• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Padi IP 400. Padi IP 400 merupakan salah satu jenis program penanam padi yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Padi IP 400. Padi IP 400 merupakan salah satu jenis program penanam padi yang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Padi IP 400

Padi IP 400 merupakan salah satu jenis program penanam padi yang mengalami pengindentifikasian guna meningkatkan produksi padi tanpa memerlukan tambahan fasilitas irigasi dan pembukan lahan baru. IP padi 400 artinya, petani dapat memanen hamparan sawah yang sama empat kali dalam setahun. Untuk mendukung hal tersebut, dua strategi yang perlu dilakukan oleh pengelola adalah rekayasa sosial dan rekayasa teknologi. Rekayasa sosial dalam hal ini adalah berupa sosialisasi kepada petani tentang padi IP 400 dan Rekayasa teknologi dalam hal ini adalah varietas unggul yang sangat genjah antara 80-104 hari yang mampu berproduksi tinggi, hemat air dengan irigasi berselang, persemaian dapok atau culikan dan pengembangan sistem monitoring dini sebelum tanam, persemaian, penanaman, dan sesudah pemanenan (Deptan 2009). Pola Tanam

Penanaman padi IP 400 diterapkan berdasarkan pola hujan tahunan antara Oktober-Maret adalah musim hujan dan April-September adalah musim kemarau. Teknologi yang dibutuhkan harus sesuai dengan kondisi tersebut yaitu: 4 musim tanam atau 3 bulan/musim, persedian air ada sepanjang tahun, semua kegitan perlu dilaksanakan secara cepat atau bahkan ada kegitan secara tumpang tindih atau persemaian dilakukan saat sebelum panen, padi ditanam dalam hamparan secara serentak. Sebagai pendukung perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: pola tanam dibagi atas 4 bagian dimana pola tanam I dilakukan antara Oktober-Desember, pola tanam ke II dilakukan antara Januari-Maret, pola tanam ke III

(2)

dilakukan antara April-Juni dan pola tanam ke IV dilakukan antara Juli-September. Dimana pada pola tanam I dan III dengan menggunakan varietas padi genjah >105-124 hari seperti Ciherang, IR64 dan Mekongga dan pada pola tanam II dan IV dengan menggunakan varietas padi sangat genjah yang berumur antara 90-104 hari. Ha ini dilakukan untuk mencegah ledakan hama yang terjadi selama masa tanam (Deptan 2009).

Varietas

Beberapa varietas padi yang dibudidayakan di lahan sawah irigasi seperti Cisadane, Memberamo, IR64, IR36, Dodokan, Batang Anai mengemisi gas metana lebih tinggi daripada yang dibudidayakan di lahan sawah tadah hujan meskipun digenangi terus menerus, masing-masing dengan beda 246-282. 115-316, 121-125, 221, 208-337, dan 57 kg CH4/ha. Di ekosistem sawah tadah hujan,

varietas padi yang ditanam secara gogorancah atau tabela memberikan emisi metana berbeda bilamana ditanam secara pindah (tapin). Emisi gas metana pada padi gogorancah selama musim penghujan umumnya lebih tinggi daripada padi tapin selama musim kering, dengan perbedaan sebesar 38, 126, 37, 45, 93, 52 kg CH4

Persemaian dapat dilakukan dengan cara persemaian culikan yaitu dengan menyemaikan benih 15 hari sebelum panen. Persemaian kering yang dilakukan di /ha pada masing-masing varietas Muncul, Way Apoburu, Tukad Balian, Tukad Petanu, Ciherang, dan Cisantana. (BPLP Jawa tengah 2006).Varietas yang dipilih untuk penanaman IP padi 400 sebaiknya didasarkan pada umur tanaman dan ketahanan terhadap hama penyakit. Sebelum dilakukan penanaman, padi terlebih dahulu disemaikan selama 15 hari (Wihardjaka, 2006).

(3)

darat sedangkan persemaian basah dilakukan di lahan sawah di luar areal yang akan dipanen. Pemilihan jenis persemain yang akan dilakukan tergantung dengan kondisi lahan dan jenis benih yang akan digunakan ( Deptan 2009).

Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah yang dilakukan dalam padi IP 400 dapat dilakukan dengan Olah Tanah Sempurna (OTS) dan Tanpa Olah Tanah ( TOT). Olah tanah sempurna dilakukan dengan membalikan tanah dengan bajak atau traktor lalu menggenangi tanah dan dilakukan penanaman benih padi umur 21 hari. Tanpa olah tanah dapat dilakukan apabila terbatasnya alat olah tanah dengan persyaratan tanah tidak menggandung fraksir pasir yang tinggi dan mudah berlumpur bila dilakukan penggairan. Pengolahan tanah tanpa olah tanah dilakukan dengan cara pembersihan gulma, penggenangan 3 cm selama 4 hari lalu dikeringkan dan ditanami benih umur 22 HSS dan dengan jarak tanam 20-25 cm (Deptan 2009). Pengairan

Pengairan yang dilakukan dalam padi IP 400 dapat dilakukan dengan sistem tanam pindah dan dengan sistem berselang. Sistem yang dilakukan tergantung dengan kondisi, cara tanam dan ketersediaan air di sekitar lahan yang digunakan (Deptan 2009).

Pengaruh Pemberian Jerami Terhadap Emisi Metan (CH4)

Bahan organik berupa jerami merupakan bahan amelioran penting dalam menunjang kesuburan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Menurut Soepardi (1983), setengah dari kapasitas tukar kation tanah berasal dari bahan

organik. Bahan organik juga merupakan salah satu sumber hara mikro tanaman, selain sebagai sumber energi dari sebagian mikroorganisme tanah. Dalam memainkan peran tersebut, bahan organik sangat tergantung dari sumber bahan penyusunnya.

(4)

Sumber dan susunan unsur hara bahan organik dari jerami segar dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1. Sumber dan Susunan Unsur Hara Jerami Segar.

Unsur Hara Jumlah (%)

N P K Ca Mg Zn Si 0.64 0.05 2.03 0.29 0.14 0.02 8.8 Sumber : Dinas Pertanian (2008) dalam Perdana (2008)

Kompos jerami padi merupakan sisa panen tanaman padi sawah yang telah didekomposisi oleh mikrobia perombak. Hasil penelitian Nuraini (2009) menunjukkan bahwa kompos jerami memiliki kandungan N-organik 0,91%;

N-NH4 0,06%; N-total 1,03%; P2O5 0,69%; C-organik 19,09% dan air 9,22%. Hasil

penelitian juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kandungan yang nyata antara kompos yang dibuat dengan menggunakan dekomposer dengan kompos tanpa dekomposer, namun pembuatan kompos yang menggunakan dekomposer lebih cepat dibandingkan dengan tanpa dekomposer.

Jerami yang mudah terdekomposisi merupakan bahan baku utama bagi bakteri metanogenik dalam membentuk CH4 di lahan sawah. Neue (1993), menghitung total

emisi CH4 dari lahan sawah dari total biomassa kalau dikembalikan ke dalam tanah,

dengan asumsi rata-rata 15% jerami, 50% gulma tanah dan seluruh akar tanaman ditambah biomassa aquatik (algae dan gulma); jumlah yang dikembalikan itu setiap tahun (kurang lebih setara 390 juta ton biomassa atau setara 156 juta t-1 karbon), dan 30% karbon yang dikembalikan tersebut diubah menjadi CH4, maka sekitar 62,4 Tg (terra gram

= 1012 g) CH4 akan dihasilkan dari lahan sawah setiap tahunnya di seluruh dunia.

Schutz et al. (1989) melaporkan bahwa penambahan jerami kering 3 ton/ha menghasilkan emisi CH40,5 kali lebih tinggi dibanding dengan tanpa pemberian jerami,

(5)

dua kali lebih tinggi pada penambahan 5 ton/ha, dan 2,4 kali lebih tinggi pada penambahan 12 ton/ha. Sedangkan penambahan 60 ton/ha jerami memberikan emisi yang sama dengan pemberian 12 ton/ ha. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan pula bahwa lahan sawah dengan penambahan jerami, urea dan amonium sulfat memberi emisi yang lebih tinggi dibanding lahan yang hanya sekedar diberi jerami (tanpa pemupukan). Yagi

and Minami (1990) menemukan bahwa penambahan jerami 6 ton/ha dapat meningkatkan emisi CH4 1,8 - 3,3 kali lebih besar dibanding hanya pemberian pupuk anorganik. Pada

penambahan 9 ton/ha emisi CH4yang dihasilkan 3,5 kali lebih besar. Hal yang menarik

dari penelitian ini adalah bahwa penambahan jerami yang sudah menjadi kompos (terhumifikasi) tidak memberi emisi yang tinggi.

Penelitian Wihardjaka (2001) juga dengan menggunakan beberapa jenis bahan organik pada tanah sawah memberikan hasil bahwa emisi metan terbesar didapat dari pemberian pupuk kandang, pemberian jerami segar, kompos jerami dan tanpa bahan organik.

Tabel 2. Emisi CH4 dan Hasil Gabah dari Beberapa Pemberian Pupuk Kandang

dan Jerami Padi yang Ditanam di Indonesia Per Musim Tanam

Perlakuan Emisi CH4 (kg/ha) Hasil Gabah (ton/ha) Pupuk Kandang 146 6.3 Jerami Segar 132 4,9 Kompos Jerami 129 6.4 Tanpa Bahan- Organik 65 2.1 Sumber : Wihardjaka (2001)

Pupuk Kandang Sapi

Limbah ternak dapat lebih bermanfaat setelah melalui proses pengolahan, menjadi kompos. Keengganan peternak untuk memproses kotoran ternak menjadi

(6)

kompos disebabkan oleh lama waktu yang dibutuhkan selama proses pengomposan lebih kurang 2 bulan. Namun dengan adanya berbagai teknologi, kotoran ternak dapat didekomposisi menjadi kompos dalam waktu yang lebih singkat.

Kotoran sapi yang mengalami dekomposisi menghasilkan yang sebahagian besar berupa CH4 (Metan) dan CO2

Jenis Gas

(karbondioksida). Proses dekomposisi dibantu oleh beberapa mikroorganisme. Kandungan gas tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah.

Tabel 3. Kandungan Emisi yang Terdapat pada Kotoran Sapi

Jumlah (%) Metan (CH4)

Karbondioksida (CO2)

Nitrogen (N2)

Karbon Monoksida (CO) Oksigen (O2) Hydrogen Sulfida (H2 54 – 70 27 – 54 0,5 – 2 0,1 0,1 Sedikit sekali S) Sumber: Hadi (1980)

Hewan ternak telah dikenal sebagai penyumbang emisi GRK. “Bayangan Panjang Peternakan (Livestock’s Long Shadow)”, laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) tahun 2006 yang telah dikutip secara luas, memperkirakan emisi sebesar 7.516 juta metrik ton ekuivalen CO2 per tahun, atau 18 persen emisi GRK dunia setiap tahun, dihasilkan oleh hewan ternak sapi, kerbau, domba, kambing, unta, kuda, babi, dan unggas. Dengan jumlah sebesar itu, peternakan sangat jelas memenuhi syarat untuk mendapat perhatian besar dalam mencari cara-cara untuk menangani perubahan iklim. Tetapi hasil analisa memperlihatkan

(7)

bahwa peternakan dan hasil sampingnya sebenarnya bertanggung jawab atas setidaknya 32.564 juta metrik ton CO2 per tahun, atau 51 persen dari seluruh emisi GRK dunia setiap tahun.

Suhu Udara

Secara umum iklim sebagai hasil interaksi proses-proses fisik dan kimiafisik parameternya, seperti suhu, kelembaban, angin, dan pola curah hujan yang terjadi pada suatu tempat di muka bumi. Iklim muncul akibat dari pemerataan energi bumi yang tidak tetap dengan adanya perputaran/revolusi bumi mengelilingi matahari selama kurang lebih 365 hari serta rotasi bumi selama 24 jam. Hal tersebut menyebabkan radiasi matahari yang diterima berubah tergantung lokasi dan posisi geografi suatu daerah (Winarso, 2008).

Suhu udara adalah ukuran energi kinetik rata – rata dari pergerakan molekul – molekul. Suhu suatu benda ialah keadaan yang menentukan kemampuan benda tersebut, untuk memindahkan (transfer) panas ke benda – benda lain atau menerima panas dari benda – benda lain tersebut. Dalam sistem dua benda, benda yang kehilangan panas dikatakan benda yang bersuhu lebih tinggi (Yani, 2009).

Suhu merupakan karakteristik yang dimiliki oleh suatu benda yang berhubungan dengan panas dan energi. Jika panas dialirkan pada suhu benda, maka suhu benda tersebut akan turun jika benda yang bersangkutan kehilangan panas. Akan tetapi hubungan antara satuan panas dengan satuan suhu tidak merupakan suatu konstanta, karena besarnya peningkatan suhu akibat penerimaan panas dalam jumlah tertentu akan dipengaruhi oleh daya tampung panas (heat capacity) yang dimiliki oleh benda penerima tersebut (Lakitan, 2002).

(8)

Suhu udara akan berfluktuasi dengan nyata selama setiap periode 24 jam. Fluktuasi suhu udara (dan suhu tanah) berkaitan erat dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer. Pada siang hari, sebagian dari radiasi matahari akan diserap oleh gas-gas atmosfer dan partikel-partikel padat yang melayang di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari akan menyebabkan suhu udara meningkat. Suhu udara harian maksimum tercapai beberapa saat setelah intensitas cahaya maksimum tercapai. Intensitas cahaya maksimum tercapai pada saat berkas cahaya jatuh tegak lurus, yakni pada waktu tengah hari (Lakitan, 2002).

Permukaan bumi merupakan permukaan penyerap utama dari radiasi matahari. Oleh sebab itu permukaan bumi merupakan sumber panas bagi udara di atasnya dan bagi lapisan tanah di bawahnya. Pada malam hari, permukaan bumi tidak menerima masukan energi dari radiasi matahari, tetapi permukaan bumi tetap akan memancarkan energi dalam bentuk radiasi gelombang panjang, sehingga permukaan akan kehilangan panas, akibatnya suhu permukaan akan turun. Karena perannya yang demikian maka fluktuasi suhu permukaan akan lebih besar dari fluktuasi udara di atasnya (Lakitan, 2002).

Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah

Sumber utama emisi gas metan berasal dari aktifitas manusia (sumber antropogenik). Hampir 70% total emisi metan berasal dari sumber antropogenik dan sisanya (Sekitar 30%) berasal dari sumber-sumber alami (Mudiyarso and Husin,1994). Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam proses produksi gas metan (Li, et al., 2005).

(9)

Konsentrasi metan (CH4

Sebagian dari metan yang diproduksi akan dioksidasi oleh bakteri metanotrof yang bersifat aerobik di lapisan permukaan tanah dan di zona perakaran. Bakteri ini menggunakan metan sebagai sumber energi untuk metabolisme. Sisa metan yang tidak teroksidasi dilepaskan atau diemisikan dari lapisan bawah tanah ke atmosfir melalui tiga cara, yaitu: (1) proses difusi melalui air genangan ; (2) gelembung gas yang terbentuk dan terlepas ke permukaan air genangan melalui mekanisme ebulisi ; (3) gas metan yang terbentuk masuk ke ) sebagai salah satu komponen gas rumah kaca di atmosfir ditentukan olah keseimbangan tanah sebagai sumber (source) dan rosot (sink). Ekosistem dengan kondisi anaerob dominan, terutama akibat penggenangan seperti pada tanah sawah dan lahan basah lainnya, merupakan sumber utama emisi metan. Emisi metan dari lingkungan akuatik seperti tanah sawah pada dasarnya dipengaruhi oleh dua proses mikrobial yang berbeda, yaitu produksi metan dan konsumsi metan (Rudd and Taylor, 1980).

Pengenangan adalah kerakteristik dari sistem irigasi tanah sawah. Pada kondisi tergenang, kebutuhan oksigen yang tinggi dibandingkan laju penyediannya yang rendah menyebabkan terbentuknya dua lapisan tanah yang sangat berbeda, yaitu lapisan permukaan yang oksidatif atau aerobik dimana tersedia oksigen dan lapisan reduktif atau enaerobik di bawahnya dimana tidak tersedia oksigen bebas (Patrick and Reddy, 1978).

Metan diproduksi sebagai hasil akhir dari proses mikrobial melalui proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik oleh bakteri metanogen (Zehnder and Stumm, 1988; Neue, 1993; Murdiyarso dan Husin 1994; Ohta., 2006). Bakteri ini hanya aktif bila kondisi tanah dalam keadaan tergenang.

(10)

dalam jaringan perakaran tanaman padi dan bergerak secara difusi dalam

pembuluh aerenkimia untuk selanjutnya terlepas ke atmosfir (Rennenberg, et al., 1992).

Pengukuran Fluks Emisi CH4 di Lapangan

Pengukuran fluks emisi CH4 di lapangan dilaksanakan dengan metode

sungkup statik yang terbuat dari polycarbonat yang berukukuran 50 cm x 50 cm x 100 cm yan dilengkapi dengan termometer untuk mengukur suhu di dalam sungkup, serta fan kecil untuk mempertahankan agar udara di dalam sungkup homogen. Jarum suntik digunakan untuk mengambil sampel gas dari dalam sungkup.

Sampel gas CH4 diambil pada 35, 42, 55 dan 81 HST, masing-masing gas

CH4 diambil setelah tanaman padi disungkupi selama 10 menit untuk setiap

perlakuan. Dilakukan pada pagi hari antara pukul 07.00 – 09.00 karena pada saat itu akar tanaman akan menghasilkan gas CH4 dalam jumlah yang besar. Fluks

emisi pada pukul 07.00 – 09.00 WIB merupakan fluks rata-rata. Saat pengukuran fluks emisi CH4

Pengambilan sampel gas CH

, sungkup diletakkan di atas alas aluminium dengan hati-hati. Saat petak dalam kondisi ada genangan, bagian bawah sungkup yang diletakkan pada alas aluminium berada di bawah permukaan air. Saat pengukuran dalam kondisi tanpa genangan, alas aluminium diberi air sebelum sungkup dipasangkan di atasnya. Hal ini dilakukan untuk mengisolasi udara dalam sungkup terhadap pengaruh udara dari luar.

4 dari dalam sungkup dilakukan dengan jarum

suntik ukuran 10 ml. Untuk menghindari kebocoran, segera setelah pengambilan sampel gas, jarum suntik ditutup dengan sumbat karet dan kemudian dibungkus

(11)

dengan kertas aluminium foil yang berfungsi untuk mengurangi panas radiasi matahari selama pengambilan contoh gas CH4. Jarum suntik tersebut selanjutnya

disimpan di dalam wadah tertutup yang berisi es batu agar tidak terpengaruh udara luar dan untuk mempertahankan suhu tetap di bawah 50C karena gas CH4 akan

menguap pada suhu di atas 50C. Penetapan konsentrasi gas CH4 dilakukan dengan

menggunakan peralatan Gas Chromatography, dengan mengirimkan sampel gas tersebut ke laboratorium GRK.

Gambar

Tabel 1. Sumber dan Susunan Unsur Hara Jerami Segar.
Tabel 2. Emisi CH 4  dan Hasil Gabah dari Beberapa Pemberian Pupuk Kandang
Tabel 3. Kandungan Emisi yang Terdapat pada Kotoran Sapi

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrasi TDI yang dibutuhkan oleh asam lemak bebas hasil oksidasi melalui proteksi metilasi lebih besar dari pada tanpa perlakuan, hal ini sesuai dengan gugus –OH

Proses dari terjadinya efek rumah kaca yaitu ketika radiasi sinar matahari mengenai permukaan bumi, maka akan menyebabkan bumi menjadi panas. Radiasi panas bumi akan

Teori Rogers yang di kutip oleh Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru maka dalam diri seseorang tersebut terjadi suatu proses

Berdasarkan tabel 6 hasil uji Mann Whitney menunjukan significancy 0,007 (p = 0,007) dengan perbedaan rerata 3397,78 ml karena nilai p < 0,05 maka dapat diambil

Penetapan dan penerapan Strategi Anti Fraud sebagai bagian dari penerapan Manajemen Risiko dalam rangka pencegahan dan pengelolaan kejadian fraud di BRI mencakup 4 (empat)

Selain menerima dan berdamai dengan pendatang dari luar daerah, masyarakat juga harus siap dengan adanya pendatang daerah-daerah sekitar Kulon Progo yang tentu saja akan

KLHK memiliki peran untuk: (1) menjaga kualitas LH yang memberikan daya dukung, pengendalian pencemaran, pengelolaan DAS, keanekaragaman hayati serta pengendalian

Management Information System dikembangkan di Badan Penanaman Modal Dan Pelayanan Perizinan Kabupaten Banyumas melalui implementasi teknologi informasi (TI) sehingga