• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS MAJAS EUFEMISME (ENKYOKUHOU) DIHUBUNGKAN DENGAN KONSEP MARAH (IKARI) DALAM NOVEL YUKI GUNI KARYA KAWABATA YASUNARI. Skripsi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS MAJAS EUFEMISME (ENKYOKUHOU) DIHUBUNGKAN DENGAN KONSEP MARAH (IKARI) DALAM NOVEL YUKI GUNI KARYA KAWABATA YASUNARI. Skripsi."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS MAJAS EUFEMISME (ENKYOKUHOU)

DIHUBUNGKAN DENGAN KONSEP MARAH (IKARI) DALAM

NOVEL YUKI GUNI KARYA KAWABATA YASUNARI

Skripsi

Oleh

Zaki Nashwan

1200976831

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA

Jakarta

(2)

ANALISIS MAJAS EUFEMISME (ENKYOKUHOU) DIHUBUNGKAN

DENGAN KONSEP MARAH (IKARI) DALAM NOVEL YUKI GUNI

KARYA KAWABATA YASUNARI

Skripsi

Diajukan sebagai salah satu syarat

Untuk menyelesaikan Program Strata 1

Jurusan Sastra Jepang

Oleh

Zaki Nashwan

1200976831

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA

Jakarta

(3)

ANALISIS MAJAS EUFEMISME (ENKYOKUHOU) DIHUBUNGKAN DENGAN

KONSEP MARAH (IKARI) DALAM NOVEL YUKI GUNI KARYA KAWABATA

YASUNARI

Skripsi

Oleh

Zaki Nashwan

1200976831

Disetujui :

Pembimbing

Dra. Nalti Novianti M.Si

D

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA

Jakarta

(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya,

Nama

: Zaki Nashwan

NIM

: 1200976831

Judul skripsi

:ANALISIS MAJAS EUFEMISME (ENKYOKUHOU)

DIHUBUNGKAN DENGAN KONSEP MARAH (IKARI) DALAM

NOVEL YUKI GUNI KARYA KAWABATA YASUNARI

Memberikan kepada Universitas Bina Nusantara hak non-eksklusif untuk menyimpan,

memperbanyak, dan menyebarluaskan skripsi karya saya, secara keseluruhan atau

hanyasebagian atau hanya ringkasannya saja, dalam bentuk format tercetak dan atau

elektronik.Menyatakan bahwa saya, akan mempertahankan hak exclusive saya, untuk

menggunakan seluruh atau sebagian isi skripsi saya, guna pengembangan karya di masa

depan, misalnya bentuk artikel, buku, perangkat lunak, ataupun sistem informasi.

Jakarta, Juli 2012

(5)

Abstraksi

Marah adala sebuah emosi dan bersifat normal dan salah satu wujud ekspresi

emosi manusia. Marah sebagai bentuk emosi, juga sama dengan jenis emosi lainnya

karena memang pada dasarnya melibatkan perubahan psikologi dan biologis pada diri

manusia. Marah terbagi kedalam empat kategori yang terdiri dari; marah disengaja,

marah spontan atau mendadak, marah kontruktif atau yang disertai dengan ancaman

pada orang lain, dan marah destruktif yang dilampiaskan secara tidak langsung. Bentuk

marah tersebut juga akan dikaitkan dengan majas eufemisme (enkyokuhou) dengan

tujuan mengetahui ciri khas majas eufemisme (enkyokuhou) yang dipakai dalam

keadaan marah. Metode yang akan digunakan yaitu metode kepustakaan dan deskriptif

analitis. Dari hasil analisis majas eufemisme memiliki beberapa fungsi yang dapat

dikaitkan dengan konseo marah (ikari).

(6)

ANALISIS MAJAS EUFEMISME

(ENKYOKUHOU) DIHUBUNGKAN DENGAN

KONSEP MARAH (IKARI) DALAM NOVEL

YUKI GUNI KARYA KAWABATA YASUNARI

Zaki Nashwan

Jln. H.. Harun Rt. 04 Rw. 11 No.41 Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, 082122712432,

zakinashwan@yahoo.co.id

Zaki Nashwan, Dra. Nalti Novianti, M.Si

ABSTRAK

Marah adala sebuah emosi dan bersifat normal dan salah satu wujud ekspresi emosi manusia. Marah sebagai bentuk emosi, juga sama dengan jenis emosi lainnya karena memang pada dasarnya melibatkan perubahan psikologi dan biologis pada diri manusia. Marah terbagi kedalam empat kategori yang terdiri dari; marah disengaja, marah spontan atau mendadak, marah kontruktif atau yang disertai dengan ancaman pada orang lain, dan marah destruktif yang dilampiaskan secara tidak langsung. Bentuk marah tersebut juga akan dikaitkan dengan majas eufemisme (enkyokuhou) dengan tujuan mengetahui ciri khas majas eufemisme (enkyokuhou) yang dipakai dalam keadaan marah. Metode yang akan digunakan yaitu metode kepustakaan dan deskriptif analitis. Dari hasil analisis majas eufemisme memiliki beberapa fungsi yang dapat dikaitkan dengan konseo marah (ikari).

(7)

Keyword : konstruktif, destruktif, enkyokuhou, ikari

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari, dimanapun berada, manusia tidak akan pernah lepas dari aktifitas berbicara yang menandai adanya interaksi antar sesama manusia. Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam melakukan interaksi dengan sesama manusia. Salah satunya ialah melalui bahasa. Sutedi (2003, hal.2), menjabarkan bahwa bahasa adalah alat komunikasi untuk menyampaikan suatu ide, pikiran, hasrat, dan keinginan. Sedangkan menurut Koentjaraningrat (1990, hal.164), bahasa merupakan salah satu dari tujuh unsur yang paling utama dalam suatu kebudayaan.

Melalui beberapa pemikiran dan pendapat dari para ahli diatas, bahasa memiliki peranan penting bagi keberlangsungan manusia untuk berkomunikasi satu sama lain dalam kehidupan individu dan berbudaya. Bahasa menjadi modal utama agar manusia satu dengan yang lainnya dapat saling menukar informasi. Penulis memilih tema ini, karena ingin memahami lebih lanjut mengenai majas eufemisme atau dalam bahasa Jepang disebut enkyokuhou (婉曲法), yang dihubungkan dengan sebuah konsep yang terjadi pada masyarakat Jepang, yakni konsep marah atau ikari (怒り). Adapun sumber yang akan diteliti lebih lanjut mengenai masalah tersebut, diambil dari sebuah novel Jepang berjudul Yuki Guni (雪国) yang berarti Negeri Bersalju karya Kawabata Yasunari.

Teori yang akan penulis gunakan pada skripsi kali ini adalah oleh teori semantik yang menerangkan tentang makna kata dan makna frase dalam sebuah kalimat langsung maupun tertulis. Didalam semantik dijelaskan berbagai makna kata denotasi maupun konotasi, yang sejalan dengan penggunaan majas eufemisme dalam bahasa Indonesia. Teori selanjutnya ialah konsep marah yang dihubungkan dengan teori sebelumnya guna mencari makna dan sebab-sebab timbulnya emosi marah “ikari” di dalam novel. Serta, mengetahui lebih dalam mengenai konsep marah yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat Jepang.

Setiawati (2005, hal.114), menerangkan bahwa semantik merupakan bidang linguistik yang mempelajari makna tanda bahasa. Menurut Harimurti (2001, hal.193), menerangkan semantik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara lambang dan refrennya. Dari teori-teori tersebut dijelaskan kembali bahwa, semantik merupakan sebuah pemahaman dalam sebuah bahasa berbeda, yang terdapat pada suatu bangsa atau negara dengan masyarakat berbeda pula. Dari masyarakat inilah timbul sebuah kebudayaan-kebudayaan baru yang pada akhirnya menyebabkan perubahan gaya bahasa akibat pemahaman yang berbeda antara masyarakat satu dengan lainnya. Seorang ahli semantik bernama

(8)

Heijima (1991, hal.1-3), mengatakan bahwa semantik merupakan cabang ilmu linguistik yang akan membahas arti atau makna. Makna tersebut terbagi menjadi :

1. Makna denotatif adalah makna dari sebuah frasa atau kata yang tidak mengandung arti atau perasaan tambahan. Dalam hal ini, seorang penulis hanya menyampaikan informasi, khususnya dalam bidang ilmiah, akan cenderung menggunakan kata-kata yang denotatif. Tujuan utamanya untuk memberikan penjelasan yang jelas terhadap fakta. Ia tidak menginginkan interpretasi tambahan dari tiap pembaca.

2. Makna konotatif, adalam makna yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu disamping makna dasar yang pada umumnya. Makna tersebut sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan rasa setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar dengan orang lain, sebab itu bahasa manusia tidak hanya menyangkut makna denotatif atau ideasional dan sebagainya.

Majas sering dianggap sebagai sinonim dari gaya bahasa, akan tetapi sebenarnya majas termasuk kedalam gaya bahasa. Gaya bahasa sendiri memiliki cakupan yang sangat luas. Menurut penjelasan Harimurti Kridalaksana didalam Kamus Linguistik (1982, hal.1), gaya bahasa (style) mempunyai tiga pengertian, yaitu :

1.

pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis

2.

pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu

3.

keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.

Pemakaian gaya bahasa juga dapat menghidupkan apa yang dikemukakan dalam teks, karena gaya bahasa dapat mengemukakan gagasan yang penuh makna dengan singkat. Gaya bahasa pada tataran ini biasa disebut dengan majas. Majas itu sendiri dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Menurut Moeliono (1989, hal.173), majas diklasifikasikan kedalam tiga kategori, yaitu majas perbandingan, majas pertentangan, dan majas pertautan yang masing-masing majas ini terdiri dari beberapa sub majas.

Majas terbagi atas beberapa kategori berdasarkan fungsinya masing-masing. Salah satunya ialah majas yang berdasarkan perubahan intensitas makna dan perubahan acuan, diantaranya ialah, majas hiperbola, majas litotes, dan majas eufemisme.

Majas eufemisme atau biasa disebut dengan enkyokuhou (婉曲法) dalam bahasa Jepang. Ada beberapa pendapat yang menerangkan tentang enkyokuhou (婉曲法), salah satunya ialah menurut Aramakitomoko (1999, hal.105-137), yang mengatakan bahwa :

“婉曲法は、他人との衝突を避けるために使われることになります。聞き手に不快感を与えない

ために露骨な表現を避けるばあいが、この「婉曲語法」が使われる場面の例に当たります”. Artinya,

(9)

kasus ini, bentuk eufemisme digunakan apabila anda ingin menghindari representasi eksplisit mengenai seseorang untuk menghindari ketidaknyamanan bagi pendengarnya.

Pendapat tersebut juga ditunjang oleh penjelasan yang ada di dalam Koujien (2005, hal.313), yang menerangkan bahwa :

“表現などの遠まわしなさま。露骨にならないように言うさま。婉曲法表現と断る婉曲法”. Artinya,

eufemisme berfungsi sebagai ekspresi lain untuk menjelaskan sesuatu yang dianggap kurang baik, menjadi lebih halus. Mengungkapkan sesuatu agar tidak menjadi bahan eksplisit. Berfungsi untuk merepresentasikan seseorang secara halus, guna menghindari konflik dengan orang lain. Serta, berfungsi sebagai bentuk penolakan sesuatu secara tidak langsung.

Kata eksplisit dalam bahasa Indonesia memiliki arti tegas, terus terang, tidak berbelit-belit (sehingga orang dapat menangkap maksudnya dengan mudah dan tidak mempunyai gambaran yang kabur atau salah mengenai berita, keputusan, pidato, dsb); tersurat (KBBI, 1995, hal.254).

Didalam eufemisme juga memiliki fungsi berbeda-beda, salah satunya ialah sebagai bentuk penolakan. Dijelaskan oleh Itatani (1996 hal.13), bahwa dalam pengekspresian eufemisme memiliki keistimewaan tersendiri, yang sering ditunjukkan saat ingin mengatakan permintaan tolong (bantuan), dan kegiatan penolakan. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa :

“断りは、直接的なものと間接的なものとの二つに分けることができる。直接的なものは「だめ」、

「無理」、「嫌だ」など であり、間接的なものは「今日はちょっと」、「今待ち合わせがなく て 」 な ど が そ れ に あ た る ”. Artinya, bentuk penolakan terbagi menjadi dua, secara langsung

(chokusetsutekina kotowari) dan tidak langsung (kansetsutekina kotowari). Penolakan secara langsung

biasa menggunakan kata “dame”, “muri”, “iyada”. Sedangkan penolakan tidak langsung biasa menggukan kata-kata seperti “kyou wa chotto”, “ima mocha awaseganakute”, dan lainnya.

Sebagai seorang manusia, tentu kita tidak akan pernah terlepas dari emosi yang timbul secara alami dari dalam diri. Kemarahan atau marah timbul di dalam diri setiap manusia, dan tidak dapat dihindari tanpa adanya pengendalian diri oleh orang bersangkutan. Ada manusia yang jika sedang marah mampu mengekspresikan perasaan marah dengan tenang melalui kata-kata, yang disebut dengan pendekatan destruktif. Akan tetapi, ada juga manusia yang jika sedang marah mampu merusak barang-barang yang ada disekitarnya, bahkan hingga melukai diri mereka sendiri. Pendekatan seperti itu disebut dengan konstruktif (Mark dalam dio, 2006 : 27).

Dari uraian diatas, pendekatan destruktif menjadi salah satu cara yang dapat dilakukan oleh banyak orang melalui kata-kata ketika marah. Pada titik inilah bahasa berperan penting dalam terciptanya pendekatan destruktif yang sesuai. Melalui bahasa yang tepat dan sesuai, seseorang yang sedang marah mampu mengontrol dirinya lebih baik. Masayarakat Jepang cenderung menggunakan pendekatan

(10)

destruktif ini dalam keadaan marah kepada lawan bicaranya. Dalam bahasa Jepang, marah atau “ikari” adalah :

“怒りはコミュニケーションの大きな阻害要因の一つであり、怒りをいかに鎮めるかは、コミュ

ニケーションを円滑化する上で極めて重要と言いえます。ビジネスシーンなど、現代社会では、 怒りが好きましくない場面や状況は多くあり、そのために使う”. Artinya, salah satu bentuk

hambatan terbesar dalam berkomunikasi, perlu adanya sebuah penekanan atau batasan pengendalian diri terhadap terhadap kondisi tersebut didalam berkomunikasi. Dalam kehidupan masyarakat modern, ada banyak keadaan yang menjadi penyebab timbulnya emosi marah, seperti saat dalam berbisnis, dan lain sebagainya.(Carver and Harmon-Jones dalam Ohbuchi, 2009, hal.2).

Yukawa (2008, hal.74), mendefinisikan sebuah konsep kemarahan sebagai sebuah bentuk pertahanan diri sebagai akibat adanya pelanggaran psikologis dan fisik serta pelanggaran sosial yang dilakukan secara sengaja maupun tidak. Pelanggaran psikologis tersebut juga memiliki beberapa faktor penyebab, antara lain akibat adanya ketidak setujuan akan sesuatu yang dikatakan atau dilakukan oleh orang lain. Sehingga, timbullah emosi lain, seperti sedih, kecewa dan marah. Selanjutnya, Tomomi Matsuda (1986, hal.8) menjelaskan bahwa, dalam mengungkapkan (mengekspresikan) kemarahan, orang Inggris (barat) dibandingkan orang Jepang, akan mengekspresikan kemarahan dengan tingkat yang lebih tinggi (meledak-ledak), ini disebabkan adanya perbedaan budaya dalam ekspresi yang dilakukan ketika marah. Faktor ini juga dipengaruhi oleh persoalan geografis yang mempengaruhi tentang bagaimana cara orang mengekspresikan kemarahan. Jika di barat, orang marah dengan berteriak-teriak, dan mengeluarkan kata-kata yang tidak layak bahkan pada tahap melakukan tindakan kekerasan fisik, maka hal itu jarang ditemui di Jepang.

Hal tersebut telah mumbuktikan bahwa, peranan kebudayaan di setiap Negara mampu mempengaruhi sebuah pola pemikiran dan prilaku para warga negaranya. Hal ini terlihat dari masyarakat Jepang yang sangat berhati-hati, dalam mengungkapkan sebuah emosi yang berhubungan dengan emosi marah terhadap sebuah objek marah yang ada.

Penulisan kali ini berfokus pada penggunaan majas eufemisme atau dalam bahasa Jepang disebut dengan

enkyokuhou didalam novel Yuki Guni (Negeri bersalju) karya Kawabata Yasunari, yang dihubungkan

dengan konsep marah atau biasa disebut ikari pada masyrakat Jepang.

METODE PENELITIAN

Dalam menganalisis masalah yang telah dikemukakan di latarbelakang penulisan ini, penulis mengumpulkan seluruh data pendukung dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Metode deskriptif analitis yaitu metode penelitian yang bertujuan mendreskripsikan apa-apa yang terjadi saat ini

(11)

yang didalamnya terdapat usaha deskripsi, pencatatan analisis, dan menginterpretasikan apa-apa yang terjadi saat ini (Sutedi, 2004,hal.24). Serta Metode Kepustakaan dimana penulis gunakan pada saat mengumpulkan data. Metode kepustakaan adalah metode yang dilakukan dengan mencari, mengumpulkan, membaca, dan mempelajari data yang diperoleh dari sumber data (Susilo, 2007, hal.11)

HASIL DAN BAHASAN

Dari hasil analisis data melalui sumber data Novel Yuki Guni karya Kawabata Yasunari, maka didapatkan hasil sebagai berikut :

1. Analisis penggunaan majas sebagai bentuk representatif terhadap seseorang agar menghidari konflik yang dihubungkan dengan konsep marah (ikari).

Pada bagian awal ini, percakapan terjadi antara Komako dan Shimamura. Komako merupakan gadis yang berprofesi sebagai geisha di daerah tersebut. Sedangkan Shimamura adalah salah satu tamu (pelanggan) yang sering datang kedaerah tersebut untuk berlibur. Percakapan ini terjadi saat Komako datang ke kamar Shimamura setelah usai menjamu para tamu lain, dalam kondisi mabuk. Karena tidak bisa bangkit, ia hanya menggulingkan badan, sambil berbicara tidak jelas dihadapan Shimamura. Sepertinya ada hal yang ingin disampaikan kepada Shimamura. Akan tetapi, Shimamura hanya mendengarkan seluruh pembicaraan Komako yang tidak jelas tersebut.

Percakapan : 駒子 :決して惜しいんじゃないのよ。だけどそういう女そういう女そういう女そういう女じゃない。私はそういう女そういう女そういう女そういう女じゃな いの。と言った言葉も思い出されて来て、島村はためらつていると女は素早く気づいて撥ね反す ように、 零時の上りだわ。とちょうどの時聞えた汽笛に立ち上って、思い切り乱暴に紙障子とガラス戸を あけ、手摺へ体を投げつけざま窓に腰かけた。 島村 :おい、寒いじゃないか。馬鹿。と、島村も立ち上って行くと風はなかった。 Terjemahan :

Karena tidak bisa bangkit, ia hanya menggulingkan badan.

Komako : Saya tidak akan pernah menyesali apapun. Tetapi, saya bukan perempuan seperti itu. Bukan perempuan seperti itu.

Kereta tengah malam dari Tokyo. Perempuan itu tampaknya memahami kebimbangan Shimamura, dan Ia bicara seolah untuk menyingkirkan itu jauh-jauh. Ketika terdengar peluit kereta, ia berdiri. Dengan

(12)

gerakan kasar, Ia membuka panel pintu geser dan jendela dibelakangnya kemudian duduk diambang jendela dan menyandarkan tubuhnya pada langkan.

Shimamura : Apakah kau sudah kehilangan akal?.

Shimamura memburunya ke jendela. Udara diam, seperti tidak ada angin. (Sumber : Kawabata Yasunari, Yuki Guni, Hal.36)

Analisis : Pada percakapan diatas, kalimat yang menunjukkan ciri yang berhubungan dengan majas

eufemisme (enkyokuhou) ialah frase “souiu onna”「そういう女」.

Berdasarkan tabel makna yang telah dianalisis, frase souiu onna 「そういう女」memiliki pengertian sebagai“perempuan seperti itu”. Dalam hal ini apabila dihubungkan dengan situasi diatas, pengertian perempuan seperti itu mengandung tendensi negatif.

Melalui tabel medan makna frase diatas, frase souiu onna 「そういう女」memiliki arti sebagai wanita dewasa yang mempunyai profesi tertentu. Pada data ini, profesi geisha-lah yang dimaksud. Selain itu, penggunaan frase tersebut juga menunjukkan keterkaitannya dengan emosi marah (ikari)「怒り」, yang ditunjukkan oleh Komako. Komako merasa tidak senang karena dirinya harus disamakan dengan geisha lainya oleh Shimamura. Hal ini juga sejalan dengan teori yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya. Teori tersebut juga didukung oleh teori dari Michael Hershorn (2002, hal.19), yang mengatakan bahwa marah adalah emosi dan normal. Masalahnya datang tergantung pada apa yang kita lakukan dengan kemarahan kita. Ekspresi selain berbicara tentang kemarahan kita adalah tindakan atas kemarahan kita dan ini bisa bersifat destruktif bagi orang lain dan kita sendiri. Jika dilihat dari situasi yang terjadi pada percakapan diatas, timbulnya emosi marah yang ditunjukkan oleh Komako sejalan dengan teori timbulnya marah menurut Dio martin (2006 : 27), yang menjelaskan bahwa timbulnya emosi marah yang ada di dalam diri manusia diakibatkan oleh adanya jebakan emotional, atau “emotional traps”, yang membuat seseorang mudah meledak-ledak dan marah, baik dirumah, di kantor, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Jebakan emosi atau “emotional traps” tersebut terbagi menjadi lima, salah satunya ialah akibat exaggerating. Faktor ini ditandai dengan sikap membesar-besarkan atau melebih-lebihkan sesuatu yang sebenarnya tidak demikian. Hal tersebut dilakukan karena merasa tidak puas dengan apa yang dilakukan atau dikatankan oleh orang lain, sehingga ingin merendahkan orang tersebut dengan melebih-lebihkan keadaan sebagai aksi balas dendam. Pada kasus ini Komako merasa tidak puas akan perlakuan yang diberikan oleh Shimamura kepadanya, sehingga timbulah emosi marah saat Komako berbicara kepada Shimamura dengan mengatakan “souiu onna”「そういう女」. Kondisi tersebut juga diperkuat oleh keterangan situasi yang menjelaskan bahwa sesaat setelah Komako mengeluarkan emosinya tersebut, Komako sengaja membuka jendela geser (langkan) yang ada dikamar, lalu duduk

(13)

dimuka jendela tersebut dalam keadaan sangat dingin karena sedang turun salju. Hal tersbut memperlihatkan Komako ingin meredam rasa marahnya tersebut dan membuat dirinya lebih tenang. Pada data 1, Komako mengatakan souiu onna 「そういう女」, dikarenakan ia tidak ingin disamakan dengan geisha lain yang ada di daerah itu. Kata geisha「芸者」menurut Downer (2002, hal.3), berasal dari kata “gei”「芸」yang berarti seni, dan “sha” 「者」 yang berarti orang. Dengan demikian geisha memiliki arti sebagai “orang seni”, atau bisa di katakan sebagai seseorang yang memiliki keahlian dalam bidang seni, atau lebih sering diartikan sebagai “artis” yang memiliki tugas menjamu para tamu (langganan). Oleh karena itu, Komako merepresentasikan dirinya melalui kata “perempuan seperti itu” supaya tidak disamakan dengan geisha lain oleh Shimamura.

Untuk lebih mengetahui keterkaitan diantara majas eufemisme dengan konsep marah (ikari), akan dijelaskan melalui tabel pembuktian dibawah ini.

Frase percakapan : Majas eufemisme :

Konsep marah :

Melalui tabel pembuktian tersebut diatas, menunjukkan adanya keterkaitan antara majas eufemisme dengan konsep marah yang terjadi dalam sebuah percakapan dengan menganalisa frase “souiu onna”「そ

ういう女」terlebih dahulu. Dari analisa tersebut menyimpulkan bahwa, frase “souiu onna”「そういう 女」memiliki keterkaitan dengan majas eufemisme sebagai bentuk ungkapan untuk menghindari konflik

dengan melembutkan sebuah perkataan, serta timbulnya emosi marah yang diakibatkan oleh exaggerating atau keadaan yang hanya menerka-nerka atas apa yang difikirkan oleh orang lain terhadap kita.

2. Analisis penggunaan majas sebagai bentuk penolakan secara halus agar tidak menyinggung atau menyakiti perasaan orang lain yang dihubungkan dengan konsep marah

“souiu onna” 「そういう女」

Ungkapan yang digunakan untuk menghindari konflik dengan orang lain. Aramakitomoko

(1999, hal.105-137).

Timbulnya emosi marah akibat

(14)

Percakapan pada data ini, terjadi antara Komako dan Shimamura. Malam itu, Komako diminta oleh Shimamura untuk memanggilkan seorang geisha, yang akan menemaninya. Laki-laki itu berkata kimi ga

tanonde mitekuru yo 君が頼んで見てくれよ, lalu dijawab oleh Komako dengan mengatakan watashi ga doushite sonna koto wo shinakerebanaranai no? 「私がどうしてそんなことをしなければならな いの。」. Perkataan tersebut juga menunjukkan ekspresi lain dari Komako. Untuk lebih mengetahui lebih

jelas, mari lihat kutipan percakapan dibawah ini. Percakapan : 島村 :君が頼んで見てくれよ。 こまこ :私がどうしてそんなことをしなければならないの?私がどうしてそんなことをしなければならないの?私がどうしてそんなことをしなければならないの?。 私がどうしてそんなことをしなければならないの? 島村 :友達だと思ってるんだ。友達にしときたいから、君は口説かないんだよ。 こまこ :それがお友達ってものなの?。 Terjemahan :

Shimamura : Tolong kau saja yang memanggilnya. Komako : Mengapa saya yang harus melakukannya?

Shimamura : Saya menganggapmu teman. Sebabnya aku berlaku sopan kepadamu. Komako : Dan, inikah yang Tuan maksud dengan teman?

(Sumber : Yuki Guni, hal 19)

Analisis :

Berdasarkan percakapan diatas, frase yang menunjukkan ciri yang berhubungan dengan majas eufemisme

(ekyokuhou) dapat dilihat pada frase percakapan, “watashi ga doushite sonna koto wo shinakerebanaranaino” 私がどうしてそんなことをしなければならないの.

Berdasarkan tabel makna yang telah dianalisis, frase watashi ga doushite sonna koto wo shinakereba

narana「私がどうしてそんなことをしなければならない」memiliki arti “mengapa saya yang harus

melakukannya?”. Pada frase percakaan tersebut, Komako terlihat menolak permintaan Shimamura yang sebelumnya mengatakan ”kimi ga tonde mitekureyo”「君が頼んで見てくれよ。」, yang memiliki arti “kau sajalah yang memanggilkannya (geisha)”. Hal tersebut sejalan dengan pengertian dari majas eufemisme yang digunakan untuk menghindari konflik, salah satu fungsinya ialah bentuk penolakan

(15)

secara tidak langsung terhadap permintaan orang lain dengan tujuan agar penolakan tersebut tidak terlaku menyakiti perasaan.

Berdasarkan hipotesa awal, frase yang menunjukkan penolakan tersebut dilakukan oleh Komako terhadap permintaan Shimamura untuk memanggilkan seorang geisha. Dalam kasus ini, Komako bisa saja melakukan penyangkalan dengan yang lebih kasar atas permintaan Shimamura. Akan tetapi ia tidak mengatakannya secara terus terang, karena tidak ingin membuat Shimamura menjadi kesal atau sakit hati. Ekspresi penyangkalan dalam bahasa jepang disebut dengan hitei hyougen “否定表現”. Dijelaskan oleh Itatani (1995:3), hitei hyogen memiliki beberapa hyougen dan pengertian yang berbeda. Berikut beberapa contoh hyougen yang termasuk hitei hyougen :

1. 「いやだ」「いやだ」「いやだ」「いやだ」嫌がっている好まないこと。欲しないこと。きらうこと。承諾しないこと。Bentuk

penolakan langsung. Hal yang menunjukkan bentuk tidak suka. Ketidak inginan atas sesuatu. Kebencian. Bentuk ketidaksetujuan.

2. 「だめだ」「だめだ」「だめだ」「だめだ」囲碁で、双方の境にあって、どちらの他にもならない空所。Adanya bentuk

keterbatasan. Sebuah keadaan yang menjadi kosong (tidak ada arti). Tidak baik. Tidak berguna Tidak diijinkan. Tak dapat diterima.

3. 「無理」「無理」「無理」「無理」道理のないこと。理由のたたないこと。強いて行うこと。Harus ada alasan. Tidak ada

alasan untuk diri sendiri. sia-sia. Percuma. Paksaan. Kelebihan.

Sesuai dengan data tersebut, bisa saja Komako menolak perintah Shimamura dengan mengatakan “iyada,

jibun de shite” 嫌だ、じぶんでして, yang memiliki arti “lakukan sendiri, saya tidak mau”. Kata “iyada” 嫌だ tersebut merupakan bentuk penolakan lain yang terkesan lebih kasar. Akan tetapi, pada

kasus ini Komako menyampaikan penolakannya dengan lebih halus. Bentuk penolakan yang ditunjukkan oleh Komako juga memperlihatkan ekspresi marah terhadap Shimamura. Komako merasa tidak suka karena dia diperintahkan untuk mencari geisha lain oleh Shimamura, padahal dia sendiri seorang geisha. Untuk lebih mengetahui keterkaitan diantara majas eufemisme dengan konsep marah (ikari), akan dijelaskan melalui tabel pembuktian dibawah ini.

Frase percakapan : Majas eufemisme :

Konsep Marah :

「私がどうしてそんなことをしなければ ならないの。」“watashi ga doushite sonna

koto wo shinakerebanaranaino?”

Digunakan apabila ingin menolak sebuah gagasan atau pendapat secara tidak langsung (Okamoto

sarako dan Saito Oshigimi 1995, hal.6).

Timbulnya emosi marah akibat shoulding (Dio martin 2006 : 27).

(16)

Pada tabel pembuktian diatas, dapat dikaitkan bahwa frase percakapan tersebut memiliki hubungan dengan majas eufemisme yang berfungsi sebagai bentuk penolakan secara tidak langsung yang dibertujuan agar penolakan tersebut tidak terlalu menyinggung atau meyakiti lawan bicara. Dalam data ini, Komako menolak permintaan Shimamura untuk memanggilkan seorang geisha, dan sekaligus dalam situasi ini, Komako merasa tersinggung, karena ia yang seorang geisha diminta untuk mencarikan geisha lain bagi tamunya (Shimamura). Komako merasa marah akan hal itu, dan situasi ini berkaitan dengan konsep marah (ikari) yang dijelaskan oleh Dio martin (2006 : 27), yang menjelaskan bahwa timbulnya emosi marah yang ada di dalam diri manusia diakibatkan oleh adanya jebakan emotional, atau “emotional traps”, yang sehingga membuat seseorang mudah meledak-ledak dan marah, baik dirumah, di kantor, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Jebakan emosi atau “emotional traps” tersebut salah satunya dikarenakan oleh shoulding atau keharusan. Karena jebakan emosi ini, orang sering menjadi marah karena merasa bahwa orang lain seharusnya begini-begitu. Atau kita mengatakan, semestinya begini-begitu. Kita menjadi menuntut. Kadang kala, tuntutan itu tidak rasional atau tidak masuk akal. Apabila dihubungkan dengan data analisis diatas, timbulnya emosi marah yang diungkapkan oleh Komako yang merasa bahwa, seharusnya Shimamura tidak perlu mencari geisha lain, cukup dirinyalah yang menemaninya. Dengan kata lain Komako berfikir bahwa seharusnya Shimamura begini begitu, atau melakukan hal yang seperti itu, bukan sebaliknya.

Melalui analisis yang telah dijabarkan diatas, akan dibuktikan keterkaitan antara majas eufemisme

(enkyokuhou) dengan konsep marah (ikari) yang dilihat dari frase yang terdapat pada percakapan dan

situasi didalam novel Yuki Guni. Berikut tabel pembuktiannya.

Halaman Jumlah Fungsi 1

( sebagai bentuk representatif terhadap seseorang secara halus agar menghindari konflik dengan

orang lain yang dihubungkan dengan konsep marah)

Hal.36 Hal.111

2

Fungsi 2

(sebagai bentuk penolakan secara halus agar tidak menyinggung perasaan orang lain yang

dihubungkan dengan konsep marah)

Hal. 19 Hal. 18

2

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa pada novel Yuki Guni karya Kawabata Yasunari, setiap fungsi memiliki jumlah data yang sama yakni masing-masing dua.

(17)

SIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil analisis yang dikaitkan dengan teori pendukung pada bab sebelumnya, maka penulis akan menarik sebuah kesimpulan di bagian ini. Kesimpulannya ialah, majas eufemisme atau biasa disebut dengan “enkyoukuhou” memiliki beberapa fungsi. Pada data yang telah dianalisis dan di perkuat dengan teori yang ada, eufemisme memiliki fungsi sebagai bentuk representatif seseorang secara halus, dan berfungsi sebagai bentuk penolakan secara halus atas pendapat, gagasaan maupun ajakan. Dari fungsi tersebut dikaitkan antara percakapan dan situasi yang ada dengan teori. Kemudian, dari percakapan tersebut dianalisis frase yang berhubungan dengan tujuan yang dicari. Misalnya, frase “soi iu onna”「そ

ういう女」 yang memiliki makna asli yaitu “perempuan seperti itu”. Dalam kasus ini frase tersebut

mengarah kepada bentuk representasi secara lebih halus mengenai keberadaan seorang geisha, yang sejalan dengan fungsi majas eufemisme (enkyokuhou) yakni untuk menghindari representasi eksplisit yang bertujuan untuk menghindari ketidaknyamanan bagi pendengarnya. Dalam bahasa Indonesia, kata eksplisit memiliki arti tegas, terus terang, tidak berbelit-belit (sehingga orang orang dapat menangkap maksudnya dengan mudah dan tidak mempunyai gambaran yang kabur atau salah mengenai berita, keputusan , pidato, dsb). Selain itu, frase tersebut juga memiliki keterkaitan terhadap konsep marah

(ikari) yang dilakukan oleh seorang tokoh (Komako) karena tidak ingin disamakan dengan geisha pada

umumnya didaerah tersebut. Karena pada umumnya geisha hanya akan melayani tamunya saat mereka dibayar, lalu mereka ditinggal pergi lagi oleh tamunya setelah usai masa berlibur. Dalam percakapan ini, Komako memperhalus ucapannya tersebut karena tidak ingin menimbulkan konflik lain, sekalipun dirinya sendiri ialah seorang geisha.

Selain itu, majas eufemisme juga digunkan sebagai bentuk penolakan secara halus terhadap gagasan atau pendapat maupun ajakan, dengan tujuan agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Majas eufemisme ini juga dihubungkan dengan konsep marah atau biasa disebut dengan (ikari), yang ditunjukkan dengan

sangat sangat halus. Hal ini telah diperkuat oleh teori marah yang dijelaskan oleh Matsuda (1986, hal.8)

yang menerangkan bahwa, dalam mengungkapkan (mengekspresikan) kemarahan, orang Inggris (barat) dibandingkan orang Jepang, akan mengekspresikan kemarahan dengan tingkat yang lebih tinggi (meledak-ledak), ini disebabkan adanya perbedaan budaya dalam ekspresi marah. Hal inipun dapat diambil contoh melalui percakapan antar tokoh dalam novel yuki Guni karya Kawabata Yasunari. Dari hasil analisis pada bab sebelumnya, menghasilkan kesimpulan yang bertujuan untuk mengetahui keterkaitan antara penggunaan majas eufemisme (enkyokuhou) dengan konsep marah (ikari) dalam novel Yuki Guni karya Kawabata Yasunari. Yaitu :

1. Penggunaan majas eufemisme (enkyokuhou) sebagai bentuk representatif terhadap seseorang secara halus agar menghindari konflik dengan orang lain yang dihubungkan dengan konsep marah (ikari). 2. Penggunaan majas eufemisme (enkyokuhou) sebagai bentuk penolakan secara halus agar tidak

(18)

menyinggung atau menyakiti perasaan orang lain yang dihubungkan dengan konsep marah (ikari). Sebenarnya Masih banyak hal yang dapat diteliti sehubungan dengan bahasan linguistik bahasa Jepang. Begitu pula dengan majas. Cakupan majas dalam bahasa Indonesia sangat beragam dan memiliki makna yang berbeda-beda. Banyak hal yang dapat digali dari kedua bahasan tersebut. Penulis menyarankan untuk meneliti lebih dalam keterkaitan majas eufemisme dengan konsep lain, seperti sedih, takut, senang dan lain sebagainya. Hal terpenting adalah menimbulkan hasrat dan keingintahuan lebih dalam mengenai bahasa dari dalam diri sendiri.

REFERENSI

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Rineka Cipta: Jakarta.

Darmojuwono, Setiawati. 2005. PESONA BAHASA:Langkah Awal Memahami Linguistik. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.

Dio Martin, Anthony. 2006. SMART EMOTION: Volume 2. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Downer, Lesley. 2002. The Secret History of geisha. London: Inggris.

Hershorn, Michael. 2002. Mengelola Kemarahan: Kiat cepat menangani Ledakan Perasaan. PT. Bhuana Ilmu Populer: Jakarta.

Heijima, Ichiro. 2002. Hajimete Deau Imiron no Sekai. Puspa Swara: Jakarta

Itatani.1996. A Contrastive Study Of Japanese and English Indirectnes. Japan.

Kartodirjo, Sartono. 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Gramedia; Jakarta Kawabata, Yasunari. 2009. Snow Country: Daerah Salju. PT. Gagasa Media: Jakarta. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Balai Pustaka : Jakarta.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta : Jakarta.

Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder. 2005.PESONA BAHASA:Langkah Awal

Memahami Linguistik. PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.

Suhardi, Basuki. Et al. 1995. Teori dan metode Sosiolinguistik II. Depdikbud: Jakarta. Susilo. 2007. Panduan Penelitian. Dunia Pustaka Jaya: Yogyakarta.

(19)

Moeliono, Anton M. 1989. Kembara Melayu: Dialek Batu Bara: Satu Tinjaun Lingusitik. Universitas Sumatera Utara: Medan.

Ohbuchi, Kenichi.2000. Ikari no hikakubunkenkyuu: kihanitsudatsu no jigen to ikari kanjouoyobi

bachiganbou ni taisuru sono eikyou. Touhouku daigaku bungakubu kenkyuu nenbou, 50, 172-184.

Diunduh dari http://www.nagoya-u.ac.jp/research/pdf/activities/20120324_is.pdf

Okamoto, Sarako. Saitou, Shigemi. 2005. Nihongofukushi (chotto) ni okeru tazasei to kinou. Diunduh dari:

Aramakitomoko. 1999. Amerika jin to nihonji no kotowarihyougen nohikaku. Ryuugakuseisenta – kouhouuiinkai: Japan.

Pateda, Mansoer. 1990. Linguistik (sebuah pengantar) PT. Angkasa: Bandung. Sato, Nobou. 1992. Retorikku Kankaku. Tokyo : Kodansha.

Tando, Sam. 1990. Eufemisme Dalam Bahasa Indonesia. Unika Atma Jaya : Jakarta.

Tomomi, matsuda. 2005. Koto naru Ikari no hyoushutsukeikou ni taioushita ninchikoudouryouhou no

yukousei. Diunduh dari http://d.hatena.ne.jp/akira070524/20110426

Takagi, Abe (Yosuke, Yosuke. Takeda, Tomoya. Sakai, Motohiro). 2011. Negatiipu na hansukeikouto

ikari no kanren. 73-85. Diunduh dari http://www.lib.tokushimau.ac.jp/repository/file/85288/20120227132415/LID201202271006.pdf Zaimar, Okke Kusuma Sumantri. 2002. Majas dan pembentuknya. Depok. Universitas Indonesia.

RIWAYAT PENULIS

Zaki nashwan lahir di kota Jakarta, pada tanggal 01 September 2012. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Sastra Jepang pada tahun 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Det vi ønsker med denne bacheloroppgaven er å belyse hvor viktig det er for en sykepleier å være bevist sin egen kommunikasjon for dermed å skape en god relasjon i møte med

Denne er bygget over et antall melodifigurer som kommer igjen med ujevne mellomrom ut gjennom melodien (for eksempel er melodien til ”Herre Gud, himmelske konge” den samme

Setiap tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berkewajiban untuk mematuhi standar profesi ,standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional... 38 Tahun 2014

Gambar 6 menunjukkan luasan lahan kebun kelapa sawit di provinsi-provinsi di Sumatera yang dikendalikan oleh 25 grup bisnis yang dikuasai oleh para taipan.Angka ini menunjukkan

Manfaat dari penelitian ini adalah memecahkan masalah dengan memberikan rekomendasi atas masalah ketidakefektifan dan ketidakefisiensian yang dihadapi Resto “X” dalam siklus

Gas metana tersebut dapat digunakan untuk menghasilkan listrik dengan dua cara yaitu, untuk menggerakkan mesin bakar internal atau untuk menggerakkan turbin gas sebagai

Berdasarkan hasil analisis penelitian, pembahasan dan kesimpulan terdapat beberapa saran yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan di

Hal ini disebabkan karena FP BM, sebagai mana pada (29a) dan (5a), merupakan frasa yang keberadaannya secara sintaksis tidak wajib atau dengan bahasa lain keberadaanya