• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - 11.40.0179 Frengki Fernando Rajagukguk BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - 11.40.0179 Frengki Fernando Rajagukguk BAB I"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

A.

Latar belakang

Pada era globalisasi saat ini, pendidikan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam mengembangkan potensi dalam diri maupun untuk mencapai impian masa depan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional pada Bab 1 Pasal 1 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, kecerdasan, akhlak mulia, kepribadian, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pendidikan di Indonesia sendiri terbagi menjadi Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi (PT).

(2)

merupakan salah satu usaha pengembangan sumber daya manusia (Lestari & Suparlinah, 2010, h. 1).

Pendidikan pada dasarnya adalah cara untuk menumbuh kembangkan potensi dari sumber daya manusia untuk mendorong dan memfasilitasi kegiatan belajar mereka. Seperti pada era globalisasi saat ini diperlukan adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang seharusnya dapat dimulai dengan peningkatan mutu pendidikan nasional pada umumnya terlebih agar adanya peningkatan prestasi akademik pada khususnya (Nurhasanah, 2013, h. 1).

(3)

Pada hakekatnya, prestasi akademik merupakan pencerminan dari usaha belajar (dalam Sayekti, 2013, h. 17). Semakin baik usaha belajar yang dilakukan individu, maka prestasi yang didapat akan semakin baik. Menurut Azwar (2000, h. 164) secara umum, ada dua faktor yang memengaruhi prestasi akademik seseorang, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi faktor sosial dan faktor sosial. Faktor non-sosial menyangkut, materi pelajaran dan kondisi lingkungan belajar serta kondisi tempat belajar, sarana dan perlengkapan belajar. Faktor sosial menyangkut pengaruh budaya dan dukungan sosial. Faktor internal meliputi antara lain faktor fisik dan faktor psikologis. Faktor fisik berhubungan dengan kondisi fisik umum seperti pendengaran dan penglihatan. Faktor psikologis menyangkut faktor-faktor berupa non fisik, seperti motivasi, bakat, intelegensi, minat, sikap dan kesehatan mental, intensitas mahasiswa dalam mengkaji semua materi kuliah dan kemampuan mahasiswa dalam menguasai suatu keterampilan.

(4)

merantau ke luar daerah walaupun dengan biaya yang tidak murah (Siwi, 2009, h.2).

Hal tersebut juga banyak di lakukan oleh masyarakat luar Pulau Jawa. Orang tua mendukung anak-anak mereka, untuk melanjutkan kuliah di pulau Jawa baik yang berjenis kelamin laki-laki maupun yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini terjadi karena meningkatnya kesadaran orang tua dalam bidang pendidikan, yang tidak membedakan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan (Siwi, 2009, h.2).

(5)

banyak pilihan fakultas, kota-kota tersebut terkenal dengan kualitas perguruan tinggi yang baik, dan sudah terkenal ke seluruh Indonesia.

Mahasiswa yang memilih untuk merantau ke pulau Jawa beranggapan bahwa pendidikan yang ada di pulau Jawa dapat lebih baik dan berkualitas. Seperti wawancara yang penulis lakukan kepada mahasiswa dari Papua yang bernama Volan pada tanggal 15 september 2016 di gazebo taman Albertus, Volan mengungkapkan pendapat seperti berikut ini:

“Saya memilih universitas yang ada di Jawa karena

saya melihat pendidikan yang lebih bagus dan lebih berkualitas di pulau ini, Saya katakan lebih berkualitas karena dosen pengajar yang ada disana umumnya memiliki gelar S2, hal tersebut membuat saya berpikir bahwa materi serta metode perkuliahan yang akan diberikan juga pastinya lebih memiliki bobot dan materi yang lebih bermutu dibandingkan dengan Universitas-universitas yang ada didalam daerah saya

sendiri”.

(6)

daerah baru, perbedaan cara berbicara, cara berbahasa dan kesulitan mengartikan ekspresi bicara seringkali menjadi sumber atau penyebab dari munculnya culture shock, yaitu suatu istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan akibat-akibat negatif pada individu yang pindah ke suatu daerah baru.

Culture shock merupakan suatu istilah yang umum digunakan untuk menggambarkan akibat-akibat negatif pada individu yang pindah ke daerah baru. Kalervo Oberg (Sosiolog) pada tahun 1960-an yang menyampaikan pertama kali istilah culture shock atau gegar budaya sebagai penyakit mental yang diderita oleh individu yang tinggal di lingkungan budaya baru (Hasibuan, 2014, h. 11). Oberg (Niam, 2009, h. 9) menyatakan culture shock dipicu oleh kecemasan yang berasal dari hilangnya semua tanda dan simbol yg dikenal individu dari hubungan sosial sebelumnya.

(7)

beberapa mahasiswa laki-laki yang berasal dari luar Pulau Jawa di kota Jogja, dalam wawancara yang dilakukan oleh kedaulatan Rakyat pada hari Minggu 2 Maret 2008, para mahasiswa yang terkumpul dalam asrama tersebut merasa kurang dapat menyesuaikan diri dan bersosialisasi dengan penduduk setempat, karena dalam pergaulan penduduk setempat masih menggunakan bahasa Jawa, sehingga mereka pun merasa kesulitan dalam berkomunikasi, dan bersosialisasi dengan lingkungan mereka yang baru tersebut. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Oberg (Everts & Sodjakusumah, 1996, h. 6) yang menyatakan bahwa culture shock yang dialami oleh mahasiswa di New Zealand antara lain seperti masalah sosial (sulit untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar), masalah akademis (perbedaan bahasa dan sistem pembelajaran yang ada disana), dan masalah pribadi (merasa sendiri dan rindu rumah).

(8)

20 september 2016 di gedung Antonius fakultas hukum, pengalaman yang dialami oleh Erwin seorang mahasiswa perantau dari Medan yang mengatakan:

“aku pernah kemaren waktu awal-awal aku masuk

unika, waktu itu aku sama kawan-kawan sedang kerja kelompok. Waktu diskusi kelompok ada kawanku perempuan ketakutan dan hampir menangis karna dia kira aku marah-marah waktu ngomong dan teman-teman laki-laki juga pada balik marah samaku, padahal aku gak marah bang, kan kalo

gini aku jadi takut berpendapat”

Kemudian dari kasus ini dapat di lihat perbedaan budaya yang dialami oleh Erwin dalam hal komunikasi ketika berpendapat yakni dalam intonasi suara dengan nada tinggi yang biasa dilakukan oleh Erwin ternyata tidak sesuai dengan budaya komunikasi yang ada di Jawa. Dampak yang terjadi adalah Erwin jadi canggung dalam memberikan pendapat ketika diskusi dalam suatu mata kuliah, yang juga akan berpengaruh terhadap prestasi akademik yang akan diraih jika satu mata kuliah tersebut membutuhkan nilai diskusi dalam pengambilan nilai akhir.

(9)

menyelaraskan antara keinginan dengan yang terjadi di lingkungan masyarakat tempat individu tersebut merantau. Stres memperparah culture shock yang terjadi pada individu akibat penyesuaian budaya. Hal tersebut dapat menimbulkan konflik dan menurunkan prestasi akademis pada perkuliahan mahasiswa perantau.

Dalam sebuah kasus lain terdapat juga kasus seorang mahasiswa perantau yang memiliki tingkat culture shock yang rendah karena memiliki adaptasi yang baik dilingkungan baru. Seperti yang diungkapkan oleh seorang mahasiswa bernama Gery dari Jakarta pada wawancara tanggal 20 september 2016 di kos Pentul, yang mengatakan hal seperti berikut ini.

“Pada awalnya gue emang agak sulit buat adaptasi

sama lingkungan sini soalnya bahasa yang dari kecil gak pernah gue pake jadi gua agak susah buat ngomong sama anak-anak sini nih apalagi pas ada diskusi kelompok gue cengok aja deh, haha. Tapi gue akhirnya ngasitau mereka gue gak ngerti bahasa lu lu pada, akhirnya anak-anak pakenya bahasa Indonesia kalo sama gue, jadi gue lebih gampang nih kalo buat ngomong sama mereka sama pas lagi ada diskusi

dikelas.”

(10)

kampus sehingga lebih mudah untuk menggapai prestasi akademik yang tinggi. Culture shock merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi akademik, Karena dalam kaitanya dengan faktor sosial dari prestasi akademik menyangkut pengaruh budaya dan dukungan sosial dari lingkungan sekitar. Salah satu sumber signifikan masalah akademik pada mahasiswa dilingkungan baru karena keterbatasan dalam kemampuan berbahasa (Ward, dkk , 2001, h. 153). Ward, dkk (2001, h. 72) juga menyatakan bahwa perilaku yang tidak tepat secara budaya dapat menimbulkan kehidupan personal dan profesional individu tersebut menjadi tidak efektif, sehingga mahasiswa luar Jawa menjadi kurang berprestasi secara akademis.

Data prestasi akademik mahasiswa luar Jawa yang diperoleh dari Bagian Administrasi Kemahasiswaan (BAK) di Universitas Katolik Soegijapranata menunjukkan :

Tabel. 1. Indeks Prestasi Akademik Angkatan 2015

(11)

Psikologi 2.971428 22 3.191685 22 Naik

Bahasa dan

Seni

2.145833 5 2.051587 5 Turun

Ekonomi dan

Bisnis

2.583157 37 2.57859 37 Turun

Teknik 2.08843 15 1.97484 15 Turun

Arsitektur 2.300087 11 2.4923 11 Naik

Teknologi

Pertanian

2.24 6 2.50168 6 Naik

Berdasarkan data diatas menunjukkan adanya penurunan prestasi akademik pada mahasiswa perantau dari luar Jawa yang menempuh pendidikan di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik lebih lanjut untuk mengungkapkan “Hubungan Antara Culture Shock Dengan Prestasi Akademik Mahasiswa Perantau Di Universitas Katolik Soegijapranata

Semarang”.

B.

Tujuan Penelitaian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empirik hubungan antara culture shock dengan prestasi akademik pada mahasiswa perantau di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang

(12)

C.

Manfaat Penelitian

1.Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial mengenai culture shock dan prestasi akademik pada mahasiswa perantau.

2.Manfaat praktis

Gambar

Tabel. 1. Indeks Prestasi Akademik Angkatan 2015

Referensi

Dokumen terkait

Non Product Ouput (NPO) adalah keluaran yang bukan merupakan produk dan dapat dikatergorikan jenis limbah yang masih bisa dipakai ulang, diminimisasi atau dilakukan

Perusahaan  ini  berada  di  garis  depan  dalam  pengurangan  emisi  gas  rumah  kaca  karena  perusahaan  ini  adalah  pabrik  besar  di  negara  berkembang 

Pengaruh Kapasitas Sumber Daya Manusia, Pemanfaatan teknologi Informasi, dan Pengendalian Intern Akuntansi terhadap Nilai Informasi Pelaporan Keuangan Pemerintah

Hal ini menunjukkan responden yang hipertensi memiliki kadar MDA yang lebih tinggi dibandingkan responden yang tidak hipertensi, dan diperoleh nilai p=0,200 (p>0,05)

Algoritma Semut diadopsi dari perilaku koloni semut yang dikenal sebagai sistem semut (Dorigo, 1996). Secara alamiah koloni semut mampu menemukan rute terpendek dalam

Webiste ini digunakan untuk mengupdate segala kegiatan KPI, memberikan edukasi tentang literasi media, Formulir aduan tayangan bermsalah, peraturan tentang penyiaran

Pada DFD level 0 sistem informasi pengendalian pengadaan material proyek yang terdapat pada Gambar 3.5 terdapat empat proses, yaitu proses perawatan data master

Maka dari itu, Samsat Ciledug memerlukan suatu sign system yang memiliki kejelasan yang memberikan informasi yang tepat dengan pertimbangan warna, tipografi,