• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELUANG DAN POTENSI USAHA TERNAK KERBAU DI SUMATERA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PELUANG DAN POTENSI USAHA TERNAK KERBAU DI SUMATERA BARAT"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PELUANG DAN POTENSI USAHA TERNAK KERBAU DI

SUMATERA BARAT

(Business Opportunities and Potential of

Buffalo in West Sumatra)

E.ROMJALI1,EDWARDI2danS.RUSDIANA1

1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav.E-59 Bogor

e-mail: [email protected]

2 Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat, Jl. Rasuna Said No.68, Padang, 25000, Sumatera Barat

ABSTRACT

Buffaloes as one of the comodities of animals that could be developed in the marginal areas in Indonesia, and have the opportunity and good potential to be developed with business models that are semi-intensive and intensive in the countryside, as well as act as producers of meat and milk, and also provides higher contribution to farmers as an additional source of income. The purpose of this paper is to obtain an overview the opportunities and potential for developing buffaloes in West Sumatra. Buffaloes are very potential to be developed in West Sumatra due to geography, ecology, and the fertility of the land, and has characteristics that are suitable for development of buffaloes. In 2010 West Sumatra has contributed significantly to the national production of buffalo meat as much as 3844 tons, or approximately 10.7% of the national production of buffalo meat (35.912 tons). In some places the buffalo was instrumental in the addition of a family business income, among others by processing buffalo milk which is a traditional food people in West Sumatra. However, breeding buffaloes still faces some limitations, among others, buffalo breed slow, low reproductive performance and the limited supply of seeds. Accordingly it is necessary to attempt a breakthrough for the increase in population and productivity of buffalo through buffalo breeding program to developa national action covering various aspects such as: breeding, management, feed, health, including access to capital for institutions and farmers. It may be possible to improve livestock farming in rural area and give an impact on increasing farmers' income. Buffaloes have a big chance and potential to be developed in order to stimulate an increase population and the production of meat and the active role of the central government and local governments in the development of buffaloes that will ultimately lead to the increase farmer incomes in rural areas.

Key Words: Opportunities, Potential, Buffaloes, West Sumatra

ABSTRAK

Ternak kerbau sebagai salah satu komoditas ternak yang dapat dikembangkan di wilayah-wilayah marginal di Indonesia, dan memiliki peluang serta potensi yang cukup baik untuk di kembangkan dengan model usaha yang bersifat semi intensif maupun intensif di pedesaan, disamping berperan sebagai penghasil daging dan susu juga memberikan kontribusi yang tinggi bagi petani sebagai sumber tambahan penghasilan. Tujuan tulisan ini adalah untuk memperoleh gambaran umum tentang peluang dan potensi usaha ternak kerbau di Sumatera Barat. Kerbau sangat berpotensi untuk dikembangkan di Sumatera Barat karena kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan, serta memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan ternak kerbau. Pada tahun 2010 Sumatera Barat telah memiliki andil yang cukup signifikan terhadap produksi daging kerbau nasional sebanyak 3.844 ton, atau sekitar 10,7% dari produksi daging kerbau nasional (35.912 ton). Pada beberapa tempat kerbau sangat berperan dalam penambahan pendapatan usaha keluarga antara lain dengan mengolah susu kerbau menjadi dadih yang merupakan makanan tradisional masyarakat Sumatera Barat. Namun demikian usaha ternak kerbau masih menghadapi beberapa batasan antara lain, kerbau lamban pertumbuhannya, penampilan reproduksinya rendah dan terbatasnya pasokan bibit. Sejalan dengan itu perlu adanya upaya terobosan untuk peningkatan populasi dan produktivitas kerbau secara nasional melalui program aksi pengembangan perbibitan kerbau nasional yang meliputi berbagai aspek antara lain: perbibitan, budidaya, pakan, kesehatan termasuk kelembagaan dan akses permodalan bagi peternak. Dimungkinkan dapat meningkatkan budidaya ternak kerbau di pedesaan sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan petani, bahwa ternak kerbau sangat berpeluang besar dan berpotensi untuk dikembangkan guna memacu peningkatan

(2)

populasi dan produksi daging serta peran aktif pemerintah pusat maupun daerah dalam upaya pengembangan ternak kerbau yang pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan pendapatan peternak di pedesaan. Kata Kunci: Peluang, Potensi, Kerbau, Sumatera Barat

PENDAHULUAN

Subsektor peternakan merupakan salah satu subsektor pada sektor pertanian yang memiliki peran strategis dalam upaya memantapkan ketahanan pangan dan mencerdaskan bangsa. Konsumsi hasil ternak masyarakat Indonesia seperti daging, telur dan susu sampai saat ini masih cukup rendah. Pada tahun 2010 konsumsi daging, telur dan susu adalah berturut-turut 6,95; 7,23 dan 16,42 kg/kapita/tahun. Demikian juga konsumsi protein (daging telur dan susu) sebesar 30,60 kg/kapita/tahun atau sebesar 0,084 kg/kapita/tahun (DITJEN PKH, 2011). Sejalan dengan itu upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi daging dalam negeri telah ditetapkan “Program Pencapaian Swasembada Daging Sapi/Kerbau (PSDS/K) tahun 2014 “ yang merupakan salah satu dari 12 program Kementerian Pertanian.

Potensi ternak kerbau (Bubalus bubalis) cukup signifikan dalam menunjang program swasembada daging sapi tahun 2014. Populasi ternak kerbau di Indonesia pada tahun 2010 sekitar 1.999,6 ribu ekor menurun dari 2.085,8 ribu ekor pada tahun 2007 dengan produksi daging pada tahun 2010 sebesar 35,9 ribu kg atau menyumbang 1,52 % dari dari produksi daging nasional (DITJEN PKH, 2011). Penurunan populasi kerbau di beberapa wilayah di Indonesia antara lain disebabkan terjadinya perubahan usahatani sebagai dampak kemajuan dalam bidang mekanisasi pertanian. Disamping itu DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN (2006), berpendapat bahwa menurunnya populasi kerbau juga terkait erat dengan kenyataan bahwa masyarakat yang memiliki kerbau hanya sebagai pemelihara (keeper) atau pengguna (user) dan bukan sebagai peternak dalam arti producer atau

breeder. Namun demikian ada sebagian

provinsi di Indonesia yang populasi ternak kerbaunya meningkat seperti di Sumatera Barat dengan peningkatan dari tahun 2007 sampai dengan 2010 sebesar 8%.

Ternak kerbau berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia karena kondisi

geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah Indonesia yang memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan ternak kerbau. Misalnya, di daerah yang cocok dan fanatik terhadap daging kerbau seperti di Banten, Nanggro Aceh Darussalam, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Selain itu, ternak kerbau dapat dikembangkan di peternakan rakyat di pedesaan dengan sarana dan prasarana yang terbatas. Namun demikian masih terdapat beberapa batasan dalam usaha ternak kerbau antara lain, masih terbatasnya permintaan produk daging kerbau, terbatasnya pasokan bakalan kerbau dan dominasi tataniaga ternak kerbau oleh sekelompok kecil pengusaha sangat sulit. Disamping itu, pula ternak kerbau lamban berkembang biak karena penampilan reproduksinya rendah. DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN (2006) melaporkan bahwa dewasa kelamin kerbau relatif lebih lambat daripada ternak sapi, dan jarak kelahirannya (calving interval) juga panjang, yaitu sekitar 2 tahun.

Walaupun ternak kerbau mempunyai beberapa kelemahan, ternyata ternak kerbau juga memiliki keunggulan-keunggulan yang patut dipertimbangkan pengembangan budidayanya. Selain itu, bantuan tenaga untuk mengolah lahan pertanian, daging dan susu kerbau merupakan hasil yang tidak kalah pentingnya. Sumbangan protein susu kerbau bagi kepentingan penduduk Sumatera Barat jauh lebih besar dari sumbangan protein yang berasal sari susu sapi. Pada beberapa tempat di Sumatera Barat, kerbau sangat berperan dalam penambahan pendapatan usaha keluarga antara lain dengan mengolah susu kerbau menjadi dadih yang merupakan makanan tradisional sebagian masyarakat Sumatera Barat.

Pada umumnya ternak kerbau dipelihara sebagai tabungan (investasi) dengan hasil sampingan pupuk kandang. Melihat peluang serta permasalahan usaha pengembangan ternak kerbau maka dalam makalah ini dikemukakan tentang review hasil-hasil penelitian dan kajian mengenai peluang dan potensi usaha ternak kerbau sebagai sumber

(3)

pendapatan petani dengan spesifik lingkungan yang terjadi di beberapa wilayah Sumatera Barat.

PELUANG PENGEMBANGAN USAHA TERNAK

Peran kerbau di masyarakat

Ternak kerbau merupakan salah satu aset nasional bidang peternakan yang ada di wilayah-wilayah di Indonesia terutama di pedesaan. Peluang dalam pengembangannya sangat luas sekali bila dilihat dari kondisi fisik ternak kerbau serta kegunaannya. Peluang tersebut sangat berperan sebagai fungsi sosial-budaya yang sangat menonjol, seperti di Sumatera Barat diambil sebagai kerbau perah dan di Tana Toraja ternak kerbau digunakan dalam upacara ritual adat. Hal ini sebagai pemicu dalam usaha pengembangan atau budidaya ternak kerbau untuk dapat menghasilkan bibit yang baik dan sekaligus sebagai upaya pelestarian ternak kerbau. Peluang dan pengembangan ternak kerbau akan semakin bertambah dengan besarnya potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang tersedia di pedesaan serta dapat diarahkan untuk pengembangbiakan ternak kerbau. Peluang tersebut akan lebih baik apabila ditunjang dengan teknologi tepat guna yang dapat diimplementasikan kepada petani ternak di pedesaan.

Pengembanga kerbau di tingkat petani tidak hanya memerlukan pendekatan teknis tetapi juga membutuhkan pendekatan sosial budaya yang dapat merangsang perubahan sikap, perilaku, dan pola kerja dalam membagi waktu untuk berusaha ternak dan tanaman pangan serta kerja sampingan yang lainnya (HAMDAN

et al. 2006). BASYID (2006), berpendapat bahwa yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan dalam upaya untuk meningkatkan usaha budidaya ternak kerbau di suatu daerah adalah eksistensi kultur budaya setempat, (sosial ekonomi) yang mempunyai prospek untuk dapat mendukung program tersebut, daya dukung lahan, ketersediaan modal, monografi lingkungan, kultur budaya, biofisik lahan pertanian, sumberdaya alam, dan sumberdaya manusia setempat. Karakter biofisik dan kultur budaya setempat yang

sesuai proporsi topografinya sehingga dalam penguasaan ternak kerbau tidak mengalami hambatan karena di dukung dengan lokasi yang asri jauh dari kerumunan rumah penduduk.

Seperti diketahui produktivitas ternak kerbau di Indonesia masih relatif rendah, faktor teknis masih merupakan kendala yang memerlukan pemikiran serius untuk diatasi. Perkembangan ternak kerbau di Indoensia kurang menggembirakan. Namun demikian usaha ternak kerbau memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan terutama di beberapa wilayah yang memiliki sumberdaya pakan melimpah. Oleh karena itu, perlu adanya

upaya penyelamatan populasi dan

pengembangan yang dapat dilakukan melalui berbagai macam usaha dan berbagai pihak antara lain pemberdayaan kelompok petani ternak dan penerapan teknologi tepat guna seperti IB dan INKA serta program pembibitan lainnya. Berdasarkan statistik peternakan pada tahun 2010, sekitar 2,5 juta ekor ternak kerbau tersebar di seluruh provinsi Indoneisa. Sepuluh provinsi dengan jumlah populasi tertinggi dijumpai di Provinsi Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, Banten, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan.

Mengingat potensi di wilayah di pedesaan cukup baik, seperti sumberdaya alam, potensi tenaga kerja, lingkungan yang sangat mendukung, maka pengembangan ternak kerbau dapat dilakukan melalui sistem pertanian terpadu baik organik maupun spesifik lokal dengan mengintegrasikan tanaman dan peternakan. KUSNADI. (2006), menyatakan bahwa, usaha ternak kerbau merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru dalam menunjang pendapatan petani disamping usaha pertanian lainnya. Dengan pengembangan sektor tersebut, diharapkan petani akan meningkat pendapatan dan kesejahteraannya yang pada gilirannya akan meningkatkan kesehatan dan meningkatkan pengetahuan. Untuk itu diperlukan kerja keras, kerjasama dan kerja orientasi jangka panjang sehingga antara lembaga pemerintah, swasta dan praktisi di lapangan terjalin secara sinergi dan berkesinambungan.

Sumberdaya yang tersedia merupakan kekuatan yang dimiliki didalam pengembangan ternak ruminansia khususnya kerbau. Petani ternak kerbau di Indonesia atau di pedesaan

(4)

cara usaha memelihara dilakukan dengan cara digembalakan, dikandangkan atau gabungan keduanya. Usaha terak kerbau yang ada di pedesaan merupakan usaha turun temurun sebagai sumber pendapatan dan tabungan. DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN (2006), menyatakan bahwa ternak kerbau mempunyai potensi biologis dan ekonomis untuk dikembangkan. Melihat kemampuan ternak kerbau, dalam pengembangan dan penyebaran dapat dilakukan di pedesaan.

Pada dasarnya topografi lahan pertanian di Indonesia sangat berbeda, ada yang datar dan ada pula yang miring, sementara itu bidang lahan pertanian bertopografi miring biasanya sempit dan berteras, maka lahan tersebut tidak efisien apabila digarap menggunakan mesin traktor. Lahan yang bertopografi demikian dapat diolah dengan bantuan ternak kerbau. Dalam kondisi demikian, ternak kerbau tidak hanya berkontribusi tenaga kerja, tetapi juga dapat menjadi mesin biologis yang efisien dalam mengolah lahan pertanian. Oleh karena itu, kelemahan-kelemahan tersebut justru membuka peluang pengembangan budidaya ternak kerbau di wilayah-wilyah marjinal di Indonesia.

Kontribusi kerbau sebagai penghasil daging

Potensi kerbau untuk dikembangkan sangat besar karena konsumen pada umumnya belum

begitu membedakan daging kerbau dengan daging sapi. Selama kurun waktu 3 tahun, (2007 – 2010) terakhir populasi kerbau mengalami penurunan setiap tahun, diperkirakan sekitar 8%. Kerbau tersebar hampir di semua provinsi di Indonesia dengan tingkat populasi 10 provinsi tertinggi terlihat pada Tabel 1.

Secara umum usaha ternak kerbau telah lama dikembangkan oleh masyarakat sebagai salah satu mata pencaharian dalam skala usaha yang masih relatif kecil. Usaha ternak kerbau dilakukan dengan tujuan untuk produksi daging, meskipun di beberapa wilayah produk daging kerbau sangat diminati masyarakat namun pada segmen pasar tertentu permintaan produk daging kerbau masih relatif terbatas. Sebenarnya preferensi konsumen terhadap daging ternak kerbau cukup tinggi, baik di pedesaan maupun di perkotaan, hal ini diduga karena kandungan lemak daging tersebut rendah sehingga berkalori rendah, tetapi kandungan proteinnya tinggi (MAYUNAR, 2006). Secara umum harga ternak hidup dan daging kerbau tidak berbeda jauh dengan harga sapi dan dagingnya, kecuali di beberapa daerah yang memang lebih menyukai daging kerbau mengakibatkan harga daging kerbau lebih tinggi.

Tabel 1. Populasi kerbau tertinggi pada 10 provinsi di Indonesia (ribu ekor)

Provinsi Tahun 2007 2008 2009 2010 Aceh 390,3 280,7 290,8 306,3 Sumatera Utara 189,2 155,3 156,2 158,7 Sumatera Barat 192,2 196,9 203,0 207,6 Jawa Barat 149,0 145,9 142,5 139,7 Jawa Tengah 109,0 102,6 105,5 111,1 Banten 144,9 153,0 152,0 153,2

Nusa Tenggara Barat 153,8 161,5 155,3 158,1 Nusa Tenggara Timur 145,0 148,8 150,4 163,6

Sulawesi Selatan 120,0 130,1 124,1 130,1

Sumatera Selatan 90,2 77,3 75,2 76,1

(5)

Populasi ternak kerbau yang ada di Indonesia saat ini sekitar 40% berada di Pulau Jawa dengan kepemilikan 1 – 2 ekor/KK. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya populasi ternak kerbau disebabkan oleh ketersediaan bibit unggul, mutu pakan ternak rendah, perkawinan silang dan kurangnya pengetahuan peternak dalam menangani produksi dan reproduksi ternak tersebut (DITJEN PETERNAKAN 2010). Selain itu, permasalahan lain yang menjadi dasar perkembangan ternak kerbau sangat lambat yaitu pola pemeliharaan tradisional, berkurangnya lahan penggembalaan, tinginya pemotongan pejantan yang berdampak pada kekurangan pejantan, pemotongan ternak betina produktif, kemudian kematian pedet yang cukup tinggi rendahnya produtivitas, pengembangan sistem pemeliharaan semi intensif yang masih terbatas, serta kesan negatif terhadap kerbau.

Berdasarkan data secara nasional, bahwa baik dalam ketersediaan distribusi dan konsumsi daging sapi dan kerbau belum memenuhi tujuan dari ketahanan pangan secara nasional. Selanjutnya dapat diuraikan lebih jauh bahwa produksi daging utama (sapi-kerbau, kambing-domba, unggas dan babi), beberapa daging komoditas tertentu setiap tahunnya mengalami kenaikan dan ada juga yang mengalami penurunan (Tabel 2). Produksi daging sapi dan kerbau telah mengalami kenaikan dari 381,3 ribu ton tahun 2007 menjadi 472,4 ribu ton tahun 2010 atau kenaikan sekitar 1,5%. Demikian juga daging unggas mengalami kenaikan dari 1.340,3 ribu ton tahun 2007 menjadi 1.565,6 ribu ton tahun 2010 atau kenaikan sekitar 1,4%. Sementara itu, untuk daging kambing-domba dan babi telah mengalami penurunan dari tahun 2007

sampai tahun 2010 masing-masing berurutan sebesar 1,0 dan 1,4%.

Upaya memicu usaha pemeliharaan ternak kerbau di petani

Pada umumnya kerbau diperoleh peternak melalui warisan dari orang tua. Hal tersebut sangat umum ditemui walaupun ada juga yang membeli langsung dari pasar atau dari peternak yang lain, atau diperoleh dari usaha pemeliharaan paroan atau gaduhan. Semua usaha yang dilakukan oleh peternak kerbau tersebut lebih bertujuan sebagai tabungan oleh karenanya maka cara usaha pemeliharaan ternak kebau di pedesaan sangat sederhana. Dengan demikian tidak mengherankan jika populasi kerbau cenderung terus menurun, karena ternak kerbau yang dipelihara hanya sebagai usaha sampingan. Untuk itu perlu didorong usahaternak kerbau yang dijalankan oleh peternak ke arah usaha yang bersifat komersial sehingga proporsi penerimaan dari usahaternak kerbau ini menjadi lebih besar dari yang semula.

Hal yang perlu diperbaiki adalah sosialisasi kepada petani ternak kerbau, bahwa pemberian input bagi ternak kerbau merupakan suatu investasi yang dapat memberikan keuntungan yang lebih tinggi bagi petani. Salah satu usaha yang perlu dijalankan adalah melakukan tindakan reward kepada pemilik kerbau sehingga mendorong petani untuk memiliki kerbau dengan performa baik pada skala nasional maupun regional (ABDULLAH dan ZULBARDI, 2007). Dengan demikian harga jual kerbau akan meningkat dengan harapan petani bersemangat dalam usaha memelihara ternak kerbau serta mempertahankan keberadaan ternak kerbaunya.

Tabel.2. Pangsa produksi daging utama di Indonesia

Tahun Sapi dan kerbau Kambing dan domba Unggas Babi ribu ton (%) ribu ton (%) ribu ton (%) ribu ton (%) 2007 381,3 18,4 120,5 5,8 1.340,3 64,8 225,9 10,9 2008 431,5 20,2 113,0 5,3 1.380,5 64,6 209,8 9,8 2009 443,9 20,1 128,1 5,8 1.430,4 64,9 200,1 9,1 2010 472,4 20,0 113,7 4,8 1.565,6 66,2 212,0 9,0 Sumber: DITJEN PKH (2011)

(6)

Peluang petani cukup besar untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi bila usaha ternak kerbaunya lebih diutamakan dan bukan sebagai usaha sampingan yang sewaktu-waktu dapat dijual, tetapi terpokus ke satu arah usaha tani ternak yang bersipat komersial. Namun demikian, kondisi ini belum memacu petani untuk memelihara ternak kerbau yang lebih intensif (WIRDAHAYATI dan BAMUALIM, 2006).

Pemeliharaan ternak kerbau hanya sebagai usaha sampingan, karena belum ada input teknologi maupun bibit yang relatif baik. Peran petani sangat penting dalam mengelola lahan pertanian khususnya usahatani ternak, bahwa ternak kerbau mempunyai peranan yang cukup baik dalam sistem usahatani, secara sosial pemilikan ternak kerbau dapat memberikan arti tersendiri bagi petani. Ternak kerbau sewaktu-waktu dapat dijual dengan mudah, sehingga dapat menekan biaya hidup petani, keuntungan dari hasil samping dari ternak kerbau berupa pupuk organik dapat dikembalikan ke lahan pertanian sendiri. Pendapatan merupakan selisih antara total penerimaan dengan biaya-biaya selama pemeliharaan ternak kerbau. Menurut MUBYARTO (1980), perkiraan pendapatan merupakan hasil usaha pemeliharaan ternak selama periode tertentu.

Sementara itu, GITTINGER (1986), menyatakan bahwa analisis perkiraan ekonomi adalah hasil usaha pemeliharaan ternak yang digunakan untuk mengevaluasi kegiatan usaha dalam satu tahun atau dalam periode tertentu. Hasil penelitian dari usaha pemeliharaan ternak kerbau menunjukkan bahwa nilai jual ternak di lokasi penelitian cukup tinggi sehingga secara tidak langsung sangat menguntungkan peternak dan sekaligus sebagai pemacu untuk mempertahankan keberadaan ternak kerbaunya (RUSDIANA et al., 2011). Bila hasil sumbangan pendapatan dari usaha pemeliharaan ternak kerbau menujukkan >1, artinya prospek usahaternak cukup baik dan dapat dipertahankan sedangkan bila menunjukkan <1 artinya usaha tersebut sangat kurang atau rugi, perlu perbaikan segi manajemen misalnya pengurangan input-input yang tidak perlu dalam hal ini biaya dalam mendukung keberlangsungan usaha.

Analisis sosial ekonomi berupa analisis finansial untuk mengetahui tingkat keuntungan yang diperoleh petani dalam penggunaan

tenaga kerja dan biaya yang dikeluarkan di samping bibit, sedangkan untuk mengetahui pendapatan selama satu tahun yang diterim oleh petani pada saat petani panen atau menjual hasil usahanya. AMIK et al. (2006), melaporkan bahwa petani ternak kerbau dalam pemeliharaan selama satu tahun, pendapatan kotor dan pendapatan bersih dan pengaruh biaya, curahan tenaga kerja serta jumlah pemilikan ternak yang dilakukan oleh petani ternak di duga nilai sosial ekonomi rumah tangga dan nilai budayanya sangat baik. Metode analisis ini merupakan angka pembandingan antara penerimaan dan biaya yang dikeluarkan pada suatu usaha. Usaha dikatakan layak apabila peneriman lebih besar dari pada pengeluaran, maka usaha tersebut akan dinyatakan layak. RUSDIANA et al. (2011) melaporkan berdasarkan hasil pengamatannya terhadap tingkat keuntungan usaha kerbau di salah satu kecamatan di Bogor, bahwa usaha ternak kerbau tersebut cukup menguntungkan. Pendapatan kotor dari usaha ternak kerbau sebesar Rp. 10,89 juta, dengan rata-rata pemilikan ternak kerbau sebesar 3,27 ekor, sedangkan pendapatan bersih rata-rata sebesar Rp. 8,19 juta setelah dikurangi biaya-biaya yang telah dikeluarkan atau setara dengan Rp. 2,7 juta/ekor/tahun (Tabel 3).

Peluang dan tantangan pengembangan kerbau di Sumatera Barat

Perkembangan ternak kerbau di Sumatera Barat sama tuanya/sejalan dengan perkembangan pertanian. Kerbau merupakan bagian tak terpisahkan dari pertanian karena kerbau sebagai sumber tanaga kerja pertanian (pengolah sawah) dan sumber pupuk. Dalam sejarah ternak kerbau telah dipelihara oleh masyarakat Sumatera Barat dari zaman dahulu, dalam hikayatnya Kerajaan Minangkabau mempunyai kerbau yang diberi nama si Binuang (ternak kerbau sakti). Rumah Adat Minangkabau yang populer disebut rumah gadang atapnya menggambarkan Tanduk Kerbau (seperti prototipe Kantor Dinas Peternakan Provinsi Sumbar). Wanita Minangkabau memakai pakaian adat dengan hiasan tutup kepala yang khas dan secara filosofis melambangkan tanduk kerbau.

(7)

Secara umum jenis kerbau yang dipelihara di Sumatera Barat adalah jenis kerbau lumpur (swamp buffalo). Populasi kerbau di Sumatera Barat sebanyak 207,6 ribu ekor pada tahun 2010 meningkat dari 192,2 ribu ekor pada tahun 2007 (DITJEN PKH, 2011). Populasi kerbau di Sumatera Barat menempati populasi terbanyak kedua setelah NAD dan merupakan 10% dari populasi kerbau di Indonesia. Keberadaan kerbau tersebut tersebar di hampir seluruh kabupaten di Sumatera Barat. Terdapat beberapa kawasan pengembangan kerbau di Sumatera Barat, antara lain:

1. Kabupaten Agam (Kecamatan Matur, IV Koto, Tilatang Kamang dan Palupuh) 2. Kabupaten Solok (Kecamatan Lembah

Gumanti)

3. Kabupaten Solok Selatan (Kecamatan Sangir, Sangi Jujuan, Sangir Batang Hari dan Sei Pagu)

4. Kabupaten Pasaman (Kecamatan Rao Utara)

5. Kabupaten Padang Pariaman (Kecamatan Sei Limau, Batang Gasan dan Ulakan Tapakis)

6. Kabupaten Pesisir Selatan (Kecamatan Tarusan, Batang Kapas dan Basa IV Balai Tapan)

7. Kabupaten Tanah Datar (Kecamatan Lintau Buo, Sei Tarab, Salimpaung dan X Koto) 8. Kabupaten Sijunjung (Kecamatan

Sijunjung, Koto VII dan IV Nagari). Sejalan dengan itu produksi daging kerbau di Provinsi Sumatera Barat telah memiliki andil yang cukup signifikan terhadap produksi daging kerbau nasional. Pada tahun 2010 produksi daging kerbau Sumbar sebanyak 3.844 ton, atau sekitar 10,7% dari produksi daging kerbau nasional (35.912 ton).

Kerbau dimanfaatkan di daerah tersebut selain sebagai penghasil daging, tenaga kerja di

sawah atau ladang juga dimanfaatkan susunya untuk diolah menjadi dadih, sehinga keberadaan kerbau mempunyai nilai ekonomi yang cukup strategis. Produksi susu dari setiap ternak kerbau yang diperoleh berkisar 1,50 – 2,50 liter/ekor/hari dengan lama pemerahan 7 bulan (ZULBARDI, 2002). Dengan demikian sumbangan protein hewani dari susu kerbau di Sumatera Barat dapat memenuhi kebutuhan petani yang merupakan suatu nilai ekonomis yang signifikan.

Di beberapa tempat seperti di Kabupaten Limapuluh Kota, Agam, Tanah Datar dan Solok, para petani biasa memerah susu kerbau yang diolah menjadi dadih, yaitu produk fermentasi susu secara tradisional menggunakan tabung bambu yang hanya ditemui di Sumbar. Pengolahan susu kerbau juga ditemui beberapa daerah lain seperti di Sumatera Selatan dengan cara mencampur susu dengan gula lalu dimasak menjadi gula puan dan sagun puan. Ada juga yang dimasak menjadi minyak samin dan di Sulawesi Selatan susu kerbau diolah menjadi makanan tradisional dinamakan “dangke” dan di

Sumatera Utara dinamakan “dali“

WIRDAHAYATI, (2007). Dadih sebagai bahan

pangan yang bergizi tinggi dan disenangi masyarakat Sumbar sangat layak untuk dilestarikan dan dikembangkan teknologi pembuatan serta pemasarannya.

Upaya yang dilakukan untuk peningkatan populasi dan produktivitas kerbau di Sumatera Barat antara lain adalah:

1. Pembentukan kawasa-kawasan ternak kerbau

2. Meningkatkan mutu genetik ternak lokal 3. Memproduksi semen beku kerbau di BIB 4. Meningkatkan SDM peternak

Tabel 3. Analisis pendapatan usaha ternak kerbau di peternak

Peubah N Rataan Standar deviasi Standar error Pendapatan kotor (juta rupiah) 30 10,89 1,92 0,35 Pendapatan bersih (juta rupiah) 30 8,19 2,34 0,43 Kepemilikan ternak kerbau (ekor) 30 3,27 1,01 0,19 Pendapatan kotor vs pendapatan bersih

(DF = 29), Nilai uji t = 10,13

2,70 1,46 0,27

(8)

5. Mendorong/meningkatkan variasi olahan dan kualitas produk kerbau (susu, daging dan produk sampingan lainnya).

Pembentukan kawasan untuk

pengembangan kerbau sangat penting terutama dapat memudahkan dalam pembinaan

kelompok-kelompok peternak untuk

meningkatkan produktivitas kerbau yang ada. Peningkatan kualitas kerbau dapat dilakukan melalui pemasukan kerbau pejantan yang unggul ke masing-masing lokasi dan dilakukan secara rotasi pada periode tertentu, sehingga diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas kerbau yang ada dan sekaligus menghindari terjadinya inbreeding pada kerbau-kerbau tersebut. Selain itu juga dapat dilakukan IB pada kerbau sehingga pejantan yang digunakan dapat dikendalikan. Keberhasilan IB pada kerbau telah banyak dilaporkan. Keberhasilan IB pada kerbau dapat dioptimalkan dengan teknik sikronisasi estrus dan ovulasi. Menurut SIANTURI et al. (2012), optimalisasi IB pada kerbau dapat dilakukan dengan teknik sinkronisasi estrus dan ovulasi dengan teknik

Ovsynch, konvensional dan Select synch.

Ketiga metode sinkronisasi menunjukkan hasil yang sangat baik, yaitu 100% dengan persentase kebuntingan metode Ovsynch, konvensional dan Select synch adalah 64,71; 77,14 dan 83,87% berturut-turut. Hasil yang hampir sama juga dikemukakan oleh YENDRALIZA et al. 2012. Sinkronisasi pada kerbau dengan menggunakan beberapa level Dosis GnRH menunjukan persentase estrus, kebuntingan dan anggka kelahiran yang cukup tinggi pada kerbau, yaitu dengan dosis GnRH 300 – 400 (μg) menunjukan persentase baik estrus, kebuntingan dan angka kelahiran yang maksimal yaitu 100%.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

Kerbau berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia karena kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah Indonesia yang memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan ternak kerbau.

Keunggulan-keunggulan yang patut dipertimbangkan pengembangan budidayanya, selain bantuan tenaga untuk mengolah lahan pertanian juga daging dan susu kerbau yang merupakan hasil yang tidak kalah pentingnya.

Pada tahun 2010 produksi daging kerbau Sumbar sebanyak 3.844 ton, atau sekitar 10,7% dari produksi daging kerbau nasional (35.912 ton). Selain itu sumbangan protein susunya bagi kepentingan penduduk Sumatera Barat jauh lebih besar dari sumbangan protein yang berasal sari susu sapi. Pada beberapa tempat di Sumatera Barat, kerbau sangat berperan dalam penambahan pendapatan usaha keluarga antara lain dengan mengolah susu kerbau menjadi dadih yang merupakan makanan tradisional sebagian masyarakat Sumatera Barat.

Namun demikian usaha ternak kerbau masih menghadapi beberapa keterbatasan yaitu kerbau lamban pertumbuhanya, penampilan reproduksinya rendah dan terbatasnya pasokan bibit kerbau. Sejalan dengan itu perlu adanya upaya terobosan untuk peningkatan populasi dan produktivitas kerbau secara nasional melalui program aksi pengembangan perbibitan kerbau nasional yang meliputi berbagai aspek antara lain perbibitan, manajemen pakan, kesehatan termasuk kelembagaan dan akses permodalan bagi peternak.

DAFTAR PUSTAKA

ABDULLAH,M.B. dan M. ZULBARDI.2007. Situasi keberadaan dan ternak kerbau di Indoensia Pros. Seminar Nasional Usaha Ternak Kerbau. Jambi 22 – 23 Juni 2007. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Dinas Peternakan Provinsi Jambi, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Batanghari, Direktorat Jenderal Petermakan. Bogor. hlm. 32 – 39.

AMIK, K. dan A. M. FIRMANSYAH. 2006. Kajian teknologi usahatani jagung di lahan kering Kalimantan Selatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 8(1): 39 – 54.

BAMBANG, A.M. 1991. Memelihara Kerbau. Kanisius (Anggota IKAPI) cetakan ke 9. Direktorat Jenderal Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yogyakarta. BASYID, A. 2006. Pemberdayaan masyarakat

pertanian melalui penguatan modal usaha kelompok petani. Pros Lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan

(9)

bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Bogor. hlm. 49 – 63. DIWYANTO, K. dan E. HANDIWIRAWAN. 2006.

Strategi pengembangan ternak kerbau : Aspek penjaringan dan distribusi. Pros. Lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Bogor. hlm. 3 – 12. DITJEN PKH. 2011. Statistik Peternakan dan

Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Jakarta.

GITTINGER, J.P. 1986. Analisis Ekonomi

Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Universitas

Indonesia. Jakarta.

HAMDAN,A.,E.S.ROHAENI dan A.SUBHAN. 2006. Karakteristik sistem pemeliharaan kerbau rawa di Kalimantan Selatan. Pros Lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Bogor. hlm .170 – 177. KUSNADI, U., B. SETIADI dan E. JUARINI. 2006.

Analisis potensi wilayah peternakan di pulau Sumatera. Pros. Seminar Nasional Peternakan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat, Kerjasama, Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang Mangatas, Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat, Balai Besar Pengkajian Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Padang 11 – 12 September 2006. hlm. 32 – 41. MAYUNAR. 2006. Status dan prospek pengembangan ternak kerbau di Provinsi Banten. Pros. Lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Bogor. hlm. 163 – 169.

Pemdes Lerep. 2007. Monografi Desa Lerep, September 2007. hlm 163 – 169.

MUBYARTO. M. 1980. Pengantar Ekonomi Pertanian Penerbit LP3ES. Jakarta.

RUSDIANA,S., I.GUSTI A.MAHENDRI dan CHALID TALIB. 2011. Pendapatan usaha ternak kerbau di Kecamatan Gunung Sindur Bogor Jawa Barat. Pros. Seminar Nasional Kerbau. Samarinda, 21 – 22 Juni 2011. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Timur, Dinas Peternakan Kotamadya Samarinda, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Bogor. hlm. 152 – 158.

SIANTURI, R.G.,B. PURWANTARA, AMROZI dan P. SITUMORANG. 2012. Optimasi inseminasi buatan pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) melalui teknik sinkronisasi estrus dan ovulasi. JITV 17: 92 – 99.

WIRDAHAYATI dan A.M. BAMUALIM. 2006. Profil peternakan sapi dan kerbau di Provinsi Sumatera Utara. Pros. Seminar Nasional Peternakan. Padang, 11 – 12 September 2006. Balai Pengkajian Teknologi Sumatera Utara, Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, bekerjasama dengan Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Balai Pembibitan Ternak Unggul Padang Mangatas, Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat. Bogor. hlm, 71 – 76. YENDRALIZA,B.P.,ZESPIN,Z.UDIN danJASWANDI.

2012. Penampilan reproduksi kerbau post partum pada berbagai level GnRH yang disinkronisasi dengan PGF2α. JITV 17: 92 – 99.

ZULBARDI, M. 2002. Inventarisasi data, analisis peluang dan penyusunan model pengembangan potensi peternakan kerbau perah di Sumatera Barat. Laporan penelitian Direktorat Budidaya Peternakan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mewujudkan ini, perlu dilihat potensi ternak kerbau baik ternak jantan meliputi kualitas sperma dan kadar hormon testosteron maupun ternak betina yang meliputi umur

Berdasarkan potensi dan kendala usaha ternak kerbau di Kecamatan Cikalongkulon tersebut, maka perlu adanya penelitian mengenai sifat-sifat reproduksi ternak kerbau,

Daerah yang masih sangat potensial untuk pengembangan ternak ruminansia khususnya ternak kerbau adalah Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Selayar, dimana

Peubah yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari: (a) Populasi ruminansia dan ternak kerbau (ST) yang ada pada masing-masing wilayah kecamatan di Kabupaten

Ternak kerbau adalah salah satu jenis ternak ruminansia Indonesia yang berdasarkan aspek nutrisi dan fisiologinya tidak berbeda dengan sapi, sehingga ternak ini cocok dan

Kebanyakan peternak kerbau tersebut masih mengutamakan beternak sebatas sebagai usaha sampingan, dimana ternak kerbau dipandang sebagai salah satu aset rumah tangga

Sumberdaya peternakan di kabupaten Tasikmalaya untuk komoditas ternak ruminansia pada jenis ternak sapi potong dan kerbau populasinya menyebar di wilayah selatan sebagai

Kerbau merupakan ternak ruminansia besar yang mempunyai potensi untuk dikembangkan di Kabupaten Humbang Hasundutan (Provinsi Sumatera Utara) untuk mendukung pemenuhan