• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERAKSI SUHU PERMUKAAN LAUT DIURNAL DAN MADDEN JULIAN OSCILLATION DI SAMUDERA HINDIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INTERAKSI SUHU PERMUKAAN LAUT DIURNAL DAN MADDEN JULIAN OSCILLATION DI SAMUDERA HINDIA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

73

INTERAKSI SUHU PERMUKAAN LAUT DIURNAL DAN MADDEN

JULIAN OSCILLATION DI SAMUDERA HINDIA

Erma Yulihastin

Pusat Sain dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Indonesia

e-mail: erma.yulihastin@lapan.go.id RINGKASAN

Interaksi laut-atmosfer yang berkaitan dengan MJO diteliti menggunakan pendekatan model kopel laut-atmosfer resolusi tinggi, data satelit dan reanalisis, serta data observasi dari berbagai instrumen di Samudra Hindia. Secara spesifik, interaksi antara laut-atmosfer ini difokuskan pada hubungan antara variasi diurnal Suhu Permukaan Laut (SPL) dan MJO di Samudra Hindia dalam dua kasus dengan periodeberbeda. Periode pertama1 Maret - 30 April 2009 disimulasikan menggunakan model kopel Laut-Atmosfer COAMPS resolusi tinggi yang diverifikasi dengan data observasi. Periode kedua yaitu November-Desember 2011. Pada kasus pertama, selama MJO berada dalam fase tidak aktif, terjadi variasi diurnal SPL yang besar. Pada kasus kedua, selama tiga kejadian MJO aktif November 2011, model kopel COAMPS resolusi tinggi menyimulasikan terjadinya SPL yang lebih dingin dan variasi SPL diurnal yang kecil, dan ini dikonfirmasi dengan baik oleh hasil observasi RAMA. Selain itu, dilakukan juga studi mengenai efek variasi SPL diurnal terhadap onset dan intensitas konveksi MJO di atas Samudra Hindia menggunakan eksperimen model kopel SCOAR. Efek utama variasi SPL diurnal adalah terjadinya kenaikan waktu rata-rata pemanasan SPL dan fluks panas laten sebelum terjadinya konveksi kuat.Variasi SPL diurnal juga memperkuat kelembapan diurnal di troposfer sehingga memberikan efek terhadap peningkatan konveksi dalam hal jumlah total presipitasi.

1 PENDAHULUAN

Madden Julian Oscillation (MJO) merupakan gelombang di atmosfer yang berosilasi intra-musiman (Intra-Seasonal Variation) dengan periode 30-90 hari (Hendon et al., 2000; Waliser et al., 2003 dalam Seo et al., 2014). Keberadaan MJO dapat diidentifikasi melalui anomali konveksi yang menjalar dari barat ke timur dengan kecepatan sekitar 4-5 meter/detik di ekuator (Madden and Julian 1971, 1994 dalam Shinoda et al., 2012). MJO memiliki dampak yang luas terhadap berbagai fenomena cuaca dan iklim global (Zhang 2005, 2013 dalam Seo et al., 2014) seperti variabilitas curah hujan, jejak badai, frekuensi siklon tropis, pecahnya tornado, ENSO, konveksi ITCZ dan ragam kejadan iklim di wilayah ekstra-tropis lainnya.

MJO adalah fenomena kopel laut-atmosfer (Flatau et al., 1997 dalam Seo et al., 2014; Szoeke et al., 2014; Jensen et al., 2015). Proses-proses di lautan lapisan atas seperti perubahan heat content di lapisan campuran, stratifikasi dan pencampuran SPL dengan fluks panas permukaan atmosfer (Drushka et al., 2012; Matthews et al., 2014), merupakan interaksi laut-atmosfer yang dianggap berperan dalam proses inisiasi dan evolusi MJO (Waliser et al., 1999; Zhang et al., 2006 dalam Seo et al., 2014).

Pemanasan asimetris di lautan lapisan atas mengakibatkan variasi diurnal yang mempengaruhi suhu permukaan laut (SPL) pada skala intra-musiman (Sui et al., 1997; Bernie et al., 2005, 2007 dalam Seo et al., 2014). Variasi SPL diurnal berpengaruh

(2)

mem-74

perbesar variasi SPL pada skala intra-musiman. Dengan melihat pengaruh SPL pada skala intra-musiman maka dapat disimpulkan bahwa variasi SPL diurnal berperan dalam konveksi MJO (Webster et al., 1996; Woolnough et al., 2000, 2001; Bellenger et al., 2010, dalam Seo et al., 2014). Pada penelitian yang lain dinyatakan bahwa variabilitas diurnal SPL dapat meningkatkan kekuatan dan koherensi MJO melalui proses kopling laut-atmosfer dalam skala waktu 20-100 hari (Klingaman et al., 2008, 2011 dalam Seo et al., 2014 ).

Meskipun demikian, studi selama beberapa dekade terakhir masih menunjukkan pemahaman yang belum baik mengenai MJO. Walaupun hubungan antara SPL diurnal dan konveksi aktif MJO telah diketahui, mekanisme detail dari hubungan tersebut masih belum jelas. Akibatnya, kemampuan prediksi MJO pun masih terbatas, khususnya yang berhubungan dengan inisiasi aktivitas konvektif di atas Samudera Hindia ekuator (Bechtold et al., 2008; Kim et al., 2009, Vitart and Molteni 2010 dalam Xu et al., 2015). Sebagian besar model iklim kopel tidak mampu menyimulasikan fitur menonjol MJO seperti koherensi penjalaran ke arah timur dan magnitudo konveksi intra-musiman.

Kemampuan prediksi MJO dalam sistem prediksi model global juga sangat rendah, khususnya di wilayah Samudera Hindia. Oleh karena itu, pemahaman mengenai proses kunci yang menginisiasi MJO di Samudera Hindia penting untuk meningkatkan simulasi dan prediksi model iklim (Xu et al., 2015).

Program internasional CINDY/ DYNAMO bertujuan untuk mengumpul-kan data-data pengamatan di Samudera Hindia untuk meningkatkan pemahaman mengenai proses-proses yang menginisiasi MJO dan untuk meningkatkan prediksi MJO. Salah satu target utama campaign adalah peran interaksi laut-atmosfer dalam menginisiasi MJO (Shinoda et al.,

2013; Seo et al., 2014; Xu et al., 2015; Jensen at al., 2015).

Pengamatan CINDY/DYNAMO dilakukan sejak akhir 2011 hingga awal 2012, di wilayah sekitar 75-80⁰BT; 0-10⁰LS di Samudera Hindia bagian tengah. Observasi atmosfer dilakukan dengan berbagai peralatan seperti: jaringan radar-sounding yang diletakkan di atas pulau, karang, kapal, lalu dropsondes, radar air-borne, dan insitu yang dibawa dengan menggunakan pesawat. Sementara pengamatan laut lapisan atas menggunakan mooring meliputi profiler CTD, ADCPs, dan sebagainya. Adapun profil vertikal menggunakan AXBTs dan AXCTDs dari pesawat.

Selama campaign, terjadi tiga episode aktif konveksi skala besar dan anomali angin zonal permukaan berhubungan dengan penjalaran MJO ke timur melintasi Samudera Hindia tropis. Selain itu, terdapat kejadian MJO yang unik karena dua kali konveksi kuat di atmosfer terjadi dalam satu bulan (akhir November-Desember 2011) tanpa fase lemah yang jelas di antara dua kejadian tersebut. Hal ini seperti menunjukkan respons laut yang kuat terhadap forcing di permukaan. Ini merupakan kejadian tidak biasa di area yang luas seperti Samudera Hindia tropis.

Interaksi laut-atmosfer lain yaitu pembentukan gelombang Kelvin di lautan (Kang et al., 2014) yang dianggap terjadi karena pecahnya front SPL dan adanya adveksi anomali SPL. Gelombang Kelvin di lautan mengalami perubahan periode dan kecepatan fase karena forcing atmosfer dari MJO dalam bentuk angin baratan. Refleksi gelombang Kelvin ekuator di pantai Sumatera mengakibat-kan penjalaran gelombang Rossby di ekuator dan gelombang Kelvin menuju kutub yang menjalar sepanjang pantai dan memodifikasi sirkulasi di Samudera Hindia setelah kejadian MJO. Hasil-hasil tersebut menunjukkan sirkulasi laut secara aktif dipengaruhi oleh MJO,

(3)

75 namun pemahaman mengenai mekanisme

respons balik dari laut terhadap MJO melalui SPL hingga saat ini masih terbatas.

Fokus utama dalam makalah ulasan ini adalah membahas hubungan variabilitas SPL diurnal dan MJO serta analisis pengaruhnya untuk wilayah Indonesia. Hubungan antara SPL diurnal dan MJO tersebut dibuktikan menggunakan data dari berbagai peralatan insitu DYNAMO, model kopel laut-atmosfer, data satelit dan reanalisis.

2 METODE

Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi interaksi SPL diurnal dan aktivitas MJO yaitu dengan meng-gunakan data observasi yang meliputi pengamatan dari stasiun, satelit, reanalisis dan simulasi model kopel laut-Atmosfer. Sementara periode pene-litian mencakup dua periode MJO aktif dan kuat di Samudera Hindia yaitu, 1 Maret-30 April 2009 yang merepresentasi-kan musim semi dan

November-Desember 2011 yang mewakili musim gugur dan awal musim dingin. Penjelasan mengenai sumber data dan kelengkapannya disajikan dalam Tabel 2-1.

Campaign DYNAMO selama November-Desember 2011 di Samudera Hindia bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai proses-proses yang terjadi di laut-atmosfer pada saat pembentukan MJO di Samudera Hindia bagian tengah. Satu set peralatan pengamatan lengkap diletakkan di Samudera Hindia bagian tengah selama periode DYNAMO, termasuk jaringan radar-sounding yang diletakkan di pulau, karang, kapal, pesawat (dropsondes, radar air-borne, dan insitu), instrumen oseanografi meliputi mooring dan buoy. Peralatan tersebut didistribusikan pada sembilan lokasi pengamatan yang mewakili wilayah Belahan Bumi Utara (BBU), ekuator, dan Belahan Bumi Selatan (BBS) pada area di sekitar 70-80⁰BT sehingga dapat merepresentasikan perilaku MJO untuk wilayah di ekuator maupun jauh dari ekuator.

Tabel 2-1: KETERSEDIAAN DAN SUMBER DATA

Tabel 1. Ketersediaan dan Sumber Data

1

No Nama Parameter Ukuran

Grid Periode Waktu 1 Data Pengamatan CINDY/DYNAMO (Mooring, Buoy)

SST Tidak memiliki grid

November-Desember 2011 2 Data Satelit TRMM 3B42 Curah hujan 0,25ox0,25o November-Desember 2011

3 Data Satelit QuickSCAT

Angin permukaan

1ox1o

November-Desember 2011

4 Data Reanalisis NCEP/NCAR

Angin, SST, radiasi gelombang 2,5ox2,5o November-Desember 2011 5

Data Model kopel Laut -Atmosfer COAMPS SST, angin , temperatur Atmosfer: 27 km dan 9 km, 40 lapisan. Laut: 14 km, 60 lapisan. November-Desember 2011 6

Data Model kopel Laut -Atmosfer SCOAR SST, angin , temperatur Atmosfer: 40 km, 20 lapisan Laut: 40 km, 30 lapisan November-Desember 2011

2

(4)

76

Sementara dengan satelit dilaku-kan studi untuk pertama kalinya mengenai variabilitas sub-musim salinitas permukaan laut skala luas di Laut Hindia menggunakan data Aquarius dan menunjukkan hasil yang baik. Selain itu, asimilasi data ke dalam model laut dapat menghasilkan produk yang bisa digunakan untuk menginvestigasi stratifikasi salinitas laut lapisan atas. Data satelit juga membantu data insitu untuk menambah analisis profil spasial yang tidak bisa dihasilkan dari data DYNAMO.

Adapun simulasi model kopel Laut-Atmosfer dengan COAMPS dan SCOAR dengan resolusi tinggi secara ruang dan waktu merupakan kelebihan yang dihasilkan oleh studi tersebut dibandingkan dengan studi-studi sebelum-nya yang menggunakan model kopel laut-atmosfer global dengan resolusi yang kasar. Model global dengan resolusi yang kasar tersebut memang sudah dapat menyimulasikan respons laut terhadap forcing permukaan secara kualitatif, namun secara kuantitatif sangat besar perbedaannya dibandingkan data quickSCAT. Error yang signifikan dalam menyimulasikan MJO juga ditemukan dalam data produk analisis global ketika dibandingkan dengan data insitu akibat resolusi yang kasar. Sehingga diharapkan dengan menggunakan model kopel Laut-Atmosfer regional resolusi tinggi, pengetahuan terhadap peran SPL diurnal dalam konveksi MJO dapat diperoleh. 3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Respons Laut-Atmosfer Terhadap Fase Tidak Aktif MJO

Untuk mengetahui respons laut-atmosfer terhadap MJO, maka dilakukan analisis terhadap pola spasial dari amplitudo diurnal SPL dan angin permukaan di atas Samudera Hindia

pada saat MJO tidak aktif. Gambar 3-1a menunjukkan nilai rata-rata amplitudo pemanasan diurnal SPL di Samudera Hindia selama MJO berada dalam fase tertekan (pasif atau tidak aktif). Amplitudo dihitung dari perbedaan antara nilai SPL maksimum dan minimum selama 24 jam.

Pemanasan diurnal yang besar berlangsung di wilayah dekat ekuator dan untuk wilayah yang jauh dari ekuator yaitu di sekitar di Laut Arab (0-3⁰LS; 80-90⁰BT). Pemanasan diurnal SPL yang tinggi pada saat MJO tidak aktif ini juga didukung oleh data angin permukaan yang menunjukkan pola yang sama dengan pola SPL dengan kekuatan angin kurang dari 3 meter/ detik (Gambar 3-1b dan 3-1c). Namun, data radiasi gelombang pendek menunjuk-kan pola yang tidak mendukung data SPL dan angin (Gambar 3-1c). Sebab, radiasi matahari yang besar justru berada di wilayah dekat Teluk Benggala dan Laut Arab dibandingkan dengan ekuator. Padahal pemanasan diurnal SPL yang tinggi berada di dekat ekuator. Hal ini membuktikan bahwa kondisi angin yang tenang selama fase tertekan MJO merupakan penyebab utama terjadinya pemanasan SPL diurnal yang tinggi tersebut yang variasinya dapat mencapai 2,5⁰C melalui data pengamatan dan model (Chen et al., 2015).

Selanjutnya, ketika terjadi onset MJO dari tidak aktif menuju aktif, angin permukaan menguat dan konsekuensinya terjadi peningkatan fluks panas laten dari laut ke atmosfer. Selain itu, pada fase transisi menuju aktif juga ditemukan bukti dalam Seo et al. (2014) bahwa terjadi fluktuasi terhadap data perbedaan SPL (dSPL) diurnal. Pada fase transisi MJO dari tertekan menuju aktif, SPL juga mengalami pendinginan antara 0.25 hingga 1 derajat Celcius.

(5)

77

Gambar 3-1: Amplitudo diurnal SPL di Samudra Hindia pada fase MJO tidak aktif periode Maret-April 2009 (Shinoda et al., 2014)

3.2 Respons Laut-Atmosfer Terhadap Fase Aktif MJO

Selanjutnya dilakukan investigasi mengenai interaksi laut-atmosfer dalam merespon fase aktif MJO. Simulasi model dilakukan selama periode 14 November-13 Desember 2011 yang mencakup dua periode kejadian MJO yaitu MJO pertama (MJO) dan MJO kedua (MJO2). Lokasi simulasi difokuskan di wilayah NSA (Northern DYNAMO Sounding) 0,7⁰LS-17⁰LU; 73⁰-80,5⁰BT. Secara saintifik, lokasi ini dipilih sebagai stasiun pengamatan karena dekat dengan Pulau Maldive yang telah diketahui sebagai wilayah yang dipengaruhi oleh arus laut dan penjalaran gelombang ekuator di Samudera Hindia (Yoon, 1981; Han et al., 1999; Han, 2005 dalam

Seo et al., 2014).

Gambar 3-2 memperlihatkan pola spasial diurnal SPL selama evolusi penjalaran MJO dari fase satu hingga fase delapan berdasarkan data SPL TMI Satelit TRMM. Tampak bahwa SPL di Samudera Hindia mengalami pengurangan signifikan saat MJO aktif di atas Samudera Hindia (fase dua dan tiga) dan di Benua Maritim Indonesia (fase empat dan lima). Pendinginan SPL sehingga meredam siklus diurnal SPL pada saat MJO berada pada fase aktif juga ditemukan dalam penelitian lain mengenai respons laut terhadap MJO (Jensen et al., 2015).

Selain itu, pada saat MJO berada fase aktif, terjadi anomali positif angin dan temperatur dibandingkan dengan

(6)

78

fase lemah yang menunjukkan kondisi sebaliknya (Gambar 3-3). Ini menunjuk-kan bahwa MJO yang aktif telah berpengaruh meningkatkan temperatur permukaan dan angin permukaan di atmosfer (Gambar 3-3).

Gambar 3-4 menunjukkan evolusi parameter konvektif di mana SPL dan curah hujan sebagai fungsi dari penjalaran fase gelombang MJO. Terlihat bahwa pola evolusi antara dua lokasi stasiun yang dekat dengan Samudera Hindia tengah-ekuator yaitu Gan (0⁰,72⁰BT) dan Revelle (0⁰,80⁰BT) menunjukkan kemiripan. Peningkatan SPL diurnal terlihat pada saat MJO berada di Samudera Hindia (fase satu dan dua) dengan SPL diurnal di sekitar Gan lebih tinggi (> 29,5⁰C) dibandingkan dengan lokasi Revelle (<29,5⁰C). Selain itu, aktivitas konveksi yang berhubungan dengan MJO terjadi lebih dulu di Gan dibandingkan dengan Revelle. Hal ini konsisten dengan proses penjalaran MJO yang berlangsung dari barat ke timur. Sementara untuk lokasi pengamatan yang jauh dari ekuator (Mirai), tidak terjadi peningkatan SPL diurnal dan justru sebaliknya terjadi penurunan. Hal ini sekaligus membukti-kan bahwa MJO tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap wilayah yang jauh dari ekuator (Mirai).

Pada tiga kejadian fase aktif MJO juga ditemukan bukti bahwa variasi SPL diurnal mempengaruhi onset dan intensitas konveksi MJO di atas Samudera Hindia menggunakan eksperimen model kopel SCOAR. Peningkatan maksimum SPL sebelum terjadinya onset MJO juga ditemukan oleh Szoeke et al. (2014). Efek utama variasi SPL diurnal adalah terjadinya kenaikan waktu rata-rata pemanasan SPL dan fluks panas laten sebelum konveksi kuat. Variasi SPL diurnal juga memperkuat kelembapan

diurnal di troposfer, yang memberikan efek peningkatan konveksi dalam hal jumlah total presipitasi.

3.3 Dampak Respons Laut-Atmosfer Saat MJO Aktif Terhadap Indonesia

Berdasarkan analisis spasial dari satelit TRMM pada Gambar 3-4 tampak bahwa saat terjadi MJO aktif di Samudra Hindia (fase dua dan tiga), wilayah Indonesia mengalami hujan maksimum. Hal ini sesuai dengan penelitian klimatologis sebelumnya yang dilakukan oleh Hidayat dan Kinzu (2010) menggunakan data insitu dari BMKG bahwa anomali positif curah hujan di wilayah Indonesia barat terjadi pada fase dua dan tiga. Gambar 3-4 juga dapat diinterpretasikan bahwa penurunan SST diurnal di Samudera Hindia pada saat MJO aktif juga dapat meningkatkan SPL diurnal di perairan lokal wilayah Indonesia.

Selain itu, analisis curah hujan juga dilakukan untuk wilayah Padang, Sumatera Barat dan Pontianak, Kalimantan Barat untuk melihat pengaruh aktivitas MJO di Samudera Hindia pada kedua wilayah. Tampak pada Gambar 3-5, curah hujan dengan intensitas tinggi terjadi selama periode November-Desember 2011, ketika terjadi aktivitas MJO kuat di atas Samudra Hindia.

Dalam 10 paper yang diulas telah ditemukan keterkaitan antara aktivitas MJO dengan SPL diurnal baik dalam fase tertekan (tidak aktif), transisi (onset) menuju aktif, maupun aktif. Adapun prosesnya secara fisis menunjukkan bahwa pendinginan SPL diurnal yang berkaitan dengan fase aktif MJO disebabkan karena menguatnya angin permukaan secara zonal.

(7)

79

Gambar 3-2: SPL Diurnal pada saat aktivitas MJO Oktober-Desember 2011 (Xu et al., 2015)

Gambar 3-3: Anomali temperatur dan angin selama periode simulasi November-Desember 2011 pada saat MJO aktif dan tidak aktif di Samudra Hindia (Seo et al., 2014)

(8)

80

Gambar 3-4: Pola curah hujan di tiga lokasi stasiun (Gan, Revelle, Mirai) selama aktivitas MJO di Samudera Hindia November-Desember 2011 (Xu et al., 2015)

Gambar 3-5: Pola deret waktu curah hujan berdasarkan data curah hujan per tiga jam Satelit TRMM 3B42RT di atas sekitar Padang, Sumatera Barat (a) dan Pontianak, Kalimantan Barat (b) selama November-Desember 2011

4 PENUTUP

Aktivitas MJO mempengaruhi variabilitas SPL di Samudera Hindia dalam skala diurnal. Magnitudo SPL diurnal mendingin dalam skala luas selama kejadian MJO bersamaan dengan penguatan angin zonal yang menimbulkan jet ekuatorial zonal. Sebaliknya, terjadi pemanasan SPL dengan variasi diurnal yang besar dan

pelemahan angin terjadi di laut selama MJO berada dalam fase tertekan atau tidak aktif. Pada fase transisi dari tidak aktif menuju aktif, terjadi peningkatan angin dan fluks panas laten dari laut ke atmosfer sehingga menyebabkan SPL menurun dengan cepat. Selain itu, ditemukan juga bukti bahwa pada fase transisi, SPL diurnal mengalami fluktuasi yang besar. Tinjauan interaksi mm/3jam

waktu

(9)

81 laut-atmosfer yang diungkapkan oleh

kelima paper mengacu pada proses di atmosfer (angin permukaan) yang mem-pengaruhi laut lapisan atas (SPL). Dalam paper-paper yang diulas tidak ditemukan pembuktian sebaliknya yaitu bagaimana proses di laut lapisan atas mempengaruhi intensitas dan kekuatan MJO. Menarik jika dilakukan penelitian mengenai SPL dalam dua kondisi yang berbeda misalnya fase hangat dan fase dingin di Samudera Hindia dapat mem-pengaruhi MJO. Sementara itu, hasil variasi diurnal SPL yang disimulasikan model kopel regional resolusi tinggi dapat meningkatkan pengetahuan terhadap proses di laut dan di atmosfer sehingga dapat memperbaiki hasil prediksi MJO.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Tri Wahyu Hadi dari Program Studi Sains Kebumian, ITB, atas saran konstruktif terhadap perbaikan substantif makalah sintesa ini.

DAFTAR RUJUKAN

Chen, S., Flatau, M., Jensen, T.G., Shinoda, T., Schmidt, J., May, P., James, C., Liu, M., Ciesielski, P.E., Fairall, C.W., Lien, R-C.,Baranowski, D.B., Chi, N-H., Szoeke, S.d. dan Edson J., 2015. A

Study of CINDY/DYNAMO MJO Suppressed Phase, J. Atm. Sci., DOI:

http://dx.doi.org/10.1175/JAS-D-13-0348.1.

Drushka, K., Sprintall, J., Gille., ST., dan Wijffels, S., 2012. In situ Observations

of Madden-Julian Oscillation Mixed Layer Dynamics in the Indian and Western Pacific Oceans, J. Of Clim.,

DOI: http://dx.doi.org/10.1175/JCLI-D-11-00203.1.

eo, H., Subramanian, A.J., Miller, A.J., dan Cavanaugh, N.R., 2014. Coupled Impacts of the Diurnal Cycle of SPL on the MJO, J. of Clim., 27, 8422-8433.

Hidayat, R. dan Kizu, S., 2010. Influence of the

Madden-Julian Oscillation on Indonesian Rainfall Variability in Austral Summer,

Int. J. of Clim., 30, 1816-1825.

Jensen, T.G., Shinoda, T., Chen, S., Flatau, M., 2015. Ocean Response to CINDY/

DYNAMO MJOs in Air-Sea-Coupled COAMPS, J. of the Met. Soc., 93A,

157-178.

Kang, I-S, Liu, F., Ahn, M-S, Yang, Y-M., dan Wang, B., 2013. The Role of SPL

Structure in Convectively Coupled Kelvin-Rossby Waves and Its Implications for MJO Formation, J. Of

Clim., DOI: http://dx.doi.org/10. 1175/ JCLI-D-12-00303.1.

Matthews, A.J., Baranowski, D.B., Heywood, K.J., Flatau, P.J., dan Schmidtko, S., 2014. The Surface Diurnal Warm Layer

in the Indian Ocean During CINDY/ DYNAMO, J. Of Clim, DOI: http://dx.

doi.org/10.1175/JCLI-D-14-00222.1. Shinoda, T., Jensen, T.G., Flatau, M., dan

Chen S., 2012. Surface Wind and

Upper-Ocean Variability Associated with the MJO Simulated by the Coupled Ocean-Atmosphere Mesoscale Prediction System (COAMPS), Mon. Weat. Rev.,

141, 2290-2307.

Shinoda, T., Jensen,T.G., Flatau,M., Chen, S., Han, W.,dan Wang, C., 2013.

Large-Scale Oceanic Variability Associated with the MJO during CINDY/DYNAMO Field Campaign from Satellite Observations, Rem. Sens., 5, 2072-2092.

Szoeke, S.P.d., Edson, J.B., Marion, J.R., Fairall, C.W., dan Bariteau, L., 2014.

The MJO and Air-Sea Interaction in TOGA COARE and DYNAMO, J. Of

Clim., DOI: http://dx.doi.org/10. 1175/JCLI-D-14-00477.1.

Xu, W., Rutledge, S.A., Schumacher, C., Katsumata, M., 2015. Evolution, Properties, and Spatial Variability of MJO Convection Near and off the Equator During DYNAMO, Journal of

(10)

Gambar

Tabel 2-1: KETERSEDIAAN DAN SUMBER DATA
Gambar 3-2 memperlihatkan pola  spasial  diurnal  SPL  selama  evolusi  penjalaran  MJO  dari  fase  satu  hingga  fase delapan berdasarkan data SPL TMI  Satelit  TRMM
Gambar 3-3: Anomali temperatur dan angin selama periode simulasi November-Desember 2011 pada  saat MJO aktif dan tidak aktif di Samudra Hindia (Seo et al., 2014)
Gambar 3-4: Pola  curah  hujan  di  tiga  lokasi  stasiun  (Gan,  Revelle,  Mirai)  selama  aktivitas  MJO  di  Samudera Hindia November-Desember 2011 (Xu et al., 2015)

Referensi

Dokumen terkait

Pos Indonesia (Persero) tersebut tidaklah melanggar asas kebebasan berkontrak, karena walau bagaimanapun pihak konsumen dalam hal ini pengguna jasa Pos Express masih diberi hak untuk

Model Jaringan Kompetisi Berbobot Tetap adalah salah satu model pada Jaringan Syaraf Tiruan yang dapat digunakan untuk kasus clustering dan tidak dapat

Program Studi Pendidikan Tata Niaga, Jurusan Ekonomi dan Administrasi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta, Juni 2013.. Penelitian ini dilakukan di PT GMF AeroAsia

Hasil penelitian ini adalah: implementasi karakter keatif meliputi(1) HMP PGSD melakukan inovasi baru berupa pelaksanaan program kerja pelatihan debat, (2) berani

Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan

Disisi lain dengan memperhatikan perkembangan dunia semakin mengglobal dan penuh dengan persaingan, dan perubahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi, maka pemerintah

Metode dan tahapan pengujian antara lain uji komposisi kimia spesimen logam yang akan dilakukan uji korosi, uji komposisi nira tebu, dan pengujian korosi spesimen

Penempatan TKI ke luar negeri hanya dapat dilakukan ke Negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau ke Negara