• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buah Tropis di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buah Tropis di Indonesia"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Buah Tropis di Indonesia

Buah tropis di Indonesia merupakan komoditas hortikultura yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai usaha agroindustri. Pengelolaan usahatani buah tropis sebagai usaha agroindustri dapat meningkatkan pendapatan petani karena nilai ekonomi buah tropis yang tinggi. Buah tropis sebagai komoditas hortikultura pada umumnya ditanam sebagai tanaman sela, tanaman pekarangan, dan kebun.

Pada saat ini, pembangunan agroindustri komoditas buah tropis pada berbagai sentra produksi hampir di seluruh propinsi Indonesia telah mempunyai fasilitas melalui berbagai program dan kegiatan dengan dukungan dana dari APBN, APBD (propinsi dan kabupaten/kota) atau dukungan dana dari masyarakat (petani dan swasta). Pelaksanaan pengembangan buah tropis sebagai produk hortikultura juga telah didukung dengan kegiatan dari berbagai institusi di dalam lingkup dan di luar lingkup Kementrian Pertanian. Kegiatan dan pendanaan pembangunan hortikultura telah dilakukan untuk pengembangan budidaya dan penerapan teknologi, pemberdayaan kelembagaan petani, penguatan modal usaha, fasilitas promosi investasi dan produk, serta fasilitasi kerjasama dan kemitraan usaha antar produsen dan pelaku usaha di sentra produksi dan sentra pemasaran.

Ketersediaan komoditas hortikultura dapat diukur dari ketersediaan produk per kapita, yaitu angka yang menunjukkan tingkat konsumsi penduduk yang telah memperhitungkan kuantitas produksi, jumlah penduduk, tambahan dari impor dan pengurangan akibat ekspor serta pengurangan untuk keperluan bibit dan pakan ternak. Ketersediaan buah per kapita meningkat 3,47% dari 72,93 kg/th pada tahun 2007 menjadi 75,46 kg/th pada tahun 2008. Peningkatan ketersediaan ini sangat berkaitan dengan upaya peningkatan produksi dan kualitas produk yang telah dilakukan selama ini (Direktorat Jenderal Hortikultura 2009).

Secara keseluruhan, luas panen buah tropis di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan, yaitu 756.766 hektar pada tahun 2007 dan 811.408 hektar pada tahun 2008. Secara kuantitas, peningkatan produksi tanaman buah pada tahun 2008 cukup besar, yaitu 1.124.626 ton. Dalam perdagangan internasional,

(2)

impor produk tidak dapat dihindari walaupun terjadi peningkatan produksi nasional. Jika neraca ekspor impor bernilai positif (volume dan nilainya), maka pasar luar negeri dan devisa dapat meningkat. Indonesia termasuk kelompok negara net-importir buah (sebagian dalam bentuk produk olahan), tetapi impor buah Indonesia relatif kecil dibandingkan dengan produksi nasional, yaitu hanya 3,5%.pada tahun 2010 (Antara 2011)

Salah satu indikator ekonomi makro yang cukup penting untuk mengetahui peranan dan kontribusi yang diberikan oleh subsektor hortikultura terhadap pendapatan nasional adalah dengan melihat nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Rata-rata peningkatan PDB nasional hortikultura sebesar 10 % pada tahun 2008. Peningkatan ini terjadi karena produksi di berbagai sentra peningkatan dan luas areal panen mengalami peningkatan serta nilai ekonomi produk hortikultura yang cukup tinggi dibandingkan komoditas lainnya (Direktorat Jenderal Hortukultura 2009).

Pada sektor pertanian, PDB sub-sektor hortikultura menempati urutan kedua terbesar setelah PDB sub-sektor perkebunan. Pada tahun 2008 nilai PDB hortikultura sebesar Rp 80.292 milyar, sedangkan nilai PDB komoditas perkebunan sebesar Rp 106.186 milyar, nilai PDB peternakan dan hasil-hasilnya Rp 82.835 milyar, serta PDB sub-sektor pertanian lainnya Rp 267.550 milyar. Dilihat dari pendapatan nasional, konstribusi hortikultura pada pembentukan PDB memperlihatkan kecenderungan meningkat, baik pada keseluruhan PDB hortikultura maupun pada PDB kelompok komoditas hortikultura. Pada tahun 2005, PDB hortikultura sebesar Rp 61,79 trilyun naik menjadi Rp 89,057 trilyun pada tahun 2009. Dari penyerapan tenaga kerja, sub-sektor hortikultura mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 2.901.900 orang pada tahun 2005 dan menunjukkan kecenderungan peningkatan selama 5 tahun hingga tenaga kerja yang terserap sebanyak 3.777.857 orang pada tahun 2008 (Direktorat Jenderal Hortukultura 2009).

2.2 Manggis

Buah manggis (Garcinia mangoestana L) merupakan salah satu komoditas buah unggulan Indonesia. Permintaan ekspor buah manggis dari Indonesia sampai

(3)

pada saat ini terus meningkat. Pangsa ekspor buah manggis Indonesia di dunia adalah sebesar 0,75% (FAO 2010). Pesaing pasar buah manggis bagi Indonesia pada saat ini adalah Thailand, Malaysia, dan negara Amerika Latin. Volume dan nilai ekspor buah manggis dari Indonesia pada tahun 2004 – 2008 ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Volume dan nilai ekspor buah manggis Indonesia pada tahun 2004-2008

Tahun Volume (ton) Nilai (x US$1.000)

2004 3.045 3.292

2005 8.472 6.386

2006 5.698 3.612

2007 9.093 4.951

2008 9.466 5.833

Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

Di Indonesia, tanaman manggis tersebar hampir ada di semua pulau. Penghasil utama buah manggis untuk ekspor adalah di pusat produksi manggis, yaitu Tasikmalaya, Purwakarta, Bogor, Sukabumi, Lampung, Purworejo, Belitung, Lahat, Tapanuli Selatan, Limapuluh Kota, Padang Pariaman, Trenggalek, Blitar, dan Banyuwangi. Produksi buah manggis di setiap provinsi di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 3. Tujuan ekspor buah manggis adalah Hong Kong, Taiwan, RRC, Singapura, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan negara-negara Eropa. Permintaan dari Amerika Serikat juga mulai tinggi pada akhir-akhir ini.

Perubahan volume ekspor buah manggis Indonesia tidak selaras dengan nilai ekspornya. Hal ini disebabkan kualitas buah manggis hasil panen petani manggis tidak stabil sehingga harga yang diberikan oleh pembeli juga tidak stabil. Sebagian besar tanaman manggis merupakan tanaman pekarangan, kebun campuran, dan ditanam pada daerah perbukitan/hutan. Budidaya tanaman manggis pada umumnya masih sangat tradisional, tanpa ada pemeliharaan (pembersihan dan pemangkasan), dan jarang dipupuk (bahkan pemupukan tidak pernah dilakukan). Jadi. petani memanen buahnya tanpa teknologi budi daya optimal dan hanya menunggu pohon manggis berbuah secara alamiah sehingga kualitas buah manggis yang dipanen tidak stabil.

(4)

Tabel 3 Produksi buah manggis di setiap provinsi di Indonesia pada tahun 2010 Provinsi Volume (ton) Provinsi Volume (ton) Provinsi Volume (ton) Provinsi Volume (ton) Aceh 1.181 Bangka Belitung 2.377 B a l i 2.236 Sulawesi Tengah 1.461 Sumatera Utara 7.751 Kepulauan Riau 156 Nusa Tenggara Barat 235 Sulawesi Selatan 1.235 Sumatera

Barat 4.093 DKI Jakarta 1

Nusa

TenggaraTimur 14

Sulawesi

Tenggara 88

R i a u 893 Jawa Barat 27.983 Kalimantan

Barat 862 Gorontalo 0 J a m b i 959 Jawa Tengah 3.260 Kalimantan Tengah 947 Sulawesi Barat 301 Sumatera Selatan 415 Daerah Istimewa Yogyakarta 866 Kalimantan Selatan 452 Maluku 120

Bengkulu 4.442 Jawa Timur 11.238 Kalimantan

Timur 314

Maluku

Utara 421

Lampung 6.583 Banten 2.369 Sulawesi

Utara 1.282

Papua

Barat 3

Sumber: Badan Pusat Statistik (2011)

2.3 Rantai Pasok

Sistem rantai pasok adalah sebuah pendekatan yang digunakan untuk mengefisienkan secara integral antara pemasok, pengolah, gudang, dan konsumen akhir sehingga barang atau jasa diproduksi dan didistribusikan dalam jumlah yang tepat, lokasi yang tepat, dan pada waktu yang tepat dengan tujuan meminimalkan biaya ketika terdapat permintaan terhadap kepuasan konsumen (Levi et al. 2000). Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2003), rantai pasok adalah suatu sistem tempat organisasi menyalurkan produk dan jasanya kepada para konsumennya. Rantai ini juga merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang saling berhubungan yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan atau penyaluran produk dan jasa tersebut. Analisis rantai pasok menekankan pada cara barang berpindah dari produsen kepada konsumen, pertukaran pembayaran kredit dan modal di antara anggota rantai pasok, sinyal harga, perilaku harga, nilai tambah, inseminasi teknologi, serta aliran informasi pada rantai pasok tersebut.

Manajemen rantai pasok merupakan pendekatan yang digunakan untuk memadukan pemasok, pengolah, gudang, dan pengecer secara efisien sehingga suatu barang dapat diproduksi dan didistribusikan pada kuantitas yang tepat, lokasi yang tepat, dan waktu yang tepat untuk memuaskan kebutuhan tingkat

(5)

pelayanan dengan biaya minimal (Levi et al. 2000). Bailey et al. (2002) menggunakan definisi manajemen rantai pasok yang dikembangkan oleh The International Centre for Competitive Excellence, yaitu manajemen rantai pasok merupakan integrasi proses bisnis dari pengguna akhir melalui pemasok awal yang memberikan produk, pelayanan, dan informasi yang memberi nilai tambah untuk konsumen. Menurut Vorst (2000) manajemen rantai pasok adalah perencanaan yang terintegrasi, koordinasi, serta pengendalian seluruh proses bisnis logistik dan kegiatan dalam rantai pasok untuk memberikan nilai unggul pada biaya yang minimum pada rantai pasok tersebut dengan tetap memuaskan keinginan pemangku kepentingan lain dalam rantai pasok tersebut. Tang (2006) mendefinisikan manajemen rantai pasok sebagai manajemen aliran bahan, informasi, dan finansial melalui sebuah jaringan kerja organisasi (yaitu pemasok, pengolah, penyedia logistik, pedagang besar/distributor, dan pengecer) yang bertujuan untuk memproduksi dan mengirimkan produk atau jasa untuk pelanggan. Manajemen rantai pasok mencakup koordinasi serta kolaborasi proses dan kegiatan melalui fungsi yang berbeda, seperti pemasaran, penjualan, produksi, perancangan produk, pengadaan, logistik, pembiayaan, dan teknologi informasi dalam jaringan kerja organisasi.

Rantai pasok lebih ditekankan pada aliran bahan dan informasi, sedangkan manajemen rantai pasok menekankan pada upaya memadukan kumpulan rantai pasok (Vorst 2004). Tujuan manajemen rantai pasok adalah mengurangi risiko pasar, meningkatkan nilai tambah, efisiensi, dan keunggulan kompetitif, serta menyusun strategi pengembangan produk dan memasuki pasar baru (Saptana et al. 2006).

2.4 Rantai Pasok Pertanian

Pada prinsipnya, rantai pasok pertanian memiliki dua tipe, yaitu produk segar dan produk yang diproses. Produk segar dapat berupa buah, sayuran, dan sejenisnya yang tidak membutuhkan proses pengolahan khusus atau proses transformasi kimia. Produk pertanian yang diproses membutuhkan proses transformasi kimia atau perubahan bentuk. Rantai pasok untuk produk pertanian yang diproses akan melibatkan beberapa pemain, di antaranya petani atau

(6)

perkebunan, pengolah atau pabrik, distributor, dan pengecer (retail). Setiap perusahaan diposisikan dalam sebuah lapisan jaringan dan keterlibatan minimal satu rantai pasok. Dalam jaringan rantai pasok pertanian, lebih dari satu rantai pasok dan lebih dari satu proses bisnis yang dapat diidentifikasi. Dalam satu waktu, proses paralel dan berurutan dapat terjadi dalam rantai pasok pertanian (Vorst 2006a).

Jika rantai pasok pada umumnya didefinisikan sebagai sistem consumer-driven, maka rantai pasok pertanian dapat didefinisikan sebagai sistem producer-consumer-driven. Peramalan permintaan dan pasokan mempunyai tingkat kepentingan yang sama dalam rantai pasok pertanian, tetapi anggota rantai pasok mempunyai kemampuan yang terbatas untuk mengendalikannya (Bailey et al, 2002). Rantai pasok pertanian juga cukup khas karena karakteristik bahan pertanian yang sangat sensitif terhadap waktu. Oleh karena itu, pengelolaan persediaan, transportasi, dan komponen rantai pasok lainnya perlu dirancang dengan memperhatikan karakteristik tersebut.

Pembahasan rantai pasok pertanian belum banyak dilakukan karena kajian rantai pasok pada umumnya dilakukan oleh para peneliti dengan latar belakang ilmu manajemen atau keteknikan yang berbasis logam. Beberapa penelitian yang mengkaji lingkup rantai pasok pertanian antara lain Wouda et al. (2001), Schiefer (2002), Haan et al. (2003), Zee dan Vorst (2005), Aramyan et al. (2006), Vorst (2006b), dan Yandra et al. (2007). Untuk rantai pasok produk hortikultura, beberapa penelitian antara lain telah dilakukan oleh Vorst (2000), Top dan Rijgersberg (2003), Buurma dan Saranark (2006), Araki et al. (2006), Rastoin et al. (2006), Dimyati dan Muharam (2006), Hart et al. (2007), serta Marimin (2008). Karakteristik produk-produk pertanian yang sangat khas menyebabkan kompleksitas masalah rantai pasok menjadi meningkat.

2.5 Kinerja Rantai Pasok

Kinerja rantai pasok merupakan aspek utama yang perlu dikelola dalam manajemen rantai pasok. Untuk mengevaluasi kinerja suatu rantai pasok diperlukan beberapa indikator. Dalam beberapa pustaka, indikator kinerja rantai pasok yang telah dibahas adalah sebagai berikut (Sharma & Bhagwat 2007):

(7)

1. Prosedur rencana pemesanan.

Indikator ini digunakan untuk mengukur kinerja kegiatan yang terkait dengan pemesanan. Beberapa indikator tersebut adalah metode pemasukan pesanan, lead time pemesanan, dan urutan pemesanan.

2. Kerjasama rantai pasok dan yang terkait dengannya.

Indikator ini digunakan untuk menilai tingkat koordinasi di antara anggota rantai pasok. Beberapa kriteria untuk indikator ini adalah tingkat dan derajat pembagian informasi, biaya inisiatif pembeli-pedagang, perluasan kerjasama dalam perbaikan kualitas, serta perluasan pendampingan dalam usaha penyelesaian masalah.

3. Tingkat produksi.

Kategori ini terdiri dari produk dan pelayanan, penggunaan kapasitas, serta efektivitas teknik penjadwalan.

4. Ukuran yang terkait dengan pengiriman.

Ukuran ini dirancang untuk mengevaluasi kinerja pengiriman dan biaya distribusi.

5. Ukuran pelayanan konsumen dan kepuasan konsumen.

Ukuran ini bertujuan untuk mengintegrasikan spesifikasi konsumen dalam perancangan, menetapkan dimensi kualitas, serta sebagai umpan balik untuk proses pengendalian. Ukuran ini terdiri dari fleksibilitas produk/pelayanan, ketepatan waktu, dan pelayanan setelah transaksi.

6. Finansial dan biaya logistik.

Indikator ini digunakan untuk menilai kinerja finansial rantai pasok, seperti biaya aset, pengembalian modal, serta biaya persediaan total.

Gunasekaran et al. (2001, 2004) mengidentifikasi dan membahas indikator kinerja manajemen rantai pasok yang berbeda. Indikator tersebut diklasifikasikan ke dalam tingkat manajemen strategis, taktis, dan operasional. Indikator tersebut juga dibedakan sebagai alat ukur finansial dan non-finansial sehingga metode pembiayaan berdasarkan analisis kegiatan yang sesuai dapat diterapkan. Indikator evaluasi kinerja manajemen rantai pasok tersebut ditunjukkan pada Tabel 4.

(8)

Tabel 4 Indikator evaluasi kinerja manajemen rantai pasok Tingkat

Manajemen

Indikator Kinerja Finansial

Non-Finansial

Strategis Total waktu siklus rantai pasok √

Total waktu aliran kas √

Ketepatan waktu √ √

Tingkat penerimaan konsumen terhadap nilai produk √ Rasio keuntungan bersih terhadap produktivitas √

Laju pengembalian modal √

Rentang produk dan pelayanan √

Variasi pada anggaran √

Lead time pemesanan

Fleksibilitas sistem pelayanan untuk memenuhi keinginan khusus konsumen

Tingkat kerjasama pembeli-pemasok √ √

Lead time pemasok pada norma industri

Tingkat pengiriman pemasok yang bebas cacat √

Lead time pengiriman

Kinerja pengiriman √ √

Taktis Ketepatan teknik peramalan √

Waktu siklus pengembangan produk √

Metode pemasukan pesanan √

Efektivitas metode faktur pengiriman √

Waktu siklus pembelian pesanan √

Waktu siklus proses yang dirancanakan √

Efektivitas jadwal induk produksi √

Pendampingan pemasok dalam penyelesaian masalah secara teknis

√ Kemampuan pemasok untuk menanggapi masalah

kualitas

√ Inisiatif penghematan biaya pemasok √

Pencatatan pemasok dalam prosedur √

Keandalan pengiriman √

Kecepatan tanggap dalam pengiriman mendadak √

Evektivitas jadwalan perencanaan distribusi √

Operasional Biaya per jam operasi √

Biaya informasi √ √

Penggunaan kapasitas √

Total biaya persediaan:

Tingkat persediaan yang baru masuk Pekerjaan yang sedang berjalan Nilai bahan yang terbuang Produk jadi yang belum terjual

Laju penolakan pemasok √ √

Kualitas dokumentasi pengiriman √

Efisiensi waktu siklus pembelanjaan pesanan √

Frekuensi pengiriman √

Keandalan penggerak untuk kinerja √

Kualitas barang yang terkirim √

Pencapaian kiriman yang bebas cacat √

(9)

Model Supply Chain Operation Reference (SCOR) menetapkan 2 jenis atribut kinerja (Bolstorff & Rosenbaum 2003), yaitu:

1. Kinerja yang terkait dengan pelanggan yang terdiri dari:

a. Reliabilitas, yaitu kinerja rantai pasok dalam mengirimkan produk yang benar ke tempat, waktu, kondisi dan pengemasan, kuantitas, dokumentasi, serta pelanggan yang tepat

b. Responsiveness, yaitu kecepatan rantai pasok memberikan produk kepada pelanggan

c. Agility, yaitu kemampuan rantai pasok dalam menanggapi perubahan pasar untuk memperoleh atau mempertahankan keunggulan bersaing.

2. Kinerja yang terkait dengan internal yang terdiri dari:

a. Biaya, yaitu biaya yang terkait dengan pengoperasian rantai pasok

b. Pengelolaan aset, yaitu keefektifan organisasi dalam mengelola aset untuk mendukung pemenuhan permintaan. Hal ini mencakup pengelolaan seluruh aset, yaitu modal tetap dan modal kerja.

Beberapa penelitian yang terkait dengan pengukuran kinerja rantai pasok telah dilakukan antara lain oleh Bruwer dan Speh (2000), Narahari dan Biswas (2000), Chan dan Chan (2005), Pranoto (2005), Bichescu (2006), Jing-yuan et al. (2006), Jammernegg dan Reiner (2007), serta Wong dan Wong (2007). Untuk pengukuran kinerja pada rantai pasok pertanian, beberapa penelitian antara lain telah dilakukan oleh Pereira (2004), Aramyan et al. (2006), Bunte (2006), Vorst (2006b), Aramyan et al. (2007), serta Persson dan Araldi (2007).

Menurut Aramyan et al. (2006), beberapa metode telah dikembangkan untuk pengukuran kinerja rantai pasok. Beberapa metode terbaik dalam pengukuran kinerja tersebut adalah Supply-Chain Council’s Supply Chain Operations Reference (SCOR), Balance Scorecard (BSC), Multi Criteria Analysis (MCA), Data Envelopment Analysis (DEA), Activity Based Costing (ABC), Economic Value Added (EVA), dan Life Cycle Analysis (LCA).

(10)

2.6 Manajemen Risiko Rantai Pasok

Risiko pada rantai pasok dapat dikelola melalui koordinasi dan kolaborasi antar mitra dalam rantai pasok sehingga keuntungan dan keberlanjutan dapat terjamin (Tang 2006). Menurut Tang (2006), untuk mengurangi dampak risiko rantai pasok, maka perlu dilakukan koordinasi dan kolaborasi dengan 4 pendekatan dasar, yaitu:

1. Manajemen pasokan.

Pelaku dalam rantai pasok dapat melakukan koordinasi atau kolaborasi dengan mitra hulu untuk menjamin pasokan bahan yang efisien sepanjang rantai pasok. Manajemen pasokan terkait dengan 5 hal, yaitu:

a. Perancangan jaringan kerja pasokan.

Dalam merancang jaringan kerja rantai pasokan, perlu diperhatikan hal-hal berikut:

Konfigurasi jaringan kerja, yaitu pemasok, fasilitas pengolah, pusat distribusi, dan gudang mana yang harus dipilih

Penugasan produk, yaitu fasilitas (pemasok, fasilitas pengolah, pusat distribusi, dll) mana yang harus bertanggung jawab untuk proses perakitan, produk setengah jadi, dan produk akhir

Penugasan pelanggan, yaitu fasilitas di hulu yang mana yang harus bertanggung jawab untuk menangani permintaan dari hilir

Perencanaan produksi, yaitu kapan dan berapa produksi atau proses dilakukan pada setiap fasilitas

Perencanaan transportasi, yaitu kapan dan sarana transportasi apa yang harus digunakan.

b. Hubungan pemasok.

Tang (1999) mengidentifikasi 4 jenis hubungan pemasok, yaitu pedagang umum, pemasok yang disukai, pemasok khusus, dan mitra. Pemasok tersebut berbeda satu dengan yang lain dalam hal jenis kontrak, panjang kontrak, jenis pertukaran informasi, skema penentuan harga, jadwal pengiriman, dll. Hubungan pemasok juga dibedakan dengan mempertimbangkan kondisi pasar yang diukur dari sisi tingkat kepentingan strategis bahan bagi pembeli dan daya tawar pembeli.

(11)

c. Proses pemilihan pemasok (kriteria dan pemilihan pemasok).

Boer et al. (2001) membagi proses pemilihan pemasok ke dalam 3 tahap, yaitu:

Pembentukan pemilihan kriteria yang dapat dilakukan dengan metode interpretative structural modeling dan sistem pakar

Penentuan pemasok yang disetujui yang dapat dilakukan dengan metode analisis clustering, data envelopment analysis, dan artificial intelligence

Pemilihan akhir pemasok yang dapat dilakukan dengan metode model pembobotan linier, biaya total kepemilikan, model pemrograman matematis (pemograman linier, goal programming, data envelopment analysis, dll), dan model simulasi.

d. Alokasi pesanan ke pemasok.

Setelah pemasok dipilih, maka pembeli harus menentukan cara untuk mengalokasikan kuantitas pesanan pada pemasok terpilih. Risiko pada alokasi pesanan ini diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu permintaan yang tidak pasti, kapasitas pemasok yang tidak pasti, lead time pemasok yang tidak pasti, dan biaya pemasok yang tidak pasti

e. Kontrak pemasok.

Jenis kontrak pemasok yang dikarakteristikkan berdasarkan aliran bahan dan aliran finansial sebagai berikut:

Permintaan yang tidak pasti yang terdiri dari kontrak dengan harga borongan, kontrak pembelian kembali, kontrak pembagian pendapatan, dan kontrak berdasarkan kuantitas (fleksibilitas kuantitas dan pemesanan minimum)

Harga yang tidak pasti. 2. Manajemen permintaan

Pelaku dalam rantai pasok dapat melakukan koordinasi atau kolaborasi dengan mitra hilir untuk mempengaruhi permintaan dengan cara yang menguntungkan. Strategi manajemen permintaan digunakan untuk membentuk permintaan yang tidak pasti sehingga pelaku dalam rantai pasok dapat menggunakan pasokan

(12)

yang tidak fleksibel untuk memenuhi permintaan yang dimodifikasi. Strategi manajemen permintaan dirancang untuk membangkitkan efek sebagai berikut: a. Menarik / memindahkan permintaan ke waktu lain

b. Menarik / memindahkan permintaan ke pasar lain

c. Menarik / memindahkan permintaan ke produk lain yang dapat dilakukan dengan mekanisme substitusi produk dan membuat paket produk.

3. Manajemen produk

Pelaku dalam rantai pasok dapat memodifikasi rancangan produk atau proses agar pasokan lebih mudah memenuhi permintaan. Strategi manajemen produk dapat dilakukan dengan cara:

a. Penundaan proses yang diklasifikasikan berdasarkan cara pengoperasian dan peramalan permintaan sebagai berikut:

Sistem make to order tanpa perbaruan peramalan Sistem make to stock tanpa perbaruan peramalan Sistem make to order dengan perbaruan peramalan Sistem make to stock dengan perbaruan peramalan. b. Pengurutan proses

c. Substitusi produk. 4. Manajemen informasi

Pelaku dalam rantai pasok dapat meningkatkan koordinasi atau kolaborasinya jika informasi yang tersedia pada setiap pelaku rantai pasok dapat diakses oleh mitranya. Manajemen informasi dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis produk, yaitu:

a. Strategi manajemen informasi untuk pengelolaan produk fashion.

Pengurangan simpangan baku permintaan selama lead time pengisian akan menghasilkan pengurangan persediaan untuk seluruh rantai pasok. Pengelolaan produk dengan siklus hidup yang pendek dan lead time pengisian yang pendek dapat membuat pengecer melakukan pemesanan lebih dari satu kali pesanan selama musim penjualan. Pada industri barang-barang fashion, jenis sistem pengisian ini disebut sistem “respon cepat”.

(13)

b. Strategi manajemen informasi untuk pengelolaan produk fungsional.

Dalam pengelolaan produk yang bersiklus hidup panjang, informasi pasar merupakan hal yang kritis untuk membangkitkan peramalan permintaan yang tepat. Karena pedagang besar, distributor, pengolah, dan pengecer semakin jauh dari pasar pelanggan, maka para pelaku pada rantai pasok tersebut biasanya tidak mempunyai informasi pasar pada tangan pertama, seperti data penjualan, preferensi pelanggan, serta tanggapan pelanggan pada berbagai strategi pemberian harga dan promosi. Mitra rantai pasok hulu biasanya membangkitkan peramalan permintaannya berdasarkan pada pesanan yang dilakukan oleh mitra hilir mereka. Perencanaan berdasarkan pesanan yang dilakukan oleh mitra hilir akan membentuk fenomena yang disebut dengan bullwhip effect, yaitu pesanan menunjukkan peningkatan variabilitas seluruh rantai pasok walaupun permintaan pelanggan stabil (Stermann 1989). Strategi untuk mengatasi bullwhip effect, yaitu informasi bersama, persediaan pedagang yang dikelola, serta perencanaan peramalan dan pengisian secara bersama.

Beberapa penelitian terkait dengan manajemen risiko rantai pasok telah dilakukan, antara lain oleh Aviv (2004), Cachon dan Lariviere (2005), Cheng dan Wu (2005), Chod dan Rudi (2005), Gaur et al. (2005), Gilbert (2005), serta Sahin dan Robinson (2005).

2.7 Nilai Tambah Rantai Pasok

Nilai tambah merupakan perbedaan antara biaya input dan nilai output. Nilai tambah sepanjang rantai pasok dapat berbentuk barang tangible yang ditambahkan dan jasa intangible yang dipasok (Hines 2004). Nilai tambah merupakan semua tambahan nilai yang dibuat pada tahap produksi tertentu oleh faktor–faktor produksi, termasuk nilai tangible yang ditambahkan melalui transformasi bahan mentah, tenaga kerja dan barang modal, serta nilai intangible yang ditambahkan melalui modal intelektual (menggunakan aset pengetahuan) dan hubungan pertukaran (yaitu hubungan kerja sama yang dibangun).

(14)

Menurut Hayami et al. (1987), nilai tambah tangible dipengaruhi oleh: 1. Faktor teknis, yaitu kapasitas produksi, jumlah bahan baku yang digunakan,

dan tenaga kerja

2. Faktor pasar, yaitu harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku, dan nilai input lain selain bahan baku dan tenaga kerja.

Nilai tambah tangible diperoleh melalui pengurangan biaya bahan baku dan input lainnya terhadap nilai produk yang dihasilkan.

Beberapa penelitian yang terkait dengan nilai tambah dalam rantai pasok telah dilakukan, antara lain oleh Gurău (2004), Bates et al. (2006), Gloy dan Stephenson (2006), serta Clements dan Price (2007).

2.8 Pengembangan Rantai Pasok

Pengembangan rantai pasok mencakup keputusan yang sangat luas. Beberapa keputusan dalam pengembangan rantai pasok mempunyai karakteristik berefek jangka menengah hingga jangka panjang, mengandung risiko dan ketidakpastian sedang hingga tinggi, serta mempunyai konsekuensi yang relatif besar terhadap organisasi yang terlibat.

Semini et al. (2005) mengklasifikasikan keputusan dalam pengembangan rantai pasok sebagai berikut:

1. Keputusan struktur.

Keputusan struktur terkait dengan lokalisasi pabrik produksi, gudang, serta pemilihan pemasok dan penyedia jasa transportasi. Keputusan ini berupa: a. Lokalisasi fasilitas.

Keputusan ini merupakan keputusan lokalisasi geografis fasilitas dan produksi. Beberapa aspek untuk pertimbangan adalah biaya, waktu, budaya, situasi politik, modal tenaga kerja, dan kapasitas produksi.

b. Keputusan membuat atau membeli.

Dalam keputusan ini, produksi milik perusahaan sendiri dan kompetensi inti dipertimbangkan dan dievaluasi kemudian dibandingkan dengan pertimbangan jika membeli dari pemasok khusus.

(15)

c. Pemilihan pemasok.

Evaluasi kriteria pemasok adalah kualitas, ketepatan pengiriman, harga, fleksibilitas, kompetensi teknis, situasi finansial, jarak geografis dan budaya.

d. Distribusi.

Pemilihan strategi distribusi mencakup pemilihan alat transportasi dan pola distribusi, seperti pengapalan, cross-docking, dan kapasitas penyimpanan. Penggunaan jasa logistik dari pihak lain juga merupakan keputusan dalam distribusi.

2. Keputusan pengendalian.

Pada keputusan pengendalian, struktur rantai pasok tidak diubah, tetapi keputusan difokuskan pada cara mengelola rantai pasok secara efektif dan efisien. Keputusan ini berupa:

a. Perencanaan dan pengendalian sistem.

Produksi dikendalikan dengan beberapa cara yang berbeda. Material Requirement Planning dan Just In Time merupakan prinsip pengendalian yang banyak digunakan di beberapa perusahaan. Mekanisme pengendalian dalam manajemen persediaan juga merupakan keputusan yang penting, seperti titik pemesanan kembali atau pemesanan secara periodik.

b. Teknologi informasi dan komunikasi.

Teknologi informasi dan komunikasi merupakan kunci yang membuat pengendalian menjadi efektif dan efisien, misal: pengendalian untuk perencanaan manajemen pemesanan, produksi, persediaan, dan distribusi. c. Sistem integrasi dan kolaborasi antar pelaku.

Manajemen rantai pasok dapat dilakukan dengan integrasi tinggi dengan pelaku lain. Integrasi mempunyai tingkat yang berbeda dari koalisi dan aliansi serta integrasi tingkat tinggi hingga integrasi tingkat rendah dalam pasar.

d. Pengukuran kinerja.

Dalam mengukur kinerja rantai pasok digunakan ukuran kinerja yang memberikan kinerja yang lebih baik bagi seluruh rantai pasok.Menurut Viswanadham (1999), pengukuran kinerja rantai pasok secara umum dapat

(16)

diklasifikasikan ke dalam 2 kategori, yaitu pengukuran secara kualitatif (antara lain: kepuasan konsumen dan kualitas produk) dan pengukuran secara kuantitatif (antara lain: leadtime pengiriman pesanan, waktu respon rantai pasok, fleksibilitas, penggunaan sumberdaya, kinerja pengiriman, dll). Pengukuran kinerja rantai pasok secara kuantitatif secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kategori, yaitu non-finansial (lead time, tingkat pelayanan konsumen, tingkat persediaan, dan penggunaan sumber daya) dan finansial.

2.9 Penelitian Pendahulu dan Posisi Penelitian

Pengambilan keputusan diperlukan dalam pengembangan suatu rantai pasok. Model pada dasarnya digunakan untuk membantu pengambilan keputusan pada sistem yang kompleks. Model yang baik adalah model yang mampu mewakili sistem pada kondisi nyata dan memberikan konfigurasi yang efektif.

Model rantai pasok diklasifikasikan menjadi 2, yaitu model deskriptif dan model normatif. Kesulitan pengembangan model normatif yang akurat untuk pengembangan rantai pasok tergantung pada beberapa faktor dengan faktor dominan adalah sebagai berikut:

1. Tingkat keputusan yang dibuat oleh model.

Keputusan pada umumnya dibagi menjadi keputusan strategis, taktis, dan operasional. Tingkat kesulitan pengembangan model semakin tinggi dari keputusan operasional ke keputusan strategis.

2. Lingkup dan skala model.

Lingkup model berdasarkan pada jumlah dan interaksi komoditas, jumlah eselon atau tahap pada rantai pasok, serta periode dalam horizon waktu. Skala model berdasarkan pada jumlah pemasok, transformasi, serta fasilitas pelanggan dan jalur transportasi. Lingkup atau jumlah objek logistik yang semakin besar akan menambah tingkat kesulitan pengumpulan data dan penyelesaian yang optimal.

3. Jumlah negara atau asosiasi perdagangan yang terlibat dalam model.

Faktor ini dapat dimasukkan juga sebagai faktor lingkup. Kompleksitas semakin meningkat jika lebih dari satu peraturan negara, perpajakan, dan mata

(17)

uang terlibat dalam rantai pasok tersebut. Beberapa penelitian model rantai pasok telah dilakukan pada rantai pasok domestik dan rantai pasok global. Model rantai pasok domestik cenderung lebih comprehensive dengan mencakup biaya, kendala dan objek logistik yang lebih banyak serta lebih konsisten dalam mencakup beberapa faktor, komponen, dan biaya daripada model rantai pasok global.

4. Derajat ketidakpastian yang dimasukkan ke dalam model.

Model perencanaan akan mencakup peramalan nilai paramater di masa yang akan datang, seperti permintaan, produksi, biaya, dan nilai tukar. Model deterministik berdasarkan pada nilai tunggal pada setiap parameter (biasanya nilai mean). Model stokastik mencakup beberapa nilai yang masing-masing mempunyai probabilitas atau distribusi probabilitas. Analisis skenario biasanya dilakukan pada model stokastik. Model deterministik dapat juga disebut model stokastik dengan skenario tunggal.

Manajemen rantai pasok menjadi lebih sulit karena beberapa sumber ketidakpastian dan hubungan yang kompleks antara pelaku dalam rantai pasok tersebut. Oleh karena itu, keputusan reaksi terhadap ketidakpastian dan variabilitas (fleksibilitas manajemen rantai pasok yang mencakup fasilitas yang fleksibel, outsourcing, dan mekanisme kontrak) juga perlu dipertimbangkan dalam pengembangan rantai pasok (Graves & Willems 2004). Beberapa pendekatan yang digunakan untuk penyelesaian masalah ketidakpastian dan kompleksitas rantai pasok antara lain teori pengendalian yang memodelkan ketidakpastian sebagai kedatangan pengganggu pada model dinamis sistem, Model Predictive Control (MPC), sistem pakar, dan metode berdasarkan analisis statistik yang mengasumsikan bahwa variabel ketidakpastian mengikuti distribusi probabilitas tertentu.

Secara ringkas, posisi penilitian ini terhadap beberapa penelitian pengembangan rantai pasok berdasarkan jenis produk dan lingkup (1. Produk pertanian, 2. Domestik, 3. Global), metode yang digunakan (1. DEA, 3. SCOR 4. EVA, 5. Hayami, 6.Sistem Pakar, 7. Deterministik, 8. Analitik, 10. Simulasi), risiko, analisis nilai tambah, serta indikator kinerja ditunjukkan pada Tabel 5.

(18)

Pada umumnya, penelitian rantai pasok produk pertanian mengukur kinerjanya dengan mengukur keuntungan yang diperoleh (Pranoto 2005), biaya yang dikeluarkan pada proses bisnis rantai pasok tersebut (Apaiah & Hendrix 2004; Araki et al. 2006; Yandra et al. 2007), atau return on investment (Bunte 2006). Minimasi biaya dalam suatu rantai pasok produk pertanian dapat dilakukan dengan penentuan lokasi produksi, komposisi produk, dan metode transportasi yang digunakan (Apaiah & Hendrix 2004), jumlah produksi dan kapasitas produksi (Araki et al. 2006), serta tingkat persediaan (Yandra et al. 2007). Keputusan yang diambil untuk meningkatkan kinerja tersebut juga merupakan keputusan untuk mengurangi risiko dengan pendekatan manajemen pasokan (Tang 2006). Hasil beberapa penelitian lain mengenai rantai pasok produk pertanian menunjukkan bahwa anggota rantai pasok cenderung menekan biaya yang dikeluarkannya dengan cara melakukan eksploitasi terhadap anggota rantai pasok yang relatif lebih lemah (Rustiani & Maspiyati 1996; Simatupang 1997). Beradasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan tersebut, maka risiko dan nilai tambah pada setiap anggota rantai perlu dipertimbangkan dalam pengembangan rantai pasok untuk meningkatkan kinerjanya sehingga diharapkan tidak ada anggota rantai pasok yang dirugikan dan rantai pasok tersebut dapat berkesinambungan.

(19)

Apaiah dan Hendrix (2004) √ √ √ √ √

Trienekens, et al. (2004) √ √ √

Cachon dan Lariviere (2005) √ √ √ √ √

Gaur et al. (2005) √ √ √ √

Gilbert, K. (2005) √ √ √ √

Guillén et al. (2005) √ √ √ √ √

Li dan He (2005) √ √ √ √ √

Pranoto (2005) √ √ √ √ √ √

Sahin dan Robinson (2005) √ √ √

Araki et al. (2006) √ √ √ √ √ √

Bunte (2006) √ √ √ √ √ √

Jing-yuan et al. (2006) √ √ √ √

Kao-hua dan Chang-chuan (2006) √ √ √ √ √

Polatoglu (2006) √ √ √ √ √ √

Rong et al. (2006) √ √ √ √ √

Clements dan Price (2007) √ √ √ √

Persson dan Araldi (2007) √ √ √ √ √

Sharma dan Bhagwat (2007) √ √ √ √

Wong dan Wong (2007) √ √ √ √

Yandra et al. (2007) √ √ √ √ √ √

Cho et al. (2008) √ √ √ √

Yaibuathet et al. (2008) √ √ √

Penelitian yang dilakukan √ √ √ √

Keterangan:

Jenis produk dan lingkup:1. Produk pertanian, 2. Domestik, 3. Global

Gambar

Tabel 3 Produksi buah manggis di setiap provinsi di Indonesia pada tahun 2010  Provinsi  Volume  (ton)  Provinsi  Volume (ton)  Provinsi  Volume (ton)  Provinsi  Volume (ton)  Aceh   1.181  Bangka  Belitung  2.377  B a l i  2.236  Sulawesi Tengah   1.461  Sumatera  Utara  7.751  Kepulauan Riau  156  Nusa Tenggara Barat  235  Sulawesi Selatan  1.235  Sumatera
Tabel 4 Indikator evaluasi kinerja manajemen rantai pasok

Referensi

Dokumen terkait

Sistematika dokumen Renja Kecamatan Semanding Tahun 2021 sebagaimana mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara

Sebuah papan permainan yang dimulai dari petak start dan dilengkapi dengan petak-petak materi, petak masuk rumah sakit, parkir bebas, dana umum dan juga

Atas dasar penelitian dan pemeriksaan lanjutan secara seksama terhadap berkas yang diterima Mahkamah Pelayaran dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP)

Setelah 4-5 jam dalam pelayarannya kapal mengalami cuaca buruk dan ombak besar, Saksi melaporkan kepada Tersangkut Nakhoda bahwa kapal bocor dan diperintahkan

Ratna Askiah S, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Metrologi dan Instrumentasi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.. Seluruh Dosen dan

Dimana apabila menunjukan status tersedia dari sebuah sarana pada suatu tanggal tertentu itu artinya sarana tersebut masih bisa untuk dilakukan pemesanan karena

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Ayu Sari dan Rina Harimurti dengan judul Sistem Pakar untuk Menganalisis Tingkat Stres Belajar pada Siswa

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis akan meneliti pengaruh dari penerapan PSAK 24 khususnya mengenai imbalan pascakerja terhadap risiko perusahaan dan