• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Hukum Perdata Internasional. tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berbeda. Pendapat lain yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Hukum Perdata Internasional. tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berbeda. Pendapat lain yang"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

20 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Perdata Internasional

1. Pengertian Hukum Perdata Internasional

Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata melewati batas negara, atau dengan kata lain, hukum yang mengatur hubungan antar pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berbeda. Pendapat lain yang dikemukakan oleh seorang ahli Hukum Perdata Internasional

(selanjutnya disingkat HPI) yakni Prof. R.H.Graverson17 yang

berpendapat bahwa:

“The Conflict of Laws, or private law, is that branch of law which deals with cases in which some relevant fact has a connection with another system of law on either territorial or personal grounds, and may, on that account, raise a question as to the application of ones’s own or the appropriate alternative (unsually foreign) law to the determination of the issue, or as to the exercise of jurisdiction by one’s own or foreign courts.”

Terjemahan “Conflict Law, atau Hukum Perdata Internasional adalah bidang hukum yang berkenaan dengan perkara-pekara yang didalamnnya mengandung fakta relevan yang menunjukkan perkaitan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena aspek teritorial maupun aspek subyek hukumnya, dan karena itu menimbulkan pertanyaan tentang penerapan hukum sendiri atau hukum negara lain atau masalah pelaksanaan yuridiksi badan peradilan sendiri atau badan peradilan asing.”

17 Sweet & Maxwel, Graveson, R.H., Conflict of Laws – Private Internasional Law, London, 7th edition, 1974, hal.3

(2)

21 Masalah- masalah pokok dalam HPI dalam perkembangannya didasarkan atas kenyataan adanya ko-eksistensi dari berbagai sistem hukum nasional yang memunculkan persoalan-persoalan sebagai berikut:

a. Kompetensi Relatif berkaitan dengan hakim atau badan peradilan mana yang berwewengan menyelesaikan perkara – perkara hukum yang mengandung unsur asing.

b. Hukum mana yang berlaku untuk mengatur dan menyelasikan perkara yang mengandung unsur asing.

c. Pengakuan terhadap putusan-putusan hakim asing atau putusan pengadilan asing

Dengan kata lain persoalan pokok menjadi titik berat HPI berkisar pada tiga persoalan diatas. Ketiga persoalan tersebut dikenal dengan istilah lex fori ( choice of jurisdiction ), lex causae ( masalah pilihan hukum atau choice of law ), dan pengakuan putusan pengadilan asing ( recognition of foreign judgements ).

2. Cakupan Hukum Perdata Internasional

Hukum Perdata Internasional penting untuk menentukan hukum mana, hakim mana, atau badan peradilan mana yang berwenangan menyelesaikan perkara - perkara hukum yang mengandung unsur asing. Namun ada banyak perdebatan tentang cakupan HPI sendiri. Bertitik tolak dari fungsi dari HPI yaitu menentukan hukum mana dan forum mana yang relevan dalam perkara perdata yang mengandung elemen asing pada dasarnya HPI merupakan bidang hukum yang relevan dengan

(3)

22 fungsi pengadilan (atau hakim) dalam penyelesaian sengketa-sengketa yang melibatkan lebih dari satu sistem hukum. Apabila secara teoritis ilmu pengetahuan HPI seakan-akan menyajikan berbagai teori dan atau metode pendekatan yang berbeda-beda untuk menjawab persoalan-persoalan hukum perdata yang mengandung unsur asing, di dalam

praktik teori-teori atau metode-metode itu sebenarnya tersedia untuk: 18

a. Dianut dan digunakan secara konsisten dan konsekuen di dalam sistem peraturan perundang-undangan HPI suatu negara dan menjadi bagian dari hukum positif negara yang bersangkutan. b. Dianut dan digunakan dengan mengombinasikan di dalam suatu

argumentasi yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan demi tujuan tertentu.

c. Dimanfaatkan secara bergantian, bergantung dari dorongan untuk memberikan keadilan dan kewajaran dalam keputusan hukum yang hendak dibuat.

d. Dimodifikasi dan dikembangkan menjadi metode-metode pendekatan baru dan atau unik disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang khusus.

3. Sumber-Sumber Hukum Perdata Internasional

HPI hakikatnya merupakan bagian dari hukum nasional, buktinya asas-asas HPI berusaha membentuk aturan-aturan (rules) yang sumber hukumnya dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum

18 Bayu Seto Hardjowahono S.H, LL.M., Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006 hal. 32

(4)

23 ditingkat nasional. Oleh karena itu hukum nasional menjadi salah satu sumber penting bagi HPI. Dalam praktik hukum nasional yang menjadi sumber HPI ini bisa bersifat terkodifikasi (codified) atau tidak terkodifikasi (not codified), Sumber HPI dikatakan dikatakan terkodifikasi apabila norma atau ketentuan HPI terhimpun dan terkompilasi dalam satu instrumen hukum (misalnya Undang-undang) sementara sumber HPI dikatakan tidak terkodifikasi kalau norma-norma tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur topik-topik spesifik.

Untuk Indonesia, sumber-sumber HPI belum terkodifikasi karena belum adanya undang-undang yang khusus memuat norma-norma

HPI.19 Oleh karena itu, sumber HPI Indonesia masih tersebar

diberbagai peraturan perundang-undangan seperti AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving), KUHPerdata, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, dan sebagainya. Selain Hukum nasional beberapa negara juga bisa menyepakati perjanjian internasional untuk mengharmonisasikan HPI mereka. Dalam hal demikian perjanjian internasional juga bisa menjadi sumber HPI. Perjanjian-perjanjian untuk mengharmonisasikan norma-norma HPI antara lain dibuat di antara negara-negara Eropa melalui perjanjian-perjanjian internasional yang berlaku secara regional.

19 Hingga sekarang baru ada RUU tentang HPI Indonesia, namun belum diadopsi menjadi undang-undang.

(5)

24 Sumber-sumber HPI terbagi menjadi sumber hukum formal dan material. Sumber hukum formal menetapkan apa yang merupakan hukum sedangkan sumber material hanya menunjukan di mana hukum

itu dapat ditemukan.20 Berikut dikemukakan secara lebih sistematis

tentang sumber HPI Indonesia: a. Hukum Nasional Indonesia.

Sumbernya HPI tersebar diberbagai peraturan perundang-undangan, tetapi sumber HPI yang utama di Indonesia adalah Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) khususnya Pasal 16, 17 dan 18. Pasal 16, 17 dan 18 AB merupakan kaidah penunjuk Hukum Perdata Internasional karena menunjuk pada suatu sistem hukum tertentu untuk berlaku. Dalam kaitan ini Indonesia masih menggunakan tiga pasal lama warisan Belanda yang belum terkodifikasi, yaitu Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 AB. Sementara itu, banyak aktivitas hukum warga negara Indonesia yang bersentuhan dengan warga negara asing, seperti pernikahan atau perceraian antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing di Indonesia atau di luar negeri. Sejauh ini Indonesia hanya memiliki rancangan undang – undang (RUU) HPI namun sampai sekarang belum dibahas dan diadopsi sebagai hukum nasional padahal terjadi sering terjadi kekosongan hukum dibidang ini. Banyak pakar hukum mengangap AB tidak relevan lagi, namun hakim sering

(6)

25 memakai AB sebagai kaidah hukum, namun di hukum perdata juga sering membatasi. Contoh : Pasal 935 BW tentang testament. Kaidah mandiri mengesampingkan kaidah penunjuk. Contoh : Pasal935BW mengesampingkan Pasal 18 AB. Berikut merupakan kaidah HPI dari AB yang sering digunakan:

Pasal 16 AB : lex partiae Pasal 17 AB : lex rei sitae Pasal 18 AB : lex loci actus

b. Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu: "law making treaties" dan "treaty contracts". "Law making treaties", adalah perjanjian internasional yang mengandung kaidah-kaidah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota masyarakat bangsa-bangsa, sehingga dengan demikian dikategorikan sebagai perjanjian-perjanjian

internasional yang berfungsi sebagai sumber hukum

Internasional. Sedangkan perjanjian internasional yang

digolongkan sebagai "treaty contracts" mengandung

ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan khusus antara pihak yang mengadakannya saja, sehingga hanya berlaku khusus bagi para peserta perjanjian. HPI dalam lingkup perjanjian internasional

(7)

26 tergolong treaty contracts yang tidak secara langsung menjadi sumber hukum umum dalam lingkup internasional, oleh karena itu HPI antar negara berbeda. Kecenderungan semakin pentingnya perjanjian internasional dalam mengatur berbagai persoalan, ternyata tidak hanya berlangsung dalam bidang hukum publik internasional saja, melainkan juga berlangsung dalam bidang Hukum Perdata Internasional juga. Indonesia juga memakai perjanjian internasional sebagai sumber hukum HPI seperti konvensi Den Haag 1968 mengatur tentang pengakuan perceraian dan hidup terpisah, tentang hukum yang berlaku untuk kecelakaan Internasional , tentang cara-cara pembuktian di luar negeri, dan tentang masalah-masalah umum dan dimasa yang akan datang. Sedangkan Konvensi Den Haag 1972 membahas tentang Product Liability.

c. Kebiasaan Internasional

Untuk dapat dikatakan bahwa kebiasaan Internasional itu merupakan sumber hukum perlu terdapat unsur – unsur sebagai berikut :

1) Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum , 2) Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum .

Agar kebiasaan Internasional itu merupakan sumber Internasional harus dipenuhi dua unsur , yang masing – masing dapat dinamakan unsur materiil dan unsur psychologis, yaitu kenyataan adanya kebiasaan yang bersifat umum dan

(8)

27 diterimanya kebiasaan Internasional itu sebagai hukum. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 38 ayat 1 sub b Piagam Mahkamah Internasional, dikatakan “International custom, as evidence of a general practice accepted as law”. Artinya hukum kebiasaan internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan

kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Jadi, tidak

semua kebiasaan dapat dijadilan sebagai sumber hukum internasional. Untuk dapat dikatakan sebagai sumber hukum internasional, sebuah kebiasaan internasional harus memenuhi unsur-unsur yaitu harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum, dan kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum. Keduanya harus terpenuhi. Tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum internasional jika keduanya atau salah satunya tidak dipenuhi. Dalam lingkup HPI kebiasaan dalam perkawinan sendiri sebut saja perkawinan hanya dapat dilakukan di depan saksi - saksi pernikahan untuk membuktikan perkawinan itu ada, perkawinan harus dicatatkan di negara berlangsungnya perkawinan, perkawinan harus

dilaksanakan dengan dihadapan pegawai pencatatan

perkawinan dan kebiasaan lainya.

B. Perkawinan Dalam Hukum Perdata Internasional 1. Pengertian Perkawinan

(9)

28 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI istilah “perkawinan” memiliki kata dasar “kawin” yang berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri (menikah), sedangkan perkawinan diartikan sebagai perihal (urusan dan sebagainya) kawin (pernikahan) yang sungguh-sungguh dilakukan

sesuai dengan cita-cita hidup berumah tangga yang bahagia.21

Pengertian perkawinan juga dapat dilihat dalam Pasal 1, dan 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang harus dilaksanakan sesuai agamanya masing-masing dan harus juga dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Perkawinan Dalam Lingkup Hukum Perdata Internasional

Sebagaimana dikemukakan diatas HPI pada dasarnya dipergunakan untuk menyelesaikan perkara-perkara perdata yang mengandur unsur asing. Unsur asing juga mungkin terdapat dalam perkawinan sehingga secara riil ada perkawinan yang berada dalam lingkup HPI. Perkawinan yang berada dalam lingkup HPI misalnya adalah perkawinan yang diselenggarakan di antara pasangan yang berbeda kewarganegaraan (dalam hukum perkawinan Indonesia disebut

(10)

29 “perkawinan campuran”), perkawinan yang diselenggarakan di luar negeri dan perkawinan yang diselenggarakan oleh pasangan berbeda kewarganegaraan di luar negeri. Karena mengandung unsur asing pengaturan perkawinan dalam lingkup HPI juga berkisar pada soal hukum yang berlaku (applicable law), pengadilan yang berwenang dan pengakuan putusan pengadilan asing yang menyangkut perkawinan.

Dibawah ini akan disajikan beberapa asas utama yang dikembangkan dalam bidang hukum keluarga/perkawinan untuk menentukan the applicable law dari persoalan tersebut. Perkawinan campuran dalam Undang-Undang Perkawinan Indonesia secara umum adalah Seorang warga Negara Indonesia kawin dengan seorang warga

Negara Asing22. Kemudian apabila melihat undang-undang Indonesia

yang belum terkodifikasi yang saat ini menjadi acuan dalam HPI di Indonesia (GHR, dan Algemene Bepalingen) mengenai orang yang melangsungkan perkawinan, tidak menunjukkan secara tegas antara siapa dengan siapa perkawinan itu dilakukan, sehingga timbul

kemungkinan 23:

a. Perkawinan dilakukan antara warga negara Indonesia

dengan warga negara asing di Indonesia.

b. Perkawinan yang dilakukan antara warga Negara asing dengan warga asing yang berada di Indonesia.

22 Saleh, Hukum Perdata Internasional, 1980, hlm 46

23 F.X. Suhandana, Hukum Perdata Buku Panduan Mahasiswa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hal 119.

(11)

30

c. Perkawinan itu dilakukan antara warga Negara Indonesia

sendiri yang kawin di luar Negeri.

Secara teoritis dalam HPI dikenal dua pandangan utama yang berusaha membatasi pengertian “perkawinan campuran”, yaitu :

a. Perkawinan yang berlangsung antara pihak yang berbeda

domisilinya sehingga terhadap masing-masing pihak berlaku kaidah hukum yang berbeda.

b. Pernikahan antara pihak yang berbeda kewarganegaraanya.

Berdasarkan definisi diatas, berikut ini adalah akibat yang ditimbulkan oleh perkawinan campuran. Beberapa asas yang berkembang dalam HPI tentang akibat perkawinan adalah bahwa akibat perkawinan tunduk pada :

a. Sistem hukum tempat perkawinan diresmikan.

Dalam hal ini yang dimaksud sistem hukum negara yang berlaku dimana perkawinan dilaksanakan termasuk syarat-syarat perkawinan di negara tersebut. Contoh: pasangan dari negara A menikah di negara B harus tunduk terhadap sistem negara B, dan memenuhi syarat perkawinan dalam UU yang berlaku di negara B.

b. Sistem hukum dari tempat suami-istri bersama-sama menjadi warga negara setelah perkawinan.

Hak dan kewajiban perdata seseorang WNA mengikuti dimana seseorang tinggal, itu berlaku juga dalam perkawinan. Hukum disetiap negara berbeda mengenai perkawinan, karena tidak

(12)

31 adanya keseragaman di bidang hukum mengenai perkawinan. Misal beberapa negara boleh melangsungkan pernikahan antara warga negara asli, warga negara asing, bahkan beberapa juga mensyaratkan persamaan kewarganegaraan. Kemudian pasangan yang tingal bertahun-tahun di negara bukan asal, dapat pengakuan warga negara karena terlah lama tinggal di negara tersebut. Contoh: pasangan warga negara A kawin di negara A kemudian berpindah warga negara ke negara B, kemudian negara B mewajibkan pendaftaran pernikahan untuk mengakui pernikahan tersebut menurut peraturan negara B.

c. Sistem hukum dari tempat suami istri berkediaman tetap

bersama setelah perkawinan atau tempat suami-istri berdomisili setelah perkawinan

Sebut saja contoh di Indonesia, pasangan WNA yang berdomisili di Indonesia walaupun sampai bertahun-tahun tidak di kategorikan sebagai WNI hanya mensyaratkan pendaftaran perkawinan, tapi tetap saja pasangan WNI yang “berdomisili” Indonesia tidak akan berpindah kewarganegaraan Indonesia walaupun sudah bertahun-tahun tinggal, karena Indoneisa menganut asas ius soli.

3. Asas-asas Pengaturan Perkawinan dalam Hukum Perdata Internasional

(13)

32 Dibawah ini merupakan asas-asas asing dalam pengaturan lingkup perkawinan dalam Hukum Perdata Internasional:

A. Kewarganegaraan (Lex Patriae)

a. Menurut suatu perjanjian internasional (traktat Den Haag

tahun 1902), syarat-syarat untuk melangsungkan

perkawinan campuran ditentukan oleh hukum nasional suami isteri. Di sini baik kewarganegaraan suami maupun kewarganegaraan istri menentukan syarat-syarat formal

untuk melangsungkan perkawinan, maka baik

kewarganegaraan suami maupun kewarganegaraan istri merupakan penentu hukum di berlakukan.

b. Pasal 2 Peraturan Perkawinan Campuran (S. 1898-158) mengatakan, bahwa sang istri mengikuti status hukum suaminya. Di sini kewarganegaraan suaminya akan menentukan kewarganegaraan istrinya. Dan hukum nasional

sang suami akan menentukan kemampuan

(handelingsbevoegdheid) daripada istrinya.

B. Domisili ( Lex Domicilii)

Asas ini terdapat dari Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) , pengertian domisili adalah tempat sesungguhnya seseorang hidup sehari-hari, sehingga kemampuan dan hak pribadinya dipandang sebagai suatu yang erat hubungan dan ikatan batinnya dengan tempat tinggal dan keluarganya. Domisili merupakan titik taut

(14)

33 penentu apabila negara yang menganut sistem domisili mengatur bahwa hukum yang seharusnya berlaku adalah hukum di mana para pihak atau badan hukum tersebut berdomisili. Lex domicilii matrimonium asas HPI yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dari tempat kediaman tetap setelah perkawinan.

C. Tempat/Letak Benda (Situs Rei)

Benda dalam perkawinan dalam bagian ini diartikan sebagai harta perkawinan, karena perkawinan terdapat unsur pengabungan harta bersama dan pemisahan antar harta pribadi sebelum perkawinan, sehingga perkawinan tentunya mengatur mengenai pembagian harta perkawinan. Hal ini khusus apabila letak harta perkawinan berada ditempat yang berbeda (beda negara). Untuk harta/benda tetap berlaku ketentuan, bahwa hukum dari tempat letaknya benda tersebut adalah hukum yang berlaku bagi hubungan-hubungan hukum yang menyangkut harta/benda tetap itu (Lex Rei Sitae/Lex Situs). Misalnya : Dalam harta/benda perkawinan mengenai sebuah rumah yang terletak di Singapura yang dimiliki oleh seorang WNI, akan diatur menurut hukum Singapura mengenai harta/benda tetap itu, sekalipun terhadap WNI yang berada di Indonesia mengenal asas hukum bahwa perkawinan/warisan diatur menurut hukum Indonesia.

(15)

34 Untuk harta/benda bergerak berlaku asas mobilia sequntuur personam, hukum yang berlaku terhadap harta/benda bergerak akan diatur menurut hukum nasional penguasa benda bergerak tersebut. Kadang-kadang letak harta/benda yang bersangkutan mengatur hubungan-hubungan hukum yang menyangkut barang-barang itu.

D. Tempat Perbuatan hukum yang bersangkutan dilangsungkan (locus actus) berlakunya asas lex loci celebrationis

Dalam perkawinan locus actus diartikan tempat dimana perkawinan/perjanjian perkawinan itu di laksanakan. Karena sebagian dari perkawinan di luar negeri merupakan bentuk suatu kontrak (contract of marriage). Kemudian Lex Loci Celebrationis adalah asas HPI yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum tempat di mana perkawinan diresmikan (locus celebrationis).

C. Perceraian Dalam Hukum Perdata Internasional 1. Pengertian Perceraian

Perceraian adalah berakhirnya perkawinan yang disebabkan oleh kematian,atau putusan pengadilan Dalam perceraian disesuaikan dengan ketentuan dalam undang-undang, maka istilah “perceraian” hanya ditujukan terhadap cerai “hidup” saja. Hukum Indonesia menjelaskan dalam Pasal 20 UU No. 1 Tahun 1974 tentang

(16)

35 Perkawinan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan

pengadilan melalui suatu gugatan perceraian. Jadi tidak

memungkinkan adanya perceraian yang dilakukan diluar pengadilan. Pengadilan yang berwenang untuk perceraian ini adalah pengadilan agama untuk yang beragama Islam, dan pengadilan negeri untuk yang tidak beragama Islam.

Menanggapi gugatan perceraian di pengadilan, pertama-tama hakim akan berusaha mendamaikan di antara suami istri yang akan bercerai tersebut. Jika usaha perdamaian di antara suami dan istri yang akan bercerai tidak berhasil, maka para pihak diperkenankan untuk bercerai setelah cukup alasan bahwa antara suami istri tidak dapat lagi hidup secara rukun sebagai suami istri, disamping itu harus memenuhi persyaratan perceraian di Indonesia. Alasan dapat diajukan perceraian

diantaranya sebagai berikut:24

a. Salah satu pihak melakukan zina atau menjadi pemabuk,

pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama minimal dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lainnya dan tanpa alasan yang sah atau karena hal diluar kemampuannya

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama

minimal lima tahun setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

24Dr. Munir Fuady, S.H., LL.M. , Konsep Hukum Perdata, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2015, hlm 23

(17)

36

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dan

tidak dapat menjalani kewajiban sebagai suami istri.

f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan, dan

pertengkaran sehingga tidak ada harapan lagi akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Kemudian akibat putusnya perkawinan akibat perceraian dibahas dalam Pasal 41 UU No. 1 tahun 1974 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian sebagai berikut :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan

mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan si anak.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak itu.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk

membiayai penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian juga berpengaruh pada pembagian harta yang bersama yang di dapat dari perkawinan dibagi menurut hukum masing-masing (Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Yang dimaksut hukum masing-masing disini menurut penerapan yang sering terjadi yakni menurut KUHPerdata/BW sering dipakai bagi bukan muslim, atau perkawinan campuran, menurut Hukum

(18)

37 Islam apabila beragama Islam, dan Hukum Adat apabila perkawinan tersebut berlangsung dilingkup adat.

2. Perceraian Dalam Lingkup Hukum Perdata Internasional

Perceraian yang mengandung unsur asing adalah perceraian yang dilakukan terhadap perkawinan dengan kewarganegaraan pasangan yang berbeda, domisili yang berbeda, kemudian locus actus di negara asing. Dalam hal ini terdapat ketidak jelasan hukum dimana apabila perceraian WNA yang telah kawin di luar negeri namun bercerai di Indonesia tidak diatur secara khusus dalam Hukum Indonesia saat ini, namun Indonesia sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang mengenai permasalahan HPI, karena dalam kasus pasangan WNA yang berdomisili di Indonesia tidak diatur dengan jelas. Sehingga mengenai perceraian dengan segala akibat hukumnya, di dalam Hukum Perdata Internasional berkembang beberapa asas yang menyatakan bahwa hal tersebut harus diselesaikan berdasarkan sistem

hukum dari tempat:25

a. Sistem hukum tempat perkawinan diresmikan atau

dilangsungkan (lex loci celebrationis)

Pengertian Lex Loci Celebrationis yaitu hukum yang berlaku bagi sebuah perkawinan adalah sesuai dengan hukum tempat perkawinan itu dilangsungkan. Dalam asas Lex Loci Celebrationis apabila terjadi perceraian hukum yang berlaku,

25

(19)

38 dan tempat diajukan perceraian adalah dimana perkawinan tersebut di laksanakan. Contoh: Pasangan melangsungkan perkawinan di negara A, kemudian memutuskan bercerai walaupun pasangan tersebut saat ini terpisah antar negara menurut asas HPI ini maka perceraian haruslah di negara A, dan tunduk dalam hukum negara A.

b. Sistem hukum dari tempat suami-isteri bersama-sama menjadi warga negara setelah perkawinan.

Sistem hukum ini menganut dimana pasangan tersebut terakhir menjadi warga negara setelah terjadi perkawinan, dimaksudkan disini adalah pasangan yang memilih warga negara tempat berlangsungnya perkawinan/kediaman terjadi perpindahan kewarganegaraan akibat perkawinan. Contoh: Pasangan berbeda warga negara antara negara A, dan negara B. Kemudian mereka bersepakat menikah di negara A dan berdomisi di negara A padahal negara A mewajibkan seorang yang menikah di negara A harus memiliki kewarganegaraan

yang sama. Istri atau suami melakukan pindah

kewarganegaraan, kemudian memutuskan cerai maka

perceraian, pembagian harta, dilakukan tunduk di negara A, sebut saja dalam kasus ini negara Jerman.

(20)

39

c. Sistem hukum dari tempat suami isteri berkediaman tetap

bersama-sama setelah perkawinan (habitual residence) atau tempat suami berdomisili tetap setelah perkawinan

Habitual residence disebutkan dalam kovensi Den Haag 1968 serta yang menganut sistem hukum ini adalah rata – rata peserta konvensi. Habitual residence mengacu pada domisili sekarang dimana perceraian pasangan diajukan. Contoh: pasangan melangsungkan perkawinan dan berkewarganegaraan di negara A, setelah perkawinan kemudian pasangan tersebut dalam dua tahun berdomisili ke negara B sebut saja karena liburan, namun ketika di negara B terjadi perceraian, dan negara B harus memutuskan perkara perceraian pasangan tersebut karena terlah memiliki Habitual residence di negara B.

d. Tempat diajukannya perceraian (lex fori)

Lex fori mengacu hukum di mana tempat diadakan atau diajukan nya perbuatan-perbuatan hukum. Contoh: Suami warga negara negara A, istri warga negara B, mereka menikah di negara C, kemudian gugatan perceraian di ajukan ke negara A, maka negara A yang menganut Lex Fori dapat memutuskan perceraian tersebut.

.

3. Asas-Asas Pengaturan Perceraian dalam Lingkup Hukum Perdata Internasional

(21)

40 Berbagai negara di dunia memiliki peraturan perceraian yang berbeda satu sama lainnya. Keadaan ini berakibat bahwa dalam masalah mengenai perceraian, tiap negara akan beralasan dengan menerapkan azas ketertiban umum atau public policy.

Hampir semua perceraian internasional melibatkan kompleksitas yang membuat perceraian ini jauh lebih menarik daripada perceraian biasa yang melibatkan warga negara asing. Sering terjadi ada konsekuensi imigrasi, atau implikasi tentang kewarganegaraan. Dalam hampir setiap perceraian internasional, ada pertanyaan tentang yurisdiksi. Pengadilan dan hukum nasional dari setidaknya dua negara akan terlibat, dan mungkin lebih jika pasangan tinggal di negara-negara asing lainnya juga. Tentunya cara “melawat ke luar negeri” ke tempat-tempat buitenlandse heistellingsoorden ini secara geografis terbatas kepada kelompok negara-negara tertentu yang letaknya berdekatan, karena hanya kadang-kadang saja, orang-orang yang finansiilnya kuat sekali kedudukannya, yang mampu untuk melancong ke negara-negara jauh, khusus untuk memperoleh perceraian ini. Karena bertambah mudahnya lalu lintas internasional dewasa ini kemungkinan forum shopping juga bertambah.26 Forum shopping dalam hukum internasional memiliki arti penyelundupan hukum yang dapat memilih sesuai dengan kebutuhan yang bertujuan untuk mencari keutungan para pihak.

(22)

41 Perbedaan yang demikian besar dalam perundang-undangan perceraian dari berbagai negara, nyata pula kecondongan kepada lex fori. Persoalan perceraian dalam Hukum Perdata Internasional ini menjadi berubah sifatnya menjadi persoalan yurisdiksi. Dengan demikian, dalam menghadapi perceraian internasional, suatu negara cenderung untuk menyelesaikannya berdasarkan lex fori dengan

mempergunakan hukum nasionalnya sendiri.27 Pasal 3 AB hanya

menentukan, bahwa selama oleh undang-undang tidak ditentukan lain, maka hukum perdata dan hukum dagang adalah sama bagi warga negara dan orang asing. Pada umumnya kewarganegaraan tidak dipakai untuk menentukan kompetensi. Domicilie lah yang dipergunakan sebagai patokan. Hal ini memang sejalan dengan apa yang umum diterima dalam sistem-sistem Hukum Acara Perdata Internasional dari negara-negara lain di dunia ini. Dalam pasal-pasal yang tersebut di atas, dipergunakan “tempat kediaman” (woonplaats) sebagai yang menentukan yurisdiksi pengadilan. Bilamana hendak dipertahankan asas nasionalitas, maka hal ini juga dapat dilakukan dengan menerima suatu kombinasi antara asas domisili dan nasionalitas ini. Misalnya dapat ditentukan bahwa asas nasionalitas ini akan dipertahankan terhadap orang-orang asing yang belum 2 (dua) tahun menetap di Indonesia. Apabila mereka sudah lebih dari 2 (dua) tahun menetap di Indonesia, maka tidak

27

(23)

42 akan dipakai lagi hukum nasional mereka berkenaan dengan status personal, hukum Indonesialah yang berlaku.

Konvensi Den Haag 1968

Permasalahan perceraian internasional ini ternyata telah diupayakan penyelesaiannya pada konferensi tentang Hukum perdata Internasional ke sebelas yang diselenggarakan di Den Haag tanggal 7 sampai 26 Oktober 1968. Pada konferensi tersebut telah diterima suatu Konvensi tentang pengakuan keputusan perceraian dan pisah hidup (Conventions on the recognition of divorces and legal separations). Konferensi Den Haag inilah yang pertama kali

dimana RI turut serta pula, walau baru sebagai “observer”.28

Konvensi mengenai pengakuan perceraian ini telah diterima setelah mengalami kesulitan dan perdebatan yang hangat. Terutama karena di antara negara-negara anggota terdapat negara-negara yang tidak mengenal perceraian seperti Itali dan Spanyol. Di lain pihak, negara-negara yang dianggap menurut hukumnya “terlampau mudah” memberikan “perceraian”, yakni negara-negara yang mengenal sistem talak seperti Israel, juga menimbulkan persoalan bagi berbagai negara yang mengenal sistem lebih strict dalam

meluluskan perceraian ini.29 Menghindarkan perceraian-perceraian

pincang dan memudahkan hak untuk menikah kembali inilah yang

28 Ibid, hal. 13

(24)

43 merupakan tujuan utama Konvensi Den Haag pada Konferensi

ke-11 tahun 1968 ini.30

Konvensi ini hanya akan memakai sistem apa yang dinamakan “Convention Simple”. Pada Konvensi semacam ini maka tidaklah oleh Konvensi dibebankan suatu peraturan kompetensi yang demikian mengikatnya hingga para hakim dari negara-negara peserta akan harus mengucapkan sendiri perceraian atau hidup terpisah, tetapi ia hanya wajib untuk mengakui perceraian-perceraian yang telah diucapkan oleh instansi dari negara peserta lainnya berdasarkan ketentuan-ketentuan yurisdiksi yang telah

ditentukan dalam Konvensi yang bersangkutan.31 Untuk menjamin

bahwa jumlah ratifikasi Konvensi ini bisa menjadi sebesar mungkin diadakan pembatasan pula dari berlakunya Konvensi yang bersangkutan, hingga tak termasuk di dalamnya perintah-perintah yang kondemnatoir dan menyertai suatu keputusan cerai, misalnya mengenai kewajiban memberikan nafkah atau mengenai kewajiban finansial berkenaan dengan anak-anak dan pendidikan serta

pemeliharaan anak.32 Tujuan konvensi ini ialah menjamin bahwa

keputusan-keputusan cerai dan hidup terpisah dalam negara peserta yang satu dijamin pengakuannya dan realisasinya (misalnya untuk menikah lagi) dalam negara-negara perserta lainnya. Hakim negara-peserta X tidak akan menguji mengenai hukum yang telah dipergunakan oleh hakim negara Y tempat perceraian telah

30 Sudargo Gautama [3], Op.Cit., hal. 222 31 Ibid hal 14

(25)

44 diucapkan. Yang hanya diperhatikan ialah kontrol secara terbatas. Dalam rangka menjembatani dua asas ekstrim antara negara-negara yang sistem hukumnya sama sekali tidak mengenal perceraian (seperti Italia dan Spanyol) dan negara-negara yang sistem hukumnya sangat mempermudah perceraian (Israel dan negara-negara islam), dalam Konvensi Den Haag 1968 tentang pengakuan perceraian telah berhasil disetujui perumusan-perumusan sebagai berikut :33

 Pasal 1, mengenai keputusan perceraian dan pisah hidup yang

telah diakui oleh salah satu negara peserta, akan diakui pula oleh negara peserta lainnya

 Pasal 2, mengenai masalah kompetensi ditentukan bahwa

keputusan perceraian dan pisah hidup yang diputuskan di salah satu negara peserta akan diakui pula oleh negara peserta lainnya bila pada waktu dimulainya proses perkara di negara yang memberikan keputusan dipenuhi salah satu persyaratan sebagai berikut :

1. Pihak tergugat mempunyai “habitual residence” di negara tersebut.

2. Pihak penggugat mempunyai “habitual residence” di negara tersebut, di samping itu memenuhi salah satu syarat di bawah ini :

33 Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, 1997, Sendi-Sendi Hukum Perdata Internasional Suatu Orientasi, Raja Graindo Persada, Jakarta, hal. 50

(26)

45 a. “habitual residence” tersebut telah berlangsung tidak kurang dari setahun sebelum dimulainya perkara

b. “habitual residence” terakhir suami-isteri adalah negara tersebut.

3. Kedua mempelai adalah warga negara dari negara bersangkutan, atau

4. Penggugat adalah warga negara dari negara tersebut, dengan memenuhi salah satu syarat sebagai berikut :

a. Penggugat mempunyai “habitual residence” di negara tersebut

b. Penggugat telah mempunyai “habitual residence” di negara tersebut secara terus menerus selama setahun, dalam jangka waktu 2 tahun sebelum dimulainya perkara.

5. Penggugat adalah warga negara dari negara tersebut, dan memenuhi salah satu syarat sebagai berikut :

a. Penggugat berada dalam negara tersebut pada waktu dimulainya perkara.

b. “habitual residence” terakhir suami-isteri berada pada suatu negara, yang pada waktu dimulainya

perkara, tidak mengenal perceraian.34

(27)

46 Biasanya kalau timbul percekcokan, masing-masing kembali ke negara bersangkutan. Jadi tidak dapat dipakaikan hukum yang dimaksudkan tadi. Dalam hal demikian dipakailah lex fori. Tetapi harus diperhatikan, di sini hanya dipakai suatu ‘jalan keluar yang darurat’. Pokoknya ialah:

1. Jika ada kewarganegaraan yang sama, akan dipakai hukum nasional para pihak

2. Jika kewarganegaraan berbeda, dipakai hukum dari domisili bersama (maatschappelijke woonplaats)

3. Jika kewarganegaraan berbeda, tidak dapat menunjuk kepada hukum nasional tertentu. Dengan demikian pihak hakim adalah bebas untuk menganut pendirian lain. Dalam hal ini pada tempatnya untuk meletakkan titik berat atas tempat

tinggal bersama yang terakhir. 35

Dengan adanya pemecahan demikian ini, tampaklah berkurang kemungkinan timbulnya perkawinan pincang (hinkende huwelijken, matrimonium claudicantia) yang artinya perkawinan yang telah diputuskan dengan cerai di negara forum, tetapi masih belum terputus di negara nasional para mempelai. Kiranya cara-cara penyelesaian yang diusulkan ini, mutatis mutandis dapat pula dipergunakan untuk penyelesaian dari perkara-perkara perceraian

di Indonesia.36 Berbagai ketentuan tersebut di atas dilakukan untuk

mencegah ‘forum shopping’ secara tidak sepantasnya. Tetapi,

35 Ibid, hal. 309

(28)

47 tendensi yang nyata ialah untuk sedapat mungkin meluaskan bidang pengakuan dari putusan-putusan cerai yang sudah diperoleh di luar negeri.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis data dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara kurs Rp/US$ sebelum kenaikan BBM 1 Oktober 2005 dan sesudah kenaikan harga BBM 1 Oktober 20051. Nilai kurs

Dari hasil pengamatan rata-rata suhu terendah dan angka kejadian hipotermi kami dapatkan bahwa suhu tubuh pasien akan. semakin turun seiring dengan per.ialanan

Hasil ini memperlihatkan bahwa semakin besar konsentrasi microcide mengakibatkan semakin menurun intensitas serangan jamur biru pada kayu karet, hal ini disebabkan

Penggunaan Media Pembelajaran Alat Peraga terhadap Hasil Belajar Matematika Materi Kubus dan Balok pada Siswa Kelas VIII MTs Negeri Aryojeding. Pengaruh ( Contextual

The stages involved in chip removal are: workpiece moves relative to a cutting edge, which then penetrates the surface, the workpiece material near the

5 pabrik memproduksi susu sereal dari Surakarta, Bandung, Medan, Jakarta dan Surabaya akan mendistribusikan produk tersebut ke 3 pasar di kota

Pangkat Pendidikan Terakhir DATA HAKIM DAN PEGAWAI.. PENGADILAN TINGGI/TIPIKOR BANDA ACEH PER 3 0 SEPTEMBER

This suggests greater recruitment and reliance on parietal regions than that seen in the control group and implies, as in previous literature (Kamio and Toichi 2000; Toichi and Ka-