• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari 5 ( lima ) pulau besar, pulau-pulau kecil 1, 366 suku 2, 5 agama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari 5 ( lima ) pulau besar, pulau-pulau kecil 1, 366 suku 2, 5 agama"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak pada garis khatulistiwa, terdiri dari 5 ( lima ) pulau besar, 17.508 pulau-pulau kecil1, 366 suku2, 5 agama dan berbagai aliran kepercayaan. Masing-masing suku dan wilayah tersebut memiliki budaya yang berbeda-beda, sehingga memiliki ciri khas yang dapat membedakan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena bangsa Indonesia terdiri dari bermacam-macam suku dan budaya, maka dapat dikatakan Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk atau cultural pluralism3.

Indonesia memiliki Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang melingkupi hukum tertulis (Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan PerUndang-Undangan) dan hukum tidak tertulis (hukum adat) tercermin dari karakteristik masyarakat Indonesia yang beraneka ragam suku bangsa, agama dan hukum adatnya. Hukum Adat sebagai hukum yang hidup (living law) dikonsepkan sebagai suatu sistem hukum yang terbentuk dan berasal dari pengalaman empiris masyarakat pada masa lalu yang dianggap adil atau patut dan telah mendapatkan legitimasi dari penguasa adat sehingga mengikat dan

1

Arief Mudzakir,2006,Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap Global, Aneka Ilmu, hlm.3.

2

Soerjono Soekanto, 2005, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Press, hlm.21.

3

(2)

wajib dipatuhi. Proses kepatuhan terhadap hukum adat mulanya muncul karena adanya asumsi bahwa setiap manusia sejak lahir telah diliputi oleh norma-norma yang mengatur tingkah laku personal untuk setiap perbuatam hukum dan hubungan-hubungan hukum yang dilakukannya dalam suatu interaksi harmonis.4 Oleh karenanya, masyarakat dan anggota-anggota menjalankan perintah-perintah normatif tanpa memandangnya sebagai suatu paksaan melainkan karena adanya anggapan bahwa perintah-perintah tersebut memang demikian seharusnya. Pandangan tersebut sesuai dengan falsafah masyarakat Indonesia yaitu falsafah serba berpasangan, beralam pikiran integral harmonis dengan alam semesta dan mendambakan suasana selaras, serasi dan seimbang dalam kehidupan bermasyarakat.5

Indonesia memiliki kurang lebih 366 suku yang tersebar dalam berbagai pulau di wilayah Indonesia. Suku-suku tersebut berdiam di suatu wilayah dan mereka memiliki kebudayaan yang dipengaruhi juga oleh agama yang dipeluknya. Ada masyarakat yang dipengaruhi oleh Agama Islam, Agama Kristen, Agama Khatolik, Agama Budha, Agama Hindu, dan berbagai kepercayaan. Pulau-pulau besar yang ada di Indonesia seperti Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan dan Papua merupakan tempat kehidupan beraneka suku yang memiliki kebudayaan berbeda-beda satu dengan lainnya. Begitu juga dalam

4

Soerjono Soekanto, 1982, Masa Depan Hukum Adat di Indonesia, Makalah pada Seminar Penelaah

Pembaharuan Hukum Nasional, BPHN, Jakarta, hlm.144-148.

5

Otje Salman Soemadiningrat, 2011, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung, hlm.27

(3)

pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia berdiam berbagai suku. Dengan adanya kemerdekaan, maka secara legal formal wilayah-wilayah berbagai kepulauan di Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga terwujudlah suatu kesatuan dari berbagai masyarakat yang berbeda-beda menjadi bangsa Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Artinya meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu juga, yaitu di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masing-masing masyarakat beraneka suku itu dalam kehidupannya membentuk komunitas adat yang berinteraksi secara terus menerus, sehingga di dalam komunitas adat suku tersebut tercipta aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan norma-norma yang ditaati oleh masyarakat adat suku tersebut. Aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan norma-norma itulah yang nantinya akan terbentuk menjadi suatu sistem yang akan menjadi Hukum Adat yang dipegang teguh dan ditaati oleh masyarakat adat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang hidup bersama-sama dalam jangka waktu yang cukup lama itu akan menghasilkan suatu kebudayaan. Masyarakat ini menjadi suatu sistem sosial yang menjadi wadah dari hubungan antar kelompok sosial dalam masyarakat adat tersebut.

Suatu deskripsi mengenai masyarakat adat oleh Hazairin dikatakan6 : “ Masyarakat-masyarakat Hukum Adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatra Selatan, nagari di Minangkabau, huta atau kuria di Sumatera Utara, wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan, untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan

6

(4)

penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk hukum kekeluargaannya mempengaruhi sistem pemerintahannya dan sistem umum kemasyarakatannya. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya”

Uraian tersebut di atas memberikan suatu gambaran jelas mengenai masyarakat hukum adat, yang boleh dikatakan terdapat di semua wilayah Indonesia. Masyarakat adat tersebut berciri komunal, dimana gotong royong, tolong menolong, mempunyai peranan besar dalam kehidupan. Selain itu dalam kehidupan masyarakat adat juga tidak dapat dipisahkan dengan adanya kepercayaan, perasaan, maupun tujuan sistem sosialnya7.

Hukum Adat yang sifatnya tidak tertulis8 menjadikan hukum adat seperti menjadi sangat luas ruang lingkupnya. Namun kenyataannya tidak demikian, karena menurut pendapat Van Dijk, hukum adat terbagi menjadi 3 kelompok yaitu :9

1. Hukum Adat Ketatanegaraan, yang menguraikan tentang tata susunan masyarakat atau persekutuan-persekutuan masyarakat, susunan alat perlengkapan, para pejabat, dan jabatannya, kerapatan adat dan peradilan adatnya.

7

Ibid, hlm.45.

8

Dalam hal Hukum Adat lebih menyukai bentuk tidak tertulis dengan alasan bahwa hukum tertulis, sebagai suatu bentuk rumusan seringkali mudah menimbulkan perbedaan penafsiran. Lihat, Moh.Koesnoe, 1992, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum : Bagian I (Historis), Mandar Maju, Bandung, hlm.8.

9

R.Van Dijk, 1954, Pengantar Hukum Adat Indonesia, PT Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, hlm.13.

(5)

2. Hukum Adat Kewargaan, yang menguraikan tentang hubungan kekerabatan (pertalian sanak), perkawinan dan pewarisan, harta kekayaan (hak-hak tanah dan transaksi tanah, dan hukum perhutangan, transaksi kebendaan selain tanah dan jasa).

3. Hukum Adat Delik (Pelanggaran), yang menguraikan berbagai delik adat dan reaksi masyarakat atas pelanggaran itu serta cara menyelesaikannya.

Hukum kekerabatan memiliki arti hukum yang mengatur mengenai pertalian darah dan pola penarikan garis keturunan, hubungan-hubungan orang tua dengan anaknya, kedewasaan, pengambilan anak (adopsi) dan perkawinan.10 Kesemua hubungan hukum tersebut dapat dilihat dalam susunan masyarakat hukum adat yang didasarkan pada ikatan genealogis, di Indonesia terbagi menjadi empat kategori yaitu:11

1. Sistem Patrilineal, yaitu sistem penarikan garis keturunan atau penarikan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan pihak laki-laki (ayah) dan hanya mengenal anak laki-laki sebagai ahli waris, contohnya terdapat pada masyarakat Batak dan Bali.

2. Sistem Matrilineal, yaitu sistem penarikan garis keturunan atau hubungan kekerabatan hanya dari pihak ibu masuk dalam hubungan kekerabatan, sedangkan semua keluarga dari pihak ayah berada di luar wilayah kekerabatan dan dalam sistem Matrilineal hanya anak perempuan yang

10

Otje Salman S, Op.Cit., hlm.45

11

Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, hlm.59-65.

(6)

memiliki hak mewaris harta-harta pusaka, contohnya terdapat pada masyarakat Minangkabau.

3. Sistem Parental, yaitu sistem penarikan garis keturunan atau hubungan kekerabatan dari pihak laki-laki dan perempuan., contohnya terdapat dalam masyarakat Jawa.

4. Sistem Alternerend, yaitu pola penarikan garis keturunan atau hubungan kekerabatan dapat dilakukan melalui pihak ayah dan ibu secara bergantian, bergantung pada perkawinan yang dilakukannya.

Sebagai hukum yang berakar pada kebudayaan tradisional, hukum adat sesuai dengan fitrahnya terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri12. Pluralitas masyarakat dengan adat, budaya dan tradisinya sendiri-sendiri menumbuhkan praktik-praktik hukum adat yang berbeda dan salah satunya adalah Hukum Waris Adat. Pada awalnya keadaan dan daya berlaku hukum waris adat bergantung kepada corak kekerabatan dari masing-masing masyarakat yang telah diuraikan sebelumnya. Namun dalam perkembangannya suatu masyarakat dikarenakan adanya penemuan-penemuan baru (invention dan discovery) maupun karena intensifikasi pada pluralitasnya, pada faktor-faktor genealogis yang membentuknya terutama pada masyarakat Matrilineal dan Patrilineal, maka dapat terjadi perubahan.13

12

R.Soepomo,1967, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Universitas, Bandung, hlm.5

13

(7)

Masyarakat adat yang berada di pulau-pulau di Indonesia hidup dalam suatu lingkungan hukum adat yang memiliki ciri khas masing-masing. Sebagaimana diketahui bahwa hukum bertujuan mengatur tata kehidupan dari suatu masyarakat dimana hukum tersebut berlaku. Demikian juga Hukum Adat masyarakat Suku Batak di Sumatera Utara, bertujuan mengatur masyarakat Suku Batak di dalam bertingkah laku, serta mengatur segenap segi kehidupan. Interaksi antara warga secara internal maupun eksternal yang di dalamnya terdapat kaidah hukum adat yang berkaitan dengan masalah hukum keluarga, hukum perkawinan, ataupun hukum pewarisan dapat menjadi sarana adanya perubahan14.

Suku Batak ada bermacam-macam dan tersebar di berbagai daerah Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pak-Pak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing15. Batak Toba merupakan salah satu Suku Batak yang berada di wilayah di Propinsi Sumatera Utara, terletak di sekitar Danau Toba dan di Pulau Samosir. Dalam kehidupan Suku Batak Toba terdapat sistem kekerabatan yang ditarik dari garis keturunan ayah atau patrilineal, mulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga inti sampai pada lingkungan hidup yang paling atas yaitu “huta”.

Salah satu Kota di Pulau Sumatera yang dihuni oleh Suku Batak Toba yang beragama Kristen adalah Kota Bandar Lampung. Masyarakat adat Batak

14

Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm.44.

15

(8)

adalah masyarakat yang kuat dalam memegang dan menjunjung nilai-nilai adatnya. Apabila masih dalam lingkungan adatnya, adalah hal yang wajar jika nuansa hukum adatnya masih kental. Namun bagaimana dengan masyarakat Batak yang berada di perantauan, karena faktor ekonomi menjadi salah satu faktor yang mendorong masyarakat Batak untuk merantau atau berpindah dari daerah asal ke daerah lain dan hidup berdampingan dengan masyarakat adat lain yang memiliki hukum adat yang berbeda. Hukum Adat dalam masyarakat Batak Toba mengatur masyarakat Batak dalam bertingkah laku, serta mengatur segala aspek kehidupannya baik dalam lingkungan adatnya maupun di perantauan.

Salah satu aspek yang menarik untuk dikaji dalam Suku Batak Toba adalah masalah hukum perkawinannya. Dalam perkawinan masyarakat Suku Batak Toba, yang perlu mendapat perhatian yaitu tentang adanya fenomena perkawinan poligami (seorang suami yang mempunyai lebih dari satu orang istri) di bawah tangan pada masyarakat tersebut. Perkawinan poligami di bawah tangan pada Suku Batak Toba adalah perkawinan yang dilakukan secara adat saja, tidak ditandai dengan akta perkawinan dari negara maupun Gereja16 yang dalam istilah adat Batak Toba disebut sebagai “pasu-pasu raja”. Pasu-pasu raja merupakan suatu adat istiadat Suku Batak Toba dimana ketika ada perkawinan, kedua mempelai tidak melakukan pemberkatan di Gereja melainkan hanya meminta berkat dan mempercayakannya pada tua-tua kampung atau tua-tua setempat.

16

Sulistyowati Irianto, 2003, Perempuan Di Antara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor Indonesia,hlm.148.

(9)

Bahkan mereka lebih mempercayai dan menyerahkan segala sesuatunya kepada penatua adat. Tentu adat istiadat yg satu ini sangat bertentangan dengan iman kerohanian Kristen yang sesungguhnya.17 Idealnya suatu perkawinan merupakan satu-satunya cara yang paling mudah, yang paling baik, dan yang paling sah untuk melanjutkan keturunan. Demikian juga pada masyarakat Batak Toba yang melakukan perkawinan harus melalui proses dan tata cara yang ditentukan oleh Hukum Adat Suku Batak Toba.

Menurut Hukum Adat, poligami pada umumnya dilakukan oleh kaum bangsawan, para pemuka adat, raja yang kuat, kalangan elit terpandang dan kaya. Pada jaman dahulu jumlah istri yang banyak adalah kebanggaan suami dan kaum wanita pun ketika itu bangga jika dapat dipersunting oleh keturunan raja-raja18. Suku Batak Toba mayoritas adalah beragama Kristen. Hal ini disebabkan sejak datangnya Ingwer Ludwig Nommensen, seorang Penginjil berkebangsaan Jerman ke Tanah Batak, dan membawa ajaran Kristen pada tahun 1862, mayoritas masyarakat suku Batak Toba banyak yang memeluk agama Kristen. Namun dalam kenyataannya walaupun Suku Batak Toba mayoritas beragama Kristen yang melarang adanya poligami, tetapi perkawinan poligami di bawah tangan masih ada dijumpai dalam kehidupan masyarakat itu dengan berbagai konsekuensi yang harus diterima.

17

Shanty Tindaon, Adat Istiadat yang Bertentangan dan yang Mendukung Ajaran Kristen

http://shantycr7.blogspot.com, diakses 15 Oktober 2014

18

H.P.Panggabean dan Richard Sinaga, 2007, Hukum Adat Dalihan Na Tolu Tentang Hak Waris, DianUtama dan Kerabat, hlm.22.

(10)

Pada umumnya masyarakat Suku Batak Toba sangat menjunjung tinggi sendi-sendi dan nilai-nilai dalam Hukum Adat, walaupun Suku Batak Toba tersebut lahir atau besar di perantauan19. Masalah poligami itu sendiri sudah sangat jarang ditemui pada masyarakat di perantauan, namun sebagaimana dijelaskan di muka, masih dapat ditemui pada masyarakat Suku Batak Toba di Tanah Batak ataupun di perantauan.

Perkawinan poligami di bawah tangan tentunya menimbulkan akibat terhadap hukum negara, hukum Gereja, maupun hukum adat itu sendiri, serta hubungan-hubungan kekerabatan. Dilihat dari segi hukum, masalah yang paling banyak dihadapi dalam kasus perkawinan poligami adalah menentukan status atau posisi istri-istri sehubungan dengan hak-haknya sesuai dengan hukum adat serta posisi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan poligami tersebut.

Di samping itu, perkawinan poligami di bawah tangan ini juga akan mengakibatkan anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak sah secara hukum negara (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan) dan agama Kristen, sehingga anak tersebut hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya20 dan tidak berhak menjadi pewaris dari harta orang tuanya. Namun masalah tersebut belum tentu sama dengan ketentuan Hukum Adat yang berlaku pada masyarakat Suku Batak Toba di Kota Bandar Lampung.

19

Nalom Siahaan, 1982, Adat Dalihan Na Tolu Prinsip Dan Pelaksanaannya, Prima Anugerah, Medan, hal.iii.

20

(11)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa identifikasi permasalahan sebagai berikut :

1. Mengapa masyarakat suku Batak Toba di Kota Bandar lampung melakukan perkawinan poligami di bawah tangan ?

2. Bagaimanakah pelaksanaan perkawinan poligami di bawah tangan pada masyarakat suku Batak Toba di Kota Bandar Lampung ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarakan rumusan permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang ada. Adapun tujuan tersebut menyangkut 2 ( dua ) hal, yaitu :

1. Tujuan Obyektif

a. Mengetahui dan menganalisis alasan suku Batak Toba di Kota Bandar Lampung melakukan Poligami di bawah tangan

b. Mengetahui dan menganalisa proses perkawinan poligami di bawah tangan pada masyarakat Suku Batak Toba di Kota Bandar Lampung.

2. Tujuan Subyektif

Untuk memperoleh data yang kongkret yang berhubungan dengan obyek penelitian guna menyusun tesis sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana S-2 Magister Kenotariatan pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

(12)

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian yang nantinya berupa kesimpulan-kesimpulan yang dapat mengungkapkan kenyataan yang terjadi di lapangan diharapkan dapat memberikan manfaat dalam dua sisi :

1. Kegunaan secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pemikiran positif bagi para akademisi mengenai perkembangan hukum pewarisan adat dan juga memberikan gambaran dan masukan yang dapat digunakan untuk menjadi bahan dalam melakukan penelitian selanjutnya.

2. Kegunaan secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pemahaman masyarakat mengenai pelaksanaan hukum adat, serta dapat berperan memberikan informasi dalam penyelesaian masalah pewarisan.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang pengamatan dan pengetahuan penulis, penelitian tentang Perkawinan Poligami Di Bawah Tangan Pada Masyarakat Suku Batak Toba, belum pernah dilakukan. Berdasarkan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, ditemukan beberapa penelitian tentang perkawinan poligami, diantaranya :

(13)

1. Saudari Lies Wulan Anggraeni, mahasiswi Pendidikan Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada tahun 2013, penelitian yang berjudul tentang Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Dalam Perkawinan Poligami Yang Perkawinan Poligaminya Dibatalkan. Tulisan tersebut menggambarkan tentang perlindungan hukum yang diperoleh isteri yang menikah secara poligami namun perkawinan poligaminya tersebut dibatalkan secara sepihak oleh suaminya.

2. Saudari Yeni Gusnita, mahasiswi Pendidikan Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada tahun 2010, penelitian yang berjudul tentang Tinjauan Terhadap Putusan Pengadilan Agama Tentang Perkawinan Poligami (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kota Padang). Tulisan tersebut menjelaskan tentang perkawinan poligami secara hukum Islam.

3. Saudari Saldiansyah Sabana, mahasiswi Pendidikan Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada tahun 2010, penelitian yang berjudul tentang Pelaksanaan Poligami Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di KUA Kota Makassar. Tulisan tersebut menjelaskan tentang perkawinan poligami di dalam Islam dan perbandingannya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian yang awal dan memenuhi kaedah keaslian penelitian. Penelitian ini menitikberatkan pada

(14)

Perkawinan Poligami Di Bawah Tangan itu sendiri pada Masyarakat Suku Batak Toba di Kota Bandar Lampung.

Referensi

Dokumen terkait

Pembayaran yang dilakukan dalam periode tersebut adalah pembayaran cicilan Pinjaman SEK Tranche A, B dan C sebesar USD45,0 juta, cicilan Pinjaman HSBC Coface dan Sinosure

Sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian ini bahwa hasil ekstraksi resin pada kayu gaharu tanaman asal Jambi relatif lebih sedikit dibandingkan dengan hasil resin

Motivasi yang dimiliki para peternak di Desa Cibarani dalam memelihara ternak kerbau termasuk tinggi terkait dengan dijadikannya ternak kerbau sebagai sumber

Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah

Kesimpulan dari teori motivasi kerja Herzberg’s Two Factors Motivation Theory adalah fokus teori motivasi ini lebih menekankan bagaimana memotivasi karyawan di

Indikator secara kualitatif meliputi; proses pembelajaran dengan model Problem based learning dikatakan berhasil jika sebagian siswa menunjukkan keaktifan di kelas,

Sistem pengaman rumah ini memiliki beberapa bagian penting untuk mengamankan rumah seperti sensor ultrasonic sebagai pendeteksi, alarm, modem wavecom dan kamera CCTV

Program bimbingan keterampilan sendiri adalah kemampuan mengerjakan sesuatu dengan baik dan dilakukan dengan cara memanfaatkan pengalaman dan pelatihan (Depdiknas,