BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Implementasi
2.1.1 Pengertian Implementasi
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Implementasi dianggap sebagai wujud utama dan sangat menentukan dalam proses suatu kebijakan. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Pendapat Ripley dan Franklin (1982) bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah ketentuan ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan atau suatu jenis keluaran yang nyata. Implementasi menunjukan pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujutn-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah. Pendapat Van Meter dan Van Horn (1975) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah ataupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan yang telah digariskan (Winarno, 2012).
Edward III menyatakan bahwa tanpa implementasi yang efektif keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Implementasi kebijakan merupakan aktifitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output bagi masyarakat. Pendapat dari Grindle (1980) bahwa implementasi merupakan
tertentu. Proses implementasi dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun, dana telah siap dan disalurkan untuk mencapai sasaran. Pendapat Van Meter dan Van Horn (1980) bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan public direalisasikan melalui aktifitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (Akib, 2010).
Menurut Van Meter dan Van Horn (1975), ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu:
1) Standar dan sasaran kebijakan.
Setiap kebijakan publik harus mempunyai standard dan suatu sasaran kebijakan jelas dan terukur. Dengan ketentuan tersebut tujuannya dapat terwujudkan. Dalam standard dan sasaran kebijakan tidak jelas, sehingga tidak bias terjadi multi-interpretasi dan mudah menimbulkan kesalah-pahaman dan konflik di antara para agen implementasi.
2) Sumberdaya.
Dalam suatu implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik
sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya
materi (matrial resources) dan sumberdaya metoda (method resources). Dari ketiga sumberdaya tersebut, yang paling penting adalah sumberdaya manusia, karena disamping sebagai subjek implementasi kebijakan juga termasuk objek kebijakan publik.
3) Hubungan antar organisasi.
Dalam banyak program implementasi kebijakan, sebagai realitas dari program kebijakan perlu hubungan yang baik antar instansi yang terkait, yaitu dukungan komunikasi dan koordinasi. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program tersebut. Komunikasi dan koordinasi merupakan salah satu urat nadi dari sebuah organisasi agar program-programnya tersebut dapat direalisasikan dengan tujuan serta sasarannya.
4) Karakteristik agen pelaksana.
Dalam suatu implementasi kebijakan agar mencapai keberhasilan maksimal harus diidentifikasikan dan diketahui karakteristik agen pelaksana yang mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, semua itu akan mempengaruhi implementasi suatu program kebijakan yang telah ditentukan.
5) Disposisi implementor.
Dalam implementasi kebijakan sikap atau disposisi implementor ini dibedakan menjadi tiga hal, yaitu: (a) respons implementor terhadap kebijakan, yang terkait dengan kemauan implementor untuk melaksanakan kebijakan publik, (b) kondisi, yakni pemahaman terhadap kebijakan yang telah ditetapkan dan (c) intens disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki tersebut.
6) Kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi.
Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan (Subarsono, 2010)
2.1.2 Penyusunan Implementasi Pengembangan Fungsi Puskesmas PONED A. Persiapan Pengembangan Fungsi Puskesmas Mampu PONED:
1) Menyusun rencana pemantapan fungsi puskesmas mampu PONED yang ada a) Menetapkan puskesmas sebagai calon puskesmas mampu PONED yang akan dikembangkan
b) Mernyusun rencana pengembangan puskesmas mampu PONED dengan tahapannya.
2) Mempersiapkan pemantapan PONED yang sudah ada dan realisasi pengembangan fungsi puskesmas menjadi puskesmas mampu PONED, sesuai dengan tahapannya:
a) Melengkapi kebutuhan sumberdaya (SDM, alat medisdan non medis, obat dan bahan habis pakai, ruangan, ambulan, biaya operasional dan pemeliharaan,dll) sesuai kebutuhan
b) Melatih ulang SDM yang ada dan melatih baru SDM yang diperlukan c) Melakukan pembinaan teknis, administrasi dan manajemen serta keuangan
B. Menetapkan realisasi sesuai dengan rencana dan tahapannya: 1) Memantapkan fungsi puskesmas mampu PONED yang sudah ada
2) Mengembangkan puskesmas yang dipilih untuk menjadi puskesmas mampu PONED.
2.2 Pengertian Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) Pelayanan Obstetri Neonatus Emergensi Dasar (PONED) adalah puskesmas rawat inap yang memiliki kemampuan serta fasilitas bersalin. PONED memberikan pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil, bersalin, dan nifas. Selain itu juga memberikan pelayanan kesehatan terhadap bayi yang baru lahir dengan komplikasi, baik yang datang sendiri atau karena rujukan kader/ masyarakat/ bidan di desa, puskesmas dan PONED melakukan rujukan ke Rumah Sakit PONEK pada kasus yang tidak mampu ditangani (Mubarak, 2012).
Pelayanan Obstetri emergensi bertujuan untuk memastikan bahwa pelayanan emergensi untuk kelompok risiko tinggi dan berkomplikasi tersedia untuk setiap perempuan, di manapun dia berada. Kegiatan intervensi dapat dilakukan melalui upaya mengurangi kemungkinan komplikasi persalinan yang berakhir dengan kematian atau kesakitan melalui pelayanan obstetri dan neonatal emergensi dasar (Retnaningsih, 2013).
PONED dapat diberikan oleh puskesmas yang mempunyai fasilitas atau kemampuan untuk penanganan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal dasar. PONED dilakukan di puskesmas induk dengan pengawasan dokter. Petugas kesehatan yang boleh memberikan PONED adalah dokter, bidan, perawat, tim PONED, berserta penanggung jawab terlatih (Mubarak, 2012). Petugas kesehatan
tersebut harus mampu memberikan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Kondisi saat ini menunjukkan kurangnya sumber daya manusia pelaksana pelayanan obstetri. Dengan kondisi seperti itu, sulit mengharapkan PONED dapat berjalan optimal (Retnaningsih, 2013).
PONED (Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar) menurut Kementerian Kesehatan RI (2013) merupakan pelayanan yang menanggulangi kasus kasus kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang meliputi segi:
1. Pelayanan Obstetri: pemberian oksitosin parenatal, antibiotika parenatal dan sedative parenatal, pengeluaran plasenta manual/kuret serta pertolongan persalinan menggunakan vakum ekstraksi/forcep ekstraksi 2. Pelayanan Neonatal: Resusitasi untuk bayi asfiksia, pemberian antibiotic
parenteral, pemberian bicnat intraumbilitical untuk mengatasi ikterus, pemeriksaan thermal control untuk mencegah hipotermia dan penanggulangn gangguan pemberian nutrisi.
2.3 Puskesmas
2.3.1 Pengertian Puskesmas
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat, puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) adalah organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat.
Program puskesmas dibedakan menjadi dua yaitu program kesehatan dasar dan program kesehatan pengembangan. Program kesehatan dasar ada enam yang terdiri dari Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana, Perbaikan Gizi, Pemberantasan Penyakit Menular dan Pengobatan Dasar, sedangkan program pengembangan yang dimaksud adalah program lain yang sesuai dengan kondisi, masalah, dan kemampuan puskesmas setempat (Alamsyah, 2011).
2.3.2 Fungsi Puskesmas
Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Dalam melaksanakan tugasnya, puskesmas menyelenggarakan fungsi:
1. Penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya
Dalam menyelenggarakan fungsi ini, puskesmas berwenang untuk :
a. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan.
c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan.
d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan sektor lain terkait.
e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya kesehatan berbasis masyarakat.
f. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia puskesmas. g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan.
h. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu, dan cakupan Pelayanan Kesehatan.
i. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon penanggulangan penyakit.
2. Penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya
Dalam menyelenggarakan fungsi ini, puskesmas berwenang untuk :
a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar secara komprehensif, berkesinambungan dan bermutu.
b. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif.
c. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.
d. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan pasien, petugas dan pengunjung.
e. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan prinsip koordinatif dan kerja sama inter dan antar profesi.
f. Melaksanakan rekam medis.
g. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses pelayanan kesehatan.
h. Melaksanakan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan.
i. Mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya.
j. Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan sistem rujukan.
Selain menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud, puskesmas dapat berfungsi sebagai wahana pendidikan tenaga kesehatan. Ketentuan mengenai wahana pendidikan tenaga kesehatan tersebut, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (KEMENKES RI, 2014).
2.3.3 Azas Puskesmas
Sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama, pengelolaan program kerja puskesmas berpedoman pada empat asas pokok yaitu:
1. Azas pertanggungjawaban wilayah, yaitu puskesmas harus bertanggung jawab atas pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya, artinya bila terjadi masalah kesehatan di wilayah kerjanya, puskesmas yang harus bertanggung jawab untuk mengatasinya.
2. Azas peran serta masyarakat, maksudnya puskesmas dalam melakukan kegiatannya harus memandang masyarakat sebagai subjek pembangunan kesehatan dan berupaya melibatkan masyarakat dalam menyelenggarakan program kerja puskesmas.
3. Azas keterpaduan, yaitu puskesmas dalam melaksanakan kegiatan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya harus melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, bermitra dan berkoordinasi dengan lintas sector, lintas program dan lintas unit agar terjadi perpaduan kegiatan di lapangan.
4. Azas rujukan, yaitu puskesmas merupakan fasilitas pelayanan puskesmas tingkat pertama yang bila tidak mampu mengatasi masalah karena berbagai keterbatasan, bisa melakukan rujukan baik secara vertical maupun horizontal ke Puskesmas lainnya (Mubarak, 2009).
Dalam konteks otonomi daerah saat ini, puskesmas mempunyai peran yang sangat penting sebagai intitusi pelaksana teknis. Puskesmas dituntut memiliki kemampuan manajerial dan wawasan jauh ke depan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. peran tersebut ditujukkan dengan ikut serta menentukan kebijakan daerah melalui sistem perencanaan yang matang dan realistis, tata laksana kegiatan yang tersusun rapi, serta sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat. Puskesmas juga dituntut berperan dalam pemanfaatan teknologi informasi terkait upaya peningkatan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan terpadu (Mubarak, 2012).
2.4 Puskesmas Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED) 2.4.1 Pengertian Puskesmas PONED
Puskesmas PONED memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan langsung terhadap ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, bayi baru lahir baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, bidan desa dan puskesmas. Puskesmas PONED adalah puskesmas rawat inap yang mampu menyelenggarakan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi/komplikasi tingkat dasar dalam 24 jam sehari dan 7 hari seminggu (KEMENKES RI, 2013).
Puskesmas PONED merupakan puskesmas yang memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar langsung terhadap ibu hamil, bersalin, nifas dan neonatal dengan komplikasi yang mengancam jiwa ibu dan neonatus (Walyani, 2015).
Agar Puskesmas mampu PONED dapat memberikan kontribusi pada upaya penurunan AKI dan AKN dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan maternal neonatal emergensi, maka fungsinya perlu dilaksanakan dengan baik secara optimal. Menurut the International Federal on of Gynecology Obstetrics (FIGO) terdapat 4 pintu untuk keluar dari kematian ibu, yaitu: 1) Status perempuan dan kesetaraan gender, 2) Keluarga Berencana (KB) dan kesehatan reproduksi, 3) Persalinan yang bersih dan aman oleh tenaga kesehatan yang berkompeten, 4) PONED-PONEK. Jadi upaya PONED hanyalah salah satu upaya dan merupakan upaya terakhir untuk mencegah kematian ibu (KEMENKES RI, 2013).
Gambar 2.1 : Empat Pintu untuk menghindari kematian ibu Tujuan Puskesmas PONED adalah:
1. Mampu menangani kasus ibu dan bayi normal
2. Mampu menangani kasus-kasus gawat darurat atau emergensi maternal dan neonatal dasar secara tepat dan cepat
3. Melaksanakan rujukan secara cepat dan tepat untuk kasus-kasus yang tidak dapat dapat ditangani di puskesmas
4. Bagi Puskesmas PONED yang tim PONED-nya tidak lengkap lagi, tujuannya adalah penanganan kasus disesuaikan dengan kewenangannya. Dalam hal ini melakukan stabilisasi dan segera melakukan rujukan secara benar, cepat dan tepat.
5. Melakukan pelayanan tindak lanjut pasca-rujukan setelah kembali dari tempat rujukan (rumah sakit).
Adapun tugas Puskesmas PONED adalah :
1. Menerima rujukan dari fasilitas rujukan dibawahnya, puskesmas pembantu, dan pondok bersalin desa.
2. Melakukan pelayanan kegawatdaruratan obstetri neonatal sebatas wewenang. 3. Melakukan rujukan kasus secara aman ke rumah sakit dengan penanganan
prahospital (Mubarak, 2012). 2.4.2 Kriteria Puskesmas PONED
Berdasarkan Keputusan Direktur Jendral Bina Upaya Kesehatan Nomor HK.02.03/11/1911/2013 tentang pedoman penyelenggaraan Puskesmas mampu Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED), agar puskesmas mampu PONED sebagai salah satu simpul dari sistem penyelenggaraan pelayanan maternal neonatal emergensi dapat memberikan kontribusi pada upaya penurunan AKI dan AKN maka perlu dilaksanakan dengan baik agar dapat dioptimalkan fungsinya. Adapun kriteria Puskesmas mampu PONED adalah :
1. Puskesmas rawat inap yang dilengkapi fasilitas untuk pertolongan persalinan, tempat tidur rawat inap sesuai kebutuhan untuk pelayanan kasus obstetri dan neonatal emergensi/ komplikasi.
2. Letaknya strategis dan mudah diakses oleh puskesmas/ fasyankes non PONED dari sekitarnya.
3. Puskesmas telah mampu berfungsi dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan Perorang (UKP) dan tindakan mengatasi kegawatdaruratan, sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya serta dilengkapi dengan sarana prasarana yang dibutuhkan.
4. Puskesmas telah dimanfaatkan masyarakat dalam/ luar wilayah kerjanya sebagai tempat pertama mencari pelayanan, baik rawat jalan ataupun rawat inap serta persalinan normal.
5. Mampu menyelenggarakan UKM dengan standar.
6. Jarak tempuh lokasi pemuskiman sasaran, pelayanan dasar dan puskesmas non PONED ke Puskesmas mampu PONED paling lama 1 jam dengan transportasi umum mengingat waktu paling lama untuk mengatasi pendarahan 2 jam dan jarak tempuh Puskesmas mampu PONED ke rumah sakit minimal 2 jam.
7. Mempunyai Tim inti yang terdiri atas Dokter, Perawat dan Bidan sudah dilatih PONED, bersertifikat dan mempunyai kompetensi PONED, serta tindakan mengatasi kegawatdaruratan medik umumnya dalam rangka mengkondisikan pasien emergensi/ komplikasi siap dirujuk dalam kondisi stabil. Tenaga kesehatan yang berfungsi sebagai tim inti pelaksana PONED harus yang sudah terlatih dan bersertifikat dari Pusat Diklat Tenaga Kesehatan yang telah mendapatkan sertifikasi sebagai penyelenggara Diklat PONED.
8. Mempunyai cukup tenaga Dokter, Perawat dan Bidan lainnya, yang akan mendukung pelaksanaan fungsi PONED di Puskesmas / Fasyankes tingkat dasar. Calon tenaga pendukung PONED disiapkan oleh Kepala Puskesmas, dibantu oleh Dinas Kesehatan Kabupaten. Tenaga kesehatan pendukung atau disebut dengan Tim Pendukung Penyelenggara Puskesmas mampu PONED tersebut dapat diambil dari tenaga yang ditugaskan di
ruang rawat inap, bila perlu ditambah dengan tenaga yang bertugas difasilitas rawat jalan.
9. Difungsikan sebagai pusat rujukan antara kasus obstetri dan neonatal emergensi/ komplikasi, dalam satu regional wilayah rujukan kabupaten. Kasus emergensi neonatal 80% dapat ditangani di tingkat pelayanan dasar yang berkualitas sesuai standar, 20% perlu mendapatkan pelayanan rujukan yang berkualitas. Adapun batasan kewenangan Puskesmas Mampu PONED dalam Pelayanan PONED terlampir.
10. Puskesmas telah mempunyai peralatan medis, non medis, obat-obatan dan fasilitas tindakan medis serta rawat inap, minimal untuk mendukung penyelenggaraan PONED. Adapun peralatan dan obat-obatan Puskesmas mampu PONED terlampir.
11. Kepala Puskesmas mampu PONED sebagai penanggungjawab program harus mempunyai kemampuan manajemen penyelenggaraan PONED. 12. Puskesmas mampu PONED mempunyai komitmen untuk menerima
rujukan kasus kegawat-daruratan medis kasus obstetri dan neonatal dari Fasyankes di sekitarnya.
13. Adanya komitmen dari para stakeholders yang berkaitan dengan upaya untuk memfungsikan Puskesmas mampu PONED dengan baik yaitu: a) RS PONEK terdekat baik milik Pemerintah maupun Swasta, bersedia
b) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota bersama RS Kabupaten/ Kota dan RS PONEK terdekat dalam membangun sistem rujukan dan pembinaan medis yang berfungsi efektif-efisien.
c) Adanya komitmen dukungan dari BPJS kesehatan untuk mendukung kelancaran pembiayaan Upaya Kesehatan Perorang (UKP) dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
d) Dukungan Bappeda dan Biro Keuangan Pemda dalam pengintegrasian perencanaan pembiayaan Puskesmas mampu PONED dalam sistem yang berlaku.
e) Dukungan Badan Kepegawaian Daerah dalam kesinambungan keberadaan tim PONED di Puskesmas.
f) Dukungan politis dari Pemerintah Daerah dalam bentuk regulasi (Perbup, Perwali atau SK Bupati/ Walikota) dalam mempersiapkan sumber daya dan atau dana operasional, untuk berfungsinya Puskesmas mampu PONED secara efektif dan efisien.
g) Seluruh Petugas Puskesmas mampu PONED melakukan pelayanan dengan nilai-nilai budaya : kepuasan pelanggan adalah kepuasan petugas Puskesmas, berkomitmen selalu memberi yang terbaik, memberi pelayanan dengan sepenuh hati (dengan penuh ras tanggung jawab untuk berkarya dan berprestasi mandiri bukan karena diawasi), peduli pada kebutuhan masyarakat, selalu memberikan yang terbaik pada setiap pelanggan (KEMENKES RI, 2013).
2.4.3 Sumber Daya Kesehatan PONED
Kepala Puskesmas sebagai penanggung jawab pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya, harus dapat menggali potensi-potensi sumber daya khususnya SDM dalam penyelenggaraan PONED. Penyiapan tenaga kesehatan yang berperan dalam PONED di puskesmas melalui Lokalkarya Mini Puskesmas. Kebutuhan tenaga diperhitungkan berdasarkan beban kerja yang dihadapi dalam rangka mencakup pelayanan kasus yang seharusnya datang dilayani atau dirujuk melalui puskesmas mampu PONED. Adapun langkah-langkah untuk mempersiapkan tenaga Puskesmas mampu PONED adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan tim kesehatan, terdiri atas: a) Tim Inti Sebagai Pelaksana PONED
Tenaga kesehatan yang berfungsi sebagai tim inti pelaksana PONED harus yang sudah terlatih dan bersertifikat dari Pusat Diklat Tenaga Kesehatan yang telah mendapat sertifikasi sebagai penyelenggara Diklat PONED. tim inti minimal pelaksana Puskesmas mampu PONED adalah terdiri dari :
1) Dokter Umum 1 orang. 2) Bidan, minimal D3 1 orang. 3) Perawat, minimal D3 1 orang.
Tenaga Tim Inti PONED tersebut harus selalu siap selama 24 jam/ hari dan 7 hari/ minggu.
b) Tim Pendukung
Untuk terselenggaranya PONED di puskesmas dengan baik, diperlukan tenaga-tenaga pendukung. Kepala Puskesmas, dibantu oleh Dinas Kesehatan Kabupaten menyiapkan calon tenaga pendukung PONED. tenaga kesehatan pendukung tersebut dapat diambil dari tenaga yang ditugaskan di ruang rawat inap, bila perlu ditambah dengan tenaga yang bertugas difasilitas rawat jalan. Tenaga-tenaga kesehatan tersebut harus dapat memenuhi kriteria tertentu untuk menjadi calon tenaga pendukung PONED. Kebutuhan tenaga kesehatan sebagai tim pendukung PONED adalah terdiri dari:
1) Dokter Umum, minimal 1-2 orang. 2) Perawat D3, minimal 5 orang. 3) Bidan D3, minimal 5 orang. 4) Analis Laboratorium 1 orang.
5) Petugas administrasi, minimal 1 orang.
Tim pendukung PONED harus mengikuti magang berkala di RS PONEK dan mengikuti on the job training di puskesmas bersama tim inti PONED, 1 Kebutuhan merujuk pasien tidak hanya dalam kondisi kegawatdaruratan saja, akan tetapi juga pada kasus yang tidak dapat ditangani di fasilitas pelayanan rawat inap karena tim Inter-profesi tidak mampu melakukan dan atau peralatan yang diperlukan tidak tersedia. Khusus untuk pasien dalam kondisi sakit cukup berat dan atau kegawat-daruratan medik, proses rujukan mengacu pada prinsip utama, yaitu :
1) Ketepatan menentukan diagnosis dan menyusun rencana rujukan, yang harus dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, sesuai dengan kemampuan dan kewenangan tenaga dan fasilitas pelayanan.
2) Kecepatan melakukan persiapan rujukan dan tindakan secara tepat sesuai rencana yang disusun.
3) Menuju/memilih fasilitas rujukan terdekat secara tepat dan mudah dijangkau dari lokasi.
sehingga kemudian tenaga-tenaga tersebut dapat diperankan sebagai tenaga kesehatan pendukung penyelenggaraan PONED. setelah selesai mengikuti magang dan on the job training, akan diberi surat penugasan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai petugas pendukung dengan ditegaskan rincian tugas, hak, wewenang dan tanggung jawabnya.
c) Tim Promosi Kesehatan
Tenaga promosi kesehatan harus mempunyai kemampuan Komunikasi Informasi Edukasi/ Komunikasi Inter Personal dan Konseling (KIE/KIPK) dan pemberdayaan masyarakat dengan difasilitasi Kepala Puskesmas. Untuk kemampuan tersebut diperlukan pelatihan tambahan. Tenaga promosi kesehatan menjadi penggerak demand target sasaran (ibu dan keluarganya) untuk memanfaatkan pelayanan obstetri dan neonatal terutama dalam kondisi emergensi/ komplikasi sekaligus akan diperankan secara aktif sebagai tenaga pendukung PONED untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas dan memuaskan. Memiliki kemampuan menjalin kerjasama dengan mitra-mitra Puskesmas di wilayah kerjanya (KEMENKES RI, 2013).
2. Menyiapkan tenaga-tenaga non kesehatan sebagai penunjang pelayanan PONED
Diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan di fasilitas perawatan, sebagai tenaga penunjang untuk kelancaran penyelenggaraan PONED di puskesmas. Tenaga penunjang tersebut adalah berupa:
a) Petugas dapur. b) Petugas laundry. c) Penjaga malam.
d) Cleaning service.
e) Pengumudi ambulan 1 orang yang bertugas bergantian dengan pengemudi puskesmas keliling.
2.4.4 Batasan Kewenangan Puskesmas dalam Pelayanan PONED
Terselenggaranya pelayanan di Puskesmas mampu PONED yang bermutu dan profesional perlu dilakukan pembinaan baik terhadap puskesmas, Dinas Kabupaten/ Kota dan Dinas Kesehatan Provinsi. Pembinaan ini dilakukan secara berjenjang dan simultan dengan melibatkan Lintas Program dan Lintas Sektor. Dalam hal penyelenggaraan Pelayanan PONED, ada batasan kewenangan Puskesmas dalam melaksanakan Pelayanan PONED. Adapun batasan kewenangan menangani kasus maternal dalam Pelayanan PONED adalah:
1. Perdarahan pada kehamilan muda 2. Perdarahan post partum
3. Hipertensi dalam kehamilan 4. Persalinan macet
5. Ketuban pecah sebelum waktunya dan sepsis 6. Infeksi nifas
Batasan kewenangan menangani kasus neonatal dalam Pelayanan PONED adalah: 1. Asfiksia pada neonatal
2. Gangguan nafas pada bayi baru lahir 3. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) 4. Hipotermi pada bayi baru lahir
5. Hipoglikemi dari ibu dengan diebetes militus 6. Ikterus
7. Kejang pada Neonatus 8. Infeksi Neonatus
Kewenangan Puskesmas mampu PONED diatas dapat berubah sesuai dengan kebijakan/ ketentuan yang berlaku. Untuk kewenangan beserta kamampuan yang dapat ditangani puskesmas yang lebih rinci terlampir.
Sistem pelayanan kesehatan maternal dan neonatal tidak cukup dengan hanya melakukan standarisasi pelayanan dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia, tetapi juga perbaikan sistem rujukan maternal dan neonatal yang akan menjadi bagian dari tulang punggung sistem pelayanan secara keseluruhan. Karena dalam kenyataannya, masih selalu terdapat kasus maternal dan neonatal yang harus mendapatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan yang sesuai setelah mendapatkan pertolongan awal di fasilitas pelayanan kesehatan primer.
Beberapa kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal memerlukan tempat rujukan antara sebagai sarana untuk melakukan stabilisasi, setelah itu pengobatan
dan tindakan kasus harus dikerjakan di fasilitas pelayanan yang lebih baik oleh karena keterbatasan teknis baik di fasilitas pelayanan kesehatan primer maupun tempat rujukan antara Puskesmas. Kasus emergensi neonatal 80% dapat ditangani di tingkat pelayanan yang berkualitas sesuai standar, 20% perlu mendapatkan pelayanan rujukan yang berkualitas. Adapun kasus-kasus yang harus di rujuk ke Rumah Sakit.
1. Kasus Ibu hamil yang memerlukan rujukan segera ke Rumah Sakit: a) Ibu hamil dengan panggul sempit.
b) Ibu hamil dengan riwayat bedah sesar. c) Ibu hamil dengan perdarahan antepartum.
d) Hipertensi dalam kehamilan (preeklamsi berat/ eklamsi) e) Ketuban pecah disertai dengan keluarnya meconium kental.
f) Ibu hamil dengan tinggi fundus 40 cm atau lebih (makrosomia, polihidramnion, kehamilan ganda).
g) Primipara pada fase aktif kala satu persalinan dengan penurunan kepala 5/5. h) Ibu hamil dengan anemia berat.
i) Ibu hamil dengan disproposisi kepala panggul.
j) Ibu hamil dengan penyakit penyerta yang mengancam jiwa (Diabetes Mellitus, Kelainan Jantung).
2. Kasus pada Bayi baru lahir yang harus segera dirujuk ke Rumah Sakit: a) Bayi risti usia gestasi kurang dari 32 minggu.
b) Bayi dengan asfiksis ringan dan serdang tidak menunjukkan perbaikan selama 6 jam.
c) Bayi dengan kejang meningitis. d) Bayi dengan kecurigaan sepsis. e) Infeksi pra intra post partum. f) Kelainan bawaan.
g) Bayi yang butuh transfuse tukar.
h) Bayi dengan distres nafas yang menetap. i) Meningitis.
j) Bayi yang tidak menunjukkan kemajuan selama perawatan. k) Bayi yang mengalami kelainan jantung.
l) Bayi hiperbilirubinemia dan bayi dengan kadar bilirubin total lebih dari 10 mg/dl.
Daftar kasus-kasus tersebut diatas dapat berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebijakan / ketentuan yang berlaku
(KEMENKES RI, 2013).
2.4.5 Sistem Rujukan dalam Penyelenggaraan PONED
Kesiapan untuk merujuk ibu dan bayinya ke fasilitas kesehtan rujukan secara optimal dan tepat waktu menjadi syarat bagi keberhasilan upaya penyelamatan. Sistem Rujukan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggungjawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal (KEMENKES RI, 2014).
Sistem pelayanan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal mengacu pada prinsip utama kecepatan dan ketepatan tindakan, efisien, efektif dan sesuai dengan kemampuan dan wewenang fasilitas pelayanan. Setiap kasus dengan
kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang datang ke Puskesmas PONED harus dikelola sesuai dengan prosedur yang tetap. Setelah diketahui kondisi pasien, ditentukan apakah pasien akan ditangani di tingkat Puskesmas PONED untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik sesuai dengan tingkat kegawatdaruratan (Mubarak, 2012).
Kasus yang dirujuk ke Puskesmas mampu PONED, kemungkinan berasal dari: 1) Rujukan masyarakat:
a. Datang sendiri sebagai pasien perorangan atau keluarga.
b. Diantar/dirujuk oleh kader Posyandu, Dukun Bayi, dan lainnya. c. Dirujuk dari institusi masyarakat, seperti Poskesdes, Polindes, dll.
2) Rujukan dari pelayanan kesehatan perorangan tingkat pertama dari wilayah kerja Puskesmas mampu PONED , antara lain dari:
a. Unit rawat jalan Puskesmas, Puskesmas pembantu/ keliling. b. Praktek dokter atau bidan mandiri.
c. Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat pertama lainnya 3) Rujukan dari Puskesmas sekitar (Mubarak, 2012).
Wilayah Pusk. perlu rujukan Luar wilayah Pusk. perlu rujukan
Puskesmas Mampu PONED
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Diagnosa dan Assesment apakah kasus dapat
ditangani oleh tim
Kasus dapat ditangani Tim
PONED
Tindakan/ Yankes Sesuai SPO dan
Bimbingan kemandirian klg Kasus dapat ditangani dengan tuntunan dari RS rujukan Tindakan/ Yankes Sesuai SPO dan Bimbingan dari RS rujukan terdekat, melalui
komunikasi radio-medik atau e-Health
Kasus tidak dapat ditangani Tim
PONED
Dirujuk ke RS Rujukan terdekat
Hasil monev balik, Pasien dikembalikan ke
Puskesmas
Monev hasil tindakan yankes di
Puskesmas
Belum sembuh, dirujuk ke RS Rujukan
Pasien sembuh, pulang, dilayani Puskesmas
KASUS DATANG
Kebutuhan merujuk pasien tidak hanya dalam kondisi kegawatdaruratan saja, akan tetapi juga pada kasus yang tidak dapat ditangani di fasilitas pelayanan rawat inap karena tim Inter-profesi tidak mampu melakukan dan atau peralatan yang diperlukan tidak tersedia. Khusus untuk pasien dalam kondisi sakit cukup berat dan atau kegawat-daruratan medik, proses rujukan mengacu pada prinsip utama, yaitu :
1) Ketepatan menentukan diagnosis dan menyusun rencana rujukan, yang harus dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, sesuai dengan kemampuan dan kewenangan tenaga dan fasilitas pelayanan.
2) Kecepatan melakukan persiapan rujukan dan tindakan secara tepat sesuai rencana yang disusun.
3) Menuju/memilih fasilitas rujukan terdekat secara tepat dan mudah dijangkau dari lokasi.
Pelaksanaan sistem rujukan maternal neonatal bermanfaat untuk perbaikan sistem pelayanan kesehatan maternal dan neonatal tidak cukup dengan hanya melakukan standardisasi pelayanan dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia, tetapi juga perbaikan sistem rujukan maternal dan neonatal yang akan menjadi bagian dari tulang punggung sistem pelayanan secara keseluruhan. Karena dalam kenyataannya, masih selalu terdapat kasus maternal dan neonatal yang harus mendapatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan yang sesuai setelah mendapatkan pertolongan awal di fasilitas pelayanan kesehatan primer.
2.4.6 Program Menjaga Mutu Puskesmas dalam Pelayanan PONED
Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah untuk menekan AKI, antara lain dengan mondorong sertifikasi Pelatihan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) bagi puskesmas. Namun tampaknya sertifikasi PONED tampaknya tidak selalu sejalan dengan kemampuan fasilitas menyelenggarakan Pelayanan Obstetri dan Neonatal.
Pelayanan kesehatan ibu dan anak memerlukan pergeseran fokus pada kualitas, termasuk persalinan di fasilitas kesehatan yang dilengkapi dengan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Pergeseran tersebut memerlukan aksi di beberapa tingkat. Pemerintah tingkat pusat harus mengembangkan dan melaksanakan standar dan pedoman kulitas pelayanan. Diperlukan pengawasan ketat untuk memastikan implementasi standar oleh penyedia pelayanan kesehatan baik publik maupun swasta. Perlu ditetapkan lebih banyak fasilitas kesehatan yang memberikan pelayan PONED dan sistem rujukan harus diperkuat untuk mempromosikan penggunaan fasilitas-fasilitas ini secara tepat. Pengingkatan kualitas memerlukan sumber daya tambahan untuk mengembangkan dan memotivasi petugas kesehatan. Kinerja petugas kesehatan sangat ditentukan baik oleh keterampilan maupun motivasi (Wibowo, 2014). Adapun pelayanan PONED yang bermutu atau komprehensif harus tersedia hal-hal sebagai berikut :
1. Ruang rawat inap yang leluasa dan nyaman.
2. Ruang tindakan gawat darurat dengan instrumen dan bahan yang lengkap. 3. Ruang pulih atau pascatindakan.
4. Tenaga kesehatan yang berkualitas sebagai pelaksana pelayanan komprehensif.
5. Protokol pelaksana dan uraian tugas pelayanan (termasuk koordinasi internal) (Mubarak, 2012).
2.4.7 Hambatan dan Kendala dalam Penyelenggaraan PONED
Hambatan dan kendala puskesmas dalam penyelenggaraan PONED, yaitu: 1. Mutu SDM yang rendah
2. Sarana prasarana yang kurang 3. Keterampilan yang kurang
4. koordinasi antara Puskesmas PONED dan Rumah Sakit PONEK dengan puskesmas, non PONED belum maksimal.
5. Kebijakan yang kontradiktif ( UU praktik kedokteran)
6. Pembinaan terhadap pelayanan emergensi neonatal belum memadai (Mubarak, 2012).
2.5 Kerangka Pikir
Kerangka pikir penelitian ini dijelaskan pada gambar 2.3
OUTPUT Cakupan pelayanan PONED PROSES 1. Menerima Rujukan dari Fasilitas Rujukan Dibawahnya 2. Penanganan Kegawatdaruratan Obstetri Neonatal dalam Pelayanan PONED 3. Pelaksanaan Rujukan PONED INPUT 1. Ketersediaan SDM 2. Ketersediaan Peralatan 3. Ketersediaan Obat
Kerangka pikir di atas menggambarkan bahwa input (ketersediaan SDM, ketersediaan sarana prasarana, ketersediaan peralatan) akan mempengaruhi proses dari pelaksanaan Pelayanan PONED. Hal ini akan mempengaruhi output dari kesesuaian pelaksanaan Pelayanan PONED berdasarkan kriteria puskesmas mampu PONED.
1. Input
Input adalah ketersediaan SDM atau adanya tenaga kesehatan (Tim PONED) yang terdiri dari Dokter, Bidan, Perawat yang sudah mendapatkan sertifikat pelatihan PONED, ketersediaan peralatan dan obat yang mendukung penyelenggaraan PONED.
2. Proses
a. Melaksanakan sosialisasi yaitu pemberian informasi mengenai pelayanan PONED di Puskesmas Tanjung Morawa terhadap bidan desa, klinik bersalin dan masyarakat
b. Rujukan PONED dari bidan desa atau klinik bersalin ke puskesmas dan rujukan dari puskesmas ke rumah sakit.
c. Melaksanakan Evaluasi dalam Pelaksanaan Pelayanan PONED. 3. Output
Output adalah jumlah ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan neonatus yang di laya ni dalam pelaksanaan pelayanan PONED.