses menjadi lebih efek-tif. RAN harus mampu menjawab tantangan bagaimana untuk menyusun satu prosedur mengenai isu-isu spesifik, alih-alih banyak prosedur dari kementerian yang berbeda-beda, dengan kata lain, bagaimana menciptakan koherensi kebijakan.

V. Pilihan Penempatan RAN dalam Struktur Hierarki di Hukum Indonesia

Kesalingterkaitan antara Negara dan perusahaan untuk menghargai hak asasi manusia dapat ditemukan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)45 dan

instru-men instruinstru-men hukum internasional dan instruinstru-men lainnya yang dianggap sebagai soft

law. 46 Namun, penegakan norma-norma tersebut secara substantif tidak efektif

kare-na (1) norma-norma itu memuat pernyataan tentang prinsip dan tidak menyediakan prosedur pengajuan keluhan maupun penegakan hukum; dan (2) norma-norma itu bersi-fat aspirasional, dan tidak memiliki kekuasaan untuk memaksakan kepatuhan. 47

Berdasarkan karakteristik hukum di atas, perlu ada norma-norma hukum sebagai hukum keras sebagai dasar penegakan norma-norma hak asasi manusia yang sudah dijamin. Me-kanisme penegakan harus bersifat wajib untuk semua komponen masyarakat. Meskipun instrumen hukum internasional yang mengatur bisnis dan hak asasi manusia dianggap sebagai soft law, instrumen tersebut dapat digunakan oleh pemerintah untuk merancang perundang-undangan domestik yang mengikat dunia usaha.48

Dalam melaksanakan kewajibannya, Negara bertanggung jawab untuk mengendalikan entitas-entitas bisnis dalam wilayah yurisdiksinya. Konstruksi pertimbangan hukum demikian bisa diartikan bahwa siapapun, termasuk perusahaan, yang berada dalam yuris-diksi negara, diwajibkan untuk menghargai hak asasi manusia. Kewajiban ini tidak hanya berlaku secara vertikal, antara negara dan warga negara, namun juga secara horison-tal. Dampak horisontal ini juga dikenal sebagai dampak norma hak asasi manusia terhadap pihak ketiga (efek pihak ketiga). 49

Lebih lanjut lagi, Scott Pegg (2003:15) menjelaskan dua cara utama bagi perusahaan untuk 44) So. Africa: Business and human rights country guide produced by So. African Human Rights Commission and DIHR, http://business-humanrights.org/en/so-africa-business-and-human-rights-country-guide-pro-duced-by-so-african-human-rights-commission-and-dihr

45) DUHAM menyatakan bahwa setiap badan masyarakat haruslah menaati ketentuan-ketentuan hak asasi manusia yang substantif. Ketentuan-ketentuan ini secara umum diterima berlaku pada entitas-entitas yang bukan negara dan individu. Dengan pemahaman luas ini, perusahaan internasional juga dianggap sebagai badan masyarakat. Lihat: Rudi M. Rizki, Tanggung Jawab Korporasi Transnasional dalam Pelanggaran Berat

HAM, PT Fikahati Aneska, 2012, hal. 17-18

46) Instrumen-instrume hukum internasional yang merupakan soft law yang mengatur perusahaan agar me-naati hak asasi manusia adalah (1) OECD Guidelines for Multinational Corporation; (2) UN Global Compact; dan (3) Human Rights Principles and Responsibilities for Transnational Corporation and Other Business Enterprises.

(19)

bertanggung jawab atas kinerja hak asasi manusia mereka, melalui tanggung jawab hukum berdasarkan hukum nasional maupun internasional, atau inisiatif sukarela melalui kode etik dan pengaturan diri sendiri. Menurut Pegg, langkah-langkah awal untuk mengikat pe-rusahaan secara hukum di tingkat domestik adalah dengan mengubah instrumen hukum internasional menjadi hukum nasional. Dalam konteks ini, sangatlah strategis untuk me-nempatkan norma-norma hak asasi manusia internasional untuk menjadi norma hukum yang diatur melalui peraturan perundang-undangan.

Perumusan peraturan perundang-undangan untuk memperkuat tanggung jawab korpora-si untuk menghormati hak asakorpora-si manukorpora-sia adalah manifestakorpora-si dari kewajiban Negara untuk memenuhi hak asasi manusia. Kewajiban ini dilakukan melalui langkah-langkah progre-sif untuk pemenuhan hak. Langkah-langkah ini mencakup upaya legislatif, administratif, anggaran, dan juga dapat mencakup berbagai jenis tindakan. Kunci untuk kewajiban ini adalah untuk menciptakan lingkungan melalui berbagai perilaku yang sesuai. 50

Dalam hubungan antara tanggung jawab korporasi dalam operasi mereka dan kewajiban mereka untuk menghormati hak asasi manusia, telah ada sejumlah peraturan perundang-un-dangan yang sudah mengatur kewajiban tersebut. Jika dikategorikan, ada 4 aspek peraturan pe-rundang-undangan sebagai berikut: (1) perlindungan konsumen; (2) perlindungan lingkungan; (3) perlindungan pekerjaan; dan (4) perlindungan hak asasi manusia. Selain kewajiban untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia, kewajiban tersebut juga dapat dilak-sanakan melalui upaya Negara untuk memperkuat akses masyarakat untuk mendapatkan pemulihan dari dampak negatif kegiatan usaha.

Walaupun Indonesia telah memiliki peraturan, dan meratifikasi beberapa instrumen yang melindungi hak asasi manusia, dalam kenyataannya, pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan perusahaan-perusahaan masih terjadi. Dalam berbagai laporan hak asasi ma-nusia, perusahaan masih ditemukan sebagai salah satu aktor yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia. Salah satu alasan perusahaan melanggar hak asasi manusia adalah karena tidak ada standar dan pedoman yang mengikat, yang dapat digunakan sebagai pedoman dan memberikan arah tentang bagaimana seharusnya perusa-haan menjalankan bisnis mereka tanpa melanggar hak asasi manusia.

Salah satu cara untuk mencegah atau mengurangi pelanggaran hak asasi manusia oleh peru-sahaan adalah untuk mengembangkan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manu-sia yang bisa memberikan arahan kepada pemerintah untuk menjadikan perusahaan-peru-47) Rudi M. Rizki, op. cit, hal. 21

48) Rudi M. Rizki, ibid., hal. 22

49) Dampak horisontal berdasar pada teori bahwa norma-norma hak asasi manusia menciptakan kewajiban hukum antar individu. Negara juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa masing-masing individu atau kelompok dalam yurisdiksi negara tidak melanggar hak asasi manusia seseorang atau kelompok lainn-ya. Berdasarkan teori dampak horisontal, kewajiban ini bersifat antarmanusia atau antar kelompok manusia. Maka, berdasarkan teori ini, negara dapat dituntut pertanggungjawabannya atas tindakan yang dilakukan oleh seseorang, bila negara lalai atau menolak menghentikan pelanggaran hak asasi manusia. Konsekuensi hukum-nya adalah bahwa individu memiliki hak untuk mendapatkan pemulihan karena individu lain yang melanggar hak asasi manusia mereka. Lihat: Rudi M. Rizki, ibid., hal. 18-19

50) Gender, Human Rights and Culture Branch of the UNFPA Technical Division (GHRCB) & Program on International Health and Human Rights, Harvard School of Public Health, A Human Rights–Based Approach

(20)

sahaan sebagai salah satu aktor kunci dari kehidupan di Indonesia. Rencana Aksi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia diharapkan dapat memberikan arahan tentang peraturan apa yang harus disusun dan disesuaikan dengan tanggung jawab perusahaan untuk menghor-mati, melindungi, dan memberikan akses ke pemulihan hak asasi manusia.

Langkah awal untuk memperkuat RAN adalah dengan menjadikannya sebagai norma hu-kum yang dapat mengikat perusahaan-perusahaan untuk melakukan operasi mereka dengan menghormati hak asasi manusia. Dengan kata lain, RAN harus ditempatkan dalam hierarki sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:

Berdasarkan jenis dan hierarki di atas, RAN haruslah diubah menjadi norma hukum yang didasarkan pada jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu, Pasal 6 ayat (1) juga menyatakan bahwa prinsip-prinsip tersebut harus dicerminkan dalam materi muatan peraturan perundang-undangan. 51 Maka, RAN akan memiliki kekuatan

hu-kum bila dijadikan materi muatan peraturan perundang-undangan untuk mengendalikan dimensi hukum bagi bisnis dan hak asasi manusia.

Penempatan RAN ke dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dapat mem-perkuat efektivitasnya, karena akan menjadi norma perundang-undangan. Menurut Maria Farida Indrati S., merujuk pada pandangan D.W.P Ruiter, ada tiga unsur norma dalam pe-rundang-undangan, yaitu: 52

1. Norma hukum

Norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan bisa berupa: a. Perintah;

b. Larangan; c. Izin;

(21)

2. Norma yang berlaku di luar

Norma dalam perundang-undangan dibatasi oleh mereka yang bukan bagian organisasi pemerintah. Norma-norma ini adalah untuk masyarakat, baik dalam hubungan mereka dengan sesama, atau antara masyarakat dengan pemerintah.

3. Berlaku umum

Norma-norma perundang-undangan bersifat umum karena berlaku bagi semua orang atau semua warga negara secara keseluruhan. Norma-norma perundang-undangan secara luas dapat didefinisikan bahwa norma tersebut mengendalikan tindakan atau kejadian yang bersifat tidak pasti.

Lebih lanjut lagi, bila dilihat dari aspek-aspek muatannya yang akan mengatur perlindungan hak asasi manusia dari dominasi korporasi, prinsip-prinsip peraturan perundang-undangan yang dijelaskan dalam Pasal 6 ayat (1) yang akan direfleksikan dalam RAN memuat prin-sip-prinsip berikut ini:

1. Pengayoman; 53

2. Kemanusiaan; 54

3. Keadilan; 55

4. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; 56

5. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau 57

6. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. 58

Dalam konteks ini, pilihan untuk penempatan RAN dalam jenis dan hierarki peraturan pe-rundang-undangan dapat dilihat di bawah ini:

51) Pasal 6 ayat (1) UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memuat asas pengayoman, kemanusiaan, Bhinneka Tunggal Ika, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, serta keseimbangan, keserasian dan keselarasan.

52) Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta, Pener-bit Kanisius, 2007, hal. 35-36

53) Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-un-dangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.

(22)

Pilihan untuk menempatkan RAN dalam salah satu dari tiga jenis peraturan perundang-un-dangan: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden, didasarkan pada pertimbangan bahwa masing-masing bentuk peraturan ini bisa memperkuat efektivi-tas norma dalam RAN. Kesempatan, keunggulan dan kelemahan masing-masing pilihan ini dijelaskan sebagai berikut:

Jenis Peraturan

Perundang-un-dangan

Muatan Keunggulan Kelemahan

Undang-undang 1. Pengaturan lebih lanjut terhadap keten-tuan-ketentuan dalam UUD 1945 2. Perintah dari undang-undang untuk diatur oleh undang-un-dang 3. Pemenuhan ke-butuhan hukum dari masyarakat 1. Memperkuat mas-yarakat sebagai pemegang hak 2. Mengklaim hak

mer-eka untuk mendapa-tkan pemulihan dari dampak kegiatan usaha

3. Memperkuat tang-gung jawab hukum korporasi untuk menghormati hak asasi manusia 4. Memperkuat

pemer-intah sebagai pen-anggung jawab untuk mengendalikan perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia 5. Membuka akses masyarakat untuk berpartisipasi 1. Undang-undang yang merupakan produk konflik kepentingan (oligarki politik) 2. Dimensi politik dan ekonomi berpotensi men-dominasi pem-bahasan RUU (politik transak-sional

54) Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-un-dangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

55) Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undan-gan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.

56) Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasar-kan latar belaberdasar-kang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

57) Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Pera-turan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepas-tian hukum.

(23)

Peraturan

Pemerintah Muatan untuk melaksanakan suatu undang-undang dengan baik

1. Meminimalkan intervensi kepent-ingan partai politik (dimensi politik) 2. Substansinya tentang operasional 1. Mengurangi daya tawar masyarakat 2. Kepentingan pemerintah lebih dominan (dapat men-gakomodasi kepentingan korporasi) Peraturan

Presiden 1. Muatan yang diperintahkan oleh undang-un-dang 2. Muatan untuk menjalankan peraturan pe-merintah, atau 3. Muatan untuk melaksanakan kekuasaan pe-merintahan 1. Meminimalkan in-tervensi kepentingan partai politik (dimen-si politik)

2. Substansinya tentang operasional

3. Terdapat konven-si ketatanegaraan sebagai referensi (le-galitas RAN melalui peraturan presiden) 4. Ada praktik-praktik terbaik tentang RAN HAM yang dapat ditransformasikan ke RAN HAM lokal (dimensi otonomi daerah 1. Mengurangi daya tawar masyarakat 2. Kepentingan pemerintah lebih dominan (dapat menga-komodasi kepen tingan korpora-si Berlaku hanya dikalangan pemerintahan (eksekutif ) tidak mengikat pihak ketiga

58) Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara

(24)

Pilihan penempatan RAN dalam hierarki peraturan perundang-undangan, bila dikon-struksikan berdasar pendekatan berbasis hak, akan memungkinkan pemegang hak untuk mengklaim hak mereka dari para penanggung jawab. Di sisi lain, pendekatan ini juga bisa meningkatkan pertanggungjawaban pembuat kebijakan dan aktor-aktor lain yang tinda-kannya menimbulkan dampak hak asasi manusia. 59

Dalam kaitannya dengan meningkatnya peran korporasi untuk menghormati hak asasi ma-nusia, penempatan RAN sebagai undang-undang dapat dijustifikasi. Ini berdasarkan pada pandangan Departemen Kehakiman Hong Kong yang memandang bahwa formulasi un-dang-undang yang baik mesti memenuhi prinsip-prinsip minimum sebagai berikut:

1. Sebuah undang-undang diperlukan untuk kepentingan publik, dan pilihan-pilihan lain seperti kesepakatan sukarela atau non-regulasi seperti kode etik tidak dapat me-menuhi kebutuhan ini;

2. Semua implikasi utama dari rencana formulasi undang-undang ini, yang terkait dengan kebijakan, implementasi, hak asasi manusia, meningkatnya dampak terhadap Negara atau badan-badan tertentu, perjanjian yang menimbulkkan kewajiban, hukum dasar, sumber daya dan relasi dengan masyarakat sudah dipertimbangkan;

3. Formulasi undang-undang tidak boleh bertentangan dengan hukum dasar;

4. Pandangan para pemangku kepentingan lain yang terdampak harus dipertimbangkan. Penempatan RAN sebagai undang-undang diharapkan menjadi lex specialis yang bisa mengendalikan dimensi hak asasi manusia kegiatan korporasi di Indonesia. Lebih lanjut lagi, regulasi ini bisa merincikan dan memperkuat peraturan-peraturan lain terkait tanggu-ng jawab korporasi, seperti telah dimuat dalam UU No. 40/2007 tentatanggu-ng Perseroan Terba-tas. Tanggung jawab korporasi bisa dikonstruksikan berdasarkan pada prinsip ‘menembus tabir korporasi’. Teori tabir korporasi bisa diterapkan dalam kaitannya dengan tanggung jawab langsung mereka terhadap hak asasi manusia, terutama badan hukum korporat 60

dan tanggung jawab perseroan terbatas. 61 Dalam konstruksi undang-undang korporasi,

tanggung jawab terbatas ini diserahkan kepada pemegang saham dan organisasi korpo-rat,baik direktur maupun komisioner. Namun, tanggung jawab terbatas perusahaan ini dapat dituntut dengan menerapkan prinsip menembus tabir korporasi. Jadi, jika pemegang saham atau organisasi korporat melanggar hak asasi manusia, mereka dapat dituntut per-tanggungjawabannya.

Implementasi prinsip menembus tabir korporasi oleh pemegang saham berlaku bila me-menuhi ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, yaitu:

1. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;

2. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;

3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau

59) Celestine Nyamu-Musembi and Andrea Cornwall, What is the “rights-based approach” all about?

(25)

4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.

Prinsip menembus tabir korporasi dapat pula diterapkan terhadap organisasi korporat bila mereka melampaui kewenangan mereka, atau melakukan kelalaian yang merugikan pe-mangku kepentingan lainnya. Di sisi lain, dalam menuntut pertanggungjawaban korporasi, dapat diterapkan prinsip fiduciary duty. Dewan komisaris harus menjalankan kepenguru-san dan kewenangan untuk tujuan dan kepentingan perusahaan. Pasal 92 ayat (1) UU No. 40/2007 menyatakan bahwa direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Lebih lanjut lagi, ayat (2) menyatakan bahwa Direksi berwenang menjalankan pengurusan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang- Undang ini dan/atau anggaran dasar. Berdasarkan Pasal 97 ayat (2), setiap anggota dewan direksi bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perusahaan bila ia bersalah atau lalai dalam men-jalankan tugasnya. 62

Pelaksanaan prinsip-prinsip fiduciary duty juga dapat diterapkan kepada dewan komisaris yang memiliki tanggung jawab dengan niat baik, kejelian, tanggung jawab untuk melaku-kan peran pengawasan dan memberimelaku-kan nasihat kepada dewan direksi untuk kepentingan perusahaan dan maksud serta tujuan perusahaan. Namun, setiap anggota dewan komisaris bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perusahaan, jika ia bersalah atau lalai da-lam menjalankan tugasnya.

Penempatan RAN dalam suatu undang-undang juga dapat memperkuat prinsip tanggung jawab pidana perusahaan yang sudah diatur dalam beberapa peraturan perundang-un-dangan. Prinsip tanggung jawab perusahaan telah diadopsi secara luas dalam peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 5/1984 tentang Industri, UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal, UU No. 5/1997 tentang Psikotropika, UU No. 22/1997 tentang Narkotika, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5/1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi.

Alternatif lainnya adalah penempatan RAN dalam peraturan pemerintah. Peraturan pe-merintah disusun berdasarkan delegasi wewenang dari undang-undang. Pasal 12 UU No. 12/2011 menyatakan bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk men-jalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Berdasarkan penjelasan pasal ini, arti “menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya” adalah dengan penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Un-dang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur da-60) Berdasarkan teori hukum kepribadian korporasi, sebuah perusahaan memiliki pribadi bentukan yang diciptakan hukum yang dipisahkan dari pendiri, pemegang saham, manajer atau direkturnya. Setiap perusa-haan memiliki kapasitas hukum untuk melaksanakan hak-hak hukum mereka, seperti hak untuk mengajukan tuntutan dan untuk dituntut, terikat dalam kontrak, dan untuk memiliki atau melepaskan hak milik. Work-abeba Bekele Woldemelekot, Liability of Transnational Corporations for Indigenous Peoples Human Rights Violations, Tesis untuk Fakultas Pascasarjana, University of Tromsø, 2008, hal. 63

61) Pemegang saham memiliki tanggung jawab hukum yang terbatas berdasarkan jumlah saham yang mereka miliki. Hal serupa berlaku pada direktur dan komisaris perusahaan, yang tanggung jawabnya dibatasi oleh peraturan perusahaan.

(26)

lam Undang-Undang yang bersangkutan. Penempatan RAN sebagai peraturan pemerintah dimungkinkan karena fungsi peraturan pemerintah adalah untuk: 63

1. Pengaturan lebih lanjut mengenai isi undang-undang yang dinyatakan dengan tegas; 2. Pelaksanaan peraturan lainnya secara lebih lanjut berhubungan dengan

undang-un-dang terkait, meskipun tidak dinyatakan dengan tegas.

Berdasarkan fungsi-fungsi ini, peraturan pemerintah dapat dibuat untuk mengatur sesuatu hal jika telah ada undang-undang yang sudah mengatur hal yang sama. Ini berarti bah-wa peraturan pemerintah dapat disusun oleh Presiden bah-walaupun tidak ada perintah untuk mengambil tindakan tersebut. Oleh karena itu, RAN dapat difungsikan untuk mengatur ketentuan lebih lanjut dari UU No. 40/2007, terutama untuk mengatur tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia. Peraturan ini juga merupakan bagian dari upaya untuk mengatur prinsip menembus tabir korporasi dan kewajiban fidusia. Alternatif selanjutnya adalah menempatkan RAN dalam Peraturan Presiden. Berdasarkan pasal 13 UU No. 12/2011, materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintah-kan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanadiperintah-kan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun ti-dak tegas diperintahkan pembentukannya. Prinsip menembus tabir korporasi dan kewa-jiban fidusia sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan, termasuk pelanggaran hak asasi manusia, dapat menjadi materi dari peraturan presiden.

Dalam konteks ini, sudah ada konvensi ketatanegaraan yang mengatur lebih lanjut Un-dang-Undang melalui peraturan presiden. Peraturan Presiden No. 75/2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015-2019 adalah contoh dari konvensi keta-tanegaraan yang mengatur lebih lanjut norma hukum hak asasi manusia sebagaimana dia-tur dalam Undang-Undang No. 39/1999 tentang hak asasi manusia. Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) adalah dokumen yang memuat sasaran, strategi, prioritas fokus RANHAM, yang digunakan sebagai panduan untuk tingkat menteri, lembaga, dan pemerintah daerah dalam melaksanakan menghormati, melindungi, memenuhi, menegak-kan, dan mempromosikan hak asasi manusia di Indonesia. Berdasarkan peraturan ini pres-iden, menteri, lembaga, pemerintah daerah harus mengembangkan Aksi Hak Asasi Manu-sia yang diputuskan setiap tahunnya melalui koordinasi dengan Sekretariat Gabungan RANHAM. Pengaturan RANHAM melalui peraturan presiden dapat menjadi acuan untuk 62) Berdasarkan Pasal 97 ayat (5) UU Perseroan Terbatas, anggota dewan direksi tidak dapat dituntut pertang-gungjawabannya atas kerugian, apabila dapat membuktikan yang berikut ini:

1. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai den-gan maksud dan tujuan Perseroan;

3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan penguru-san yang mengakibatkan kerugian; dan

4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut 63) Maria Farida Indrati S, op. cit., hal. 221-222

(27)

menempatkan dan mengatur RAN untuk menjadi norma hukum dalam peraturan presi-den. Berdasarkan logika hukum dari pelaksanaan RANHAM, RAN juga dianggap sebagai kewajiban hukum dari menteri, lembaga, pemerintah daerah untuk mengembangkan RAN berdasarkan kewenangannya.

VI. Kesimpulan dan Rekomendasi

Globalisasi ekonomi mengangkat perusahaan sebagai aktor baru yang mengontrol bidang-bidang strategis yang dapat mengendalikan dan mengatur kehidupan ekonomi suatu negara. Perusahaan saat ini bahkan dapat menggantikan peran negara untuk menyediakan fasilitas dan layanan publik. Kekuatan korporasi begitu tinggi, sehingga meningkatkan dan memperluas hubungan yang tidak seimbang antara perusahaan dan masyarakat. Dalam beberapa kasus, pemerintah cenderung berada di sisi kepentingan korporasi yang tercermin melalui produk legislasi. Belakangan ini, peran pemerintah cenderung menurun ketika berhadapan dengan perusahaan. Situasi ini menyebabkan potensi pelanggaran hak asasi manusia karena masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi baik pemerintah maupun perusahaan yang masing-masing memili-ki kekuatan. Hubungan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat harus kem-bali seimbang melalui penempatan ulang peran pemerintah dalam mengembangkan hubungan dengan pasar. Dengan kata lain, Negara harus meningkatkan peran mereka dengan mempengaruhi perilaku sektor swasta. Upaya ini dapat diimplementasikan melalui intervensi pada pasar melalui peraturan perundang-undangan.

Perkembangan RAN Bisnis dan Hak Asasi Manusia merupakan langkah strategis untuk memperkuat peran pemerintah dan tanggung jawab korporat untuk menghormati dan me-lindungi hak asasi manusia. Oleh karena itu, RAN harus diubah menjadi norma hukum melalui pengembangan substansi RAN ke dalam peraturan perundang-undangan. Penga-turan RAN dalam peraPenga-turan perundang-undangan adalah upaya untuk lebih mengimple-mentasi ketentuan dalam Undang-Undang No. 40/2007 tentang kewajiban perseroan ter-batas, terutama tentang tanggung jawab korporat untuk menerapkan prinsip menembus tabir korporasi dan kewajiban fidusia. Ketika merujuk pada ketentuan UU No. 12/2011 ten-tang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka ada tiga alternatif penempatan RAN dalam hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. Untuk menempatkan RAN sebagai isi dari Undang-Undang; 2. Untuk menempatkan RAN sebagai isi dari Peraturan Pemerintah; 3. Untuk menempatkan RAN sebagai isi dari Peraturan Presiden.

(28)

Bibliografi

Alexander C. Chandra, A Dirty Word? Neo-liberalism in Indonesia’s Foreign Economic

Poli-cy, Trade Knowledge Network & International Institute for Sustainable, 2011

Anggun Trisnanto Hari Susilo, The Indonesian National Program for Communty

Empow-erment (PNPM) Rural: Decentralization in the Context of Neoliberalism and World Bank Policies, Institute of Social Studies, 2012

Celestine Nyamu-Musembi and Andrea Cornwall, What is the “rights-based approach” all

about? Perspectives from international development agencies, Institute Of Development

Studies, November 2004

Ruggie, John Gerard. Just Business: Multinational Corporations and Human Rights. (New York: W.W. Norton & Company, Inc.:2013

Danish Institute for Human Rights (DIHR) and International Corporate Accountable Roundtable (ICAR). National Action Plans On Business And Human Rights: A Toolkit For The Development, Implementation, And Review Of State Commitments To Business And Human Rights Frameworks

Dian Yanuardy, MP3EI dan Perubahan Radikal dari Peran Negara, dalam Dian Yanuardy, et.

al., MP3EI: Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia, Sajogyo

Institute, 2014

Didi Novrian dan Dian Yanuardy, Mantra MP3EI: Investasi... Investasi... Investasi!, dalam

Dian Yanuardy, et. al, MP3EI: Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia, Sajogyo Institute, 2014,

Gender, Human Rights and Culture Branch of the UNFPA Technical Division (GHRCB) & Program on International Health and Human Rights, Harvard School of Public Health, A Human Rights–Based Approach to Programming: Practical Implementation Manual and

Training Materials, UNFPA, 2010

Graf, Andreas. Developing National Action Plans on Business and Human Rights. (Swiss Peace: April 2013),

Huijstee, Mariette Van; Ricco, Victor; Chaturvedi, Laura Ceresna. How to use the UN Guiding Principles on Business and Human Rights in company research and advocacy: A guide for civil society organisations. (SOMO, CEDHA, Dividep India: 2012

Ivan Hadar, Jalan Ketiga, Bukan Sekedar Jalan Tengah, Serial Sejarah SosDem edisi 6 tahun 2, Juni-Agustus 2009

Kanishka Jayasuriya, Beyond new imperialism State and transnational regulatory governance

in East Asia dalam Vedi R. Hadiz (ed), Empire and Neoliberalism in Asia, Routledge, 2006 Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) Tentang Kondisi Hak Asasi Manusia Di Indonesia 2014 ”Menatap Ke Depan”

(29)

Manfred B. Steger and Ravi K. Roy, Neoliberalism A Very Short Introduction, Oxford Univer-sity Press, 2010,

Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yo-gyakarta, Penerbit Kanisius, 2007

Mo Ibrahim, Ketua Forum, Rangkuman diskusi Forum Bisnis dan Hak Asasi Manusia, A/ HRC/FBHR/2014/3

Noer Fauzi Rachman, et.al, MP3EI: Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis

Sosial-Ekol-ogis Indonesia, Laporan Penelitian Sajogyo Institute 2014 “Proses-proses Kebijakan dan

Konsekuensi dari MP3EI, Sajogyo Institute, Bogor, 2014

Rudi M. Rizki, Tanggung Jawab Korporasi Transnasional dalam Pelanggaran Berat HAM, PT Fikahati Aneska, 2012

Susan George, Republik Pasar Bebas: Menjual Kekuasaan Negara, Demokrasi, dan Civil

Soci-ety kepada Kapitalisme Global, Bina Rena Pariwara & INFID, Jakarta, 2002

Tjahjono, Budi. Presentasi. (Franciscans International) Jakarta, Indonesia, September 2014. A Treaty on Business and Human Rights

UN Working Group on Business and Human Rights. Guidance on National Action Plans on Business and Human Rights. (Desember 2014)

Waagstein, Patricia Rinwigati. Business and Human Rights in ASEAN: A Baseline Study. (HRRCA: 2013),

Workabeba Bekele Woldemelekot, Liability of Transnational Corporations for Indigenous Peoples Human Rights Violations, Tesis di Fakultas Ilmu Sosial, University of Tromsø, 2008

Internet

Airlangga Pribadi, Transmutasi Neoliberalisme di Indonesia,

http://indoprogress.com/2012/04/transmutasi-neoliberalisme-di-indonesia/

Civil Society: Maritime Shaft and Sea Toll Must Be Eco-Friendly and Socially Responsible: http://www.jatam.org/masyarakat-sipil-poros-maritim-dan-tol-laut-harus-ramah-lingkungan-dan-sosial/

So. Africa: Business and human rights country guide produced by So. African Human Rights Commission and DIHR, http://business-humanrights.org/en/so-africa-business-and-hu-man-rights-country-guide-produced-by-so-african-human-rights-commission-and-dihr Rencana-Rencana Aksi Nasional

http://www.ohchr.org/EN/Issues/Business/Pages/NationalActionPlans.aspx

Vedi R. Hadiz, Gerakan buruh mesti menjadi bagian dari perjuangan yang lebih luas, http://indoprogress.com/2013/03/prof-vedi-r-hadiz-gerakan-buruh-mesti-menjadi-bagi-an-dari-perjuangan-yang-lebih-luas/

(30)
(31)
(32)

Gambar

Tabel 1: Negara-negara yang sudah menyusun RAN  31
Tabel 2: Negara-negara yang sedang menyusun RAN  32

Referensi

Dokumen terkait

Dalam metodologi Penulisan akan diuraikan langkah-langkah dalam pembuatan peta laut kertas menggunakan perangkat lunak CARIS PCC 2.1 yang memiliki standar S-4 dan S-57,

Pemanfaatan media iklan dalam mencapai sasaran, diperlukan sebuah strategi yang terencana, jangan sampai biaya yang keluar terbuang dengan percuma, karena hal

Penatausahaan aset tetap sangat terkait erat dengan administrasi atas pengelolaan aset tetap. Masalah administrasi ini yang paling banyak dijumpai di hampir setiap

3 Hajar Lailatul Mufidah dan Devi Farah Azizah (2018) Pengaruh Rasio Aktivitas dan Rasio Leverage Terhadap Profitabilitas (Studi pada Perusahaan Sub Sektor Food

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisa Kadar Nikotin

produk yang tepat karena adanya penjabaran proses logistik ke dalam aktivitas-aktivitas, dari sinilah dapat diketahui pemacu biaya (cost driver) yang sesuai untuk

Hubungan tersebut nampak dalam (1) pesantren dengan kehormatan kiainya adalah kubu pertahanan NU baik dari segi keagamaan maupu strategi perjuangan, (2) NU

masyarakat Mandar di Kecamatan Sendana Kabupaten Majene ialah diantaranya: (1) penentuan calon dilihat dari akhlaknya yang baik (agama); (2) penjajakan dengan maksud