• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 PEMBAHASAN UMUM Pengaruh Pupuk Organik terhadap Kesuburan Tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5 PEMBAHASAN UMUM Pengaruh Pupuk Organik terhadap Kesuburan Tanah"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

5 PEMBAHASAN UMUM

Pengaruh Pupuk Organik terhadap Kesuburan Tanah

Secara umum penambahan pupuk organik pada musim tanam (MT) I (tanah dalam kondisi reduktif) hanya meningkatkan kandungan hara Ca dan nilai KTK tanah, namun menurunkan nilai C-organik, N-total, P-tersedia, K, dan Mg tanah dibandingkan sebelum percobaan MT I. Penurunan ini terjadi akibat proses dekomposisi pupuk organik terutama brangkasan jagung (rasio C/N= 49.37) yang masih terjadi di dalam tanah sehingga menyebabkan akumulasi bahan organik tanah (BOT) belum stabil. Penurunan kandungan hara ini juga diduga akibat penyerapan hara oleh tanaman sehingga kandungan hara dalam tanah berkurang (analisis tanah dilakukan setelah pemanenan padi). Penurunan kandungan hara tanah juga dilaporkan dalam penelitian padi gogo organik oleh Daeng (2012) yang terjadi hingga MT II. Hasil analisis biologi tanah menunjukkan bahwa penambahan pupuk organik pada MT I meningkatkan ketersediaan bakteri pelarut fosfat dan Azotobacter masing-masing hingga 250 dan 695% daripada sebelum percobaan MT I.

Penambahan pupuk organik pada MT II (tanah dalam kondisi oksidatif) meningkatkan kandungan P-tersedia dan Ca pada semua perlakuan, serta meningkatkan nilai pH, C-organik, N-total, K, dan Mg pada sebagian perlakuan daripada sebelum percobaan MT II. Secara umum nilai KTK tanah setelah percobaan MT II lebih rendah dibandingkan sebelum percobaan MT II. Menurut Prasetyo et al. (2006) penurunan nilai KTK tanah ini terjadi akibat proses ferolisis yakni didudukinya tapak pertukaran (site exchange) dari liat yang bermuatan negatif oleh senyawa polimer Al yang bermuatan positif. Proses ferolisis ini terjadi akibat penggenangan dan pengeringan tanah sawah secara silih berganti setiap tahunnya. Penurunan nilai KTK akibat ferolisis ini sangat merugikan karena menurunkan kemampuan tanah dalam menahan unsur hara dari pemupukan sehingga banyak unsur hara yang hilang tercuci.

Peningkatan nilai pH tanah yang terjadi setelah percobaan MT II diduga akibat penambahan pupuk organik, seperti halnya yang terjadi pada penelitian Susanti et al. (2008) bahwa penggunaan pupuk kandang ayam dapat mengubah sifat fisik tanah seperti kegemburan dan meningkatkan pH tanah. Atmojo (2003) menuliskan bahwa nilai pH tanah dipengaruhi oleh kualitas atau tingkat kematangan pupuk organik yang diberikan. Pupuk organik yang belum terdekomposisi sempurna menurunkan pH tanah, sebaliknya penggunaan pupuk organik yang telah terdekomposisi meningkatkan pH tanah. Kastono (2005) menyatakan bahwa kenaikan pH tanah terjadi akibat penambahan OH- atau kation organik hasil dekomposisi pupuk organik. Menurut Havlin et al. (2005) jika akar tanaman menyerap lebih banyak kation (NH4+) maka ion H+ dikeluarkan dari akar

ke rhizosfer tanah sehingga tanah menjadi masam. Sebaliknya, jika anion (NO3-)

lebih banyak diserap oleh akar maka ion HCO3- atau OH- dikeluarkan dari akar ke

rhizosfer tanah sehingga tanah menjadi lebih basa. Menurut Hardjowigeno (2003) pH tanah yang terlalu rendah atau terlalu tinggi merugikan tanaman. Pada pH rendah hara P difiksasi oleh Al, sedangkan pada pH tanah yang tinggi hara P difiksasi oleh Ca sehingga menyebabkan hara P tidak tersedia bagi tanaman.

Penambahan pupuk organik pada MT II meningkatkan populasi total mikrob tanah hingga 490.5% daripada populasi total mikrob pada MT I, namun menurunkan ketersediaan bakteri pelarut fosfat dan Azotobacter. Kontradiksi ini

(2)

diduga akibat dominasi jenis mikrob lain yang tidak dianalisis. Menurut Syers dan Craswell (1995) peningkatan populasi total mikrob ini terjadi karena bahan organik menstimulasi aktifitas fauna dan mikrob tanah yang berperan dalam pelepasan hara hasil dekomposisi residu tanaman dan ternak, serta yang berperan dalam sintesis senyawa penyusun humus. Hasil analisis mikrob tanah ini sesuai dengan hasil penelitian Napitupulu (2012) bahwa populasi mikrob tanah pada MT II lebih tinggi dibandingkan populasi mikrob pada MT I akibat adanya tambahan residu hara dari MT I. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa populasi mikrob tanah yang lebih rendah pada tanaman padi (MT I) disebabkan oleh kondisi tergenang (ketersediaan oksigen terbatas) yang mengakibatkan mikrob tanah tidak dapat berkembang dan akhirnya mati. Menurut Prasetyo et al. (2006) beberapa hari setelah sawah digenangi, mikrob aerob merupakan jenis mikrob yang dominan, kemudian digantikan oleh mikrob anaerob fakultatif yang akhirnya diganti oleh mikrob anaerob.

Peningkatan kandungan hara dan populasi mikrob tanah pada MT II disebabkan oleh akumulasi hara pupuk organik pada MT I dan MT II. Akumulasi hara ini merupakan keunggulan pupuk organik yakni adanya residu pupuk yang dapat digunakan untuk tanaman pada MT berikutnya (Daeng 2012). Akumulasi residu dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi pupuk organik; semakin cepat pupuk organik terdekomposisi, maka semakin cepat pula akumulasi residu hara. Proses dekomposisi pupuk organik ini dipengaruhi oleh rasio C/N. Jika pupuk organik memiliki rasio C/N >20, maka proses dekomposisi masih terjadi sehingga mengakibatkan terjadinya imobilisasi N dan munculnya senyawa fitotoksik (Harada et al. 1993) dan mengakibatkan suhu di sekitar perakaran tanaman tinggi (Yani 2004) sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Menurut Jamilah (2003) proses dekomposisi pupuk organik pada tahap awal bersifat hidrolisis karena membutuhkan air dan enzim hidrolisa ekstra seluler yang menghasilkan senyawa lebih sederhana dan mudah larut dalam air sehingga mikrob tanah dapat memanfaatkannya terutama dalam kondisi aerobik. Selanjutnya dekomposisi terjadi dalam kondisi aerobik yang menghasilkan CO2 dan H2O. Fase-fase

dekomposisi bahan organik dalam tanah menurut Munawar (2011) meliputi pemecahan senyawa-senyawa yang mudah terdekomposisi seperti gula, pati, dan protein; pemecahan senyawa-senyawa yang perlu beberapa tahun untuk terdekomposisi seperti selulosa dan lignin; pemecahan senyawa-senyawa yang terdekomposisi hingga 10 tahun seperti senyawa lilin dan fenol; dan pemecahan senyawa-senyawa yang terdekomposisi hingga ratusan atau ribuan tahun.

Selain penambahan pupuk organik, pengaplikasian sistem tanpa olah tanah (TOT) pada MT II juga diduga meningkatkan kandungan hara dan populasi mikrob tanah. Kegunaan sistem tanpa olah tanah antara lain meningkatkan biomassa mikrob di dalam tanah, meningkatkan rasio fungi terhadap bakteri, menyediakan lebih banyak jenis dekomposer residu, dan melepaskan hara lebih lambat dibandingkan pada pengolahan tanah intensif (Kennedy et al. 2004); memberikan lingkungan tumbuh yang sesuai bagi fauna tanah yang berperan dalam siklus bahan organik (Franzluebbers 2004); dan mempertahankan kadar air tanah dan mampu meningkatkan BOT hingga 50% (Subaedah et al. 2005).

Pengaruh Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan Tanaman

Penambahan pupuk kandang sapi meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman seiring dengan semakin meningkatnya dosis pupuk yang

(3)

diaplikasikan, meskipun tidak menghasilkan perbedaan yang nyata secara statistik pada semua peubah. Hal ini menunjukkan adanya sumbangan hara yang diberikan oleh pupuk kandang sapi terhadap tanaman baik pada MT I maupun MT II. Pupuk kandang kambing dapat digunakan sebagai pilihan karena memiliki kandungan hara K yang relatif lebih tinggi dan memiliki kandungan C dan selulosa yang lebih rendah dibandingkan pupuk kandang sapi (Hartatik dan Widowati 2006) sehingga hara dari pupuk kandang kambing lebih mudah tersedia bagi tanaman. Brangkasan jagung juga merupakan bahan organik yang dapat diaplikasikan pada tanaman, namun cara aplikasinya yang belum tepat menyebabkan fungsinya sebagai sumber hara belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh tanaman akibat masih terjadinya imobilisasi hara di dalam tanah.

Penambahan pupuk organik pada MT II memberikan lebih banyak pengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman dibandingkan akibat penambahan pupuk organik pada MT I. Hal ini disebabkan oleh pupuk organik terutama brangkasan jagung yang diaplikasikan pada pertanaman padi saat MT I belum terdekomposisi sempurna akibat pendeknya interval waktu aplikasi pupuk dengan penanaman (2 minggu) sehingga hara menjadi tidak tersedia bagi tanaman (terjadi imobilisasi hara). Waktu yang diperlukan untuk mendekomposisikan brangkasan jagung lebih lama karena memiliki selulosa dan rasio C/N yang tinggi. Menurut Hartatik dan Widowati (2006) adanya residu pupuk organik yang diberikan saat MT I ini meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman pada MT selanjutnya sehingga respon tanaman yang dihasilkan juga lebih baik.

Aplikasi pupuk organik dan pestisida nabati pada penelitian di Blora tidak menunjukkan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang lebih rendah dibandingkan pada tanaman konvensional. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Kusheryani dan Aziz (2006) yang menunjukkan bahwa kombinasi kedelai organik dengan tanaman penolak OPT Tagetes erecta menghasilkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman yang lebih baik dibandingkan tanaman kedelai konvensional. Tidak efektifnya aplikasi pestisida nabati dalam mengendalikan serangan OPT pada penelitian di Blora mungkin disebabkan oleh lahan penelitian organik dikelilingi lahan pertanian konvensional milik petani sehingga OPT berpindah ke lahan percobaan organik. Penyebab lainnya, menurut Rachmawati dan Korlina (2009) pestisida nabati tidak membunuh OPT secara langsung seperti pada pestisida sintetis, namun dengan cara merusak perkembangan telur, larva, dan pupa, penolak makan (anti feedant), menghambat reproduksi hama betina, mengusir serangga, menghambat pergantian kulit hama, dan menghambat perkembangan patogen melalui senyawa kompleks yang dihasilkan. Kardinan (2002) menuliskan bahwa pestisida nabati bersifat spesifik lokasi, artinya pestisida nabati yang efektif pada suatu tempat belum tentu efektif di tempat lain. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda antar lokasi mengakibatkan kandungan senyawa bahan aktif pestisida nabati juga berbeda.

Pemilihan Pola Tanam

Analisis Usaha Tani

Pemilihan jenis tanaman oleh petani biasanya didasarkan atas besarnya nilai rasio R/C atau keuntungan yang diperoleh. Berdasarkan analisis usaha tani dugaan produktivitas per hektar yang dihasilkan, pengusahaan kedelai organik menghasilkan rasio R/C lebih besar daripada pengusahaan padi dan jagung

(4)

organik (Lampiran 3-5). Nilai rasio R/C kedelai, padi, dan jagung organik masing-masing sebesar 4.47, 3.68, dan 1.44. Rasio R/C= 4.47 pada kedelai organik berarti usaha tani kedelai organik memperoleh pengembalian sebesar 4.47 dari setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan.

Nilai rasio R/C jagung organik lebih kecil dibandingkan nilai rasio R/C kedelai organik karena dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar yang dihasilkan rendah. Jika populasi tanaman jagung dinaikkan dua kali lipat (menggunakan jarak tanam 80 cm x 20 cm) dengan asumsi menghasilkan bobot 100 biji jagung yang sama, maka nilai rasio R/C jagung organik menjadi 2.79 atau masih tetap lebih rendah dibandingkan kedelai organik. Hal ini disebabkan oleh harga jual jagung yang lebih rendah dan dosis pupuk kandang sapi yang dibutuhkan jagung organik lebih besar yakni 11.25 ton ha-1 daripada kedelai yakni 7.5 ton ha-1. Oleh karena itu, pola tanam padi-kedelai organik secara ekonomi lebih menguntungkan dengan keuntungan per hektar masing-masing sebesar Rp 25 456 000 dan Rp 26 212 501.

Pengaruh Iklim

Selain dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pengusahaan tanaman pangan oleh petani juga dipengaruhi oleh faktor iklim. Saat ini sebagian besar petani di lokasi penelitian mengikuti pola tanam padi-jagung konvensional setiap tahunnya. Zuhri (2012) melaporkan bahwa saat ini petani lebih banyak menanam jagung karena dianggap lebih menguntungkan, pemeliharaannya lebih mudah, dan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan tanaman kedelai. Penanaman jenis tanaman yang sama selama bertahun-tahun dapat menurunkan kesuburan tanah sehingga disarankan untuk dilakukan rotasi tanaman. Menurut Kennedy et al. (2004) jika dibandingkan dengan monokultur, rotasi tanaman dapat meningkatkan kandungan C-organik dan hara tanah, meningkatkan ketersediaan dan keragaman mikrob tanah yang menguntungkan, dan memutus siklus kehidupan gulma dan OPT.

Kondisi geografis Blora yang memiliki intensitas cahaya matahari tinggi sangat menguntungkan bagi tanaman jagung (tanaman C4) sehingga tanaman ini mampu beradaptasi lebih baik dibandingkan tanaman kedelai (tanaman C3) terutama ketika musim kemarau. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa sebagian besar tanaman C4 mampu meningkatkan fotosintesis pada tingkat cahaya penuh (terik) daripada tanaman C3 yang mencapai titik jenuh fotosintesis sebelum cahaya penuh. Peningkatan fotosintesis pada tanaman C4 disebabkan oleh tidak terjadinya fotorespirasi, sedangkan pada tanaman C3 terjadi proses fotorespirasi yang mengakibatkan hilangnya CO2 dalam jaringan fotosintetik (menurunkan

efisiensi fotosintesis). Meskipun lebih adaptif terhadap cekaman kekeringan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dugaan produktivitas pipilan jagung kering per hektar lebih rendah dibandingkan dugaan produktivitas kedelai kering per hektar. Rendahnya produktivitas jagung organik ini disebabkan oleh rendahnya curah hujan saat pengisian biji dan rendahnya jumlah polen yang digunakan dalam penyerbukan sehingga menyebabkan tongkol jagung tidak terisi sempurna. Selain itu, bentuk tajuk tanaman jagung yang terbuka menurunkan ketersediaan air tanah lebih cepat daripada kedelai yang tajuknya menutupi permukaan tanah. Ketersediaan air tanah ini berperan cukup penting bagi tanaman terutama dalam proses fisiologis seperti proses pengisian biji.

(5)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola tanam padi-kedelai organik lebih menguntungkan dibandingkan pola tanam padi-jagung organik karena menghasilkan dugaan produktivitas per hektar dan keuntungan yang lebih besar. Hal ini sejalan dengan penelitian Alfons (2001) bahwa pergiliran tanaman padi-kedelai di lahan kering lebih efektif dalam menekan pertumbuhan gulma, merangsang pertumbuhan bintil akar dan pertumbuhan kedelai, meningkatkan produktivitas kedelai, serta lebih efisien dalam penggunaan biaya produksi. Magdoff dan Weil (2004) menuliskan bahwa rotasi tanaman dari jagung ke kedelai meningkatkan kandungan C-organik tanah hingga 20±14 g C m-2 tahun-1 karena tanaman legum ini menghasilkan lebih banyak biomassa akar yang memberikan kontribusi lebih besar terhadap residu. Keunggulan lain penanaman kedelai pada rotasi tanaman yaitu kedelai memiliki bintil akar yang mengandung Rhizobium yang memungkinkan tanaman memanfaatkan nitrogen secara langsung dari udara (Rahmawati 2005) dan simbiosis antara tanaman legum dengan bakteri Rhizobium di dalam bintil akar meningkatkan jumlah N ke dalam tanah sebesar 200 kg N ha-1 tahun-1 pada kondisi normal dan 80-100 kg N ha-1 tahun-1 pada kondisi suboptimal (Lata et al. 2002) sehingga dapat mengurangi biaya pemupukan tanaman.

Penentuan Waktu Tanam

Usaha budidaya tanaman pangan di lokasi penelitian sangat bergantung pada curah hujan akibat tidak tersedianya sarana irigasi. Hal ini menyebabkan petani harus mampu menentukan waktu tanam secara tepat agar tanaman tumbuh secara maksimal. Umumnya hujan turun di lokasi penelitian pada bulan Oktober hingga April atau Mei, kecuali pada tahun 2007 dan 2010 hujan turun sepanjang tahun akibat pengaruh La Nina (Lampiran 6). Budidaya tanaman padi saat musim penghujan ditetapkan sebagai awal musim tanam (MT I).

Petani di lokasi penelitian memiliki kebiasaan menanam jagung pada awal musim penghujan (musim labuh) sebagai antisipasi jika intensitas curah hujan rendah dan tidak memungkinkan untuk menanam padi. Jika curah hujan tinggi (tanah dalam kondisi jenuh air) maka brangkasan jagung segar yang dihasilkan digunakan sebagai pupuk hijau dan diolah bersamaan dengan pengolahan tanah agar dapat segera menanam padi. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penggunaan brangkasan jagung segar sebagai pupuk hijau menyebabkan imobilisasi hara sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, brangkasan jagung segar yang dihasilkan sebaiknya tidak digunakan sebagai pupuk hijau, kecuali jika telah dikomposkan terlebih dahulu dalam waktu yang lebih lama atau digunakan sebagai pakan ternak. Penanaman jagung sebaiknya tidak dilakukan dan diganti dengan aplikasi pupuk organik ke dalam tanah untuk efisiensi waktu dan biaya.

Berdasarkan data rata-rata intensitas curah hujan pada 9 tahun terakhir di lokasi penelitian, budidaya tanaman padi pada MT I dapat dilakukan pada bulan November hingga Maret (Gambar 29). Oleh karena itu, petani disarankan untuk mengaplikasikan pupuk organik ke dalam tanah pada bulan Oktober (saat mulai turun hujan) agar pupuk organik terdekomposisi sempurna sembari menunggu curah hujan yang cukup untuk menanam padi. Kegiatan penyemaian benih padi dan pengolahan tanah dapat dilakukan pada awal November karena curah hujan hingga akhir Oktober cukup tinggi (203.6 mm per bulan) dan mungkin tanah telah jenuh air (curah hujan bulan basah pada klasifikasi iklim Oldeman > 200 mm per

(6)

bulan). Selanjutnya, penanaman padi dilakukan pada minggu ketiga atau akhir bulan November dengan menyesuaikan kondisi di lapangan.

Kegiatan budidaya tanaman kedelai atau jagung pada MT II dapat dilakukan pada bulan Maret hingga Juli karena curah hujan pada bulan Maret dan April masih cukup tinggi sehingga mampu mendukung pertumbuhan tanaman setidaknya hingga fase vegetatif maksimum (7 MST). Pada lahan yang dekat dengan sumber air, kebutuhan air tanaman pada musim kemarau dapat dipenuhi dengan irigasi menggunakan pompa air. Debit air yang dibutuhkan oleh setiap kondisi tanah berbeda, tergantung pada kapasitas lapang tanah tersebut. Debit air yang dibutuhkan tanaman dapat dihitung dengan cara:

Debit air (m3) = kedalaman perakaran tanaman (0.2 m) x luas lahan (m2) Umumnya curah hujan pada bulan Agustus dan September di lokasi penelitian sangat rendah sehingga kegiatan budidaya tanaman tidak dapat dilakukan, kecuali jika terdapat sumber air seperti aliran sungai atau hujan turun lebih awal. Budidaya tanaman yang dipaksakan pada kondisi air yang terbatas ini tidak efisien karena biaya produksi yang dibutuhkan cukup tinggi. Oleh karena itu, pada bulan tersebut tanah dapat diberakan dan digarap kembali pada bulan Oktober.

Gambar 29. Perencanaan waktu tanam di lokasi penelitian

0 50 100 150 200 250 300

Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep

C u ra h h u ja n * (m m p er bu la n ) Bulan P J/K B/J OT Keterangan:

OT : aplikasi pupuk dan olah tanah

P : padi K : kedelai

J : jagung B : bera

* Rataan intensitas curah hujan bulanan Kecamatan Jiken, Kabupaten Blora tahun 2003-2011

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan mengenai penggunaan media sosial Path dalam gaya hidup mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2012 Telkom University, secara

d. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa “komunikasi antarbudaya terjadi diantara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya

Vertaistuki voidaan nähdä yhtenä sosiaalisen tuen osa-alueena, mutta koen tarpeelliseksi esitellä ne eri kappaleissa siitä syystä, että molemmat ovat

Berdasarkan hasil perancangan, pengujian serta analisis data dari rancang bangun sistem komunikasi wireless untuk printer konvensional berbasis Wi-Fi yang telah

Pada Agustus 2012, jumlah penduduk yang bekerja menurut jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan untuk semua golongan pendidikan mengalami perubahan jika

Seperti telah disebutkan dalam Subbab 3.1, pada aplikasi code generator terdapat 4 aktivitas utama, yaitu mengisi konfigurasi basis data, meng-upload file definisi basis data,

Mulai dari pengertian emosi, pandangan fungsionalis mengenai emosi, pengaturan emosi, kompetensi emosi, perkembangan emosi (bayi, anak-anak awal, anak-anak madya, anak-anak akhir,