• Tidak ada hasil yang ditemukan

DILEMA DAN RASIONALISASI KEBIJAKAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK AREAL PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DILEMA DAN RASIONALISASI KEBIJAKAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK AREAL PERTANIAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

DILEMA DAN RASIONALISASI KEBIJAKAN

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK AREAL

PERTANIAN

Irsal Las, Muhrizal Sarwani, Anny Mulyani, dan Meli Fitriani Saragih

Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114 (irsallas@indo.net.id)

Abstrak. Ju mlah penduduk yang terus meningkat dengan laju pertumbuhan 1,5% per

tahun, perlu diikut i oleh pertambahan luas baku lahan agar swasembada beras dapat dipertahankan dan mendorong terwujudnya swasembada pangan lainnya. Namun, hal tersebut sulit dicapa i karena berbagai faktor d i antaranya rendahnya kepemilikan lahan per kapita, konversi lahan pertanian produktif terutama lahan sawah me mjadi non pertanian, dan terbatasnya cadangan lahan di tanah minera l (se mpit dan terpencar). Oleh karena itu, untuk me menuhi kebutuhan pangan tersebut diperlukan alternatif la in yaitu lahan rawa termasuk ga mbut. Total lahan rawa sekitar 33 juta ha, dan 14,9 juta ha di antaranya me rupakan lahan ga mbut. Pesatnya pertumbuhan lahan perkebunan sekitar 10 juta ha dala m kurun waktu 20 tahun (1986-2006), teruta ma ke lapa sawit, dan 19% di antara perkebunan sawit tersebut berada di lahan ga mbut. Lahan rawa a kan men jadi tu mpuan harapan sebagai lahan cadangan pertanian mendatang karena me mpunyai kawasan hamparan yang cukup luas dan dapat d ike mbangkan baik untuk pengembangan pertanian pada skala ko me rsial maupun konvensional, serta jelasnya kepemilikannya (sebagian besar tanah Negara, berupa hutan produksi konversi). Dile manya, di satu sisi tuntutan pemanfaatan lahan rawa untuk berbagai sekt or semakin besar, di sisi la in Indonesia didesak untuk tidak me mbuka lahan pertanian baru dari lahan yang bervegatasi hutan atau lahan rawa (ga mbut). Oleh karena itu, perlu solusi yang bijaksana untuk menengahi dile ma tersebut dengan berbagai upaya pengelo laan lahan gambut yang berkelanjutan serta pemilihan jenis ko moditas yang sesuai dengan peruntukannya, dengan me mpe rtimbangkan berbagai perangkat peraturan pe merintah yang berlaku.

PENDAHULUAN

Tingginya laju peningkatan emisi (pe lepasan) gas rumah kaca (GRK) ke at mosfer yang dipicu oleh berbagai aktivitas manusia, telah menyebabkan terjadinya pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim. GRK yang umumnya terdapat dalam bentuk CO2

(karbon dio ksida), N2O (din itrogen oksida), dan CH4 (metana) be rasal dari kegiatan di

berbagai sektor seperti kehutanan, energi, industri, pertanian, limbah dan transportasi serta kegiatan yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan.

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC, 2006)

mencatat bahwa pada tahun 2000 e misi GRK Indonesia diperkira kan sebesar 1,4 G ton CO2e. Dari angka itu, 0,39 G ton diperkira kan berasal dari lahan gambut. Tanpa adanya

upaya untuk menurunkan e misi GRK atau dikenal sebagai business as usual (BAU), e misi

2

(2)

GRK dari lahan gambut pada tahun 2020 a kan meningkat leb ih dari t iga ka li lipat dari total emisi sebesar 2,95 G ton CO2e. Peningkatan e misi GRK a kibat pengelolaan lahan

gambut yang tidak tepat ini akan men jadi ancaman serius bagi sumber penghidupan masyarakat loka l, fungsi daerah aliran sungai, serta berbagai bentuk keanekaragaman hayati.

Tanah gambut menyimpan dan menyerap karbon dala m ju mlah yang tinggi. Set iap ketebalan 1 meter ga mbut dapat menyimpan karbon sekitar 500 ton ha-1. Dari sekitar 14 juta ha lahan gambut yang ada dewasa ini, dua pertiga di antaranya termasuk dangkal (<2 meter) dan 34% lainnya berupa gambut agak dalam sampai dala m dengan ketebalan >2 meter. Bio massa bawah tanah (below-ground) di lahan gambut 10-15 ka li lebih besar dari biomassa atas tanah (above-ground). Konversi lahan gambut ke penggunaan lain (deforestasi disertai drainase) akan menyebabkan perubahan keseimbangan karbon di dala m tanah akibat terhentinya pembentukan ga mbut karena hilangnya suplai bahan organik dari tana man di atasnya, dan menin gkatnya emisi karbon me la lui proses dekomposisi ka rena terbukanya lahan dan drainase (Agus et al. 2007).

Emisi dan penambatan karbon pada lahan gambut berlangsung secara simu ltan, namun besaran masing-masing bergantung keadaan alam dan akt ivitas manusia. Da la m keadaan hutan alam yang pada umu mnya jenuh air (suasana anaerob), penambatan (sekuestrasi) karbon berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi. Ka rena itu gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0-3 mm tahun-1 (Parish et al. 2007). Pada tahun-tahun terjadinya ke marau panjang, misalnya tahun El -Nino, ke mungkinan besar gambut tumbuh negatif (menipis) ka rena lapisan permukaannya berada dalam keadaan tidak jenuh (aerob) dala m waktu yang cukup lama sehingga emisi karbon lebih cepat daripada penambatan.

Pe manfaatan lahan gambut untuk pertanian menghadapi dilema , di satu sisi lahan gambut diperlu kan untuk me menuhi kebutuhan dan ketahanan pangan, pengembangan bio-energi, dan pertu mbuhan ekonomi teruta ma ko moditas ekspor. Di sisi la in, Indonesia mendapat desakan agar tidak me mbuka lahan hutan dan gambut untuk mengurangi emisi GRK. Se mentara itu, ketersediaan lahan potensial dari lahan mineral se makin terbatas karena tingginya persaingan dan kompetisi pe manfaatan lahan dan konflik kepentingan untuk berbagai sektor. Oleh karena itu, lahan rawa menjad i salah satu alternatif cadangan lahan di masa yang akan datang.

Pesatnya pengembangan lahan perkebunan dalam 20 tahun terakhir, yaitu dari 8,77 juta ha pada tahun 1986 menjadi 18,5 juta ha pada tahun 2006 (BPS, 1986-2006). Da la m kurun waktu tersebut, kelapa sawit merupakan ko moditas primadona yang mendominasi pemanfaatan lahan pertanian, yaitu dari 0,6 juta ha menjadi 6,3 juta ha. Pe mbukaan hutan gambut untuk pengembangan perkebunan, terutama ke lapa sawit, pad a u mu mnya dila kukan dengan cara tebas bakar yang menghasilkan CO2 sebanyak 1.400 juta ton dan

(3)

dekomposisi gambut menyumbangkan sekitar 600 juta ton CO2 setiap tahun. Menurut

Hoojie r et al. (2006) yang telah me laku kan analisis dan pendugaan emisi karbon lah an gambut di Indonesia, emisi tahunan CO2 lahan gambut berkisar antara 1.400 sa mpai

4.500 juta ton dengan nilai tengah sekitar 3.000 juta ton. Na mun nila i pendugaan ini masih me mpunyai tingkat ketidak pastian yang sangat besar (sekitar 60 -70% ).

Perubahan iklim yang telah dan akan terus terjad i, dapat mengancam pe mbangunan sekor pertanian, apalagi jika tidak d ila kukan upaya mit igasi. Da mpa k negatif perubahan iklim jauh lebih besar daripada dampak positifnya. Bagi sektor pertanian upaya adaptasi men jadi prioritas utama yang harus dilakukan, teruta ma dala m upaya menyela matkan dan menga mankan ketahanan pangan nasional serta berbagai sasaran pembangunan pertanian lainnya, sebagaimana tere kpresikan pada e mpat sukses pembangunan pertanian.

Sela in mendukung komit men internasional untuk menurunkan emisi gas ru mah kaca, upaya mit igasi pada sektor pertanian juga diperlukan untuk mendukung upaya adaptasi. Pada sektor pertanian, lahan gambut merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca (GRK) yang sangat menonjol, oleh sebab itu, pengelolaan lahan ga mbut men jadi sangat strategis dan penting dalam menurun kan e misi GRK pada sektor pertanian.

Indonesia termasuk negara yang me mpunyai lahan gambut terluas yaitu sekitar 14,9 juta ha dan cadangan karbon berkisar antara 26 -39 Giga Ton (37-55 Giga ton), tersebar di Sumatra , Ka limantan, dan Papua. Dala m keadaan ala mi, hutan gambut mengala mi proses dekomposisi yang menghasilkan gas rumah kaca (GRK) secara perlahan, sehingga emisi yang dihasilkannya relatif seimbang bahkan lebih rendah dibandingkan dengan penyerapan CO2 oleh vegetasi alami sehingga hutan gambut

berperan sebagai penyerap (sink) karbon. Meski de mikian, cadangan karbon dalam tanah gambut bersifat labil, yakni sangat mudah teremisi jika terjadi gangguan terhadap kondisi ala minya.

Makalah ini menyajikan status dan keragaan sumberdaya lahan untuk pertanian di Indonesia, strategi dan kebijakan peme rintah dala m pemanfaatan lahan gambut, serta peluang pemanfaatan lahan gambut di Indonesia.

KERAGAAN SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN

Perkembangan lahan pertanian

Indonesia dengan luas wilayah sekitar 188,2 juta ha, sebagian telah dimanfaa kan untuk usaha pertanian dan perkebunan yaitu seluas 70 juta ha yang terdiri dari pekarangan, tegalan, sawah, perkebunan, kayu -kayuan, dan lahan sementara tidak diusahakan (Tabel 1). Dari luasan tersebut, sekitar 45 juta ha yang efektif dan produktif

(4)

untuk menghasilkan produk pangan utama beras, jagung, kedelai dan tebu, yaitu dari lahan sawah seluas 7,9 juta ha dan tegalan seluas 15,6 juta ha. Na mun, penciutan lahan sawah akibat alih fungsi lahan sawah produktif men jadi lahan non pertanian, dengan laju 50.000-70.000 ha per tahun, dapat mengancam ketahanan pangan nasional, apabila t idak diimbangi dengan perluasan areal sawah baru.

Tabel 1. Pe rke mbangan lahan pertanian periode tahun 1986-2006 (BPS, 1986-2006)

Penggunaan lahan 1986 1991 1996 2001 2006 - ha - Pekarangan 4.547.565 4.961.901 5.291.375 5.133.525 5.357.596 Tegalan 11.267.280 11.727.397 11.562.812 12.511.963 14.614.144 Pd. Rumput 2.419.121 2.105.032 1.953.085 2.034.933 2.432.113 Kolam 325.834 461.180 622.360 588.718 778.939 Lahan terlantar 8.092.351 7.700.806 7.335.586 9.164.509 11.341.757 Kayu-kayuan 9.198.354 10.227.368 9.446.070 9.895.527 9.303.625 Perkebunan 8.036.275 10.860.351 14.488.415 19.229.836 18.489.589 Sawah 7.762.032 8.214.978 8.519.110 7.491.159 7.885.878 Jumlah 51.648.812 56.259.013 59.218.813 66.050.170 70.203.641

Keterangan: Luas penggunaan lahan tidak termasuk Papua dan Maluku (tidak tersedia data)

Dilema Pe manfaatan Lahan Gambut untuk Pertani an

Perke mbangan perkebuan ko moditas sawit dan karet se makin pesat karena menghasilkan keuntungan finansial yang jauh lebih tinggi dibanding komod itas pertanian lainnya, terutama untuk wilayah dengan kepadatan penduduk yang rendah seperti di Sumatera , Ka limantan, dan Papua. Oleh sebab itu, sejak lebih dari 20 tahun terakhir, kedua ko moditas tersebut menjadi usahatani pilihan utama bagi petani dan pengusaha swasta/investor. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1986 luas lahan perkebunan sekitar 8,77 juta ha sedangkan pada tahun 2006 men ingkat menjad i 18,5 juta ha. Dala m kurun wa ktu tersebut, kelapa sawit merupakan ko moditas primadona yang mendominasi pemanfaatan lahan pertanian, yaitu dari 0,6 juta ha menjad i 6,3 juta ha (Ga mbar 1). Pe rtumbuhan tertinggi terjad i di Pulau Su matera dan Ka limantan (BPS, 1986-206). Pesatnya perluasan areal perkebunan sawit dan karet tersebut menyebabkan dinamika perubahan penggunaan lahan juga sangat cepat.

Pesatnya pengembangan komoditas perkebunan tersebut, mendorong untuk me mbu ka lahan sub optimal termasuk gambut. Sasaran pembukaan lahan yang semula ditujukan pada lahan minera l yang subur telah beralih kepada lahan gambut yang fragil dan beresiko terhadap sumberdaya dan lingkungan, teruta m e misi GRK. Hal tersebut didorong oleh makin terbatasnya lahan minera l dengan luasan yang me madai untuk skala usaha kome rsial dan ekonomis, serta ko mp leksitas permasalahan yang dihadapi (land

(5)

tenure). Ternyata secara agronomis dan ekonomis, peman faatan lahan gambut untuk

kelapa sawit termasuk layak dan tetap me mberikan keuntungan bagi petani atau pengusaha. Dewasa ini diperkirakan sekitar 19% dari total luas perkebunan kelapa sawit berada di lahan ga mbut.

Ga mbar 1. Perke mbangan lahan pertanian periode 1986 -2006

Walaupun sebagian kawasan gambut yang dimanfaatkan untuk perluasan areal perkebunan tersebut merupakan lahan yang selama in i “terlantar/terdegradasi”, tetapi perluasan tersebut dan dengan berbagai argumentasi dan kepentingan, telah menuai kritik dan me munculkan pole mik dala m ko munikasi internasio nal, baik o leh negara maju maupun oleh LSM.

Untuk wilayah yang sebagian besar wilayahnya gambut seperti Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Muara Ja mb i-Ja mb i, Pulang Pisau, Ka limantan Tengah, maka pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian merupakan kebu tuhan mutla k yang tidak bisa dihindari. Oleh ka rena itu, perlu diupayakan dengan berbagai cara bagaimana menge mbangkan pertanian di lahan ga mbut yang tetap menjaga ke lestarian lingkungan dan dapat menekan e misi GRK.

Ke butuhan lahan per tanian

Untuk me menuhi kebutuhan beras dan bahan pangan nasional sampai dengan tahun 2025, Indonesia me merlukan ta mbahan luas baku lahan sawah sekitar 2,295 juta ha

(6)

dan sekitar 6, 083 juta ha menjelang tahun 2050, itupun tidak akan mencukupi kebutuhan pangan, sehingga diperlukan tambahan luas baku lahan kering yang lebih luas lagi yaitu 5,875 juta ha. Sela in itu, untuk me mpe rtahankan laju pertu mbuhan ekonomi khususnya ko moditas ekspor (perkebunan dan hortikultura), dibutuhkan tambahan luas baku lahan sekitar 250.000-350.000 ha tahun-1 dan sampai dengan tahun 2025, diperlukan sekitar 4-6 juta ha (Ritung et al. 2010; Mulyani dan Hidayat, 2010).

Kebutuhan lahan untuk me menuhi pangan pada tahun 2025 tersebut, sudah pasti akan me manfaatkan lahan-lahan yang tersedia termasuk lahan rawa, baik itu rawa pasang surut, rawa lebak, maupun gambut. Dengan adanya Undang -undang No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berke lanjutan (PLPPB) diharap kan dapat mengurangi laju konversi lahan. Konversi lahan tidak hany a terjadi dari lahan sawah men jadi lahan non pertanian tetapi juga dari lahan sawah men jadi lahan perkebunan.

Sebagai ilustrasi, di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Ja mb i, total sawah sekitar 41.000 ha, dan konversi lahan sawah ke perkebunan sawit sekitar 2.000 ha per tahun. Untuk mene kan la ju konversi tersebut dan melindungi pertanian pangan, Pemda Kabupaten Tanjung Jabung Timur telah menetapkan sekitar 17.000 ha lahan sawah yang dilindungi, dengan me mberikan insentif untuk lahan sawah tersebut se perti perbaikan tata air mikro, ja lan usaha tani, dan bantuan saprodi (Bappeda Tanjung Jabung Timur, 2012). Apabila seluruh kabupaten sudah me mpunyai target dan menetapkan luasan lahan sawah yang akan dilindungi dari konversi lahan, ma ka konversi lahan dap at diperla mbat.

POTENSI DAN PROSPEK PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK

PERTANIAN

Total luas lahan ga mbut di Indonesia cukup besar yaitu sekitar 14,9 juta ha, dengan penyebaran terluas berada di pantai timur Pulau Su matera (Provinsi Su matera Selatan, Jamb i, Riau), Ka limantan (Ka limantan Tengah dan Kalimantan Barat) dan Papua (Papua dan Papua Barat), seperti disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan keda la man gambutnya, sebagian besar termasuk ke las D1 (dangkal) < 100 c m, agak dala m (100 -200 c m), da la m (200-400 c m) dan sangat dalam (> 400 c m). Di Su matera dan Ka limantan, penyebaran gambut dengan kedalaman dangkal, agak dala m, dala m dan sangat dalam menyebar me rata, sedangkan di Papua dan Papua Barat, sebagian besar bergambut dangkal (BBSDLP, 2011).

Lahan gambut yang mempunyai ketebalan gambut dangkal (< 100) u mu mnya sesuai untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dan hortikultura se musim (sayuran dan buah). Secara agronomis (produktivitas) dan secara ekonomis, sekitar 25-35% lahan gambut cukup potensial dan sesuai untuk pengembagan pertanian. Kelebihan la in dari pemanfaatan lahan ga mbut ini ada lah tersedia dala m ka wasan dan hamparan yang cukup

(7)

luas, tidak seperti di lahan kering (terpencar-pencar dan skala kecil). Sekitar 9 juta ha lahan gambut layak d ike mbangkan untuk pengembangan pertanian. Fa kta di lapangan saat ini sekitar 15-20% lahan gambut telah dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian, terluas untuk kelapa sawit, yang umumnya sangat produktif dan menguntungkan petani. Fakta la in menunjukkan bahwa, sebagian lahan gambut ini sudah dibuka dan saat ini sebagian berupa lahan terlantar (sema k be lukar dan reru mputan) yang secara ekonomis tidak me mpunyai nila i ta mbah (4,5 juta ha). Apabila lahan tersebut dimanfaatkan untuk perkebunan yang me mperhatikan aspek lingkung an, maka pe manfaatan lahan gambut tersebut akan me mberikan keuntungan dan me mpunyai nilai ta mbah ekonomis bagi penggarapnya.

Tabel 2. Luas dan sebaran lahan gambut menurut kedala man d i Indonesia

Pulau Kedalaman gambut Total

D1 D2 D3 D4 Ha % Sumatera 1.767.303 1.707.827 1.242.959 1.718.560 6.436.649 43.2 Kalimantan 1.048.611 1.389.813 1.072.769 1.266.811 4.778.004 32.1 Papua 2.425.523 817.651 447.747 0 3.690.921 24.8 Total 5.241.438 3.915.291 2.763.475 2.985.371 14.905.574 100.0 Sumber: BBSDLP (2011)

Dengan semakin meningkatnya ju m; lah pendudduk, ma ka untuk me menuhi kebutuhan pangan, bioenergi, pertumbuhan ekonomi, mut lak me merlukan perluasan areal pertanian, dimana tu mpuan utamanya adalah di lahan rawa termasuk ga mbut. Dile ma, di satu sisi lahan gambut perlu dipertahankan untuk tidak dibuka ( moratoriu m), ka rena adanya isu pemanasan global akibat peningkatan emisi GRK da ri pe mbukaan lahan gambut, di sisi la in kebutuhan lahan untuk berbagai sektor sema kin men ingka t. Oleh sebab itu, pemanfaatan sumberdaya lahan ke depan harus berazas skala prioritas dengan me mpe rtimbangan berbagai aspek teknis, non teknis, ekono mis, dan lingkungan.

STRATEGI DAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT

BERKELANJUTAN (PLGB)

Berdasarkan uraian d i atas, untuk pengembangan lahan gambut secara berkelanjutan diperlukan beberapa strategi sebagai berikut:

1. Untuk usaha pertanian tanaman pangan dan perkebunan yang berkelanjutan, sebaiknya mengikuti Permentan No. 14/ 2009 d imana ketebalan ga mbut yang diizinkan utnuk dibuka adalah yang kurang dari 3 m. Meskipun secara agronomis dan ekonomis, ketebalan lahan gambut > 3 m pertu mbuhan tanaman dan hasil tanaman masih menguntungkan, hanya saja dari segi lingkungan dan dampaknya ke depan,

(8)

sebaiknya lahan ini tetap dipertahankan sebagai kawasan konservasi (hidrologis dan resapan air).

2. Sela in kedala man ga mbut, yang perlu diperhatikan adalah substratumnya. Untuk substratum liat akan leb ih baik dibandingkan pasir. Kasus di Kalimantan Tengah, lahan gambut dengan substratum pasir putih, setelah lapisan gambut habis karena subsiden dan terbakar saat kemarau panjang, saat ini tanaman mat i dan lahan tersebut men jadi padang pasir. Oleh karena itu, hindari lahan gambut dengan substratum pasir. De mikian juga dengan kematangan gambut, ke matangan gambut saprik akan lebih baik dibanding hemik dan fibrik untuk tegaknya pertumbuhan tanaman norma l dan tingkat kesuburannya.

3. Hindari pe mbukaan lahan gambut dengan vegetasi ala mi hutan lebat atau hutan sekunder atau kawasan hutan lindung dan pencegahan kebakaran hutan. Pemanfaatan lahan gambut diarahkan untuk rehabilitasi lahan terlantar berupa semak beluka r atau rumput, men jadi lahan produktif yang menguntungkan baik dari segi ekono mis, ekologis, maupun hidrologis.

4. Pe milihan komoditas tanaman yang sesuai dan ekonomis menguntungkan. Untuk mencegah kebaka ran hutan dan subsiden maka pengaturan saluran drainase perlu diperhatikan. Pilih jenis tanaman yang toleran dengan muka air tanah dangkal, seperti karet dan sagu atau pilih tanaman (varietas) yang menyimpan (sekuestrasi) C tinggi, 5. Pengelolaan lahan ga mbut berke lanjutan yaitu dengan me manfaat kan teknologi

ra mah lingkungan dan rendah emisi (pengelolaan air, pengatura drainase, pemberian ame liorant, pe mupukan, dan la innya).

IMPLIKASI KEBIJAKAN

Sebagai tindak lan jut dari ko mit men pe merintah untuk menurunkan e misi GRK sebesar 26% h ingga 41% terhadap tingkat emisi pada kondisi business as usual (BAU) tahun 2020, telah diterbitkan INPRES No.10/2011 tentang “Penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut”. Tujuan dan sasarannya adalah untuk menciptakan kesempatan yang me madai bagi semua pihak me lakukan tinjauan ulang atas rencana yang disusun dalam konteks strategi pendayagunaan sumberdaya lahan gambut yang sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan serta peningkatan kontribusinya dalam mit igasi perubahan iklim.

Dala m perspektif pertanian, diharapkan INPRES No.10/2011 tersebut akan me mbe rikan berbagai implikasi yang bersifat prospektif, antara lain aka n mendorong upaya optima lisasi lahan eksisting, serta mengarahkan progra m perluasan areal pertanian

(9)

kepada lahan-lahan yang lebih “tepat dan aman” atau berdampak kec il terhadap emisi GRK, kerusakan sumberdaya dan lingkungan.

Arah dan kebijakan pe mbangunan pertanian ke depan harus bertitik tola k da ri upaya konsolidasi dan optima lisasi sumberdaya lahan me la lui: (a ) audit lahan pertanian eksisting, kalku lasi kebutuhan dan potensi ketersediaan lahan pertanian; (b) optimalisasi lahan pertanian eksisting mela lui pendekatan dan teknologi inovatif, dan (c) perlindungan lahan dengan menghindari, atau mengurangi la ju a lih fungsi dan deforestasi.

Pe menuhan kebutuhan untuk perluasan areal pertanian (e kstensifikasi), perlu diarahkan pada kebijakan sebagai berikut: (a ) p erluasan areal baru untuk padi dengan pencetakan sawah baru, (b) perluasan areal baru lainnya, diarahkan pada pemanfaatan lahan tidur/terdegradasi/terlantar, baik d i lahan kering maupun lahan rawa (termasuk gambut), (c) pe mbukaan lahan baru untuk perkebunan dan BBN diprioritaskan pada lahan konsesi/sudah mempero leh ijin (IUP) dan sudah dibuka/terlantar, dan (d) mendorong pengusaha/ pemilik konsesi untuk me mpercepat pengelolaan lahan terlantar.

Kebijakan mitigasi perubahan iklim pada sub sektor perkebunan h anya akan mencapai sasarannya jika disain kebijakan, progra m, dan strategi imple mentasinya me mpe rtimbangkan kondisi obyektif berikut in i secara cermat dan adil:

• Sub sektor perkebunan adalah “prime mover” pertumbuhan GDP dan devisa sektor pertanian khususnya, dan perekonomian nasional pada umumnya. Sebagai ilustrasi, dala m periode 2006 – 2010, neraca perdagangan komoditas pertanian yang mengalami surplus hanya dari sub sektor ini (Tabel La mpiran 1).

• Di sub sektor perkebunan, komoditas sawit dan karet mempuny ai peran yang menonjol. Ka itan ke depan (forward link age) dan ke kaitan belakang (bacward

link age) kedua ko moditas perkebunan ini sangat luas sehingga pertumbuhannya

me miliki daya dorong pertumbuhan output, nilai ta mbah, dan pendapatan yang sangat tinggi.

Keberhasilan mit igasi perubahan iklim di sub sektor perkebunan khususnya maupun sektor pertanian pada umu mnya, sangat ditentukan oleh koordinasi semua p ihak terkait. Untuk itu, pengembangan jaringan kerja (net work ) mit igasi perubahan iklim perlu diperkuat dan upaya untuk menjad ikan mitigasi perubahan iklim sebagai bagian integral pembangunan sub sektor perkebunan perlu didukung oleh peraturan perundang -undangan. Agar efisien dan efektif, perlu dibentuk adanya kelompok-ke lo mpok ke rja yang me kanis me ke rjanya bersifat lintas disiplin dan lintas sektor namun kele mbagaannya dapat dikaitkan dengan sistem biro krasi dari masing -masing instansi yang bersangkutan.

(10)

KESIMPULAN

1. Dengan semakin meningkatnya ju mlah penduduk, sema kin tinggi pula kebutuhan pangan nasional, sehingga perlu didukung oleh peningkatan luas baku lahan pertanian. Di sisi la in, lahan cadangan subur untuk pertanian sudah sangat terbatas sehingga harus me manfaatkan lahan sub optima l seperti lahan rawa (ga mbut). 2. Pe manfaatan lahan rawa di masa mendatang akan menjadi tumpuan pengembangan

pertanian, karena lahan kering sudah terbatas dan terpencar serta status kepemilikan lahannya (land tenure), sementara lahan rawa me mpunyai ka wasan hamparan yang cukup luas dan dapat dike mbangkan untuk skala ko mersia l maupun konvensional. 3. Dile ma , di satu sisi tuntutan pemanfaatan lahan untuk berbagai sektor semakin besar,

di sisi lain Indonesia didesak untuk tidak me mbuka lahan pertanian baru dari lahan yang bervegatasi hutan atau lahan gambut. Oleh karena itu, perlu solusi yang bija ksana untuk menengahi dile ma tersebut, dengan berbagai upaya pengelolaan gambut yang berkelanjutan serta pemilihan jenis ko moditas yang sesuai dengan peruntukannya.

4. Pengelolaan lahan gambut me mpunyai peran yang sangat strategis dalam mendukung ko mit men Pe merintah Indonesia untuk berpartisipasi aktif dala m penurunan emisi GRK sebesar 26% hingga 41% dari kondisi business as usual (BA U) menje lang tahun 2020.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. 2007. Simpanan Karbon dan Emisi CO2 Lahan Ga mbut. Ba lai Besar Litbang

Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

BBSDLP. 2011. Peta Lahan Ga mbut Indonesia skala 1:250.000. Ba lai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Ke menterian Pertanian, Jakarta

Bappeda Tanjung Jabung Timur. 2012. Rencana Penetapan Lokasi Perlind ungan Lahan Pertanian Pangan Berke lanjutan, Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Ja mbi.

BPS. 1986. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik. Ja karta BPS. 2006. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jaka rta

Hooije r, A., Silv ius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. De lft Hydraulics report Q3943 (2006).

Mulyani, A. dan A. Hidayat. 2010. Kapasitas Produksi Bahan Pangan Lahan Ke ring. Buku Analisis Kecukupan Su mberdaya Lahan Mendukung Ketahanan Pangan

(11)

Nasional Hingga Tahun 2050. Penyunting (Su marno dan Suharta). Badan Litbang Pertanian, Ja karta.

Parish, F., Sirin, A., Cha rman, D., Joosten, H., Minayeva, T., and Silv ius, M. (eds.). 2007. Global Environment Centre, Kuala Lu mpur and Wet Land International, Wageningen.

Ritung, S., I. Las, dan LI. A mien. 2010. Kebutuhan Lahan Sawah (Irigasi, Tadah Hujan, Rawa Pasang Surut) Untuk Kecukupan Produksi Bahan Pangan Tahun 2010 Sa mpai Tahun 2050. Buku Analisis Kecukupan Sumberdaya Lahan Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Hingga Tahun 2050. Penyunting (Su marno dan Suharta). Badan Litbang Pertanian, Ja karta.

UNFCCC. 2006. United Nations Fra me work Convention on Climate Change: Handbook. Bonn, Ge rmany : Climate Change Secretariat.

(12)

Referensi

Dokumen terkait

kencur bebas kristal etil p-metoksi sinamat menunjukkan akdvitas anti- bakteri, sedangkan larutan etil p-metoksi. sinamat tidak mempunyai

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusuf (2002) tentang dampak usaha tambak udang terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara,

Bercak merah di kulit bisa merupakan manifestasi dari adanya vasodilatasi pembuluh darah kulit seperti yang terjadi pada kasus alergi, di mana karena adanya

¶ The scenic quality of Franke’s intervention in Querini Stampalia palace was transferred in the context of the historicist Middle European architecture of the Arts Pavilion at

Pada Proyek Pekerjaan Pembuatan Konstruksi Apron &amp; Taxiway (PAKET-II), Proyek Pengembangan Bandar Udara Internasional Ahmad Yani, Semarang upaya yang dilakukan untuk

Buah dimasukkan ke dalam wadah sebaiknya berupa kotak karton atau keranjang plastik. Buah diatur rapi sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi terjadinya pergeseran akibat

Diharapkan telkom speedy hendaknya lebih memperhatikan variabel sales promotion karena dalam penelitian ini merupakan variabel yang paling kecil dalam mempengaruhi