• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Manggarai terletak di Kecamatan

Wilayah Manggarai merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian rata rata mencapai 25.15 m di atas permukaan laut, terletak pada 6

Selatan (LS) dan 106 Peta Administrasi Manggarai.

Gambar

Luas wilayah Manggarai sesuai dengan keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 1815 tahun 1989 adalah 0,953 km

wilayah, yaitu:

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kali CIliwung

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Manggarai Selatan • Sebelah Barat berbatasan dengan Pasaraya Manggarai

• Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Bukit Duri

Total jumlah penduduk di Wilayah Manggarai pada tahun 2010 sebanyak 29.535 jiwa dan jumlah rumah tangga sebanyak 7.368 dengan total luas wilayah sebesar 0,953 km

sebesar 30.991 Jiwa/Km2. Manggarai terdiri dari 1

penduduk pada Kecamatan Tebet tertinggi diantara berbagai kecamatan di

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Manggarai

Manggarai terletak di Kecamatan Tebet di wilayah Jakarta Selatan. Wilayah Manggarai merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian rata rata mencapai 25.15 m di atas permukaan laut, terletak pada 6

Selatan (LS) dan 1060 48’ 00” Bujur Timur (BT). Pada Gambar 2 Peta Administrasi Manggarai.

Gambar 2 Peta Administrasi Wilayah Manggarai

Luas wilayah Manggarai sesuai dengan keputusan Gubernur KDKI 1815 tahun 1989 adalah 0,953 km2. Manggarai memiliki batas

Sebelah Utara berbatasan dengan Kali CIliwung

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Manggarai Selatan Sebelah Barat berbatasan dengan Pasaraya Manggarai

Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Bukit Duri

jumlah penduduk di Wilayah Manggarai pada tahun 2010 sebanyak 29.535 jiwa dan jumlah rumah tangga sebanyak 7.368 dengan total luas wilayah sebesar 0,953 km2. Sehingga kepadatan penduduk di Manggarai sebesar 30.991 Jiwa/Km2. Manggarai terdiri dari 12 rukun warga. Kepadatan penduduk pada Kecamatan Tebet tertinggi diantara berbagai kecamatan di

Tebet di wilayah Jakarta Selatan. Wilayah Manggarai merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian rata-rata mencapai 25.15 m di atas permukaan laut, terletak pada 60 15’ 80” Lintang

48’ 00” Bujur Timur (BT). Pada Gambar 2 ditampilkan

Luas wilayah Manggarai sesuai dengan keputusan Gubernur KDKI memiliki batas-batas

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Manggarai Selatan

jumlah penduduk di Wilayah Manggarai pada tahun 2010 sebanyak 29.535 jiwa dan jumlah rumah tangga sebanyak 7.368 dengan total

. Sehingga kepadatan penduduk di Manggarai 2 rukun warga. Kepadatan penduduk pada Kecamatan Tebet tertinggi diantara berbagai kecamatan di

(2)

wilayah Jakarta Selatan. Jenis penggunaan lahan di Manggarai dikelompokkan sebagai berikut: perumahan, industri, dan lain-lain. Persentase penggunaan lahan di Manggarai paling besar digunakan untuk perumahan yaitu sebesar 80.59 %, untuk industri 10.7 % dan paling kecil adalah lainnya yaitu sebesar 8.71 % (BPS 2011).

Manggarai memiliki identitas sebuah wilayah yang kumuh. Kesan tersebut timbul karena aktivitas di lingkungan tersebut yang identik dengan bangunan liar serta rakyat kelas bawah yang mengakibatkan masalah sosial seperti tingkat kriminalitas yang cukup tinggi. Bangunan-bangunan liar tersebut dibangun berdampingan pada bantara sungai Ciliwung, akibatnya terjadi pendangkalan dasar sungai sehingga mengakibatkan banjir.

Karakteristik Anak Balita

Karakteristik anak balita yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah jenis kelamin dan umur. Tabel 4 berikut menunjukkan sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin dan umur.

Tabel 4 Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin dan umur

Karakteristik anak balita n %

Jenis Kelamin

Laki-laki 20 48.8

Perempuan 21 51.2

Total 41 100

Umur balita (bulan)

12-23 bulan 8 19.5

24-35 bulan 18 43.9

36-47 bulan 9 22.0

48-60 bulan 6 14.6

Total 41 100

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa sebagian besar anak balita berjenis kelamin perempuan (51.2%) dan sisanya berjenis kelamin laki-laki (48.8%). Umur balita dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu 12-23 bulan, 24-35 bulan, 36-47 bulan, dan 48-60 bulan. Umur balita berkisar antara 13-50 bulan dengan rata-rata 30.4±9.9. Sebagian besar anak balita berumur antara 24-35 bulan (43.9%), sisanya berumur 12-23 bulan (19.5%), umur 36-47 bulan (22%), dan umur 48-60 bulan (14.6%). Tiga tahun pertama dalam kehidupan anak-anak merupakan masa yang paling sensitif karena masa tersebut dikaitkan dengan golden age atau masa pesat perkembangan otak. Hawadi (2001) dalam Khomsan (2010) menyatakan bahwa usia batita (anak di bawah usia tiga tahun)

(3)

adalah usia dimana anak menuju pada penggunaan bahasa, motorik, dan kemandirian.

Status Gizi Anak Balita

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorb) dan penggunaan zat gizi makanan yang dapat dinilai dengan berbagai cara, salah satunya dengan antropometri.

Indeks status gizi balita antara lain berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan umur (U). Status gizi dinilai berdasarkan indikator berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Pemantauan status gizi anak balita menggunakan baku Depkes RI (2008) dan dihitung berdasarkan skor simpang baku (z-skor). Status gizi anak balita dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran status gizi anak balita (BB/U) berdasarkan jenis kelamin Status Gizi

Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

Buruk 2 10 2 9.5 4 9.8

Kurang 2 10 4 19.0 6 14.6

Baik 16 80 15 71.4 31 75.6

Total 20 100 21 100 41 100

Status gizi anak balita berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U) sebagian besar berstatus gizi baik (75.6%) yang tersebar seimbang pada balita berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, sedangkan sisanya memiliki status gizi buruk (9.8%) dan status gizi kurang (14.6%).

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Berdasarkan karakteristik berat badan, maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariasa 2002).

(4)

Tabel 6 Sebaran status gizi anak balita (TB/U) berdasarkan jenis kelamin Status Gizi

Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

Sangat pendek 4 20 4 19.0 8 19.5

Pendek 6 30 4 19.0 10 24.4

Normal 10 50 13 61.9 23 56.1

Total 20 100 21 100 41 100

Status gizi anak balita berdasarkan tinggi badan menurut umur pada Tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa anak balita memiliki status gizi normal dengan proporsi sebanyak 23%, sedangkan yang berstatus gizi sangat pendek sebanyak 19.5% dan status gizi pendek sebanyak 24.%.

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Indeks ini menggambarkan status gizi pada masa lalu. Beaton dan Bengoa (1973) dalam Supariasa (2002) menyatakan bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi.

Tabel 7 Sebaran status gizi anak balita (BB/TB) berdasarkan jenis kelamin Status Gizi

Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

Kurus 2 10 1 4.8 3 7.3

Normal 18 90 20 95.2 38 92.7

Total 20 100 21 100 41 100

Status gizi anak balita berdasarkan BB/TB sebagian besar normal (92.7%), sebagian kecil kurus (7.3%), dan tidak terdapat balita dengan status gizi sangat kurus atau gemuk (Tabel 7). Menurut Supariasa (2002) berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini. Indeks BB/TB merupakan indeks yang independen terhadap umur.

Status Kesehatan

Status kesehatan seseorang berkaitan dengan keadaan penyakit yang dideritanya dan merupakan hasil dari proses interaksi antara faktor host, agen penyakit, dan lingkungan. Penyakit sendiri dipengaruhi oleh faktor lingkungan,

(5)

keadaan gizi dan imunitas serta akses terhadap layanan kesehatan (Patriasih et

al 2009).

Status kesehatan yang diteliti pada anak balita adalah kejadian sakit, jenis penyakit, frekuensi penyakit, dan lama sakit yang pernah diderita selama dua minggu terakhir. Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar anak balita (61.0%) pernah mengalami sakit dan sebanyak 39.0% anak balita tidak mengalami sakit selama dua minggu terakhir. Menurut Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa indikator kesehatan individu adalah bebas dari penyakit atau tidak sakit, dan tidak cacat.

Tabel 8 Sebaran anak balita berdasarkan status kesehatan

Status Kesehatan n %

Sehat 16 39.0

Sakit 25 61.0

Total 41 100

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan bakteri, virus, jamur, protozoa, cacing, dan alga (Entjang 2000). Jenis penyakit yang sering dialami anak balita adalah batuk (46.3%), pilek (39.0%), dan demam (22.0%). Sebagian kecil anak balita mengalami sesak napas (2.4%) dan lain-lain (7.3%). Soemanto (1990) menyatakan bahwa jenis penyakit yang sering diderita anak balita adalah batuk, pilek, diare, dan panas badan. Sebanyak 39.0% anak balita mengalami lebih dari satu keluhan seperti batuk dan pilek, sisanya hanya mengalami satu keluhan (22.0%) dan tidak ada keluhan (39.0%). Menurut Sukarni (1989), masih tingginya angka kesakitan akibat ISPA di Indonesia disebabkan masih terbatasnya penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan air limbah, dan lingkungan perumahan yang kotor. Penyakit ISPA merupakan penyakit yang mudah ditularkan melalui udara.

Tabel 9 Sebaran anak balita berdasarkan jenis penyakit

Jenis Penyakit n % Batuk 19 46.3 Pilek 16 39.0 Sesak Napas 1 2.4 Demam 9 22.0 Lain-lain 3 7.3

Jumlah n dipengaruhi oleh kejadian penyakit

Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar anak balita menderita sakit selama 1-3 hari yaitu batuk (22.0%), pilek (17.1%), dan demam (17.1%). Batuk, pilek, dan sesak napas termasuk infeksi pada saluran pernapasan (ISPA). Infeksi akut yaitu infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil

(6)

untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang digolongkan dalam ISPA. Proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes 2004 dalam Fitriyani 2008).

Tabel 10 Sebaran anak balita berdasarkan lama sakit (hari) Jenis Penyakit Lama Sakit 1-3 4-7 8-14 n % n % n % Batuk 9 22.0 8 19.5 2 4.9 Pilek 7 17.1 6 14.6 3 7.3 Sesak Napas 0 0.0 1 2.4 0 0.0 Demam 7 17.1 2 4.9 0 0.0 Lain-lain 1 2.4 2 4.9 0 0.0

Frekuensi sakit anak balita selama dua minggu terakhir, seluruhnya mengalami sakit dengan frekuensi 1 kali, namun tidak terdapat anak balita yang mengalami sakit dengan frekuensi 2 kali dan lebih dari 3 kali dalam dua minggu terakhir. Seluruh anak balita menderita penyakit batuk, pilek, dan demam sebanyak 1 kali (46.3%, 39.0%, dan 22.0%).

Tabel 11 Sebaran anak balita berdasarkan frekuensi sakit Jenis Penyakit

Frekuensi Sakit (kali)

1 2 ≥3 n % n % n % Batuk 19 46.3 0 0.0 0 0 Pilek 16 39.0 0 0.0 0 0 Sesak napas 1 2.4 0 0.0 0 0 Demam 9 22.0 0 0.0 0 0 Lain-lain 3 7.3 0 0.0 0 0

Berdasarkan penelitian Dijaissyah (2011) dan untuk keperluan analisis, data skor status kesehatan diperoleh dengan cara mengalikan antara lama sakit dalam hari dengan frekuensi penyakit pada setiap jenis penyakit. Skor kesehatan anak balita dibagi menjadi tiga kategori melalui interval kelas, yaitu tinggi (0-4), sedang (5-9), dan rendah (10-14). Skor kesehatan anak balita dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Sebaran anak balita berdasarkan skor kesehatan

Skor Kesehatan n %

Rendah 3 7.3

Sedang 8 19.5

Tinggi 30 73.2

(7)

Tabel 12 menunjukkan bahwa skor kesehatan anak balita sebagian besar berada pada kategori tinggi ( 73.2%), dan sisanya skor kesehatan anak balita berada pada kategori sedang (19.5%) dan rendah (7.3%). Banyaknya anak balita dengan skor kesehatan dengan kategori tinggi menunjukkan bahwa sebagian besar anak balita memiliki status kesehatan yang baik yaitu dalam proses penyembuhan penyakit yang cepat. Skor kesehatan yang tinggi tersebut dipengaruhi oleh lama sakit dan frekuensi sakit yang diderita oleh anak balita. Tabel 13 Sebaran anak balita yang sakit berdasarkan tindakan pengobatan

Tindakan Pengobatan n % Puskesmas 13 52.0 Klinik 3 12.0 Dokter Praktek 0 0.0 Rumah sakit 1 4.0 Rumah 8 32.0 Total 25 100

Berdasarkan Tabel 13 di atas dapat dilihat bahwa pelayanan kesehatan yang banyak dimanfaatkan dalam tindakan pengobatan untuk anak balita ketika sakit adalah puskesmas (52.0%). Akan tetapi, upaya pengobatan sendiri tanpa memanfaatkan pelayanan kesehatan yaitu di rumah saja dengan membeli obat warung masih banyak dilakukan ketika anak balita sakit (32.0%). Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa perilaku pencarian pengobatan merupakan salah satu perilaku yang berhubungan dnegan kesehatan.

Karakteristik Keluarga Balita Besar Keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota lain yang tinggal bersama dalam satu rumah dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Sebaran responden berdasarkan besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan besar keluarga

Besar Keluarga n %

Kecil (≤4 orang) 26 63.4

Sedang (5-6 orang) 9 22.0

Besar (≥7 orang) 6 14.6

(8)

Jumlah anggota keluarga anak balita berkisar antara 2-9 orang dengan rata-rata 4.6±1.6. Sebagian besar contoh merupakan keluarga kecil dengan jumlah anggota ≤4 yaitu dengan proporsi 63.4%. Sebagian kecil anak balita merupakan keluarga sedang (22%) dan keluarga besar (14.6%). Menurut Sukarni (1989), besar keluarga mempengaruhi kesehatan seseorang atau keluarga karena akan mempengaruhi pula kesehatan anak-anak. Rumah yang padat penghuninya akan menyebabkan berkurangnya konsumsi oksigen dan memudahkan penularan penyakit (Notoatmodjo 2007).

Umur Orangtua

Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas seseorang. Orang yang masih muda memiliki produktivitas yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisik dan kesehatan orang muda yang masih prima (Khomsan et al. 2007). Dilihat dari umur, baik ayah maupun ibu balita masih berada dalam usia produktif, yaitu rata-rata ayah 34.5 tahun dan rata-rata ibu 30.3. sebaran umur orangtua anak balita dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Sebaran orangtua berdasarkan umur

Kategori Umur Ibu Ayah

n % n % <20 tahun 1 2.4 0 0.0 20-40 tahun 36 87.8 32 80.0 41-65 tahun 4 9.8 8 20.0 Total 41 100.0 40 100.0 Rata-rata±Stdev 30.3±8.3 34.5±8.3

Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa baik umur ayah (76.9%) maupun umur ibu (85.4%) sebagian besar berada pada umur antara 20-40 tahun. Umur pada kisaran tersebut termasuk dalam kategori dewasa awal. Hurlock (1980) mengatakan bahwa orangtua muda, terutama ibu cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak, sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orangtua terdahulu.

Pendidikan Orangtua

Tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan, serta status gizi. Orang yang berpendidikan tinggi akan cenderung memilih makanan yang murah namun kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil

(9)

sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik (Suhardjo 1989). Tabel 16 menunjukkan sebaran responden berdasarkan pendidikannya.

Tabel 16 Sebaran orangtua berdasarkan pendidikan

Tingkat Pendidikan Ayah Ibu

n % N % SD 16 40.0 17 41.5 SMP 7 17.5 10 24.4 SMA 14 35.0 14 34.1 Perguruan Tinggi 3 7.5 0 0 Total 40 100 41 100

Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan orangtua masih tergolong rendah. Sebagian besar pendidikan ayah yaitu SD dengan proporsi sebesar 40.0%, begitu pula dengan pendidikan ibu yang sebagian besar adalah SD (41.5%). Namun terdapat 7.5% responden ayah yang berpendidikan Perguruan Tinggi. Menurut Madanijah (2003) yang diacu dalam Ulfah (2008), pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga. Menurut Sukarni (1989), pendidikan orangtua akan menentukan kesehatan, fertilitas, dan status gizi keluarga seperti halnya pelayanan kesehatan dan keluarga berencana.

Pekerjaan Orangtua

Pekerjaan memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain seperti kesehatan (Sukarni 1989).

Tabel 17 Sebaran orangtua berdasarkan pekerjaan

Jenis Pekerjaan Ayah Ibu

n % n % Tidak bekerja 0 0 0 0 Pedagang 6 15 2 4.8 Buruh 8 20 1 2.3 Pemulung 3 7.5 0 0 Jasa 11 27.5 1 2.3 IRT 0 0 37 92.6 Lainnya 4 10 0 0 PNS/ABRI/Polisi 1 2.5 0 0 Karyawan 7 17.5 0 0 Total 40 100 41 100

(10)

Berdasarkan Tabel 17 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar ayah bekerja dibidang jasa (25%) contohnya bekerja sebagai tukang ojek. Sedangkan sebagian besar ibu berstatus sebagai ibu rumah tangga (85.4%). Pekerjaan memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain seperti kesehatan (Sukarni 1989).

Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga

Pendapatan perkapita per bulan anggota keluarga anak balita dihitung berdasarkan jumlah pendapatan keluarga dibagi dengan besar keluarga. Rata-rata pendapatan per kapita anggota keluarga anak balita adalah Rp 533.388,00 dengan standar deviasi adalah Rp 294.027,00. Tabel 18 menunjukkan sebaran responden berdasarkan pendapatan menurut garis kemiskinan.

Tabel 18 Sebaran responden berdasarkan pendapatan keluarga

Kategori n %

Miskin 16 39.0

Tidak Miskin 25 61.0

Total 41 100.0

Berdasarkan Tabel 18 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar (61%) responden termasuk keluarga tidak miskin dengan pendapatan perkapita anggota rumah tangga >Rp 379.052, dan sisanya sebanyak 39% termasuk rumah tangga miskin dengan pendapatan perkapita anggota keluarga ≤Rp 379.052. Pendapatan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Pendapatan keluarga akan menentukan alokasi pengeluaran pangan dan non pangan sehingga apabila pendapatan keluarga rendah maka akan mengakibatkan penurunan daya beli (Firlie 2010). Pada Tabel 19 menunjukkan pengeluaran pangan responden.

Tabel 19 Sebaran responden berdasarkan pengeluaran pangan

Pengeluaran pangan n %

>45% 34 82.9

<45% 7 17.1

Total 41 100.0

Berdasarkan Tabel 19 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden (82.9%) menggunakan lebih dari 45% pendapatannya untuk pangan. Kelompok yang berpendapatan rendah pada umunya mempunyai proporsi paling besar untuk pengeluaran pangan. Berlawanan, dengan kelompok masyarakat berpendapat tinggi, mereka mengalokasikan lebih pendapatan untuk non pangan

(11)

(Sukandar 2007). Di negara-negara berkembang, orang-orang miskin hampir membelanjakan pendapatannya untuk makanan. Di India Selatan keluarga-keluarga yang miskin menghabiskan 80 persen anggaran belanjanya untuk makanan, sedangkan di negara-negara maju hanya 45 persen (Berg 1986).

Pengetahuan Gizi Ibu

Pengetahuan gizi merupakan salah satu jenis pengetahuan yang dapat diperoleh melalui pendidikan. Pengetahuan gizi merupakan aspek kognitif yang mencirikan seseorang memahami tentang gizi, pangan, dan kesehatan (Sukandar 2007). Tabel 20 menunjukkan sebaran responden berdasarkan pengetahuan gizi.

Tabel 20 Sebaran responden berdasarkan pengetahuan gizi

Kategori n %

Baik (>80%) 13 31.7

Sedang (60-80%) 24 58.5

Kurang (<60%) 4 9.8

Total 41 100

Tabel 20 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan gizi sedang dengan proporsi 58.5%, sedangkan responden dengan pengetahuan gizi tinggi sebesar 31.7% dan masih ada responden yang memiliki pengetahuan yang rendah dengan proporsi 9.8%. Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.

Sikap Gizi Ibu

Sikap adalah suatu reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Sikap akan mempengaruhi proses berpikir, respon afeksi, kehendak, dan perilaku berikutnya (Notoatmodjo 2007).

Tabel 21 Sebaran responden berdasarkan sikap gizi

Kategori n %

Baik (18-20) 17 41.5

Sedang (15-17) 17 41.5

Kurang (12-14) 7 17.1

(12)

Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu memiliki sikap gizi dalam kategori baik dan sedang (41.5%) dan hanya 17.1% ibu memiliki sikap gizi dalam kategori kurang. Sikap gizi ibu merupakan sikap ibu yang dapat membedakan mengenai makanan yang bergizi dan aman untuk dikonsumsi serta dalam pemilihan makanan dan zat gizi. Sikap biasanya memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku. Sikap yang positif akan menumbuhkan perilaku yang positif dan sikap negative akan menumbuhkan perilaku yang negatif.

Perilaku Gizi Ibu

Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktifitas seseorang yang bersangkutan. Perilaku merupakan hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon (Skinner 1933 dalam Notoatmodjo 2007). Perilaku adalah pola praktek yang terjadi berulang-ulang dan telah menjadi kebiasaan.

Tabel 22 Sebaran responden berdasarkan perilaku gizi

Kategori n %

Baik (21-25) 14 34.1

Sedang (20-16) 18 43.9

Kurang (11-15) 9 22.0

Total 41 100

Berdasarkan Tabel 22 dapat dilihat bahwa sebagian besar perilaku gizi ibu yang memiliki anak balita berada dalam kategori sedang (43.9%), baik (34.1%), dan masih terdapat ibu yang memiliki perilaku gizi kurang (22%). Menurut Sumintarsih et al. (2000), menyatakan bahwa meskipun didukung oleh pengetahuan yang menumbuhkan suatu sikap dan keyakinan atas sesuatu, belum menjamin bahwa seseorang akan bertindak sesuai dengan apa yang diketahui dan dipahaminya. Perilaku gizi tidak muncul dalam individu tersebut (internal), melainkan merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya (Khomsan 1993 dalam Jayanti 2011).

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Ibu

Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan cerminan pola hidup keluarga yang senantiasa memperhatikan dan menjaga kesehatan seluruh anggota keluarga. Menurut Yoon et al. (1997) dalam Safitri (2010), perilaku hidup sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Tabel 23 menunjukkan sebaran responden berdasarkan PHBS.

(13)

Tabel 23 Sebaran responden berdasarkan PHBS Kategori n % Baik (13-16) 13 31.7 Sedang (9-12) 17 41.5 Kurang (5-8) 11 26.8 Total 41 100

Tabel 23 menunjukkan bahwa secara umum perilaku hidup bersih dan sehat ibu yang memiliki anak balita sebagian besar masih tergolong sedang (41.5%), sebagian kecil sudah baik (31.7%), namun masih ada yang tergolong rendah (26.8%). Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan perilaku yang berkaitan dengan kegiatan seseorang dalam meningkatkan dan mempertahankan kesehatan. Rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat ibu diduga ibu belum memahami mengenai pentingnya untuk berperilaku bersih dan sehat. Nilai perilaku hidup sehat contoh yang baik diharapkan dapat mencerminkan kondisi kesehatan contoh, karena denga perilaku hidup yang sehat berarti telah melakukan usaha pencegahan terhadap penukaran penyakit.

Sanitasi Lingkungan

Sanitasi lingkungan adalah usaha-usaha pengendalian dari semua faktor-faktor lingkungan fisik manusia yang menimbulkan atau dapat menimbulkan hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan, dan daya tahan hidup manusia. Rumah yang ditempati oleh responden ada yang milik sendiri, milik orangtua, dan ada yang mengontrak, dengan luas rumah rata-rata rumah 21.5 m2. Luas rumah bila dibandingkan dengan jumlah penghuni (luas ruangan perorang) akan menggambarkan tingkat kepadatan suatu rumah. Menurut Sukarni (1989), luas ruangan perorang yang baik adalah >10 m2/orang, cukup antara 7-10 m2/orang, dan yang kurang <7 m2/orang.

Berdasarkan Tabel 18, sebesar 31 % responden memiliki luas ruangan per orang dengan kategori kurang (<7 m2/orang). Sebagian besar responden memiliki lantai rumah dari keramik (51.2%) namun dengan atap seng ( 61%). Sebesar 73.2% keluarga yang memiliki jendela namun hanya 29.3% memiliki ventilasi yang memadai. Tidak lebih dari separuh responden yang memiliki kamar mandi dan jamban yaitu sebesar 46.3% dan 39.0, serta tidak satu responden pun yang memiliki septic tank.

(14)

Tabel 24 Sebaran responden berdasarkan kondisi fisik rumah

Kondisi Fisik Rumah n %

Jenis lantai

a. Tanah 0 0.0

b. Keramik 21 51.2

c. Semen 10 24.4

d. Papan/bamboo 10 24.4

Bagian rumah berupa tanah

a. Ya 0 0.0 b. Tidak 41 100.0 Atap a. Seng 25 61.0 b. Genteng 3 7.3 c. Asbes 13 31.7 Jendela a. Ada 30 73.2 b. Tidak 11 26.8

Kepemilikan kamar mandi

a. Ya 19 46.3

b. Tidak 22 53.7

Kepemilikan jamban/WC

a. Ya 16 39.0

b. Tidak 25 61.0

Kepemilikan septic tank

a. Ya 0 0.0 b. Tidak 41 100.0 SPAL a. Ya 16 39.0 b. Tidak 25 61.0 Ventilasi memadai a. Ya 12 29.3 b. Tidak 29 70.7

Kepadatan luas ruangan

a. kurang (<7m) 31 75.6

b. cukup baik (7-10) 5 12.2

c. baik (>10m) 5 12.2

Lebih dari separuh responden tidak memiliki saluran pembuangan air limbah (61%). Hal ini karena anggota keluarga mengalirkan limbah langsung ke sungai. Pemukiman yang sanitasinya tidak baik seperti tidak tersedia air bersih, jamban, tempat pembuangan sampah, tidak tersedia saluran pembuangan air kotor memungkinkan seseorang dapat menderita penyakit infeksi yang menyebabkan seseorang kurang gizi.

(15)

Tabel 25 Sebaran responden berdasarkan sanitasi lingkungan Kategori n % Rendah (14-18) 21 51.2 Sedang (19-23) 10 24.4 Baik (24-28) 10 24.4 Total 41 100

Berdasarkan Tabel 25 menunjukkan bahwa sebagian besar sanitasi lingkungan responden berada pada kategori rendah (51.2%), sisanya pada kategori sedang dan tinggi sebanyak 24.4%. Pemukiman yang sanitasinya tidak baik seperti tidak tersedia air bersih, jamban, tempat pembuangan sampah, tidak tersedia saluran pembuangan air kotor memungkinkan seseorang dapat menderita penyakit infeksi yang menyebabkan seseorang kurang gizi.

Sumber Air

Air bersih dan sehat merupakan air yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang tidak mengandung kotoran dan kuman, sehingga aman untuk dikonsumsi dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan (Latifah et al. 2002). Tabel 26 Sebaran responden berdasarkan sumber air

Sumber Air Minum Masak

Lain-lain n % n % n % Sungai 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Sumur/mata air 13 31.7 26 63.4 40 97.6 PAM 1 2.4 1 2.4 1 2.4 Air pikulan 2 4.9 7 17.1 0 0.0 Air gallon 29 70.7 7 17.1 0 0.0

Tabel 26 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (70.7%) menggunakan air galon untuk minum, sedangkan untuk masak sebanyak 63.4% responden menggunakan air sumur/mata. Sumber air yang digunakan untuk mandi dan mencuci, sebagian besar responden (97.6%) menggunakan sumber air sumur/mata air. Pada umumnya, sumber air bagi keperluan rumah tangga berasal dari sumur. Air sumur harus memenuhi syarat kesehatan sebagai air rumah tangga, maka air sumur harus dilindungi dari pencemaran dan harus memperhatikan bahwa jarak sumur dengan sumber kotoran minimum 10 m (Sukarni 1989).

Positive Deviance

Positive deviance merupakan suatu keadaan penyimpangan positif yang

(16)

tertentu dengan anak-anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga yang sama (Zeitlin et al. 1990). Kebiasaan keluarga yang menguntungkan sebagai inti positif deviance dibagi menjadi tiga atau empat kategori utama yaitu pemberian makan, pengasuhan, kebersihan, dan mendapatkan pelayanan kesehatan (Core 2003). Tabel 27 sampai dengan Tabel 30 menunjukkan pengetahuan gizi, sikap gizi, perilaku gizi, PHBS responden yang menguntungkan sehingga terjadinya penyimpangan positif status gizi dan status kesehatan anak balita.

Tabel 27 menunjukkan tentang pengetahuan gizi responden. Secara keseluruhan lebih dari separuh pengetahuan yang dimiliki responden sudah cukup baik untuk setiap pertanyaan, kecuali pada pengetahuan gizi ibu mengenai makanan untuk tumbuh tinggi anak hanya 41.5%. Sebagian besar responden sudah mengetahui tentang makanan sebagai sumber tenaga (73.2%), contoh makanan sumber protein (78.0%), makanan agar gigi dan tulang kuat (70.7%), makanan agar tidak rabun pada mata (92.7%), makanan agar buang air lancar (87.8%), makanan agar tidak cepat lesu dan lelah (63.4%), makanan yang mengandung formalin (90.2%), bahaya merokok (95.1%), dan lama pemberian ASI (75.6%).

Tabel 27 Sebaran responden mengenai pengetahuan gizi

Pertanyaan Positif Negatif

n % n %

1. Kalau Bapak/suami akan bekerja, makanan apa yang harus dimakan agak banyak agar bertenaga dan kuat bekerja?

30 73.2 11 26.8 2. Agar anak-anak bertumbuh tinggi badannya,

makanan hewani atau nabati yang lebih baik? 17 41.5 24 58.5 3. Contoh makanan sumber protein adalah: 32 78.0 9 22.0 4. Supaya gigi dan tulang menjadi kuat, makanan

apa yang seharusnya dimakan ? 29 70.7 12 29.3 5. Rabun pada mata, seringkali terjadi karena

kekurangan makanan apa ? 38 92.7 3 7.3

6. Supaya buang air lancar tiap hari, makanan apa

yang harus dimakan ? 36 87.8 5 12.2

7. Bila mata berkunang-kunang, cepat lelah, lesu, dan hal-hal tersebut adalah tanda-tanda kurang darah, makanan apa yang harus dimakan ?

26 63.4 15 36.6 8. Yang kemungkinan mengandung lebih banyak

formalin adalah tahu atau tempe? 37 90.2 4 9.8 9. Apa bahaya merokok bagi kesehatan ? 39 95.1 2 4.9 10. Bila Anda mempunyai anak kecil, agar dia tumbuh

dengan baik dan cerdas, pemberian ASI (Air Susu Ibu) sebaiknya sampai usia berapa ?

(17)

Tabel 28 menunjukkan mengenai sikap gizi ibu. Sebagian besar responden setuju mengenai makan nasi sebagai sumber tenaga (97.6%), minum susu penting untuk anak (97.6%), makan sayur bermanfaat untuk kesehatan (100%), konsumsi daging bermanfaat untuk menambah darah (87.8%), konsumsi sayur setiap hari (90.2%). Sebagian besar responden tidak setuju mengenai sarapan tidak terlalu penting (73.2%), lama pemberian ASI hanya sampai 1 tahun (63.2%), kebiasaan merokok tidak perlu dihilangkan (90.2%), dan formalin digunakan untuk mengawetkan makanan (100%). Namun masih banyak responden yang bersikap bahwa konsumsi tahu dan tempe sama baiknya dengan makan telur atau daging (82.9%).

Tabel 28 Sebaran responden berdasarkan sikap gizi ibu

Pertanyaan Positif Negatif

n % n %

1. Makan nasi penting sebagai sumber tenaga 40 97.6 1 2.4 2. Minum susu setiap hari penting untuk anak 40 97.6 1 2.4 3. Kebiasaan makan sayur setiap hari bermanfaat bagi

kesehatan 41 100 0 0

4. Sarapan pagi tidak terlalu penting 30 73.2 11 26.8 5. Konsumsi daging bermanfaat untuk menambah

darah 36 87.8 5 12.2

6. ASI cukup diberikan sampai anak berusia 1 tahun 26 63.4 15 36.6 7. Menyediakan sayuran hijau dalam menu sehari-hari

lebih baik daripada sayuran yang tidak berwarna 37 90.2 4 9.8 8. Mengkonsumsi tahu dan tempe sama baiknya

dengan makan telur/daging 7 17.1 34 82.9

9. Kebiasaan merokok tidak perlu dihilangkan/dikurangi 37 90.2 4 9.8 10. Formalin biasa digunakan untuk mengawetkan

tahu, ikan basah dan ayam 41 100 0 0

Tabel 29 menunjukkan bahwa sebanyak 92.7% keluarga responden tidak suka makan buah setiap hari, dan dalam mengkonsumsi sayur sebanyak 78.0% keluarga responden tidak makan sayur setiap hari. Buah dan sayur banyak mengandung vitamin dan mineral yang baik untuk tubuh. Vitamin dan mineral merupakan zat pengatur pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan yang dibutuhkan oleh anak balita (Almatsier 2006).

Sebanyak 63.4% responden tidak memberikan ASI ekslusif (6 bulan) kepada anaknya. Pada umunya setelah anak berusia empat bulan bahkan kurang, responden sudah memberikan makanan pendamping ASI seperti pisang, biskuit, susu formula, bubur bayi, dan lainnya. Pemberian ASI ekslusif sangat bermanfaat karena ASI merupakan makanan yang paling sempurna untuk bayi. Menurut Soekirman (2000), ASI mengandung zat kekebalan yang mampu melindungi anak dari penyakit infeksi terutama diare dan ISPA.

(18)

Tabel 29 Sebaran responden berdasarkan perilaku gizi ibu

Pertanyaan Positif Negatif

n % n %

1. Kami suka makan buah 3 7.3 38 92.7

2. Anak balita saya minum susu (ASI atau non ASI) 32 78.0 9 22

3. Kami makan sayur 9 22.0 32 78

4. Saya menghindari makanan yang mengandung

formalin (tahu, daging ayam, ikan segar) 28 68.3 13 31.7 5. Saya menghindari makanan/minuman olahan

yang berwarna mencolok (kerupuk, kue, jajanan pasar, sirup)

37 90.2 4 9.8 6. Saya memberikan ASI saja (ekslusif) sampai

anak berusia 6 bulan 15 36.6 26 63.4

7. Kami lebih sering mengkonsumsi sayuran berwarna (wortel, bayam) dibandingkan tidak berwarna (sawi, kol)

38 92.7 3 7.3 8. Kami makan daging sapi/ayam minimal satu kali

seminggu 31 75.6 10 24.4

9. Suami saya suka merokok 4 9.8 37 90.2

10. Kami lebih sering makan dengan tahu atau

tempe daripada pangan hewani 11 26.8 30 73.2 Sebagian besar responden (73.2%) lebih sering mengkonsumsi pangan nabati seperti tahu dan tempe dibanding dengan pangan hewani. Padahal bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang (Almatsier 2006).

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Tabel 30 menunjukkan bahwa dalam aspek kesehatan sebagian besar ibu (92.7%) melakukan persalinan dibantu oleh tenaga kesehatan. Sebanyak 90.2% ibu rutin melakukan penimbangan balita dan melakukan imunisasi pada balitanya di Posyandu. Penimbangan bayi dan balita dimaksudkan untuk memantau pertumbuhan setiap bulan. Penimbangan bayi dan balita dimulai dari umur 1 bulan sampai 5 tahun di Posyandu sehingga dapat diketahui balita tumbuh sehat atau tidak dan mengetahui kelengkapan imunisasi serta dapat diketahui bayi yang dicurigai menderita gizi buruk (Depkes 2007).

Sebagian besar responden memiliki anggota keluarga yang merokok yaitu sebesar 85.4%. Merokok tentunya sangat berbahaya, yakni dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti kerontokan rambut, gangguan pada mata, menyebabkan penyakit paru-paru kronik, merusak gigi, stroke, kanker kulit, kemandulan, impotensi, kanker rahim, dan keguguran (Depkes 2007).

Pada aspek kebersihan diri sebagian besar ibu membiasakan anaknya untuk menggosok gigi setelah makan dan sebelum tidur (58.5%). Membiasakan

(19)

menggosok gigi sebelum tidur dan setelah makan merupakan salah satu contok praktik higiene perorangan. Kegiatan menggosok gigi bertujuan untuk membersihkan mulut dari sisa makanan yang dapat membentuk plak pada gigi. Ibu juga membiasakan anaknya untuk mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar menggunakan sabun (68.3%). Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman.

Tabel 30 Sebaran responden berdasarkan PHBS ibu

Pertanyaan Positif Negatif

n % n %

Kesehatan

1. Anggota dana sehat 8 19.5 33 80.5

2. Persalinan di tenaga kesehatan 38 92.7 3 7.3

3. Penimbangan balita 37 90.2 4 9.8

4. Imunisasi balita 37 90.2 4 9.8

5. Anggota keluarga merokok 35 85.4 6 14.6

6. Olahraga teratur 6 14.6 35 85.4 Kebersihan Diri 1. Menggosok gigi 24 58.5 17 41.5 2. Mencuci tangan 28 68.3 13 31.7 Makanan bergizi 1. Sarapan pagi 25 61.0 16 39 2. Makanan beranekaragam 9 22.0 32 78 Sanitasi Lingkungan

1. Menggunakan air bersih 31 75.6 10 24.4

2. Saluran pembuangan limbah 16 39.0 25 61 3. Tukang sampah di lingkungan 11 26.8 30 73.2 4. Limbah di buang ke sungai 40 97.6 1 2.4

5. BAB di WC 26 63.4 15 36.6

Kondisi Rumah

1. Memiliki kamar mandi 19 46.3 22 53.7

2. Memiliki jamban 16 39.0 25 61

3. Memiliki septi tank 0 0.0 41 100

4. Ventilasi memadai 12 29.3 29 70.7

5. Luas ruangan 7-10m2/orang 6 14.6 35 85.4 Berdasarkan Tabel 30 sebagian besar 61.0% responden melakukan sarapan pagi sebelum beraktivitas. Sarapan penting dilakukan sebelum melakukan aktivitas pada pagi hari. Manfaat sarapan adalah dapat menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah.Dalam mengkonsumsi makanan yang beranekaragam hanya 22.0% responden yang melakukannya. Tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung lengkap semua zat gizi yang mampu membuat seseorang untuk hidup sehat, tumbuh kembang, dan produktif. Setiap orang perlu mengkonsumsi aneka ragam makanan dalam jumlah yang mencukupi.

(20)

Pada aspek sanitasi lingkungan hampir seluruh responden membuang limbah rumah tangga ke sungai (97.6%). Hanya 39.0% responden yang memiliki saluran pembuangan limbah. Sebagian besar (63.4%) anggota keluarga biasa BAB di WC, namun masih terdapat anggota yang BAB tidak di WC (36.6%). Menurut Notoatmodjo (2007), kotoran manusia (feses) adalah sumber penyebaran penyakit yang multikomplek. Penyebaran penyakit yang bersumber pada feses dapat melalui berbagai macam jalan atau cara. Tinja dapat langsung mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, dan juga air, tanah, dan serangga. Peranan tinja dalam penyebaran penyakit sangat besar.

Kondisi rumah responden masih belum dalam kondisi yang baik dan sehat. Hanya 40.3% responden yang memiliki kamar mandi, sisanya anggota keluarga responden mandi di MCK umum. Hanya 39.0% responden yang memiliki jamban dan seluruh responden tidak memiliki septi tank. Responden yang memiliki rumah dengan luas ruangan yang memenuhi syarat hanya 14.6% dan hanya 29.3% responden yang memiliki ventilasi yang memadai. Menurut Winslow dalam Entjang (2000), rumah yang tidak sehat dapat mengakibatkan pula tingginya kejadian infeksi penyakit dalam masyarakat. Rumah yang sehat harus memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologis serta dapat menghindar terjadi kecelakaan dan penyakit.

Sebagian besar responden mengunjungi Puskesmas ketika anak balitanya mengalami sakit yaitu sebanyak 52.0%, sisanya dibawa ke klinik (12.0%), dan hanya diberikan obat warung (32.0%).

Hubungan Antar Variabel Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Perilaku Gizi

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan (Khomsan et al. 2007). Pengetahuan gizi merupakan aspek kognitif yang mencirikan seseorang memahami tentang gizi, pangan, dan kesehatan (Sukandar 2007).

Tabel 31 Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dengan perilaku gizi Pengetahuan

Gizi

Perilaku Gizi

Total

Kurang Sedang Baik

n % n % n % n %

Kurang 1 25.0 2 50.0 1 25.0 4 100

Sedang 8 33.3 7 29.2 9 37.5 24 100

Baik 0 0.0 5 38.5 8 61.5 13 100

(21)

Berdasarkan Tabel 31 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan pengetahuan gizi kurang (50.0%) ternyata memiliki perilaku gizi dengan kategori sedang. Sebagian besar responden dengan pengetahuan gizi baik (61.5%) memiliki perilaku gizi yang baik pula. Hasil analisis uji Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara pengetahuan gizi dan perilaku gizi ibu (r=0.315, p<0.05). Hal tersebut berarti semakin baik pengetahuan gizi ibu, maka semakin baik pula perilaku gizi ibu. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jayanti (2011) bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan gizi dan perilaku gizi. Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.

Hubungan Pengetahuan Gizi dengan PHBS

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan (Khomsan et al. 2007). Pengetahuan gizi merupakan aspek kognitif yang mencirikan seseorang memahami tentang gizi, pangan, dan kesehatan (Sukandar 2007).

Tabel 32 Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dan PHBS Pengetahuan

Gizi

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Total

Kurang Sedang Baik

n % n % n % n %

Kurang 2 50.0 1 25.0 1 25.0 4 100

Sedang 9 37.5 12 50.0 3 12.5 24 100

Baik 0 0.0 4 30.8 9 69.2 13 100

Total 11 26.8 17 34.5 13 31.7 41 100

Berdasarkan Tabel 32 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu (50.0%) yang memiliki pengetahuan gizi kurang memiliki PHBS yang kurang pula. Begitu pula pada sebagian besar ibu (69.2%) yang memiliki pengetahuan gizi baik memiliki PHBS yang baik. Hasil analisis uji Spearman menunjukkan terdapat hubungan signifikan positif antara pengetahuan gizi dan PHBS responden (r=0.530, p<0.05). Hal tersebut berarti semakin baik pengetahuan gizi maka semakin baik pula perilaku hidup bersih dan sehat responden. Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh

(22)

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.

Hubungan karakteristik keluarga dengan status gizi

Tabel 33 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan tingkat pendidikan rendah (SD/sederajat) memiliki anak balita dengan status gizi baik (41.9%). Responden dengan tingkat pendidikan SMA/sederajat sebagian besar juga memiliki anak balita dengan status gizi baik (35.5%). Hasil analisis

Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan (p>0.05) antara tingkat

pendidikan ibu dengan status gizi anak balita. Walaupun tingkat pendidikan ibu balita termasuk rendah namun diduga besar kepedulian ibu untuk lebih memperhatikan anak balitanya sehingga dapat meningkatkan status gizi anak balita tersebut.

Tabel 33 Sebaran responden menurut karakteristik ibu dan status gizi Karakteristik Keluarga

Status Gizi (BB/U)

Total

Buruk Kurang Baik

n % n % n % n %

Tingkat Pendidikan Ibu

SD 2 50.0 2 33.3 13 41.9 17 41.5 SMP 1 25.0 2 33.3 7 22.6 10 24.4 SMA 1 25.0 2 33.3 11 35.5 14 34.1 Total 4 100 6 100 31 100 41 100 Umur (tahun) <20 0 0.0 0 0.0 1 3.2 1 2.4 20-40 3 75.0 5 83.3 28 90.3 36 87.8 41-65 1 25.0 1 16.7 2 6.5 4 9.8 Total 4 100 6 100 31 100 41 100

Tabel 33 juga menunjukkan sebagian besar responden (90.3%) dengan umur 20-40 tahun memiliki anak balita dengan status gizi baik. Sebagian kecil responden dengan umur <20 tahun (3.2%) dan 41-65 tahun (6.5%) yang memiliki anak balita dengan status gizi baik. Hasil analisis Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan (p>0.05) antara umur ibu dengan status gizi anak balita. Namun, pada umumnya ibu yang memiliki usia yang telah matang (dewasa) akan cenderung menerima perannya sebagai ibu dengan sepenuh hati, sehingga ibu akan merawat dan menjaga anak dengan sepenuh hati dan tidak merasa terbebani.

Hasil analisis Pearson terdapat hubungan antara IMT ibu dengan status gizi anak berdasarkan BB/TB (r=0.302, p<0.05), namun tidak terdapat hubungan berdasarkan indikator BB/U dan TB/U. Menurut Rahman et al. (1993) dalam penelitian yang dilakukan oleh Pryer (2003) menunjukkan bahwa status gizi ibu

(23)

berhubungan dengan status gizi anak-anak di Dhaka setelah mengendalikan variabel sosio-ekonomi dan menyusui. Status gizi ibu dapat digunakan sebagai proksimat penentu status gizi anak-anak.

Hubungan tingkat kemiskinan dengan status gizi balita

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Berdasarkan Tabel 34 menunjukkan bahwa sebagian besar (72.0%) anak balita yang termasuk keluarga tidak miskin memiliki status gizi baik, sedangkan keluarga miskin berstatus gizi baik sebanyak 81.2%. Sebagian kecil contoh (6.2%) termasuk keluarga miskin memiliki anak balita dengan status gizi kurang, sedangkan keluarga tidak miskin memiliki anak balita dengan status gizi kurang sebesar 20%.

Tabel 34 Sebaranresponden menurut tingkat kemiskinan dan status gizi Kemiskinan

Status Gizi (BB/U)

Total

Buruk Kurang Baik

n % n % n % n %

Miskin 2 12.5 1 6.2 13 81.2 16 100.0

Tidak Miskin 2 8.0 5 20.0 18 72.0 25 100.0

Total 4 9.8 6 14.6 31 75.6 41 100.0

Menurut Hardinsyah (1997), pada tingkat keluarga, penurunan daya beli akibat rendahnya pendapatan keluarga akan menurunkan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan serta aksesbilitas pelayanan kesehatan, terutama bagi warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan berdampak negatif terhadap kesehatan anak yang rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Namun, berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa terdapat 81.2% keluarga miskin yang memiliki anak balita dengan status gizi baik. Hal tersebut merupakan positive deviance yang terjadi di pemukiman kumuh. Terjadinya positive deviance diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, diantaranya seperti pengetahuan gizi ibu, pola asuh, dan pelayanan kesehatan yang baik, serta dapat pula karena adanya bantuan pemerintah seperti beras raskin dan BLT (Bantuan Langsung Tunai) khususnya pada keluarga miskin serta balita tersebut mempunyai daya adaptasi yang tinggi sehingga mampu tumbuh dan berkembang dengan baik (tidak kurang gizi).

Berdasarkan uji korelasi Spearman pula bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat kemiskinan dengan status gizi berdasarkan BB/U dengan nilai p>0.05. Berdasarkan hasil uji selisih antar dua proporsi menujukkan bahwa proporsi status gizi baik pada keluarga miskin sama dengan proporsi status gizi

(24)

baik pada keluarga tidak miskin (Zhit=0,669). Nilai Zhit tidak berada dalam wilayah

kritik (Z<-1.96).

Tabel 35 Sebaran responden menurut tingkat kemiskinan dan status gizi TB/U Kemiskinan

Status Gizi (TB/U)

Total Sangat Pendek Pendek Normal

n % n % n % n %

Miskin 4 25 3 18.8 9 56.2 16 100

Tidak Miskin 4 16 7 28.0 14 56.0 25 100

Total 8 19.5 10 24.4 23 56.1 41 100

Berdasarkan Tabel 35 di atas menunjukkan bahwa lebih dari separuh (56%) anak balita memiliki status gizi normal, baik itu dari keluarga miskin maupun dari keluarga tidak miskin. Namun, masih terdapat anak balita dengan status gizi pendek yaitu 18.8% pada keluarga miskin dan 28.0% pada keluarga tidak miskin. Beaton dan Bengoa (1973) dalam Supariasa (2002) menyatakan bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi. Namun, dalam hal ini baik keluarga miskin ataupun keluarga tidak miskin sebagian besar memiliki status gizi normal. Hal tersebut merupakan positive deviance yang terjadi di pemukiman kumuh.

Berdasarkan uji korelasi Spearman pula bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat kemiskinan dengan status gizi berdasarkan TB/U dengan nilai p>0.05. Berdasarkan hasil uji selisih antar dua proporsi menujukkan bahwa proporsi status gizi normal pada keluarga miskin sama dengan proporsi status gizi normal pada keluarga tidak miskin (Zhit=0.015). Nilai Zhit tidak berada dalam

wilayah kritik (Z<-1.96).

Tabel 36 Sebaran responden menurut tingkat kemiskinan dan status gizi BB/TB Kemiskinan

Status Gizi (BB/TB) Total

Kurus Normal

n % n % n %

Miskin 0 0 16 100 16 100

Tidak Miskin 3 12.0 22 88.0 25 100

Total 3 7.3 38 92.7 41 100

Berdasarkan Tabel 36 menunjukkan bahwa pada keluarga miskin terdapat 100% anak balita memiliki status gizi normal berdasarkan berat badan menurut tinggi badan, sedangkan pada keluarga tidak miskin terdapat 88% anak balita yang memiliki status gizi normal. Berdasarkan uji korelasi Spearman bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat kemiskinan dengan status gizi berdasarkan BB/TB dengan nilai p>0.05. Berdasarkan hasil uji selisih antar dua

(25)

proporsi menujukkan bahwa proporsi status gizi normal pada keluarga miskin sama dengan proporsi status gizi normal pada keluarga tidak miskin (Zhit=1.719).

Nilai Zhit tidak berada dalam wilayah kritik (Z<-1.96).

Pengeluaran rumah tangga yaitu pulsa telepon terdapat hubungan negatif dan signifikan terhadap status gizi anak balita menurut TB/U (r=-0.317, p<0.05). Hal tersebut berarti semakin besar rumah tangga mengeluarkan uang untuk membeli pulsa, maka status gizi anak balita berdasarkan TB/U akan semakin menurun. Walaupun dalam penelitian ini sebagian besar rumah tangga termasuk dalam kategori tidak miskin, karena perilaku tersebut tidak menutup kemungkinan anak balitanya akan mengalami status gizi buruk atau kurang. Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Status Gizi

Pada Tabel 37 menunjukkan bahwa balita dengan status gizi baik 58.1% memiliki seorang ibu dengan pengetahuan gizi yang sedang sedangkan anak balita dengan status gizi kurang memiliki seorang ibu dengan pengetahuan gizi yang kurang (33.0%). Sebagian besar balita sangat pendek, pendek, dan normal juga memiliki ibu dengan pengetahuan gizi sedang yaitu 62.5%, 50.0%, dan 60.9%. Namun, pada balita kurus sebagian besar (66.7%) memiliki ibu dengan pengetahuan gizi yang baik.

Tabel 37 Sebaran responden menurut pengetahuan gizi dan status gizi Pengetahuan

Gizi

Status Gizi (BB/U)

Total

Buruk Kurang Baik

n % n % n % n %

Kurang 0 0.0 2 33.3 2 6.5 4 9.8

Sedang 3 75.0 3 50.0 18 58.1 24 58.5

Baik 1 25.0 1 16.7 11 35.5 13 31.7

Total 4 100.0 6 100.0 31 100.0 41 100

Status Gizi (TB/U)

Sangat Pendek Pendek Normal

Kurang 1 12.5 2 20.0 1 4.3 4 9.8 Sedang 5 62.5 5 50.0 14 60.9 24 58.5 Baik 2 25.0 3 30.0 8 34.8 13 31.7 Total 8 100 10 100 23 100 41 100 Status Gizi (BB/TB) Kurus Normal Kurang 0 0.0 4 10.5 4 9.8 Sedang 1 33.3 23 60.5 24 58.5 Baik 2 66.7 11 28.9 13 31.7 Total 3 100 38 100 41 100

Berdasarkan analisis korelasi Spearman secara keseluruhan, pengetahuan gizi tidak berhubungan dengan status gizi, baik berdasarkan BB/U, TB/U, maupun BB/TB (p>0.05). Namun, pada pengetahuan gizi mengenai lama pemberian ASI kepada anak balita memiliki hubungan dengan status gizi

(26)

berdasarkan TB/U (p<0.05). Menurut Sanjur (1982) dalam Sukandar (2007), tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan mengenai objek tertentu. Akan tetapi, hubungan antara pengetahuan terhadap sikap dan perilaku tidak linier, misalnya dalam hal konsumsi makanan dengan baik. Konsumsi makanan jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara tersendiri, tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Jadi apabila seorang ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik belum tentu dapat mempraktekkan pengetahuan gizi tersebut dalam mengkonsumsi makanan sehingga mempengaruhi status gizi anak balitanya, begitu pula sebaliknya pada ibu dengan pengetahuan gizi sedang ataupun rendah.

Hubungan Sikap Gizi dengan Status Gizi

Berdasarkan Tabel 38 menunjukkan bahwa balita dengan status gizi baik 41.9% memiliki ibu dengan sikap gizi yang baik pula, sedangkan balita dengan status gizi kurang (50%) memiliki ibu dengan sikap gizi sedang dan balita status gizi buruk (50%) memiliki ibu dengan sikap gizi yang baik. Balita normal (52.2%) berdasarkan indikator TB/U memiliki ibu dengan sikap gizi yang baik, sedangkan balita sangat pendek dan pendek dengan proporsi 50% memiliki ibu dengan sikap gizi sedang. Berdasarkan indikator BB/TB, anak balita normal (44.7%) memiliki ibu dengan sikap gizi baik, dan ternyata seluruh balita kurus (100%) memiliki ibu dengan sikap gizi yang baik.

Tabel 38 Sebaran responden menurut sikap gizi dan status gizi Sikap Gizi

Status Gizi (BB/U)

Total

Buruk Kurang Baik

n % n % n % n %

Kurang 1 25.0 1 16.7 5 16.1 7 17.1

Sedang 1 25.0 3 50.0 13 41.9 17 41.5

Baik 2 50.0 2 33.3 13 41.9 17 41.5

Total 4 100 6 100 31 100 41 100

Status Gizi (TB/U)

Sangat Pendek Pendek Normal

Kurang 2 25.0 1 10.0 4 17.4 7 17.1 Sedang 4 50.0 6 60.0 7 30.4 17 41.5 Baik 2 25.0 3 30.0 12 52.2 17 41.5 Total 8 100 10 100 23 100 41 100 Status Gizi (BB/TB) Kurus Normal Kurang 0 0.0 7 18.4 7 17.1 Sedang 0 0.0 17 44.7 17 41.5 Baik 3 100 14 36.8 17 41.5 Total 3 100 38 100 41 100

(27)

Berdasarkan analisis korelasi Spearman bahwa sikap gizi ibu dan status gizi tidak terdapat hubungan dengan nilai p>0.05. Pada Tabel 38 di atas juga dapat dilihat semakin tinggi sikap gizi ibu justru memiliki anak dengan status gizi yang kurus terhadap indikator BB/TB. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan pre-disposisi tindakan atau perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku yang terbuka (Notoatmodjo 2007). Jadi walaupun seorang ibu menyadari hal tersebut baik, belum tentu ibu melakukan hal tersebut, sehingga mempengaruhi status gizi anak balitanya.

Hubungan Perilaku Gizi dengan Status Gizi Anak Balita

Pada Tabel 39 diatas menunjukkan bahwa anak balita dengan status gizi baik sebesar 45.1% memiliki ibu dengan perilaku gizi tinggi. Pada indikator TB/U sebanyak 43.5% anak balita dengan status gizi normal memiliki ibu dengan perilaku gizi yang baik. Pada indikator BB/TB sebanyak 42.1% anak balita dengan status gizi normal memiliki ibu dengan perilaku gizi baik. Namun terdapat anak balita dengan status gizi buruk yang memiliki ibu dengan perilaku baik (50.0%), baik status gizi pada indikator BB/U, TB/U, ataupun BB/TB.

Tabel 39 Sebaran responden menurut perilaku gizi dan status gizi Perilaku Gizi

Status Gizi (BB/U)

Total

Buruk Kurang Baik

n % N % n % n %

Kurang 1 25.0 2 33.3 6 19.4 9 21.9

Sedang 1 25.0 2 33.3 11 35.5 14 34.1

Baik 2 50.0 2 33.3 14 45.1 18 44.0

Total 4 100.0 6 100.0 31 100.0 41 100.0

Status Gizi (TB/U)

Sangat Pendek Pendek Normal

Kurang 2 25.0 3 30.0 4 17.4 9 21.9 Sedang 2 25.0 3 30.0 9 39.1 14 34.1 Baik 4 50.0 4 40.0 10 43.5 18 44.0 Total 8 100.0 10 100.0 23 100.0 41 100.0 Status Gizi (BB/TB) Kurus Normal Kurang 0 0.0 9 23.7 9 21.9 Sedang 1 33.3 13 34.2 14 34.1 Baik 2 66.7 16 42.1 18 44.0 Total 3 100.0 38 100.0 41 100.0

Berdasarkan analisis korelasi Spearman pula tidak terdapat hubungan antara perilaku gizi ibu dengan status gizi anak balita (p>0.05). Pada penelitian Jayanti (2011) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara perilaku gizi ibu dengan status gizi. Hal tersebut menunjukkan bahwa status gizi balita yang baik tidak selalu karena ibu berperilaku gizi baik. Hal

(28)

tersebut diduga disebabkan oleh banyak faktor lain seperti penyakit infeksi dan lingkungan. Menurut Mardiana (2009), kondisi ekonomi yang lemah ditambah dengan tindakan ibu yang salah misalnya dengan membatasi anak dalam mengkonsumsi makanan bergizi karena alasan-alasan sosial budaya dapat memperburuk status gizinya.

Hubungan PHBS dengan Status Gizi Anak Balita

Pada Tabel 40 menunjukkan bahwa anak balita dengan status gizi baik memiliki ibu dengan PHBS sedang (45.2%). Anak balita dengan status gizi buruk memiliki ibu dengan PHBS yang kurang pula (75.0%) berdasarkan indikator BB/U. Berdasarkan TB/U sebagian besar anak balita dengan status gizi normal memiliki ibu dengan PBHS yang baik (39.1%). Berdasarkan BB/TB anak balita normal juga memiliki ibu dengan PHBS yang sedang (42.1%).

Tabel 40 Sebaran responden menurut PHBS dan status gizi PHBS

Status Gizi (BB/U)

Total

Buruk Kurang Baik

n % n % n % n %

Kurang 3 75.0 2 33.3 6 19.4 11 26.8

Sedang 0 0.0 3 50.0 14 45.2 17 41.5

Baik 1 25.0 1 16.7 11 35.4 13 31.7

Total 4 100 6 100 31 100 41 100

Status Gizi (TB/U)

Sangat Pendek Pendek Normal

Kurang 2 25.0 3 30.0 6 26.1 11 26.8 Sedang 5 62.5 4 40.0 8 34.8 17 41.5 Baik 1 12.5 3 30.0 9 39.1 13 31.7 Total 8 100 10 100.0 23 100 41 100 Status Gizi (BB/TB) Kurus Normal Kurang 1 33.3 10 26.3 11 26.8 Sedang 1 33.3 16 42.1 17 41.5 Baik 1 33.3 12 31.6 13 31.7 Total 3 100 38 100 41 100

Berdasarkan analisis korelasi Spearman terdapat hubungan antara PHBS ibu dengan status gizi anak balita pada indikator BB/U (r=0.330, p<0.05) dan BB/TB (r= 0.317, p<0.05), namun tidak tidak terdapat hubungan antara PHBS dengan status gizi anak balita pada indikator TB/U (p>0.05). Status gizi berdasarkan indikator BB/U dan BB/TB merupakan status gizi yang mencerminkan keadaan saat ini, sedangkan TB/U mencerminkan keadaan masa lampau. PHBS merupakan perilaku terhadap kebersihan dan kesehatan, apabila PHBS responden rendah dapat menyebabkan anak balita terserang penyakit infeksi yang dapat menurunkan nafsu makan sehingga dapat menurunkan berat badan dan status gizi anak balita.

(29)

Perilaku hidup sehat ibu seperti penimbangan balita (93.5%) dan balita mendapat imunisasi lengkap (90.3%), sebagian besar ibu yang memiliki balita dengan status gizi baik melakukan hal tersebut. Balita dengan status gizi normal berkaitan dengan perilaku pemberian makan gizi seimbang. Balita dengan status gizi normal sebagian besar mendapatkan makanan seimbang dari ibunya dibandingkan dengan anak balita dengan status gizi pendek berdasarkan indikator TB/U. Ibu dengan anak balita status gizi baik membiasakan anak balitanya buang air besar di WC (71.0%) dibandingkan dengan anak balita berstatus gizi kurang (50.0%) dan buruk (10.0%). Keadaan rumah dengan ventilasi yang memadai hanya dimiliki responden sebanyak 32.3% pada respoden dengan anak balita berstatus gizi baik dibandingkan dengan responden dengan anak balita berstatus gizi buruk dan kurang. Ventilasi yang memadai berfungsi untuk pertukaran udara agar udara di dalam ruangan tetap bersih dan segar.

Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Status Kesehatan

Tabel 41 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (44.0%) dengan tingkat pendidikan rendah (SD/sederajat) memiliki anak balita dengan status kesehatan sakit. Responden dengan tingkat pendidikan SMP/sederajat sebagian besar (32.0%) juga memiliki anak balita dengan status kesehatan sakit, namun responden dengan tingkat pendidikan tinggi (SMA/sederajat) sebagian besar responden (50.0%) memiliki anak balita dengan status kesehatan sehat. Berdasarkan analisis Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan status kesehatan anak balita (p>0.05), Tabel 41 Sebaran responden menurut karakteristik ibu dengan status kesehatan

Karakteristik Keluarga

Status kesehatan

Total

Sehat Sakit

n % n % n %

Tingkat Pendidikan ibu

SD 6 37.5 11 44.0 17 41.5 SMP 2 12.5 8 32.0 10 24.4 SMA 8 50.0 6 24.0 14 34.1 Total 16 100.0 25 100.0 41 100.0 Umur (tahun) <20 0 0.0 1 4.0 1 2.4 20-40 13 81.3 23 92.0 36 87.8 41-65 3 18.7 1 4.0 4 9.8 Total 16 100 25 100 41 100

Tabel 41 juga menunjukkan hampir seluruh responden (92.0%) berusia 20-40 tahun memiliki anak balita dengan status kesehatan sakit, dan sebagian

(30)

kecil responden berusia <20 tahun (4.0%) memiliki anak balita dengan status kesehatan sakit. Namun terdapat sebanyak 18.7% berusia 41-65 tahun memiliki anak balita dengan status kesehatan yang sehat. Berdasarkan analisis

Spearman bahwa tidak terdapat hubungan antara umur ibu dengan status

kesehatan anak.

Hubungan PBHS dengan Status Kesehatan

Status kesehatan penduduk memberikan gambaran mengenai kondisi kesehatan penduduk dan biasanya dapat dilihat melalui indikator angka kesakitan yaitu persentase penduduk yang mengalami gangguan kesehatan sehingga mampu mengganggu aktivitas sehari-hari.

Tabel 42 Sebaran responden menurut PHBS dan status kesehatan Kategori PHBS Status kesehatan Total Sehat Sakit n % n % n % Kurang 3 18.8 8 32.0 11 26.8 Sedang 4 25.0 13 52.0 17 41.5 Baik 9 56.2 4 16.0 13 31.7 Total 16 100.0 25 100.0 41 100

Proporsi terbesar responden yang memiliki anak balita sehat memiliki PHBS dengan kategori yang baik (56.2%). Sebagian besar pada anak balita sakit memiliki ibu dengan kategori PHBS yang sedang (52.0%). Uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa perilaku hidup bersih berhubungan positif signifikan dengan status kesehatan (r=0.381,p<0.05). Hal ini berarti semakin tinggi PHBS responden maka anak balita tersebut akan semakin sehat. Menurut Yoon et al. (1997), perilaku hidup sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Salah satu perilaku hidup sehat adalah melakukan pencegahan dan pengobatan penyakit. Upaya pencegahan dan pengobatan penyakit dapat dilakukan dengan meningkatkan daya tahan tubuh, perbaikan kesehatan diri dan lingkungan. Hubungan Sanitasi Lingkungan dengan Status Kesehatan

Sanitasi lingkungan merupakan faktor penting penyebab terjadinya penyakit infeksi pada anak balita. Lingkungan keluarga yang miskin umumnya hidup dalam kondisi yang kurang bersih dan memiliki perilaku hidup yang kurang sehat. Berdasarkan Tabel 39 menunjukkan bahwa sebagian besar anak balita sakit (48.0%) memiliki rumah dengan sanitasi lingkungan yang kurang. Begitu pula rumah tangga yang memiliki anak balita sehat, sebagian besar memiliki sanitasi yang kurang pula (56.3%).

(31)

Tabel 43 Sebaran responden menurut sanitasi lingkungan dan status kesehatan Sanitasi Lingkungan Status kesehatan Total Sakit Sehat n % n % n % Kurang 12 48.0 9 56.3 21 51.2 Sedang 7 28.0 3 18.7 10 24.4 Baik 6 24.0 4 25.0 10 24.4 Total 25 100.0 16 100.0 41 100.0

Berdasarkan uji analisis Spearman menunjukkan pula ternyata tidak terdapat hubungan antara sanitasi lingkungan dengan status kesehatan (p>0.05). Hal ini karena penyebab suatu penyakit tidak hanya dari faktor lingkungan saja (lingkungan fisik, sosial ekonomi, budaya, dan lain-lain), tetapi juga ada faktor lain yaitu keturunan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Perilaku merupakan faktor yang memiliki presentase terbesar yang mempengaruhi status kesehatan, yaitu sebesar 40% (Bloem 1974 dalam Notoatmodjo 2007). Pada penelitian yang dilakukan oleh Sab’atmaja (2010) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sanitasi lingkungan dengan status kesehatan.

Hubungan Status Kesehatan dengan Status Gizi

Salah satu masalah kesehatan yang terjadi pada anak balita yang tinggal di pemukiman kumuh adalah keadaan kurang gizi dan kejadian sakit karena pola makan yang tidak teratur serta kondisi lingkungan yang buruk. Keadaan kurang gizi merupakan salah satu faktor penyebab mudahnya seseorang terserang penyakit infeksi, hal ini karena sistem imunitas atau antibodi yang dimiliki seseorang berkurang (Almatsier 2006).

Ada hubungan timbal balik antara penyakit infeksi dengan tingkat keadaan gizi. Malnutrisi merupakan salah satu faktor penting yang berkontribusi terhadap kesakitan. Keadaan gizi yang buruk akan mempermudah seseorang terkena penyakit terutama penyakit-penyakit infeksi. Sebaliknya, penyakit infeksi akan memperburuk keadaan gizi seseorang (Hartriyanti & Triyanti 2010). Namun, berdasarkan hasil analisis Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara status gizi dengan status kesehatan anak balita. Hal ini disebabkan karena status kesehatan yang diperoleh yaitu hanya kejadian sakit anak balita dalam dua minggu terakhir. Hal tersebut belum menggambarkan riwayat sakit anak balita tersebut. Menurut Entjang (2000) terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan seperti kekebalan (daya tahan tubuh). Meskipun agen penyebab penyakit menyerang manusia jika memiliki daya tahan tubuh yang tinggi maka tidak akan sakit.

Gambar

Gambar 2 Peta Administrasi Wilayah Manggarai
Tabel 16 Sebaran orangtua berdasarkan pendidikan
Tabel 24 Sebaran responden berdasarkan kondisi fisik rumah
Tabel  27  menunjukkan  tentang  pengetahuan  gizi  responden.  Secara  keseluruhan  lebih  dari  separuh  pengetahuan  yang  dimiliki  responden  sudah  cukup  baik  untuk  setiap  pertanyaan,  kecuali  pada  pengetahuan  gizi  ibu  mengenai  makanan  unt
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian ini dilakukan pada saat kondisi rumah dalam kondisi malam hari atau lampu mati dengan sudut pengambilan 40 derajat, didapatkan data sebagai berikut

1&#34; 5isi 5isiko penuruna ko penurunan deraja n derajat kesehat t kesehatan lansia di r an lansia di r&#34; T &#34; Tegal gundul e egal gundul erhuung rhuungan dengan

Gugatan oleh Pekerja atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalama pasal 159 dan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 tahun sejak diterimanya atau

4.4.4 Analisis Tingkat Pemahaman Mahasiswa FE USU Terhadap Peran Para Pelaku Pasar Modal dan Lembaga Penunjang yang Terlibat Langsung Dalam Proses Transaksi di

Malah kami memohon daripada-Mu Ya Allah dengan penuh ketaakulan agar majlis anugerah ini akan menjadi katalis dan sumber inspirasi kepada pelajar-pelajar lain supaya

motor bakar otto sesudah penggunaan blower dengan bahan

Yang dimaksud dengan shalat sebagai barometer dari amalan shalat seseorang yaitu karena shalat merupaka tiangnya/pondasi agama. analoginya, sama halnya seperti rumah yang

Sehingga dibuat suatu alternatif berupa sebuah aplikasi terkomputerisasi yang dapat membantu Staff Content Division dalam penyelenggaraan poling maupun kuis bagi