• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Struktural Harga Minyak Goreng Dan Volume Ekspor Crude Palm Oil Indonesia Pengaruhnya Terhadap Harga Crude Palm Oil Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Struktural Harga Minyak Goreng Dan Volume Ekspor Crude Palm Oil Indonesia Pengaruhnya Terhadap Harga Crude Palm Oil Internasional"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

60

BAB. II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori dan Konsep Ekonomi.

Aceng (2011), menjelaskan pendapat (Palmquist, 2000) tentang analisis yakni

merupakan bentuk kegiatan logika yang mencari kebenaran konkret suatu proposisi,

dan memusatkan perhatian mula-mula dan terutama pada forma lugasnya (yang pada

dasarnya matematis), yaitu nilai kebenarannya. Jika analisis dikategorikan sebagai

metode berpikir dalam mengungkapkan pengetahuan dan kebijaksanaan, maka tentu di

dalamnya terdapat serangkaian fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang digunakan

untuk menguraikan ataupun menyederhanakan ungkapan atau hasil pemikiran. Hal ini

dimaksudkan sebagai upaya menjelaskan setiap entitas yang dikandung dalam ungkapan

pemikiran dan perasaan manusia. Aceng (2011) menjelaskan teori adalah sesuatu dasar

logis mengandung kebenaran serta memiliki kesesuaian arti rasional kepada fakta-fakta

yang sudah ada dan juga telah senada dengan keputusan lainnya, sehingga telah dapat

diakui bersama kebenarannya tetapi semua itu tergantung kepada berfaedah atau

tidaknya teori tersebut bagi kehidupan umat manusia. Oleh karena itu teori justru

membantu dalam me-reproduksi hipotesis yang baru kepada lahirnya suatu konsep

yang memiliki nilai dan unsur kebenaran lebih sempurna didalam realitas kehidupan

umat manusia. Beberapa teori ekonomi dan konsep ekonomi yang dipergunakan pada

studi ini adalah sebagai berikut.

2.1.1. Teori Fungsi Produksi.

Salvatore (1992), menjelaskan fungsi produksi Cobb Douglas menyatakan

produksi adalah suatu kegiatan dalam mengubah input menjadi output. Fungsi produksi

(2)

61

produksi dengan jumlah output yang dihasilkan pada suatu waktu dan dengan tingkat

teknologi tertentu atau menunjukkan sifat perkaitan antara faktor produksi dan tingkat

produksi yang diciptakan. Faktor produksi adalah variabel sebagai input yang

jumlahnya akan berubah jika output produksi berubah seperti bahan baku, pajak dan

lainnya. Variabel yang umumnya dinyatakan mempengaruhi dari faktor produksi

diantaranya adalah ;

1. Tingkat upah. (W).

2. Harga bahan baku (S).

3. Kemajuan teknologi (T).

4. Tingkat suku bunga (R).

Sehingga secara matematis prilaku produsen pada model Cob Douglas adalah ;

Qs = f ( W + S + T + R ) ………. (1)

Dimana Qs = Output produksi, atau dalam persamaan regresi dituliskan sebagai ;

Qs = β0 + β1 W + β2 S + β3 T + β4 R + μ……… (2)

Persamaan ini memberi arti setiap pertambahan input menambah output yang sama,

dimana β0 – β4 adalah konstanta elastisitas. Untuk persamaan fungsi produksi non

linear pada model Cob Douglas adalah :

Qs = α + W β1 + S β2 + T β3 + R β4 + μ ………..………. (3)

Persamaan ini memberi arti setiap pertambahan input, akan menambah output

yang berkelipatan sesuai dengan kelipatan dari fungsi tersebut. Biaya produksi

dicerminkan oleh jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mendapat sejumlah input

tertentu. Biaya produksi total (total cost) merupakan jumlah biaya tetap total (total fixed

cost) dan biaya variabel total (total variable cost), dalam persamaan matematika

(3)

62

Jangka waktu produksi dapat dibedakan menjadi ; jangka waktu pendek, dimana

perusahaan tidak dapat menambah jumlah faktor produksi yang dianggap tetap seperti ;

mesin, bangunan dan lainnya yang dapat mengalami perubahan adalah waktu kerja,

jumlah buruh, bahan bakar dan sebagainya. Untuk jangka waktu panjang semua input

atau faktor produksi variabel dapat diubah dimana faktor produksi dalam jangka

panjang tidak terdapat input yang tetap. Baik pada jangka pendek maupun jangka

panjang, laba operasional perusahaan ditentukan oleh dua item, yaitu penerimaan (total

revenue) dan biaya (total cost), dimana selisihnya dikatakan sebagai laba bagi

perusahaan. Jadi berdasarkan pemikiran ini laba maksimum perusahaan ditentukan oleh

perubahan penerimaan dan perubahan biaya dengan syarat perubahan laba sama dengan

nol atau turun pertama dari persamaan laba sama dengan nol. sehingga dalam model

matematis dinyatakan sebagai ;

∆ / ∆Y= ∆TR/∆Y – ∆TC/∆Y = 0

MR = ∆TR/∆Y maka MC = ∆TC/∆Y

Jika 0 = MR – MC maka M R = MC.

Fungsi produksi Constant Elasticity of Substitution (CES) adalah fungsi

produksi neoklasik yang sifatnya konstan dan menampilkan elastisitas substitusi hal ini

menjelaskan properti dari beberapa fungsi produksi dan fungsi utilitas. Dengan kata

lain, teknologi produksi memiliki persentase perubahan konstan dalam faktor secara

proporsi (misalnya luas lahan, harga barang lain) yang disebabkan oleh perubahan

persentase pada tingkat marjinal substitusi teknis dua atau lebih, jenis masukan

produktif menjadi kuantitas agregat, hal ini telah menunjukkan Fungsi agregator

Constant Elasticity of Substitution, Hall R, (1992). Fungsi produksi Constant Elasticity

(4)

63

Chenery, Minhas. Model Constant Elasticity of Substitution, yakni sebagai berikut ;

Q = F.{ a . K r + (1 - a) . L r } 1/r

Dimana Q = Output , F = Faktor produktivitas,

a = Share parameter, 1/r = elastitas.

Bentuk umum dari fungsi produksi Constant Elasticity of Substitution ( CES ) adalah ;

N (s-1)/1 s/(s-1)

Q = F .

Σ

ai

1/s

X

i

i=1

Menurut Hal R. (1992) Fungsi produksi CES menjelaskan perubahan diantara

kombinasi modal dan tenaga kerja. Fungsi produksi Leontief, linear dan Cobb-Douglas

adalah kasus khusus dari fungsi produksi CES. Artinya, dalam batas sebagai

pendekatan s = 1, didapatkan fungsi Cobb-Douglas; dimana s, pendekatan positif

sampai tak terhingga didapatkan (substitusi sempurna) fungsi linear, dan untuk s,

mendekati 0, disini didapatkan fungsi Leontief (sempurna melengkapi fungsi).

2.1.2. Fungsi Penawaran.

Menurut Andindita (2008), Hubungan diantara harga produk dengan jumlah

komoditas yang ditawarkan disebut sebagai fungsi penawaran, secara matematis di -

formulasi sebagai ; Qsx = f ( Px )

dimana ; Qsx = Jumlah barang x yang ditawarkan dipasar.

Px = harga produk atau komoditas x dan f adalah fungsi dari.

Asumsinya adalah faktor lain dalam keadaan ceteris paribus maka hubungan dalam

persamaan fungsional tersebut dapat dianalisis menggunakan metode kuadrat terkecil.

Dalam teori ekonomi penyusunan fungsi penawaran dapat diperoleh melalui dua

pendekatan yakni statis dan dinamis, dimana pendekatan statis dapat diperoleh dengan

(5)

64

biaya. Sebagai ilustrasi untuk hubungan teknis produksi ; misalnya diketahui fungsi

produksi Q = f ( X ) dimana Q = a + bx + cx2 maka dapat dicari nilai dari produk fisik-

marginal sebagai ; MPPx = δQ = bx* + 2 cx = Px δx Pq

tentukan nilai x..,

maka fungsi penawaran diperoleh dari nilai Q* yaitu S= Q* = a + bx* + 2 cx*2

Fungsi ini menyatakan penawaran perusahaan terjadi pada saat memaksimumkan profit

karena nilai x* yang terjadi pada saat keuntungan maksimum. Andindita (2008).

Beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi pergeseran fungsi

penawaran statis ( supply shifters) adalah ;

1. Perubahan harga input. 6.Kuantitas barang tersebut.

2. Perubahan teknologi. 7.Cuaca / iklim.

3. Harga komoditi lain yang berhubungan ( substitute product ).

4. Perubahan harga produk gabungan ( joint product ).

5. Ramalan penjual pada harga dimasa yang akan datang.

Menurut Andindita (2008) beberapa faktor menentukan perubahan respons

penawaran dalam bidang pertanian melalui pendekatan dinamis diantaranya adalah ;

1. faktor ekonomi ; seperti harga , jumlah investasi dan faktor input.

2. faktor ekologi ; yaitu, produktivitas. Luas lahan, iklim

3. faktor teknologi ; economics scale, mesin-mesin, bibit (varities)

4. faktor institutional : peraturan dan program pemerintah, serta institusi.

5. ketidak pastian : misalnya resiko dan ekspektasi.

Andindita (2008) menyampaikan dalam penyusunan model fungsi penawaran

yang terjadi dalam berbagai hubungan adalah munculnya selang waktu (time lag)

dimana hubungan antara variabel yang terjadi akibat adanya respons yang tidak

(6)

65

tersebut. Pendugaan dengan variabel demikian dikatakan sebagai model penawaran

dinamis. Beberapa model studi untuk penawaran dinamis yakni ;

1. Naive Model, Nerlove (1958), mengembangkan model bahwa para petani

mempunyai ekspektasi didalam jangka panjang dimana secara sederhana dalam

fungsi penawaran, ekspektasi tersebut adalah : E (Q) = Q* sebagai ekspektasi

jumlah ditawarkan dan E(P)=P* sebagai ekspektasi harga, misal fungsi penawaran :

Qt*=bo +b1 Pt* + b2 Zt + Ut ……….… (1)

Notasi, Qt* = ekspektasi jumlah yang ditawarkan Pt* = ekspektasi harga

mendatang Z = variabel lainnya. Ut = kesalahan regresi dan bi = koefisien regresi.

Dimana ekspektasi harga komoditi pertanian diasumsikan sama dengan harga

priode sebelumnya atau ,E(P) = Pt*=P t-1.……… (2)

Substitusikan persamaan (2) kepada (1) Sehingga fungsi penawaran menjadi ;

E(Qt) = bo +b1 p t-1 + b2 Zt +U ………. (3)

2. Distributed Lag Model, model ini merupakan aplikasi dari model cobweb, dimana

efek dari variabel ekonomi adalah efek yang terjadi karena adanya (lagged).

Dengan memasukan variabel time lag persamaan (2), maka ekspektasi harga pada

model ini diperoleh dari priode t-1 hingga t-n yang dituliskan sebagai berikut ;

Pt*= β Pt +(1 – β) P* t-1 atau Pt* = bo Pt + b1 Pt* t-1 ……….. (4)

Dimana nilai pengaruh dari variabel sebelumnya menjadi lebih kecil sehingga nilai

menjadi bo > b1…. > bn ……… (5)

Jika disubstitusikan persamaan (5) kepada (4) diperoleh,

Pt* = β Pt+ β (1 – β) Pt-1+ β (1 – β)2 P t-2 + ……….. (6)

Sehingga diperoleh persamaan ; α

(7)

66

Pt* diperoleh dari persamaan (7) dapat disubstitusi kepersamaan (3) sehingga ;

Qt =bo+ b1 [ β pt+ β (1- β) P t-1 + β (1- β) 2 P t-2]……… (8)

3. Polynomial distributed lag, dimana bobot dari lag dapat diaproksimasi melalui

fungsi yang panjang dan fungsi tersebut dapat diaproksimasi melalui Polynomial

Misalnya dari persamaan (4) dimana dimana nilai b1 adalah fungsi Polynomial,

sehingga dapat dituliskan sebagai ;

b1 = F9i) = ao +a1c+ a2c2 ….. + ancn untuk c = 1,2…k ……….. (9)

dengan asumsi bahwa derajat Polynomial (n) dan maksimum panjang lag (k) maka

dapat dituliskan Polynomial distributed lag (n,k) maka nilai b1 pada derajat

Polynomial n=2 menjadi bo = ao, b1= ao + a1 +a2, b2 = ao+ 2a1 +4a2, b3 = ao

+3a1 +9a2, b4 =a0 +4a1 +16a2 distribusikan persamaan (4) maka diperoleh ;

Pt* = a0 pt-1+ (a0 + a1+ a2 ) Pt-2 + (ao+ 2a1 + 4a2) pt-3 + (a0 +3a1 +9a2) pt-4 +

(a0+4a1 +16 a2) Pt-4……….. (10)

2.1.3 Konsep Permintaan Turunan ( derivative demand concept ).

Menurut Pappas dan Hirschey (1995) terdapat dua model dasar untuk

permintaan yaitu permintaan langsung dikenal sebagai teori perilaku konsumen terkait

dengan permintaan langsung untuk produk barang dan jasa sebagai konsumsi pribadi.

Kemudian permintaan turunan yaitu permintaan atas bahan baku sebagai input didalam

pembuatan barang dan jasa diminta atau distribusi dari produk lainnya. Sedangkan

fungsi permintaan adalah hubungan diantara jumlah barang diminta (Q) dan variabel

yang mempengaruhinya dimana kurva permintaan adalah hubungan yang

menunjukkan diantara jumlah barang dan harga barang diminta hal ini dalam model

(8)

67

Dengan asumsi variabel lain dianggap tetap (ceteris paribus ) maka permintaan

terhadap suatu barang hanya dipengaruhi oleh harga barang tersebut. Variabel-variabel

yang berpengaruh terhadap permintaan suatu barang, diantaranya adalah :

1. Harga barang yang diminta ( the price of goods. X = Px ). Permintaan merupakan

fungsi dari harga suatu barang ditawarkan. Dimana jika harga dari barang tersebut

naik, maka permintaan terhadap barang tersebut menjadi turun.

2. Harga barang lain ( the price of related goods or services = Pr ), dengan kondisi ;

a. Hubungan barang substitusi, yaitu pengaruh harga substitusi terhadap barang

tersebut. Dimana jika terjadi kenaikan harga barang pokok maka permintaan

terhadap barang substitusi akan naik, disebabkan harga barang substitusi lebih

mahal dari barang pokok.

b. Hubungan barang komplementer. Apabila harga barang komplementer turun

maka jumlah permintaan terhadap barang komplementer akan naik sehingga

berakibat permintaan terhadap barang pokok juga naik.

3. Faktor lain, yang terkait dengan permintaan terhadap suatu barang antara lain,

kebijakan Pemerintah, iklim / cuaca, tingkat pendapatan, selera dan lainnya.

Faktor disebutkan diatas dijadikan dasar, oleh Pappas dan Hirschey (1995) maka

permintaan suatu barang dan jasa dalam model permintaan linier sebagai berikut :

Qdx = f ( Px - Pr + O )

notasinya adalah ,

Qdx = Kuantitas permintaan atas suatu barang.

Px = Harga barang tersebut.

Pr = Harga barang produk turunan.

(9)

68

Selanjutnya permintaan terhadap suatu barang dipengaruhi oleh banyak variabel. Setiap

variabel memberi pengaruh berbeda terhadap permintaan suatu barang atau jasa.

Variabel harga produk turunan memiliki pengaruh negatif terhadap permintaan

konsumen sedangkan harga barang lainnya (substitusi) berpengaruh positif.

2.1.4 Fungsi Permintaan.

Menurut Hartono (2002), Bahwa konsumen dalam menentukan pilihan komoditi

yang akan dikonsumsi serta dalam upaya memaksimumkan, kepuasan yang disebut

preference set, berupa fungsi utility dan dalam memaksimumkan kepuasan yang

disebut preference set berupa fungsi utility dan masih dalam rangka memaksimumkan

kepuasan tersebut untuk menentukan pilihan (choice) konsumen dihadapkan kepada

kendala (constraint set) yang berupa kendala tingkat pendapatan. Hal ini dimaksud

dapat ditunjukkan oleh gambar 2.1 sebagai berikut ;

Gambar : 2.1 Proses Perilaku Konsumen.

Sumber : Hartono (2002).

Hartono (2002) menjelaskan pilihan konsumen akan permintaan barang

menunjukkan perilaku konsumen, jika konsumen dapat menjadi rasional dalam

memilih, maka dapat dibentuk suatu fungsi permintaan untuk itu perlu diberikan asumsi

a. Setiap konsumen memiliki utility yaitu U = f (X1 , Y1,..Yn ) Set Pilihan

Disukai

Set Batasan Pilihan

Keputusan Pilihan

(10)

69

b. Komoditi adalah stricly non negatif, dan berada dikuadran pertama sebab tidak ada

konsumsi negatif.

c. Komoditi tidak dapat dibagi (non lumpy) misal αX = α (X..)

d. Setiap konsumen berusaha memaksimumkan kepuasan melalui fungsi utility

dengan kendala tingkat pendapatan I = P 1 X 1 +P 2 X 2 …., P n X n

e. Utility untuk mengukur kepuasan konsumen adalah preference ordering, yaitu

harus memenuhi kriteria aksioma ;

1 Reflexivity menyatakan bahwa suatu kelompok komoditi lebih dipilih dari kelompok

komoditi yang lain Xo > Xo

2. Transitivity menyatakan bahwa pilihan komoditi konsisten, dimana dari sekumpulan

komoditi maka pilihan jatuh kepada yang lebih baik dari pada yang lain, jika Xo >

X1 dan, X1 > X2 maka, Xo > X2

3. Completeness menyatakan bahwa konsumen mampu membandingkan dua

kumpulan komoditi dalam suatu ruang komoditi.

4. Continuity menyatakan bahwa preferens dari konsumen dapat diwakili oleh suatu

fungsi utiliti yang kontinu.

5. Non satisfaction adalah menjadi perilaku konsumen secara umum.

6. Convexity menyatakan bahwa fungsi utility merupakan fungsi Convexity terhadap

titik asal yang menyatakan apabila Xo > X1 maka, λ X0 + ( 1 – λ ) X1 ≥ X1 untuk semua 0 ≤ λ ≤ 1. Convexity juga menyatakan apabila turunan kedua dari fungsi utility lebih kecil dari nol { δu (x)

δx.δx

≤ 0 } karena konsumen mencapai tingkat

kepuasan maksimum disuatu fungsi utility.

Aksioma reflexivity , transivity, dan completeness menyatakan bahwa fungsi

(11)

70

continuity menyatakan bahwa preference ordering dapat dinyatakan dalam fungsi

utility dan bersifat non satisfaction serta convexity menyatakan bahwa konseumen yang

tidak pernah puas tetap mampu memaksimumkan kepuasan dengan keterbatasan

-pendapatan. Sehingga terdapat dua pilihan penyelesaian anggaran konsumen yakni

memaksimalkan utility ( primal problem ) atau konsumen meminimalkan anggaran

(dual problem).

Pilihan konsumen dalam memaksimumkan kepuasan melalui fungsi utilitas U=

f(x1…, xn) dengan keterbatasan pendapatan { P 1 X 1 + … (Pn Xn) = 1 } maka

penyelesaian untuk mendapatkan fungsi permintaan dapat dilakukan dengan methode

Langrangian atau Khun thucker, yakni ;

L = f (x1 ….xn) + λ (1 – Σ P 1 X 1) dimana λ = marginal utility of income

Syarat turunan pertama mencapai maksimum adalah ;

δL = δ u _ λ P1 = C maka, δL

δX δ X1 δ λ

= 1 – Σ P 1 X 1 = 0

Untuk mendapatkan fungsi permintaan x1 = f ( P1….Pn, I ) adalah melalui Marshallian

demand function. Selanjutnya untuk meminimumkan biaya anggaran misalnya untuk

membeli komoditi C = P1 X 1 + ….. Pn Xn dengan kendala terhadap fungsi utility

yaitu, U = f (X1, …..Xn) maka penyelesaian untuk mendapatkan fungsi permintaan

dapat dilakukan dengan methode Langrangian atau Khun thucker, yaitu ;

L = ( Σ P 1 X 1) + λ (X1….Xn) syarat turunan pertama untuk minimum adalah, δL = P1_ λ δ u

δX1 δ X1

= 0

δL

δλ = f ( X1, X2 ) = 0

Untuk mendapatkan fungsi permintaan h1 = f(P1…..Pn, U ) dapat dilakukan dengan

(12)

71 2.1.5 Teori Keseimbangan (Ekuilibrium) Harga Pasar.

Dolan and Simon (2000) menyebutkan harga adalah sebagai sejumlah uang atau

jasa atau barang yang ditukarkan oleh pembeli untuk beraneka produk atau jasa yang

disediakan oleh penjual, Dolan and Simon (2000) juga menyatakan, harga merupakan

pengorbanan ekonomis yang dilakukan oleh pelanggan untuk memperoleh produk atau

jasa. Selain itu, harga adalah salah satu faktor penting bagi konsumen didalam

mengambil keputusan untuk melakukan transaksi atau tidak, karenanya, penilaian

terhadap harga atau produk bersifat relatif, semua tergantung dari persepsi individu

yang dilatar belakangi oleh lingkungan kehidupan dan daya beli individu. Dalam

menilai harga suatu produk, seorang konsumen sangat tergantung bukan hanya pada

nilai nominal (absolute), melainkan lebih kepada persepsi yang dibentuk terhadap harga

produk atau jasa tersebut.

Menurut Chiang (2006), ekuilibrium adalah sesuatu kumpulan dari

variabel-variabel terpilih yang saling berhubungan dan disesuaikan satu dengan yang lainnya

dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak ada kecenderungan untuk melekat,

( inherent ) dalam model tersebut untuk berubah. Dalam model ekuilibrium statis

permasalahannya adalah pencapaian himpunan atas nilai-nilai variabel endogen yang

memenuhi kondisi ekuilibrium dari suatu model, sedangkan pada pasar parsial

ekuilibrium, terciptanya harga didalam pasar yang terisolasi. Misalkan untuk transaksi

satu barang ditentukan oleh tiga variabel yakni, kuantitas barang diminta (Qd),

kuantitas barang ditawarkan (Qs) dan harga barang (Pr). Asumsi yang diberikan adalah

; ( Qd – Qs = 0 ) dimana Qd adalah fungsi linear menurun dari Pr dan Qs adalah fungsi

linear menaik dari Pr kemudian asumsi selanjutnya tidak ada kuantitas ditawarkan,

(13)

72

dalam fungsi linear, hal ini terlihat didalam Gambar 2.2, berikut ;

Gambar : 2.2 Ekuilibirum Harga Pasar. Sumber : Chiang (2006).

Gambar 2.2 memperlihatkan, fungsi permintaan memotong sumbu vertikal

dititik a dan kemiringan fungsi permintaan adalah, –b yakni berslope negatif. Fungsi

penawaran memiliki kemiringan sebesar, d yakni positif. Kemudian perpotongan dari

dua sumbu tersebut adalah keseimbangan harga, namun yang menarik mengapa

perpotongan dengan sumbu negatif, sebab sebagaimana asumsi telah disampaikan,

tidak ada kuantitas ditawarkan, kecuali harga melebihi tingkat positif tertentu. maka

dalam model matematis dituliskan sebagai ;

Qd = Qs maka ;

Qd = a – b Pr ( a , b > 0 ) dan untuk,

Qs = – c + d Pr ( c , d > 0 ).

Untuk kasus keseimbangan dengan model dua barang yang berhubungan satu dengan

yang lainnya dimana fungsi permintaan dan penawaran dari kedua barang tersebut

diasumsikan linear maka dalam istilah parameter model dapat dituliskan ;

Qd1 = Qs1 = 0 maka ;

Qd1 = a0 + a1 Pr1 + a2 Pr2 dan untuk, ( Qd = Qs ) a

(Qd = a-bPr )

kurva permintaan (Qs = - c + dPr) kurva penawaran

(Pr*, Q*) Q*=Qd* Ekuilibrium Q*=Qs*

(14)

73

Qs1 = b0 + b1 Pr1 + b2 Pr2 kemudian model untuk barang dua,

Qd2 – Qs2 = 0 maka ;

Qd2 = α0 + α1 Pr1 + α2 Pr2 kemudian untuk,

Qs2 = β0 + β1 Pr1 + β2 Pr2

Simbol a dan b, adalah koefisien dari fungsi permintaan dan penawaran atas barang

pertama sedangkan αdan β, adalah koefisien dari barang kedua. Dalam model pasar

tertutup kondisi ekuilibrium hanya terdiri dari satu persamaan yakni Qd = Qs atau E =

Qd – Qs = 0 dimana E adalah excess demand, namun untuk kasus beberapa barang

ditinjau bersama-sama maka ekuilibrium tidak dapat terjadi atas kelebihan permintaan

dari setiap barang yang disertakan kedalam model, karena sifatnya yang saling

mempengaruhi tersebut.

2.1.6 Teori Elastisitas Harga.

Menurut Pappas dan Hirschey (1995) elastisitas harga permintaan adalah tingkat perubahan permintaan terhadap barang/jasa, yang diakibatkan oleh

perubahan harga barang / jasa tersebut. Besar atau kecil tingkat perubahan dapat

diukur dengan angka yang disebut koefisien elastisitas permintaan, dalam model

matematika dituliskan sebagai,

ε

= Persentase perubahan jumlah Q = δ Q / Q =

Persentase perubahan harga Pr δ Pr / Pr δ Pr / Q

δ Q / Pr

Dimana δ Q dan δ Pr adalah perubahan marjinal dalam jumlah mengikuti perubahan

harga, serta Pr dan Q adalah harga dan jumlah dititik tertentu tertentu dalam kurva

permintaan. Berdasarkan nilainya, elastisitas permintaan dapat dibedakan menjadi lima,

yaitu permintaan inelastis sempurna, inelastis, elastis uniter, elastis, dan elastis

sempurna. Elastisitas silang (Cross Elasticity) menunjukkan hubungan antara jumlah

(15)

74

hubungan dengan barang tersebut. Hubungan tersebut dapat bersifat pengganti, dapat

pula bersifat pelengkap. Terdapat tiga macam respons perubahan permintaan suatu

barang (misal barang A) karena perubahan harga barang lain (barang B), yaitu:

bernilai positif, negatif, dan nol.

Pappas dan Hirschey (1995) menyebutkan dalam pengukuran elastisitas ada dua

cara yakni konsep elastisitas titik, yaitu dipergunakan dalam mengukur pengaruh dari

variabel bebas atas perubahannya yang sangat kecil atau marginal terhadap variabel

terikat sebab elastisitas titik spesifik dalam mengukur variasi titik-titik yang berbeda

sepanjang suatu fungsi. Dalam model matematik ditulis,

ε

titik =

ε

x = δ y Menurut Andindita (2008), beberapa faktor mempengaruhi elastisitas permintaan yaitu

. x

δx y

1. Kegunaan komoditas (utilitas) dimana produk dengan utilitas yang banyak akan

memiliki nilai elastisitas lebih tinggi.

2. Karakteristik produk disini hubungannya dengan elastisitas diikuti oleh ;

a. Adanya substitusi, dimana semakin banyak substitusi dari suatu produk maka

akan bersifat semakin elastis, dimana inelastis terjadi jika produk tidak memiliki

barang substitusi sebagai barang kebutuhan (necessity).

b. Lamanya waktu pemasaran, dimana produk baru dipasarkan bersifat lebih

elastis terhadap produk yang lebih lama dipasarkan.

c. Kualitas produk, dimana barang berkualitas lebih elastis sebab barang tidak

berkualitas bersifat sebagai komoditi substitusi

d. Kebutuhan utama hidup, dimana produk yang masuk kedalam kategori ini

(16)

75

e. Harga produk, jika harga suatu produk lebih mahal dari tingkat pendapatan

maka bersifat inelastis namun bersifat elastis jika lebih rendah dari tingkat

pendapatan

3. Elastisitas Konsumen, terdapat dua karakteristik konsumen terkait elastisitas

a. Pendapatan konsumen, dimana konsumen kaya bersifat lebih elastis.

b. Umur konsumen, dimana konsumen berusia lebih muda relative lebih elastis

dari pada konsumen berusia lebih tua.

4. Karakteristik sistem pemasaran. Sistem pemasaran dapat mengubah elastisitas

produk terutama barang pertanian dalam kaitan peningkatan kepercayaan konsumen.

Kepentingan atau manfaat dari elastisitas dapat dilihat berdasarkan kelompok

atau pihak yang berada didalam atau diluar pasar sehingga dijabarkan sebagai berikut,

1. Elastisitas harga dari permintaan menunjukkan respons konsumen terhadap

perubahan harga sehingga mempengaruhi pendapatan dari produsen tersebut.

2. Elastisitas bagi produsen bermanfaat untuk melihat perlakuan fungsi pemasaran

produk terutama untuk melihat prospek pemasaran dari produk tersebut, dalam

dimana,semakin elastis suatu produk maka produsen semakin diuntungkan dari

konsumen sebab dengan proporsi perubahan harga yang relatif sedikit proporsi

jumlah yang diminta meningkat lebih besar.

3. Elastisitas bagi pemerintah sangat diperlukan terutama dalam memutuskan

kebijakan perdagangan dalam kaitan ketersediaan pangan dimana sifat barang

pertanian adalah in elastis ( Є < 1 ) sehingga campur tangan dari pemerintah

diperlukan meski keterlibatan secara tidak langsung adalah lebih baik. Sehingga

elastisitas merupakan suatu cara untuk mengetahui besar pendapatan petani atas

(17)

76

4. Elastisitas pendapatan diperlukan dalam mengevaluasi dampak perubahan

pendapatan konsumen terhadap harga produk terutama perubahan harga bahan

pokok sehingga elastisitas disini lebih ditujukan kepada upaya mempertahankan dan

meningkatkan kesahjateraan masyarakat.

5. Elastisitas harga ekspor/impor diperlukan oleh berbagai pihak terutama dalam

mengendalikan perdagangan internasional hal ini berkaitan dengan

penerimaan/pengeluaran devisa serta pengendalian produk barang dimaksudkan.

2.1.7 Teori Perdagangan Internasional.

Krugman dan Obstfield (1999), menjelaskan terjadinya hubungan ekonomi dari

suatu daerah kedaerah lain (regional) atau diantara bangsa kepada bangsa lain

(Internasional) disebabkan adanya perbedaan diantara permintaan dan penawaran atas

suatu barang atau jasa pada daerah / bangsa yang berdagang. Sebagai ilustrasi

perbedaan penawaran suatu barang disebabkan perbedaan dari ketersediaan faktor

produksi dalam menciptakan barang tersebut sehingga menjadikan perbedaan atas

harga barang, kualitas barang, didalam waktu, serta modal produksi yang sama.

Jika ditinjau dari segi permintaan atas barang tersebut, maka yang muncul masalah

jumlah barang yang di inginkan, harga barang saat dibeli, tingkat pendapatan, selera

pembeli serta harga barang lain.

Krugman dan Obstfield (1999) juga menyatakan sebab-musabab dari terjadinya

hubungan ekonomi antar daerah / bangsa, sebenarnya hanyalah mencakup persoalan :

1. Perbedaan tingkat kejarangan ( scarcity ). Dimana keinginan manusia tidak terbatas,

namun ketersediaan atas barang dan jasa tidak demikian halnya dan realitas didalam

(18)

77

2. Perbedaan komparatif dari harga barang. Dimana perbedaan harga barang dari suatu

daerah / bangsa akan menciptakan arus perdagangan diantara mereka.

3. Perbedaan faktor produksi. disebabkan perbedaan iklim geografis daerah tersebut

menyebabkan perbedaan jenis kekayaan alam flora maupun fauna serta kandungan

bumi yang kesemuanya diperlukan manusia untuk mempertahankan kelangsungan

hidupnya. Selain itu perbedaan jumlah penduduk serta perbedaan sosial dari daerah /

bangsa berdagang menciptakan perbedaan keberadaan suatu barang /jasa.

4. Perbedaan pangsa pasar atas barang dan jasa tersebut.

Hechsher dan Ohlin (1999) menyampaikan mengenai faktor-faktor

ketersediaan, dimana terjadinya opportunity cost disebabkan oleh perbedaan dari

ketersediaan faktor-faktor produksi sehingga akibat dari perbedaan faktor endowment

tersebut harga atas suatu barang yang sama berasal dari kedua negara/wilayah tersebut

dapat berbeda sesuai dengan intensitas pemakaian dan ketersediaan faktor produksi.

Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu komoditi

(misal CPO) ke negara lain (misal negara B) karena harga domestik di negara A lebih

rendah jika dibandingkan dengan harga domestik di negara B. Struktur harga yang

relatif rendah di negara A tersebut disebabkan adanya kelebihan penawaran (excess

supply) yaitu produksi domestik yang melebihi konsumsi domestik. Dalam hal ini

faktor produksi di negara A relatif berlimpah. Dengan demikian negara A mempunyai

kesempatan menjual kelebihan produksi ke negara lain. Di pihak lain, negara B terjadi

kekurangan penawaran karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik

(excess demand) sehingga harga menjadi tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan

untuk membeli komoditi negara lain yang harganya relatif lebih murah. Jika kemudian

(19)

78

antara kedua negara tersebut dimana negara A akan mengekspor komoditi CPO kepada

negara B (Salvatore, 1992) hal ini ditunjukkan Gambar 2.3.

Pr Grafik Pasar negara A, Pr Grafik Hubungan Pasar, Pr Grafik Pasar negara B

Sb

Ekspor Sx Sw P3 Eb p2 a b p2=pw Ew P2 A B

p1 Ea p1 Dw Impor Db

Dx

0 Qa2 Qa1 Qa3 Qty 0 Qw Qty 0 Qb2 Qb1 Qb3 Qty

Gambar 2.3. Terjadinya Perdagangan Internasional.

Sumber : Salvatore, (1992).

Secara grafis terjadinya perdagangan antara negara A dan negara B dapat

dilihat pada Gambar 2.3. Sebelum terjadi perdagangan internasional, keseimbangan di

negara A terjadi pada titik Ea dengan jumlah produksi sebesar Qa1 dan harga yang

terjadi adalah P1. Di negara B keseimbangan terjadi pada titik Eb dengan dengan jumlah

produksi sebesar Qb1 dan harga yang terjadi adalah sebesar P3. Harga di negara A (P1)

lebih rendah daripada harga di negara B (P3). Produsen di negara A akan memproduksi

lebih banyak dari tingkat konsumsi domestik untuk harga di atas P1. Hal tersebut akan

menyebabkan terjadinya excess supply di negara A. Sementara untuk harga di bawah

P3, negara B akan meminta lebih banyak dari tingkat produksi domestiknya. Hal

tersebut akan menyebabkan terjadinya excess demand di negara B. Kemudian terjadilah

perdagangan antara negara A dan negara B. Penawaran ekspor pada pasar internasional

digambarkan oleh kurva Sw yang merupakan excess supply dari negara A. Permintaan

(20)

79

Keseimbangan di pasar dunia terjadi pada titik Ew yang menghasilkan harga dunia

sebesar P2 dimana negara A mengekspor sebesar (Qa2 - Qa3 ) yang sama jumlahnya

dengan yang diimpor negara B (Qb2 - Qb3 ) jumlah ekspor dan impor tersebut

ditunjukkan oleh volume perdagangan sebesar Qw pada pasar dunia.

2.1.8 Teori Pendapatan Perkapita, Gross Domestic Product.

Dalam ukuran makro ekonomi, tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara

umumnya diukur menggunakan GDP perkapita. Kenaikan GDP perkapita mengindikasi

peningkatan tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara. Sekalipun ukuran tersebut

memiliki banyak kekurangan, namun dalam prakteknya ukuran tersebut memiliki arti

penting dalam mengukur tingkat kesejahteraan. GDP atau gross domestic product

(produk domestik bruto) didefinisikan sebagai jumlah barang dan jasa yang diproduksi

dalam suatu negara dalam jangka waktu satu tahun dan dalam nilai mata uang

domestik atau internasional. Besarnya nilai GDP nominal adalah perkalian dari unit

barang dan jasa yang diproduksi dengan harga barang tersebut. Karena harga barang

terus meningkat, maka biasanya digunakan GDP riil atau GDP menggunakan harga

pada tahun tertentu (tahun dasar). Sedangkan GDP perkapita adalah besarnya GDP riil

dibagi jumlah penduduk. Dari penjelasan ini diketahui bahwa GDP perkapita mengukur

berapa rata-rata barang dan jasa yang dapat dikonsumsi penduduk suatu negara. Untuk

membandingkan GDP perkapita antar negara GDP nominal tiap negara diubah kedalam

US Dollar (USD) menggunakan rata-rata nilai pasar exchange rate dalam satu tahun.

Lalu nilai tersebut dibagi total populasi. (Hubbard et al. 2012) menyatakan beberapa

tantangan dalam penggunaan GDP perkapita dalam mengukur kesejahteraan. Karena

ukuran GDP perkapita adalah ukuran rata-rata dalam nilai barang dan jasa yang bisa

(21)

80

distribusi pendapatan, nilai waktu luang, kegembiraan (happiness), dan harapan hidup

yang utama adalah ukuran kesejahteraan. Karena GDP perkapita tidak menjelaskan

ukuran tersebut apakah berarti tidak dapat digunakan mengukur kesejahteraan. Hubbard

et al. (2012) menyatakan bahwa saat perekonomian tumbuh maka pendapatan baik

orang kaya dan miskin sama-sama akan meningkat. Sedangkan hubungan antara waktu

luang dan pendapatan perkapita ditunjukkan oleh Hubbard et al. (2012) menggunakan

data Amerika Serikat dan negara maju. Waktu luang yang dimiliki oleh penduduk

negara-negara ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara berpenghasilan

rendah. Berdasarkan data diketahui bahwa jam kerja rata-rata di negara maju lebih

rendah dibanding negara berkembang. Begitu juga ditemukan hubungan searah antara

kegembiraan dan pendapatan perkapita oleh studi yang dilakukan Stevenson dan

Wolfer (2008) dalam Hubbard et al. (2012). Data yang mereka gunakan berasal dari

131 negara. Sedangkan harapan hidup akan meningkat dengan meningkatnya

pendapatan per kapita. Hubbard et al. (2012) mendapatkan adanya hubungan positif

antara pendapatan perkapita dan harapan hidup. Dengan pendapatan yang lebih tinggi

tentu penduduk mendapatkan kebutuhan primer dan pelayanan kesehatan yang lebih

baik. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dilihat sekalipun GDP perkapita tidak

sempurna dalam mengukur tingkat kesejahteraan namun ukuran ini merupakan

indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Sedangkan hubungan diantara

GDP perkapita dan Purchasing power parity adalah; Purchasing power parity adalah

teori yang menjelaskan kesamaan daya beli dimana dalam jangka panjang nominal

exchange rate akan menyamakan purchasing power dari negara yang berbeda-beda.

Untuk mendalami poin ini, (Hubbard et al. 2012) menuliskan persamaan berikut : Jika

(22)

81

pendapatan perkapita antar negara menggunakan GDP perkapita akan menghasilkan

kesimpulan yang keliru. Untuk menutupi kelemahan GDP perkapita tersebut digunakan

GDP purchasing powerparity perkapita (GDP-PPP perkapita). GDP perkapita antar

negara disesuikan dengan suatu metode yang mengukur GDP memakai harga yang

sama. Ditentukan nilai konversi internasional untuk tujuan tersebut. Dengan

menggunakan GDP-PPP perkapita saat membandingkan pendapatan maka benar-benar

dibandingkan jumlah barang dan jasa yang bisa dikonsumsi oleh rata-rata penduduk

suatu negara.Terdapat korelasi positif diantara PDB dengan permintaan produk impor.

Peningkatan PDB akan meningkatkan permintaan terhadap produk impor, demikian

pula sebaliknya. Peningkatan impor sebagai akibat meningkatnya PDB negara importir

dapat terlihat dari dua mekanisme sebagai berikut : Kenaikan PDB negara importir

menyebabkan meningkatnya investasi.Peningkatan investasi menyebabkan

meningkatnya kebutuhan akan barang impor antara lain barang-barang modal dan

bahan baku sebagai input dalam proses produksi. Kebutuhan akan barang modal dan

bahan baku yang ditawarkan (supply) oleh negara lain.Kenaikan PDB negara importir

menyebabkan meningkatnya kebutuhan produk final (final product) karena tidak semua

dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri.

2.1.9 Teori Nilai Tukar Uang ( Kurs ).

Nopirin (1992), menyampaikan kurs adalah harga relatif dari suatu mata uang

kepada mata uang lainnya kurs digunakan untuk dapat menterjemahkan harga-harga

dari mata uang asing kedalam nilai satuan mata uang domestik. dimana nilai tukar

atas dua mata uang adalah keseimbangan harga atas mata uang tersebut, nilai tukar

yang berdasarkan pada kekuatan pasar akan selalu berubah disetiap kali nilai-nilai salah

(23)

82

menjadi lebih berharga bila permintaan menjadi lebih besar dari pasokan yang tersedia.

Nilai tukar akan menjadi berkurang bila permintaan kurang dari suplai yang tersedia.

Nopirin (1992), juga menyebutkan ada beberapa sistem nilai tukar/kurs valuta asing,

yaitu : a). Nilai tukar tetap (fixed exchange rate system).

b). Nilai tukar mengambang ( floating exchange rate system ).

Untuk sistem yang pertama, nilai tukar dipatok menurut mata uang dalam jangka

waktu yang relatif lama. bank sentral berperan aktif melakukan intervensi dalam pasar

valuta asing untuk mempertahankan pergerakan nilai tukar suatu mata uang agar berada

pada suatu acuan nilai tukar tertentu. Sebaliknya, pada sistem yang kedua, kurs nilai

tukar valuta asing dari suatu negara sepenuhnya ditentukan oleh pasar (penawaran dan

permintaan), tanpa intervensi oleh bank sentral. Mankiw, (2003) membedakan kurs

menjadi dua, bagian yaitu kurs nominal dan kurs rill dimana kurs nominal adalah harga

relatif dari mata uang dua negara. Sedangkan kurs riil adalah harga relatif dari

barang-barang di antara dua negara. Kurs riil bermakna pula tingkat dimana barang-barang-barang-barang dari

suatu negara dapat diperdagangkan (ditukar) dengan barang-barang dari negara lain,

atau sering disebut terms of trade. Menurut Sawaldjo (2004) Semenjak periode 1970

hingga penulisan, sistem nilai tukar berlaku di Indonesia telah mengalami perubahan

sebanyak tiga kali, yaitu sistem nilai tukar tetap, sistem nilai tukar mengambang bebas,

dan terakhir sistem nilai tukar mengambang terkendali. Definisi masing-masing dari

sistem kurs tersebut adalah;

1. Sistem nilai tukar tetap ( fixed exchange rate ) dimana lembaga otoritas moneter

menetapkan tingkat nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang negara lain

(24)

83

valuta asing yang terjadi. Bila terjadi kekurangan atau kelebihan penawaran atau

permintaan lebih tinggi dari yang ditetapkan pemerintah, maka dalam hal ini akan

mengambil tindakan untuk membawa tingkat nilai tukar kearah yang ditetapkan.

2. Sistem kurs mengambang bebas (freely floating exchange rate system), yaitu sistem

penentuan kurs valuta asing dipasar valas, terjadi tanpa campur tangan pemerintah.

3. Sistem kurs mengambang terkendali (managed floating exchange rate system), yaitu

penentuan kurs dipasar valas terjadi dengan adanya campur tangan pemerintah yang

mempengaruhi permintaan dan penawaran valas melalui berbagai kebijakan fiskal,

moneter, dan perdagangan luar negeri.

Selanjutnya Sarwedi (2001), menyatakan bahwa hubungan diantara nilai tukar

uang misalkan US$ terhadap Rupiah kepada volume ekspor didalam jangka pendek

bersifat positif namun didalam jangka panjang kurs bersifat negatif. Perubahan yang

terjadi didalam jangka pendek pada nilai tukar berdampak kepada daya saing dari harga

produk ekspor. Apabila kurs diantara Rupiah kepada US$ cenderung melemah dengan

asumsi tingkat efisiensi tetap maka secara relatif harga produk ekspor akan keluar

dalam jumlah lebih banyak. Hal ini cenderung memberikan peluang lebih kepada

eksportir untuk menerima Rupiah dalam jumlah lebih besar namun harus diingat

keadaan itu tidak akan berlangsung lama. Suatu hal yang penting bahwa mekanisme ini

akan memberi dampak positif kepada eksportir akhirnya kepada produsen yang

kemudian diharapkan dapat meningkatkan kinerjanya secara keseluruhan.

Sarwedi (2001), menyatakan dampak positif tersebut hanya berimbas didalam

jangka pendek sebab pasar akan terus berubah menuju suatu keseimbangan baru

dimana input domestik baik bahan baku maupun tenaga kerja akan segera

(25)

84

didalam jangka panjang kurs akan memberi dampak negatif kepada kegiatan volume

ekspor. Beberapa faktor sifatnya dapat mempengaruhi perubahan valuta asing adalah;

1. Supply Foreign Currency Valas atau forex 2. Posisi Balance of Payment (BOP)

3. Tingkat suku bunga. 4. Ekspektasi dan Spekulasi.

Pada Gambar 2.4 misalnya pada posisi awal permintaan valuta asing (US$)

diwakili oleh kurva DVA1 dan penawaran valuta asing (US$) diwakili oleh kurva

SVA1, sehingga kurs adalah Rp 3000/U$ pada titik E1. Kemudian permintaan valas

mengalami peningkatan menjadi DVA2, sedangkan penawarannya tetap pada SVA1,

sehingga dolar mengalami apresiasi nilai terhadap rupiah menjadi Rp 6000/US$ atau

rupiah mengalami depresiasi nilainya terhadap dollar, pada titik E2. Dalam sistem

mengambang terkendali, penentuan nilai tukar pada bursa valas dapat dipengaruhi oleh

pemerintah. Jika pemerintah ingin mempertahankan nilai kurs ditingkat Rp 3000/US$,

maka untuk mengembalikan nilai kurs ditingkat tersebut, pemerintah dapat secara

langsung atau tidak langsung mempengaruhi kurs tersebut melalui kebijakan moneter

dan fiskal, untuk kasus seperti dalam Gambar 2.4 tersebut,

Gambar 2.4 Penentuan Nilai Tukar Pada Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali

Sumber Manurung Jonni, 2009.

DVA2

DVA1 SVA1

Rp/$

$

100 150 Rp 3000/$

Rp 6000/$

E1 E2

E3

SVA2

(26)

85

Maka untuk mengembalikan kurs pada tingkat Rp 3000/US$, pemerintah dapat

melakukan kebijakan menambah penawaran valas, dengan cara menjual cadangan

valasnya ke bursa valas. Sehingga jumlah valas yang tersedia di bursa valas akan

bertambah, yang diperlihatkan oleh pergeseran kurva SVA1 menjadi SVA2, dan

keseimbangan sekarang berada pada titik E3, kurs kembali pada tingkat Rp 3000/US$

dengan jumlah US$ yang lebih besar. Indonesia mulai menerapkan sistem nilai tukar

mengambang bebas pada periode 1997 hingga sekarang. Sejak pertengahan Juli 1997,

Rupiah mengalami tekanan yang mengakibatkan semakin melemahnya nilai Rupiah

terhadap USS. Tekanan tersebut diakibatkan oleh adanya currency turn oil yang

melanda Thailand dan menyebar ke negara-negara ASEAN lainnya termasuk

Indonesia. Untuk mengatasi tekanan tersebut, Bank Indonesia melakukan intervensi

baik melalui spot exchange rate (kurs langsung) maupun forward exchange rate (kurs

berjangka) dan untuk sementara dapat menstabilkan nilai tukar Rupiah. Namun untuk

selanjutnya tekanan terhadap depresiasi Rupiah akan semakin meningkat.

2.1.10 Teori inflasi.

Salvatore (1992) menjelaskan pendapat J.M Keynes mengenai keadaan demand

pull inflation merupakan tekanan inflasi akibat adanya excess demand terhadap barang

dan jasa. Oleh karena adanya kenaikan pemintaan masyarakat, yang tercermin dari

bergesernya kurva permintaan (Demand Curve) dari D1 ke D2 mengakibatkan harga

naik dari P1 keP2. Harga disini maksudnya adalah harga-harga barang dan jasa umum

atau yang disebut sebagai inflasi. Bertambahnya permintaan dapat disebabkan oleh

naiknya permintaan barang, pengeluaran pemerintah, dan permintaan barang suatu oleh

penduduk luar negeri. Menurut kaum monetaris, demand pull inflation dijelaskan

(27)

86

maka individu ekonomi akan menggunakan kelebihan uangnya itu untuk meningkatkan

konsumsi dibanding kepada tabungan dalam kaitan pertumbuhan ekonomi maka akan

terjadi inflasi. Perbedaan dari demand pull inflation dengan cost push inflation adalah :

a. Pada demand pull inflation terjadi kenaikkan output sedangkan pada cost push

inflation yang terjadi penurunan output.

b. Pada demand pull inflation, kenaikkan harga barang mendahului kenaikkan harga

bahan-bahan input (material) sedang pada cost push inflation, kenaikan harga

barang input yang justru mendahului kenaikan harga barang output.

Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif tergantung parah atau tidaknya

inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti

dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional

dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi.

Penggolongan inflasi lainnya adalah sumbernya inflasi yang berasal dari dalam

negeri disebut (domestic inflation) adalah jenis inflasi yang berasal dari dalam negeri

itu sendiri seperti defisit keuangan negara yang dibiayai dengan penambahan uang

baru, atau juga akibat pengenaan dan peningkatan pajak dikutip oleh pemerintah.

Sedangkan inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation) adalah inflasi yang

terjadi akibat pengaruh kenaikan harga barang-barang dari luar negeri. atau akibat

perubahan nilai tukar mata uang ( kurs ) yang mengakibatkan harga barang-barang dari

luar negeri menjadi mahal, dan sebab lainnya dari perdagangan internasional. Kenaikan

harga barang didalam negeri oleh sebab peningkatan dagang dari luar negeri juga bisa

terjadi, misalnya akibat naiknya nilai dan jumlah ekspor, yakni akibat naiknya

permintaan dari luar negeri. Maka dengan naiknya nilai dan jumlah ekspor telah

(28)

87

Inflasi berikutnya adalah cost-push theory Inflation yakni diasumsikan bahwa

produk dan jasa pada dasarnya ditentukan oleh biaya produksi sehingga spiral harga upah

bertanggung jawab atas terjadinya peningkatan harga yakni berawal dari adanya

permintaan upah lebih tinggi yang kemudian menyebabkan biaya produksi lebih tinggi

dan akhirnya mendorong lagi tuntutan kenaikan upah, semua berdampak pada naiknya

tingkat harga umum yang diakibatkan oleh biaya input yang meningkat. Secara umum,

ada tiga faktor yang berkontribusi terhadap cost push inflate yakni kenaikan upah,

peningkatan pajak perusahaan, dan inflasi impor (saat impor barang mentah atau

setengah jadi menjadi lebih mahal, sering sebagai akibat dari depresiasi mata uang).

Teori inflasi struktural versi dari teori ini berfokus di negara sedang berkembang.

dimana, inflasi disebabkan oleh kesenjangan antara impor dan ekspor. Perubahan harga

impor terjadi lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan warga negara untuk membayarnya .

Selain itu, barang-barang import mengalahkan barang lokal. Hal ini menyebabkan

peningkatan tekanan pada mata uang lokal dan tekanan terhadap harga, yang berujung inflasi.

Teori inflasi struktural adalah teori inflasi yang didasarkan atas pengalaman di

negara-negara Amerika Latin. Teori ini menekankan pada ketegaran (infleksibilitas)

dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang. Karena inflasi dikaitkan

dengan faktor-faktor struktural dari perekonomian yang, menurut definisi faktor ini

hanya bisa berubah secara gradual dan dalam jangka panjang) , maka teori ini disebut

teori inflasi jangka panjang. yang dimaksud dengan faktor-faktor struktural di sini

adalah faktor yang hanya bisa berubah secara gradual dan dalam jangka yang panjang.

Teori ini memberi tekanan pada ketegaran dari struktur perekonomian negara-negara

sedang berkembang. Ada dua ketegaran yang menyebabkan inflasi, yaitu

(29)

88

ketidak elastisan dari penawaran bahan makanan dalam negeri. Kedua proses di atas

pada umumnya berkaitan dan memperkuat satu sama lain dalam menyebabkan inflasi.

Ketegaran merupakan “ketidakelastisan” dari penerimaan ekspor dimana nilai

dari ekspor tumbuh secara lamban dibanding dengan pertumbuhan sektor-sektor lain.

Dasar penukaran yang makin memburuk dan supply barang ekspor yang tidak elastis

akan menyebabkan terjadinya kelambanan pertumbuhan penerimaan ekspor berarti

kelambanan kemampuan untuk mengimpor barang-barang yang dibutuhkan. Sedangkan

bagi suatu negara untuk mencapai target pertumbuhannya mengambil kebijaksanaan

pembangunan “import substitution strategy”. Inflasi terjadi jika proses substitusi impor

ini makin meluas, sehingga menaikkan biaya produksi berbagai barang, sehingga

makin banyak harga-harga yang naik. Dampak negatif yang muncul akibat terjadinya

inflasi bagi suatu negara berkembang adalah, memburuknya distribusi pendapatan,

bertambahnya jumlah masyarakat miskin dan lainnya.

2.1.11 Konsep Pajak Internasional.

Suranovich (2000), menyatakan, jikalau ada dua negara yang melakukan

perdagangan dimana satu negara meng-impor dan satu negara lagi meng-ekspor suatu

komoditi, maka kurva permintaan dan penawaran mereka seperti gambar 2.5, berikut ,

P Negara import P Negara eksport

S

S

PtIm PtIm

Pst A B C D Pst a b c d E F G H e f g h

PtEx PtEx

D

(30)

89

Gambar 2.5 Kurva Permintaan Dan Penawaran atas Pajak Ekspor. Sumber ; Suranovich (2000).

Kuantitas impor dan ekspor ditunjukan oleh dua garis tebal horizontal Pst.

Ketika negara peng-ekspor mengimplementasikan pajak atas ekspor barang mereka

maka akan menyebabkan berkurangnya harga barang didalam negeri sekaligus akan

menambah harga barang tersebut diluar negeri sedangkan pengaruhnya bagi harga

barang tersebut dipasar dunia adalah sebanding atas seberapa besar jumlah barang

tersebut dalam total produksi dunia. Seandainya setelah dikenakan pajak harga barang

dinegara pengimpor bertambah sebesar PtIm maka harga barang dinegara pengimpor

turun sebesar PtEx. Namun jikalau ditetapkan kekhususan atas pajak ekspor maka nilai

pajak menjadi T = PtIm – PtEx adalah sama besar sebagaimana ditunjukan kedua garis

tebal vertikal. Tetapi jikalau dikenakan pajak berdasarkan Ad-vallorem maka nilai pajak

menjadi persamaan T=(Pt Im / Pt Ex) - 1.

Suranovich (2000) memberikan gambaran atas dampak ditimbulkan dari

penetapan pajak ekspor adalah sebagaimana tersaji dalam Tabel 2.1, sebagai berikut,

Tabel 2.1, Dampak atas Penetapan Pajak Ekspor. Dampak Penetapan

Pajak Ekspor

Negara peng-impor

Negara peng-ekspor

Surplus konsumen - ( A + B + C + D ) + e

Surplus produsen + A - ( e + f + g + h )

Pendapatan Pemerintah 0 (nihil) + ( c + g )

Kesahjateraan nasional - ( B + C + D ) + c – ( f + h ) Kesahjateraan Dunia - ( B + D ) - ( f + h )

Sumber, Suranovich (2000).

Pajak ekspor memberi dampak positif kepada negara peng-ekspor yaitu dilihat dari sisi

konsumen dan Pemerintah, sehingga secara keseluruhan memberi keuntungan kepada

kesahjateraan nasional meskipun hal ini masih memberi dampak negatif kepada

(31)

90

konsumen dan akibatnya bagi kesahjateraan nasional adalah negatif dimana mereka

harus membayar lebih pada sejumlah barang yang sama sedangkan bagi produsen

adalah positif sebab memperoleh selisih harga. (Suranovich, 2000).

Selanjutnya dampak pajak ekspor tersebut bagi kesahjateraan penduduk dunia

kepada permintaan konsumen dunia adalah negatif, jika jumlah barang yang dikenai

pajak ekspor adalah sebagian besar dari produksi dunia. Kesimpulan yang diperoleh

Suranovich (2000), terhadap kebijakan pajak ekspor adalah ;

a. Ketika negara penghasil komoditi terbesar didunia mengimplementasikan pajak

ekspor (dalam batas optimum ) maka itu akan menambah kesahjateraan nasional.

b. Jikalau pajak ekspor tersebut ditetapkan dalam nilai tinggi (diatas optimum )

maka kesahjateraan nasional akan jatuh ( negatif ).

c. Pajak ekspor lebih baik ditetapkan dalam nilai minimal terhadap jumlah volume

ekspor sehingga akan menyebabkan maksimumisasi dalam kesahjateraan nasional.

2.1.12 Teori Tingkat Suku bunga.

Kidwell, D.S, Petterson, dan Blackwell (1993) disadur oleh Sawaldjo (2002),

menyatakan bahwa, bunga uang adalah sejumlah dana yang dinilai dalam uang dan

diterima sipemilik uang ( kreditur ) sedangkan suku bunga adalah rasio dari bunga

terhadap jumlah pinjaman serta waktu dari peminjaman uang. Kemudian tingkat suku

bunga uang dalam satuan persentase adalah biaya peminjaman atau harga yang harus

dibayar untuk meminjam sejumlah dana. Tingkat suku bunga adalah variabel terpenting

dalam semua aspek bisnis karena sebagai asas tolok ukur atas kemampuan berbisnis.

Nopirin, (1992) menyatakan, tingkat suku bunga uang (The stage Interest rate)

memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan seluruh aktifitas ekonomi dimasyarakat,

(32)

91

jadi tingkat suku bunga uang, memiliki fungsi alokatif bagi perekonomian khususnya

didalam bentuk penggunaannya. Tingkat suku bunga merupakan salah satu variabel

bersifat dominan dalam perekonomian yang selalu diamati dengan ekstra kehati-hatian

sebab dapat memberi dampak langsung kepada perubahan konsumsi rumah tangga atau

dalam mengambil keputusan di perusahaan sehingga perubahan tingkat suku bunga

dapat merubah arah perekonomian dari suatu negara.

Edmister R.O 1986 : disadur oleh Sawaldjo (2002) menyatakan ada tiga istilah

yang berkaitan dengan tingkat suku bunga uang yaitu :

1. State rate Tingkat suku bunga pada satu priode dikalikan jumlah pokok pinjaman

untuk menghitung beban bunga perwaktu.

2. Annual percentage rate Tingkat suku bunga dihitung pertahun disesuaikan dengan

State rate untuk jumlah priode waktu dan jumlah pokok yang dipinjam agar

diperoleh tingkat bunga ekuivalen.

3. Yield Adalah tingkat bunga ekuivalen dengan satu kontrak keuangan yang

memenuhi 3 syarat yakni : a). Jumlah seluruhnya yang benar-benar dipinjamkan.

b). Dihitung pada awal tahun. c) Kemudian dibayar pada akhir tahun berikut bunga.

Persamaan tingkat suku bunga sederhana merupakan dasar untuk menghitung

suku bunga, rumusnya adalah : i = C / P = r dengan notasi :

P = jumlah pokok hutang. i = suku bunga.

C = jumlah yang dibayar pada setiap akhir priode. r = yield.

Pembayaran sebesar C indentik dengan pembayaran bunga obligasi yang kemudian

disebut sebagai Coupon ( C ). Besarnya suku bunga sederhana sama dengan kupon

(33)

92

Sawaldjo (2002) menyebutkan, tingkat suku bunga memiliki beberapa fungsi

didalam perekonomian yaitu :

1. Mendukung kelangsungan pengaliran sumber-sumber dana tabungan kearah

investasi dan hasil akhirnya kepada tingkat pertumbuhan ekonomi.

2. Mendistribusi kredit yang tersedia atau yang diminta umumnya kepada investasi

dengan menjanjikan hasil tertinggi.

3. Menjaga keseimbangan jumlah uang beredar diantara permintaan dan penawaran

uang pada suatu negara.

4. Alat utama bagi suatu pemerintahan dalam mengatur kebijakan jumlah tabungan dan

investasi dimana kebijakan bersifat mempengaruhi pasar.

Tingkat suku bunga tidak bersifat seragam, hal ini disebabkan berbedanya jumlah

waktu dan tingkat keperluan dana pada bidang sektor ekonomi, sehingga menciptakan

permintaan dan penawaran yang berbeda-beda bahkan suatu perusahaan yang

menerbitkan sekuritas dengan tingkat suku bunga yang sama namun akhirnya dalam

realitas pasar akan berbeda juga tingkat suku bunganya. Namun meskipun demikian

dalam analisis perlu diasumsikan adanya satu tingkat suku bunga fundamental atau

disebut juga tingkat suku bunga murni atau tingkat suku bunga bebas risiko.

2.1.13 Teori Luas Lahan Kelapa Sawit Menghasilkan.

Pahan (2011), menyatakan lahan optimum untuk kelapa sawit adalah mengacu

kepada 3 kriteria yakni ; faktor lingkungan, sifat fisik lahan dan sifat kesuburan tanah,

Dimana mengacu kepada tiga kriteria tersebut semakin tinggi nilai kesesuaiannya maka

biaya diperlukan untuk tanaman kelapa sawit semakin rendah dan juga sebaliknya.

Persyaratan tumbuh dari tanaman kelapa sawit yakni daerah tropis, didataran rendah

(34)

93

kemarau (< 100 mm) tidak lebih dari 3 bulan. Temperatur udara siang 290 – 340

Celcius dan malam hari 220-250 Celcius. Ketinggian dari permukaan laut < 500 meter.

Sinar matahari minimal 5 jam perhari dan bersinar sepanjang tahun.

Pahan (2011) menyampaikan peta dunia tanaman kelapa sawit yang dilansir

oleh Food of Agriculture Organization berdasarkan temperatur dan priode

pertumbuhan, variabel temperatur mencakup 14 iklim utama yang digolongkan kepada-

3 kelompok yaitu tropis, sub tropis dan temperate (tundra), maka untuk tanaman kelapa

sawit kondisi iklim tropis diberikan penilaian iklim utama dengan perbedaan isoline

(sub tropis dan temperate) menunjukkan perbedaan pada setiap priode pertumbuhan

tanaman. Maka berdasarkan kriteria tersebut zona khatulistiwa yang membelah dunia

adalah zona yang paling sesuai untuk kelapa sawit dan negara yang dilintasi oleh garis

khatulistiwa tersebut memiliki keunggulan komparatif sumber daya alam yang

mempengaruhi daya saing produk perkebunan. Selain dari itu faktor penting lainnya

yaitu sifat kesuburan tanah dimana daerah katulistiwa yang proporsi dengan lahan

gurun ternyata juga tidak sesuai untuk kelapa sawit seperti didaerah gurun pada benua

Afrika dan daerah gurun di Republik Rakyat China.

Di Indonesia penyebaran tanaman kelapa sawit mencakup 19 propinsi dengan

luas lahan menghasilkan terbesar berada di pulau Sumatera. Data luas tanaman kelapa

sawit nasional lihat pada Tabel 1.4. Sebelum tahun 1979, perkebunan kelapa sawit

masih diusahakan oleh perusahaan perkebunan besar milik negara dan swasta asing.

Sejak dekade 1980, sejalan dengan kebijaksanaan pengembangan perekonomian rakyat,

telah terjadi perkembangan yang sangat pesat dari usaha perkebunan kelapa sawit

(35)

94 2.1.14 Konsep Hubungan diantara Harga Pangan, Tingkat Pendapatan

dan Kebijakan Pemerintah.

Dengan menggunakan pendekatan garis anggaran dan kurva indeferens

Deaton dan Muellbauer (1980), menjelaskan keterkaitan diantara kebijakan harga

pangan dengan tingkat pendapatan serta jumlah konsumsi pangan yang mana

keseimbangannya mengindikasikan ketahanan pangan. Asumsi yang digunakan untuk

penjelasan adalah :

(1) hanya ada dua komoditas dikonsumsi yaitu kelompok pangan dan nonpangan,

(2) semakin ke kanan kurva indeferens menunjukkan keadaan semakin sejahtera,

(3) pangan merupakan barang normal.

(4) harga barang non pangan diasumsikan tetap.

(5) konsumen dibatasi oleh pendapatan (m) dan dapat memilih bundel komoditas

pangan (X) dan komoditas non pangan (Y) sehingga persamaan garis anggarannya

adalah: m = Px * X 1 – Py * Y 1 ……… (1)

Dampak kebijakan harga pangan bagi produsen (nett consumer) dapat melalui

dua jalur. Pertama, melalui jalur produksi yaitu subsidi input menyebabkan

penggunaan teknologi meningkat sehingga produksi meningkat. Peningkatan produksi

dengan biaya yang disubsidi dan harga output yang stabil menyebabkan pendapatan

petani meningkat sebesar k. Peningkatan pendapatan ini menggeser garis anggaran

ke kanan dari BL1 ke BL2 (Gambar 2.6). Akibat perubahan pendapatan dari m

menjadi m + k, maka persamaan (1) menjadi :

m - k = Px * X2 + Py * Y2 ………. (2)

Kedua, melalui jalur konsumsi, karena sebagian besar produsen pangan adalah nett

(36)

95

kebijakan harga output yang menyebabkan harga pangan murah. Adanya subsidi

pangan (quantity subsidy) sebesar s menyebabkan harga pangan Px menjadi lebih

murah, efek totalnya efek substitusi dan efek pendapatan menyebabkan garis anggaran

BL2 berotasi menjadi BL3.

Secara matematika persamaan (2) berubah menjadi:

m + k = ( Px – s ) * X3 - Py * Y3 ………. (3)

Sehinga garis anggaran BL2 dengan koefisien kemiringan Px

Py

berubah lebih kecil

yaitu Px – s Py

dari persamaan BL3 setelah ada subsidi, sebagai berikut ;

Y = m + k - Px –s Py Py

X ……….. (4)

Dari Gambar 2.6 bergesernya garis anggaran ke kanan sekaligus juga menggeser kurva

indeferens ke kanan dari KI1 ke KI2 ke KI3. Pergeseran ini mengindikasikan

makin meningkatnya kesejahteraan dan konsumsi pangan yang berimplikasi pada

meningkatnya ketahanan pangan.

Gambar 2.6. Dampak Peningkatan Pendapatan dan Penurunan Harga Pangan terhadap Kesejahteraan dan Konsumsi Pangan

(37)

96 2.2 Penelitian Sebelumnya.

Beberapa hasil penelitian dan studi terdahulu sebagai pembanding model atas

hasil yang diperoleh didalam studi ini adalah sebagai berikut ;

Donald F. Larson (1996) dalam penelitiannya yang berjudul “Indonesia‘s Palm

Oil Sub Sector”. Sebagai Working Paper Commodity Policy and Analysis Unit no.1654

pada The World Bank International Economics Department, September 1996.

Variabel yang sama-sama digunakan antar penelitian adalah ; Luas lahan kebun sawit,

namun Larson menelitinya lebih jauh kedalam aspek jangka panjang dan jangka pendek

kemudian variabel harga CPO, harga minyak goreng Bulog dalam hal ini maksudnya

adalah harga minyak goreng. kemudian variabel GDP perkapita, volume produksi CPO

dan sebagai variabel terikat Larson menetapkan Pajak ekspor CPO. Ringkasan

mengenai penelitian Larson, dapat dilihat pada Tabel 2.2 nomor 1.

Purba Jan Horas V (2001). Meneliti dengan judul “Model Ekonometrika

Kelapa Sawit Indonesia. Analisis Simulasi Kebijakan Internal dan Eksternal”. Dimuat

pada Jurnal Kopertis wilayah 4, tahun 2001. Variabel serupa digunakan antar

penelitian Purba dengan studi ini adalah, variabel luas lahan kebun sawit dimana Purba

meneliti lebih spesifik kedalam pengelompokan yaitu kebun rakyat, kebun swasta dan

kebun negara. Variabel lainnya yang serupa adalah volume produksi CPO, volume

ekspor CPO, nilai tukar kurs, tingkat suku bunga dan kebijakan pemerintah pajak

ekspor CPO sedangkan variabel terikat Purba memilih, harga CPO Internasional dan

harga CPO domestik. Persamaan lainnya adalah dalam permasalahan penelitian dimana

Purba mencari hubungan dan pola pembentukan dari harga CPO lokal dan harga CPO

Internasional. Hal dimaksudkan yakni sebagaimana tersebut dalam ringkasan dari

(38)

97

Mohamad F. Hasan et al. (2001). Melakukan penelitian berjudul Effects of an

Export Tax on Competitiveness The Case of the Indonesian Palm Oil Industry dimuat

pada Journal of Economic Development Volume 26, Number 2, December 2001.

Persamaan variabel antar penelitian adalah, volume ekspor CPO, pajak ekspor CPO,

harga CPO Internasional, harga minyak goreng domestik, Resume dari penelitian

Hasan dapat dilihat pada Tabel 2.2 nomor 3.

Basri A.Talib dan Zaimah Darawi (2002). Melakukan penelitian berjudul An

Economic Analysis of the Malaysian Palm Oil Market, penelitian ini dimuat pada

Oilpalm Industry Economic Journal (Vol. 2(1)/2002) Beberapa variabel yang serupa

digunakan antar penelitian adalah, nilai tukar kurs, volume ekspor CPO, harga CPO

internasional, harga minyak kedelai Internasional, dimana volume produksi CPO adalah

salah satu dari variabel terikat, dari penelitian tersebut sebagaimana Tabel 2.3 nomor 4.

Bonar M. Sinaga dan Ketut Ardana (2003). Melakukan penelitian berjudul

Struktur Produksi dan Kesahjateraan Pelaku Industri Minyak Goreng Indonesia dimuat

di jurnal SOCA: 263-274, ISSN 1411-7177, Volume 2. nomor 1 2003, Bogor. Variabel

yang serupa digunakan dalam penelitian adalah luas lahan sawit, kebijakan pajak

ekspor, harga minyak goreng, harga CPO internasional, volume produksi minyak

goreng, volume permintaan minyak goreng, kurs, sehingga penelitian Sinaga lebih

memfokuskan kepada produksi dan konsumsi minyak goreng didalam negeri, model

teridentifikasi berlebih maka pendugaan model dilakukan dengan metode 2SLS. Untuk

menguji apakah masing-masing peubah penjelas secara individual berpengaruh nyata

atau tidak terhadap peubah endogen pada masing-masing persamaan,hal dimaksudkan

(39)

98

Karl Meilke et al. (2003). Meneliti dengan judul The Impact of Trade

Liberalization on the International Oilseed Complex. Tulisan ini dimuat pada Review of

Agricultural Economics—Volume 23, Number 1—halaman 2–17. Persamaan variabel

antar penelitian adalah, kebijakan perdagangan pangan Internasional (pajak ekspor) dan

harga minyak nabati pada pasar lokal dan pasar internasional, yang menarik dari

tulisan ini adalah kesamaan dalam meneliti pengaruh pajak ekspor pangan terhadap

harga pangan tersebut didalam negeri serta implikasi piagam putaran Uruguay pada

perdagangan pangan dunia, Ringkasan penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.3 nomor 6.

Akbar Siregar (2003). Melakukan studi berjudul analisis permintaan negara

terpilih terhadap minyak sawit kasar Indonesia, sebagai tesis magister ekonomi

pembangunan. Universitas Sumatera Utara tahun 2003. Beberapa variabel yang sama

dengan studi ini adalah ; harga CPO internasional, harga minyak kedelai, pendapatan

per kapita, pajak ekspor CPO, dan variabel kurs. Studi ini adalah tulisan terdahulu dari

peneliti didalam kajian ekspor CPO Indonesia untuk lebih jelas resume dari penelitian

ini dapat dilihat pada Tabel 2.4 nomor 7.

Adang Agustian dan Prajogo U.Hadi (2004). Melakukan studi berjudul “Analisa

dinamika ekspor dan keunggulan komparatif minyak kelapa sawit (CPO), dan tulisan

ini dimuat pada jurnal Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian IPB- Bogor, SOCA:

Volume 4. nomor 3 Tahun 2004. Beberapa variabel yang sama-sama menjadi objek

penelitian adalah variabel, pajak ekspor CPO, harga CPO Internasional, volume

produksi CPO dan harga minyak kedelai internasional. Penyebab tulisan ini dipilih

sebagai pembanding studi adalah tujuan dari penulisan, dimana Adang ingin mencari

tahu keunggulan CPO dipasar Internasional sehingga dianggap penting untuk

Gambar

Gambar : 2.1  Proses Perilaku Konsumen.
Gambar 2.2 memperlihatkan, fungsi permintaan memotong sumbu vertikal
Gambar 2.3.   Terjadinya Perdagangan Internasional.  Sumber   :
Tabel  2.1,    Dampak atas Penetapan Pajak Ekspor.
+6

Referensi

Dokumen terkait

Mitra Pinasthika Mustika Motor Pekanbaru berada pada kategori netral, artinya penerapan insentif ini dirasakan oleh karyawan belum cukup memuaskan secara maksimal

Kota Malang yang tidak dianggap sebagai kota seni-budaya ternyata di kota ini ada juga pecinta seni yang berani membuka galeri swasta. Seorang dokter yaitu dr. Purnomo Limanto

Maka untuk dapat menentukan barang yang bagaimana atau barang dengan merek apa yang akan dijual oleh Alfamart tersebut dibutuhkan beberapa informasi penting.. Misalnya

Dalam penelitiannya didapatkan 6 dari 10 studi yang berkaitan dengan aktivitas fisik menyatakan bahwa tidak ada pengaruh aktivitas fisik bagi wanita hamil yang bekerja terhadap

Secara umum partisipasi dalam pengembang- an sistem akan mempengaruhi keberhasilan dalam pengembangan sistem informasi. Partisi- pasi akan menyebabkan semakin tingginya

Uraian tersebut menunjukkan pentingnya di- lakukan kajian pengambilan keputusan belanja pada produk daging olahan beku yang secara spesifik bertujuan untuk mengukur pengaruh

Hasil penelitian tahap pratindakan terlihat bahwa kemampuan investigasi matematika siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 2 Watampone terbukti masih rendah. Dari lima

[r]