Biomass for energy
prefeasibility study
Disiapkan oleh: Dr. Teddy Rusolono Daru Asycarya Hans Henrik Lindboe
Ea Energy Analyses Frederiksholms Kanal 4, 3. th. 1220 Copenhagen K Denmark T: +45 88 70 70 83 Email: [email protected] Web: www.eaea.dk
Daftar Isi
1 Ringkasan eksekutif...Error! Bookmark not defined. 2 Pendahuluan ...Error! Bookmark not defined.
3 Analisis pemilihan stok bahan bakar dan ketersediaan ...11
3.1 Area tanaman yang relevan untuk dikonversi menjadi stok energi.11 3.2 Jenis pohon yang paling cocok untuk tanaman energi ...21
3.3 Hasil panenan kayu...27
3.4 Pemetaan tanaman ...29
3.5 Gambaran dan pemetaan residu kayu ...37
4 Analisis lokasi potensial dan kapasitas ...42
4.1 Penempatan pembangunan pembangkit listrik ...42
4.2 Penempatan pembangunan pabrik wood pellet...44
5 Listrik dan wood pellet...47
5.1 Pasar tenaga listrik ...47
5.2 Biomassa untuk teknologi pembangkit listrik...49
5.3 Teknologi yang dipilih untuk evaluasi ...54
5.4 Wood pellet ...61
6 Analisis Ekonomi ...67
6.1 Penetapan harga sumber biomassa ...67
6.2 Pembangkit listrik ekonomis ...69
6.3 Pabrik wood pellet ekonomis ...72
7 Penilaian resiko aspek lingkungan dan sosial...Error! Bookmark not defined. 8 Referensi...844
LAMPIRAN 1: Tambahan Tabel ……….. 87 LAMPIRAN 2: Peta Indikatif untuk areal pengembangan Energi Biomassa …. 89
1 Ringkasan eksekutif
Menurut kebijakan yang telah diakui, pada tahun 2025, 23% bauran energi Indonesia harus berasal dari sumber energi terbarukan, dan angka ini meningkat menjadi 31% pada tahun 2050. Saat ini, bauran energi negara Indonesia sebesar 7% merupakan energi terbarukan. Tantangan yang terkait dengan pencapaian tujuan ini sangat penting, terutama bila
mempertimbangkan pertumbuhan konsumsi listrik tahunan yang diharapkan yaitu sebesar 8,3 %. Indonesia dan Denmark saat ini bekerja sama melalui Program Dukungan Lingkungan Tahap 3 (ESP3), yang mencakup bantuan pengembangan program biomassa untuk energi.
Sektor kehutanan di Jawa adalah hutan hasil budidaya yang didominasi oleh jati (Tectona grandis). Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, diperlukan tingkat diversifikasi yang lebih besar karena beberapa alasan. Alasan utama adalah adanya area tanaman jati yang luas dengan produktivitas yang sangat rendah dan digolongkan oleh Perum Perhutani sebagai lahan tidak produktif. Dengan memperkenalkan spesies lain dan menyediakan kayu untuk energi, dimungkinkan untuk membantu sektor kelistrikan memenuhi sasaran mitigasi perubahan iklim melalui penggunaan energi terbarukan, dimana pada saat bersamaan mampu meningkatkan keberlanjutan lingkungan dan ekonomi di sektor kehutanan.
Meskipun nilai pasar kayu energi beberapa kali lebih rendah dari pada kayu keras, ada sejumlah manfaat yang terkait dengan kayu energi, yang utama: 1) Produktifitas yang lebih tinggi (t / ha / tahun) 2) Tidak harus menunggu 20 -30 tahun untuk mulai memperoleh pendapatan, dan 3) kemungkinan yang lebih baik untuk menggabungkan sisi kehutanan dengan produksi pakan ternak (daun), dan usaha lain yang memberi manfaat bagi masyarakat lokal.
Berbagai Diskusi di Indonesia saat ini mempertanyakan kebutuhan terencana akan penambahan kapasitas pembangkit listrik di Jawa. Oleh karena itu ada resiko bahwa pembangkit listrik yang sudah ada dan yang direncanakan akan berjumlah lebih sedikit daripada yang diperkirakan semula. Ini berarti bahwa nilai kapasitas pembangkit listrik baru akan terabaikan.
Secara internasional, harga listrik tenaga angin dan tenaga surya (PV) telah menurun drastis dan tak terduga dalam beberapa tahun terakhir. Lelang di beberapa bagian dunia selama tahun 2017 telah menunjukkan harga setara dengan 2-4 sen dolar AS / kWh yang diproduksi (kontrak 15-20 tahun). Pada Latar belakang
Tantangan untuk tenaga listrik biomassa
kondisi tertentu, dan tergantung pada ketersediaan sumber daya listrik, tenaga angin dan tenaga surya sekarang telah mampu mengimbangi batubara dan gas alam, bahkan tanpa dipengaruhi oleh faktor iklim dan bahan bakar fosil sekalipun. Perkembangan serupa belum terlihat pada tenaga listrik berbasis biomassa.
Saat ini telah terjadi perkembangan pesat di pasar internasional untuk
bisnis bio pellet, terutama dalam bentuk wood pellet. Negara-negara
Eropa dan Korea Selatan saat ini merupakan importir besar wood
pellet. Telah tersedia untuk umum berbagai informasi mengenai harga
wood pellet di pasar Eropa. Biasanya harga impor Korea agak lebih
rendah jika dibandingkan dengan harga Eropa, dan Vietnam adalah
eksportir utama ke Korea. Indonesia belum menghasilkan wood pellet
secara masif untuk diekspor, namun beberapa industri lokal di Jawa
menggunakan wood pellet untuk produksinya.
Analisis
Pra study kelayakan ini dilakukan oleh konsultan Indonesia dan Denmark yang menggabungkan keahlian di bidang kehutanan, teknologi energi dan
perencanaan kebutuhan energi. Melalui kombinasi kunjungan lapangan, wawancara, dan studi desktop, telah dianalisis peluang dan tantangan untuk penggunaan biomassa sebagai sumber energi yang berasal dari hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani di Jawa. Mempertimbangkan tantangan keekonomian yang dihadapi dalam mengadakan tenaga listrik biomassa di Jawa, melalui fokus kajian yang sama akan dikupas dua tema pengembangan: Biomassa untuk listrik atau biomassa untuk memproduksi wood pellet . Dalam sebuah analisis beberapa spesies tanaman penghasil kayu energi telah dievaluasi tentang produktivitas, risiko, dan keberlanjutannya. Berdasarkan pandangan dan analisis teknologi, biaya produksi listrik dan wood pellet masing-masing telah diperkirakan. Selanjutnya, berdasarkan analisis ini telah dikembangkan rekomendasi untuk langkah lebih lanjut.
Hasil utama
Berdasarkan berbagai kriteria, ditemukan bahwa spesies yang paling
menguntungkan untuk memproduksi bio-energi adalah tanaman Gliricidia dan Calliandra yang dikembangkan dengan model trubusan berdaur pendek. Telah lama dikenal penanaman spesies ini di Indonesia, dan juga di Jawa. Spesies ini merupakan tanaman unggul, menghasilkan panenan yang tinggi, dan dengan Bio Pellets
kemampuanya melakukan proses fiksasi nitrogen dapat memperbaiki kondisi tanah. Diperkirakan kedua spesies tersebut dapat menghasilkan 25-30 ton / tahun / ha kayu hijau dalam kondisi lahan yang baik.
Agar bisa mencapai manfaat yang terkait dengan skala ekonomi, diperkirakan bahwa ukuran pembangkit listrik biomassa tidak boleh berada jauh di bawah 10 MWelec. Dengan hasil biomassa sebesar 25 ton / tahun / ha, setidaknya 4.000 ha lahan biomassa diperlukan untuk memastikan pasokan bahan baku yang andal dan stabil.
Tiga lokasi unit pengelolaan hutan yang dikunjungi (KPH Semarang, KPH Purwodadi dan KPH Sukabumi) tampaknya memiliki lahan yang cukup terkonsentrasi pada areal tertentu, sehingga sumber biomassa tidak
memerlukan pengangkutan yang jauh. Ketiga lokasi ini bisa dipilih untuk lokasi yang tepat untuk pembangkit listrik biomassa.
Pembuatan pellet biomassa dapat dilakukan dengan menggunakan fasilitas yang jauh lebih sederhana daripada pembangkit listrik. Namun, dengan teknologi ini ada faktor ukuran yang berbeda. Diperkirakan bahwa pabrik pellet komersial secara penuh di lokasi terpilih di Jawa bisa dibangun dengan kapasitas 5 ton / jam, atau sekitar setengah dari kapasitas pembangkit listrik berdaya 10 MW. Ukuran optimalnya sangat dipengaruhi oleh biaya
transportasi bahan baku. Tiga lokasi seperti yang disebutkan di atas cocok untuk produksi pelet.
Ekonomi
Peraturan di Indonesia mengenai tarif produksi listrik dari energi terbarukan (feed-in tariffs) telah diubah beberapa kali, yang terakhir melalui Peraturan Menteri ESDM nomor 50 yang ditandatangani pada bulan Agustus 2017. Menurut peraturan baru tersebut, produsen potensial tenaga listrik biomassa harus menunjukkan bukti sumber daya yang ada dan menegosiasikan tarif dan kondisi tertentu dengan PLN. Tarif di Jawa tidak bisa melebihi biaya produksi listrik lokal (BPP) yang dihitung oleh PLN, yaitu 6,6 sen AS / kWh. Namun, menurut analisis dalam pra studi kelayakan ini, biaya produksi listrik yang sebenarnya diperkirakan mencapai 10-11 sen dolar AS / kWh.
Tidak ada tanda-tanda dari pihak yang berwenang bahwa mereka akan mengubah arah kebijakan dan menerima tarif listrik dari pembangkit listrik di kisaran 10-12 sen AS / kWh, sehingga nampaknya akan sia-sia untuk Pembangkit listrik
Pabrik wood pellet
melanjutkan perencanaan terperinci mengenai pengembangan pembangkit listrik tenaga biomassa di Jawa.
Analisis pasar internasional menunjukkan bahwa harga pelet (FOB1pelabuhan di Jawa) sebesar 90-100 USD / ton diperkirakan akan terjadi sampai waktu mendatang. Analisis dalam laporan ini menemukan bahwa biaya produksi dan transportasi dari lokasi yang dipilih kira-kira 70 USD / ton, sehingga bisa memberikan keuntungan yang besar bagi investor. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa biaya produksi penyediaan bahan baku input (biaya kehutanan) merupakan risiko terbesar pada saat kontrak jangka panjang pembelian pelet kayu terjadi dengan pembeli wood pellet.
Rekomendasi
Disarankan untuk fokus ke arah studi kalayakan pabrik wood pellet daripada melanjutkan proses perencanaan pembangkit listrik. Risiko utama mengenai profitabilitas wood pellet terletak pada biaya pengadaan bahan baku (nilai lahan, hasil, dan produktivitas). Risiko lain, tapi yang lebih rendah, adalah stabilitas pasar wood pellet. Risiko penggunaan teknologi untuk memproduksi pelet sekarang telah dievaluasi dengan nilai resiko relatif kecil. Disebabkan oleh tambahan konsumsi energi dan resiko teknologi, peluang penggunaan teknologi torefaksi (torrefaction) atau arang wood pellet bagi Perhutani tidak direkomendasikan.
Proyek pengembangan biopellet yang sudah berjalan melalui kesepakatan usaha patungan antara Perum Perhutani dan perusahaan Korea KOFPI dilakukan di area KPH Semarang. Namun, pembangunan di Semarang bukan tanpa tantangan terkait kerja sama dengan masyarakat lokal, hasil panen dan pemanenan biomassa. KOFPI belum dapat menemukan pembeli energi terbarukan ini yang bersedia membayar ongkos pengadaan bahan baku di hutan dan transportasinya. Pengalaman dari proyek ini telah didiskusikan dan dimasukan dalam laporan Pra Studi Kelayakan ini.
Disarankan untuk meningkatkan fokus perhatian pada pencapaian
keberhasilan pengembangan fasilitas produksi wood pellet salah satunya yang berkedudukan di KPH Semarang. Prasyarat yang diperlukan adalah penciptaan permintaan bahan baku dengan menarik investor dalam rangka pembangunan pabrik wood pellet.
1FOB: Free On Board, berarti penjual membayar transportasi barang ke pelabuhan tempat barang dikirim, ditambah biaya pemuatan.
Oleh karena itu disarankan untuk melanjutkan studi kelayakan pabrik semacam itu di KPH lain. Disarankan juga bahwa Perum Perhutani dapat segera memutuskan sejauh mana Perhutani bersedia mengambil risiko bahan baku (yaitu menjamin jumlah, harga dan kualitas bahan baku berdasarkan kontrak jangka panjang).
Studi kelayakan harus mencakup:
Lokasi pabrik yang tepat dengan kemampuan menghasilkan kira-kira 5 ton (atau lebih) pellet / jam dan memiliki akses ke sumber daya listrik. Analisis pasar internasional, dengan tujuan untuk mengklarifikasi
kondisi untuk bisa melakukan kontrak jangka panjang dengan pembeli.
o Secara paralel, bernegosiasi dengan PLN mengenai kemungkinan memasok wood pellet sebagai bahan campuran batubara (co-firing)
o Secara paralel, melakukan analisis pasar lokal mengenai permintaan biopellet untuk industri
Garis besar kontrak "Build, Own, Operate" untuk operator pabrik pellet swasta
o Struktur perusahaan, divisi risiko, potensi peran KOFPI – jika diperlukan- dan pemangku kepentingan lainnya, dll
Perizinan yang dibutuhkan
Sejalan dengan studi kelayakan, disarankan untuk meningkatkan komunikasi dengan masyarakat setempat untuk mengklarifikasi kekhawatiran dan harapan tentang budidaya tanaman hutan dengan model trubusan rotasi jangka pendek (short rotation coppice).
2 Pendahuluan
Indonesia dan Denmark bekerja sama melalui Program Dukungan
Lingkungan (ESP), dan pada tahap ketiga ini telah mulai berjalan dari
tahun 2013 berakhir sampai 2017. Tujuan menyeluruh ESP3 adalah
untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam mencapai
pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki pengelolaan lingkungan
secara bersamaan. ESP3 dalam hal ini mendukung pengembangan
biomassa untuk penggunaan energi dan membantu memperbaiki
kapasitas lokal untuk bidang ini.
Meningkatnya permintaan dan produksi listrik
Untuk memenuhi permintaan listrik yang semakin meningkat, Indonesia berencana juga melakukan peningkatan kapasitas pembangkit listriknya secara signifikan di tahun-tahun mendatang. Kapasitas pembangkit listrik saat ini sekitar 55 GW, dimana dengan adanya program Presiden menuju Fast Track I dan II, dan program untuk tambahan 35 GW, perusahaan penyedia listrik nasional (PLN) berencana untuk meningkatkan ini menjadi 90 GW pada tahun 2019 dan 130 GW pada tahun 2025 ( ESDM, 2016). Sebagian besar dari pemenuhan kapasitas ini direncanakan akan dibangun oleh IPP. Pada saat yang sama, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 79/2014, Indonesia menghendaki bisa meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam bauran energi menjadi 23% pada tahun 2025. Mengingat bahwa angka ini baru tercapai kira-kira 7% pada tahun 2016, dan sebagian besar pemenuhan kapasitasnya bergerak lambat, target 23% yang tinggal 8 tahun lagi ini dirasa cukup ambisius.
Pembangkit listrik biomassa domestik
Alternatif energi terbarukan yang dapat diberdayakan untuk mengimbangi penggunaan energi matahari dan angin, seperti tenaga panas bumi dan hidro, telah hadir di Indonesia. Namun di Jawa, sumberdaya air dan pemanfaatan tenaga geothermal dinilai masih terbatas. Selain itu, Indonesia dianggap memiliki sumber biomassa yang belum dimanfaatkan secara signifikan, dimana hanya sekitar 10% dari sumber biomassa yang tersedia digunakan untuk keperluan energi. Dengan demikian, salah satu pilihan buat Indonesia adalah memanfaatkan sumber daya biomassanya sebagai bahan baku pembangkit listrik sekaligus dapat digunakan untuk menyeimbangkan
produksi energi terbarukan. Pada saat penggunaan biomassa untuk produksi listrik terbatas, perkebunan lebih banyak digunakan untuk menghasilkan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati untuk transportasi. Kondisi ini
menjadi sebuah pengalaman yang bisa diambil melalui penyediaan biomassa untuk produksi energi baru dan terbarukan.
Pelet kayu untuk keperluan dalam negeri dan / atau ekspor
Opsi lain untuk memanfaatkan biomassa sebagai energi adalah dengan membangun pabrik wood pellet. Wood Pellet ini dapat dipasarkan di dalam negeri sebagai bahan pembakaran di industri, dipakai sebagai campuran pembakar batubara dalam pembangkit listrik tenaga uap di Indonesia, dan / atau diekspor ke negara-negara seperti Korea Selatan, yang mengimpor wood pellet dalam jumlah besar.
Lahan “tidak produktif”
Biomassa untuk memproduksi energi dapat dibudidayakan di lahan kritis, atau disebut sebagai lahan yang 'tidak produktif'. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperkirakan bahwa lahan kritis di Indonesia pada tahun 2016 seluas 24,3 juta hektar (Times Indonesia, 2017). Ini adalah wilayah yang sangat luas, dan secara keseluruhan wilayah Indonesia cukup luas untuk menyediakan biomassa bagi produksi energi terbarukan (termasuk pembangkit listrik) untuk seluruh wilayah Indonesia.
Namun, di Pulau Jawa, ketersediaan lahan untuk pengembangan tanaman energi terbatas karena berbenturan dengan kebutuhan lahan pertanian. Peluang terbesar untuk pengembangan hutan tanaman energi adalah di lahan milik Perhutani yang dikategorikan sebagai 'lahan tidak produktif'. Dalam beberapa kasus, melalui pertimbangan sosial suatu lahan bisa diarahkan untuk program yang sejalan dengan tujuan perhutanan sosial sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.39 / 2017 dan P.38/2016. Namun, sebagai upaya pengembangan usaha, Perhutani dapat memanfaatkan lahannya untuk secara khusus menghasilkan biomassa untuk energi.
3 Analisis pemilihan stok bahan bakar dan
ketersediaan
3.1 Area tanaman yang relevan untuk dikonversi menjadi stok
energi
Sesuai dengan rencana jangka panjang Perhutani, dan sejalan dengan rencana pengembangan bisnis perusahaan, Perhutani telah mengalokasikan area hutan seluas 116.372 ha atau sekitar 4,7% dari total luas Perhutani di Jawa (2.445.000 ha) sebagai daerah potensial untuk pengembangan tanaman biomassa yang tersebar di 13 KPH (Unit Pengelolaan Hutan) di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten.
Kawasan Perhutani yang dapat dimanfaatkan sebagai daerah penghasil biomassa harus memenuhi persyaratan teknis tertentu untuk mengurangi risiko ekonomi, ekologi dan sosial. Beberapa persyaratan / indikator awal yang ditetapkan oleh Perhutani mengenai area harus digunakan untuk biomassa untuk produksi energi adalah:
a. Klasifikasi produktivitas berdasarkan Sistem Informasi Sumberdaya Hutan (SISDH)
b. Sedikitnya kasus pembalakan liar
c. Sedikitnya kejadian bencana alam termasuk kebakaran d. Indeks Mutu Lahan (Bonita) adalah > 2.5
e. Preferensi untuk menanam jenis tanaman energi (Gamal / Calliandra): Tipe iklim A, B, C, D; semua jenis tanah; dan ketinggian 0-1500
Kriteria untuk menentukan areal untuk proyek energi biomassa tidak ditentukan hanya berdasarkan persyaratan biofisik saja, namun juga perlu mempertimbangkan kriteria sosial dan ekonomi untuk mengurangi
kemungkinan dampak negatif jika program tanaman energi biomassa dilaksanakan. Potensi penggunaan lahan masyarakat untuk tanaman energi biomassa masih prospektif, terutama pada lahan yang tidak produktif. Di areal perkebunan, penggunaan residu kayu dari hasil pemanenan seperti cabang pohon dan ranting atau batang pohon hasil penjarangan juga bisa
dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku biomassa.
Sehubungan dengan kriteria yang ditetapkan di atas, perencanaan tanaman energi biomassa ditempatkan di daerah yang relatif aman dimana
mempertimbangkan adanya konflik kepemilikan lahan dan degradasi hutan. Selain itu, kondisi fisik tanah mendukung pertumbuhan tanaman energi biomassa, dengan produktivitas lahan tinggi.
Hasil analisis studi data sekunder (desk study) berdasarkan peta indikatif alokasi tanaman energi biomassa dan distribusi spasial tanaman hutan aktual menunjukkan bahwa untuk pengembangan awal perkebunan tanaman biomassa, tindakan untuk konversi atau penggantian tanaman hutan (terutama tanaman jati) yang tidak produktif secara luas dan pada berbagai umur tanaman yang masih produktif cukup memungkinkan.
Gambar 1: Gangguan hutan dipicu oleh konflik sosial dan pembalakan liar
Gambar 2: Alokasi lahan untuk masyarakat dalam program kehutanan sosial dan model penanaman kayuputih
Namun bila kondisi lahan bebas dari gangguan sosial, memproduksi kayu jati jauh lebih menguntungkan daripada memproduksi biomassa untuk produksi
energi, oleh karena itu dalam kondisi seperti ini mengganti pohon jati yang berdiri dengan tanaman biomassa energi tidak dianjurkan.
Gambar 3: Area indikasi lokasi KPH dan peningkatan alokasi lahan untuk pengembangan penanaman energi biomassa di Perhutani
Penetapan kriteria lahan untuk penggunaan biomassa kayu yang lebih efisien dengan mempertimbangkan keamanan investasi jangka panjang dan hasil biomassa yang berkelanjutan, perlu mempertimbangkan:
1. Prioritas pada lahan yang diklasifikasikan sebagai lahan hutan tidak produktif (open land atau stok tegakan dibawah normal) atau cenderung tidak produktif dalam jangka panjang;
2. Tanah dengan sedikit mengalami konflik tenurial atau, lahan yang memiliki kemungkinan untuk masuk ke dalam pengelolaan lahan secara kolaboratif;
3. Apakah lahan tersebut sudah atau akan dialokasikan untuk proses kemitraan antara perusahaan dan pihak lain selain program tamanan biomassa;
4. Apakah area yang tersedia cukup besar untuk menyediakan bahan baku biomassa yang diperlukan agar skala ekonominya memadai untuk memenuhi kebutuhan tanaman energi.
Untuk memenuhi kriteria di atas, sebagian besar lahan untuk tanaman biomassa harus dipertimbangkan berdasarkan rencana jangka panjang perusahaan, dipertimbangkan pula berada pada lahan di zona produksi adaptif, atau yang berada di kawasan hutan dengan kondisi tegakan hutan yang lebih beragam untuk menyediakan berbagai alternatif tanaman hutan dan pertanian terutama jika interaksi sosial sangat tinggi.
5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 Allo ca te d Are a KPH of Perhutani
Daerah-daerah semacam ini terutama telah dialokasikan sebagai kawasan produksi adaptif untuk penyediaan Program Perhutanan sosial yang
ditetapkan pemerintah melalui peta indikatif areal perhutanan sosial (PIAPS). Di seluruh wilayah Perhutani, ada daerah potensial yang memiliki tegakan hutan yang tidak produktif (lahan terbuka atau kurangi potensi hutan, atau cenderung tidak produktif dalam jangka panjang) yang mencakup area seluas 308.000 hektar, tersebar pada 57 KPH. Kawasan ini terbagi menjadi 15% di wilayah Jawa Tengah, 34% di Jawa Timur dan, 51% berada di Jawa Barat dan Banten. Berdasarkan area yang tidak produktif tersebut, kurang lebih di 27 KPH dihitung sekitar 229.286 ha atau 74% dari total luas wilayah potensial untuk Perkebunan Energi Biomassa (Lihat Gambar 4).
Masing-masing KPH memiliki wilayah yang tidak produktif seluas lebih dari 5.000 ha yang memiliki kawasan yang sesuai untuk perkebunan energi biomassa. (Sebagai pengecualian adalah KHP Purwodadi yang memiliki lahan tidak produktif seluas 1.900 ha namun luasan ini memenuhi syarat untuk dikembangkan 1 unit industri wood pellet untuk memenuhi kapasitas produksinya). Perkebunan biomassa dibangun dengan meminimalkan konversi tegakan produktif serta menampung lahan pertanian yang
dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu diperlukan analisis mikro lebih lanjut untuk mendapatkan lokasi yang sesuai, termasuk
persyaratan untuk menentukan lokasi industri.
Gambar 4. Area terindikasi tidak produktif menyebar di 27 KPH sebagai prioritas
pengembangan perkebunan energi biomassa.
Untuk mendukung pabrik wood pellet dengan kapasitas 5 ton / jam, atau sekitar 36.000 ton / tahun, dibutuhkan sekitar 50.000-60.000 ton serpihan
kayu, dengan asumsi kadar air sekitar 35% (lihat kotak teks untuk diskusi tentang kadar air).
Sesuai dengan rencana penanaman beberapa jenis biomassa kayu, dan dengan mempertimbangkan kebutuhan energi, keinginan untuk menjaga daerah relatif kompak, diperkirakan ukuran perkebunan minimal harus 1.600 ha. Daerah tersebut tidak termasuk lahan yang dibutuhkan untuk infrastruktur
Kandungan Air/ Kelembaban
Menurut Buku Pegangan Bahan Bakar Kayu dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, air di dalam kayu dapat didefinisikan sebagai "kandungan air" dan "kelembaban", namun dalam praktiknya istilah ini sering salah atau disamakan sama satu sama lain (Krajnc, 2015 ).
Buku pegangan tersebut menyatakan bahwa "kandungan air (M) adalah massa air yang ada dalam kaitannya dengan massa kayu segar", sesuai dengan rumus berikut:
M = − × 100
Dimana Ww adalah berat kayu, dan Wo adalah bobot kering oven dari kayu. Buku pegangan ini memberikan contoh praktis berikut untuk perhitungan kadar air.
Kelembaban kayu (u), di sisi lain, didefinisikan oleh buku pegangan sebagai "massa air yang ada dalam kaitannya dengan massa kayu kering oven. Nilai ini menggambarkan rasio massa air terhadap massa kering ". Rumus untuk kelembaban adalah:
u = − × 100
Pendekatan dan terminologi kandungan air sering digunakan oleh mereka yang terlibat dalam pembelian dan penjualan bahan bakar kayu, sedangkan pendekatan kelembaban kayu biasanya digunakan di industri kehutanan. Dalam laporan ini, akan dipakai terminologi kandungan air. Di bawah ini disertakan Tabel konversi sederhana dari buku pegangan yang disebutkan di atas, sebagai referensi.
dan budidaya pertanian, yang menggunakan pengelolaan secara kolaboratif dimana melibatkan masyarakat lokal yang diperkirakan mencapai 50% dari area budidaya yang efektif yang seharusnya bisa ditambahkan (lihat Tabel 1. di bawah)
Subyek Nilai unit Keterangan
Kapasitas Produksi Wood Pellet 5 ton/jam 1 unit pabrik 120 ton/hari 8 jam/shift, 3 shift 3,000 ton/bulan 25 hari/bulan 36,000 ton/tahun 12 bulan/tahun
Jenis spesies penghasil biomassa Calliandra Gliricidia Biomassa sbg feedstocks
woodpellet (%) 140 150 Rasio biomassasegar woodpellet
Biomassa yang dihasilkan
(tonnes/yr) 50.400 54.000 Biomassa segar Potensi Biomassa per ha
(ton/ha/th) 30 35 Biomassa segar
Kebutuhan areal minimum
tanaman biomassa (ha) 1.680 1.543 Hanya tanaman Area total untuk tanaman
biomassa (ha) 2.520 2.314 termasuk lahanpertanian & infrastruktur (50% dari area minimum)
Tabel 1. Input biomassa kayu dan ketersediaan lahan untuk mendukung 1 unit industri wood
pellet (kapasitas 5 ton / jam)
Bagian berikut ini menjelaskan kondisi stok tegakan hutan di 3 lokasi KPH Perhutani yang merupakan area yang diusulkan untuk pengembangan tanaman energi biomassa, yaitu KPH Semarang di Jawa Tengah, KPH Purwodadi di Jawa Tengah, dan KPH Sukabumi di Jawa Barat.
Gambar 5 mengilustrasikan bahwa KPH Semarang memiliki wilayah yang cukup untuk pengembangan perkebunan energi biomassa karena area yang ada diklasifikasikan sebagai TBK (Tanaman dengan Pertumbuhan kurang - biru tua) dan TK (Tanah kosong - biru muda) cukup tinggi.
Gambar 5: Klasifikasi hutan dan kondisi lahan saat ini di KPH Semarang. TBK (biru tua) adalah
tanaman jati pertumbuhan kurang, TK (biru muda) merupakan tanah kosong
Sementara itu klasifikasi KU I (kelas umur berkisar antara 1-10 tahun) dan KU II (kelas umur dalam rentang antara 11-20 tahun) harus dipertahankan sebagai Hutan Jati. Kemudian KU III (kelas umur berkisar antara 21-30 tahun); KU IV (kelas umur antara 31-40 tahun) dan LDTI (lahan dengan tujuan istimewa) tidak sesuai untuk pelaksanaan penanaman biomassa karena keterbatasan area dan biaya tinggi untuk mengubah hutan yang ada.
Untuk saat ini KPH Purwodadi (Gambar 6) didominasi oleh tanaman jati dengan usia muda seperti yang digambarkan pada KU I dan KU II (diagram batang warna merah tua dan pink). Ada juga distribusi jati komersil yang luas seperti yang terlihat pada KU III, KU V (kelas antara 51-60 tahun) dan KU VI (kelas usia antara 61-70 tahun). Namun ada area TBK (biru tua) yang cukup luas dan TK (biru muda) yang bisa dikembangkan untuk lahan biomassa.
Gambar 6: Klasifikasi Hutan dan Kawasannya yang ada di KPH Semarang. TBK (biru tua) adalah
tanaman dengan pertumbuhan kurang, TK (biru muda) adalah lahan kosong.
Terakhir, Gambar 7 menunjukkan bahwa KPH Sukabumi memiliki lahan dengan potensi yang besar untuk perkebunan energi biomassa, karena terdapat cukup banyak lahan yang diklasifikasikan sebagai TK (Tanah Kosong), TKL (jenis tanaman kayu lain), TKLR (tanaman kayu lain rawang), dan TKTBKP (tanah kosong tidak baik untuk kelas perusahaan).
Gambar 7: Klasifikasi Hutan dan Kawasan Yang ada di KPH Sukabumi. TK (biru muda) adalah lahan
yang tumbuh lambat lainnya, dan TKTBKP (hitam) adalah lahan yang tidak menguntungkan, untuk hutan khusus.
Gabungan Lahan yang dimungkinkan untuk menjadi areal perkebunan biomassa adalah masing-masing berada di KPH Semarang (4.053 ha), KPH Purwodadi (4.382 ha), dan KPH Sukabumi (3.811 ha), dengan total seluas 12.245 ha. Diperkirakan bahwa lahan ini cukup untuk menyediakan biomassa yang memadai bagi pembangkit energi, untuk pengembangan tanaman, dan untuk alokasi lahan pertanian model pengelolaan kolaboratif dengan petani atau masyarakat setempat.
KPH wilayahLokasi
Hutan Lokasi BKPH
Kerapatan tegakan (ha) Area Efektif Bruto (Indikatif & kompak) Kondisi lahan dan hutan Rendah (KBD -<0,25) Sedang (KBD 0,25-0,6) Tinggi KBD >0,6 Semarang Semarang Barat, Semarang Timur Jembolo Utara, Jembolo Selatan, Tempuran, Kedung Jati, Barang, Tanggung 1.852 1.253 948 4.053
Jati dengan hasil rendah, jati muda, dominan di kelas I-II, pembalakan liar dan pemangkasan
Purwodadi Grobogan Penganten,
Jatipohon 463 2.271 1.648 4.382 Jati dengan hasilrendah, jatimuda, dominan
di kelas I-II, pembalakan liar dan
pemangkasan
Sukabumi Jampang
Tengal Lengkong 1.579 2.123 - 3.702 Lahan gundulyang dominan,lahan tidak
produktif, pohon pinus hasil rendah, lahan pertanian
TOTAL 3.894 5.647 2.596 12.137
Tabel 2: Lahan potensial untuk pengembangan tanaman biomassa kayu di Perhutani
Secara umum, KPH Semarang didominasi oleh lahan kosong, dan daerah dengan pohon jati muda yang tergolong tidak produktif (hutan dengan produktifitas rendah atau rusak, kepadatan bidang dasar/KBD <0,6). Lahan ini saat ini cenderung tidak produktif untuk produksi kayu karena pertumbuhan atau hasil yang rendah, dan tumpang tindih dengan tanaman pertanian yang dibudidayakan oleh petani atau masyarakat setempat. Secara topografi, daerahnya relatif datar, dan memiliki aksesibilitas yang baik. Untuk mendapatkan biomassa yang cukup besar dan kompak untuk area energi, dipandang perlu untuk mengubah sisa pohon produktif menjadi biomassa untuk tanaman energi, terutama di KPH Purwodadi.
Berdasarkan pengamatan dan penilaian, banyak area di KPH Sukabumi dianggap lahan terdegradasi / kosong, sedangkan area lainnya berisi tegakan
dengan beragam pohon (pinus, gmelina, pulai, dan mahoni) yang tidak produktif (hutan dengan produktifitas rendah atau rusak, dengan KBD <0.6). Tanah di KPH Sukabumi juga sebagian digunakan untuk tanaman pertanian, dan berisi semak dan pohon dengan pertumbuhan yang kurang baik. Daerah ini secara keseluruhan memiliki beberapa area terbuka yang luas, dan agak berbukit bukit.
Dalam pemanfaatan seluruh areal seluas 12.137 ha sebagaimana ditunjukan pada Tabel 2, konversi terhadap penggunaan lahan yang ada atau hutan mungkin diperlukan untuk menyiapkan area yang ditujukan untuk pengembangan tanaman energi biomassa. Hasil konversi ini akan
menghasilkan log sekitar 168,894 meter kubik yang memiliki diameter kecil dan harga relatif murah. Selain itu, konversi tersebut akan berpotensi menyebabkan kehilangan kayu kurang lebih sebesar 14 m3 per hektar yang berasal dari standing stock yang ada. Volume konversi diperkirakan dari Tabel Pertumbuhan Tegakan dengan nilai bonita 2,5 dan faktor koreksi nilai KBD seperti yang dijelaskan pada Gambar 8. di bawah ini.
Gambar 8. Perkiraan volume total akibat konversi tegakan untuk Perkebunan Energi
3.2 Spesies pohon terbaik yang sesuai untuk tanaman energi
Pemilihan jenis pohon yang sesuai untuk bahan baku energi biomassa harus mempertimbangkan kondisi teknis, ekologi dan sosial di mana spesies akan dibudidayakan. Kriteria umum yang dipertimbangkan dalam memilih spesies yang tepat adalah:
• Spesies pohon prioritas ditanam di lahan kosong atau terlantar, lahan tidak sesuai untuk pertanian, dan berpotensi bisa melibatkan
masyarakat lokal,
• Spesies pohon harus sesuai dengan kondisi lokasi, iklim, dan pertumbuhan,
• Mudah dibudidayakan, mudah untuk regenerasi, mudah memperoleh sumber benihnya dan penerapan persemaiannya sederhana,
• Pertumbuhan pohon cepat dengan kemampuan fiksasi nitrogen dan kemampuan untuk mempertahankan dan / atau memperbaiki kondisi tanah
• Mudah sistem pemanenannya; menggabungkan siklus panen dan kepadatan tanaman dengan sistem trubusan
• Spesies pohon multiguna (Multiple Purpose Tree Species -MPTS) misalnya untuk kayu bakar,memperbaiki kondisi tanah , sumber pakan ternak dan peluang bisnis budidaya lebah madu
• Memiliki kemampuan untuk memperbaiki lahan yang rusak, • Kemampuan beradaptasi yang tinggi - tumbuh di lahan yang rusak,
mampu untuk bertahan dari kebakaran hutan, hama dan penyakit tanaman,
• Menghasilkan kayu energi dengan nilai kalori tinggi dan kadar abu yang minimal
Beberapa spesies tumbuhan telah diidentifikasi sebagai sumber bioenergi dan biofuel. Ada 52 spesies yang berpotensi sebagai sumber bahan bakar nabati dan 16 di antaranya adalah spesies tanaman hutan. Sementara itu, ada 147 jenis tanaman hutan yang memiliki potensi untuk perkebunan biomassa untuk pengembangan bioenergi (Hartono, 2015). Di antara spesies tersebut, tujuh spesies direkomendasikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (Badan Litbang) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk pengembangan perkebunan energi biomassa, mis. Acacia auriculiformis (Acacia), Acacia mangium (Acacia), Albizia procera (Weru), Calliandra
calothyrsus (Calliandra), Gliricidia sepium (Gamal), Leucaena leucocephala (Lamtoro gung) dan Sesbania grandiflora (Turi) (Ahmad, 2013)
Spesies Acacia auriculiformis dan A. mangium yang terkenal di Jawa kayunya dapat dimanfaatkan sebagai kayu gergajian atau kayu pertukangan yang berasal dari perkebunan Perhutani dan hutan masyarakat. Spesies A mangium pada umumnya ditanam di Hutan Tanaman Industri (HTI) di Sumatera dan Kalimantan untuk sumber utama industri pulp dan kertas komersial.
Umumnya, jenis weru, lamtoro gung dan turi ditanam dan berfungsi sebagai tanaman pagar, tanaman peneduh dan tanaman penghijauan dimana biasanya berada di sisi jalan dan sawah. Daunnya dikonsumsi sebagai pakan ternak, dan kayu digunakan untuk kayu bakar. Kayu Weru juga tahan lama dan digunakan untuk pertukangan. Pohon Kaliandra dan Gamal banyak ditanam sebagai tanaman pagar dan tanaman naungan di perkebunan. Selain menjadi penghasil utama kayu bakar, daunnya menjadi sumber pakan ternak. Tabel 3 di bawah ini menunjukkan potensi pertumbuhan dari beberapa spesies yang cocok untuk bahan baku energi biomassa.
Tabel 3. Persyaratan lokasi tumbuh dan potensi pertumbuhan beberapa jenis pohon yang cocok untuk bahan
baku energi biomassa
Spesies Persyaratan Biofisik Metode
regenerasi Kerapatan/ Jarak Rotasi Pertumbuhan/hasil Referensi Acacia
auriculifor mis
Ketinggian : 0-500 m, Rata-rata suhu tahunan 24-28 derajat C, Rata-rata curah hujan tahunan : 760-2000 mm; jenis tanah : sangat umum ditemukan di tanah lempung, mampu untuk tumbuh pada bermacam jenis tanah termasuk pasir berkapur dan tanah lempung hitam kering, tanah yang musiman tergenang air, tanah liat berpasir, coral rag. Dapat toleran terhadap basa tinggi dan tanah garam, pH berkisar antara 4,3 dan 9
gerneratif 2-4 x 2-4 m, jarak yang lebih dekat lebih sesuai untuk pulp Rotasi yang direkomendasikan adalah 4-5 tahun (untuk kayu bakar), 8-10 tahun (untuk pulp), 12-15 tahun untuk kayu. 15-20m3/ha/th dapat dicapai, tapi pada tanah yang kurang subur atau daerah yg erosi tinggi, pertumbuhan berkurang menjadi 8-12m3/ha/th; 24,2 m3/ha/th Orwa et al. 2009; NAS (2009) Acacia
mangium Ketinggian: 0-800 m, Rata-rata suhu tahunan 18-28 derajat C, Rata-rata curah hujan tahunan: 1500-3000 mm, jenis tanah: tanah mineral atau tanah alluvial
generatif 600-700 batang /ha dari 1250 pohon/ha (untuk kayu pulp), dari 900 pohon/ha menjadi 100-200 pohon/ha dalam 2 atau 3 kali penjarangan (untuk kayu gergajian) 6-7 tahun (untuk kayu pulp); 15-20 tahun (kayu gergajian) 35,2 m3/ha/th Zuhaidi (1982) Albizia
procera Ketinggian: 0-1500 m,Rata-rata suhu tahunan 1-18 derajat C sampai 37-46 derajat C, Rata-rata curah hujan tahunan: 100-5000 mm, jenis tanah: bertahan di berbagai jenis tanah, paling bagus tumbuh di tanah alluvial lembab, tanah liat dengan drainase yang baik, atau tanah
Generatif dan vegetatif Jarak 2-3 x 0,5 m dalam tegakan murni, dicampur dengan spesies lain ditanam dengan jarak 3 x 1m
Kayu bakar diatur dalam rotasi 20 tahunan Rata-rata pertumbuhan tahunan diameter 1-4 cm; mencapai 40-60 cm dalam 30 tahun Orwa et al. 2009, PROSEA
7,5. Toleran pada tanah dangkal dan keasaman
Gliricidia
sepium Ketinggian: 0-1200 m,Rata-rata suhu tahunan 15-30 derajat C, Rata-rata curah hujan tahunan 600-3500 mm, tipe tanah: dari pasir murni sampai timbunan dasar danau alluvial yang dalam. Dalam rentang alaminya, tanah bersifat asam (pH 4,5-6,2); namun bila bahan induknya adalah batu gamping, tanahnya sedikit basa. Hasil bagus pada tanah vertisol sedikit bergaram, tetapi tidak toleran terhadap tanah sangat asam. Generatif dan vegetatif 1000-5000 pohon/ha (di Amerika Tengah) untuk rotasi 5 tahun; 1 x 1 m sampai 2,5 x 2,5 m (di Asia)
Setiap 2-3 tahun Panen pertama setelah 3-4 tahun, 8-15 m3/ha, 3,5-4,5 kg/pohon/th, 23-40 m3/ha (di Filipina); 10-20 m3/ha/th (kayu bakar dipanen tiap 2-3 tahun) Elevitch & Francis (2008) Calliandra callothyrs us Ketinggian: 250-1800 m, Rata-rata suhu tahunan: 22-28 derajat C, Rata-rata curah hujan tahunan: 700-4000 mm; jenis tanah: tumbuh baik pada rentang jenis tanah yang luas, tetapi lebih sesuai dengan tanah yang bertekstur ringan, sedikit asam. Toleran pada tanah yang tidak subur dan padat, atau tanah dengan aerasi buruk tetapi tidak toleran pada tanah yang tergenang air dan tanah basa Generatif dan vegetatif Jarak optimum adalah 1 x 2 m dengan jarak minimum 1 x 1 m (untuk kayu bakar) Tiap 1-2 tahun, trubusan tahunan berlanjut untuk 10-20 tahun 35-65 m3/ha/th; 15-40 tdm/ha/th dengan panen trubusan tahunan untuk 10-20 tahun; 25 t/ha/th (di indonesia); 39 t/ha/th (di Kamerun) Orwa et al. (2009); Ecocrop. FAO (Leucaena leucoceph ala Ketingian: 0-1500 (max 2100 m), Rata-rata suhu tahunan: 25-30 derajat C, Rata-rata curah hujan tahunan: 650-3000 mm, jenis tanah: tumbuh optimal pada tanah berkapur tapi dapat ditemukan pada tanah bergaram dan tanah basa pH mencapai 8; tidak toleran pada tanah asam dan tanah tergenang air
Generatif dan vegetatf
1m x1m (untuk
kayu bakar) Rotasi lebihpendek (3-5 tahun) Dari 3-4 m pertambahan tinggi/th dan 20-60 m3/ha/th Orwa et al. 2009; PROSEA Sesbania grandiflor a Tinggi: 0-1000m, Rata-rata suhu tahunan: 22-30 derajat C, Rata-rata curah hujan tahunan: 2000-4000 mm, jenis tanah: dapat tumbuh pada rentang jenis tanah yang luas termasuk tanah sedikit unsur hara dan tergenang air. Toleran terhadap tanah bergaram dan tanah basa dan toleran pada tanah asam dengan pH 4,5
Generatf dan vegetatif
0.9 x 0,9 m; 1,5
m x 2m Tidak berumurpanjang dapat dipanen dalam rotasi pendek 3 tahunan Pada tanah lempung yang dalam dengan drainase baik, hasilnya 4 t/ha/th. Di Indonesia, 20-25 m3/ha/th Orwa et al. 2009
Semua spesies pohon pada Tabel 3 di atas dapat menghasilkan bahan baku energi biomassa kayu dan fungsi serbaguna lainnya. Secara umum, jenis akasia relatif memiliki karakteristik sebagai spesies yang cepat tumbuh namun tidak banyak diketahui apakah bisa digunakan dan dikelola dengan sistem trubusan yang berkelanjutan. Namun demikian, jenis-jenis tersebut tidak seperti tanaman kaliandra dan gamal meski mudah dalam budidaya dan
pemanenan, namun tidak terbukti cocok untuk penerapan sistem trubusan rotasi pendek, dan juga jarang ditanam dalam skala yang lebih luas.
Penanaman spesies eksotik dapat mengakibatkan efek samping yang tidak diinginkan, misalnya risiko yang terkait dengan keberadaan spesies invasif. Beberapa spesies eksotik sebelumnya telah ditanam di Indonesia, seperti akasia mangium, gliricidia, dan kaliandra. Selama pemilik lahan memiliki tujuan perkebunan yang jelas, dan pemanenan dilakukan secara teratur, spesies ini pada umumnya memiliki dampak negatif yang rendah terhadap lingkungan sekitar. Kemudian dalam beberapa laporan, ada diskusi mengenai bagaimana risiko ini dapat dikurangi, misalnya jika spesies tersebut tidak ditanam di daerah sekitar kawasan konservasi (yaitu Taman Nasional) dan daerah dengan vegetasi alami. Sejak tahun 1937 kaliandra telah ditanam di Perhutani dan daerah yang lebih luas bersamaan dengan program
penghijauan dan pendukung kayu bakar dan pakan ternak. Dapat dikatakan bahwa, tidak direkomendasikan untuk menanam spesies baru yang memiliki karakteristik yang tidak diketahui sampai ada kegiatan penelitian yang memadai tentang spesies tersebut.
Memperhatikan pemaparan di atas, Pra Studi kelayakan ini telah
mengidentifikasi Gliricidia sepium dan Calliandra calothyrsus sebagai dua spesies target pilihan. Kedua spesies tersebut sangat dikenal masyarakat di Pulau Jawa, dan juga sebagian besar wilayah di Indonesia.
Sejak tahun 1974, Perhutani telah menyebarkan bibit kaliandra kepada petani hutan dan memanfaatkannya sebagai tanaman batas antara kawasan hutan dan daerah pedesaan atau lahan pertanian. Budidaya kaliandra pada saat itu terutama ditujukan untuk menyediakan kayu bakar dan makanan ternak bagi masyarakat yang tinggal di hutan, dan mengurangi ketergantungan pada minyak tanah untuk memasak. Kaliandra digunakan sebagai tanaman teras (penahan erosi) dengan kemiringan tinggi untuk memperkuat perkebunan utama, misalnya dengan perkebunan jati, dan juga untuk tujuan perlindungan tanah, karena dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui kemampuannya untuk menyerap nitrogen.
Jenis tanaman gliricidia banyak digunakan sebagai tanaman tepi atau tanaman pagar untuk mencegah ternak besar memasuki hutan. Kayunya digunakan sebagai kayu bakar dan daunnya digunakan sebagai pakan ternak. Kayunya dapat dipanen dengan cepat, dan pemangkasannya juga dilakukan dengan proses yang cepat.
KPH Topografi areal Ketinggian
(m dpl) Curah hujan(mm/year) KesesuaianSpesies (Calliandra or Gliricidia)
Ketersediaan areal
Semarang Datar sampai sedikit berbukit,
tanah mineral
< 100 1500-2000 Sangat
sesuai Untuk mendapatkan areayang aman dan terkonsentrasi, disarankan untuk melakukan konversi hutan produksi yang ada. Purwodadi Datar sampai
sedikit berbukit, tanah mineral
< 100 1500-2000 Sangat
sesuai Untuk mendapatkan areayang aman dan terkonsentrasi, disarankan untuk melakukan konversi hutan produksi yang ada. Sukabumi Berbukit sampai
curam, tanah mineral
500-700 2000-2500 Sangat
sesuai Tersedia area yang luas,namun kawasan cukup berbukit dan terjal, yang bisa menjadi hambatan panen dan transportasi.
Tabel 4: Kondisi lokasi KPH Perhutani dan kesesuaiannya untuk pertumbuhan spesies pohon Calliandra dan
Gliricidia.
Meskipun kaliandra dan Gliricidia bukan spesies pohon asli di Indonesia, tetapi spesies tersebut telah lama diperkenalkan, dan dapat ditemukan hampir di seluruh pulau Jawa. Calliandra dan Gliricidia menjadi sangat populer di daerah pertanian di sebagian besar wilayah Jawa. Belum banyak laporan yang
menggambarkan adanya hama dan / atau penyakit yang berkaitan dengan salah satu spesies di atas.
Gambar 9: Perkebunan Biomassa Gliricidia pada musim kemarau yang dikembangkan
Gambar 10: Pembibitan Gliricidia di KPH Semarang
Kayu yang dihasilkan dari tanaman Kaliandra dan Glirisidia memiliki
karakteristik fisik dan kimia yang relatif baik untuk dijadikan kayu bakar atau sebagai bahan baku wood pellet. Nilai kalorinya tinggi dan kadar abunya rendah.
Spesies Nilai
kalori (cal/g)
Berat
jenis Kadarabu (%) Kandungan lignin (%)
Sumber
Calliandra callothyrsus 4720 0.51-0.78 1.8 20-23 Duke (1983)
Gliricidia sepium 4574 0.67 1.1 26.8 KoFPI (2017)
Cassia siamea 4542 0.64 2.8 21.7 KoFPI (2017)
Leucaena leucocephala 4703 0.69 5.0 31.6 KoFPI (2017)
Paraserianthes falcataria 4484 0.24-0.49 1.8 KoFPI (2017)
Acacia mangium 4621 0.52 0.6 27.6 KoFPI (2017)
Acacia auriculiformis
4700-4900 0.45 0.34 23.5 Marsoem &Irawati (2016)
Albizia procera 4870 0.52 6.2 World
Agroforestry Centre
Sesbania grandiflora 4278 0.40 6.0 Karmakar et al.
(2016); World Agroforestry Centre.
Eucalyptus pellita 4364 0.4-0.8 0.1 14-19 KoFPI (2017)
Paulownia tomentosa 4990 0.26-0.33 0.49 21-23 Akyldiz & Kol
(2010),
Pengembangan terencana untuk tanaman energi biomassa di Perhutani akan memprioritaskan lahan-lahan yang saat ini tidak produktif dengan
memperhatikan produksi kayu komersial, terutama kayu jati dan kayu
komersial lainnya seperti Pinus merkusii dan mahoni. Lahan-lahan yang tidak produktif ini bisa terjadi karena kombinasi faktor-faktor seperti:
Kondisi lokasi dengan kualitas buruk (berbatu, solum tanah dangkal), Praktik silvikultur yang buruk,
konflik penggunaan lahan, yaitu tumpang tindih dengan tanaman pertanian yang menyebabkan gangguan pertumbuhan pada tanaman pokok, pencurian pohon, dll.
Dengan demikian, pengembangan perkebunan energi biomassa tidak hanya terbatas pada penyediaan bahan baku untuk penanaman energi biomassa, namun juga untuk perbaikan aspek lingkungan, peningkatan produktivitas lahan, dan menyiapkan pengelolaan hutan alternatif yang melibatkan partisipasi masyarakat melalui kolaborasi antara perusahaan, petani dan investor.
3.3 Hasil panenan kayu
Hasil kayu yang ditargetkan dapat diproduksi dalam waktu yang relatif singkat (rotasi panen setiap 2-3 tahun), diperoleh melalui sistem trubusan. Sistem trubusan adalah metode untuk mendapatkan panen kayu berulang kali dengan cara memotong batang pohon di dekat permukaan tanah dan mengeksploitasi kembali batang pohon yang berasal dari trubusan yang tumbuh kembali sebagai batang baru melalui tunggak dan akar saat
batangnya ditebang. Dengan sistem trubusan, panen biomassa bisa dilakukan setiap 1-3 tahun, dan berlanjut sampai pohon berumur 15-20 tahun dimana saat itu baru dilakukan penanaman kembali. Untuk mendapatkan
produktivitas biomassa yang tinggi, pohon Calliandra atau Gliricidia sebaiknya ditanam dengan rapat, sehingga menghasilkan populasi pohon sebanyak 5.000-10.000 pohon / ha.
Spesies
pohon Kepadatan/Jarak tanam Hasil kayu bakar Sumber
Calliandra calothyrsus 5,000-40,000 pohon/ha atau 1.5x2; 2x2.5 m (diantara barisan kayu); 1 m x 1 m sd 1 m x 2 m; dalam penanaman baris
5-20 m3/ha/th (tanah subur sedang, panen pertama);
35-65 m3/ha/th (tapak yang baik , trubusan tahunan untuk 10-20 tahun). ICRAF 2015; Wiersum dan Rika 1997; Wiersum dan Rika 1992
15 - 40 ton/ha/th (setahun setelah pemananam, trubusan tahunan berlanjut untuk 10 – 20 tahun).
Gliricidia sepium
1,000-5,000 pohon/ha untuk rotasi 5 tahun (di Amerika Tengah);
1 x 1 m to 2.5 x 2.5 m jarak tanam untuk trubusan dengan interval 1-2 tahun (di Asia). 1x 1 m; 1x2m; and 1x3 m (di KPH Semarang)
8-15 m3/ha (panen pertama, setelah 3-4 tahun); 3.5-4.5 kg/pohon/th (di Amerika Tengah);
23-40 m3/ha/th (in Filipina); 10-20 m3/ha (barisan kayu di kopis
setiap 2-3 tahun);
4.6 kg/pohon/th and 32.9 ton/ha/th (di KPH Semarang, 4 tahun setelah penanaman)
Craig RE & Francis JK. 2006; Wiersum, KF dan Nitis, IM. 1992; KoFPI-Perhutani 2017
(pers.comm.)
Tabel 6: Performa dan hasil panen dari spesies pohon Calliandra dan Gliricidia
Ada beragam informasi tentang hasil pertumbuhan / energi (kayu bakar) yang diperoleh dari tanaman Calliandra dan Gliricidia (lihat Tabel 6), yang
disebabkan oleh perbedaan kondisi tanah, jarak tanam, dan rotasi yang berbeda dari trubusan yang digunakan. Dengan pengaturan jarak yang rapat, sumber benih terpilih, perawatan tanaman, dan pencegahan kerusakan tanaman (terutama kebakaran), produktivitas kayu energi di Perhutani ditargetkan mencapai 30 ton / ha / tahun untuk Calliandra, atau 35 ton / ha / tahun untuk Gliricidia. Produktivitas dicapai dengan penanaman di blok yang kompak dengan populasi pohon minimal 6500 pohon / ha.
Gambar 11: (kiri) Kaliandra (Calliandra callothyrsus) yang tumbuh di banyak tempat di KPH Sukabumi, dan
penggunaan wood pellet di Lengkong Sukabumi untuk pengeringan daun teh ( bawah). Kegiatan uji spesies Calliandra callothyrsus di KPH Semarang pada musim kemarau. Terlihat seperti tanaman gugur daun (kanan).
Untuk memenuhi target produktivitas seperti yang diuraikan di atas, direkomendasikan untuk melakukan uji provenan dan/atau uji klon, untuk menentukan kombinasi terbaik antara pola tanam dan jarak tanam, pengaturan rotasi trubusan, dan teknik pemanenan kayu. Selain itu,
Perhutani sebaiknya mewujudkan kegiatan pemeliharaan tanaman sendiri dan program gene conservation untuk tanaman penghasil biomassa.
3.4. Pemetaan Tanaman
Pengembangan pembangkit energi biomassa paling baik dilakukan dengan membangun hutan tanaman energi biomassa di daerah yang relatif kompak (terkonsentrasi pada satu tempat), dan tidak jauh dengan pabrik pengolah biomassa.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan manajemen Perum Perhutani dan pemangku kepentingan, wilayah yang memenuhi persyaratan untuk tanaman energi biomassa adalah wilayah di KPH Semarang, KPH Sukabumi, dan KPH Purwodadi, dengan karakteristik sebagai berikut:
a. Memiliki nilai Kerapatan Bidang Dasar (KBD) di bawah 0,6 dan / atau ditetapkan sebagai daerah yang terdegradasi;
b. Memiliki topografi datar-menengah, yang memungkinkan aktivitas pemeliharaan dan eksploitasi;
c. Memiliki lahan yang cocok untuk menanam tanaman energi biomassa, d. Memiliki probabilitas konflik sosial yang rendah;
e. Area yang kurang terfragmentasi, atau daerah yang terletak di dekat lokasi fasilitas energi yang direncanakan;
f. Daerah yang dekat dengan pembeli potensial produk wood pellet. Beberapa area yang diindikasikan sebagai daerah potensial untuk tanaman energi biomassa telah dikembangkan oleh KPH Semarang bekerjasama dengan kelembagaan Korea, yaitu KOFPI yang menanam biomassa Gliricidia di area seluas 1.500 ha. KPH Sukabumi juga telah menanam Calliandra
callothyrsus di lahan seluas 400 ha, yang dikembangkan sebagai program rehabilitasi lahan. Peta indikatif pengembangan pembangkit energi biomassa di KPH Semarang ditampilkan pada Gambar 12.
Gambar 12: Area indikatif untuk perkebunan biomassa yang berada di KPH Semarang (warna
pink)
KPH Semarang di Jawa Tengah merupakan alternatif utama untuk
pengembangan tanaman energi biomassa karena telah dilakukan uji coba untuk penanaman Gliricidia seluas 1.500 ha, yang akan diperluas menjadi
Wood biomass processor
4.000 ha. Potensi pengembangan pabrik pengolah biomassa berbasis kayu di daerah ini akan mendapat manfaat dari kedekatan dengan bahan baku, dan pelabuhan Tanjung Mas Semarang yang jaraknya cukup dekat.
Pilihan kedua dalam pengembangan tanaman energi biomassa adalah di KPH Sukabumi di Jawa Barat. Pada tahun 1990-an, beberapa wilayah BKPH di bagian KPH Sukabumi ini telah menanam spesies Calliandra sebagai bagian dari program rehabilitasi lahan. Pada saat itu, program tersebut merupakan upaya untuk merehabilitasi kawasan yang rusak akibat pembalakan liar, sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan.
Gambar 13: Area indikatif untuk perkebunan biomassa yang berada di KPH Sukabumi (warna
pink)
Namun karena kendala topografi, pengembangan tanaman energi biomassa di wilayah ini tampaknya akan sulit. Kawasan yang memungkinkan
pengembangan tanaman energi biomassa adalah di wilayah BKPH Lengkong, dengan area yang tersedia untuk tanaman energi biomassa seluas 6.000 ha. Di wilayah ini, topografinya sesuai yaitu rata sampai dengan kemiringan sedang. Kawasan ini juga memiliki aksesibilitas yang tinggi ke pasar lokal wood pellet di Kecamatan Lengkong, Sukabumi dan Bandung Selatan. Peta indikatif pengembangan tanaman energi biomassa potensial di KPH Sukabumi dapat dilihat pada Gambar 13.
Kawasan KPH Purwodadi berdekatan dengan KPH Semarang, yang hanya berjarak sekitar 50 km ke arah timur. KPH Purwodadi belum menetapkan program tanaman energi biomassa tertentu, melainkan menanam tanaman kayu putih yang menghasilkan minyak atsiri dari dedaunnya. Pada tahun kedua, pohon kayu putih dipotong untuk memicu pertumbuhan daun lebih banyak. Batang dan ranting dari potongan kayu putih adalah produk samping biomassa yang saat ini belum dimanfaatkan. KPH Purwodadi akan
mengembangkan tanaman kayu putih seluas 1.000 ha, dan telah menanam sekitar 500 ha. Namun dari keseluruhan wilayah KPH Purwodadi yang bisa dialokasikan untuk tanaman energi biomassa adalah seluas sekitar 4.300 ha.
Gambar 14: Area indikatif untuk tanaman biomassa yang berada di KPH Purwodadi (warna
pink)
Alokasi lahan, pola tanam spasial, dan pengaturan jarak tanam untuk tanaman energi biomassa harus memperhatikan rencana rotasi sistem trubusan, target produktivitas panen terkait dengan jumlah pohon yang akan ditanam dan sistem pemanenan kayu. Selain faktor teknis ini, faktor sosial juga harus diperhatikan, terutama alokasi lahan untuk mengakomodasi kebutuhan lahan pertanian bagi kelompok tani yang merupakan bagian dari resolusi konflik penggunaan lahan.
Gambar 15. Contoh model agroforestri tumpangsari antara kaliandra dan jagung yang
dipraktekan di Ghana (atas kiri) (sumber: Trees for the future), Lamtoro dan kaliandra ditanam secara campuran dengan tanaman jagung di Bungamayang (atas kanan) , dan contoh
penanaman campuran antara pinus dan kaliandra di Kabupaten Wonosobo, Jateng (bawah).
Kemungkinan pola ruang tanam untuk KPH Semarang dan KPH Purwodadi adalah kombinasi tanaman energi biomassa dan tanaman pertanian dengan mengatur ruang tanam khusus untuk tanaman energi biomassa yang dipisahkan menjadi garis tanaman pertanian. Misalnya, untuk area seluas 1 hektar, 75% dapat dialokasikan untuk tanaman biomassa utama, 20% untuk tanaman pertanian, dan 5% untuk jalur inspeksi.
Pola penanaman harus mempertimbangkan sistem pemanenan kayu yang diterapkan. Pada tanaman energi biomassa ada dua alternatif model pemanenan yaitu, pertama, pemanenan manual yaitu pemotongan pohon yang dilakukan dengan pemotong tradisional atau gergaji rantai, dan kedua, pemanenan mekanis yaitu pemotongan pohon pembuatan chip menggunakan traktor dan peralatan khusus.
Gambar 16. (Kiri) Model pemanenan manual tanaman biomassa kaliandra di Bangkalan
Madura. (Kanan) Terubusan tumbuh setelah 3 bulan panen kaliandra di Bangkalan. Gambar ini menunjukan pola panen non-mekanis yang secara tradisional dilakukan oleh petani Bangkalan. Praktik ini adalah bagian dari sistem trubusan daur pendek menggunakan spesies kaliandra. Setelah pemanenan, trubusan akan muncul dan kemudian bisa dipanen kembali setelah 1 tahun tanpa penanaman lagi. Kegiatan ini belum memunculkan masalah terkait patogen. KPH Semarang sebagai bagian dari Perhutani dan Organisasi Korea KOFPI juga telah mempraktekkan pola panen yang sama.
Pemanenan secara manual menghasilkan kayu biomassa dengan panjang tertentu dan diangkut dari blok pemotong dengan cara dipanggul. Sedangkan pemanenan secara mekanis memungkinkan kayu yang diangkut ke tempat tujuan sudah menjadi chip kayu, sedangkan alat pembuat chip kayunya didesain mengikuti traktor. Pada tanah dengan kemiringan tidak melebihi 10% memungkinkan untuk dilakukan pemanenan secara mekanis.
Untuk model pemanen mekanis, pengelola dapat mengatur tata letak tanaman satu baris dengan jarak tanam setiap 2 m antara jalur tanam dan jarak tanam 0,6 - 0,7 m berada dalam barisan, sehingga dalam satu hektar dapat ditanam sebanyak 7.100-8.300 pohon. Jarak antara jalur tanam 2m memungkinkan roda traktor melewati celah tanam dengan aman pada saat pemanenan. Sungguhpun demikian pemanen mekanis tidak menyebabkan kerusakan tanaman karena diterapkannya pola tanam yang ditata secara teratur.
Gambar 17. Alat pemanen Mekanik Penuh untuk Tanaman Trubusan Rotasi Pendek (Sumber:
Dimitriou L)
Rencana silvikultur penanaman biomassa untuk KPH Sukabumi dapat dilakukan dengan penanaman tanaman biomassa murni atau kombinasi antara tanaman biomassa dan tanaman pinus. Dengan topografi berbukit, KPH Sukabumi disarankan untuk menerapkan pemanen non mekanis, dimana menerapkan sistem pemanenan secara manual menggunakan parang atau gergaji mesin secara operasional akan lebih baik. Namun, untuk KPH Semarang atau Purwodadi, karena memiliki banyak lokasi datar sangat memungkinkan menggunakan pemanen secara mekanis penuh.
Dimungkinkan untuk menanam tanaman energi biomassa seluruhnya dengan jarak tanam yang rapat sehingga populasi tanaman dapat dimaksimalkan menjadi 10.000 pohon / ha. Bagi KPH Sukabumi, tanaman energi biomassa dapat ditanam di antara jalur tanam pinus. Jumlah pohon pinus ditargetkan mencapai 200 pohon / ha, dengan jarak tanam rata-rata 7 m x 7 m. Di antara jajaran penanaman pinus selebar 7 m, sekitar 3-4 m dapat digunakan untuk 2-3 baris bibit biomassa (penanaman dua baris), dengan jarak antar jalur 1-1,5 m. Dengan jarak antar tanaman di dalam baris 0,75 m - 1 m, maka kepadatan individu tanaman biomassa bisa mencapai 3.300 - 3.500 pohon / ha. Dengan jumlah populasi tanaman yang lebih kecil, area yang lebih luas dibutuhkan untuk mendapatkan produktivitas biomassa yang lebih besar.
Gambar 18. Contoh lay out penanaman yang disederhanakan dengan satu baris (dengan skala yg tidak tepat). (a) adalah jarak dengan header; (b) adalah jarak dengan pembatas tepi atau tanaman masyarakat; (c) adalah antara batang yg dipanen dalam satu barisan (0.6-0.7 m); (d) adalah jarak antar barisan (2m)
Gambar 19. Sebuah contoh penyederhanaan layout penanaman dengan baris ganda untuk KPH Sukabumi (skala tidak sebenarnya). (A) adalah jarak diantara baris penanaman spesies biomassa (1-1.5m); (B) adalah jarak antara dua tanaman pinus sebagai tanaman pokok (7m); (C) adalah jarak diantara pemotongan batang di dalam baris (0.75-1 m); (D dan E) adalah jarak diantara baris dan tanaman pokok (1.5-2m).
Berdasarkan kunjungan di KPH Sukabumi, disimpulkan bahwa ada dua pilihan model rencana. Yang pertama melakukan pembersihan lahan yang tidak produktif dan mengubahnya menjadi perkebunan energi biomassa tanpa mencampur spesies lain. Pilihan kedua agak lebih baik dengan
mengoptimalkan lahan di antara tegakan pinus yang ada, asalkan tidak mengganggu perkebunan utama. Perhutani memiliki pengalaman menanam pinus dan kaliandra di Kepil, Wonosobo, Jawa Tengah. Jenis pemanenan yang paling mungkin dilakukan di lahan tersebut adalah secara non-mekanik, menggunakan pola panen tradisional dengan pemotong/parang atau gergaji mesin.
A
B
C
D
E
3.4 Gambaran dan pemetaan residu kayu
Residu kayu di areal Perhutani umumnya dihasilkan setelah kegiatan
pemanenan, penjarangan, atau pemangkasan. Residu kayu terdiri dari cabang, batang dan sisa kayu, dan dapat dikumpulkan setelah pemotongan atau pemanenan. Saat ini, residu tersebut pada umumnya merupakan bagian dari produksi hutan yang diberikan kepada masyarakat berkaitan dengan program perhutanan sosial, misalnya: batang dan cabang dari perkebunan kayu putih, rencek ranting jati, dan batang dan cabang Pinus merkusii sebagai produk penjarangan.
Gambar 20: Potongan batang kayu putih menghasilkan residu di KPH Jombang
Berdasarkan wawancara dengan ADM KPH Jombang dan ADM KPH Purwodadi, residu pemotongan kayu putih pemanfaatanya bisa diatur ulang dengan masyarakat setempat jika diarahkan sebagai bahan baku untuk produksi energi biomassa.
Gambar 21: Residu dari hasil panen tanaman pinus yang merupakan bahan energi biomassa.
KPH Sukabumi telah menilai bahwa residu batang pinus yang dipanen menghasilkan nilai ekonomi tinggi, terutama batang dengan diameter di atas 20 cm. Namun, dimungkinkan untuk menggunakan residu batang yang memiliki diameter di bawah 20 cm, dan / atau kayu dengan cacat fisik yang tidak laku dijual.
Gambar 22: Residu dari penjarangan pinus, foto diambil dari http://kayumebel
Selain berasal dari limbah pemanenan, residu kayu berpotensi diambil dari fasilitas pengolahan kayu, seperti serbuk gergaji dan potongan-potongan kayu
dari pabrik penggergajian kayu, fasilitas furnitur, dan fasilitas pengolahan kayu lainnya yang berada di daerah yang berdekatan.
Potensi residu kayu di Jawa Tengah
Selain berasal dari tanaman penghasil biomassa seperti yang diuraikan di atas, juga relevan untuk menentukan apakah ada residu kayu potensial yang dihasilkan dari proses pengolahan kayu yang dapat juga digunakan sebagai feedstocks ke pabrik wood pellet. Tabel 19 pada Lampiran 1 berisi daftar perusahaan di Jawa Tengah yang memiliki potensi sampah kayu yang dapat dikaji lebih lanjut.
Residu kayu di Jawa Barat dan Banten
Daftar serupa juga telah dibuat untuk Jawa Barat dan ditampilkan pada Tabel 20 di Lampiran 1.
Saat ini jumlah yang pasti dan pemanfaatan residu kayu yang berasal dari perusahaan kayu di atas saat ini belum bisa ditentukan. Contoh residu potensial ini ditampilkan pada gambar di bawah ini.
Gambar 23: Potongan residu kayu yang dihasilkan oleh penggergajian di Banten
Gambar 24: Serbuk gergaji dari residu kayu yang dihasilkan oleh pabrik penggergajian kayu di
4 Analisis lokasi potensial dan kapasitas
Apakah itu pembangkit listrik ataupun fasilitas produksi wood pellet, ada sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan dalam penempatannya.
Sementara beberapa aspek sama (yaitu jarak dengan input bahan baku), yang lain akan berbeda, dan keduanya akan dipertimbangkan secara terpisah dalam ikhtisar berikut.
Ada trade-off atau hambatan ekonomi antara investasi di pembangkit yang lebih besar (dengan biaya modal yang relatif rendah) dibandingkan dengan membangun beberapa pembangkit kecil (dengan biaya modal lebih mahal). Membangun beberapa pembangkit kecil mungkin lebih untung karena
letaknya yang lebih dekat dengan persediaan bahan baku (akibat biaya bahan bakar yang lebih rendah) . Dengan demikian, analisis penentuan lokasi dalam bab ini harus dilihat bersamaan dengan analisis pembangkit yang dijelaskan pada bab berikut, dan karena kaitan ini, rekomendasi tentang penentuan lokasi dan kapasitas pembangkit disertakan dalam bab berikut.
4.1 Penempatan bangunan pembangkit listrik
Biaya pengangkutan biomas
Bergantung pada infrastruktur jalan di areal produktif tanaman menyebabkan biaya transportasi mungkin cukup mahal. Ea telah mengembangkan model transportasi jalan sederhana yang mempertimbangkan unsur-unsur berikut:
CAPEX berdasarkan biaya truk dimuka, masa pakai kendaraan, dan tingkat suku bunga
OPEX berdasarkan upah pengemudi, harga bahan bakar & penggunaan, pajak, asuransi, dan biaya O & M
Hari kerja per tahun, jam per hari, km dikemudikan per hari, km dikemudikan kosong, muatan truk bersih, dan margin keuntungan. Elemen penting utama diasumsikan:
o % dari waktu pengangkutan truk kosong, jarak pendek yang kita anggap 50%
o kapasitas angkut truk. Ada dua model truk, satu dengan kapasitas pengangkutan 15 ton, dan satu lagi dengan daya angkut bersih 5 ton
Dikombinasikan dengan perkiraan biaya bongkar muat sekitar 1,5 USD / ton, total biaya untuk pemuatan, pengangkutan, dan pembongkaran sebagai fungsi dari jarak transportasi ditampilkan pada gambar di bawah ini.
Gambar 25: Model Biaya pemuatan dan pengangkuta biomassa kayu di Indonesia sebagai
fungsi jarak transportasi
Kedekatan ke jaringan listrik tegangan tinggi
Aspek kedua yang harus diperhatikan adalah kedekatan dengan jaringan listrik tegangan tinggi dan biaya koneksi. Untuk menilai biaya ini dengan benar, Anda perlu menghubungi bagian perencanaan PLN untuk membahas biaya koneksi dan kode koneksi.
Berdasarkan SK Menteri ESDM no 33/2014 tentang sambungan listrik, biaya koneksi adalah sebagai berikut:
Listrik tersambung Tarif sambungan (Rp)
450 VA 421,000
900 VA 843,300
1.300 VA 1,218,000
2.200 VA 2,062,000
Kedekatan ke air untuk pendinginan
Akses ke air pendingin sangat relevan, karena ini mengarah pada
efisiensi yang lebih tinggi dan biaya investasi yang lebih rendah, karena
menara pendingin tidak diperlukan.
Lokasi industri dekat dengan pembeli energi panas
Lokasi industri yang berpotensi mendapatkan manfaat dari penggunaan panas yang dihasilkan dari pabrik juga memiliki relevansi, karena jika menghasilkan
sumber panas yang signifikan bisa dijual kepada konsumen akan sangat menguntungkan dari sisi keekonomian pembangkit listrik.
4.2 Pembangunan pabrik wood pellet
Bagian berikut akan membahas secara singkat 3 lokasi potensial untuk pabrik pelet kayu.
Lokasi pabrik wood pellet di Semarang
Lokasi pabrik wood pellet di wilayah Semarang, dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan baku biomassa di wilayah KPH Semarang, disarankan ditempatkan di Kecamatan Kedung Jati, dekat akses jalan ke Semarang-Salatiga. Alasan untuk lokasi khusus ini meliputi:
a) Relatif dekat dengan bahan baku biomassa, yang terdiri dari perkebunan Gliricidia yang terletak antara 2 km - 20 km;
b) Dekat dengan pelabuhan Tanjung Mas Semarang, yang jaraknya 35 km, dengan waktu tempuh sekitar 1 jam;
c) Dekat dengan sumber residu potensial dari Semarang, Demak sampai Jepara, yang berada dalam jarak 30 -100 km;
d) Dekat dengan pasar lokal potensial wood pellet di Semarang, Wonosobo, Bandung, Kuningan dan Cirebon.
Gambar 26: Jarak dari Pelabuhan Tanjung Mas ke Kecamatan Kedung Jati
Lokasi pabrik wood pellet di Purwodadi
Lokasi pabrik wood pellet di daerah Purwodadi, dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan baku biomassa di wilayah KPH Purwodadi, disarankan untuk ditempatkan di dekat jalan Akses ke Purwodadi-Semarang. Alasan untuk lokasi khusus ini meliputi:
a) Relatif dekat dengan bahan baku biomassa, terdiri dari perkebunan Gliricidia atau Calliandra yang terletak antara 2 km - 30 km;
b) Dekat dengan pelabuhan Tanjung Mas Semarang, yang jaraknya 63 km, dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam;
c) Dekat dengan sumber residu potensial dari Semarang, Demak, Solo, Pati, ke Jepara, yang berada dalam jarak 60 -150 km;
d) Cukup dekat dengan pasar lokal potensial wood pellet di Semarang, Wonosobo, Bandung, dan Kuningan Cirebon.
Gambar 27: Jarak dari Pelabuhan Tanjung Mas ke Purwodadi
Lokasi pabrik wood pellet di Sukabumi
Lokasi ketiga pabrik pelet kayu ada di Lengkong, Sukabumi, karena: a) Relatif dekat dengan bahan baku biomassa, terdiri dari perkebunan
Gliricidia atau Calliandra yang terletak antara 2 km - 30 km;
kedekatan dengan pasar wood pellet lokal seperti Lengkong (pengering daun teh). Ada juga 4 industri teh lainnya: Goal Para, Geger Bitung, Tugu, dan Bojong Asih yang telah menggunakan wood pellet sebagai bahan bakar alternatif. Lokasi yang diusulkan juga dekat dengan pasar wood pellet di wilayah Bandung selatan (PTPN 8 - perusahaan milik
pemerintah di pabrik pengolahan teh);
b) kedekatan dengan sumber residu potensial dari Sukabumi, Banten, dan dari Jakarta, dengan jarak tempuh 30 km -150 km.
Gambar 28: Jarak dari Bandung ke Lengkong Sukabumi
Namun, jarak ke pelabuhan Tanjung Priok adalah 155 km, atau kira-kira 4,5 jam, jarak yang cukup jauh, sehingga disarankan pemasaran wood pellet dilakukan untuk kebutuhan lokal.
5 Listrik dan wood pellet
5.1 Pasar listrik
Rencana umum penyediaan tenaga listrik nasional (RUPTL) dilaksanakan melalui keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Rencana terakhir adalah RUPTL 2017, yang mencakup target pembangunan menuju tahun 2026. Rencana ini mencerminkan kebijakan dan target di sektor ketenagalistrikan termasuk pertumbuhan energi terbarukan.
Sistem listrik Jawa-Bali menyumbang sekitar 80% dari total kebutuhan listrik Indonesia. Menurut RUPTL, diharapkan ada pertumbuhan yang tinggi untuk permintaan listrik sebesar 8,3% p.a. selama periode 2017-2026. Karena instalasi yang diproyeksikan dan direncanakan akan menggunakan tambahan kapasitas batu bara dan pemanas gas, dimana batas cadangan (hubungan antara kapasitas pembangkit listrik dan permintaan listrik saat tegangan puncak) diproyeksikan jauh di atas nilai target 30%, hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan untuk menambah kapasitas energi tambahan (misalnya biomassa) dalam sistem Jawa-Bali akan kurang mendapat perhatian. Pembangunan dan pengoperasian fasilitas pembangkit tenaga listrik di Indonesia memerlukan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL) yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah terkait. Untuk lisensi di bawah yurisdiksi pemerintah pusat, IUPTL dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atas nama Pemerintah Republik Indonesia. Untuk lisensi di bawah yurisdiksi pemerintah provinsi atau daerah, IUPTL dikeluarkan oleh layanan terpadu satu atap (PTSP) atas nama gubernur. Perjanjian pembelian listrik antara pemohon IUPTL dan pembeli (PLN) merupakan prasyarat untuk mendapatkan IUPTL (Saraswati & et al, 2017).
Metode pengadaan dan tarif sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 12 (MEMR). Pada bulan Agustus 2017, Kementerian ESDM mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 50 dengan beberapa perubahan. Fitur utama dalam kedua peraturan adalah mengenai penerapan pembangkit listrik tenaga biomassa ditunjukkan pada Tabel 7 di bawah ini.
Peraturan 12 (Sebelumnya) Peraturan 50 (Setelah Agustus 17) Metode
pengadaan Mekanisme tarif
Metode
pengadaan Mekanisme tarif < 10 MW: feed-in tariff >10 MW: Negosiasi langsung Feed-in tariff berdasarkan lokasi dan tingkat voltase Negosiasi dengan PLN. Harus Build, Own, Operate, Transfer (BOOT) Jika BPP> rata-rata nationaal, mencapai 85% of BPP Jika BPP< rata-rata nasional , BPP
Tabel 7: Metode pengadaan dan sistem tarif pembangkit listrik tenaga biomassa IPP di
Indonesia. BPP adalah biaya lokal pembangkit listrik yang dihitung oleh PLN.
BPP diterbitkan setiap tahun oleh MEMR. Gambar 24 menyoroti fakta bahwa BPP di Jawa-Bali 6,62 sen USD di bawah rata-rata angka nasional (7,39 sen USD). Menurut Permen 50, tarif maksimum yang relevan untuk pembangkit listrik tenaga biomassa pada sistem Jawa-Bali adalah 6,62 sen USD / kWh.
Gambar 30: BPP untuk tahun 2015 dan 2016 di daerah terpilih (PWC, 2017)
Koneksi Grid
Agar bisa menjual listrik, perlu untuk terhubung ke grid PLN. Lokasi koneksi harus disetujui oleh PLN. Konsultan memahami bahwa semua biaya koneksi harus dibayar oleh produsen listrik, walaupun hal ini tidak diatur secara eksplisit dalam peraturan tersebut.
Jaringan transmisi di Jawa terdiri dari sambungan 500 kV, 150 kV dan 70 KV (biru, merah dan hijau pada Gambar 25. Ada daerah potensial yang dapat ditemukan di lokasi yang dikunjungi dan dekat dengan gardu induk 150 KV atau 70 kV yang ada. Ketika Lokasi pilihan sudah ditetapkan, negosiasi dengan Tarif relevan untuk