• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI MENGENAI PROSTETIK RETINA DENGAN OPTOGENETIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI MENGENAI PROSTETIK RETINA DENGAN OPTOGENETIKA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI MENGENAI PROSTETIK RETINA DENGAN OPTOGENETIKA

Bayu G. Wundari1), Joni Welman Simatupang1) 1)

Electrical Engineering Study Program, Faculty of Engineering, President University Jababeka Education Park, Cikarang Baru, Bekasi, Indonesia-17550

E-mail: syal_6cyu@yahoo.co.id; joniwsmtp@president.ac.id

ABSTRAK

Kehilangan penglihatan merupakan salah satu tragedi yang paling menakutkan yang dapat dialami oleh seseorang. Kebutaan dapat disebabkan oleh beberapa hal, tetapi penyakit degradasi retina adalah salah satu penyakit yang tidak memiliki banyak metode pengobatan. Pengobatan dengan menggunakan sel punca dan terapi obat-obatan memang dapat menolong pasien jenis ini, namun perangkat prostetik menjadi pilihan terbaik untuk mengobati kebutaan. Meskipun prostetik retina standar yang menggunakan listrik sebagai perangsang sudah teruji, akan tetapi, kualitas penglihatan yang dihasilkan masih amat terbatas. Sebagai contoh, si pasien hanya mampu merasakan seberkas cahaya dan tepi berkontras tinggi (high-contrast edges), namun tidak dapat mengenali gambar yang asli atau alami. Pendekatan optogenetika yang dikombinasikan dengan kode saraf (neural code) dapat memberikan persepsi visual yang mendekati asli kepada pasien. Penulis dalam paper ini merancang prostetik retina yang terdiri dari sebuah enkoder dan sebuah transduser. Enkoder berfungsi untuk mengkonversi gambar ke kode saraf yang digunakan oleh sel ganglion retina; sedang transduser berfungsi untuk menstimulasi sel ganglion dalam menghasilkan pola lonjakan sinyal neuron (spike) sesuai dengan kode yang telah dispesifikasikan oleh enkoder. Dengan menggunakan tikus sebagai sistem model, penulis menunjukkan bahwa prostetik retina yang menerapkan kode saraf secara signifikan meningkatkan kualitas persepsi visual mendekati kemampuan penglihatan orang normal. Hal ini dapat diketahui dengan jelas melalui matriks kebingungan (confusion matrix) yang menunjukkan bahwa, rata-rata, prostetik retina dengan enkoder dan transduser dapat mencapai tingkat akurasi 88%, sedangkan prostetik retina standar hanya mencapai tingkat akurasi 17%.

Kata kunci: Kebutaan, prostetik retina, optogenetika, persepsi visual, lonjakan sinyal neuron.

PENDAHULUAN

Perkembangan sains dan teknologi abad ini masih terlalu jauh untuk dapat meniru kemampuan penglihatan biologis mamalia. Oleh sebab itu kebutaan yang disebabkan oleh retinitis

pigmentosa dan macular degeneration menjadi sangat ditakuti. Pengobatan melalui obat-obatan

hanya dapat memperlambat proses kerusakan retina, tidak dapat menyembuhkannya. Dengan demikian, diperlukan metode alternatif yang dapat mengatasi masalah kebutaan secara keseluruhan, yakni melalui prostetik retina.

Mendisain prostetik retina yang dapat meniru kemampuan penglihatan manusia tidak dapat dilakukan hanya dari perspektif enjiniring saja, melainkan juga harus melibatkan aspek biologi, khususnya neurosains. Hal ini dikarenakan proses melihat adalah proses yang amat rumit di mana misteri penglihatan belum terpecahkan sepenuhnya sampai saat ini.

(2)

Sinyal informasi objek visual yang kita lihat ditransmisikan ke otak oleh sel ganglion retina melalui akson dengan terlebih dahulu mentransformasi sinyal tersebut ke dalam kode saraf. Kemudian otak menerjemahkan kode saraf ini sehingga kita dapat mengenali objek visual tersebut. Jadi, kita dapat melihat karena otak menerjemahkan kode saraf hasil dari konversi sinyal informasi objek visual oleh sel retina. Bila kita dapat memahami bagaimana sel ganglion retina menghasilkan kode saraf dan bagaimana otak menerjemahkan kode saraf tersebut, maka adalah sangat mungkin untuk mendisain prostetik retina yang dapat meniru kemampuan penglihatan manusia.

Untuk dapat memahami bagaimana sel retina menghasilkan kode saraf dan bagaimana otak menerjemahkan kode itu, ada permasalahan paling utama dalam penglihatan biologis yang harus dipecahkan oleh sistem penglihatan. Permasalahan tersebut dikenal sebagai masalah optik terbalik (the inverse problem of optic). Masalah optik terbalik merupakan suatu kondisi di mana bayangan (image) suatu benda di dunia tiga dimensi (3D), mau tidak mau harus diproyeksikan ke permukaan retina yang pada prinsipnya adalah dua dimensi (2D).

Gambar 1a mengilustrasikan permasalahan optik terbalik ini. Proses melihat bermula dari serbuan foton (photons) dari sumber cahaya, dalam hal ini matahari, menuju ke objek 3D. Tergantung dari konfigurasi atomik yang direpresentasikan oleh refraktif index objek: ada foton yang diserap, ditransmisikan, dan dipantulkan. Foton yang ditransmisikan dan dipantulkan melalui atmosfer akan menuju ke sistem optik mata yang terdiri dari kornea, lensa, dan terakhir retina. Semua informasi mengenai objek 3D seperti warna, bentuk, pola, ukuran, dsb terkandung di dalam serbuan foton yang direpresentasikan dalam bentuk illuminasi, reflektansi, dan transmittansi. Hasil dari kombinasi ketiga hal ini menstimulasi retina untuk menghasilkan kode saraf yang bersesuaian dengan objek dan kemudian dikirim ke otak untuk diproses lebih lanjut.

Permasalahan utamanya adalah bahwa semua informasi mengenai objek yang di representasikan dalam bentuk iluminasi, reflektansi, dan transmitansi “tersembunyi” di dalam bayangan benda pada permukaan retina hasil dari proyeksi dari dunia 3D ke 2D. Pada prinsipnya, retina dan otak perlu mendapatkan kembali nilai dari iluminasi, reflektansi, dan transmittansi dari bayangan retina guna memahami objek yang sedang dilihat. Namun, hal ini tidak mungkin karena tidak ada metode yang secara logika dapat mengekstrak nilai iluminasi, reflektansi, dan transmittansi dari bayangan retina. Selain itu, ada lebih dari satu kemungkinan untuk membentuk bayangan retina dengan nilai iluminasi, reflektansi, dan transmittansi yang sama (Gambar 1b).

Retina dan otak memiliki metode lain untuk memahami dunia visual walaupun harus berhadapan dengan masalah optik terbalik yang secara matematika analitik tidak dapat diselesaikan (memiliki lebih dari satu kemungkinan solusi). Retina, melalui disain sirkuitnya (retinal circuit),

(3)

mendekomposisi secara parallel informasi dari bayangan retina menjadi banyak fitur (feature), seperti tepi (edges), warna, kelengkungan permukaan, bentuk, orientasi, dsb [3,4]. Proses dekomposisi sinyal terjadi karena keterbatasan dari kapasitas kanal (channel capacity) sel-sel neuron. Entropi dari input visual adalah sangat tinggi (memiliki informasi yang masif) sehingga tidak dapat ditransmisikan dalam satu paket saja. Informasi masif tersebut harus didistribusikan menjadi beberapa paket dan diproses oleh retina. Pada akhir dari proses informasi di retina, tiap tipe dari sel ganglion menghasilkan kode saraf yang bersesuaian dengan representasi-representasi tersebut kemudian dikirim ke otak untuk diterjemahkan. Di sinilah optogenetik berperan dalam mengatasi kebutaan, yakni bagaimana menstimulasi sel ganglion untuk menghasilkan pulsa kode saraf sesuai dengan kehendak kita.

Optogenetik adalah cabang bioteknologi yang menggabungkan rekayasa genetik dengan optik untuk mengobservasi dan mengendalikan fungsi dari sekelompok sel tertentu (biasanya di dalam organisme) dengan bantuan cahaya. Optogenetik tidak berkaitan sama sekali dengan interaksi antara cahaya dan gen atau DNA, namun lebih menekankan pada interaksi antara cahaya dengan produk protein dari gen atau DNA tersebut [5].

Salah satu aplikasi utama dari optogenetik di bidang neurosains adalah stimulasi sel neuron dengan cahaya. Optogenetik dapat menstimulasi sel neuron dengan tingkat keakuratan ruang dan waktu (spatial and time resolution) yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan lokasi dari produk protein dapat ditentukan secara spesifik dengan rekayasa genetika dan kualitas laser yang memiliki resolusi ruang dan waktu yang semakin baik.

(a) (b)

Gambar 1. Masalah optik terbalik (the inverse problem of optic) [1,2].

Gambar 2 menunjukkan prinsip kerja dari optogenetik. Seperti yang telah dikemukakan bahwa metode ini menggabungkan rekayasa genetika dan optik. Rekayasa genetika bertujuan untuk menghasilkan protein khusus pada sel yang ingin dimanipulasi. Protein khusus tersebut berupa

(4)

protein kanal ion (ion channel) yang sensitif terhadap cahaya dengan panjang gelombang tertentu. Peran optik dalam hal ini adalah bagaimana mendisain sistem optik untuk menstimulasi sel yang telah dimanipulasi tersebut dengan tingkat akurasi yang tinggi.

Penerapan optogenetik pada sel neuron bertujuan untuk membuat sel tersebut menghasilkan kode saraf sesuai yang kita kehendaki (Gambar 2 baris kedua). Kode saraf merupakan kombinasi dari depolarisasi dan hiperpolarisasi sel membrane neuron (action potential). Agar sel neuron dapat terdepolarisasi (activation), diperlukan muatan positif yang lebih banyak di dalam sel neuron dibandingkan di luar tubuhnya. Jenis ion positif yang paling sering digunakan oleh sebagian besar tipe neuron adalah sodium (Na+). Sebaliknya, agar dapat terhiperpolarisasi (inhibition), diperlukan muatan negatif yang lebih banyak di dalam sel neuron dibandingkan di luar tubuh neuron. Ion negatif yang sering digunakan oleh sebagian besar tipe neuron adalah ion klorida (Cl-). Ion-ion tersebut tidak dapat keluar-masuk sel dengan sembarangan, mereka harus melalui suatu kanal ion pada sel membrane yang dapat terbuka atau tertutup bila memenuhi persyaratan tertentu. Selain itu, arus difusi dan gaya elektrostatik berperan penting di dalam pengaturan muatan di dalam sel neuron.

Gambar 2. Prinsip kerja optogenetik [6].

Pada prinsipnya, kanal ion yang sensitif terhadap cahaya diproduksi melalui rekayasa genetika ke dalam suatu sel yang ingin dikendalikan. Kanal ion ini ada yang dapat menyebabkan sel neuron terdepolarisasi seperti channelrhodopsin 2 (ChR2, λmax = 470nm) dan ada yang dapat menyebabkan terhiperpolarisasi seperti Halorhodopsin (NphR, λmax = 580 nm). Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 baris kedua, ChR2 yang telah diproduksi pada sel membrane dari suatu sel neuron distimulasi dengan cahaya berwarna biru menghasilkan spike dan ketika distimulasi dengan cahaya laser berwarna oranye, sel tersebut terhiperpolarisasi. Dengan mengatur waktu dan lokasi stimulasi, kita dapat membuat sel neuron menghasilkan kode saraf seperti yang dikehendaki.

(5)

DISAIN PROSTETIK RETINA

Disain dari prostetik retina ini memiliki dua komponen utama: sebuah enkoder dan sebuah transduser (Gambar 3a). Enkoder berfungsi untuk mengkonversi sinyal input menjadi kode saraf yang mirip apabila dihasilkan oleh sel ganglion. Transduser kemudian mengendalikan sel ganglion untuk menghasilkan pola spike yang telah dispesifikasikan oleh enkoder.

Gambar 3. Disain prostetik retina dengan optogenetik [7]

Enkoder bertugas untuk mengkonversi gambar input (bayi) menjadi sinyal elektrik yang mirip dengan kode saraf yang dihasilkan oleh retina normal ketika melihat obyek visual yang sama. Pulsa elektrik kemudian dikirim ke mini-DLP (mini digital light projector) untuk diubah menjadi pulsa cahaya dan diteruskan ke transduser berupa ChR2 yang dibuat secara rekayasa genetika di sel ganglion atau di sel bipolar. ChR2 distimulasi oleh mini-DLP sehingga sel ganglion dapat mengalami depolarisasi dan hiperpolarisasi sesuai dengan sinyal mini-DLP tersebut.

HASIL EKSPERIMEN

Untuk menguji prostetik retina ini, dilakukan tiga percobaan seperti ditunjukkan pada Gambar 4a. Input dari percobaan ini berupa sebuah video sehingga dapat dikatakan bahwa input ini mirip dengan peristiwa yang kita lihat sehari-hari. Percobaan ini guna membandingkan pola spike yang dihasilkan oleh retina normal (grafik pertama), retina rusak tetapi menggunakan encoder-R2 (grafik tengah), dan retina rusak tapi menggunakan prostetik standar (grafik ketiga). Dapat diobservasi bahwa kualitas pola spike yang dihasilkan oleh prostetik encoder-R2 sangat mirip dengan retina normal. Sedangkan prostetik standar tidak memiliki kualitas yang memadai.

Kuantifikasi kualitas pola spike prostetik retina dilakukan dengan membuat confusion

matrix seperti pada Gambar 4b. Confusion matrix menunjukkan probabilitas stimulus yang

diberikan akan diterjemahkan (didekodekan) sebagai stimulus tersebut. Elemen matriks secara diagonal merupakan stimulus yang dedekodekan dengan benar, sedang elemen di luar diagonal tidak. Dengan kata lain, semakin banyak elemen di diagonal, maka semakin baik kualitasnya. Pada

(6)

retina normal. Persentase rata-rata kualitas ini diukur dengan mencari nilai rata-rata elemen diagonal dibagi dengan nilai rata-rata elemen diagonal confusion matrix untuk mata normal. Dengan metode kuantifikasi ini, dapat dihitung (data tidak ditunjukkan) bahwa prostetik

encoder-R2 mencapai tingkat akurasi 88%, sedangkan prostetik retina standar hanya mencapai 17%.

(a)

(b)

Gambar 4. (a) Pola spike yang dihasilkan oleh retina normal, prostetik dengan optogenetik, dan prostetik standar. (b) Kuantifikasi pola spike dengan confusion matrix [7]. KESIMPULAN

Teknologi optogenetik memungkinkan dilibatkannya kode saraf di dalam prostetik retina. Prostetik retina yang menerapkan kode saraf dapat secara signifikan meningkatkan kualitas persepsi visual mendekati kemampuan penglihatan orang normal dengan tingkat akurasi mencapai 88%.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Coursera course: Visual Perception and the Brain. Duke University, 2015

2.

Howe, C. Q. and Dale Purves. Perceiving Geometry - Geometrical Illusions Explained

by Natural Scene Statistic. New York: Springer, 2005

3.

Waessle, H. Parallel Processing in the Mammalian Retina. Nature Reviews

Neuroscience 5, 747-757 (2004)

4.

Masland, R. H. Cell Population of the Retina - The Proctor Lecture. IOVS 52(7):

4581-4591 (2011)

5.

Miesenboeck, G. The Optogenetic Catechism. Science 326, 395-399 (2009)

6.

Prastana, E. Optogenetics: controlling cell function with light. Nature Methods 8,

24-25 (2011)

7.

Nirenberg, S. and Chethan Pandarinath. Retinal prosthetic strategy with the capacity to

Gambar

Gambar 2. Prinsip kerja optogenetik [6].
Gambar 3.  Disain prostetik retina dengan optogenetik [7]

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat di- simpulkan (1) ada peningkatan penguasaan materi matematika 39,45 poin dan peningkatan kemampuan pemecahan masalah 47,48; (2)

Pada artikel ini, penulis akan berfokus pada topik mengenai bagaimana kompetensi guru sebagai bagian dari pedagogical content knowledge (PCK) dalam menerapkan pendekatan

Selambat-lambatnya pada akhir tahun anggaran 1968 oleh Pemerintah harus diajukan Rancangan Undang-undang tentang Tambahan dan Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: PT.. materi ajar dalam proses belajar mengajar. Jadi, membuat kotak adalah media dalam menyampaikan materi ajar.

Organisasi yang menangani keciptakaryaan di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Musi Rawas adalah Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya dan Tata Ruang.. Dinas Pekerjaan

Trait Treatment Interaction (TTI) menggunakan Adobe Flash terhadap keterampilan kolaborasi (Collaboration) peserta didik pada materi teori kinetik gas dan hukum

tersebut dapat menyulitkan dokter dalam pengambilan data anamnesis, demikian pula dalam pengobatan dan tindak lanjut adanya gangguan kognitif tentu akan mempengaruhi kepatuhan

Adanya pengaruh label pasupati pada produk dupa terhadap minat beli konsumen sangat dipengaruhi oleh beberapa hal: 1) fungsi komunikasi massa yaitu adalah fungsi