• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. hipotesis, dibutuhkan beberapa referensi-referensi penelitian yang serupa, berikut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. hipotesis, dibutuhkan beberapa referensi-referensi penelitian yang serupa, berikut"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Untuk mempermudah penulis menjabarkan permasalahan hingga penentuan hipotesis, dibutuhkan beberapa referensi-referensi penelitian yang serupa, berikut beberapa penelitian terdahulu yang serupa.

Rosmeli (2014), menyebutkan bahwa tingkat ketimpangan yang terjadi di wilayah Provinsi Jambi pada tahun 2001 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan. Rata-rata nilai indeks wiliamson sebesar 0.3964, hasil dari penelitian menyebutkan bahwa variable belanja daerah yang terdiri dari belanja langsung memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai ketimpangan, sedangkan variable belanja tidak langsung tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap nilai ketimpangan antar daerah.

Dhyatmika (2013), menyebutkan bahwa adanya peningkatan tingkat ketimpangan yang terjadi di Provinsi Banten, penanaman modal asing (PMA) berpengaruh positif terhadap ketimpangan, sementara variabel pengeluaran pemerintah berpengaruh negatif dan untuk variabel tingkat pengangguran tidak memiliki pengaruh terhadap variabel ketimpangan di provinsi Banten.

Noto (2016), mendapati bahwa nilai ketimpangan yang terjadi di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 hingga 2014 sangat tinggi, nilai ketimpangan yang tinggi tersebut disebabkan oleh adanya beberapa daerah yang memiliki tingkat

(2)

PDRB tinggi jauh melebihi rata-rata tingkat PDRB perkapita provinsi Jawa Timur. Hasil penelitian menyebutkan bahwa variabel Upah Minimum Regional (UMR), angkatan kerja, variabel indeks pembangunan manusia dan juga variabel pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh yang signidikan terhadap ketimpangan antar wilayah yang ada di provinsi Jawa Timur.

Andhiani et al. (2018), mendapati bahwa secara simultan variabel investasi, belanja daerah, tingkat aglomerasi dan tenaga kerja berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal serupa terjadi juga, pada secara simultan variabel investasi, belanja daerah, tingkat aglomerasi dan tenaga kerja berpengaruh terhadap tingkat ketimpangan pembangunan, namun secara parsial hanya variabel investasi yang berpengaruh dan signifikan terhadap tingkat variabel ketimpangan antar wilayah Sumatera periode 2011-2015.

Bakri et al. (2015) menyimpulkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, investasi dan dana perimbangan berpengaruh positif signifikan terhadap ketimpangan, untuk variabel tenaga kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pembangunan Provinsi Sumatera Barat. sesuai hal tersebut kebijakan yang perlu diambil ialah peningkatan pengeluaran dalam hal pembangunan baik berupa investasi asing maupun daerah yang berguna untuk pengembangan strategi bisnis Provinsi Sumatera Barat.

Wahyuntari dan Pujiati (2016), menunjukkan bahwa variabel aglomerasi industri memiliki pengaruh yang positif dan signifikan, untuk variabel dana perimbangan, indeks pembangunan manusia berpengaruh negatif signifikan

(3)

terhadap nilai ketimpangan pembangunan di Provinsi Jawa Tengah periode tahun 2009-2013.

Nurhuda et al. (2012), menyatakan bahwa nilai ketimpangan yang terjadi di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2005-2011 tergolong rendah dan merata, untuk variabel pendapatan asli daerah dan variabel indeks pembangunan manusia berpengaruh negatif terhadap variabel ketimpangan, sementara variabel produk domestik regional bruto (PDRB) dan dana alokasi umum tidak diketahui pengaruhnya dikarena tidak memenuhi syarat dalam uji asumsi klasik.

Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian terdahulu ialah terletak pada berbedanya pemilihan lokasi atau wilayah objek yang diteliti. Pada penelitian ini lokasi yang digunakan adalah kabupaten/kota provinsi Kalimantan Timur, selain pemilihan lokasi periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah selama 6 tahun yang dimulai pada tahun 2013 hingga tahun 2018.

B. Landasan Teori

a. Ketimpangan Pembangunan

Ketimpangan pembangunan merupakan suatu keadaan yang menggambarkan adanya kecenderungan proses pembangunan di suatu wilayah lebih tinggi dibandingkan wilayah yang lainnya, hal ini telah menjadi masalah utama dalam proses pertumbuhan ekonomi. Pemerataan akan semakin sulit terjadi apabila percepatan pembangunan hanya berada pada titik-titik tertentu. Ketidak meratanya pembangunan antar wilayah akan menyebabkan dampak sosial bagi masyarakat pada suatu daerah, dampak sosial tersebut adalah kecemburuan sosial yang

(4)

dirasakan oleh sebagian masyarakat dan dapat menimbulkan gejolak ataupun konflik nasional (Muttaqin, 2014).

Pada tahap awal pertumbuhan ekonomi di suatu daerah, persebaran penyaluran pendapatan antar daerah lebih condong tidak merata hingga pada suatu puncak titik ketidakmerataan akan berkurang dan terjadi pemerataan yang lebih baik, konsep ini dikenal dengan kurva Kuznets.

Sumber : Todaro & Stephen, 2006. Gambar 2.1 Kurva Kuznets “U Terbalik”

Pembagunan dengan hasil yang dapat digambarkan oleh kurva u terbalik, sebagian besar diasumsikan pada model pembangunan dualistik (Sudibyo, 1995 dalam Rizka, 2016) Model pembangunan dualistik dikenal akan ekonomi surplus tenaga kerja dari arthur lewis. Menurut lewis, perekonomian terbelakang dapat dibagi menjadi 2 yaitu :

a) Sektor tradisional, mencakup wilayah pedesaan dengan tingkat produktivitas marginal tenaga kerja sama dengan nol. Lewis berasumsi bahwa kondisi

indeks Gini

(5)

surplus tenaga kerja sebagai suatu fakta bahwa sebagian tenaga kerja ditarik dari sektor pertanian dan sektor tersebut tidak akan kehilangan hasil outputnya. b) Sektor modern atau industri, sektor ini mencakup wilayah maju yang memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Inti dari model ini adalah proses pengalihan tenaga kerja dan penambahan output serta peningkatan daya serap tenaga kerja, hal tersebut terjadi dengan adanya perluasan output yang dipengaruhi oleh tingkat investasi.

Proses pertumbuhan dan pembangunan antar wilayah memiliki perbedaan dalam prosesnya, perbedaan laju pertumbuhan dan pembangunan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya: adanya kecenderungan pemilik modal (investor) lebih memilih daerah yang lebih maju dan terjamin yakni daerah kota yang memiliki fasilitas yang lebih lengkap seperti sarana akses transportasi, jaringan jalan, listrik, telekomunikasi, perbankan, dan juga tenaga kerja yang lebih terampil, disamping hal tersebut terdapat ketimpangan dalam redistribusi pembagian pendapatan atau alokasi dana dari pemerintah pusat terhadap daerah. Perbedaan pembangunan antar daerah pada suatu negara akan meluas dan menimbulkan kesenjangan antar daerah yang maju dengan daerah yang terbelakang atau belum berkembang, dalam jangka waktu panjang juga mengakibatkan adanya perbedaan kesejahteraan penduduk yang secara umum dapat dilihat pada berbedanya tingkat PDRB perkapita yang dapat dihasilkan oleh masing-masing individu pada suatu wilayah (Sukirno, 2006, hal. 52).

Ukuran-ukuran ketimpangan yang terjadi pada suatu daerah umumnya dapat dapat dilakukan dengan beberapa formulasi berikut :

(6)

a) Indeks williamson, indeks ini menggunakan formulasi perhitungan dimana formulasi tersebut menggunakan data jumlah PDRB masing-masing wilayah dan jumlah penduduk, sehingga dasar perbandingan yang digunakan adalah PDRB per kapita yang mampu dihasilkan oleh masing-masing daerah, indeks ini digunakan dalam penelitian ini.

b) Indeks theil, formulasi yang digunakan dalam indeks ini hampir sama dengan indeks williamson dimana basis data yang digunakan dalam perhitungan adalah PDRB dan jumlah penduduk, begitu juga dengan penafsiran dalam membaca hasilnya, apabila nilai indeks semakin mendekati 0 maka dapat disimpulkan pemerataan semakin tinggi, sebaliknya apabila mendekati 1 maka ketimpangan sempurna atau sangat tinggi, namun berbeda dengan indeks williamson indeks theil juga dapat digunakan untuk menghitung ketimpangan dalam daerah maupun luar daerah secara sekaligus, dan juga kontribusi masing-masing daerah terhadap ketimpangan pembangunan dapat terlihat (Sjafrizal, 2017, hal. 106).

c) Indeks gini atau biasa disebut koefisien gini merupakan ukuran ketimpangan yang lebih tepat digunakan untuk pengukuran ketimpangan dalam bidang pendapatan maupun kekayaan, berbeda dengan indeks williamson dan indeks theil yang digunakan untuk mengukur kesenjangan pembangunan yang mana membandingkan antar wilayah satu dengan yang lain, indeks gini lebih tepat digunakan dalam pengelompokan pendapatan antar golongan masyarakat.

(7)

a) Perbedaan kandungan sumber daya, berbedanya jumlah sumber daya mencakup sumber daya alam maupun faktor produksi merupakan penyebab utama yang menimbulkan perbedaan pembangunan yang dimiliki suatu daerah, kekayaan yang dimiliki daerah mampu menopang kegiatan ekonomi dan mengkatkan produktivitas yang dihasilkan oleh daerah, sehingga daerah yang minim akan sumber daya dapat terancam menjadi daerah tertinggal.

b) Letak dan kondisi demografi

Menurut sjafrizal, 2017, letak dan kondisi geografis yang berbeda antar wilayah menjadi faktor utama lainnya yang membedakan tingkat produktivitas dan pembangunanannya, misalnya daerah yang memiliki karakter bergunung dan berliku membuat akses transportasi semakin sulit, hal tersebut menyebabkan proses distribusi maupun perpindahan barang membutuhkan waktu dan biaya yang lebih banyak dibandingkan wilayah yang datar.

Ketimpangan ekonomi antar wilayah dalam jangka panjang akan menimbulkan berbagai permasalahan dari segi sosial, politik dan ekonomi, hal ini disebabkan pada rendahnya tingkat efisiensi dalam penggunaan suatu sumber daya yang tersedia sehingga distribusi pendapatan antar daerah akan cenderung semakin tidak merata, sementara pada segi sosial, ketimpangan tersebut dapat memicu timbulnya rasa kecemburuan sosial hingga keresahan sosial terutama pada penduduk yang berada di daerah terbelakang (Sjafrizal, 2017, hal. 192).

(8)

b. Investasi

Pada akhir abad 18 muncul teori klasik yang berpendapat bahwa pada masa pembangunan dan pertumbuhan daerah dapat dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor teknologi dan jumlah tenaga kerja. Teknologi yang terdapat pada suatu daerah dipengaruhi oleh tingkat pembentukan modal yang dimiliki oleh daerah, dengan adanya akumulasi modal tersebut dapat membentuk sistem spesialisasi pada pembagian sektor kerja, spesialiasasi tersebut mencakup keahlian yang dimiliki oleh tenaga kerja sehingga kinerja dan produktivitas para pekerja dapat dimaksimalkan (Adisasmita, 2005, hal. 22).

Investasi adalah suatu bentuk dari segala kegiatan dalam penanaman modal maupun pengeluaran modal, yang dapat digunakan sebagai penambah output baik barang atau jasa pada suatu proses produksi. Hasil dari produksi tersebut kemudian akan berguna dalam peningkatan dan pengembangan usaha pada bidang perekonomian (Sukirno, 2006 dalam Dhyatmika, 2013).

Investasi merupakan kumpulan suatu barang yang dibeli dengan tujuan untuk digunakan di masa yang akan datang. Investasi sendiri dibedakan menjadi tiga macam yaitu, bussiness fixed investment yang meliputi peralatan dan sarana yang digunakan dalam proses produksi suatu perusahaan, residential investment merupakan suatu pembelian rumah baru, rumah tersebut dapat digunakan oleh pemilik, dan inventory investment yang merupakan alat maupun barang yang disimpan di ruang penyimpanan berupa gudang, seperti bahan mentah maupun bahan baku olahan produksi, stok persediaan cadangan maupun barang sisa produksi (Mankiw, 2006 dalam Dhyatmika 2013).

(9)

Pada proses pembangunan ekonomi penyebab terjadinya masalah ketimpangan yang menyebabkan si kaya semakin kaya dengan keuntungan yang terus bertambah dan si miskin akan semakin tertinggal, fenomena ini terjadi karena adanya dampak balik (Backwash Effect) yang lebih tinggi dibandingkan dampak sebar (Spread Effect), adanya dampak balik (Backwash Effect) yang bersifat merugikan dimana adanya ekspansi faktor produksi berupa investasi maupun tenaga kerja dan teknologi pada suatu wilayah cenderung terpusat pada suatu daerah tertentu, sebaliknya dampak sebar (Spread Effect) sangat rendah. (Myrdal dalam Jhingan, 1975, hal. 212)

Investasi dapat membuat tingkat pemerataan antar daerah semakin rendah. Pada wilayah-wilayah masing tergolong berkembang, tingkat permintaannya dapat mendorong kenaikan jumlah penyerapan investasi, dan hingga akhirnya dapat mendorong peningkatan jumlah pendapatan. Sedangkan pada daerah-daerah terbelakang akan terjadi hal yang sebaliknya, permintaan akan barang dan jasa sangat rendah sehingga investasi yang terjadi sangat rendah dan pendapatan juga semakin rendah. Investasi swasta lebih depengaruhi oleh kekuatan pasar, oleh sebab itu kekuatan pasar menjadi faktor utama dalam menarik investasi swasta, kekuatan pasar sendiri merupakan keuntungan demografi yang terdapat pada suatu wilayah (Sjafrizal 2008, dalam Dhyatmika, 2013).

Investasi menjadi faktor yang penting sebagai penunjang percepatan pembangunan ekonomi suatu daerah. Terdapat dua macam investasi yaitu, investasi yang dilakukan oleh badan atau lembaga swasta (penanaman modal asing/PMA)

(10)

dan penananman modal dalam negeri (PMDN) yang merupakan investasi yang dilakukan oleh pemerintah.

c. Belanja Daerah

Menurut Musgrave dan Rostow, (1998) dalam Nurhuda et al. (2013), menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah berhubungan erat dengan pembangunan ekonomi, dimana pada tahapan awal pembangunan diperlukan pengeluaran dalam bentuk modal atau investasi yang berfungsi untuk penyediaan sarana dan infrastruktur, kemudia pada tahap selanjutnya penanaman modal tetap dilakukan guna menarik sektor swasta untuk berinvestasi selanjutnya pengeluaran pemerintah diperlukan untuk proses pemerataan kesejahteraan masyarakatnya.

Belanja daerah adalah pengeluaran uang yang berasal dari kas umum daerah yang akan mengurangi jumlah ekuitas dana, belanja daerah adalah kewajiban yang harus dilakukan pemerintah daerah setiap satu tahun penganggaran. Menurut Dirjen Perimbangan Keuangan Republik Indonesia, otonomi daerah yang dipimpin oleh pemerintah daerah memiliki peranan penting dalam penyediaan barang dan jasa publik yang termasuk pelayanan publik, dalam hal ini adanya otonomi dapat menjawab atas perbedaan kebutuhan pelayanan publik yang berbeda pada setiap daerah, sehingga masing-masing pemerintah daerah diharapkan mampu memberikan pelayanan sesuai kebutuhan masing-masing daerah tersebut.

Menurut Sukirno, (2002) dalam Noto, (2016), pengeluaran pemerintah merupakan konsumsi atas pembiayaan baik berupa barang maupun jasa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai penunjang keperluan admisnistrasi maupun

(11)

program kegiatan pemerintah guna mendorong proses pembangunan. Pemerintah memiliki peran yang kuat melalui anggaran belanja demi peningkatan kesejahteraan penduduk yang berdampak pada produktivitas penduduk. Semakin besar pengeluaran belanja pemerintah maka semakin tinggi tingkat pertumbuhan suatu daerah yang tercermin melalui produktivitas sumber daya manusia, sehingga penduduknya semakin produktif dan memiliki tingkat pendapatan yang tinggi.

Pada sudut pandang ekonomi makro, pengeluaran pemerintah memiliki 3 pos utama, yakni sebagai berikut (Boediono, 1985, hal. 71):

a) Pengeluaran pemerintah pada pembelian barang maupun jasa b) Pengeluaran pemerintah pada gaji atau upah pegawai

c) Pengeluaran pemerintah pada transfer

Sementara pada sudut pandang ekonomi mikro, pengeluaran pemerintah dialokasikan pada sektor publik, seperti permintaan akan barang publik maupun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tersedianya barang publik secara langsung. Pola permintaan dan penawaran barang maupun jasa sektor publik dapat menentukan jumlah kebutuhan akan barang publik, sehingga produksi barang publik yang disediakan dapat diperhitungkan.

Peraturan dalam negeri (Permendagri) No.13 Tahun 2006 pasal 32 ayat 1&2 mengelompokkan belanja daerah menjadi beberapa klasifikasi, diataranya yaitu :

a) Belanja Daerah perihal kegiatan Wajib, terdiri pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, penanaman modal, kebudayaan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, penataan

(12)

ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan dan catatan sipil, pemuda dan olah raga, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, pemerintahan umum, statistik, arsip serta komunikasi dan informatika.

b) Belanja Daerah Berdasarkan kegiatan Pilihan, yakni pariwisata, transmigrasi, kelautan, perdagangan pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, serta perindustrian.

c) Belanja berdasarkan kegiatan Pemerintahan terdiri dari Program dan Kegiatan Organisasi, Fungs, serta Jenis Belanja terbagi menjadi 2 diantaranya :

1. Belanja Tidak Langsung

1) Belanja pegawai adalah anggaran belanja pegawai pemerintahan yang tidak secara langsung terikat dengan kegiatan atau produktivitas pegawai pemerintahan.

2) Belanja bunga berfungsi sebagai anggaran pembayaran bunga yang terjadi atas kegiatan utang yang terjadi pada proses kegiatan pemerintahan.

3) Subsidi merupakan anggaran yang digunakan untuk keperluan subsidi sebagai pelayanan masyarakat yang telah diaudit, hal ini bertujuan untuk membantu masyakat agar kemampuan perekonomian masyarat meningkat.

4) Hibah adalah anggaran yang berupa bantuan, dapat berbentuk uang maupun barang atau jasa yang digunakan oleh pihak atau lembaga

(13)

tertentu sesuai perjanjian yang telah disepakati pihak pemerintahan dan pihak lembaga, bantuan ini untuk melancarkan kegiatan pembangunan daerah.

5) Bantuan sosial merupakan bantuan yang disalurkan kepada sejumlah masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan secara selektif dan sesuai peraturan, bantuan ini sebagai bentuk keadilan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat

6) Belanja bagi hasil bertujuan sebagai anggaran yang berasal dari pendapatan provinsi dan dibagikan ke kabupaten/kota sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku.

7) Bantuan keuangan merupakan bantuan yang disalurkan beik dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintahan desa.

8) Belanja tak terduga adalah anggaran yang terbentuk atas beberapa kegiatan yang bersifat tidak direncanakan, biasanya anggaran ini disebabkan oleh adanya bencana alam maupun bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya.

2. Belanja Langsung

1) Belanja pegawai berisi mengenai anggaran belanja pekerja pemerintahan seperti gaji pokok dan tunjangan pegawai, tambahan penghasilan, maupun honor pelaksanaan suatu kegiatan.

(14)

2) Belanja barang dan jasa adalah anggaran belanja yang memiliki nilai manfaat kurang dari 12 bulan atau penggunaan jasa atas pelaksanaan program dan kegiatan pemerintahan.

3) Belanja modal adalah anggaran belanja yang bertujuan untuk penanaman modal dan penambahan aset tetap yang dapat memberikan keuntungan jangka panjang.

Perbaikan dan peningkatan kualitas belanja dapat memicu pembangunan ekonomi regional, dalam perbaikan tersebut diharapkan mampu untuk memicu peningkatan porsi belanja dan penyerapan belanja menjadi lebih efisien sehingga dapat meningkatkan nilai tambah industri dan mengembangkan klaster industri unggulan yang dimiliki daerah, disamping itu perbaikan belanja diharapkan mampu memperbaiki kualitas tanaga kerja memulai pendidikan dan pelatihan (Andhiani et al. 2018), maka dari itu evaluasi pengalokasian belanja diperlukan guna mengoreksi pos-pos penggunaan belanja yang lebih utama dan bersifat penting sehingga penggunaan anggaran belanja lebih tepat guna atau efektif, pemerintah sebagai fungsi alokasi, distribusi dan juga pemerataan dapat menjalankan tugas otonomi daerah berdasarkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai kebijakan yang berlaku yang bertujuan untuk memakmurkan dan mensejahterakan penduduknya secara merata sehingga masalah kesenjangan yang terjadi pada masing-masing kabupaten atau kota dapat di minilimasir dan kesejahteraan penduduk semakin merata.

(15)

C. Hubungan Antar Variabel

a. Pengaruh Investasi terhadap Ketimpangan

Menurut Nurhuda (2013), strategi penanaman modal dapat dialokasikan ke daerah-daerah yang terbelakang guna memicu peningkatan aktivitas ekonomi, terutama dalam bidang teknologi maupun industri yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga daerah terbelakang dapat mengimbangi daerah-daerah yang maju dan pemerataan dapat meningkat. Pada mulanya pola pembentukan modal atau investasi lebih berpusat pada daerah perkotaan yang maju dibadingkan daerah yang relatif tertinggal, hasilnya pertumbuhan ekonomi antar daerah mengalami kesenjangan yang meningkat, namun seiring berjalannya waktu pola pembentukan modal tersebut mengalami pemerataan pada daerah tertinggal sehingga perlahan wilayah tertinggal mengalami peningkatan produktivitas ekonomi yang terlihat pada kenaikan jumlah PDRB daerah tersebut.

Menurut Bakri (2015), investasi adalah indikator penunjang dalam penentuan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Pengalokasian investasi yang tinggi dari pemerintah dapat memicu alokasi investasi swasta dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih pesat, pada kondisi ini percepatan pembangunan akan meningkat melalui sektor lapangan pekerjaan yang ikut meluas.

Menurut Dhyatmika (2013) inestasi adalah penunjang utama dalam pendorong pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah, dalam prakteknya investasi terdiri dari dua jenis yakni investasi yang dilakukan oleh negeri (PMDN) dan kegiatan penanaman modal yang berasal dari pihak swasta atau asing (PMA). Investasi dapat berupa modal untuk memulai suatu usaha kegiatan ekonomi yang

(16)

diharapkan pada periode waktu kedepan dapat menjadi pemasukan dan memberikan keuntungan, penanaman modal dapat membuat penduduk lebih produktif dengan adanya kebutuhan tenaga kerja untuk menjalankan kegiatan ekonomi yaitu produksi.

b. Pengaruh Belanja Daerah terhadap Ketimpangan

Menurut Andhiani (2018), ketidakmerataan antar daerah menyebabkan adanya perbedaan antara daerah maju dengan daerah yang relatif tertinggal, perbedaan tersebut dapat dipicu dengan perilaku pengalokasian dana belanja daerah. Berbedanya kemampuan suatu daerah dalam menganggarkan dan merealisasikan belanja menjadi tolak ukur untuk tingkat efektifitas pembangunan daerah. Tujuan utama dari kebijakan belanja adalah untuk meningkatkan laju perekonomian dalam berbagai bidang, hal tersebut dapat mendorong upaya kegiatan ekonomi masyarakat dan merangsang pemerataan pada suatu wilayah.

Menurut Noto (2016) campur tangan pemerintah adalah indikator utama sebagai proses peningkatan keseimbangan. Berdasarkan pada permintaan jumlah belanja pemerintah dapat mempengaruhi perkembangan pembangunan daerah. Tingkat ketimpangan dapat menurun melalui pengalokasian dana belanja yang efektif, apabila alokasi belanja lebih banyak digunakan pada pos pegawai baik gaji maupun belanja pegawai dan honor maka dapat memperlambat perrtumbuhan ekonomi daerah tersebut dan meningkatkan ketimpangan, maka dari itu alokasi belanja sebaiknya ditekankan pada belanja modal untuk pembangunan infrastruktur penunjang peningkatan kemampuan ketenagakerjaan.

(17)

Menurut Rosmeli (2014), anggaran yang dibentuk oleh pemerintah daerah lebih banyak ditekankan pada pembangunan fisik maupun non fisik, hal tersebut merupakan upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan kesejahteraan penduduk. Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD, besaran alokasi belanja daerah diharapkan mempu memicu proses kegiatan ekonomi dan mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh menurunnya tingkat ketimpangan antar wilayah.

(18)

D. Kerangka Konseptual

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian Permasalahan :

Pertumbuhan dan proses pembangunan terpusat menyebabkan ketimpangan antar daerah maju dan terbelakang.

Rosmeli (2014), Belanja langsung memiliki pengaruh positif & signifikan terhadap ketimpangan provinsi Jambi. Dhyatmika (2013), penanaman modal asing memiliki pengaruh positif terhadap ketimpangan, sedangkan belanaj daerah memiliki pengaruh negatif terhadap ketimpangan.

Andhiani et al. (2018), besaran jumlah investasi berpengaruh positif terhadap ketimpangan di wilayah Sumatera tahun 2011-2015.

Analisis Data : Uji Asumsi Klasik Regresi Data Panel Uji F dan Uji t

Hasil :

Jumlah belanja daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di kab/kota provinsi Kalimantan Timur tahun 2013-2018.

Tujuan :

Untuk mengetahui tingkat ketimpangan di kab/kota provinsi Kalimantan Timur.

Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh investasi dan belanja daerah terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di kabupaten/kota provinsi Kalimantan Timur tahun 2013 – 2018.

Ketimpangan antar daerah merupakan masalah yang terjadi pada proses pertumbuhan ekonomi, dimana terdapat kesenjangan antar daerah dalam segi sumber daya dan kondisi demografi.

(19)

E. Hipotesis

H1 : Diduga nilai investasi berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan di

kabupaten dan kota provinsi Kalimantan Timur.

H2 : Diduga jumlah belanja daerah berpengaruh terhadap ketimpangan

Gambar

Gambar 2.1 Kurva Kuznets “U Terbalik”
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian Permasalahan :

Referensi

Dokumen terkait

PLTM (Pembangkit Mini Hidro) termasuk ke dalam jenis pembangkit run off river karena memanfaatkan aliran Sungai Damar untuk membangkitkan tenaga listrik dan

a) Diawali dengan input image yang telah dinormalisasi ukuran menjadi sama untuk seluruh dataset yang digunakan. b) Histogram dilakukan untuk mengambil data kurva

Setiap Jamaah Calon Haji Tahun 1434 H / 2013 M dikenakan biaya swadaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sebesar Rp.700.000,00 (Tujuh ratus ribu rupiah) dan infaq pembangunan

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana peran keluarga dalam upaya pencegahan penyakit DBD di Kelurahan Mayang Mengurai Kecamatan Kotabaru Jambi tahun

menjadi sentral, karena telah ditetapkan sebagai salah satu pelabuhan untuk mendukung kegiatan RFMO terutama dalam pemantauan dan evaluasi terhadap manajemen pengelolaan sumber

Berkaitan dengan adanya aspek gradasi dalam angket skala likert, maka data yang diperoleh dari hasil survei merupakan skala pengukuran ordinal.Padahal disisi lain,

Berdasarkan kajian dan analisis terhadap National Risk Assessment tahun 2015, Risk- Based Approach (RBA) yang dikeluarkan FATF, peraturan perundangan yang berlaku yang terkait dengan

Informasi diberikan secara cepat, tepat dan lengkap serta dapat dipertanggungjawabkan. Jaminan Keamanan dan Keselamatan Pelayanan : Informasi yang diberikan