• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Arahan Strategi Kebijakan Reklamasi Lahan Pasca Penambangan PT. Aneka Tambang Tbk Unit Bisnis Pertambangan Nikel Daerah Operasi Maluku Utara

Penambangan nikel oleh PT. Aneka Tambang Tbk Unit Bisnis Pertambangan Nikel Daerah Operasi Maluku Utara Kabupaten Halmahera Timur di Tanjung Buli berlangsung sejak Tahun 2001. Luas kuasa pertambangan eksploitasi adalah 39.040 Ha meliputi tiga lokasi yaitu Pulau Gee, Tanjung Buli dan Mornopo. Untuk wilayah Tanjung Buli sampai dengan triwulan I tahun 2007 lahan yang telah di leklamasi seluas 92,79 Ha. Kebijakan reklamasi ditujukan agar pembukaan lahan untuk pertambangan seoptimal mungkin dan setelah digunakan dapat segera dipulihkan fungsi lahannya. Meningkatkan kualitas lahan dengan cara melakukan reklamasi lahan pasca penambang merupakan kepentingan masyarakat banyak sehingga tujuan reklamasi harus mengakomodir aspek ekologi, ekonomi, sosial serta kelembagaan. Untuk mendapatkan skenario arahan strategi kebijakan reklamasi lahan pasca penambangan nikel pada lahan konsesi PT. Aneka Tambang Tbk maka digunakan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP).

Metode yang digunakan ialah comparative judgment atau skala banding secara berpasangan, prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitanya dengan tingkat di atasnya. Nilai bobot dari bobot 1 sampai dengan 9. Nilai bobot 1 menggambarkan sama penting, ini berarti atribut yang sama skalanya, nilai bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang penting absolut dibandingkan dengan yang lainnya.

Menentukan arahan strategi kebijakan reklamasi lahan pasca penambangan diperlukan pembobotan peran dan fungsi para stakehoder agar mengetahui tingkat kontribusi dalam pengelolaan lahan pasca penambangan Stakeholders yang berperan yaitu PEMDA, Perusahaan, LSM, Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian dan Masyarakat. Hasil pembobotan peran menunjukan PEMDA berperan penting dibandingkan stakeholders lainya dengan bobot peran 0,501. Fungsi dan peran PEMDA adalah sebagai regulator, mediator dan konsultan dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan (PERDA) tentang pengelolaan lahan pasca penambangan.

(2)

Aspek-aspek yang menjadi pertimbangan dalam kebijakan seperti ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan, melalui proses AHP menunjukan bahwa aspek ekologi yang berperan penting dengan bobot 0,324. Aspek ekologi menunjang keberlanjutan aspek-aspek lainnya dalam menentukan keberlanjutan kehidupan masyarakat sekitar lahan pasca penambangan.

Dengan mengakomodir peran dan aspek yang mendominasi tersebut, tersusunlah beberapa alternatif arahan strategi kebijakan. Analisis diarahkan untuk menemukan alternatif yang memuaskan dan terbaik di antara alternatif-alternatif yang tersedia. Strategi kebijakan pengelolaan lahan pasca penambangan berbasis lingkungan dan berkelanjutan serta bernilai ekonomis bagi masyarakat setempat menjadi prioritas karena perekonomian masyarakat mengandalkan sumberdaya alam sebagai sumber penyedia bahan mentah untuk kelangsungan hidup.

(3)

109

Hasil penggabungan pendapat kelompok stakeholders yang terlibat menggunakan metode AHP diolah dengan software expert choice 2000 (Tabel lampiran 2) dengan indeks inkonsistensi 0,02 dan diperoleh aktor yang berkepentingan dalam peningkatan kualitas lahan untuk pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan nikel di PT. Aneka Tambang Tbk adalah PEMDA sebagai instansi teknis yang sangat terkait dengan pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan mendapat prioritas pertama dengan bobot nilai 0,501, prioritas kedua yang berpengaruh adalah Perusahaan dengan bobot nilai 0,219, aktor berikutnya adalah LSM dengan bobot nilai 0,109, Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian dengan bobot nilai 0,102 dan aktor yang terakhir adalah Masyarakat dengan bobot nilai 0,068. Untuk nilai prioritas kelompok stakeholder dapat dilihat pada Tabel 29 dan Tabel lampiran 2.

Tabel 29. Nilai prioritas kelompok stakeholders

No. Aktor Bobot kepentingan Prioritas

1. PEMDA 0,501 1

2. Perusahaan 0,219 2

3. LSM 0,109 3

4. Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian 0,102 4

5. Masyarakat 0,068 5

Tabel 30 menunjukan peran dan fungsi masing-masing kelompok

stakeholders. Adanya kegiatan penambangan nikel di PT. Aneka Tambang Tbk,

PEMDA mengharapkan pengembangan sumberdaya mineral yang merupakan mesin pembangunan yang berkelanjutan, sedangkan pihak perusahaan mengharapkan keuntungan yang memadai. Kedua aktor tersebut memiliki tanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan. LSM mempunyai peran untuk melakukan pemantauan dan pengawasan di lapangan, baik terhadap kualitas lingkungan, pengelolaan lingkungan pasca penambangan maupun terhadap usaha-usaha penegakan hukum lingkungan. PT/LP diharapkan menjadi penyedia informasi pengetahuan dan teknologi (IPTEKS) serta hasil-hasil penelitian pengelolaan lahan pasca penambangan. Masyarakat mempunyai hak untuk dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Dengan melibatkan masyarakat dari tahap perencanaan, pelaksanaan kegiatan, sampai monitoring dan evaluasi serta pemanfaatan hasil-hasil kegiatan secara berkelanjutan.

(4)
(5)

Ill

Mengingat pentingnya peran PEMDA seperti pada Tabel 30, maka pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan nikel di PT. Aneka Tambang Tbk menjadi prioritas pertama bagi PEMDA dengan bobot nilai 0,501. Pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan nikel di PT. Aneka Tambang Tbk menjadi prioritas PEMDA tetapi perusahaan juga diharapkan bersama-sama dengan PEMDA untuk melakukan hal tersebut, disebabkan pada kenyataan di lapang (defacto) maupun secara de jure (dilandasi dengan hukum), pengaruh dan peran dari PEMDA dan pihak perusahaan ini mengacu pada UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun peraturan tentang reklamasi lahan pasca penambangan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1211. K/008/M.PE/1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum, KEPDIRJEN Pertambangan Umum No. 336. K/271/DDJP/1996 tentang jaminan reklamasi dan saat ini telah di perkuat dengan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 22 menyatakan dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban : butir (b) meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan butir (k) melestarikan lingkungan hidup. Oleh sebab itu maka pemerintah daerah memiliki kekuasaan penuh untuk melakukan pengelolaan lahan pasca penambangan. Namun dari pemantauan di lapangan, ada beberapa kewajiban PEMDA sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam pengelolaan sumberdaya alam yang belum terpenuhi, seperti tidak melakukan tindakan atas pelanggaran yang dilakukan obh pihak perusahaan. Kekurangan PEMDA ini yang secara tidak langsung berperan dalam penurunan kualitas pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan.

Matriks evaluasi peran PEMDA pada Gambar 26 menunjukkan peran PEMDA dalam merumuskan dan menetapkan PERDA tentang pengelolan lahan pasca penambangan sangat penting agar pengelolaan lahan pasca penambangan sesuai dengan kebijakan yang telah ada. Disamping itu tujuan dan sasaran PERDA tersebut diarahkan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan lahan pasca penambangan dan mendorong kemitraan dalam hal pengelolaan lahan pasca penambangan.

Dari ketiga peran PEMDA tersebut, efektivitas terendah adalah peran dalam mendorong kemitraan yang hanya memperoleh 0,4 hal ini disebabkan oleh kurangnya koordinasi antar stakeholders yang ada. Peran meningkatkan

(6)

pengelolan lingkungan sesuai kebijakan memiliki efektivitas 0,6 sedangkan peran merumuskan dan menetapkan PERDA efektivitasnya sebesar 0,8. PERDA telah mampu disusun oleh PEMDA terkait dengan pengelolaan lingkungan (AMDAL) namun pada pelaksanaannya PEMDA masih kurang tegas melaksanakan dan menjalankan kebijakan tersebut terbukti dengan masih ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak perusahaan penambangan dan BAPEDALDA sebagai instansi yang berwenang tidak menindakknjuti hal tersebut. Untuk meningkatkan peran dari PEMDA setempat maka diperlukan perbaikan kualitas SDM yang masih terbatas dan komitmen kepedulian terhadap lingkungan yang kuat sehingga kinerja yang diharapkan dapat optimal.

Gambar 26. Matriks evaluasi peran PEMDA

(7)

yang mendapatkan izin kuasa penambangan (KP) dari pemerintah untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumberdaya alam pertambangan nikel di Tanjung Buli, maka perusahaan wajib memenuhi dan melaksanakan semua peraturan yang terkait dengan kegiatan penambangan dan pengelolaan lingkungan, salah satunya adalah dengan mereklamasi lahan pasca penambangan. Sebelum melakukan kegiatan reklamasi, perusahaan perlu perencanaan yang baik. Hasil pemantauan terhadap kualitas biofisik menjadi dasar dalam perencanaan tersebut dan dari hasil pemantauan di lapangan, pelaksanaan reklamasi lahan pasca penambangan oleh perusahaan perlu dilakukan analisis sifat fisik, kimia dan biologi tanah sebelum melakukan kegiatan reklamasi.

(8)

Gambar 27. Matriks evaluasi peran perusahaan

Gambar 27 menunjukkan tiga peran perusahaan yaitu sebagai penyedia modal dan teknologi pada lahan yang telah di reklamasi agar lahan pasca penambangan tersebut ramah lingkungan dan baik untuk dikembangkan sebagai media tubuh tanam, penciptaan lapangan kerja baru terutama kepada masyarakat lokal, serta memberikan pemasukan dan berpartisipasi dalam mengembangkan fasilitas di sekitar lahan pasca penambangan. Tabel 24 menunjukan perusahaan telah menyediakan sejumlah modal/biaya untuk mereklamasi lahan pasca penambangan, kegiatan tersebut memperkerjakan masyarakat lokal sebagai operator dan mekanis alat. Baik perusahaan maupun pekerja telah memberikan pemasukan bagi PEMDA melalui pajak penghasilan.

Peran perusahaan dalam menyediakan modal dan teknologi memiliki efektivitas sebesar 1,8. Bentuk peran tersebut diantaranya bantuan dana untuk pengembangan di sektor pertanian, bantuan teknologi alat tangkap untuk sektor

(9)

perikanan dan kelautan. Adanya aktifitas penambangan oleh PT. Aneka Tambang Tbk di Tanjung Buli maka secara langsung perusahaan telah memberikan pemasukan berupa pajak dan pengembangan fasilitas masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan, efektivitas peran ini adalah 1,2. Peran yang efektivitasnya masih rendah adalah menciptakan lapangan kerja terutama kepada masyarakat lokal yaitu 0,9. Posisi dalam manajemen hingga posisi mekanis dalam proses penambangan umumnya didominasi oleh tenaga kerja non lokal/ pendatang, penduduk lokal masih terbatas sebagai tenaga kerja yang dilibatkan dalam kegiatan reklamasi.

(10)

Prioritas ketiga yang berpengaruh dalam pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan adalah LSM yang mempunyai bobot nilai 0,109. Stakeholders ini mempunyai peran untuk melakukan pemantauan dan pengawasan di lapangan, baik terhadap kualitas lingkungan, pengelolaan lingkungan pasca penambangan maupun terhadap usaha-usaha penegakan hukum lingkungan. Pemantauan ditujukan untuk memantau aktivitas-aktivitas di sekitar kawasan penambangan, sehingga akan didapalkan informasi-informasi yang jelas tentang penyebab terjadinya degradasi kualitas lingkungan di kawasan penambangan.

A

0

0 0,2 0,4 0,6 0,8 Persentase peran

1,2 1,4 1,6 1,8

Mendorong keterbukaan PEMDA dalam pengamb Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakf Melakukan advokasi dan memberikan bantuan per

lankebijakan n dan program PEMDA dan perusahaan indungan hukum pada masyarakat

Gambar 28. Matriks evaluasi peran LSM

Gambar 28 menunjukkan LSM sangat berperan untuk mendorong keterbukaan pemerintah dalam pengambilan kebijakkan pengelolaan lahan pasca penambangan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan serta program PEMDA dan perusahaan. Selain itu LSM berperan melakukan advokasi dan memberikan bantuan perlindungan hukum bagi masyarakat, tetapi sejauh pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa peran-peran tersebut belum terlaksana secara maksimal karena jumlah LSM yang konsen terhadap bidang pertambangan dan lingkungan di Tanjung Buli berjumlah 3 yaitu WALHI, PERHAPI dan MPT, jumlah tersebut masih kurang.

LSM sebagai lembaga independen aktif mendorong keterbukaan PEMDA dalam pengambilan kebijakan contohnya saat penyampaian AMDAL oleh perusahaan maupun seminar tentang pertambangan dan lingkungan, LSM ikut terlibat. Efektivitas peran tersebut sebesar 1,5. Untuk peran memantau dan

(11)

115

mengevaluasi, LSM masih kurang berkontribusi disebabkan kurangnya porsi yang diberikan oleh PEMDA maupun perusahaan, efektivitas peran ini adalah 0,7. Advokasi untuk masyarakat masih sangat kecil disebabkan jumlah LSM yang konsen terhadap bidang pertambangan dan lingkungan terbatas serta pengetahuan hukum yang masih minim, sehingga efektivitasnya 0,3.

Prioritas keempat adalah Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian dengan bobot nilai Q102. Peran stakeholders ini adalah penyedia informasi pengetahuan dan teknologi (IPTEKS) dalam bidang pertambangan khususnya mengenai reklamasi lahan pasca penambangan. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian dapat menjadi masukan dalam perencanaan maupun pemantauan pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan, baik bagi PEMDA, perusahaan, LSM maupun masyarakat akan tetapi hal tersebut tidak ditemukan di lapangan.

08

c^

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8 2 Persentase peran

Melembagakan partisipasi stakeholders dalam pengelolaan lahan pasca penambangan Mengembangkan IPTEKS dan penelitian dalam pengelolaan lahan pasca penambangan Mema ntau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan dan program PEMDA dan perusahaan

Gambar 29. Matriks evaluasi peran Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian

Gambar 29 menunjukkan peran Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian untuk mendorong partisipasi stakeholders dalam pengelolaan lahan pasca penambangan memiliki efektivitas 1,3. PT/LP melakukan sosialisasi tentang pentingnya lingkungan dan cara pengelolaannya seiring dengan pelaksanaan CD oleh perusahaan. Berlangsungnya kegiatan penambangan oleh PT. Aneka Tambang Tbk hakekatnya dapat menjadi alternatif lokasi penelitian terkait bidang pertambangan dan lingkungan. Efektifitas peran PT/LP dalam hal ini hanya sebesar 0,8 disebabkan keterbatasan dana, minat yang kurang dalam bidang pengelolaan lingkungan dan

(12)

pandangan mereka bahwa KP milik BUMN umumnya dilindungi oleh negara. Sebagai civitas akamedika, peran PT/LP dalam memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan dan program PEMDA masih minim, efektivitasnya hanya 0,2. Kondisi ini disebabkan terbatasnya keterlibatan PT/LP dalam pemantauan tersebut, PT/LP masih di pandang hanya berperan sebagai sumber IPTEKS saja.

Prioritas kelima/terakhir adalah masyarakat dengan bobot nilai 0,068. Masyarakat merupakan komponen yang terkena dampak akibat adanya kegiatan penambangan baik dampak positif maupun dampak negatif, sehingga masyarakat mempunyai hak untuk dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan Masyarakat berada pada posisi kelima dalam struktural stakeholders dalam pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan Masyarakat sekitar penambangan perlu dilibatkan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan kegiatan, sampai monitoring dan evaluasi serta pemanfaatan hasil-hasil kegiatan secara berkelanjutan

(13)

Gambar 30. Matriks evaluasi peran masyarakat

Gambar 30 menunjukan masyarakat berperan efektif dalam partisipasi mendorong

stakeholders dalam pengelolaan lahan pasca penambangan dengan efektivitas 1,6.

Lokasi penambangan merupakan tempat masyarakat hidup, oleh sebab itu kelestarian ekologi menjadi perhatian yang sangat besar. Latar belakang pendidikan di Kabupaten Halmahera Timur kurang memuaskan, sebagian besar penduduk berpendidikan SD (Tabel 9, Bab IV) serta keterbatasan keterlibatan dalam memberikan pertimbangan tentang lingkungan, mengantar efektivitas peran tersebut

(14)

hanya sebesar 0,8. Dengan keterbatasan itu pula, peran masyarakat untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan dan program PEMDA hanya sebesar 0,6.

Menurut Siahaan (2004), masyarakat merupakan sumberdaya yang penting bagi tujuan pengelolaan lingkungan. Bukan saja diharapkan sebagai sumberdaya yang bisa didayagunakan untuk pembinaan lingkungan, tetapi lebih dari pada itu komponen masyarakat juga bisa memberikan alternatif penting bagi lingkungan hidup seutuhnya. Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), dinyatakan bahwa partisipasi masyarakat mendapat tempat pengaturan yang cukup layak dalam proporsi pengelolaan lingkungaa Masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang berkenaan dengan peran serta masyarakat tersebut, seperti yang terdapat pada pasal 5 hingga pasal 7 UUPLH, lebih lanjut dapat dilihat pada (Tabel lampiran 31). Agar terjadi perbaikan kualitas lingkungan pasca penambangan di PT. Aneka Tambang Tbk maka sangat diperlukan koordinasi dan kerjasama yang harmonis dengan semua stakeholders di atas, sehingga akan diperoleh suatu arahan strategi kebijakan yang menguntungkan semua stakeholders.

5.1.2. Hasil Analytical Hierarchy Process (AHP) Prioritas Aspek Terhadap Pengelolaan Reklamasi Lahan Pasca Penambangan PT. Aneka Tambang Tbk

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa menurunkan atau merusak kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Konsep pembangunan berkelanjutan secara garis besar memiliki empat dimensi yaitu : ekologi, sosial, ekonomi serta kelembagaan. Pembangunan berkelanjutan berhubungan erat dengan pemanfaatan sumberdaya mineral secara berkesinambungan, industri pertambangan salah satu bentuknya.

Keberadaan industri pertambangan di daerah tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif. Jika lahan pasca penambangan tidak di reklamasi maka lahan-lahan tersebut akan membentuk kubangan-kubangan yang besar dan hamparan tanah gersang yang bersifat masam. Disamping itu, kegiatan pertambangan dapat memberikan perubahan terhadap budaya dan adat istiadat masyarakat lokal. Kelembagaan mencakup hukum dan manajemen pemerintahan mempengaruhi orientasi pengelolaan lahan pasca penambangan.

(15)

119

Tabel lampiran 4, hasil analisis terhadap bobot kepentingan perusahaan menunjukan aspek ekologi diperoleh bobot nilai 0,495, aspek ekonomi diperoleh bobot nilai 0,194, aspek sosial diperoleh bobot nilai 0,194 dan aspek kelembagaan diperoleh bobot nilai 0,117 dengan indeks inkonsistensi 0,02. Hasil analisis menunjukan bahwa perusahaan menginginkan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan pada lahan pasca penambangan nikel dan areal disekitar beroperasinya PT. Aneka Tambang Tbk Tanjung Buli dan aspek kelembagaan mendapat prioritas terkecil.

Hasil analisis terhadap bobot kepentingan PT/LP menunjukan aspek ekologi diperoleh bobot nilai 0,198, aspek ekonomi diperoleh bobot nilai 0,395, aspek sosial diperoleh bobot nilai 0,239 dan aspek kelembagaan diperoleh bobot nilai 0,168 dengan indeks inkonsistensi 0,02. Hal ini menunjukkan bahwa PT/LP mengharapkan lahan pasca penambangan di PT. Aneka Tambang Tbk Tanjung Buli memberikan konstribusi ekonomi berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat setempat dan aspek kelembagaan mendapat prioritas terkecil, seperti terlampir pada Tabel lampiran 5.

Tabel lampiran 6, hasil analisis terhadap pembobotan kepentingan LSM menunjukan aspek ekologi diperoleh bobot nilai 0,564, aspek ekonomi diperoleh bobot nilai 0,226, aspek sosial diperoleh bobot nilai 0,128 dan aspek kelembagaan diperoleh bobot nilai 0,082 dengan indeks inkonsistensi 0,02. Sedangkan pada Tabel lampiran 7, hasil analisis terhadap pembobotan kepentingan masyarakat menunjukan aspek ekologi diperoleh bobot nilai 0,163, aspek ekonomi diperoleh bobot nilai 0,395, aspek sosial diperoleh bobot nilai 0,278 dan aspek kelembagaan diperoleh bobot nilai 0,163 dengan indeks inkonsistensi 0,02.

Uraian hasil analisis kepentingan masing-masing stakeholders terhadap nilai prioritas aspek menunjukan aspek ekologi menempati urutan pertama dengan bobot nilai 0,324, diikuti oleh aspek ekonomi dengan bobot nilai 0,311, selanjutnya aspek sosial dengan bobot nilai 0,260 dan aspek yang terakhir atau aspek keempat adalah kelembagaan dengan bobot nilai 0,105. Untuk nilai prioritas aspek dapat dilihat pada Tabel 31 dan lebih lengkapnya dapat dilihat pada Gambar 31 dan Tabel lampiran 29, dengan indeks inkonsistensi 0,02.

(16)

Tabel 31. Nilai prioritas aspek

No. Kriteria Bobot Prioritas

1. Ekologi 0,324 1

2. Ekonomi 0,311 2

3. Sosial 0,260 3

4. Kelembagaan 0,105 4

Aspek ekologi berada pada urutan pertama dengan bobot nilai 0,324, menjadi sangat pent ing karena sumberdaya alam pertambangan memiliki sifat yang tidak dapat diperbaharui namun perlu dijaga dan dilestarikan Kondisi ekologi juga menjadi pendukung dan penentu dari keberlanjutan kehidupan masyarakat sekitarnya. Dari hasil pengamatan di lapangan dan didukung data serta informasi yang ada (Tabel 21, Bab IV), menunjukkan terjadi penurunan kualitas ekologi di daerah sekitar lahan konsesi penambangan, parameternya adalah terjadinya perubahan bentang alam, penurunan kualitas air dan tekstur tanah (Tabel 20, Bab IV). Untuk itu diperlukan kebijakan mengedepankan aspek ekologi yang mengutamakan kelestarian jangka panjang atau keberlanjutan

Aspek ekonomi berada pada urutan kedua dengan bobot nilai 0,311. Ekonomi berkaitan dengan pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah. Tanjung Buli memiliki potensi yang besar dalam sumberdaya mineral, pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan diarahkan agar lahan terreklamasi masih dapat menjadi penggerak ekonomi masyarakat dan bersifat keberlanjutan Hasil pengamatan oleh beberapa LSM (WALHI dan PERHAPI) menyimpulkan banyak daerah bekas pertambangan yang kondisinya rusak parah, sebagai contoh Operasi PT. Nusa Halmahera Minerals, yang sahamnya dimiliki oleh Newcrest Singapore Holding Ltd (85%) dan PT. Aneka Tambang Tbk (15%), mengambil tanah masyarakat di Desa Bukit Tinggi seluas 65 Ha dan mencemari sungai Tabobo dan Dowora ketika melakukan eksploitasi pada Tahun 1999. Akibat pencemaran ini, warga di Desa Beringin terpaksa mengeluarkan ongkos transportasi (ojek) angkutan lokal sebesar Rp. 10.000,- untuk mengambil air bersih dari tempat lain yang lebih jauh, padahal sebelum PT. NHM beroperasi, warga bisa mendapatkan air bersih dari sungai secara cuma-cuma.

(17)

121

Pada pembahasan sebelumnya (Gambar 15, Bab IV), bahwa dengan adanya aktivitas penambangan di Tanjung Bull menyebabkan terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat dapat dilihat dengan peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di sektor pertambangan sebesar 33,98%. Hasil reklamasi lahan pasca penambangan di Tanjung Buli memang belum dirasakan karena potensi mineral yang ada belum sepenuhnya di ekploitasi. Untuk itu dengan berakhirnya masa penambanagan nantinya, maka diperlukan arahan strategi kebijakan pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan dalam aspek ekologi yang berorientasi pada aspek ekonomi yang mampu memancing investor dalam memberdayakan potensi daerah yang terreklamasi tersebut agar roda perekonomian tetap berlanjut.

Aspek ketiga adalah aspek sosial. Konflik sosial yang umumnya terjadi pada daerah pertambangan adalah masalah pengelolaan lahan pasca penambangan Sebelum adanya pengusaha pengeksplorasi, lahan adalah milik masyarakat, saat usaha eksplorasi beroperasi, lahan adalah milik pemegang kuasa penambangan. Pasca penambangan, lahan akan dikembalikan kepada PEMDA untuk selanjutnya dikembalikan kepada masyarakat setempat. Harapan masyarakat adalah lahan pasca penambangan tersebut tetap memiliki nilai ekonomi bagi kebelanjutan hidup mereka. Pertimbangan tersebut dapat menjadi arahan dalam kebijakan aspek sosial pengelolaan lahan pasca penambangan sehingga mampu meminimalisir kemungkinan terjadi konflik sosial di lahan pasca penambangan.

Adanya penambangan di Tanjung Buli menyebabkan hilangnya aksesbilitas masyarakat ke hutan yang ada di sekitar lokasi penambangan tertutup bagi aktivitas apapun, bahkan perusahaan memberikan penjagaan pada pintu masuk

acses road dan daerah hutan sekitarnya oleh aparat keamanan perusahaan

(S ATP AM). Sebagai akibat dari situasi ini, masyarakat lokal tidak bisa lagi mengambil hasil-hasil hutan yang biasa mereka peroleh. Padahal sebelum adanya aktivitas penambangan di Tanjung Buli, hasil hutan yang ada bisa dinikmati oleh masyarakat, misalnya sagu, kayu bangunan, kayu bakar, pandan untuk bahan tikar, obat-obatan alami dan berbagai jenis hasil hutan lainnya, sedangkan sejak Tahun 2001 hingga usai penambangan yang akan datang, masyarakat lokal tidak dapat lagi mengambil hasil dari hutan tersebut.

(18)

Aspek kelembagaan menempati urutan keempat. Kelembagaan terkait dengan kebijakan dan struktur manajemen instansi, Hasil pengamatan menunjukan bahwa kebijakan dalam hal pertambangan dan pengelolaan lingkungan hidup yang ada masih kurang diimplementasikan oleh penentu kebijakan (PEMDA) (Tabel 19, Bab IV). Selain itu, struktur manajemen dalam BAPEDALDA dan Dinas Pertambangan khususnya serta instansi terkait lainya belum berjalan dengan baik, diantaranya kurang komunikatif, ketidak terbukaan dalam hal data dan kualitas SDM masih kurang. Parameter yang digunakan adalah jumlah dan latar belakang pendidikan staff dalam instansi pemerintahan Kabupaten Halmahera Timur (Gambar 18, Bab IV). Hal ini menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan aspek kelembagaan dengan harapan kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan dapat melakukan perannya dengan baik guna menunjang aspek-aspek lainya (ekologi, ekonomi dan sosial). Indikator keberhasilan peran kelembagaan adalah keberhasilan program kerja yang direncanakan, peningkatan partisipasi masyarakat dan kontinuitas program penelitian antar stakeholders.

Setiap stakeholders berkontribusi dalam aspek-aspek tersebut di atas. Untuk aspek ekologi adalah tanggung jawab perusahaan dan PEMDA sebagai pemantau dari aktivitas kegiatan pengelolaan lingkungaa Aspek ekonomi peran perusahaan dan PEMDA sangat dominan karena perputaran perekonomi di Tanjung Buli dan sekitarnya sejak ada kegiatan penambangan yang mana perusahaan berperan dalam penyediaan modal dan teknologi sedangkan PEMDA sebagai koordinator investor. Dalam aspek sosial dan kelembagaan, peran masyarakat, LSM dan PT/LP sangat dominan dimana peran mereka adalah memantau dan mengevaluasi kinerja dari PEMDA dan perusahaan

5.1.3. Hasil Analytical Hierarchy Process (AHP) Prioritas Aspek Terhadap Alternatif Kebijakan Pengelolaan Reklamasi Lahan Pasca Penambangan PT. Aneka Tambang Tbk

Proses kebijakan memberikan seperangkat metode, strategi dan tehnik dalam penyusunan kebijakan dengan melibatkan semua pihak yang terkait. Penepatan arahan strategi yang sesuai akan menjamin keberhasilan teknik kegiatan reklamasi yang dimaksud dan secara sosial budaya akan meningkatkan

(19)

124

merupakan hasil comparative judgment oleh masing-masing prioritas kelompok

stakeholders, baik PEMDA, perusahaan, LSM, PT/LP dan masyarakat

melakukan pembobotan kepentingan relatif dua kebijakan dalam kaitannya dengan prioritas aspek ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Bobot nilai dari bobot 1 sampai dengan 9. Bobot nilai 1 menggambarkan sama penting, ini berarti atribut yang sama skalanya, bobot nilainya 1, sedangkan bobot nilai 9 menggambarkan kasus atribut yang penting absolut dibandingkan dengan yang lainnya (Tabel 3, Bab II).

Hasil comparative judgment tersebut menunjukkan kebijakan melakukan reklamasi lahan pasca penambangan yang bernilai ekonomis bagi masyarakat setempat (MRLPE) mendapat pembobotan yang konsisten dan menjadi prioritas dipandang dari aspek ekonomi. Dengan sudut pandang aspek ekologi, kebijakan pengelolaan lahan pasca penambangan berbasis lingkungan dan berkelanjutan (PLPPL) mendapat bobot tertinggi atau prioritas pertama. Sedangkan dari aspek kelembagaan, kebijakan reklamasi harus memperhatikan rencana kerja dari pemerintah setempat dalam hal pengelolaan lahan pasca penambangan (RMRKP) menjadi prioritas ketiga dan yang terakhir yaitu aspek sosial. Alternatif startegi kebijakan dari aspek sosial ini diarahkan pada partisipasi masyarakat dalam menentukan pengelolaan lahan pasca penambangan (PMPLP).

Tabel lampiran 28 menujukan hasil analisis AHP dengan indeks inkonsistensi 0,02 berdasarkan data olahan yang dibantu dengan softwear expert choice 2000 bahwa prioritas aktor/peran PEMDA mendapatkan bobot nilai 50,1%, perusahaan dengan bobot nilai 21,9%, PT/LP bobot nilai 10,9%, LSM bobot nilai 10,2 % dan masyarakat dengan bobot nilai 6,8% yang mengarahkan kepada melakukan reklamasi lahan pasca penambangan yang bernilai ekonomis bagi masyarakat setempat sebagai alternatif kebijakan reklamasi lahan pasca penambangan yaitu prioritas 1 dengan bobot nilai 30,4 % atau 0,304.

Upaya untuk mewujudkan suatu kebijakan reklamasi lahan pasca penambangan nikel di PT. Aneka Tambang Tbk harus dilakukan secara terpadu, dengan adanya dukungan dari berbagai perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan yang secara efektif akan memberikan kepastian hukum

(20)

dalam aspek pengelolaan, termasuk aspek perencanaan dan pemanfaatan bagi pemerintah, perusahaan, PT/LP dan masyarakat (Budiharsono, 2001).

Dari hasil AHP untuk pembobotan alternatif kepentingan dalam menentukan arahan strategi kebijakan reklamasi lahan pasca penambangan oleh kelompok

stakeholders dengan prioritas aspek yang ada, maka diperoleh hdeks inkonsistensi

0,02 dan beberapa alternatif arahan strategi kebijakan, seperti yang tercantum pada Tabel 32 dan lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel lampiran 8-28.

Tabel 32. Nilai prioritas alternatif kebijakan

No. Alternatif Bobot Prioritas

1.

2.

3. 4.

Pengelolaan lahan pasca penambangan berbasis lingkungan dan berkelanjutan

Melakukan reklamasi lahan pasca penambangan yang bernilai ekonomis bagi masyarakat setempat Reklamasi harus memperhatikan rencana kerja dari pemerintah setempat dalam hal pengelolaan lahan pasca penambangan

Partisipasi masyarakat dalam menentukan pengelolaan lahan pasca penambangan

0,285 0,304 0,229 0,182 1 2 3 4

Tabel 32 menunjukkan bahwa pengelolaan lahan pasca penambangan berbasis lingkungan dan berkelanjutan mendapat prioritas pertama dengan bobot nilai sebesar 0,285, melakukan reklamasi lahan pasca penambangan yang bernilai ekonomis bagi masyarakat setempat menempati prioritas kedua dengan bobot nilai sebesar 0,304, prioritas ketiga adalah reklamasi harus memperhatikan rencana kerja dari pemerintah setempat dalam hal pengelolaan lahan pasca penambangan dengan bobot nilai sebesar 0,229 serta prioritas terakhir adalah partisipasi masyarakat dalam menentukan pengelolaan lahan pasca penambangan dengan bobot nilai sebesar 0,182.

Alternatif dapat diartikan sebagai suatu pilihan/kemungkinan. Menurut Saaty (1993), struktur hierarki dalam pendekatan AHP diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada level paling bawah Pada dasarnya, AHP didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi

(21)

126

diantara berbagai set alternatif. Dengan mengakomodir peran dan aspek yang mendominasi tersebut, tersusunlah beberapa alternatif kebijakan. Analisis diarahkan untuk menemukan alternatif yang memuaskan dan terbaik diantara alternatif-alternatif yang tersedia. Hasil struktur hierarki perumusan arahan strategi kebijakan pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan nikel PT. Aneka Tambang Tbk dapat di lihat pada Gambar 33.

(22)

reklamasi lahan pasca penambangan nikel PT. Aneka Tambang Tbk

Alternatif I : Pengelolaan lahan pasca penambangan berbasis lingkungan dan

berkelanjutan (PLPPL) mendapat prioritas pertama dengan bobot nilai 0,285, di bawah bobot nilai 0,304 (melakukan reklamasi pasca penambangan yang bernilai ekonomis bagi masyarakat setempat). Hasil AHP di tingkat kriteria menunjukan aspek ekologi sebagai prioritas pertama, berangkat dari hasil tersebut dan mempertimbangkan bahwa lahan pasca penambangan perlu penanganan dan

(23)

127

pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan sebelum di reklamasi dengan tanaman yang bernilai ekonomis, sehingga alternatif PLPPL menjadi prioritas pertama.

Pengelolaan lahan pasca penambangan berbasis lingkungan dan berkelanjutan menjadi penting karena dampak yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan tersebut sangat besar. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya pada skala lokal bahkan sampai skala regional Menurut Arif (2007), Indonesia telah memulai era pertambangan moderen lebih 30 Tahun yang lalu, sejak diberlakukannya Undang-Undang Pertambangan No. 11 Tahun 1967 bersama dengan Undang-Undang-Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kedua Undang-Undang ini menjadi fondasi untuk penambangan komoditi mineral skala besar yang tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam kedua Undang-Undang tersebut hanya sedikit memuat tentang isu lingkungan hidup. Khususnya keterhubungan antara pembangunan dan lingkungan hidup, sehingga fokusnya adalah pertumbuhan ekonomi. Sejak Our Commnon Future (WCED, 1987) dan Konperensi Rio Tahun 1992 yang menekankan kebutuhan pembangunan yang berkelanjutan dan berfokus pada pengembangan lingkungan Titik balik terjadi pada saat krisis financial pada Tahun 1997-1998 dan Summit of the Americas di Santiago Tahun 1998. Sejak saat itu Indonesia menjadikan faktor lingkungan sebagai faktor yang sangat penting untuk dikelola.

Pengelolaan lahan pasca penambangan berbasis lingkungan dan berkelanjutan yang dapat diimplementasikan oleh PT. Aneka Tambang Tbk yang dikerjakan oleh PT. Yudistira Bumi Bhakti dengan sistem tambang terbuka diantaranya pembuatan terasering sebagai upaya untuk menghindari terjadinya run off, saat menimbun kembali lapisan penutup dengan cara back filling lapisan top soil berada diatas sub soil sehingga tanaman yang akan direklamasi tidak kekurangan hara, tetapi akan lebih baik sebelum dilakukan reklamasi tanah dianalisis terlebih dahulu agar diketahui sifat fisik, kimia dan biologi tanah

Langkah-langkahkebijakan yang dapat dilakukan adalah : (1)

Mengembangkangkan kesepakatan dan kesepahaman antara PEMDA, masyarakat dan dunia usaha dalam pengelolaan lahan pasca penambangan yang berkelanjutan, contohnya pelaksanaan forum/pelatihan dalam rangka pengelolaan lahan pasca penambangan antar stakeholders.

(24)

(2) Mencegah eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan dan pencemaran lingkungan hidup, contohnya pemberian KP kepada investor dari potensi mineral yang terkandung, tanah mengandung mineral yang telah berfungsi sebagai pemukiman dan fasilitas umum tidak dieksplorasi

(3) Meningkatkan keterlibatan PEMDA, masyarakat dan swasta dalam pengelolaan lahan pasca penambangan yang berkelanjutan, contohnya pengalihan pengelolaan lahan yang telah direklamasi ke PEMDA untuk selanjutnya dikelola oleh masyarakat dengan sistem plasma inti atau hutan tanaman rakyat.

Alternatif I : Melakukan reklamasi lahan pasca penambangan yang bernilai

ekonomis bagi masyarakat setempat mendapat prioritas kedua. Walaupun mendapatkan bobot nilai tertinggi 0,304 tetapi lahan pasca penambangan perlu adanya pengelolaan lahan yang berbasis lingkungan dan berkelanjutan. Melakukan reklamasi lahan pasca penambangan yang bernilai ekonomis bagi masyarakat diperlukan karena perekonomian masyarakat mengandalkan sumberdaya alam sebagai sumber penyedia bahan mentah untuk kelangsungan hidup. Hal ini juga sejalan dengan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pemerintah, dimana pertambangan tidak hanya memperhatikan faktor lingkungan dan ekonomi akan tetapi sosial masyarakat juga. Dimana reklamasi yang dilakukan harus mendatangkan manfaat bagi masyarakat di sekitar perusahaan sehingga masyarakat akan merasakan manfaat-manfaat yang didapatkan seimbang dengan resiko yang akan mereka hadapi Dengan adanya reklamasi yang bernilai ekonomis maka untuk ke depan diharapkan masyarakat di sekitar lahan pasca penambagan dapat memanfaatkan hasil dari reklamasi lahan pasca penambangan nikel tersebut, sehingga untuk ke depan masyarakat akan lebih mandiri dan mendapatkan lapangan kerja baru.

Menurut Salim (2005), bahan tambang merupakan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, sehingga keberlanjutan pembangunan akan terhambat oleh susutnya sumberdaya tersebut. Oleh karena itu, orientasi hasil pertambangan dan reklamasi pasca penambangan harus digunakan untuk diversifikasi kegiatan ekonomi yang bertumpu pada sumberdaya alam yang diperbaharui. Bila bahan tambang terus berkurang, sudah tersedia mesin-mesin penggerak pembangunan lain yang berbasis sumberdaya alam yang diperbaharui, seperti pertanian, perkebunan, perikanan, pariwisata dan pengembangan sumberdaya manusia.

(25)

129

Evaluasi kesesuaian lahan pada lahan pasca penambangan di Tanjung Bull dimaksudkan untuk melihat tingkat kesesuaian lahan terhadap beberapa jenis tanaman. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan secara ekologi, tanaman tumbuh dan berkembang di lahan pasca penambangan antara lain lamtoro, linggua/angsana, jati, trema, reside/gamal, Acasia mangium, sengon, jambu mente, nangka, jambulang, sukun, mangga, kelapa dan durian yang sampai dengan dilakukannya penelitian ini tanaman-tanaman tersebut belum berproduksi. Tanaman yang tumbuh dan bernilai ekonomis diantaranya jati, kelapa, mangga dan durian. Tanaman tersebut nantinya dapat memberikan dampak sosial terhadap masyarakat dalam partisipasi pengelolaannya tetapi diperlukan suatu kelembagaan yang mengelola lahan pasca penambangan tersebut ketika lahan tersebut telah dikembalikan ke masyarakat. Kategori kelas kesesuaian lahan pada lahan pasca penambangan Tanjung Buli diperoleh tiga kelas, yaitu cukup sesuai (S2), kurang sesuai (S3) dan tidak sesuai pada saat ini (Nl). Komposisi parameter penghambat dari masing-masing jenis tanaman dapat dilihatpada Tabel 33.

Tabel 33. Evaluasi kesesuaian lahan pasca penambangan Tanjung Buli

Jenis tanaman

Kelas kesesuaian

Sub

kelas Pembatas Lokasi/Blok

Lamtoro S2 S3 N l S3e S3m Erosi tanah

Batuan lepas cm-Bio,crvCHI-C9

Linggua/Angsana, Jati S2 S3 N l

S3e S3rm

Erosi tanah Tekstur, Batuan lepas

CJTI-C9

cm-cio

Trema, Reside/Gamal, S2 S3e Erosi tanah cm-Bio,crv Acasia mangium,

Sengon

S3

N l SSwrm S3m

Genangan air, Tekstur, Batuan lepas

Batuan lepas cm-BioCIV-Bl

Jambu mete, Nangka S2 S3 N l

S3e SSwrm

Erosi tanah Genangan air, Tekstur,

Batuan lepas cm-Bio,crvCHI-C9

Jambulang, Sukun, Mangga, Kelapa, Durian

S2 S3 N l S3e S3wm S3rm

Erosi tanah Genangan air, Batuan lepas Tekstur, Batuan lepas

CJTI-C9

cm-cio

CIV-Bl Ket: S2 = Cukup sesuai, S3 = Kurang sesuai dan Nl = Tidak sesuai pada saat ini

Kelas S3 untuk tanaman lamtoro, jambulang, sukun, mangga, kelapa dan durian terdapat pada lokasi/blok CIII-C9 yang dipengaruhi oleh genangan air, tekstur, batuan lepas dan CIV-Bl yang dipengaruhi oleh tekstur dan batuan lepas. Kelas S3 untuk tanaman linggua/angsana, jati, trema, reside/gamal, Acasia mangium, sengon, jambu mente, nangka terdapat pada lokasi/blok CIII-B10 dan CIV yang dipengaruhi

(26)

erosi tanah. Saat lahan akan dikembalikan kepada masyarakat, tanaman-tanaman tersebut merupakan investasi bagi masyarakat.

Redistribusi adalah jalur untuk meningkatkan stok aset alam dengan adanya reklamasi lahan pasca penambangan maka masyarakat dapat meningkatkan pendapatan ekonomi dengan mengelola lahan tersebut. Internalisasi berupa pelatihan teknis yang terkait dengan pengelolaan lahan pasca penambangan sebagai salah satu modal alam daerah Apropriasi berupa pemanfaatan bersama yang berkelanjutan atas sumberdaya seperti tanaman reklamasi pada lahan pasca penambangan

Arahan Srategi kebijakan pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan dalam aspek ekonomi diarahkan untuk mengembangkan investasi, meningkatkan produktivitas, memperluas perdagangan dan meningkatkan pembangunan infrastruktur seperti terurai sebelumnya pada Sub Bab 4.11.2. Invenstasi yang diarahkan pada pengembangan prasarana sosial dasar dan infrastruktur perdesaan merupakan prasyarat bagi peningkatan investasi swasta. Langkah kebijakan yang dilakukan untuk mengembangkan investasi menurut Mulyo (2005) yang telah di bahas pada Sub Bab 4.7. antara lain :

(1) Meningkatkan investasi terutama untuk kegiatan ekonomi yang menyerap tenaga kerja dan pengembangan usaha di daerah pasca penambangan, misalnya dengan memberikan peluang investasi di bidang pertanian terpadu/kolompok nelayan yang mampu menyerap tenaga kerja.

(2) Mengembangkan industrialisasi dalam rangka meningakatan nilai tambah hasil-hasil alam (produk pertanian, perikanan dan kelautan) sebagai alternatif penggerak ekonomi pasca penambangan, misalnya pembangunan home

industry.

(3) Reformasi perizinan investasi, misalnya adanya sistem satu atap dalam hal legalitas/pemberian izin usaha/kegiatan.

(4) Meningkatkan daya tarik investasi dan menjamin kepastian investasi, misalnya publikasi potensi daerah melalui media elektronik (TV, radio dan

website) dan media cetak (koran dan majalah) dan PEMDA mengarahkan

investasi pada lokasi yang berpotensi sesuai dengan tujuan investor yang disertai dengan jaminan keamanan.

(27)

131

Langkah kebijakan yang dilakukan untuk meningkatkan produktivitas antara lain : (1) Reorientasi pengelolaan usaha tani, perkanan dan kelautan serta usaha

kehutanan,, misalnya dengan mengikutsertakan masyarakat, petani dan nelayan dalam LITBANG, pelatihan/seminar untuk pengelolaan usaha yang berkelanjutan setelah pasca penambangan.

(2) Meningkatkan akses petani dan nelayan terhadap modal, informasi, prasaran dan sarana, teknologi dan pasar, misalnya adanya kemudahan kredit usaha oleh jasa keuangan (BANK), penyediaan petugas penyuluh lapangan (PPL) untuk memberikan informasi terbaru yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan tersebut, penyediaan sarana dan prasarana seperti penyediaan alat transportasi dan pembuatan gudang penyimpanan hasil pertanian dan perikanan serta penyediaan teknologi pasca panen dan pasca tangkap.

Langkah kebijakan yang dilakukan untuk memperluas perdagangan antara lain : meningkatkan kemudahan dalam perdagangan terutama bagi pelaku usaha kecil dan mikro serta koperasi, contohnya peningkatan jumlah dan kualitas jalan dan dermaga.

Langkah kebijakan yang dilakukan untuk membangun infrastruktur antara lain : (1) Menata sistem transportasi wilayah untuk memperlancar angkutan barang dan

angkutan penumpang, contohnya penyediaan alternatif transportasi laut/darat dengan kapal/pengaturan trayek trasportasi umum antar Kabupaten.

(2) Meningkatkan kualitas jasa layanan sarana dan prasarana bagi masyarakat, contohnya peningkatan jumlah armada dan pemeliharaan terpadu jalan umum serta armada transportasi.

Alternatif III : Reklamasi harus memperhatikan rencana kerja dari

pemerintah setempat dalam hal pengelolaan lahan pasca penambangan mendapat prioritas ketiga. Sebelum dilakukannya kegiatan reklamasi lahan pasca tambang, pihak perusahaan harus melihat penataan dan pemanfaatan ruang sesuai dengan kebijakan dari pemerintah daerah setempat agar tidak terjadi tumpah tindih pemanfaat lahan sehingga dikhawatirkan terjadinya konflik sektor pertambangan dengan sektor-sektor lain. Konflik ini dilatar belakangi oleh adanya terminologi

land use dan land cover dalam penataan ruang. Land use (penggunaan lahan)

merupakan alokasi lahan berdasarkan fmgsinya, seperti permukiman, pertanian, perkebunan, perdagangan dan sebagainya. Sementara land cover (alokasi lahan)

(28)

merupakan alokasi lahan berdasarkan tutupan lahannya, seperti sawah, semak, lahan terbangun, lahan terbuka dan sebagainya (DITJEN ESDM, 2001).

RTRW Kabupaten Halmahera timur, land use (penggunaan lahan) daerah Tanjung Bull direncanakan sebagai lahan berdasarkan fungsinya, seperti pertanian/perkebunan dan kehutanan Dengan menyesuaikan arah RTRW tersebut, maka pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan sebaiknya direkkmasi dengan tanaman pertanian/perkebunan dan kehutanan yang tergolong tanaman asli/lokal daerah sekitar Tanjung Buli.

Langkah-langkah kebijakan menurut Mulyo (2005) seperti telah dibahas sebelumnya pada Sub Bab 4.11.4. yang dapat dilakukan adalah :

(1) Perusahaan bersama stakeholders lainya berkoordinasi dan berkonsultasi dalam perumusan program pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan, contohnya forum untuk menyelaraskan rencana pengembangan wilayah dengan orientasi perusahaan pada lahan pasca penambangan.

(2) Penyelarasan program pengelolaan lahan pasca penambangan dengan potensi sumberdaya yang akan dikembangkan PEMDA, yaitu pertanian/perkebunan dan kehutanan, contohnya reklamasi dengan tanaman perkebunan, tanaman hutan, pembangunan kolam buatan untuk budidaya ikan dan udang dengan melalui beberapa analisis sebelum dikembangkan.

(3) Mengembangan sistem monitoring dan evaluasi kinerja secara berkala sebagai dasar pengkajian terhadap program pengelolaan lahan pasca penambangan yang akan atau sedang dilakukan perusahaan, contohnya laporan pengelolaan dan pemantauan lingkungan per semester yang telah diserahkan ke PEMDA dan laporan program CD yang ada, diharapkan dapat dilakukan monitoring dan evaluasi kinerja oleh para stakeholders yang ada.

Dengan mempertimbangkan pemantauan di lapangan berupa inkonsistensi PEMDA dalam peran dan fungsinya, maka dapat dilakukan langkah-langkah kebijakan sebagai berikut:

(1) Revitalisasi peran dan fungsi BAPEDALDA sebagai lembaga koordinasi, mediasi dan konsultasi berbagai pihak dalam perumusan kebijakan dan program pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan

(29)

133

(2) Mengkaji berbagai kebijakan dalam pengelolaan lahan pasca penambangan yang berorientasi pada pemberian akses masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi SDA untuk ikut menikmati dan memanfaatkan sumberdaya yang ada. (3) Melakukan pembaharuan tata pemerintahan dan reformasi serta penguatan

kapasitas birokrasi di daerah dan pengembangan data dasar dan informasi terutama yang berhubungan dengan reklamasi pasca penambangan

(4) Penyediaan dan pemanfaatan data AMDAL yang akurat untuk kebutuhan penentuan saasaran dalam penanggulangan pengelolaan lahan pasca penambangan

(5) Mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi kinerja secara terpadu sebagai dasar pengkajian terhadap pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan pada lahan pasca penambangan

(6) Penerapan law enforcement dalam tubuh PEMDA untuk mempertahankan dan meningkatkan konsistensi kinerja, dapat dilakukan melalui pemberian penghargaan/reward, insentif. Sebaliknya, bila kinerja mengalami penurunan diterapkan suatu hukuman/punishment dan disinsentif.

Kelima langkah kebijakan tersebut di atas dapat diwujudkan, misalnya melalui seminar, rapat koordinasi, BALITBANG atau diklat staf BAPEDALDA dan Dinas Pertambangan mengenai kapasitas dan kinerja kelembagaan di bidang pengelolan lingkungan secara konsisten dan berkala agar mereka mengetahui peran dan fungsinya masing- masing.

Alternatif IV : Partisipasi masyarakat dalam menentukan pengelolaan lahan

pasca penambangan sangat penting mendapat prioritas keempat/ terakhir. Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPL), dinyatakan bahwa partisipasi masyarakat mendapat tempat pengaturan yang cukup layak dalam proporsi pengelolaan lingkungan Masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang berkenaan dengan peran serta masyarakat tersebut.

Keikutsertaan masyarakat dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan kegiatan, sampai monitoring dan evaluasi reklamasi lahan pasca penambangan Tanjung Buli bersama dengan perusahaan, PEMDA, LSM dan PT/LP. Untuk mengarahkan partisipasi tersebut, aspek sosial mencakup pemenuhan hak masyarakat atas tanah, rasa aman, pekerjaan dan berusaha perlu dipertimbangkan

(30)

Pemenuhan hak masyarakat atas tanah, bertujuan untuk menjamin dan melindungi hak perorangan dan hak komunal atas tanah Kebijakan yang dapat dilakukan untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas tanah menurut Mulyo (2005) seperti telah dibahas sebelumnya pada Sub Bab 4.6.3. adalah :

(1) Melindungi hak atas bagi komunitas adat din tanah adat, contohnya dalam pemberian izin kuasa penambangan (KP) dicantumkan batas hak masyarakat adat atas lahan KP.

(2) Meningkatkan peran serta masyarakat sekitar daerah penambangan dalam perencanaan dan pelaksanaan tata ruang serta pemanfaatan tanah, contohnya penerapan sistem plasma inti dalam kegiatan pengembangan dan pengelolaan wilayah untuk pertanian, perkebunan atau perikanan.

(3) Melakukan redistribusi tanah secara selektif dan bertahap, contohnya penyerahkan pengelolaan lahan pasca penambangan untuk pertanian, perkebunan dan kehutanan kepada kelompok-kelompok yang ada, diiringi dengan pemberian teknologi tepat guna.

Pemenuhan hak masyarakat atas rasa aman bertujuan untuk memenuhi hak masyarakat dari gangguan keamanan dan tindak kekerasan serta ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu Langkah kebijakan yang dapat dilakukan antara lain :

(1) Mengembangkan sistem pencegahan konflik sejak dini, contohnya jumlah kepemilikan aset penduduk non lokal di sekitar lokasi penambangan dibatasi agar tidak terjadi gap antara penduduk non lokal dengan penduduk lokal. (2) Memperkuat modal sosial untuk menciptakan harmonisasi dan ketentraman

masyarakat, contohnya pelaksanaan olahraga bersama, gotong royong dan kegiatan keagamaan secara rutin.

(3) Mempercepat pemulihan kembali wilayah konflik, contohnya penyelesaian konflik secara kekeluargaan dengan menyertakan aparat keamanan, pemerintah, tokoh adat dan masyarakat.

(4) Meningkatkan perlindungan bagi masyarakat dari konflik dan tindak kekerasan, contohnya peningkatan kerjasama antar masyarakat dan pembentukan badan pengendalian konflik sosiaL

(31)

135

Dengan adanya partisipasi masyarakat maka penerimaan oleh masyarakat, setempat atau sikap masyarakat terhadap adanya operas! penambangan akan baik. Perusahaan pertambangan memerlukan local license to operate atau kesediaan yang diberikan masyarakat setempat bagi beroperasinya suatu usaha pertambangan. Dengan kesediaan yang diberikan, mengindikasikan bahwa masyarakat yang terkena dampak beroperasinya perusahaan tambang akan menunjukkan itikad baik dengan menerima keberadaan operasi pertambangan Untuk itu diperlukan proses konsultasi panjang yang pada akhirnya dapat berdampak positif dengan dikuranginya potensi konflik. Sarana utama dalam melakukan konsultasi dengan masyarakat adalah community relations atau hubungan komunitas yang baik.

Banyak alasan dapat diberikan untuk menyertakan masyarakat dalam penglolaan lingkungan dan sumberdaya. Melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan, program, atau proyek, dimungkinkan untuk (1) merumuskan persoalan lebih efektif, (2) mendapatkan informasi dan pemahaman diluar jangkauan dunia ilmiah, (3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan diterima dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan (Mitchell at al,, 2003).

5.2. Pembahasan Umum

Untuk nenentukan arahan strategi kebijakan digunakan metode AHP yang diolah dengan software expert choice 2000 dalam menganalisis peran kelompok stakeholders, prioritas aspek dan alternatif kebijakan. Metode yang digunakan ialah comparative

judgment atau skala banding secara berpasangan, prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitanya dengan tingkat di atasnya. Nilai bobot dari bobot 1-9. Nilai bobot 1 menggambarkan sama penting, ini berarti atribut yang sama skalanya, nilai bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang penting absolut dibandingkan dengan yang lainnya.

Stakeholders yang menjadi responden meliputi PEMDA, perusahaan, LSM, PT/LP dan masyarakat setempat. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1211.

(32)

K/008/M.PE/1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum, KEPDIRJEN Pertambangan Umum No. 336. K/271/DDJP/1996 tentang jaminan reklamasi serta UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 22 menjadi penyebab pemerintah daerah memiliki kekuasaan penuh untuk melakukan pengelola lahan pasca penambangan. Hasil analisis AHP dengan indeks inkonsistensi 0,02 menunjukan PEMDA merupakan stakeholders yang paling berperan dalam pengelolaan lahan pasca penambangan karena fungsinya sebagai regulator dan pemantauan merupakan kunci dalam pengelolaan lahan pasca penambangan.

Menurut Steni (2004) fungsi dan kewenangan PEMDA, yakni (1) fungsi dan kewenangan teknis pengelolaan SDA. Ini erat kaitannya dengan kebijakan berupa ijin untuk penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan SDA di daerah dan (2) fungsi dan kewenangan mengatur dan mengurus sumberdaya alam yang merupakan satu kesatuan yang utuh baik pengelolaan yang meliputi perencanaan, pemanfaatan/pengelolaan, pemantauan, pemulihannya (konservasi), maupun kelembagaan, administrasi dan penegakan hukum dalam pengelolaan lahan pasca penambangan yang berkelanjutan bagi masyarakat setempat. Perusahaan sebagai pemegang ijin kuasa penambangan diharapkan bersama-sama dengan PEMDA untuk melakukan fungsi dan kewenangan pengelolaan/pemanfaatan, pemantauan dan pemulihan lahan pasca penambangan.

Dengan demikian jelaslah bahwa dalam persoalan ekologis, peranan pemerintah sangat penting, khususnya dalam merumuskan atau menciptakan berbagai instrumen hukum untuk menangkal kemungkinan timbulnya perusakan dan pencemaran oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Atau dengan kata lain, pemerintah dituntut untuk dapat merealisasikan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) secara konsekuen.

Rasdiani (2005) menyatakan peranan pemerintah daerah maupun pusat dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam serta lingkungannya harus dioptimalkan. Sumberdaya alam penting peranannya dalam peningkatan pendapatan daerah apabila penggunaan sumberdaya alam terencana baik sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan. Selain itu juga peranan pihak swasta sangatlah penting dan diharapkan, yang pada dasarnya akan tergantung pada rumusan

(33)

137

kebijakan pemerintah yang ada, serta suatu kesadaran akan terlaksananya suatu

environmental corporate governance yang baik. Kontrol masyarakat, LSM dan

PT/LP (stakeholders) serta penegakan hukum dalam pengalolaan sumberdaya alam dan lingkungannya merupakan hal yang sangat penting. Sistim hukum yang diperlukan dalam pengelolaan lingkungan hidup harus dapat menerapkan kaidah

environmental good governance.

Masing-masing stakeholders memiliki peran dan fungsi, namun dalam pelaksanaan setiap peran memiliki tingkat efektivitas yang berbeda-beda. PEMDA dengan peran merumuskan dan menetapkan PERDA efektivitasnya sebesar 0,8. Peran perusahaan dalam menyediakan modal dan teknologi memiliki efektivitas sebesar 1,8. Stakeholders berikutnya LSM, sebagai lembaga independen aktif mendorong keterbukaan PEMDA dalam pengambilan kebijakan contohnya saat penyampaian AMDAL oleh perusahaan maupun seminar tentang pertambangan dan lingkungan, LSM ikut terlibat dengan efektivitas peran sebesar 1,5. Peran Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian untuk mendorong partisipasi stakeholders dalam pengelolaan lahan pasca penambangan dengan menyediakan paket-paket IPTEKS (TTG) memiliki efektivitas 1,3. Serta masyarakat sebagaikomponen yang terkena dampak secara langsung akibat adanya kegiatan penambangan berperan efektif dalam partisipasi langsung dan mendorong stakeholders dalam pengelolaan lahan pasca penambangan dengan efektivitas 1,6.

Tahapan analisis selanjutnya adalah analisis untuk prioritas aspek yang meliputi aspek ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Lraian hasil analisis terhadap nilai prioritas aspek dengan indeks inkonsistensi 0,02 menunjukkan aspek ekologi menempati urutan pertama dengan bobot nilai 0,324, diikuti oleh aspek ekonomi dengan bobot nilai 0,311, selanjutnya aspek sosial dengan bobot nilai 0,260 dan aspek yang terakhir atau aspek keempat adalah kelembagaan dengan bobot nilai 0,105. Kondisi ekologi menjadi pendukung dan penentu dari keberlanjutan kehidupan masyarakat sekitarnya karena sumberdaya alam pertambangan memiliki sifat yang tidak dapat diperbaharui namun perlu dijaga dan dilestarikan Orientasi pada aspek ekonomi didasari atas pertimbangan bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat dipengaruhi oleh kontinuitas roda perekonomian pasca penambangan. Dalam kaitanya dengan aspek sosial,

(34)

pengelolaan lahan pasca penambangan memungkinan untuk terjadi konflik sosial sehingga aspek ini perlu mendapat perhatian nantinya bagi para stakeholders. Perencanaan dan pengelolaan aspek-aspek tersebut di atas sangat di dukung oleh aspek kelembagaan, sebab aspek kelembagaan terkait dengan kebijakan dan struktur manajemen instansi.

Menurut Badri (2004) perubahan lahan pasca penambangan sangat khas, untuk itu agar lahan dapat di manfaatkan kembali dan upaya untuk mempercepat revegetasi, dilakukan teknik reklamasi lahan dengan memberikan inokulan pada tanaman kehutanan (akasia, gamal, lamtoro dan sengon) dengan pertimbangan tanaman tersebut relatif untuk beradaptasi dan cepat tumbuh untuk mengembalikan kondisi ekologi. Dalam merehabilitasi lahan pasca penambangan hal penting yang diperhatikan adalah menciptakan kondisi tanah yang mendukung untuk tumbuhnya tanaman, sehingga tujuan rehabilitasi dalam memperbaiki kondisi ekologi dapat tercapai.

Lahan pasca penambangan merupakan sumber dan tata kehidupan yang memberikan manfaat ekologi (ecological benefit}, manfaat ekonomi (economical

benefit}, dan manfaat sosial (social benefit}. Tiga pilar tersebut menjadi sumber dari

tata keberlanjutan kehidupan bagi masyarakat maupun bagi keberlangsungan ekologi itu sendiri. Tiga pilar ini merupakan rantai keberlangsungan bagi kehidupan masyarakat dan pembebanan yang paling mempengaruhi kesejahteraan masyarakat adalah bersumber pada ekologi yang memberi efek pada kemakmuran ekonomi dan sosial budaya. Ekonomi tidak akan bergerak tanpa sumberdaya alam, berbeda dengan pembangunan yang secara drastis mengubah dan menghilangkan nilai ekologi sumberdaya alam. Perkembangan ekologi justru memerlukan waktu jangka panjang. Banyak komponen ekologi adalah milik umum seperti tanah, laut, udara, angin dan air. Komponen-komponen inilah modal untuk kegiatan penambangan oleh PT. Aneka Tambang Tbk, namun manfaat dan kerugian lingkungan selalu berada di luar perhitungan (exter-nality) biaya perusahaan. Ekologi harus dipandang sebagai aset utama di dalam proses ekonomi yang berdampak pada kehidupan sosial budaya masyarakat. Dengan pertimbangan tersebut diatas maka PEMDA sebagai stakeholders yang berperan penting sebagai regulator pengelolaan lahan pasca penambangan perlu menyelaraskan aspek ekologi dan aspek ekonomi, serta di dukung oleh aspek sosial dan kelembagaan.

(35)

139

Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999, pemerintah pusat berhak menentukan hutan negara dan merencanakan penggunaan hutan Sementara UU No. 22 Tahun 1999 dan No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah memberikan kekuasaan atas berbagai sumberdaya alam kepada pemerintah daerah (80%). Terkait UU otonomi daerah maka PEMDA memberikan ijin kuasa pertambangan (KP) KW97PP0443 pada PT. Aneka Tambang Tbk di atas tanah negara. Ijin tersebut dalam tata ruang provinsi Maluku Utara telah ditetapkan sebagai areal untuk penggunaan lain/APL yang dibuat berdasarkan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

Sejak Tahun 2001 PT. Aneka Tambang Tbk telah memulai kegitan penambangan nikel di Tanjung Buli. Penambangan tersebut telah mengakibatkan terjadinya degradasi ekologi. Apabila kondisi ekologi ini telah sedemikian melemah, maka kesejahteraan yang dicapai rmsyarakat menjadi tidak bermakna. Sebab, kesejahteraan tadi harus dibayar dengan recovery cost untuk memulihkan dan menjaga kelestarian lingkungan dan bahkan social cost yang sulit dihitung tingkat kerugiannya. Persoalan ekologi pasca penambangan memerlukan peran pemerintah dalam hal ini PEMDA dalam merumuskan berbagai instrumen hukum untuk meminimilasir degradasi ekologi dan pencemaran lingkungan lebih lanjut atau dengan kata lain, pemerintah dituntut untuk dapat merealisasikan kebijakan yang berkonsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development} secara konsekuen. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa menurunkan atau merusak kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002).

Menurut Siahaan (2004), azas-azas penyelenggaraan negara yang baik dalam mengelola lingkungan dengan prinsip keberlanjutan sumber daya {sustainability) disebut dengan prinsip good governance (GEG). Prinsip GEG ini didasarkan pada pasal 8 ayat 2 UU Pengelolaan Lingkungna Hidup (UUPLH) No. 23 Tahun 1997. Prinsip GEG menurut pasal 8 UUPLH No. 23/ 1997, yaitu kekuasaan dan kompetensi Negara (dalam konteks ini diartikan sebagai pemerintah daerah) menguasai serta mempergunakan sumberdaya alam demi kemakmuran rakyat, menyebutkan bahwa pemerintah mengatur dan mengembangkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup (pasal 8 ayat 2 butir a, b, c dan d). Pemerintah mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup,

(36)

mengendalikan kegiatan-kegiatan yang mempunyai dampak sosial, disamping mengembangkan pendanaan bagj upaya pembinaan fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya seperti terlihat pada Gambar 9, Bab IV Halmahera Timur memiliki potensi mineral dan pertambangan yang sangat bervariasi, meliputi batu gamping, kromit, magnesit, minyak bumi, nikel, pasir besi, talk dan tembaga. Pada Gambar 15 dan Gambar 16, Bab IV potensi Halmahera Timur dari bidang petanian, kelautan dan kehutanan sangat besar. Ketiga bidang tersebut dapat menjadi alternatif pembangunan ekonomi. Kawasan-kawasan yang strategis dan cepat tumbuh ini perlu dikenali dan selanjutnya ditumbuhkan dengan berbagai upaya pengembangan kegiatan ekonomi, seperti pengadaan terminal agribisnis, pasaflelang hasil tangkap atau olahan tangakapan, pengerasan jalan, pelatihan bisnis dan promosi. Pengembangan kawasan-kawasan strategis dan cepat tumbuh ini perlu dilakukan bersamaan dengan upaya peningkatan keterampilan, pengembangan usaha dan penguatan keberdayaan masyarakat.

Pemerintah daerah dan pengusaha adalah dua kelompok yang paling berpengaruh dalam menentukan corak pertumbuhan ekonomi daerah. Pemerintah daerah mempunyai kelebihan dalam satu hal dan tentu saja keterbatasan dalam hal lain, demikian juga pengusaha. Sinergi antara keduanya untuk merencanakan bagaimana ekonomi daerah akan diarahkan perlu menjadi pemahaman bersama. Pemerintah daerah mempunyai kesempatan membuat berbagai peraturan, menyediakan berbagai sarana dan peluang serta membentuk wawasan orang banyak, tetapi pemerintah daerah tidak mengetahui banyak bagaimana proses kegiatan ekonomi sebenarnya berlangsung. Pengusaha mempunyai kemampuan mengenali kebutuhan orang banyak dan dengan berbagai insiatifnya berupa modal usaha serta teknologi, memenuhi kebutuhan itu. Aktivitas memenuhi kebutuhan itu membuat roda perekonomian berputar, menghasilkan gaji dan upah bagi pekerja serta pajak bagi pemerintah daerah. Dengan pajak, pemerintah daerah berkesempatan membentuk kondisi agar perekonomian daerah berkembang lebih lanjut.

Hasil comparative judgment oleh masing-masing aktor stakeholders dengan indeks inkonsistensi 0,02 menunjukkan kebijakan pengelolaan lahan pasca penambangan berbasis lingkungan dan berkelanjutan (PLPPL) mendapatkan

(37)

141

prioritas pertama. Arahan strategi kebijakan melakukan reklamasi lahan pasca penambangan yang bernilai ekonomis bagi masyarakat setempat (MRLPE) mendapat prioritas kedua, sedangkan dari aspek kelembagaan, kebijakan reklamasi harus memperhatikan rencana kerja dari pemerintah setempat dalam hal pengelolaan lahan pasca penambangan (RMRKP) menjadi prioritas ke tiga dan yang terakhir/keempat yaitu partisipasi masyarakat dalam menentukan pengelolaan lahan pasca penambangan (PMPLP). Nilai pembobotan PLPPL sebesar 0,285 prioritas pertama, prioritas kedua MRLPE dengan pembobotan 0,304, prioritas ketiga adalah RMRKP dengan nilai pembobotan 0,229 serta prioritas keempat/terakhir adalah PMPLP dengan nilai pembobotan 0,182.

Reklamasi yang telah dilakukan oleh pihak perusahaan dengan menanam berbagai jenis tanaman (Tabel 26, Bab IV) menjadi jawaban pengelolaan lahan pasca penambangan dari aspek ekologi. Dari aspek ekonomi, nilai non pasar tanaman reklamasi tersebut diukur dengan menebang dan menjual batang/buah/daunya saja, sdangkan tanaman yang dibiarkan tumbuh dianggap tak memiliki nilai ekonomis sama sekali, sedangkan nilai non pasar tanaman dari aspek ekologi diukur dari kegunaanya misalnya untuk keteduhan, kesejukan, kesuburan tanah, konservasi lahan, tempat bersarang berbagai burung dan hewan serta keseimbangan dan kelestarian alam. Selanjutnya, dengan mempertimbangkan nilai ekonomi dan nilai ekologi suatu tanaman maka dari beberapa jenis tanaman reklamasi tersebut dipilih tanaman yang memiliki nilai ekonomis untuk dikembangkan, misalnya pohon jati (batangnya bernilai ekonomis), jambu mete (bijinya bernilai ekonomis), kelapa (seluruh bagian tanaman bernilai ekonomis) dan nangka (batang dan buahnya bernilai ekonomis).

Untuk potensi perikanan tangkap terdapat di sepanjang perairan pantai utara dan timur Kabupaten Halmahera Timur. Hal ini terkait dengan potensi sumberdaya alam dan karakter penduduk yang cenderung menggantungkan hidup langsung pada hasil alam, sedangkan potensi perikanan budidaya terdapat di sepanjang perairan Teluk Kao wilayah Wasile dan Wasile Selatan (pantai barat).

Jenis produk perikanan tangkap unggulan di wilayah Kabupaten Halmahera Timur adalah tenggiri, cakalang, tuna, lajang, hiu, teri, kakap, julung-julung dan kerapu. Potensi ikan budidaya yang dapat dikembangkan meliputi jenis ikan mas,

(38)

ikan bandeng dan ikan nila. Produk budidaya non-perikanan meliputi udang, teripang, mutiara, lobster, cumi pena dan kepiting kenari.Potensi sumber daya perikanan di daerah yang memiliki wilayah laut cukup luas ini yang dikembangkan yaitu usaha penangkapan ikan, udang, rumput laut dan teripang (BKPM Maluku Utara, 2007).

Menyokong konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, berbekal pengetahuan alam masyarakat lokal, didukung pengembangan IPTEKS oleh PT/LP secara berkesinambungan dan di dukung baik oleh PEMDA maupun perusahaan serta bantuan kontrol atau panduan oleh LSM maka diharapkan arahan strategi kebijakan pengelolaan lahan pasca penambangan yang bernilai ekologi dan ekonomis dapat diimplementasikan secara optimal.

Kelompok stakeholders mengharapkan arahan strategi kebijakan pengelolaan lahan pasca penambangan berbasis lingkungan dan berkelanjutan serta bernilai ekonomis bagi masyarakat setempat karena perekonomian masyarakat mengandalkan sumberdaya alam sebagai sumber penyedia bahan mentah untuk kelangsungan hidup. Mengacu pada sifat sumberdaya alam pertambangan yang tidak dapat di perbaharui maka reklamasi dengan tanaman untuk memperbaiki kondisi ekologi perlu menjadi perhatian awal dari stakeholders. Disamping itu, kebijakan reklamasi harus memperhatikan rencana kerja dari pemerintah setempat dalam hal pengelolaan lahan pasca penambangan agar sesuai dengan tata ruang dan peruntukannya. Partisipasi masyarakat dalam menentukan pengelolaan lahan pasca penambangan perlu dilibatkan karena subjek redistribusi lahan pasca penambangan adalah masyarakat itu sendiri.

Dengan mempertimbangkan potensi pertanian, perkebunan dan perikanan serta sosial masyarakat maka alternatif pengembangan yang menggabungkan aspek ekologi dan ekonomi di lokasi lahan pasca penambangan di Halmahera Timur adalah :

1. Menanam komoditi perkebunan berbasis sumberdaya lokal yang bernilai ekonomi.

2. Pengembangan perikanan tangkap sepanjang perairan pantai utara dan timur Halmahera Timur.

3. Peningakatan nilai tambah hasil-hasil alam (produk pertanian, perikanan dan kelautan) dengan melakukan pengolahan pasca panen/tangkap contohnya pembangunan home industry.

Gambar

Tabel 29. Nilai prioritas kelompok stakeholders
Gambar 26. Matriks evaluasi peran PEMDA
Gambar 27. Matriks evaluasi peran perusahaan
Gambar 28. Matriks evaluasi peran LSM
+5

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Setelah diterapkan model ini pada materi kalor X di kelas eksperimen dan kelas kontrol, menunjukkan hasil bahwa: (1) kemampuan berpikir analitis siswa kelas eksperimen

Untuk pengukuran equity-settled share-base payment transactions (transaksi pembayaran berbasis saham yang diselesaikan dengan instrumen ekuitas), entitas

Berdasarkan analisis terhadap hasil penelitian tentang pengaruh sikap dan cara belajar terhadap hasil belajar mata pelajaran sejarah dapat disimpulkan bahwa :

menunjukkan bahwa nilai sig = 0,934 (P>0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara onset usia de- ngan kualitas hidup penderita skizofrenia

Dengan menguasai posisi badan dan gerakan-gerakan kaki, tangan, dan cara pernafasan, langkah yang penting adalah mengkoordinasikan gerakan- gerakan tersebut menjadi

a) Masyarakat yang diusulkan sebagai calon penerima penghargaan adalah mereka yang memberikan kontribusi nyata dan memenuhi persyaratan umum antara lain: (i)

Sedangkan dalam proses pengembangan Multimedia Pembelajarannya, peneliti menggunakan model prototype. Model Prototype adalah metode proses pembuatan sistem yang dibuat

Salah satu model pembelajaran yang diduga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik adalah model pembelajaran berbasis proyek atau.. biasa dikenal dengan