• Tidak ada hasil yang ditemukan

KELESTARIAN (HERD SURVIVAL) TERNAK KERBAU DI ACEH BARAT PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM (NAD)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KELESTARIAN (HERD SURVIVAL) TERNAK KERBAU DI ACEH BARAT PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM (NAD)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

KELESTARIAN (HERD SURVIVAL) TERNAK KERBAU

DI ACEH BARAT PROVINSI NANGROE ACEH

DARUSSALAM (NAD)

(Buffalo Herd Survival in West Aceh District Nangroe Aceh Darussalam

(NAD) Province)

ASHARI dan E. JUARINI

Balai Penelitian ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

Buffalo herd survival study in West Aceh District was carried out in March 2007 as part of the major project on The Regional Potential Analysis for Livestock Production Development, aimed to investigate herd survival status of buffalo; to find the major factor(s) of population declining and to set a strategic program. Nationally depleting buffalo population has been lasting for years, including in West Aceh District. In fact, buffalo production of this district contributes to fulfill the demand of local and the surrounding regions of NAD. Therefore, the information on herd survival status of buffalo in this district was importantly needed to be well understood. A special study through interview method was done to gather the primary data on production and reproduction parameters from respondents (14 buffalo rearers, 1 provincial trader and 1 slaughtering house official) located in 4 subdistricts, and secondary data from the institutional involved to calculate the status of herd survival. Results showed that herd survival was 97.66%, cow population decrease was noted 0.47% and population decrease was 4.96%. Septicaemia epizootica (SE) disease and land ecological disturbance were noted to be the major factors of buffalo population decrease. It is recommended that SE control improvement and spatial land allocation planning for buffalo should be prioritized as national program.

Key Words: Herd survival, Buffalo, West Aceh District

ABSTRAK

Ternak kerbau di Kabupaten Aceh Barat merupakan salah satu komoditas unggulan daerah yang perkembangan populasinya cenderung mengalami penurunan walaupun masih memberikan kontribusi produksinya di dalam lingkuangan dan ke daerah sekitar Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Untuk memahami proses penurunan populasi tersebut sebuah studi dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari status kelestarian (herd survival) komoditas unggulan tersebut dan mempelajari faktor-faktor utama penyebabnya guna menetapkan program-program strategis pengembangannya. Studi tersebut dilakukan bulan Maret 2007, dengan lokasi di 4 kecamatan. Metoda survei digunakan pada penelitian ini. Data yang dikumpulkan meliputi parameter-parameter reproduksi dan produksi melalui wawancara dengan responden (14 peternak, 1 bandar dan 1 petugas RPH) yang kemudian disusun sebagai dasar perhitungan status dinamika populasi (herd survival). Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa betina dewasa mengalami penurunan populasi 0,47 % dan pengurasan populasi yang terjadi sebesar 4,96% dengan faktor utama meliputi kematian ternak karena Penyakit Septicaemina epizootica (SE) yang sangat dikenal peternak dan semakin terdesaknya basis-basis ekologis lahan untuk ternak kerbau berupa ladang penggembalaan. Untuk penanggulangan proses penurunan populasi perlu perbaikan penanggulangan penyakit SE dan perlu disusunnya penataan ruang dalam kerangka usaha peningkatan populasi ternak kerbau sebagai bagian prioritas program nasional.

Kata Kunci: Kelestarian (Herd Survival), Kerbau, Kabupaten Aceh Barat

PENDAHULUAN

Kerbau di pulau Sumatera secara umum cenderung lebih baik dibandingkan dengan

wilayah pulau Indonesia lainnya, sementara populasi nasional terus mengalami penurunan secara drastis. Di Kabupaten Aceh Barat, ternak kerbau merupakan salah satu komoditas

(2)

unggulan yang sampai saat ini masih memberikan kontribusi untuk Provinsi NAD, walaupun ada indikasi ternjadi penurunan populasi.

Peningkatan populasi ternak kerbau di hampir semua provinsi secara nasional pada tahun 2006 terhadap populasi tahun sebelumnya (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007) dapat dijelaskan melalui studi dinamika populasi (herd survival) yang sampai saat ini belum menjadi perhatian. Studi semacam ini pertama dilakukan oleh PETHERAM et al. (1982) di Serang dan hasilnya memberikan informasi yang sangat berharga dalam strategi pengembangan populasi ternak.

Di Aceh Barat dengan kondisi lahan yang masih longgar, banyaknya dan bertambah luasnya lahan-lahan terlantar setelah tsunami, maka keberadaan ternak kerbau menempati wilayah yang cocok yang berfungsi sebagai lahan penggembalaan, walaupun secara khusus belum dialokasikan dalam peraturan daerah (Perda). Lahan penggembalaan bagi ternak kerbau cukup penting, sebab keberadaannya sampai saat ini lebih tergantung pada ketersediaan lahan penggembalaan, yang dikenal sebagai ternak heavy grazier.

Potensi di Aceh Barat cukup menarik untuk dipelajari yang disamping sebagai sentra produksi kerbau yang mempunyai lingkungan agroekosistem yang menunjang, dan merupakan suatu pola ideal yang dapat dijadikan sebagai suatu model untuk pengembangannya di tempat yang mempunyai agroekosistem serupa. Tujuan dari penelitian adalah untuk mempelajari status kelestarian (herd survival) ternak kebau dan faktor-faktor utama penyebabnya sebagai dasar dalam usaha meningkatkan populasi secara nasional.

MATERI DAN METODE

Lokasi survei dilakukan di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Johan Pahlawan, Kecamatan Meureubo, Kecamatan Samatiga dan Kecamatan Arongan Lambalek.

Metoda survei digunakan melalui wawancara yang melibatkan 14 responden peternak kerbau dan 1 bandar kerbau serta satu

2006, Kantor Penyuluh Pertanian dan Ketahanan Pangan/KPPKP Kabupaten Aceh Barat, 2007), Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Aceh Barat dan data lapangan yang disusun menjadi parameter teknis produksi dan reproduksi .untuk menghitung status kelestarian (herd survival).

Produktivitas induk

Produktivitas induk dalam menghasilkan anak hidup per tahun dihitung sebagai berikut:

(AH) = PIA x S x (AL – AK) x JA x JAIL AL 12 dimana:

(AH) = Produktivitas induk dalam menghasilkan anak per tahun (ekor)

PIA = Populasi induk awal tahun saat kawin (ekor)

S = Kesuburan yaitu jumlah induk melahirkan dari populasi yang kawin (PIA) (%) AL = Jumlah anak yang lahir (ekor) AK = Tingkat kematian anak (%) JA = Jarak beranak (bulan)

JAIL = Jumlah anak per induk per kelahiran (satu ekor)

Jumlah anak kerbau hidup

Perkembangan anak kerbau menjadi dewasa sampai menjadi ternak afkir dalam setiap periode tahun (12 bulan) jumlahnya dihitung sebagai berikut, tanpa memperhitungkan jumlah yang dipotong.

JHT = JHA – (KT x JHA) dimana:

JHT = Jumlah kerbau hidup pada tiap periode akhir tahun

JHA = Jumlah kerbau hidup pada awal tahun KT = Persentase kematian per tahun per periode

umur

Analisis

Perhitungan berdasar pada satuan waktu tahun untuk produksi/produktivitas, dengan

(3)

sifatnya spesifik dalam pola pengelolaan dan lingkungan (agroekosistem) spesifik.

HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur populasi dan parameter teknis ternak kerbau

Hasil survei dari struktur populasi ternak kerbau disajikan pada Tabel 1 yang dilengkapi dengan data parameter teknis yang diperoleh dari wawancara dengan para responden di lapang dan asumsi berdasar penelitian atau kajian sebelumnya, disajikan pada Tabel 2.

Walaupun data yang diperoleh (Tabel 1) dari jumlah sampel terbatas, sudah cukup memberikan indikator struktur populasi menurut umur, dan dapat dipakai untuk melakukan perhitungan herd survival. Parameter teknis utama komposisi umur di atas yang paling utama adalah populasi betina dewasa sebesar 41,00%, sedangkan parameter teknis lainnya yang digunakan dalam

perhitungan herd survival disajikan pada Tabel 2.

Produktivitas induk dan perkembangan anak

Untuk memudahkan perhitungan, dimulai dengan asumsi bahwa jumlah induk yang kawin (PIA) ada sebanyak 100 ekor.

Dengan parameter teknis di atas, jumlah anak yang lahir hidup =

JAH = PIA x S x (AL – AK) x JA x JAIL AL 1,2

100 x 0,8 x 0,9 x 1 x 1 = 63,75 ekor (jantan dan betina) 1,2

Jadi jumlah anak betina lahir hidup per 100 ekor induk = 31,88 ekor. Selanjutnya selama lima tahun keberlangsungan hidupnya dengan tingkat kematian oleh SE minimal 6%, perkembangannya disajikan sebagai berikut. Perkembangan ini digunakan untuk melakukan perhitungan selanjutnya.

Tabel 1. Struktur populasi ternak kerbau di Kabupaten Aceh Barat 2007

Dewasa Muda Anak Total Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

Total Keterangan

4 32 6 10 6 10 26 52 78 Ekor

5,10 41,00 20,53 12,83 7,71 12,83 33,3 66,7 100 persen

Tabel 2. Parameter teknis untuk perhitungan herd survival ternak kerbau di Kabupaten Aceh Barat saat ini,

2007

Parameter teknis Satuan Nilai Keterangan

Umur pertama kali beranak tahun 5

Jarak beranak tahun 1,2

Umur afkir pejantan/induk tahun 10 Kisaran 8 – 13

Masa produksi tahun 5

Kesuburan persen 85,00

Kematian anak persen 10,00

Kematian tiap tahun (SE) persen 6,00 Kelompok umur Betina produktif (populasi) persen 41,00

(4)

Tabel 3. Keberlangsungan hidup (survival) anak

kerbau dalam 5 tahun berikutnya Kematian SE Tahun ke Hidup % Ekor Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V 29,98 28,19 26,50 24,91 23,42 6 6 6 6 6 1,92 1,79 1,69 1,59 1,49 Dalam 5 tahun masa produktif tingkat survival induk 23,42 x 4,17 = 97,66. Artinya terjadi pengurasan induk dalam lima tahun sebesar 2,34% atau per tahun 0,47%, walaupun secara perlahan proses pengurasan ini secara pasti.

Perkembangan anak

Perkembangan anak kerbau dari umur 3 tahun di sajikan pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Perkembangan kelompok umur kerbau

mulai tahun ke-3

Perkembangan Betina Jantan Tahun ke-3

Awal 28,19 28,19

Akhir 26,50 26,50

Peremajaan 23,98 2,40

Sisa peremajaan 2,52 24,10 Total sisa peremajaan = 26,62 (%) dari populasi induk 100 ekor

Rata-rata produksi/tahun siap potong = 26,62 : 3 = 8,87%

Besarnya populasi kerbau yang memasuki umur jual untuk dipotong maupun untuk di-pelihara di wilayah lain sebesar 3,64%, yang umumnya kerbau jantan.

Persediaan untuk potong

Persediaan kerbau untuk dipotong berasal dari sisa peremajaan (segala umur) dan dari

Sisa peremajaan yang umumnya dijual/tahun 3,64% Afkiran/tahun 1,00% Total penyediaan pemotongan 4,64% Total pemotongan + pengeluaran 9,60% Pengurasan 4,96%

Jumlah pengeluaran ternak diperoleh dari bandar kerbau yang disajikan pada mata rantai tata niaga kerbau sebagai berikut:

Mata rantai tata niaga ternak kerbau

Pembahasan

Dari data kematian yang dinyatakan oleh para peternak sebesar 10% yang umumnya karena penyakit SE dan kematian karena penyakit ini diasumsikan rata-rata tiap tahun minimal sebesar 6% yang untuk selanjutnya digunakan dalam perhitungan herd survival. Dari hasil perhitungan, pengurasan populasi ternak kerbau yang terjadi pada setahun terakhir sebesar 4,96% dari total populasi kerbau di kabupaten Aceh Barat. Sedang untuk betina dewasa tingkat pengurasannya sebesar 0,47% per tahun dari populasi betina dewasa. Makin turunnya populasi ternak kerbau juga

PETERNAK PEDAGANG/ BANDAR PEMOTONG PEDAGANG PERANTARA PETERNAK PEMOTONGAN (BERAT POTONG 250 – 375 KG) 1. POPULASI 21.000 EKOR 2. PEMOTONGAN DI RPH 2.016 EKOR (BPS, KAB.ACEH BARAT, 2007) 3. PENGELUARAN 900 EKOR KE MEDAN 650 EKOR BANDA ACEH 150 EKOR KONSUMEN DAGING 1. PELANGGAN (RM. MAKAN, TK. BAKSO) 2. PESANAN 3. SOSIAL RITUAL 4. MASYARAKAT UMUM

(5)

masih bertahan. Hal ini dikarenakan makin terbatasnya populasi sehingga makin terbatas untuk mendapatkan ternak kerbau yang dijual. Proses semacam itu sekarang sedang terjadi untuk ternak kerbau maupun sapi di Aceh. Kerugian oleh penyakit SE paling sedikit : 0,8 (satuan ternak) x 210.000 (populasi) x 6% (minimum tingkat kematian) x Rp 7 juta (harga ternak dewasa per satuan ternak) = Rp 70,56 miliar per tahun untuk Kabupaten Aceh Barat. Nilai ini akan sangat berarti apabila diperhitungkan di sekitar 50 sentra potensial produksi kerbau di Indonesia.

Untuk antisipasi proses pengurasan populasi tersebut perlu tindak aksi strategis yang dilakukan oleh pemerintah (pusat maupun daerah), diantaranya melalui pening-katan penanggulangan penyakit SE, dan aspek teknis lainnya seperti masalah reproduksi yang umum terjadi pada peternakan rakyat. Di samping itu perlu penataan dan pembinaan ruang berupa alokasi lahan untuk pengembangan ternak kerbau, baik berupa lahan khusus (penggembalaan) maupun pola sistem terpadu, tergantung pada kondisi lingkungan basis agroekosistemnya.

KESIMPULAN

1. Herd survival merupakan indikator teknis untuk menyusun strategi peningkatan populasi ternak kerbau khususnya dan peternakan pada umumnya. Dalam studi di Kabupaten Aceh Barat menunjukkan penguarasan populasi pada tahun terakhir sebesar 4,96% per tahun. Pengurasan induk terjadi sebesar 0,47% dari total induk. Sebab-sebab utama pengurasan populasi adalah tingkat kematian yang tinggi oleh penyakit SE (Septicaemia epizzotica) atau penyakit ngorok, yang sangat dikenal oleh masyarakat, di samping makin tergusurnya basis-basis ekologis utamanya berupa

ladang penggembalaan. Indikator pengurasan (status herd survival) ini, walaupun sederhana perlu dibangun (standarisasi) parameter teknis terkait yang sifatnya spesifik agroekosistem dan jelas memerlukan tingkat keakurasian, di samping perlunya pemahaman proses produksi.

2. Populasi ternak kerbau terus mengalami pengurasan secara drastis, diantaranya masih belum efisiennya penanggulangan penyakit strategis pada kerbau, makin terdesaknya basis-basis ekologis lahan baik berupa lahan khusus maupun dalam pola sistem usaha tani di samping kurangnya perhatian pemerintah pada ternak ini. 3. Untuk antisipasi permasalahan yang sudah

lama berlangsung tersebut perlu meningkatkan usaha penanggulangan penyakit strategis pada ternak kerbau dan inventarisasi serta penataan ruang disertai dengan pembinaannya yang semuanya dalam kerangka program nasional pengembangan populasi kerbau, menunjang swasembada daging nasional.

DAFTAR PUSTAKA

BPS KABUPATEN ACEH BARAT, 2007. Kabupaten Aceh Barat dalam Angka. 2006, Meulaboh. BPP KECAMATAN (JOHAN PAHLAWAN, MEUREUBO,

SAMATIGA DAN ARANGAN LAMBALEK). 2007. Program Penyuluhan Pertanian. Meulaboh. DIREKTORAT JENDRAL PETERNAKAN. 2000. Peta

Penyebaran dan pengembangan Peternakan. Jakarta.

DIREKTORAT JENDRAL PETERNAKAN. 2007. Statistik Peternakan Indonesia 2006. Jakarta.

PETHERAM, R.J, C. LIEM, Y. PRIATMAN and MATHURIDI. 1982. Village Buffalo Fer-tility Study, Serang Districk. Serang. Report No. 2. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.

DISKUSI Pertanyaan:

Saran yang dikemukakan untuk pelestarian kerbau di NAD bagaimana? Jawaban:

Gambar

Tabel 4.  Perkembangan kelompok umur kerbau  mulai tahun ke-3

Referensi

Dokumen terkait

Kurva standar relatif pada berbagai suhu dan waktu inkubasi Untuk mengetahui kadar progesteron yang terdapat di dalam contoh, biasanya digunakan kurva standar dimana dibuat

$kan lele (Clarias batrachus ! pertama kali matang kelamin pada umur satu tahun dengan ukuran panjang tubuh sekitar ' cm dan ukuran..  berat tubuh ) sampai '

Pada penelitian ini dilakukan formulasi sediaan lepas lambat tablet teofilin dengan metode granulasi basah dengan matriks Natrium Karboksimetil selulose (NaCMC) dan Xanthan Gum

Memenuhi Tersedia Tanda Daftar Perusahaan (TDP) PT Linggarjati Mahardika Mulia yang diterbitkan oleh instansi berwenang dan masih berlaku sesuai dengan kegiatan usahanya..

Khusus untuk periode Juli 2020, uji khusus untuk retaker kategori 1 dilaksanakan oleh Komite Nasional (penetapan Nilai Batas Lulus oleh Organisasi Profesi dan Asosiasi..

Persentase Sumber Daya Aparatur BPKAD yang terlatih dan terdidik dalam bidang pengelolaan keuangan dan aset daerah Persentase kecukupan kebutuhan belanja operasional dan

Peran Guru Pendidikan Agama Islam sebagai Pendidik Dalam Pembiasaan Ibadah1. Dalam pelaksanaannya, menanamkan nilai-nilai ibadah siswa

Iklan Shampo Zinc versi Agnes Monica ini merupakan sebuah iklan yang dengan berani menampilkan citra serta sisi berbeda dari seorang perempuan yaitu sisi maskulinitas