• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENUTUP. Status terkini lahan gambut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENUTUP. Status terkini lahan gambut"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

1Markus Anda dan 2Fahmuddin Agus

12 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114.

2 Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Cimanggu, Bogor 16114.

Buku ”Lahan gambut Indonesia: Pembentukan, Karakteristik, dan Potensi Mendukung Ketahanan Pangan” yang mencakup sepuluh Bab telah membahas berbagai aspek gambut mulai proses pembentukan, penggunaan lahan, faktor pembatas pertanian, pengelolaan dengan penerapan berbagai teknologi hasil penelitian dan kearifian lokal, kontribusi ekonomi dan kebijakan yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan ekosistim. Secara mendalam aspek teknis, sosial ekonomi dan lingkungan untuk memanfaatkan lahan gambut sebagai kekayaan sumberdaya alam dan pengelolaannya secara lestari diungkapkan berdasarkan informasi hasil penelitian yang tersedia saat ini yang dihasilkan lembaga penelitian dan perguruan tinggi.

Tekanan peningkatan jumlah penduduk yang tidak terhindarkan dan lahan mineral yang semakin terbatas memaksa pemerintah untuk mencari solusi pemenuhan kebutuhan pangan nasional dengan memanfaatkan lahan gambut secara selektif berdasarkan penilaian kesesuaian dan kemampuan lahannya. Dilema persaingan antara permintaan pangan, pembangunan dan lingkungan adalah isu global kontroversial yang tetap menjadi perdebatan hangat.

Tuntutan kebutuhan pangan dunia menempati urutan pertama dari delapan butir “Millennium Development Goals” (MDGs) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 2000. Butir pertama dari MDGs adalah pengentasan kelaparan ekstrim dan kemiskinan (eradication of extreme hunger and poverty). Peningkatan permintaan pangan terus meningkat akibat pertambahan penduduk dunia yang terus bertambah dan diprediksi mencapai sembilan miliar pada tahun 2050. Implikasinya tiap negara berusaha untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dan membantu negara yang tidak mampu. Penduduk Indonesia pada tahun 2050 diperkirakan mencapai 480 juta (Bab 10), saat ini jumlah penduduk sekitar 250 juta menempati urutan terbesar ke-4 setelah China, India, dan USA. Untuk memenuhi peningkatan kebutuhan pangan, serat dan energy, selain intensifikasi pertanian diperlukan perluasan areal pertanian.

Status terkini lahan gambut

Luas lahan gambut Indonesia berhasil diinventarisasi dan dipetakan mencapai sekitar 14,9 juta hektar (Bab 2) adalah kekayaan sumderdaya alam yang mempunyai multi-fungsi yaitu produksi, penyimpan dan mengatur tata air, habitat keragaman hayati,

(2)

penyimpan karbondan berfungsi ekonomi. Dari 14,9 juta hektar luas lahan gambut Indonesia, penutupan lahan berupa hutan adalah seluas 8,3 juta hektar ( 55,5%), semak belukar 3,8 juta hektar (25,5%), kebun kelapa sawit 1,54 juta hektar (10,3%), dan areal pertanian 0,7 juta hektar (4,7 %) (Bab 5). Berkurangnya fungsi lahan gambut diakibatkan oleh alih fungsi, tindakan drainase dan kebakaran (Bab 5). Lahan gambut dibuka dan ditinggal terlantar (Bab 5, 6, dan Bab 10) akibat ketidak tahuan, kekurangan modal, dan hambatan status lahan untuk pengelolaan gambut.

Kenyataan yang dihadapi sekarang adalah lahan potensial subur (optimal) sudah tidak tersedia sehingga pilihan hanya ada untuk lahan marginal (sub-optimal) dengan produktivitas rendah dan mempunyai banyak faktor penghambat pertumbuhan tanaman serta rentan menyebabkan kerusakan lingkungan apabila lahan diganggu ekosistemnya. Oleh karena itu perlu pemanfaatan lahan gambut secara selektif berdasarkan penilaian kesesuaian lahan untuk menghindari terjadinya kerusakan gambut dan lahan bongkor (idle

land) yang timbul akibat salah kelola.

Pemetaan lahan gambut yang ada didominasi oleh peta skala 1:250.000 (Bab 2 dan Bab 3). Inventarisasi lahan gambut pada skala semi detail (1:50.000) masih sangat terbatas. Ke depan informasi ketersediaan lahan gambut memerlukan data yang lebih akurat dan diperoleh secara cepat melalui kombinasi teknologi digital (citra satelit), geo-spasial, survei lapang dan validasi lapangan (ground survey/ground truth) seperti yang disarankan dalam Bab2 tentang percepatan pemetaan lahan gambut dan revisi peta gambut secara berkala (tiap 5-10 tahun).

Tantangan yang perlu mendapat perhatian serius penggunaan lahan gambut untuk pertanian adalah rekonsiliasi antara permintaan pangan, pembangunan dan isu lingkungan. Pembatas kesesuaian lahan dan resiko kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dalam pemanfaatan lahan gambutdapat dikendalikan dan diminimalkan jika pengelolaan lahan gambut dikelola menggunakan pengetahuan dan teknologi berbasis penelitian ilmiah (scientific research based) untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Hasil penelitian sudah mengidentifikasi bahwa kendala utama lahan gambut untuk berbagai tanaman non-akuatik adalah genangan dalam kondisi alamiah, daya dukung beban rendah (low bearing capacity), pH tanah sangat masam, status kesuburan rendah, adanya bahan substratum kuarsa dan lapisan pirit yang beracun bagi tanaman dan rentan kebakaran dalam keadaan kering (Bab 2, 3, 6, 7, dan 10). Pembuatan saluran drainase merupakan langkah awal sebagai syarat utama untuk mengatasi genangan. Walaupun pembuatan saluran dapat mengatasi faktor genangan tetapi usaha perbaikan lahan ini juga menimbulkan efek samping berupa peningkatan emisi GRK dan penurunan permukaan gambut (subsidence). Masalah ini dapat diminimalkan dengan mengatur kedalaman permukaan air tanah yang dikontrol dengan pemasangan pintu air.

Informasi hasil penelitian yang disajikan dalam Bab 5, 6 dan 10menunjukkan bahwa pengelolaan kedalaman muka air lahan gambut memungkinkan berbagai tanaman non akuatik berproduksi dan dari aspek lingkungan dapat mengurangi emisi GRK. Kedalaman

(3)

muka air tanah bisa diatur bervariasi antara 0 sampai 70 cm dari permukaan tergantung jenis tanaman. Muka air tanah untuk tanaman pangan dan sayuran cukup 40 cm sedangkan tanaman tahunan seperti sawit memerlukan 50-70 cm kedalaman muka air tanah. Pemasangan pintu air sistem tabat atau tabat bertingkat sudah terbukti berhasil untuk mengendalikan fluktuasi muka air tanah gambut. Selain untuk tujuan produksi, pengaturan kedalaman muka air tanah juga berperan untuk mencegah terjadinya kebakaran gambut.

Masalah kesuburan lahan gambut meliputi kemasaman yang tinggi, kahat hara makro P, K, Ca, Mg, dan hara mikro Cu, Zn, dan Bo (Bab 6). Teknologi ameliorasi dan pemupukan dapat mengatasi masalah kemasaman tanah, keracunan senyawa organikdan kekurangan unsur hara. Ameliorasi (pemberian tanah mineral, pengapuran,pemberian abu volkan), pemupukan (pupuk gambut dan pupuk kimia lainnya), dan pemilihan jenis tanaman yang adaptif dengan kondisi dan sifat lahan gambut disarankan untuk mengatasi masalah gambut (Bab 10). Pemberian kapur pertanian, tanah mineral dan pupuk dapat dilakukan untuk meningkatkan pH dan kandungan basa-basa tanah. Pada tanaman perkebunan, di samping pengaturan kedalaman muka air tanah, perlu diterapkan teknologi pemadatan tanah untuk meningkatkan daya menahan beban lahan gambut.

Teknologi warisan (indigenous knowledge) yang digunakan petani untuk meningkatkan produksi pertanian yang ramah lingkungan meliputi cara memilih lokasi usahatani, penyiapan lahan, pengelolaan kesuburan tanah, penataan lahan, pengelolaan air, dan pemilihan komoditas.

Keadaan ekonomi petani yang mengandalkan lahan gambut sebagai sumber pendapatan berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan memberikan sumbangan terhadap devisa negara (Bab 8). Hampir setiap usahatani yang dikelola dengan baik memberikan keuntungan yang layak secara ekonomi. Tanaman sawit, karet dan nenas punya potensi ekonomi yang tinggi di lahan gambut. Pengelolaan sawit yang tepat, telah memberikan hasil memuaskan. Produksi yang dicapai berkisar antara 24-28 t TBS/ha/tahun (Bab 10).

Pengembangan Gambut ke Depan

Inpres No. 6 Tahun 2013 tentang penangguhan pemberian izin pengelolaan lahan gambut akan berakhir pada tahun 2015 (Bab 9 dan Bab10). Oleh karena itu, diperlukan adanya rumusan strategis penggunaan lahan gambut ke depan. Kriteria ketebalan gambut perlu ditinjau kembali untuk memungkinkan daerah-daerah yang dominan lahan gambutnya memanfaatkan lahan untuk tujuan ekonomi dengan tetap menjaga kualitas lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang baru. Pengembangan lahan gambut ke depanharus berpedoman pada konsep pembangunan yang bersifat “konstruktif-adaptif”. Pengalihan fungsi lahan gambut untuk keperluan pertanian harus berdasarkan kesesuaian dan kemampuan lahan serta penggunaan teknologi yang sesuai (Bab 10).

(4)

Pengembangan gambut ke depan diarahkan untuk tidak membuka hutan gambut baru tetapi menggunakan lahan gambut yang sudah terdegradasi. Luas hutan rawa gambut terdegradasi terdapat di Sumatera sekitar 2,03 juta ha, Kalimantan 1,31 juta ha dan Papua 0,40 juta ha. Lahan tersebut umumnya hanya ditumbuhi oleh semak belukar dan/atau rumput-rumputan, serta telah mengalami degradasi fungsi hidrologi, produksi, dan fungsi penyimpan karbon akibat aktivitas manusia yang tidak mengindahkan kaidah konservasi (Bab 9 dan Bab 10). Strategi pemanfaatkan lahan gambut terdegradasi menjadi lahan pertanian adalah memanfaatkan lahan gambut yang telah terdegradasi/terlantar dengan penerapan teknologi berwawasan lingkungan seperti pengelolaan air, ameliorasi, pemupukan, dan pemilihan jenis tanaman yang sesuai.

Pemanfaatan lahan gambut yang ditumbuhi semak belukar untuk tanaman perkebunan dapat meningkatkan nilai ekonomi lahan dan cadangan karbon biomasa lahan gambut dari 19 t C/ha menjadi 38 t C/ha, atau setara dengan penyerapan (sequestration) sekitar 70 t CO2/ha dari atmosfir (Bab 5). Hasil penelitian pada lahan gambut di Provinsi

Jambi menunjukkan bahwa emisi yang bersumber dari lahan gambut yang telah dikelola untuk perkebunan kelapa sawit berkisar antara 34-38t CO2/ha/tahun (Bab 5).

Diperlukan pemberian insentif kepada petani untuk merehabilitasi dan memanfaatkan lahan gambut terdegradasi untuk usahatani yang menerapkan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan untuk mendorong terciptanya ekosistim yang seimbang, meminimalkan risiko kebakaran dan menambah nilai guna lahan gambut. Insentif berupa bantuan sarana dan prasarana produksi dari pemerintah serta kemudahan akses modal dan pemasaran, serta pemberian hak guna usaha kepada petani kecil (smallholders) perlu direalisasikan

Penelitian ke Depan

Untuk menjawab kompleksnya masalah lingkungan, agronomi serta sosialekonomi lahan gambut diperlukan serangkaian penelitian di lahan gambut, antara lain berkenaan dengan:

A. Penelitian Dasar

1. Informasi hasil penelitian mengenai karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia masih terbatas baik pendekatan pada fase padat (solid phase) maupun fase cair (dissolved organiccarbon). Informasi ini diperlukan untuk memahami faktor yang menentukan kecepatan perombakan bahan organik dan lamanya waktu tinggal (residence time) baik dalam kondisi gambut alamiah maupun gambut di lahan budidaya. Identifikasi proporsi grup gugus fungsional C alifatik dan grup C aromatik perlu diteliti untuk menentukan fungsional grup mana yang mendominasi gambut di

(5)

Indonesia. Penggunaan 13 C Nuclear Magnetic Resonance (13 C NMR) spectrometer dapat memberikan informasi secara detail sifat fungsional grup tersebut.

2. Penelitian besarnya emisi GRK dan kecepatan perombakan gambut sebagai fungsi dari berbagai jenis fungsional grup C untuk mengetahui jenis fungsional grup yang mengontrol emisi CO2, dengan kata lain fungsional grup mana yang rentan dan

tahanterhadap dekomposisi.

3. Penelitian berapa lama waktu yang diperlukan untuk perubahan dari tingkat dekomposisi fibrik ke hemik dan saprik diperlukan dalam kondisi aerob dan anaerob dan antar pulau di Indonesia.

B. Penelitian Aplikatif

1. Informasi luasan lahan gambut yang rinci dalam hal ketebalan, tingkat kematangan dan distribusinya masih terbatas untuk skala operational 1:50.000 atau lebih besar sehingga diperlukan usaha percepatan pemetaan skala semi detail agar dapat dipakai sebagai dasar untuk menata pengguanaan lahan gambut untukkawasan hutan konservasi dan kawasan budidaya.

2. Karakterisitik bahan substratum khususnya bahan kuarsa dan lapisan pirit yang terdapat di bawah gambut perlu diidentifikasi dan deliniasi agar pembukaan lahan gambut tidak menghasilkan lahan terlantar dan rusak pada saat lapisan lahan gambut mulai menipis.

3. Penelitian teknologi pengguanaan citra satelit untuk melakukan monitoring penggunaan lahan gambut/kekeringan dan pemulihan/rehabilitasi lahan dan lahan terlantar perlu dikembangkan, dievaluasi dan divalidasi agar hasil yang diperoleh dan diberikan kepada para stakeholder lebih akurat.

4. Penelitian kuantitatif penurunan permukaan gambut (subsidence) sebagai fungsi fluktuasi permukaan air gambut, kematangan, dekomposisi pada berbagai musim dan perbedaan geografi masih kurang informasi untuk mewakili kondisi Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

(4) Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan yang signifikan antara kemampuan penalaran formal siswa dalam proses pembelajaran fisika dengan motivasi belajar fisika

Eluen yang memberikan pemisahan terbaik yaitu kloroform : metanol (1 : 9) ini, selanjutnya digunakan sebagai eluen dalam fraksinasi dengan kromatografi kolom..

Setelah dilakukan pengkajian mendalam melalui proses analisis di atas, maka diyakini bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan tunjangan profesi dan motivasi

Pada Bulan September Tahun 2013, PKH mulai aktif di Kabupaten Sukoharjo dan dapat diakses di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Sukoharjo sejumlah 12 kecamatan dan 128

Prinsip mekanisme kerja probiotik pada akuakultur adalah kompetisi dengan bakteri patogen misalnya Pseudomonas terhadap beberapa Vibrio yang patogen pada udang, pengaktifan

TF menceritakan bahwa proses penentuan kepala madrasah di Kemenag Kabupaten Jombang menggu- nakan kriteria PDLT yaitu Prestasi Dedikasi (punya kemampuan dan keinginan

Maka hasil penelitian ini menunjukan bahwa orang, proses, dan bukti fisik secara parsial berpengaruh dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan pada PT.. Riau Media Televisi