• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KONDISI PRESIPITASI SAAT KEMUNCULAN MESOSCALE CONVECTIVE COMPLEX DI SELAT MAKASSAR (Studi Kasus Tanggal Mei 2014)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KONDISI PRESIPITASI SAAT KEMUNCULAN MESOSCALE CONVECTIVE COMPLEX DI SELAT MAKASSAR (Studi Kasus Tanggal Mei 2014)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

8

ANALISIS KONDISI PRESIPITASI SAAT KEMUNCULAN

MESOSCALE CONVECTIVE COMPLEX DI SELAT MAKASSAR

(Studi Kasus Tanggal 27-28 Mei 2014)

Bony Septian P1*, Furqon Alfahmi2

1 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Tangerang Selatan 2 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

*Email : bonyseptian89@gmail.com

ABSTRAK

Salah satu bentuk Mesoscale Convective System adalah Mesoscale Convective Complex (MCC) yang pertama kali diperkenalkan oleh Maddox. Beberapa penelitian MCC yang didominasi di wilayah subtropis menyebutkan MCC menghasilkan cuaca buruk dan hujan yang berkelanjutan. Untuk penelitian MCC di wilayah tropis khususnya di Indonesia masih sedikit, oleh karena itu penulis disini mencoba untuk mengkaji kondisi presipitasi saat terjadinya MCC di Selat Makassar pada tanggal 27 – 28 Mei 2014 lalu membandingkannya dengan hasil penelitian MCC di wilayah subtropis yang dilakukan oleh Durke, dkk. Pada penelitian ini digunakan data satelit MTSAT, dan data estimasi hujan TRMM. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa MCC pada penelitian ini bersifat noncturnal yang muncul pada malam hari hingga dini hari di wilayah barat Palu, matang di Selat Makassar lalu punah pada pagi menjelang siang hari di pesisir timur Kalimantan Timur. Wilayah yang dilewati MCC di Selat Makassar ini terjadi kenaikan jumlah presipitasi dan volume prespitasi. Selain itu, walaupun MCC yang terjadi di Selat Makassar pada tanggal 27 – 28 Mei 2014 ini memiliki cakupan wilayah yang lebih kecil dibandingkan MCC di wilayah subtropis Amerika Selatan, namun memiliki nilai rata – rata presipitasi dan total volume presipitasi yang lebih besar dibandingkan MCC di wilayah subtropis Amerika selatan.

Kata kunci : MCC, presipitasi, satelit, TRMM

ABSTRACT

One form of Mesoscale Convective System is Mesoscale Convective Complex (MCC), which was first introduced by Maddox. Some studies of MCC which were dominated in subtropical mention MCC produces bad weather and continuous rain. The research of MCC in the tropics, especially in Indonesia is still small, therefore the author here tries to assess the condition of the precipitation when the MCC occured on the Makassar Strait on 27 – 28 May 2014 and compares it with the results of research MCC in subtropical conducted by Durke, et al. In this study, the author uses the MTSAT satellite data, and TRMM rainfall’s estimation data. Based on research, it can be concluded that the MCC in this study was nocturnal which occured in the night until the early morning in the area around Palu, matured in the Makassar Strait, and then decayed in the morning to early afternoon on the east coast of East Kalimantan. The region where MCC happened can impact on the increasing in the amount and volume of preciptiation. In addition, the MCC which occured on the Makassar Strait on 27 - May 28 2014 despite having a smaller coverage area than the MCC in subtropical South America, but it has greater value of average precipitation and volume of precipitation than the MCC in the subtropical region of South America.

Key words : MCC, precipitation, satellite, TRMM

1. PENDAHULUAN

Selama ini banyak konsep atau teori tentang meteorologi berkembang dan berasal dari negara – negara maju yang pada umumnya terletak di daerah subtropis (Tjasyono, 2006). Salah satu konsep yang telah lama

berkembang di wilayah subtropis yaitu Mesoscale Convective System (MCS) yang mempunyai definisi sebuah kumpulan terorganisir dari sebuah awan Cumulunimbous yang memproduksi area presipitasi yang berdekatan yang terukur

(2)

9 100 km atau lebih dalam setidaknya satu

arah (Houze, 1993).

Salah satu bentuk MCS adalah Mesoscale Convective Complex (MCC) yang konsepnya pertama kali diperkenalkan oleh Maddox (1980) setelah kajian yang mendalam terhadap citra satelit inframerah di Amerika Serikat selama tahun 1978. Tabel 1. Tabel karakter fisik MCC

(Maddox,1980).

Karakter Fisik

Ukuran A. Perisai awan dengan suhu IR rendah ≤ -320 C secara berkelanjutan dengan area ≥ 100.000 Km2

B. Wilayah interior dingin awan dengan suhu ≤ -520 C dengan area ≥ 50.000 Km2

Inisiasi Definisi ukuran A dan B mulai terpenuhi

Durasi Definisi ukuran A dan B harus terpenuhi untuk periode ≥ 6 jam Ukuran

Maksimum Perisai awan dingin secara berlanjut (Suhu IR ≤ -320 C) mencapai ukuran maksimum

Bentuk Eksentrisitas (axis minor/axis mayor) ≥ 0,7 pada waktu ukuran maksimum Punah Definisi ukuran A dan B mulai tidak

terpenuhi

Suatu pola Mesoscale Convective System (MCS) yang termasuk jenis Mesoscale Convective Complex harus sesuai dengan karakter fisik MCC yang telah di buat oleh Maddox (1980) seperti pada Tabel 1. Di beberapa penelitian di wilayah subtropis menyebutkan bahwa MCC dapat menghasilkan cuaca buruk dan hujan yang berkelanjutan (Maddox, 1980; Fritsch dkk., 1986; McAnelly dan Cotton, 1989). Misalnya untuk wilayah subtropis Amerika Selatan, kontribusi MCC terhadap curah hujan di wilayah tersebut menghasilkan presipitasi 15,7 mm di sepanjang area seluas 381.000 km2 dengan volume 7,0 km3 (Durkee

dkk, 2009)

Penelitian MCC di wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI) yang dilakukan oleh Ismanto (2011) juga menyebutkan bahwa MCC menghasilkan curah hujan ekstrem yang dibuktikan pada studi kasus banjir bandang di Bohorok (Sumatera Utara) pada 2 November 2003 jika dilihat dari data TRMM.

Selama ini, kajian MCC di wilayah tropis khususnya di Indonesia masih sedikit. Oleh karena itu, untuk semakin menambah pengetahuan tentang MCC di wilayah BMI yang luas ini maka penulis mencoba untuk mengkaji salah satu MCC di salah satu wilayah BMI yaitu MCC yang pernah terjadi di Selat Makassar pada tanggal 27 – 28 Mei 2014.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui presipitasi yang dihasilkan MCC dalam bentuk nilai rata-rata presipitasi dan total volume presipitasi dan membandingkannya dengan nilai rata-rata presipitasi dan total volume presipitasi MCC subtropis.

2. DATA DAN METODE

Pada penelitian ini, penulis menggunakan data yang diambil dari berbagai sumber, antara lain:

a. Data satelit MTSAT kanal inframerah format sataid dan netcdf tiap jam dari tanggal 27 – 28 Mei 2014

b. Data curah hujan estimasi 3B42 TRMM Untuk lokasi penelitian, koordinat wilayah penelitian seperti yang terdapat pada gambar 1 yaitu 1,120 LU – 2,120 LS dan 116,120 BT

– 120,280 BT yang meliputi sebagian kecil

wilayah Sulawesi Barat, Selat Makassar bagian tengah, dan pesisir timur wilayah Kalimantan Timur.

Gambar 1. Peta wilayah penelitian di Selat Makassar.

(3)

10 Teknik pengumpulan data yang digunakan

penulis untuk data satelit adalah dengan

mengunduh data melalui

ftp://satelit.bmkg.go.id, sedangkan untuk pengumpulan data estimasi curah hujan satelit TRMM berupa akumulasi hujan tiap tiga jam pada tanggal 27 – 28 Mei 2014 dilakukan dengan masuk ke alamat website http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/precipitation/tov as, lalu memilih menu 3-hourly TRMM and Other Rainfall Estimate (3B42 V7). Setelah itu mengatur koordinat wilayah data yang diperlukan dan melakukan pengunduhan dengan pilihan accumulated_precipitation. Pada penelitian ini, citra satelit diolah dari data satelit MTSAT kanal inframerah berformat netcdf tiap jam dari tanggal 27 mei 2014 hingga 28 mei 2014 menggunakan software grads. Hasil pengolahan ini berupa citra suhu puncak awan secara spasial dengan satuan derajad celsius (0C) di wilayah

penelitian. Sedangkan untuk data TRMM sudah dalam bentuk citra spasial berupa estimasi akumulasi hujan tiap 3 jam tanggal 27 – 28 Mei 2014 dalam satuan mm. Selain itu dihitung juga seberapa banyak volume presipitasi akumulasi tiap 3 jam di wilayah kemunculan MCC. Perhitungan volume presipitasi dilakukan dengan menggunakan asumsi bahwa tiap 1 mm curah hujan memiliki volume sebesar 1 liter (1 dm3)

untuk tiap luas wilayah 1 m2.

Berikut adalah rumus volume presipitasi dalam penelitian ini :

Volume (km3) = Jumlah presipitasi (mm) x Luas wilayah (m2) / 1000000000000 (1) Untuk memvalidasi pola MCC yang terjadi di Selat Makassar tanggal 27 – 28 Mei 2014, maka dilakukan analisa data citra satelit MTSAT kanal inframerah dan dicocokkan dengan kriteria MCC sebagai berikut:

a. Suhu puncak awan lebih dingin dari -320C dengan luasan ≥ 100.000 km2

(r=180km)

b. Suhu puncak awan lebih dingin dari -520C dengan luasan ≥ 50.000 km2

(r=125km)

c. Terjadi lebih dari sama dengan 6 jam d. Eksentrisitas ≥ 0,7

Gambar 2. Kriteria eksentrisitas untuk MCC. Langkah – langkah yang dilakukan untuk mengidentifikasi pola MCC melalui citra satelit MTSAT kanal infra merah sebagai berikut:

a. Data kanal inframerah untuk suhu puncak awan di buka di software grads b. Beri tanda atau pewarnaan yang berbeda

untuk suhu puncak awan ≤ -520C

c. Lihat apakah wilayah dengan suhu puncak awan ≤ -520C berbentu hampir

bulat

d. Jika iya, maka ukur eksentrisitas seperti pada gambar 3.1

e. Jika eksentrisitas bernilai ≥ 0,7 maka

ukur diameter atau jari-jari wilayah tersebut

f. Tentukan Luas wilayah tersebut, jika

luasnya memenuhi kriteria dari Maddox (1980) pada tabel 2.1, Maka dapat disebut dengan pola MCC

Langkah-langkah diatas juga untuk menetukan apakah MCC masuk pada fase dewasa (mature) atau belum. Selain itu, berdasarkan suhu puncak awan, bentuk dan luasan dari citra satelit MTSAT kanal inframerah dapat dilakukan analisa untuk melihat waktu fase muncul (inisialisasi), matang (mature), dan punah (decay) dari pola MC tersebut. Selanjutnya dilakukan analisa data presipitasi wilayah dimana pola MCC tersebut muncul dengan menggunakan data hujan estimasi akumulasi tiap 3 jam dari TRMM untuk melihat jumlah presipitasi dan volume presipitasi yang terdapat di wilayah kemunculan pola MCC tersebut. Analisis ini untuk mengetahui presipitasi yang terjadi akibat pola MCC tersebut.

(4)

11 3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Analisis Identifikasi MCC

Blok awan seperti terlihat pada gambar 3 menunjukkan bahwa fase inisialisasi MCC mulai muncul di sekitar wilayah Palu sekitar jam 12 utc dengan ditandai nilai suhu inframerah yang mencapai nilai -500C yang

berarti muncul sel-sel awan konvektif (cumulunimbous) dan semakin meluas hingga jam 19 utc dan bergerak ke arah Selat Makassar.

Pada jam 20 utc tanggal 27 Mei 2014 hingga 03 utc tanggal 28 Mei 2014, blok awan sudah mulai memenuhi syarat sebagai Mesoscale Convective Complex (MCC) berdasarkan ukuran, suhu dan bentuk perisai awan dingin sehingga masuk pada fase matang (mature). Setelah Jam 03 utc tanggal 28 Mei 2014, blok awan mulai memasuki fase punah (decay) MCC dengan ditandai suhu, ukuran, dan bentuk perisai awan dingin yang sudah mulai tidak memenuhi syarat sebuah Mesoscale Convective Complex (MCC). Pergerakan MCC pada kasus ini yaitu dengan menuju ke arah barat.

Gambar 3. Suhu puncak awan (0C) kanal Inframerah satelit MTSAT tanggal 27 Mei 2014 jam 12

(5)

12

Tabel 2. Fase hidup MCC di Selat Makassar tanggal 27 – 28 Mei 2014.

Fase Wilayah Waktu

Initial Barat wilayah kota

Palu 27 Mei 2014 jam 12 utc Mature Selat Makassar

bagian tengah 27 Mei 2014 jam 20 utc – 28 Mei 2014 jam 03 utc Punah Daratan Kalimantan Timur 28 Mei 2014 jam 06 utc MCC di Selat Makassar berasal dari sel-sel awan CB tunggal di sekitar kota Palu yang berkembang semakin luas dan besar ke arah Selat Makassar bagian tengah

3.2. Analisis Isohyet Hujan Estimasi TRMM

Berdasarkan gambar 4, kejadian Mesoscale Convective Complex (MCC) secara spasial memberikan dampak pada kondisi presipitasi di wilayah yang dilewatinya dengan akumulasi hujan bisa mencapai lebih dari 100 mm di pesisir timur Kalimantan Timur. Berdasarkan tabel 3, terlihat bahwa nilai akumulasi 3 jam dari curah hujan estimasi TRMM terbesar terjadi pada fase matang (mature) di sekitar Selat Makassar bagian tengah hingga pada saat memasuki wilayah pesisir timur Kalimantan Timur dengan nilai rata-rata sebesar 22,93 mm untuk luas wilayah terdampak MCC sekitar 172494 km2.

Saat sistem awan semakin luas namun sudah mulai tidak memenuhi syarat sebagai MCC (decay), kondisi presipitasi menjadi berkurang yaitu saat berada di bagian dalam pesisir timur Kalimantan Timur setelah jam 03 utc tanggal 28 mei 2014.

Berdasarkan tabel 3, terlihat bahwa volume presipitasi akumulasi tiap 3 jam yang terjadi di wilayah kejadian MCC dengan luas wilayah 172.494 km2 mempunyai jumlah

terbesar pada tanggal 28 Mei 2014 jam 00 UTC sebesar 3,95561 km3 atau pada saat fase

matang MCC, sedangkan untuk jumlah volume presipitasi terkecil sebesar 0,69 km3

terdapat pada tanggal 27 Mei 2014 jam 12 utc (fase inisialisasi MCC).

Setelah jumlah volume presipitasi terbesar terjadi pada fase matang, maka jumlah volume presipitasi semakin berkurang saat fase punah pada tanggal 28 Mei 2014 jam 06 utc sebesar 1,07 km3.

Total volume presipitasi yang terjadi sepanjang fase inisialisasi, matang, dan punah MCC adalah 8,483642 km3 dan

rata-rata prespitasi yang terjadi adalah 49,1 mm. Jika dibandingkan dengan penelitian kontribusi MCC terhadap curah hujan di wilayah subtropis Amerika Selatan yang rata-rata MCC menghasilkan presipitasi 15,7 mm sepanjang 381.000 km2 dengan volume 7,0

km3 (Durkee dkk, 2009), maka kasus MCC

yang terjadi di Selat Makassar pada tanggal 27 – 28 Mei 2014 ini memiliki nilai rata – rata presipitasi dan total volume presipitasi lebih besar dibandingkan MCC di wilayah subtropis Amerika selatan namun dengan cakupan wilayah yang lebih kecil dibandingkan MCC di wilayah subtropis Amerika Selatan.

Tabel 3. Volume presipitasi dan jumlah rata-rata presipitasi akumulasi tiap 3 jam yang terjadi di wilayah kejadian MCC dengan luas wilayah 172.494 km2 (20LS – 20LU dan 116,50–1200BT). TGL JAM (utc) JUMLAH PRESIPIT ASI (mm) VOLUME PRESIPITASI (km3) 27 Mei 2014 12 0,6983547 2 0,1204 15 2,1172968 3 0,3652 18 5,4587637 8 0,9416 21 9,0350389 1,5584 28 Mei 2014 00 22,931870 0 3,9556 03 7,8682736 7 1,3572 06 1,0726460 0 0,1850 TOTAL 49,182244 0 8,4836

(6)

13

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa MCC yang terjadi pada tanggal 27 – 28 Mei 2014 di Selat Makassar bersifat nocturnal dengan fase muncul (inisialisasi) MCC yaitu dimulai sekitar tanggal 27 Mei 2014 jam 12 utc di sekitar wilayah pesisir barat Palu, fase matang (mature) MCC terjadi mulai tanggal 27 mei 2014 jam 18 utc hingga tanggal 28 mei 2014 jam 00 utc di wilayah Selat Makassar bagian tengah, sedangkan fase punah (decay) terjadi setelah tanggal 28 Mei 2014 jam 03 utc di wilayah pesisir timur Kalimantan Timur.

Selain itu, wilayah yang dilewati MCC mengalami kenaikan jumlah dan volume prespitasi dengan nilai tertinggi dari jumlah presipitasi rata-rata wilayah terdampak sebesar 22,93 mm dan volume presipitasi tertinggi sebesar 3,95561 km3 yang terjadi

pada saat fase matang (mature) di Selat Makassar menjelang masuk ke pesisir timur Kalimantan Timur yang menunjukkan bahwa kasus MCC yang terjadi di Selat Makassar pada tanggal 27 – 28 Mei 2014 ini memiliki nilai rata – rata presipitasi dan total volume presipitasi lebih besar dibandingkan MCC di wilayah subtropis Amerika selatan namun dengan cakupan wilayah yang lebih kecil dibandingkan MCC di wilayah subtropis Amerika Selatan.

Gambar 4.. Untuk (a) hingga (g) adalah curah hujan estimasi akumulasi 3 jam (mm) TRMM tiap 3 jam dari tanggal 27 Mei 2014 jam 12 utc hingga tanggal 28 Mei 2014 jam 06 utc, sedangkan (h) adalah curah hujan akumulasi total

(7)

14 Berdasarkan penelitian ini, maka terdapat

beberapa saran dari penulis, antara lain kajian yang lebih banyak lagi untuk kasus MCC yang terjadi di Selat Makassar agar didapat pola umum dampak presipitasi dari MCC di Selat Makassar. Setelah itu dikembangkan lagi kajian serupa untuk kasus MCC yang terjadi di wilayah lain di Indonesia mengacu pada distribusi spasial yang telah di teliti oleh Ismanto (2013) untuk mendapatkan pola umum dampak presipitasi dari MCC di Indonesia

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada makalah penelitian ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Furqon Alfahmi, M.SI yang telah memberikan banyak masukan dalam proses penelitian ini

DAFTAR PUSTAKA

BMKG. 2014. Data satelit BMKG. Ftp://satelit.bmkg.go.id/. Diakses tanggal 5 Desember 2014.

Durkee, J. D., Mote, T. L., Shepherd, J.M. 2009. The Contribution of Mesoscale Convective Complexes to Rainfall across Subtropical South America. Int J. Clim., 22, 4590 – 4605.

Fritsch, J. M., Kane, R. J. dan Chelius, C. R. 1986. The Contribution of Mesoscale Convective Weather System to the Warm Season Precipitation in the United States. J. Climate Appl. Meteor., 25, 1333 - 1345.

Houze, R. A. Jr. 1993. Cloud Dynamics. Academic, San Diego, Calif., 573 pp. Ismanto, H. 2011. Karakteristik Kompleks

Konvektif Skala Meso di Benua Maritim. Tesis. Program Studi Magister Sains Kebumian. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Ismanto, H. 2013. Distribusi Spasial dan Temporal Mesoscale Convective Complex di Benua Maritim. Bukit Kototabang. Buletin MEGASAINS. Maddox, R. A. 1980. Mesoscale Convective

Complexes, Bull. Amer. Meteor. Soc., 61, 1374 - 1387.

McAnelly, R. L. dan Cotton, W. R. 1989. The Precipitation life cycle of

Mesoscale Convective Complexes over the Central United States. Mon. Wea. Rev., 117, 784 - 808.

NASA. 2012. Data TRMM 3-Hourly. Http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daac-bin/G3

/gui.cgi?instance_id=TRMM_3-Hourly. Diakses tanggal 5 Desember2014.

Tjasyono, B.H.K dan Harijono, Sri Woro B. 2006. Meteorologi Indonesia 2: Awan & Hujan Monsun. Jakarta. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.

Lampiran 1. Citra satelit inframerah untuk kejadian MCC di Amerika Serikat (Maddox,1980).

Lampiran 2. Peta Distribusi spasial Mesoscale Convective Complexes saat fase maksimum (Ismanto, 2013).

Lampiran 3. Tabel Perkembangan luas dan eksentrisitas MCC di Selat Makassar tanggal 27 – 28 Mei 2014. Satuan untuk A, B, eksentrisitas adalah dalam km

TANGGAL JAM (utc) A B EKSENTRISITAS (B / A) LUAS (Km2)

12 60 42 0,7 1978,2 13 86 80 0,930232558 5400,8 14 130 114 0,876923077 11633,7 15 184 121 0,657608696 17477,24 16 207 145 0,700483092 23561,775 17 241 145 0,601659751 27431,825 18 455 144 0,316483516 51433,2 19 446 192 0,430493274 67221,12 20 386 276 0,715025907 83630,76 21 396 306 0,772727273 95123,16 22 440 311 0,706818182 107419,4 23 409 334 0,816625917 107235,71 0 430 333 0,774418605 112404,15 1 486 393 0,808641975 149933,43 2 487 380 0,780287474 145272,1 3 403 333 0,82630273 105346,215 4 356 156 0,438202247 43595,76 5 314 127 0,404458599 31304,23 6 313 179 0,571884984 43981,195 27 28

Gambar

Gambar  1.  Peta  wilayah  penelitian  di  Selat    Makassar.
Gambar 2. Kriteria eksentrisitas untuk  MCC.
Gambar 3. Suhu puncak awan ( 0 C)  kanal Inframerah satelit MTSAT tanggal 27 Mei 2014  jam 12
Tabel 3. Volume presipitasi dan jumlah rata-rata  presipitasi  akumulasi  tiap  3  jam  yang  terjadi  di  wilayah  kejadian  MCC  dengan  luas  wilayah  172.494 km 2  (2 0 LS – 2 0 LU dan 116,5 0 –120 0 BT)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa setting di file .htaccess pada website joomla dan wordpress tidak di support oleh apache versi ini, oleh karenanya anda dapat mengganti file htaccess anda

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan. Reduksi data didefinisakan sebagi proses penyederhanaan dan tranformasi data kasar yang berasal dari catatan penulis saat

Penelitian ini bertujuanV untuk mengetahui kee- fektifan Petugas Surveilans Kesehatan Demam Berdarah Dengue (GASURKES DBD) dalam menentukan Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kota

Menurut Dimyati dan Dimyati (2004), transportasi jarak pendek biasanya relevan pada perusahaan distribusi yang mengharuskan pengiriman untuk outlet-outlet pengecer atau

Berbeda dengan hasil wawancara diatas dimana subyek merokok sejak remaja, seperti yang diberitakan dalam surat kabar harian Kompas (20/04/2012) Manajer Program

Masing-masing koridor memiliki sembilan sektor ekonomi yang dapat dikembangkan potensinya sehingga dapat memberikan konstribusi terhadap daerah masing-masing,

1) Melakukan perencanaan kapasitas dan kemampuan data center yang sesuai dengan kebutuhan layanan data dan informasi yang mendukung aktifitas bisnis. 2) Memastikan SLA