PERAN HUTAN RAKYAT DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH
DI KABUPATEN SUMEDANG
DADANG ROMANSAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
DADANG ROMANSAH. Peran Hutan Rakyat dalam Perekonomian Wilayah di Kabupaten Sumedang. Dibimbing oleh: Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A.; Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS.
Pengelolaan hutan rakyat ini pada dasarnya bukan merupakan hal baru dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia. Masyarakat di daerah pedesaan telah lama memiliki tradisi mengelola lahan milik mereka sebagai hutan. Penelitian ini mencoba mengungkap peranan hutan rakyat di dalam perekonomian wilayah khususnya di Kabupaten Sumedang. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat minimnya informasi mengenai dampak riil pembangunan hutan rakyat yang ada saat ini.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui praktek pengusahaan hutan rakyat dan tingkat kelayakan finansial pengusahaan komoditas hutan rakyat jenis jati (Tectona grandis) dan mahoni (Swietenia macrophylla) yang dikelola secara monokultur maupun campuran, mengetahui jaringan dan margin pemasaran kayu rakyat jenis jati dan mahoni, mengetahui peran sektor hutan rakyat dalam struktur perekonomian wilayah ditinjau dari total nilai produksi, nilai tambah bruto (NTB),
struktur permintaan serta multiplier output dan pendapatan melalui pendekatan
analisis input output.
Hasil penelitian menunjukkan dari tujuh pola pengusahaan hutan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Sumedang, pola kebun campuran antara jati, mangga, padi dan jagung merupakan pola tanam yang paling menguntungkan bagi petani dengan nilai IRR 47,83%. Pada tingkat suku bunga 18% pola ini menghasilkan nilai NPV sebesar Rp. 13.505.330,- dan BCR 2,25 dengan daur pengusahaan selama 20 tahun. Hal tersebut menunjukkan efektivitas biaya yang tinggi sehingga petani masih mampu mengembalikan modal pinjaman pada tingkat suku bunga 18%.
Pelaku pemasaran dalam tataniaga kayu rakyat terdiri dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, industri penggergajian, industri meubelair, dan pedagang/industri pengolahan antar kabupaten/propinsi. Petani menjual hasil kayu rakyat melalui pedagang pengumpul dalam bentuk pohon berdiri. Dalam tata
niaga kayu rakyat ini petani cenderung hanya berperan sebagai price taker
(pengambil harga). Harga rata-rata di tingkat petani untuk kayu mahoni sebesar
Rp. 283.209,47/m3, sedangkan harga rata-rata kayu jati sebesar Rp.
574.071,71/m3.
Berdasarkan hasil analisis input-output peran hutan rakyat dalam perekonomian wilayah Kabupaten Sumedang relatif kecil dibanding sektor-sektor lainnya. NTB yang dihasilkan sektor hutan rakyat hanya sebesar Rp. 17,36 milyar (0,45%) yang terdiri dari upah dan gaji Rp. 397 juta, surplus usaha Rp. 16,74 milyar, penyusutan Rp. 196 juta dan Rp. 21 juta pajak tak langsung. Selain itu
dilihat dari nilai multiplier output, peningkatan permintaan akhir sektor hutan
PERAN HUTAN RAKYAT DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH
DI KABUPATEN SUMEDANG
DADANG ROMANSAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peran Hutan Rakyat dalam
Perekonomian Wilayah di Kabupaten Sumedang adalah benar-benar hasil
karya saya sendiri yang belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan telah dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2007
J u d u l
: Peran Hutan Rakyat dalam Perekonomian Wilayah
di Kabupaten Sumedang
N a m a Mahasiswa
: Dadang Romansah
N R P
: E051020261
Program Studi
: Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Menyetujui:
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS.
Ketua
Anggota
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
PRAKATA
Hutan rakyat pada dasarnya bukan merupakan hal baru dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Pola pemanfaatan lahan ini sudah berlangsung sejak puluhan
bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu. Saat ini keberadaannya menjadi penting
mengingat banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dari hutan rakyat. Penelitian
dengan judul “Peran Hutan Rakyat dalam Perekonomian Wilayah di Kabupaten
Sumedang” ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar peranan hutan rakyat
dalam perekonomian wilayah Kabupaten Sumedang mengingat cukup besarnya
potensi hutan rakyat di daerah tersebut serta tingkat kelayakan pengusahaan hutan
rakyat oleh masyarakat Sumedang.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada komisi pembimbing Bapak
Prof. Dr. Dudung Darusman, MA dan Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan tulisan ini serta Bapak
Dr. Ir. Hardjanto, MS yang telah banyak memberi saran untuk perbaikan tulisan ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Sumedang atas segala bantuannya serta kepada para
pendamping yang telah mendampingi penulis pada saat pegumpulan data di
lapangan. Tidak lupa ungkapan terima kasih juga disampaikan untuk ayah, ibu, istri
dan anak tercinta yang senantiasa memberikan doa dan dorongan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Walaupun
demikian, penulis mengharapkan tulisan ini dapat memberi manfaat bagi
pembangunan di Kabupaten Sumedang, terutama dalam pengembangan hutan rakyat.
Bogor, Februari 2007
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Mei 1975 di Sumedang Jawa Barat
sebagai putra dari pasangan H. Maman dan Hj. Oom. Pendidikan dasar sampai
tingkat menengah atas diselesaikan di Sumedang mulai tahun 1984 – 1995.
Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di SD Negeri Cibugel pada tahun 1989,
pendidikan menengah pertama di SMP Negeri Cibugel diselesaikan pada tahun
1992 serta pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Sumedang selesai pada
tahun 1995.
Pada tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Institut
Pertanian Bogor pada Fakultas Kehutanan Jurusan Manajemen Hutan dan pada
tahun 2002 diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Perumusan Masalah ... 3
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 4
Kerangka Pemikiran ... 4
TINJAUAN PUSTAKA ... 6
Pengertian Hutan dan Hutan Rakyat ... 6
Biaya Produksi Pengusahaan Hutan Rakyat ... 8
Pendapatan Pengusahaan Hutan Rakyat ... 8
Saluran Pemasaran dan Margin Pemasaran ... 9
Pengertian Wilayah dan Pembangunan Wilayah ... 9
Pengertian Perencanaan Ekonomi... 10
Analisis dan Model Tabel Input-Output ... 11
Peranan Analisis Input-Output ... 13
Analisis Input-Output ... 14
METODOLOGI ... 17
Waktu dan Tempat Penelitian ... 17
Pendekatan ... 17
Jenis Data ... 17
Metode Pengambilan Contoh ... 18
Batasan dan Pengertian (Terminologi) ... 18
Analisis Deskriptif Praktek Pengusahaan Hutan Rakyat ... 19
Analisis Pemasaran Komoditas Hutan Rakyat ... 21
Penyusunan Tabel Input-Output ... 21
Klasifikasi Sektor ... 22
Pengolahan Data ... 23
Analisis Data ... 24
KEADAAN UMUM WILAYAH PENELTIAN Letak Geografis dan Administrasi Pemerintahan ... 31
Kondisi Sumberdaya Alam ... 31
Kependudukan ... 34
Perekonomian ... 35
Konsumsi/Pengeluaran Rumah Tangga ... 38
Keadaan Sarana Transportasi dan Komunikasi ... 39
Penggunaan Lahan ... 41
Perkembangan Hutan Rakyat di Kabupaten Sumedang ... 45
Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Hutan Rakyat ... 49
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51
Karakteristik Petani ... 51
Penguasaan Lahan Hutan Rakyat ... 56
Kerapatan Hutan Rakyat ... 58
Sistem Pengusahaan Hutan Rakyat ... 61
Penggunaan Input Produksi ... 75
Sumber Pendanaan ... 76
Pemasaran Kayu Rakyat ... 76
Tata Usaha Kayu Rakyat ... 88
Analisis Kelayakan Usaha Hutan Rakyat ... 92
Kontribusi Hutan Rakyat Bagi PAD ... 96
Peran Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Wilayah ... 98
KESIMPULAN DAN SARAN ... 107
DAFTAR PUSTAKA ... 110
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tabel transaksi input-output sederhana ... 26
2. Luas wilayah Kabupaten Sumedang berdasarkan kelompok ketinggian diatas permukaan laut. ... 32
3. Luas Kabupaten Sumedang berdasarkan jenis tanah ... 33
4. Tingkat curah hujan di Kabupaten Sumedang ... 34
5. PDRB Kabupaten Sumedang berdasarkan harga berlaku periode 1999-2003 ... 37
6. Panjang jalan di Kabupaten Sumedang ... 39
7. Luas lahan menurut jenis penggunaan lahan di Kabupaten Sumedang ... 42
8. Luas Kecamatan Tomo berdasarkan penggunaan lahan ... 43
9. Luas Kecamatan Darmaraja berdasarkan penggunaan lahan ... 45
10. Luas Kecamatan Jatigede berdasarkan penggunaan lahan ... 45
11. Produksi kayu rakyat di wilayah Kabupaten Sumedang tahun 2004 ... 46
12. Jumlah petani responden berdasarkan kelompok umur ... 51
13. Tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian ... 53
14. Pengalaman petani responden dalam mengelola hutan rakyat ... 54
15. Jumlah tanggungan rumah tangga petani di lokasi penelitian ... 55
16. Luas kepemilikan hutan rakyat di lokasi penelitian ... 57
17. Kerapatan tegakan rata-rata hutan rakyat ... 60
18. Penggunaan tenaga kerja pada pengusahaan hutan rakyat ... 65
19. Perkembangan industri meubel di Kabupaten Sumedang periode 1999-2003 ... 80
20. Harga jual kayu jati dan mahoni di tingkat petani ... 84
21. Komponen biaya tataniaga mahoni rakyat di Kabupaten Sumedang ... 85
22. Komponen biaya tataniaga jati rakyat di Kabupaten Sumedang ... 86
23. Margin rata-rata tataniaga kayu bulat ... 87
24. Hasil analisis finansial pengusahaan hutan rakyat per hektar di Kabupaten Sumedang ... 93
26. Retribusi angkutan hasil hutan kayu rakyat tahun 2004 ... 96
27. Produksi kayu rakyat tahun 2004 ... 97
28. Permintaan antara dan permintaan akhir sektor-sektor
perekonomian Kabupaten Sumedang Tahun 2003 ... 99
29. Konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah terhadap sektor
perekonomian di Kabupaten Sumedang Tahun 2003 ... 100
30. Kontribusi nilai tambah bruto sektor-sektor perekonomian
Kabupaten Sumedang Tahun 2003 ... 101
31. Distribusi output sektoral perekonomian Kabupaten Sumedang
Tahun 2003 ... 103
32. Multiplier output sektor-sektor perekonomian di Kabupaten
Sumedang ... 104
33. Multiplier pendapatan sektor-sektor perekonomian di Kabupaten
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian ... 5
2. Persentase wilayah berdasarkan ketinggian tempat ... 33
3. Padi sawah siap panen di lokasi penelitian ... 36
4. Perkembangan PDRB sektor pertanian periode tahun 1999-2003 ... 38
5. Perkembangan produksi kayu rakyat di Kabupaten Sumedang ... 47
6. Pemanfaatan lahan berbatu untuk penanaman hutan rakyat ... 56
7. Jumlah tegakan berdasarkan kelas umur: tegakan jati; (b) tegakan mahoni; (c) tegakan seluruh jenis kayuan; dan (d) tegakan kayu-kayuan dan buah-buahan ... 61
8. Proporsi penggunaan tenaga kerja pada pengusahaan tanaman pangan di hutan rakyat ... 66
9. Proporsi penggunaan tenaga kerja pada tanaman hutan pengusahaan hutan rakyat ... 67
10. Proporsi penggunaan tenaga kerja untuk tanaman hortikultur pada pengusahaan hutan rakyat ... 68
11. Proporsi penggunaan pupuk oleh masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat ... 71
12. Proporsi kegiatan penjarangan yang dilakukan oleh responden pada pemeliharaan hutan rakyat ... 73
13. Obat pembasmi hama tradisional yang digunakan petani ; (a) ekstrak daun mindi, (b) ekstrak daun suren, (c) ekstrak rebung ... 75
14. Alur tataniaga kayu mahoni dan kayu jati ... 77
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta administrasi kabupaten sumedang ... 112
2. Data pokok petani hutan rakyat di Desa Ciranggem dan Desa
Karedok Kecamatan Jatigede ... 113
3. Data pokok petani hutan rakyat di Desa Neglasari dan Desa
Karangpakuan Kecamatan Darmaraja ... 114
4. Data pokok petani hutan rakyat di Desa Jembarwangi dan Desa
Darmawangi Kecamatan Tomo ... 115
5. Rekapitulasi data pokok responden pedagang kayu rakyat di lokasi
penelitian ... 116
6. Rekapitulasi data pokok pemilik industri meubel ... 118
7. Jumlah dan jenis kayu rakyat yang dimiliki oleh petani hutan rakyat ... 120
8. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman
pengelolaan HR pola I di Kab. Sumedang ... 122
9. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola I di
Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000-,) ... 123
10. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil HR pola I di Kab.
Sumedang ... 124
11. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola
I (Df 18%) di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000,-) ... 125
12. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman
pengelolaan HR pola II di Kabupaten Sumedang ... 126
13. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola II di Kab.
Sumedang (x Rp. 1000,-) ... 127
14. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil HR pola II di Kabupaten
Sumedang ... 128
15. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola
II (Df 18%) di Kab. Sumedang (x Rp 1.000,-) ... 129
16. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman
pengelolaan HR pola III di Kab. Sumedang ... 130
17. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola III di Kab.
Sumedang (x Rp 1.000-,) ... 131
18. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil HR pola III di Kab.
Sumedang ... 132
19. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola
III (Df 18%) di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000,-) ... 133
20. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman
pengelolaan HR pola IV di Kab. Sumedang ... 134
21. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil pengelolaan HR pola IV
di Kab. Sumedang ... 135
22. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola IV di
Kab. Sumedang (x Rp 1.000-,) ... 136
23. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola
24. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman
pengelolaan HR pola V di Kab. Sumedang ... 138
25. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola V (x Rp
1.000-,) ... 139
26. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil pengelolaan HR pola V di
Kab. Sumedang ... 140
27. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola
V (Df 18%) di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000,-) ... 141
28. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman
pengelolaan HR pola VI di Kab. Sumedang ... 142
29. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola VI (x Rp
1.000-,) ... 143
30. Produksi dan hasil Penjualan tanaman hasil HR pola VI di Kab.
Sumedang ... 144
31. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola
VI (Df 18%) di Kabupaten Sumedang (x Rp 1.000,-) ... 145
32. Kebutuhan material dan tenaga kerja (HOK) pengadaan tanaman
pengelolaan HR pola VII di Kab. Sumedang ... 146
33. Kebutuhan biaya pengadaan tanaman pengelolaan HR pola VII (x Rp
1.000-,) ... 147
34. Produksi dan hasil penjualan tanaman hasil HR pola VII di Kab.
Sumedang ... 148
35. Arus kas, analisis finansial, analisis sensitivitas pengelolaan HR pola
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian, khususnya sub-sektor kehutanan telah memberikan andil
yang sangat besar dalam pembangunan nasional selama ini. Bahkan sub-sektor
kehutanan pada awal pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru
menjadi tulang punggung perekonomian nasional guna memperoleh dana lancar
yang cepat sebagai modal awal pembangunan. Dana lancar tersebut diperoleh
melalui pemanenan kayu dari hutan alam.
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa kontinuitas pemenuhan kebutuhan
bahan baku kayu yang hanya mengandalkan pasokan dari hutan alam sulit
diharapkan. Demikian pula pasokan dari HTI (Hutan Tanaman Industri) yang
masih jauh dari target. Untuk mengatasi hal tersebut, alternatif lain yang bisa
dikembangkan oleh pemerintah saat ini salahsatunya adalah dengan
mengembangkan dan membangun Hutan Rakyat (HR).
Pengelolaan Hutan Rakyat pada dasarnya bukan merupakan hal baru dalam
kehidupan keseharian masyarakat Indonesia. Masyarakat di daerah pedesaan
telah lama memiliki tradisi mengelola lahan milik mereka sebagai hutan. Hal ini
banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia baik yang ada di Jawa maupun luar
Jawa. Misalnya di Jawa Barat ada yang dinamakan talun, tembawang di
Kalimantan Barat dan repong damar di Krui Lampung. Mereka umumnya
mengelola lahan milik tersebut dengan aneka tanaman keras dan biasanya
dipadukan dengan tanaman pertanian, tanaman perkebunan, rumput pakan ternak
atau dengan tanaman pangan lainnya yang biasanya disebut sebagai pola
agroforestry. Pola ini memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat desa karena dapat dijadikan sumber pendapatan tambahan serta dapat menjamin
terjadinya kontinuitas produksi.
Jawa Barat merupakan daerah yang cukup potensial dalam upaya
pembangunan dan pengembangan hutan rakyat. Demikian pula halnya dengan
Kabupaten Sumedang, dimana sektor pertanian masih merupakan sektor andalan
dalam memacu perekonomian wilayah. Berdasarkan nilai PDRB (Produk
Usaha pada tahun 2002 (BPS, 2002), untuk Kabupaten Sumedang sektor
pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan penyumbang terbesar
dibanding dengan sektor-sektor lainnya yaitu Rp. 1.174.965 juta. Diurutan
selanjutnya adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran Rp. 914.482 juta, sektor
industri pengolahan Rp. 590.410 juta, sektor jasa Rp. 366.904 juta, dan sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Rp. 141.408 juta. Dengan demikian,
sebagai salah satu sektor andalan sektor pertanian tentunya sangat diharapkan
untuk terus berkembang dan mampu menjadi leading sektor (sektor pemimpin)
dalam pembangunan perekonomian wilayah.
Dalam kontribusinya sektor pertanian khususnya kehutanan di Kabupaten
Sumedang telah memberikan peran yang cukup penting sebagai daerah penghasil
kayu baik kayu dari kawasan hutan negara (Perum Perhutani Unit III) maupun
kayu dari tanah milik (hutan rakyat) di Jawa Barat. Berdasarkan data BPS
Kabupaten Sumedang (2002), jenis kayu yang selama ini menjadi produk utama
dari wilayah Kabupaten Sumedang adalah kayu jati, mahoni, dan pinus. Produksi
ketiga jenis kayu tersebut dari areal hutan rakyat mengalami peningkatan pada
tahun 2002 dibanding tahun sebelumnya, sementara produksi dari Perum
Perhutani mengalami penurunan seiring dengan pelaksanaan moratorium logging.
Produksi kayu jati rakyat tahun 2001 sebesar 5.724,9 m3 meningkat pada tahun
2002 menjadi 10.367,4 m3. Demikian pula dengan jenis kayu mahoni, tahun 2001
sebesar 14.319 m3 meningkat menjadi 24.080,7 m3 pada tahun 2002. Sedangkan
untuk kayu pinus mengalami penurunan dimana pada tahun 2001 produksi kayu
pinus sebesar 1.907,6 m3 menjadi 1.165,7 m3 pada tahun 2002. Namun secara
keseluruhan produksi kayu dari hutan rakyat di Kabupaten Sumedang pada tahun
2002 mengalami peningkatan dimana tahun 2001 hanya menghasilkan kayu
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka permasalahan dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Berapa besar peranan hutan rakyat terhadap total nilai produksi (output),
NTB (Nilai Tambah Bruto), struktur permintaan dan multiplier output dan
pendapatan terhadap sektor-sektor lainnya.
b. Berapa besar tingkat kelayakan secara finansial pengusahaan komoditas
kayu rakyat yang dikembangkan oleh petani.
c. Bagaimana peranan kelembagaan dalam pengelolaan hutan rakyat di
Kabupaten Sumedang.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
a. Mengetahui praktek pengusahaan hutan rakyat dan tingkat kelayakan
secara finansial pengusahaan komoditas hutan rakyat jenis jati (Tectona
grandis) dan mahoni (Swietenia macrophylla) yang dikelola secara monokultur (murni) maupun campuran.
b. Mengetahui jaringan dan margin pemasaran kayu rakyat jenis jati dan
mahoni
c. Mengetahui peran sektor hutan rakyat dalam struktur perekonomian
wilayah Kabupaten Sumedang ditinjau dari total nilai produksi, Nilai
Tambah Bruto (NTB), struktur permintaan serta multiplier output dan
pendapatan.
Manfaat Penelitian
Sehubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka penelitian ini
diharapkan bermanfaat untuk:
a. Informasi dasar bagi para penentu kebijakan perekonomian wilayah
dalam membuat rumusan program pembangunan ekonomi, khususnya
b. Landasan analisis untuk menggali sumber pertumbuhan ekonomi baru
terutama untuk pengembangan hutan rakyat guna meningkatkan taraf
hidup masyarakat, terutama masyarakat pedesaan.
Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini, potensi dan peranan hutan rakyat dalam struktur
perekonomian wilayah di Kabupaten Sumedang perlu diungkap mengingat
minimnya informasi mengenai dampak riil pembangunan hutan rakyat yang ada
saat ini. Secara makro perkiraan peranan hutan rakyat terhadap perekonomian
wilayah dilakukan dengan pendekatan analisis input output. Dengan demikian
maka dapat dilakukan analisis pengaruh sektor hutan rakyat terhadap ekonomi
regional juga terhadap sektor perekonomian lainnya.
Untuk mengetahui peranan hutan rakyat di tingkat petani dilakukan melalui
analisis pengusahaan hutan rakyat secara mikro. Parameter yang digunakan antara
lain tingkat kelayakan pengusahaan hutan rakyat dan saluran pemasaran.
Pola-pola pengusahaan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat perlu dianalisis dan
dikembangkan agar dapat memberikan hasil yang lebih maksimal. Demikian pula
dengan pola pemasaran yang selama ini berlangsung perlu dikaji sehingga dapat
memberikan manfaat yang berimbang bagi setiap pelaku pemasaran.
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Lembaga Pemasaran
PENGUSAHAAN HUTAN RAKYAT
Makro Mikro
Kontribusi komoditas hutan rakyat
thd PDRB
Keterkaitan thd sektor
perekonomi-an lain
Tingkat Kelayakan
Wilayah Petani
Analisis Input-Output Metode
Non-Survey
Analisis Pengusahaan Hutan Rakyat jenis jati dan mahoni:
1. Analisis Finansial dan Sensitivitas (NPV, BCR, IRR)
2. Margin Pemasaran
3. Lembaga Pemasaran: (Saluran Tata Niaga)
Harga
Dampak pengusahaan hutan rakyat terhadap:
1. Nilai Produksi/Output Wilayah
2. Nilai Tambah Bruto 3. Permintaan Akhir 4. Multiplier Effect
Analisis Pengusahaan Hutan Rakyat jenis jati dan mahoni :
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Hutan dan Hutan Rakyat
Dalam pasal 1 ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan
dinyatakan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumberdaya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan statusnya
hutan terdiri dari hutan hak dan hutan negara dimana hutan hak adalah hutan yang
berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah, sedangkan hutan negara adalah
hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan hak
tersebut sering disebut dengan hutan rakyat.
Awang (2003) menyatakan ciri dari hutan rakyat adalah bahwa kegiatan
penanaman pohon tersebut dilaksanakan di atas lahan milik rakyat. Walaupun
demikian kegiatan ini dapat juga dilaksanakan di atas lahan negara yang
diperuntukkan untuk kegiatan penanaman pohon, dan manfaatnya untuk
masyarakat. Hutan rakyat ini ada yang bersifat subsisten dan ada yang dengan
tujuan komersial. Program hutan rakyat biasanya diawali dengan satu kampanye
dari pihak pemerintah kepada rakyat yang sebagian lahannya terlantar karena
kritis. Lahan kritis ini bisa saja terjadi di lahan petani kecil maupun petani besar.
Berdasarkan UU Kehutanan No.41 tahun 1999 pengembangan hutan rakyat
diarahkan kepada usaha-usaha rehabilitasi dan konservasi lahan di luar kawasan
hutan negara, penganekaragaman hasil pertanian yang diperlukan oleh
masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat, penyediaan kayu sebagai bahan
baku bangunan, bahan baku industri, penyediaan kayu bakar, usaha perbaikan tata
air dan lingkungan, serta sebagai kawasan penyangga bagi kawasan hutan negara.
Pengelolaan hutan rakyat tersebut sangat layak untuk dioptimalkan jika mengingat
adanya tantangan berat bagi rehabilitasi hutan kita yang semakin hancur dewasa
ini.
Di Indonesia kegiatan pengembangan hutan rakyat pada dasarnya ada dua
bentuk: 1) penanaman pohon yang bersifat swadaya, 2) penanaman pohon di atas
penghijauan dan gerakan sejuta pohon. Hutan rakyat swadaya dapat dijumpai di
daerah Gunung Kidul, pengembangan sengon di Purworejo, Wonosobo,
Sukabumi, Garut, Sleman dan masih banyak tempat lainnya.
Dephut (1990) mengemukakan bahwa berdasarkan jenis dan pola
penanamannya hutan rakyat digolongkan ke dalam bentuk-bentuk hutan rakyat
murni, hutan rakyat campuran, dan hutan rakyat dengan sistem wanatani atau
tumpang sari. Hutan rakyat murni adalah hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis
tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara monokultur. Hutan rakyat
murni lebih mudah dalam pembuatan, pengelolaan dan pengawasannya namun
dari segi silvikultur bentuk hutan rakyat murni memiliki beberapa kelemahan,
diantaranya mudah dan peka terhadap serangan hama dan penyakit dan gangguan
alam seperti angin. Dari segi ekonomi hutan rakyat murni kurang fleksibel, tidak
ada diversifikasi komoditas, sehingga ketahanan ekonominya kurang karena
tergantung hanya pada satu jenis komoditas dan resiko yang besar.
Hutan rakyat campuran adalah hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis
pohon-pohonan yang ditanam secara campuran. Dari segi silvikultur bentuk hutan
ini lebih baik daripada hutan rakyat murni. Hutan rakyat campuran lebih tahan
terhadap serangan hama penyakit dan gangguan alam (angin). Selain itu dapat
mengurangi terjadinya persaingan penggunaan zat hara oleh akar dan penggunaan
cahaya matahari. Dari segi ekonomi, hutan rakyat campuran memiliki ketahanan
dan fleksibilitas yang lebih tinggi, karena terdapat diversifikasi komoditas secara
horizontal dan resiko yang lebih kecil sehingga tidak tergantung pada satu
komoditas saja.
Hutan rakyat dengan sistem wanatani merupakan hutan rakyat yang
mempunyai bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan usahatani lainnya seperti
perkebunan, pertanian, peternakan dan lain-lain secara terpadu pada suatu lokasi.
Hutan rakyat dengan sistem wanatani berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan
lahan, baik dari segi ekonomi maupun ekologi. Bentuk hutan seperti ini
mempunyai daya tahan terhadap hama penyakit dan angin. Secara ekonomi,
bentuk hutan ini memberikan keuntungan ganda melalui pemanenan bertahap
horizontal mengakibatkan nilai ekonomi diperoleh semakin tinggi dan penyerapan
tenaga kerja semakin banyak dan berkelanjutan.
Biaya Produksi Pengusahaan Hutan Rakyat
Biaya adalah satuan-satuan nilai yang dikorbankan untuk proses produksi.
Pengorbanan ini hanya merupakan biaya, jika nilai yang dikorbankan mempunyai
nilai ekonomis yang bertujuan untuk memprodusir barang-barang atau jasa
(Adikoesoemah, 1982).
Dalam pengusahaan hutan rakyat untuk jenis sengon, petani hutan rakyat
umumnya menjual hasil hutannya berupa kayu dalam bentuk pohon berdiri
kepada pedagang perantara (tengkulak). Oleh karena itu maka biaya pemanenan,
pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran tidak ditanggung oleh petani
melainkan ditanggung oleh pembeli (Wahyuningsih, 1993). Dengan demikian,
biaya produksi yang ditanggung oleh petani hanyalah biaya pembangunan
pengelolaan hutan mulai dari biaya sewa tanah, pengadaan barang modal
(peralatan), pengadaan bibit, tenaga kerja, pupuk, obat-obatan pembasmi hama
dan penyakit, bunga modal dan pajak.
Pendapatan Pengusahaan Hutan Rakyat
Pendapatan dari pengusahaan hutan rakyat diperoleh dari penjualan hasil
hutan rakyat berupa kayu pertukangan maupun kayu bakar. Besarnya pendapatan
dari pengusahaan hutan rakyat dapat dihitung berdasarkan kepada banyaknya
rata-rata panen dari bentuk produk pohon berdiri per satuan luas dikalikan dengan
harga yang berlaku saat itu.
Menurut Sumarta (1963), besarnya pendapatan/penerimaan dari
pengusahaan hutan rakyat belum merupakan indikator bagi besarnya keuntungan
yang diperoleh petani pemilik karena masih tergantung kepada besar kecilnya
ongkos produksi yang dikeluarkan. Besarnya keuntungan pengusahaan hutan
rakyat tergantung pada faktor-faktor lokasi (ekonomi) dan kesuburan tanah, cara
Saluran Pemasaran dan Margin Pemasaran
Saluran pemasaran adalah saluran yang digunakan produsen untuk
menyalurkan produknya kepada konsumen. Dalam proses penyaluran produk dari
petani hingga ke tangan konsumen memiliki banyak alternatif saluran pemasaran
dan melibatkan lembaga-lembaga pemasaran yang merupakan badan yang
meyelenggarakan kegiatan dan fungsi pemasaran. Produk-produk yang melalui
beberapa lembaga pemasaran akan mengalami peningkatan harga. Peningkatan
harga ini terjadi karena adanya biaya yang harus dikeluarkan dalam proses
pendistribusian dan keuntungan yang diambil oleh masing-masing lembaga
pemasaran. Biaya-biaya yang digunakan oleh lembaga pemasaran ditujukan
untuk melakukan fungsi pemasaran yang akan dapat meningkatkan kegunaan,
bentuk, waktu dan tempat dari produk yang didistribusikan.
Hanafiah dan Saefudin (1986), mengemukakan bahwa panjang pendeknya
saluran pemasaran suatu barang niaga ditandai dengan berapa banyaknya
pedagang perantara yang dilalui oleh barang niaga tersebut sejak dari produsen
hingga konsumen akhir. Bila pedagang perantara yang dilaluinya banyak maka
dikatakan bahwa saluran pemasaran dari barang niaga tersebut panjang.
Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses barang dari
produsen ke konsumen akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut
diantara tingkat produsen dan konsumen akhir dan semakin besar pula harga yang
harus dibayar oleh konsumen akhir. Perbedaan harga tersebut disebut margin
pemasaran.
Pengertian Wilayah dan Pembangunan Wilayah
Wilayah merupakan suatu nodal atau polarisasi yang terdiri atas
satuan-satuan homogen, seperti kota dan desa yang secara fungsional saling terkait
(Sukirno, 1976). Atas dasar pengertian tersebut, wilayah diklasifikasikan menjadi
tiga tipe wilayah yaitu, (1) wilayah formal, (2) wilayah fungsional, dan (3)
wilayah perencanaan. Wilayah formal diartikan sebagai bagian dari permukaan
bumi atau wilayah geografis yang seragam menurut kriteria tertentu. Pada
awalnya digunakan keseragaman fisik (topografi, iklim, dan vegetasi), kemudian
diartikan sebagai wilayah geografis yang memperlihatkan suatu koherensi
fungsional tertentu, sementara wilayah perencanaan merupakan kombinasi antara
wilayah formal dan wilayah fungsional.
Selanjutnya Glasson (1977) menyatakan bahwa wilayah perencanaan
tersebut antara lain haruslah cukup besar untuk mengambil keputusan-keputusan
investasi berskala ekonomi dan harus mampu memasok industrinya sendiri
dengan tenaga kerja yang diperlukan. Disamping itu, sekurang-kurangnya harus
mempunyai satu titik pertumbuhan dengan menggunakan suatu cara pendekatan
perencanaan pembangunan dimana masyarakat mempunyai kesadaran bersama
terhadap semua persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, pembangunan atau
pengembangan wilayah dalam arti sempit dapat diturunkan dari pengertian
regional development, sedangkan dalam arti luas dikembangkan dari pengertian
regional planning yang lebih menekankan analisisnya pada aspek-aspek tata ruang, tataguna lahan dan perencanaan.
Menurut Todaro (1983), keberhasilan pembangunan suatu negara harus
didasarkan pada empat kriteria yaitu: (1) pendayagunaan tenaga kerja, (2)
pengurangan tingkat kemiskinan, (3) kebijakan untuk distribusi pendapatan, dan
(4) peningkatan produktivitas tenaga kerja. Keempat kriteria tersebut harus
berjalan secara simultan, sehingga di dalam proses pembangunan yang sedang
berjalan terlihat adanya perubahan struktur masyarakat, keuntungan untuk seluruh
masyarakat melalui distribusi pendapatan, pertumbuhan ekonomi yang cepat dan
efisiensi.
Pengertian Perencanaan Ekonomi
Perencanaan merupakan suatu proses yang berkesinambungan dari waktu ke
waktu dengan melibatkan kebijaksanaan (policy) dari pembuat keputusan
berdasarkan sifat sumberdaya yang tersedia dan disusun secara sistematis
(Soekartawi, 1990). Dalam prakteknya dibedakan menurut skala jangkauan
jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Oleh karena itu suatu
perencanaan akan selalu berkesinambungan dan bertahap serta saling berkait
Ardani dan Iswara dalam Soekartawi (1990) menyatakan bahwa perencanaan biasanya mengandung beberapa elemen, antara lain:
a. Perencanaan yang diartikan sebagai pemilihan alternatif
b. Perencanaan yang dapat diartikan sebagai pengalokasian berbagai sumberdaya
yang tersedia
c. Perencanaan yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mencapai sasaran, dan
d. Perencanaan yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mencapai target
sasaran yang dikaitkan dengan waktu masa depan.
Menurut Dalton dalam Jhingan (1999), perencanaan ekonomi dalam
pengertian yang paling luas adalah pengaturan dengan sengaja oleh orang yang
berwenang mengenai sumber-sumber kegiatan ekonomi ke arah tujuan yang
ditetapkan. Selanjutnya Lewis dalam Jhingan (1999) mengartikan perencanaan
ekonomi sebagai suatu rencana pengorganisasian perekonomian di mana pabrik,
perusahaan, dan industri yang terpisah-pisah dianggap sebagai unit-unit terpadu
dari satu sistem tunggal dalam rangka memanfaatkan sumber yang tersedia untuk
mencapai kepuasan maksimum kebutuhan rakyat dalam waktu yang telah
ditentukan.
Dalam perencanaan pembangunan regional terdapat beberapa teknik analisis
regional yang dapat dipergunakan untuk menentukan atau memilih aktivitas
ekonomi yang dikembangkan dalam suatu daerah atau menentukan lokasi yang
sesuai dengan aktivitas ekonomi. Teknik-teknik yang dimaksud ini antara lain
Basis Ekonomi, Multiplier Regional, Model Gravitasi, Analisis Titik
Pertumbuhan dan Analisis Input-Output (Richardson, 1972).
Analisis dan Model Tabel Input-Output
Pendekatan
Analisis input-output untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Wassily
Leontief pada tahun 1930 yang didasarkan pada pendekatan bahwa hubungan
interdependensi antara suatu sektor dengan sektor lainnya dalam perekonomian
adalah sedemikian rupa sehingga dapat dinyatakan dalam rangkaian persamaan
linier. Sedangkan keadaan struktur perekonomian terlihat pada besarnya nilai-nilai
adalah untuk menjelaskan besarnya arus antarindustri atau antar sektor
sehubungan dengan tingkat produksi masing-masing sektor. Untuk itu diperlukan
beberapa asumsi dasar yaitu :
1. Tiap komoditas (kelompok komoditas) dihasilkan oleh suatu industri
atau sektor produksi saja.
2. Input yang dibeli atau digunakan oleh tiap sektor merupakan suatu
fungsi linier dari tingkat output sektor bersangkutan.
3. Efek total dari pelaksanaan berbagai tipe produksi merupakan jumlah
masing-masing sektor secara terpisah. Hal yang demikian ini juga
disebut sebagai asumsi additivitas yang mengabaikan faktor-faktor luar.
Fungsi utama dari model input-output Leontief adalah dapat memberikan
dasar bagi eksplorasi empiris di dalam wahana interaksi interindustri. Model ini
memberikan kerangka yang konsisten dalam pengumpulan data, walaupun dalam
pengujian asumsinya masih menunjukkan formulasi teoritis yang komplek.
Model-model komplek seperti ini dibutuhkan data yang banyak dengan tetap
menggunakan prinsip dasar model analisis interindustri.
Lebih lanjut Glasson (1977) menyatakan model input-output dapat
digunakan untuk meramalkan pengaruh pengganda output, pengganda pendapatan
dan pengaruh pengganda tenaga kerja bagi setiap sektor ekonomi suatu wilayah.
Apabila suatu target telah ditetapkan, misalnya maksimalisasi pendapatan wilayah
atau tenaga kerja, maka analisis input-output dapat digunakan untuk menentukan
sektor-sektor yang perlu mendapat injeksi investasi.
Model tabel
Miernyk (1969) menyatakan bahwa pada dasarnya sistem analisis Leonitief
merupakan tabel transaksi input-output, yang penyusunannya mempunyai
fleksibilitas pengklasifikasian penentuan sektor-sektor dalam tabel input-output
tersebut. Sektor industri ataupun sektor-sektor lainnya dapat dipecahkan ke suatu
tingkat detail sesuai dengan yang diinginkan dalam batas data yang tersedia.
Demikian juga untuk sektor-sektor pembayaran (payment sectors) atau komponen
permintaan akhir (final demand) dapat dipecahkan ke dalam sektor yang
Sehubungan dengan ketentuan teoritis, O'Connor dan Henry (1975)
menyatakan bahwa tabel input-output harus disusun berdasarkan perlakuan impor
secara kompetitif dan berdasarkan perlakuan impor secara non-kompetitif. Tabel
input-output yang disusun berdasarkan perlakuan impor secara kompetitif, nilai
impor dimasukkan ke dalam kolom khusus dengan tanda negatif dan ditempatkan
di sebelah kanan dari kuadran permintaan akhir. Disamping itu, dalam tabel ini,
arus transaksi antar industri dalam tabel terdiri atas komoditas, baik yang berasal
dari sumber domestik maupun yang berasal dari impor.
Tabel yang disusun berdasarkan impor secara non-kompetitif, maka nilai
impor tersebut ditempatkan dalam baris tersendiri di dalam kuadran input primer.
Selain model yang lain lagi yaitu model statis, model regional dan model
interegional. Pada tabel input-output model statis disusun berdasarkan data yang
terjadi pada saat tertentu sehingga koefisien-koefisien yang diperoleh juga bersifat
disusun untuk tujuan analisis suatu daerah tertentu dan penyusunannya didasarkan
pada data daerah yang bersangkutan. Untuk model interegional, tabel input-output
disusun untuk tujuan analisis antar daerah. Oleh karena untuk kepentingan antar
daerah, maka dalam penyusunannya harus didasarkan pada pengelompokkan
sektor-sektor kegiatan ekonomi menurut daerah. Hal demikian dimaksudkan
untuk dapat melihat hubungan transaksi baik antarsektor maupun antar daerah.
Peranan Analisis Input-Output
Menurut Miernyk ( 1969), bahwa penggunaan analisis input-output pada
dasarnya ditujukan untuk berbagai keperluan, diantaranya adalah untuk
mengetahui :
Struktur perekonomian
Tabel input-output secara simultan menggambarkan hubungan permintaan
dan penawaran pada tingkat keseimbangan. Dimana dalam kondisi struktur
perekonomian yang seimbang ini maka baik interaksi maupun interdependensi
antar segenap struktur ekonomi bisa diketahui pola dan kecenderungan
Peramalan ekonomi
Hubungan antara permintaan akhir dengan tingkat output terdapat hubungan
yang bersifat linier. Atas dasar hubungan yang demikian ini, dengan melalui
perlakuan (menentukan nilai permintaan akhir sedemikian rupa sesuai dengan
nilai yang diprediksi akan terjadi di masa mendatang), maka akan dapat dilihat
pengaruhnya terhadap tingkat output (pertumbuhan ekonomi) di masa yang akan
datang.
Sehubungan dengan peramalan ekonomi, Stone ( 1966) menyatakan bahwa
dengan melalui metode RAS terhadap tabel input-output maka informasi
perekonomian dimasa mendatang dapat diketahui. RAS tersebut diartikan sebagai
suatu perkalian antara R sebagai pengali pengganti yang beroperasi di sepanjang
baris, A sebagai matriks koefisien input antara dan S sebagai pengali fabrikasi
yang beroperasi di sepanjang kolom.
Akibat dari permintaan akhir
Melalui proses pengolahan data maka dari tabel input-output dapat
dihasilkan berbagai jenis nilai koefisien, yang masing-masing mempunyai fungsi
analisis sesuai dengan aspek perekonomian yang dikaji. Atas dasar
fungsi-fungsinya tersebut maka melalui tabel input-output dapat diketahui dampak dari
suatu injeksi investasi, seperti halnya terhadap pendapatan, penyerapan tenaga
kerja, keterkaitan antar sektor, kepekaan sektoral, multiplier dan sebagainya.
Kelayakan dan kepekaan sektoral
Tabel input-output juga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
kelayakan ekonomi pengembangan sektoral sekaligus derajat kepekaan sektoral.
Oleh karena itu maka dapat diketahui pula mengenai sektor yang secara nyata
mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian wilayah.
Analisis Input-Output
Melalui mekanisme perhitungan rumus-rumus yang berlaku di dalamnya
maka tabel input-output dapat digunakan untuk mengetahui gambaran
Aspek-aspek yang mempunyai fungsi dan kedudukan penting di dalam analisis
perekonomian suatu wilayah di antaranya adalah :
Efek pengganda
Telah dinyatakan oleh Kadariah (1978) bahwa peningkatan aktivitas
pemimpin sektor (leading sektor) ekonomi di suatu daerah pada masa berikutnya
akan berpengaruh terhadap meningkatnya arus pendapatan ke daerah tersebut,
meningkatkan konsumsi, meningkatkan permintaan barang dan jasa sektor-sektor
lain yang pada akhirnya akan meningkatkan pula aktivitas sektor-sektor lain yang
belum sempat menjadi pemimpin sektor. Demikian pula bahwa apabila terjadi
mekanisme yang sebaliknya maka akan terjadi pengaruh yang sebaliknya pula.
Efisiensi teknis
Mengingat bahwa sistem perekonomian makro suatu daerah pada dasarnya
juga merupakan suatu aktivitas produksi atau aktivitas ekonomi maka sehubungan
dengan tersedianya faktor produksi yang terbatas, perlu dikaji mengenai
kemampuan efisiensi ekonominya. Aktivitas perekonomian suatu daerah
dikategorikan sebagai aktivitas produksi yang efisien apabila dalam menghasilkan
output daerahnya mampu menciptakan proporsi nilai tambah bruto (NTB) yang
lebih besar dari pada kebutuhan input antara.
Sebaliknya bahwa apabila proporsi NTB yang diciptakannya lebih kecil dari
pada proporsi input antara yang dibutuhkan, maka hal demikian berarti
menunjukkan kemampuan produksi daerah yang bersangkutan tidak efisien. Hal
demikian ini pada dasamya juga menunjukkan bahwa aktivitas produksi daerah
yang bersangkutan terlalu menggantungkan pada faktor sumberdaya lingkungan
setempat dari pada mementingkan pertumbuhan ekonomi.
Keterkaitan antar sektor ekonomi
Pada dasarnya upaya pembangunan ekonomi setiap daerah merupakan upaya
menghidupkan segenap sektor perekonomian sebagai satu kesatuan, tetapi
menjadi persoalan adalah bagaimana tingkat keterkaitan antar sektornya
masing-masing, karena tidak semua sektor dalam suatu daerah perekonomian mempunyai
Di dalam pembangunan ekonomi, suatu program dikategorikan efektif
apabila injeksi investasi yang dilakukan lebih cenderung ditujukan kepada
sektor-sektor yang mempunyai derajat keterkaitan yang tinggi. Karena hal demikian
pada dasarnya menunjukkan bahwa nilai keterkaitan antara sektor suatu sistem
perekonomian daerah yang tinggi, juga menunjukkan kemampuan di dalam
menciptakan kekokohan ekonomi daerah. Mengingat kondisi yang demikian ini
berarti mempunyai kedudukan interaksi antarsektor yang kondusif.
Derajat penyebaran antar sektor
Injeksi investasi akan menghasilkan nilai tambah (value added) yang tinggi
apabila sasaran injeksi tersebut diarahkan pada sektor yang mampu menarik
sektor-sektor lainnya untuk meningkatkan outputnya, yang dalam hubungan
analisis input-output disebut sebagai sektor yang mempunyai nilai backward
spread tinggi. Di samping mampu menarik, maka suatu sektor dalam perkembangannya mampu menciptakan kepekaan terhadap perkembangan
sektor-sektor lainnya. Suatu sektor-sektor dapat dikategorikan sebagai sektor-sektor yang peka
terhadap pertumbuhan perekonomian apabila sektor tersebut mampu mendorong
perkembangan sektor-sektor lainnya dalam meningkatkan outputnya, yang dalam
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan data untuk penelitian ini dilakukan selama 6 bulan pada bulan
Oktober 2004 – Maret 2005 di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Penetapan
lokasi penelitian ini didasarkan pada sebaran luasan hutan rakyat dan sebaran jenis
kayu jati dan mahoni di Kabupaten Sumedang. Penelitian dilakukan di 3
kecamatan yaitu Kecamatan Jatigede, Darmaraja dan Tomo.
Pendekatan
Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya,
maka pendekatan yang dipergunakan adalah :
Pendekatan intersektoral dengan analisis input-output
Pendekatan ini dimaksudkan untuk melihat peran dan potensi sektor-sektor
dalam merangsang pengembangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
daerah. Melalui analisis keterkaitan antar sektor dalam tabel transaksi input-output
dapat diketahui pengaruh masing-masing sektor terhadap sektor-sektor lainnya.
Identifikasi daerah
Identifikasi daerah dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai
situasi daerah dengan penekanan pada aspek fisik, penggunaan lahan dan
kependudukan. Di samping itu, dimaksudkan untuk melihat masalah-masalah
daerah yang perlu mendapat prioritas penyelesaian dalam rangka pengembangan
pengusahaan hutan rakyat.
Jenis Data
Dalam penelitian ini, data yang dipergunakan sebagai bahan analisis adalah
data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sumedang dan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan. Selain itu diperlukan pula data primer yang
mencakup informasi karakteristik petani, karakteristik komoditas hutan rakyat
beserta outputnya, jenis kegiatan usaha lainnya diluar hutan rakyat, aspek biaya
dan lembaga lainnya yang berperan atau terkait pembangunan hutan rakyat di
Kabupaten Sumedang.
Metode Pengambilan Contoh
Populasi contoh dalam penelitian ini adalah rumah tangga petani yang
mengusahakan hutan rakyat, pedagang, industri pengolah kayu hasil hutan rakyat,
serta beberapa instansi daerah yang terkait dalam pembangunan hutan rakyat.
Pengambilan contoh dilakukan dengan metode pengambilan contoh tingkat tiga
(three stage sampling). Satuan contoh tingkat pertama adalah kecamatan, satuan contoh tingkat kedua adalah desa, dan satuan contoh tingkat ketiga adalah rumah
tangga. Dalam penelitian ini diambil 3 kecamatan contoh, yaitu di Kecamatan
Darmaraja, Jatigede dan Tomo dimana dari masing-masing kecamatan diambil 2
desa contoh yaitu Desa Ciranggem dan Karedok mewakili Kecamatan Jatigede,
Desa Karangpakuan dan Neglasari mewakili Kecamatan Darmaraja, Desa
Darmawangi dan Jembarwangi mewakili Kecamatan Tomo. Penentuan kecamatan
terpilih dilakukan secara purposive sampling atau contoh yang diarahkan dengan
memperhatikan besar luasan hutan rakyat dan sebaran jenis kayu jati dan mahoni
di wilayah kecamatan tersebut.
Sedangkan contoh tingkat desa dipilih berdasarkan kriteria sedikitnya 50
persen dari seluruh rumah tangganya adalah petani yang memiliki lahan yang
potensial untuk pengusahaan hutan rakyat. Selanjutnya dari masing-masing desa
tersebut diambil sebanyak 10-15 rumah tangga petani contoh yang dipilih secara
acak. Rumah tangga petani contoh ini adalah para petani hutan rakyat yang
mengelola hutan rakyat jenis jati dan mahoni baik secara monokultur maupun
campuran. Untuk pedagang, pengambilan sampel dilakukan terhadap pedagang
kecil (pedagang dalam desa) maupun pedagang besar (pedagang antar kecamatan
maupun antar kabupaten).
Batasan dan Pengertian (Terminologi)
1. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah milik yang terdiri dari
tanaman berkayu dengan berbagai pola tanam baik secara monokultur (murni)
2. Hutan rakyat murni adalah areal hutan rakyat yang seluruhnya ditanami
kayu-kayuan sejenis.
3. Hutan rakyat campuran adalah areal hutan rakyat yang ditanami dengan dua
jenis atau lebih tanaman kayu-kayuan.
4. Kayu rakyat adalah komoditas kayu yang berasal dari hutan rakyat yang
ditanam oleh pemiliknya atau tumbuh secara alami.
5. Pendapatan pengusahaan hutan rakyat adalah pendapatan yang diperoleh dari
penjualan kayu rakyat.
6. Pemasaran kayu rakyat adalah penjualan kayu rakyat dalam bentuk tertentu
(pohon berdiri, kayu bulat, kayu olahan)
7. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada hutan rakyat dengan jenis kayu
mahoni (Swietenia macrophylla) dan kayu jati (Tectona grandis). Oleh karena
itu penyebutan hutan rakyat dalam penelitian ini mengandung pengertian
hutan rakyat dengan jenis kayu mahoni dan kayu jati.
Analisis Deskriptif Praktek Pengusahaan Hutan Rakyat
Untuk mengetahui gambaran umum praktek pengusahaan hutan rakyat
dilakukan analisis deskriptif terhadap data-data yang telah dikumpulkan melalui
wawancara dan kuesioner. Praktek pengusahaan hutan rakyat yang dimaksud
disini adalah meliputi pengalaman mengusahakan hutan rakyat, tujuan utama
penanaman/pengusahaan hutan rakyat, sistem penguasaan lahan (misal: tanah
milik yang meliputi tanah warisan atau tanah hasil jual beli, tanah gadean, tanah
sewa), penggunaan/penyerapan tenaga kerja dari dalam maupun luar rumah
tangga petani, sistem permodalan, sumber bibit jati dan mahoni, pemeliharaan,
pemanenan hasil, waktu menebang/ menjual, perhatian terhadap perkembangan
harga kayu, keanggotaan dalam kelompok tani. Selain itu juga dilakukan analisis
terhadap kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat yang mendukung
Analisis Kelayakan Pengusahaan Komoditas Hutan Rakyat
Untuk menentukan kelayakan usaha dari komoditas hutan rakyat jenis jati
dan mahoni di tingkat petani dilakukan dengan pendekatan analisis BCR, NPV
dan IRR. BCR (Benefit Cost Ratio) merupakan perbandingan antara total
pendapatan terdiskon dengan total biaya terdiskon, NPV (Net Present Value)
merupakan nilai keuntungan bersih pengusahaan saat ini, dan IRR (Internal Rate
of Return) merupakan tingkat kemampuan pemanfaatan modal usahatani dengan membandingkannya terhadap nilai peluang pemanfaatan modal usaha. Secara
matematis ketiga parameter penilai tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
(1) BCR (Benefit-Cost Ratio)
BCR =
∑
∑
= = + + n t n t n t n t i C i B 0 0 ) 1 /( ) 1 /( ………..(1)(2) Net Present Value (NPV)
∑
= + − = n t n i Ct Bt NPV0 (1 )
) (
……… ………….(2)
(3) Internal rate and Return (IRR), yaitu niai i pada saat nilai keuntungan bersih saat ini sama dengan 0.
0 ) 1 ( 0 = + −
∑
= n t n i Ct Bt ………...…………(3) dimana:Bt : Benefit tahun ke-t
Ct : Cost tahun ke-t
n : Lama waktu dalam tahun
t : Tahun ke-…
i : Discount rate (dalam desimal)
Kriteria kelayakan pengusahaan komoditas hutan rakyat dalam penelitian ini
dianggap layak jika:
(1)BCR lebih besar dari 1
Analisis Pemasaran Komoditas Hutan Rakyat
Untuk melihat peranan masing-masing pelaku pemasaran yang terlibat
dalam pemasaran kayu rakyat di daerah penelitian maka dilakukan analisis saluran
pemasaran secara deskriptif.
Margin pemasaran adalah perbedaan harga yang dibayar oleh konsumen
akhir untuk suatu produk dengan harga yang diterima produsen untuk produk
yang sama. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut:
bi si
ji P P
M = − , atau
i ti ji b
M = +π , atau
ti ji i =M −b
π ……….. (4)
Total margin pemasaran (M) secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
∑
=
= n
i ij
j M
M 1
atau Mj =Pr−Pf …...…(5)
Dimana:
Mji : margin lembaga pemasaran tingkat ke-i
Psi : harga penjualan lembaga pemasaran tingkat ke-i
Pbi : harga pembelian lembaga pemasaran tingkat ke-i
bti : biaya pemasaran lembaga pemasaran tingkat ke-i
πi : keuntungan lembaga pemasaran tingkat ke-i
Mj : total margin pemasaran
Pr : harga ditingkat konsumen
Pf : harga ditingkat produsen
Penyusunan Tabel Input-Output
Menurut BPS (2000) tabel input-output (I-O) adalah suatu uraian statistik
dalam matriks yang menggambarkan transaksi barang dan jasa antar berbagai
kegiatan ekonomi. Sebagai suatu metode kuantitatif, tabel I-O memberikan
a. Struktur perekonomian wilayah yang mencakup output dan nilai tambah
masing-masing sektor.
b. Struktur input antara, yaitu transaksi penggunaan barang dan jasa antar
sektor-sektor produksi.
c. Struktur penyediaan barang dan jasa baik berupa produksi dalam negeri
maupun barang impor yang berasal dari wilayah lain.
d. Struktur permintaan barang dan jasa baik permintaan oleh berbagai
sektor produksi maupun permintaan untuk konsumsi, investasi dan
ekspor.
Tabel I-O dibedakan menjadi dua jenis yaitu tabel penyedia dan penggunaan
(supply and use table) dan tabel I-O simetris (symetric input-output table). Tabel penyedia dan pengguna biasanya disebut sebagai tabel I-O empat persegi panjang
(rectangular input-output table). Tabel I-O simetris biasa disebut tabel I-O bujur sangkar atau tabel I-O model Leontief.
Tabel I-O model bujur sangkar dapat berupa tabel komoditas menurut
komoditas atau industri. Tabel I-O yang akan digunakan dalam analisis penelitian
ini adalah tabel I-O model Leontief atau tabel I-O bujur sangkar.
Tabel I-O yang disusun dalam penelitian ini, menggunakan model statis dan
bersifat terbuka dengan periode observasi satu tahun yaitu selama tahun tabel I-O
terakhir disusun. Tabel yang dimaksud adalah Tabel I-O Jawa Barat tahun 2000
dan akan dijadikan sebagai bahan acuan utama dalam penelitian ini.
Klasifikasi Sektor
Dalam penyusunan tabel I-O yang merupakan metode kuantitatif maka
masalah yang dihadapi adalah bagaimana mengidentifikasi secara jelas
kegiatan-kegiatan ekonomi yang sangat beragam tersebut untuk memudahkan mengadakan
penilaian secara kuantitatif.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka jalan yang ditempuh adalah dengan
mengadakan penyederhanaan dimana seluruh kegiatan perekonomian
diklasifikasikan ke dalam satuan-satuan sektor ekonomi dan atau sub sektor agar
Sejalan dengan maksud di atas, maka untuk keperluan penyusunan Tabel
Input-Output Kabupaten Sumedang, seluruh kegiatan ekonomi atau lapangan
usaha yang ada di kabupaten tersebut diklasifikasikan menjadi 15 sektor yaitu :
(1) Tanaman Bahan Makanan, (2) Tanaman Perkebunan, (3) Peternakan, (4)
Hutan Rakyat, (5) Hasil Hutan Lainnya, (6) Perikanan, (7) Pertambangan dan
Galian (8) Industri Pengolahan, (9) Listrik, Air, dan Gas, (10) Bangunan dan
Konstruksi, (11) Perdagangan Besar dan Eceran, (12) Hotel dan Restoran, (13)
Transportasi dan Komunikasi, (14) Bank dan Lembaga Keuangan lainnya, (15)
Jasa-jasa. Dasar klasifikasi yang digunakan sesuai dengan konsep satuan ekonomi
yang dianut yaitu atas dasar satuan kelompok komoditas dan dasar satuan
aktivitas.
Pengolahan Data
Untuk memperoleh tabel I-O Kabupaten Sumedang tahun 2003 data yang
tersedia diolah dengan menggunakan perangkat lunak komputer program GRIMP
versi 7.2 (Generation of Regional Input-Output Model Program). Melalui
penggunaan program ini dapat diperoleh data baru sebagai bahan analisis.
Semua proses pengolahan data tabel input-output yang bertujuan untuk
menyusun tabel input-output baru, dilakukan melalui metode RAS. Metode RAS
ini diartikan sebagai suatu metode yang berupaya memperoleh suatu set multiplier
yang dapat melakukan adjustment terhadap baris maupun kolom sedemikian rupa
sehingga sel-sel dalam matriks dapat sesuai dengan total baris dan total kolom
yang telah ditentukan diluar model.
Metode ini pada dasarnya merupakan sebuah rumus matriks yaitu (A)
merupakan matriks koefisien input antara pada periode t; (R) merupakan matriks
diagonal yang menunjukkan pengganda menurut baris; dan (S) merupakan matriks
diagonal yang menunjukkan pengganda menurut kolom.
Asal rumus RAS dapat dijabarkan dengan menggunakan rumus matematika,
yaitu dengan meminimumkan fungsi ZRAS yang telah ditentukan kendalanya,
yaitu:
ZRAS = Min∑ij[aij,t+1{ln aij, t+1/aij}] ……….(6)
∑i[aij, t+1Xj, t+1] = ∑iXij, t+1 i,j = 1,2,3,….n
dimana:
aij : Koefisien input antara
Xj : Output sektor j
∑jXij : Total permintaan antara terhadap output sektor j
∑iXij : Total input antara yang ditawarkan oleh sektor i
t dan t+1 : periode waktu
n : banyaknya sektor produksi
Analisis Data
Hasil-hasil yang diperoleh dari analisis program GRIMP yang akan
dijelaskan dalam penelitian ini adalah :
Nilai tambah bruto
Dari aspek nilai tambah bruto (NTB) ini dapat diketahui kondisi
perekonomian Kabupaten Sumedang yang meliputi :
1. Besarnya masing-masing komponen yang terkandung di dalam NTB
tersebut yaitu upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak
langsung.
2. Tingkat efisiensi ekonomi daerah, baik terhadap penggunaan segenap
faktor produksi yang tersedia dalam menghasilkan output total daerah
maupun terhadap kemampuan dalam menciptakan besarnya NTB itu
sendiri.
Permintaan akhir
Melalui permintaan akhir (PA) dapat diketahui masing-masing komponen
yang terkandung di dalamnya, yaitu yang meliputi: permintaan konsumsi rumah
tangga, pemintaan konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan
stok dan ekspor netto. Disamping itu, juga dapat diketahui interaksi antar
komponen itu sendiri baik terhadap masing-masing sektor maupun segenap sektor
Khususnya berkenaan dengan ekspor netto maka dapat diketahui
kemampuan perekonomian daerah dalam menciptakan nilai surplus ekonomi
kegiatan ekspor masing-masing sektor. Dalam nilai yang ditunjukkan oleh
komponen ekspor ini, apabila terjadi nilai positif berarti sektor yang bersangkutan
telah mampu melakukan kegiatan ekspor, baik luar negeri, ke luar propinsi
maupun ke luar kabupaten. Sebaliknya, apabila dalam nilai tersebut terjadi nilai
negatif maka hal ini menunjukkan bahwa sektor yang bersangkutan belum mampu
melakukan kegiatan ekspor atau dengan kata lain bahwa sektor tersebut masih
bergantung pada kegiatan impor.
Tingkat ketergantungan faktor input
Tingkat ketergantungan faktor input (TKFI) dimaksudkan sebagai kapasitas
penggunaan faktor input suatu sektor untuk menghasilkan output. Semakin tinggi
nilai TKFI suatu sektor, maka hal demikian menunjukkan semakin tinggi
ketergantungan pada faktor input oleh sektor tersebut untuk menghasilkan output.
Di dalam tabel input-output terdapat dua jenis input, yaitu input antara dan input
primer. Input antara diartikan sebagai segenap faktor input atau biaya, baik dalam
bentuk barang maupun jasa bagi segenap sektor perekonomian yang
penggunaannya adalah secara langsung pakai dan langsung habis.
Input primer diartikan sebagai input atau biaya yang timbul sebagai akibat
penggunaan faktor produksi dalam suatu kegiatan ekonomi. Faktor produksi di
sini terdiri tenaga kerja, lahan, modal dan kewirausahaan. Wujud dari input primer
adalah upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan barang modal dan pajak tak
langsung.
Mengingat kedua input tersebut tidak bisa dipisahkan, maka nilai-nilai
koefisien input keduanya bisa digunakan untuk menganalisis tingkat efisiensi
teknis produksi daerah. Asumsi di sini didasarkan pada dalil bahwa jumlah
koefisien input antara dan koefisien input primer adalah 1. Jika nilai koefisien
input antara lebih besar dari 0,5 maka hal demikian menunjukkan bahwa sektor
yang bersangkutan masih mengutamakan ketergantungan pada penggunaan faktor
produksi (faktor input produksi) daripada mengutamakan penciptaan NTB atau
balas jasa yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Kondisi demikian menunjukkan
Apabila nilai koefisien input primer lebih besar 0,5 maka hal demikian
menunjukan bahwa sektor yang bersangkutan sudah meningkatkan efisiensi teknis
untuk menciptakan NTB atau pendapatan yang bisa dimanfaatkan masyarakat
luas. Jika kondisi ini sudah bisa terjadi berarti sektor yang bersangkutan sudah
mampu melakukan efisiensi teknis demi menghemat penggunaan faktor input.
NTB, PA dan TKFI secara simultan dapat dijelaskan melalui analisis tabel
[image:40.612.127.513.392.611.2]input-output, yaitu dengan menganalisis hubungan antar angka transaksi dalam
tabel. Pada dasarnya penyusunan tabel input-output adalah untuk memperlihatkan
bagaimana output suatu sektor yang dialokasikan ke sektor-sektor lain atau
sebaliknya. Untuk itu dalam tabel input-output secara horizontal atau menurut
baris ditempatkan alokasi output masing-masing sektor ke sektor komponen
lainnya dalam tabel tersebut. Secara vertikal atau menurut kolom ditempatkan
susunan input yang memperlihatkan perincian susunan input masing-masing
sektor yang berasal dari sektor komponen lainnya. Tabel transaksi input-output
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tabel transaksi input-output sederhana
Alokasi Output Permintaan Antara Permintaan
Akhir
Total
Output
Susunan Input Sektor
i …… J …… n
Sektor i Xii …… Xij …… Xn Fi Xi
……… …… …… ……. …… …… ……. …..
Sektor j Xji …… Xjj …… Xjn Fj Xj
……… …… …… …… …… …… …… …...
Sektor n Xni …… Xnj …… Xnn Fn Xn
Input Primer Vi …… Vj …… Vn - V
Total Input Xi …… Xj …… Xn F X
Sumber : Richardson, 1972.
Isian angka menurut kolom menunjukkan input antara maupun input primer
yang disediakan oleh sektor-sektor lain untuk kegiatan produksi sehingga
dihasilkan output. Dari Tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa sektor i akan
X11, X12 dan X13 berturut-turut kepada sektor i, j dan n sebagai permintaan antara
serta sebesar F1 untuk memenuhi permintaan akhir .
Secara aljabar maka alokasi output secara keseluruhan sektor dapat
dirumuskan sebagai berikut :
X11 + X12 +... + Xln + F1 = X1
X21 + X22 +... + X2n + Fi = X2
Xnl +Xn2 +... +Xnn +Fn = Xn ...(7)
rumusan aljabar di atas dapat disimbolkan lebih lanjut menjadi:
Xi Fi Xij n
i
= +
∑
=1
;untuk i=1,2,3 dan seterusnya ...(8)
dimana :
Xij : Besarnya output sektor i yang digunakan sebagai input produksi sektor j
Fi : Permintaan akhir (PA) sektor i
Dengan mengikuti cara membaca seperti demikian maka persamaan
aljabar secara kolom dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan aljabar sebagai
berikut :
X11 + X21 +... + Xn1 + V1 = X1
X21 + X22 +... + Xnj + Vj = X2
X1n +X2n +... +Xnn +Vn = Xn ...(9)
Rumusan aljabar di atas dapat disimbolkan lebih lanjut menjadi :
Xj Vj Xij n
j
= +
∑
=1
; untuk j=1,2,3 dan seterusnya ...(10)
dimana :
Xij : Besarnya output sektor i yang digunakan sebagai input produksi sektor j
Vj : Input primer (NTB) sektor j
Dari Tabel 1 di atas lebih lanjut dapat dianalisis mengenai koefisien input
antara dan koefisien input primer. Koefisien input menggambarkan jumlah unit
input dari masing-masing sektor menurut kolom yang dibutuhkan oleh sektor
tersebut untuk menghasilkan produksi sebesar satu unit. Koefisien input
dibedakan atas koefisien input antara (aij) dan koefisien input primer (vj). Untuk
i ij ij X
X
a = untuk i dan j = 1,2,...n ...(11)
j ij ij
X V
v = untuk i dan j = 1,2,...n ...(12)
dimana :
Xij : Jumlah output sektor i yang digunakan sebagai input oleh sektor j untuk menghasilkan output sebesar Xi
Xj : Total input sektor j, yang besarnya adalah sama dengan total output (Xi)
Vj : Total input primer (NTB) untuk menghasilkan total input (Xj)
aij : Jumlah unit output sektor i yang digunakan sebagai input antara sektor j
untuk menghasilkan output sektor i
vj : Jumlah unit input primer yang dibutuhkan oleh sektor j untuk
menghasilkan output sendiri sebesar satu unit
Dengan koefisien input tersebut dapat disusun matriks sebagai berikut:
a11x1 + a12x2 + ... + ainxn + Y1 = X1
a21x1 + a22x2 + ... + a2nxn + Y2 = X2
... + ... + ... + ... + ... = ....
... + ... + ... + ... + ... = ....
an1x1 + an2x2 + ... + annxn + Yn = Xn ...(13)
Atau dalam bentuk matriks dapat ditulis sebagai berikut:
a11...ain x1 Y1 X1
... ... + ... = ...
an1...ann xn Yn Xn
A X Y X
AX+Y=X Y=X-AX Y=[I-A]X ...(14)
Dimana [I-A] disebut matriks Leontief.
Bentuk matriks Leontief selengkapnya adalah sebagai berikut:
Selanjutnya dari persamaan Y= (I-A)X, didapatkan X= [I-A] –1; dimana
[I-A]-1 merupakan matriks kebalikan Leontief. Fungsi matriks ini dalam Tabel
I-O berguna untuk analisa ekonomi, karena disini tergambar saling keterkaitan
antara sektor baik pada tingkat produksi maupun pada tingkat permintaan akhir.
Dampak pengganda
Beberapa hal yang dapat dihasilkan dari persamaan analisis input-output
yang dibahas dalam penelitian ini adalah pengganda pendapatan dan pengganda
output.
a. Pengganda pendapatan tipe I
Pengganda pendapatan tipe I adalah besarnya peningkatan pendapatan
pada suatu sektor akibat meningkatnya permintaan akhir output sektor tersebut
sebesar 1 unit. Pengganda pendapatan tipe ini merupakan penjumlahan
pengaruh langsung dan tidak langsung dibagi dengan pengaruh langsung yang
dapat dirumuskan sebagai berikut:
MI = Pengaruh langsung + Pengaruh tidak langsung
Pengaruh langsung
Atau secara matematik dapat dirumuskan sebagai berikut:
i n
i
ij i
j
P C P MI
∑
= +
= 1
i = 1,2,3,….n. ……...………..(16)
dimana:
Mij : Pengganda pendapatan tipe I sektor j
Pi : Koefisien input gaji/upah rumah tangga sektor i
Cij : unsur kebalikan matriks Leontief
b. Pengganda pendapatan tipe II
Pengganda pendapatan tipe ini, selain menghitung pengaruh langsung
dan tidak langsung juga menghitung pengaruh induksi (induced effects).
MII = Pengaruh langsung + Pengaruh tidak langsung + Pengaruh Induksi
Pengaruh langsung
j n
j
ij j
j
P D P MII
∑
= +
= 1
j = 1,2,3,…n ………..(17)
MIIj : Pengganda pendapatan tipe II sektor j
Pj : Koefisien input gaji/upah rumah tangga sektor j