• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PEMBATALAN PERNIKAHAN ATAS KESALAHAN PENETAPAN WALI HAKIM OLEH WALI NASAB(Studi Kasus Pernikahan dengan Akta 04/04/I/2012 di KUA Kecamatan Pabelan) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "UPAYA PEMBATALAN PERNIKAHAN ATAS KESALAHAN PENETAPAN WALI HAKIM OLEH WALI NASAB(Studi Kasus Pernikahan dengan Akta 04/04/I/2012 di KUA Kecamatan Pabelan) - Test Repository"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

i

UPAYA PEMBATALAN PERNIKAHAN ATAS KESALAHAN

PENETAPAN WALI HAKIM OLEH WALI NASAB

(Studi Kasus Pernikahan dengan Akta 04/04/I/2012 di KUA

Kecamatan Pabelan)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh:

MUHAMMAD SULHI MAHBUB

211.10.008

JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI'AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

v

MOTTO

“DO THE BEST AND BE YOUR SELF”

ىلع هكسي نا ملاعلل لاَ ًلٍج ىلع هكسي نأ لٌاجلل ىغثىي لا

ًملع

(

يوارثطلا ياَر

)

“TAK PANTAS ORANG BODOH MENDIAMKAN

KEBODOHANNYA DAN TAK PANTAS ORANG BERILMU

MENDIAMKAN ILMUNYA”

(7)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada keluarga besar Simbah Siti Khadijah orang tua tercinta Bapak Ja’farin dan Ibu Millati

Kakak tersayang, Fatkhi beserta istri Wulan, S.Pd

Bulik Minnati, Adik (Arini, Dzuha, Silfi, Mukhlis), Keponkan (Ungki, Riha)

Teman-teman seperjuangan AS’10 (Alfin, Danang, Umam “Coy” Lina “Nha”, Ietha, Khusen, Ari “Mbil”, Arya, Rita, Risa, Rizak”Pak Bo”, Budi “Wah Ono”, Fariul, Hasan, Yusuf “Ucup”, Umam “Sembir”, Hanif, Zend “Brow”, Andika, Ulya, Via “Nopy”,

Leny, mb‟Alfy, mb‟Irma, Pak Mujahidin, Pak Ibnu Hajar)

Rekan-rekan “KARISMA” Tingkir Lor (Kang Ilan, Barik, Pak Yam, Umam, Awin, Puput, Marisal, Pais, Sifa, Fajar, Angga, Zacky, Noval, Rizaq”PAK BO”, Wahyu “MBEK”, Zidni, Bayu “o.on”, Rofiq “Bokir”, Panji, Piyan “Kepleh”, Enggar, Dani, Huda,

Alfa “Tole”, Ayik “Bardolo”, Taufan “LIKUN”, kumala, Willy, Silmi, Sally, Sila, Maily, Hila, Atik, Yuniar, Sinna, Sinta, Indah)

Terima kasih

(8)

vii

ABSTRAK

Mahbub, Muhammad Sulhi. 2016. Upaya Pembatalan Pernikahan atas kesalahan

penetapan wali hakim Oleh Wali Nasab (Studi Kasus Pernikahan dengan Akta 04/04/I/2012 di KUA Kecmatan Pabelan). Skripsi Fakultas Syari‟ah Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: M. Yusuf Khumaini, S.HI, M.SI.

Kata Kunci: Pembatalan, Pemalsuan Data, Pernikahan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kasus kesalahan penetapan wali hakim yang terjadi di KUA Kecamatan Pabelan. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah (1) Bagaimana praktek pernikahan di KUA Pabelan ? (2) Bagaimana upaya yang dilakukan wali nasab mengenai kesalahan penetapan wali hakim ? (3) Bagaimana peran KUA dalam mengatasi permasalahan kesalahan penetapan wali hakim ?

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif sosiologis. dengan mengambil lokasi penelitian di KUA Kecamatan Pabelan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan

dokumentasi. Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya, Selama

pengumpulan data, data sudah mulai dianalisis. Data yang terkumpul, dipaparkan berdasarkan klasifikasi sehingga tergambar pola atau struktur dari fokus masalah yang dikaji kemudian diinterpretasikan sehingga mendapatkan jawaban dari fokus penelitian tersebut.

(9)

viii

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT, yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayahNya sehingga penulis

dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul "UPAYA

PEMBATALAN PERNIKAHAN ATAS PEMALSUAN DATA WALI NIKAH OLEH WALI NASAB (Studi di KUA Kecmatan Pabelan)".

Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Agung

Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabatnya, dan orang-orang yang

senantiasa mengikuti jejaknya. Semoga kita semua mendapatkan syafa'atnya di

hari kiamat kelak. Amiin.

Penulis sangat menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini

penulis banyak mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dan

kemampuan yang belum sempurna. Namun berkat adanya bantuan, motivasi dan

bimbingan dari berbagai pihak, syukur Alhamdulillah skripsi ini dapat

terselesaikan.

Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan ucapan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Dra. Siti Zumrotun, M. Ag selaku dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga

3. Ilya Muhsin, S.H.I, M.Si selaku dosen pembimbing akademik

4. Sukron Makmun, M. Si selaku Ketua Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakkhsiyyah

5. M. Yusuf Khumaini. S.HI, M.H selaku pembimbing skripsi yang telah sudi

meluangkan waktunya untuk membimbing dalam penulisan skripsi

6. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak

membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Kepada Bapak Ibu penulis, Ja‟farin, Millati dan kakak penulis beserta istri

Fatkhi dan Wulan yang telah memberi dukungan baik materi maupun

(10)

ix

8. Kepada teman-teman fakultas Syari‟ah dan Ekonomi Islam angkatan 2010

khususnya jurusan AS „10

9. Kepada semua pihak yang telah mendukung penulis, semua pihak yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukung hingga bisa

menyelesaikan skripsi

Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, penulis senatiasa mengharapkan masukan dan kritik yang membangun dari

pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para

pembaca pada umumnya.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis memohon petunjuk dan

berserah diri memohon ampunan dan rahmatNya.

Salatiga, 05 September 2016

Penulis,

(11)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

NOTA PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 7

E. Penegasan Istilah ... 8

F. Tinjauan Pustaka ... 9

G. Metode Penelitian ... 11

H. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Wali dalam Pernikahan ... 15

(12)

xi

C. Kedudukan Wali dalam Pernikahan ... 22

D. Syarat-syarat Wali Nikah ... 28

E. Macam-macam Wali Nikah ... 31

F. Orang yang Berhak Menjadi Wali Nikah ... 33

G. Urutan Hak Perwalian ... 35

H. Konsekuensi Hukum Terhadap Tidak Terpenuhi wali dalam Pernikahan ... 38

BAB III PRAKTIK PERNIKAHAN DENGAN WALI HAKIM DI KUA KECAMATAN PABELAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 44

1. Kondisi Geografis ... 44

2. Visi dan Misi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pabelan ... 45

3. Tujuan dan Sasaran Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pabelan ... 46

4. Wilayah Yuridiksi dan Kewenangan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pabelan ... 47

5. Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pabelan ... 49

6. Tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pabelan ... 49

(13)

xii

C. Upaya yang Dilakukan Wali Nasab Mengenai

Kesalahan Penetapan Wali Hakim ... 58

D. Peran KUA dalam Mengatasi Kesalahan Penetapan

Wali Hakim ... 60

BAB IV ANALISIS DATA

A. Analisis Praktek Pernikahan di KUA Kecamatan

Pabelan ... 65

B. Analisis Upaya yang Dilakukan Wali Nasab Mengenai

Kesalahan Penetapan Wali Hakim ... 70

C. Analisis Peran KUA dalam Mengatasi Kesalahan

Penetapan Wali Hakim ... 72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 84

C. Kata Penutup ... 85

DAFTAR PUSTAKA

(14)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan muara atas rasa saling kasih dan mencintai

antara lelaki dan perempuan yang diciptakan oleh Tuhannya. Sudah menjadi

qadrat dan iradah Allah manusia diciptakan saling berjodoh-jodoh dan

diciptakan oleh Allah mempunyai keingin untuk berhubungan antara lelaki

dan perempuan. (Ghazaly, 2003:27)

Dalam perkawinan menurut agama Islam ada beberapa syarat dan

rukun yang harus dipenuhi, diantara rukun perkawinan itu salah satunya

adalah wali nikah. Wali nikah yaitu orang yang menikahkan seorang wanita

dengan seorang pria. Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang

harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.

Pernikahan tanpa adanya wali nikah maka pernikahannya tidak sah. (Ali,

2012:54)

Hal ini sesuai dengan KHI pasal 19 yang berbunyi :

“wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk

menikahkannya.” (Abudurrahman, 1992:120)”

Peranan wali nikah menurut hukum Islam sangat penting

keberadaannya, karena ada atau tidaknya wali nikah mempengaruhi sah atau

tidaknya pernikahan yang dilangsungkan. Perempuan yang menikah tanpa

adanya persetujuan dari wali nikah maka pernikahan tersebut tidak sah (batal).

(15)

2

berhak menikahkan anak perempuan dan menjadi salah satu rukun sah nya

perkawinan. Wali yang menjadi rukun nikah adalah wali nasab, yaitu wali

yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita. Dalam

keadaan luar biasa, wali nasab dapat digantikan oleh wali hakim, yaitu petugas

pencatat nikah jika wali nasab tersebut tidak ada atau tidak ditemukan.

Demikian pula, jika wali nasab tidak mau atau tidak bersedia menikahkan

calon mempelai wanita, maka wali hakimlah yang bertindak untuk

menikahkannya. (Saleh, 2008:300)

Status wali nikah dalam hukum perkawinan merupakan rukun yang

menentukan sahnya akad nikah (perkawinan). Seseorang yang menjadi wali

nikah harus memnuhi syarat wali nikah, yaitu laki-laki, dewasa (baligh),

mempunyai hak perwalian dan tidak terdapat halangan perwalian. seperti yang

diatur dalam KHI pasal 20 ayat 1 “yang bertindak sebagai wali nikah ialah

seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, akil dan

baligh.

Adapun yang berhak menjadi wali nikah menurut pandangan Islam

adalah ayah dari calon mempelai wanita. Dan apabila keadaan memaksa, ayah

dari calon mempelai wanita tidak bisa menjadi wali nikah karena meninggal,

ghaib atau berada di tempat yang jauh dan tidak mungkin untuk bisa datang,

maka yang berhak menjadi wali adalah kakek. Apabila kakeknya tidak ada

juga maka dapat berpindah kepada derajat yang lebih jauh yakni saudara

laki-laki kandung dari calon mempelai wanita dengan syarat Islam, adil, dan jika

(16)

3

lebih jauh yakni pamannya. Dari keempat laki-laki yang akan menjadi wali itu

tidak ada juga maka saudara laki-laki dari ibu calon mempelai wanita dengan

syarat mengerti tentang hukum munakahat atau yang disebut juga dengan

hakam atau orang lain yang terpandang dan disegani, luas ilmu tentang

munakahat, berpandangan luas, adil, Islam dan laki-laki yang di sebut dengan

wali Muhakam. (Ramulyo, 1996:216)

Rukun pernikahan yang tidak terpenuhi maka pernikahan tersebut

tidak sah atau batal, dalam pembahasan ini yang menjadi pembahasan adalah

wali nikah yang tidak terpenuhi. Dalam pernikahan keberadaan wali nikah

sangat penting karena menentukan sah atau tidaknya suatu pernikahan.

Yang menjadi dasar hukum dalam masalah ini adalah hadits Nabi

Muahammad SAW yang diriwayatkan Abu Burdah yaitu:

عَامبٍُبْىعَع بُ بّ عَىبِ عَر بًِ بِتعَا بْهعَع ىعَسبُ يبِتعَا بْهعَع عَجعَ بْربُت يبِتعَا بْهعَع

.

عَ عَا

:

بّ ُبُ عَر عَ اعَ

يٍّيبِلعَُبِتلاَّلابِا عَ عَاكبِو عَلا بْمعَلعَ عََ بًِبْ عَلعَع بّ عَيلعَ

“Dari Abu Burdah r.a. dari Abu Musa r.a. dari ayahnya r.a. beliau berkata. Rasulullah saw. bersabda: tidak sah nikah tanpa wali.” (Ibnu Majjah, tt: 605)

Pasal 22 UU No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan dapat

dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan. (Arto, 1996:231) Didalam hukum positif

indonesia diatur dalam undang-undang tentang pernikahan pasal 37 dan 38

ayat (1) dan (2) PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

(17)

4

Batalnya pernikahan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan,

permohonan pembatalan perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak

mengajukannya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

tinggal kedua suami isteri atau suami atau isteri.

Adapun pihak yang berhak mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan menurut pasal 23 dan 24 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

yaitu:

1. Para keluarga dari garis keturunan lurus keatas dari suami atau

isteri.

2. Suami atau isteri.

3. Pejabat berwenang selama perkawinan belum diputuskan.

4. Pejabat yang ditunjuk oleh UU perkawinan pasal 16 ayat 2 dan

setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung

terhadap perkawinan tersebut.

Sedangkan menurut pasal 73 KHI yang dapat mengajukan pembatalan

perkawinan adalah :

1. Para keluarga dari garis keturunan keatas dan kebawah dari pihak

suami atau isteri.

2. Suami atau isteri.

3. Pejabat berwenang yang mengawasi pelaksanaan perkawinan

menurut undang-undang.

4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat

(18)

5

peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal

67.

Gugatan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan

Agama yang mewilayahi tempat:

1. Di mana perkawinan dilangsungkan,

2. Di tempat tinggal kedua suami isteri,

3. Di tempat tinggal suami, atau

4. Di tempat tinggal isteri.

Yang paling tepat adalah diajukan kepada Pengadilan Agama dimana

perkawinan dilangsungkan, atau tempat tinggal suami dan isteri tersebut

(yurisprudensi). (Arto, 1996:235)

Mengingat pentingnya keberadaan wali seperti uraian diatas maka tata

pelaksanaan pernikahan di indonesia sangat memperlukan kehati-hatian dalam

pencatatan indentitas pihak yang akan melangsungkan akad pernikahan. Bagi

orang yang beragama islam maka Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi

lembaga resmi yang melakukan pencatatan bahkan memberikan status sah

apabila semua syarat terpenuhi menurut Undang-undang.

Praktik pernikahan yang dilakukan oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN)

atau KUA harus memperhatikan masalah indetitas dan harus hati-hati dalam

melakukan pemeriksaan, karena masyarakat memiliki pola pikir yang beragam

dan kadang sangat meremehkan prosedur dan kejujuran dalam pengisian

formulir yang telah ditetapkan oleh Undang-undang. Seperti halnya pengisian

(19)

6

Masalah tersebut ada kaitannya dengan praktik pernikahan dengan

wali hakim di Kantor Urusan Agama (KUA) Pabelan yang meniadakan wali

nikah karena dianggap mafqud (tidak diketahui keberadaaannya), namun sebernarnya ayah dari calon mempelai perempuan tidak tinggal serumah dan

diketahui tempat tinggalnya tepatnya di Desa Doplang Kecamatan Beringin

Kabupaten Semarang.

Melihat latar belakang dan permasalahan di atas, maka penulis tertarik

untuk meneliti masalah pemalsuan data wali nikah di KUA Kecamatan

Pabelan dan mengajukan skripsi dengan judul: “UPAYA PEMBATALAN

PERNIKAHAN ATAS KESALAHAN PENETAPAN WALI HAKIM

OLEH WALI NASAB (Studi Kasus Pernikahan Dengan Akta

04/04/I/2012 di Kua Kecamatan Pabelan).”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti

memfokuskan pada beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana praktik pernikahan di KUA Pabelan ?

2. Bagaimana upaya yang dilakukan wali nasab mengenai kesalahan

penetapan wali hakim ?

3. Apa saja peran KUA dalam mengatasi permasalahan kesalahan penetapan

wali hakim ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang penulis tuturkan di atas, maka

(20)

7

1. Untuk mengetahui bagaimana praktik pernikahan di KUA Kecamatan

Pabelan.

2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan wali nasab mengenai

kesalahan penetapan wali hakim.

3. Untuk mengetahui apa saja peran KUA dalam mengatasi masalah

kesalahan penetapan wali hakim.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk menjawab pertanyaan

dari permasalahan yang ditemukan oleh penulis, namun penelitian ini tidak

hanya bertujuan untuk menjawab pertanyaan itu saja namun juga terdapat

manfaatnya baik secara teoritis maupun praktis. Oleh karena itu penelitian ini

bermanfaat antara lain sebagai berikut:

1. Kegunaan teoritis

a. Sebagai upaya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya

masalah wali nikah.

b. Untuk mengetahui upaya pembatalan pernikahan yang dilakukan oleh

wali nasab.

2. Kegunaan praktis

a. Untuk memenuhi tugas dan melengkapi persyaratan guna memperoleh

gelar Sarjana Hukum Islam pada Jurusan Syari‟ah Program Studi

Ahwal al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga.

(21)

8

Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berfikir

kritis serta pemenuhan prasyarat dalam menyelesaikan pembelajaran

Ilmu Hukum Islam dalam bidang hukum keluarga, sehingga dapat

mencetak Pegawai Pencatat Nikah yang jujur, handal, cerdas dan

trampil.

c. Bagi KUA

Untuk menjadikan masukan agar KUA agar lebih selektif dan

berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya sebagai pegawai pencatat nikah.

d. Bagi masyarakat

Untuk memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat

mengenai wali nikah.

E. Penegasan Istilah

Untuk mempermudah pemahaman serta menghindari kesalahpahaman

terhadap judul UPAYA PEMBATALAN PERNIKAHAN ATAS

KESALAHAN PENETAPAN WALI HAKIM OLEH WALI NASAB

(Studi Kasus Pernikahan Dengan Akta 04/04/I/2012 di Kua Kecamatan

Pabelan), maka terlebih dahulu penulis jelaskan maksud istilah dalam judul

tersebut.

1. Pembatalan pernikahan

Pembatalan dalam hukum islam disebut fasakh. Jadi fasakh sebagai

salah satu penyebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau

membatalkan hubungan pernikahan yang telah berlangsung (Basyir,

(22)

9

2. Wali

Wali adalah orang yang berhak atau berwenang untuk melakukan

suatu perbuatan hukum bagi yang diwakilinya untuk kepentingan dan atas

nama yang diwakili (Rofiq, 1997:258).

3. Nasab

Nasab diartikan dengan Keturunan ikatan keluarga sebagai

hubungan darah keatas (bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya) maupun

kesamping (saudara, paman, bibi, dan lain-lain) (Zaidan, 1993: 321).

F. Tinjauan Pustaka

Penulis telah melakukan penelusuran karya ilmiah yang ada kaitannya

dengan pemalsuan data dalam pernikahan. Adapaun karya ilmiah tersebut

adalah sebagai berikut:

Skripsi dari Mauliawati Ulfah mahasiswa IAIN Salatiga yang berjudul

“Pemalsuan Umur dalam Pernikahan di Desa Ketapang Kecamatan Susukan

Kabupaten Semarang Tahun 2011”. Dalam skripsi tersebut, beliau

memfokuskan penelitian mengenai praktek pemalsuan umur dalam

pernikahan di Desa Ketapang, faktor penyebab pemalsuan umur dalam

pernikahan tersebut, dapmpak yang ditimbulkan dari pemalsuan umur dan

bagaimana status pernikahan dari pelaku pemalsuan umur nikah.

Skripsi yang ditulis oleh M. Rosyiduddin dengan judul “Putusan

Hakim tentang Pembatalan Nikah Karena salah wali di Pngandilan Agama

Nganjuk” tahun 2002. Dalam bahasan skripsi ini memaparkan isi dari putusan

(23)

10

pemalsuan identitas wali tersebut kurang mengenai terhadap aspek

masyarakat dan prosedur awal mengapa terjadi pemalsuan identitas, yakni

menafikan peran penting KUA dalam menangani masalah kelengkapan

identitas dalam perkawinan.

Skripsi yang ditulis oleh Amil Farah dengan judul, “Pemalsuan

Identitas Wali Sebagai Alasan Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama

Bangkalan”, tahun 2003. Membahas tentang pembatalan perkawinan dan

analisis terhadap pertimbangan hakim dalam memberi putusan terhadap

pembatalan perkawinan.

Pada dasarnya skripsi ini berbeda dengan karya ilmiah terdahulu yaitu

fokus penelitian dari penulis adalah mengenai praktik pernikahan di KUA,

upaya yang dilakukan wali nasab dalam mengatasi kesalahan penetapan wali

hakim, bagaimana peran KUA dalam mengatasi kesalahan penetapan wali

hakim.

G. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field

research) yaitu penelitian yang dilakukan di kancah atau medan terjadinya gejala (Hasan, 2002:11) guna melakukan penelitian pada objek yang

dibahas yaitu mengenai pemalsuan data wali nikah. Serta penelitian

kualitatif yang memusatkan pada studi kasus terhadap satu latar atau satu

(24)

11 2. Kehadiran peneliti

Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama

dan penting karena seorang peneliti secara langsung mengumpulkan data

yang ada di lapangan.

3. Lokasi penelitian

Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian di KUA Kecamatan

Pabelan.

4. Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber data primer, yaitu sumber yang langsung memberikan data

kepada peneliti (Sugiyono, 2007:308), Sumber data ini meliputi para

pihak yang terlibat dalam pemalsuan identitas wali yang terdiri dari

responden yaitu Kepala KUA, staf dan kedua mempelai, orang tua

mempelai wanita.

b. Sumber data sekunder, yaitu mencakup dokumen-dokumen,

buku-buku, dan hasil penelitian yang lain yang menyangkut permasalahan

mengenai wali dalam perkawinan.

5. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar

untuk memperoleh data yang diperlukan. Pengumpulan data tidak lain

dari suatu proses pengadaan data primer untuk keperluan penelitian

(25)

12

Dalam pengumpulan data disini, peneliti menggunakan beberapa

metode, yaitu:

a. Interview (Wawancara), yaitu proses tanya jawab dalam penelitian

yang berlangsung secara lisan dimana 2 (dua) orang atau lebih

bertatap muka, mendengarkan secara langsung informasi atau

keterangan (Ahmadi, 2009:83). Adapun wawancara ini dilakukan

terkait dengan penelitian ini adalah pihak-pihak yang melakukan

pemalsuan identitas wali di KUA Kecamatan Pabelan yaitu penghulu,

kedua mempelai, orang tua pihak wanita yang telah mendaftarkan.

b. Dokumentasi, yaitu mengumpulkan data-data yang dikumpulkan

berdasarkan arsip-arsip, misalnya berupa berkas pemalsuan identitas

wali di KUA Kecamatan Pabelan.

6. Analisis data

Setelah penulis mengumpulkan data yang dihimpun, kemudian

menganalisisnya dengan menggunakan metode deskriptif analisis yaitu

mengumpulkan data tentang pemalsuan identitas wali nikah di KUA

Kecamatan Pabelan yang disertai analisis untuk diambil kesimpulan. Dan

metode pembahasan yang dipakai adalah induktif merupakan metode

yang digunakan untuk mengemukakan fakta-fakta atau kenyataan dari

hasil penelitian di KUA Kecamatan Pabelan, kemudian diteliti sehingga

ditemukan pemahaman yang terkait dengan pemalsuan identitas wali

(26)

13

H. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini penulis mencoba menguraikan secara sistematis

yang terdiri dari lima bab. Setiap bab terdiri dari beberapa sub bab yang

terperinci sebagai berikut:

BAB I : Pendauluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

rumusan maslah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah,

tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.

BAB II : kajian pustaka dalam bab ini akan menguraiakan tentang

Pengertian Wali, Dasar Hukum, Kedudukan Wali dalam Perkawinan,

Syarat-syarat Wali, Macam-macam Wali, Orang Yang Berhak Menjadi Wali, Urutan

Hak Perwalian, Konsekuensi Hukum terhadap tidak terpenuhi wali dalam

pernikahan.

BAB III : Berisi tentang data penelitian yang meliputi tiga bahasan

meliputi : Pertama, Keadaan georafis, Visi dan Misi, Wilayah Yuridiksi dan

Kewenangan KUA Kecamatan Pabelan, Struktur Organisasi KUA Kecamatan

Pabelan, Tugas dan fungsi KUA Kecamatan Pabelan, Program Kerja Kantor

Urusan Agama Kecamatan Pabelan, Kedua praktek pernikahan di KUA

Kecamatan Pabelan, Ketiga upaya yang dilakukan wali nasab mengenai

kesalahan penetapan wali hakim dan peran KUA dalam kesalahan penetapan

wali hakim.

BAB IV : berisi tentang analisis praktek pernikahan di KUA

(27)

14

mengenai kesalahan penetapan wali hakim, ketiga analisis tentang peran

KUA dalam mengatasi kesalahan penetapan wali hakim.

(28)

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Wali dalam Pernikahan

Secara etimlogi, alwilayah (wali) berasal dari ungkapan wala'

asy-syay' wa ala' alayhi wilayatan wa wilayatan yang berarti "Menguasainya". ada juga yang mengatakan wala' fulanan wilayatan wa wilayatan "membantu dan menolongnya". Sedangkan alwalayatan ditafsirkan dengan pertolongan,

sedangkan al wilayat ditafsirkan kekuasaan dan kekuatan. Sedangkan dalam pengertian terminologis perwalian (wilayah) ialah kekuasaan secara syariat

yang dimiliki orang yang berhak untuk melakukan tasharruf (aktivitas) dalam kaitan dengan keadaan atau urusan orang lain untuk membantunya. (Yanggo,

2004: 306-307) Dari makna demikian disebutkanlah bahwa wali bagi seorang

wanita ialah yang mempunyai hak atau kekuasaan untuk melakukan akad

pernikahannya dan ia tidak membiarkannya diganggu oleh orang lain.

Menurut Prof. Abdullah Kelib (1990: 11), wali di dalam perkawinan

adalah orang yang bertanggung jawab atas perkawinan yang dilaksanakan

dibawah perwaliannya, sehingga perkawinan tidak dianggap sah apabila tidak

terdapat wali yang menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria.

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ijab didalam

perkawinan menurut hukum Islam adalah wewenang wali semata-mata.

Sehingga karena peranan wali yang mempunyai arti penting akan tetap

dipertahankan, apabila wanita itu tidak mempunyai wali nasab bisa

(29)

16

Menurut Muhammad Jawwad Mughniyah (2000: 345) wali adalah

suatu kekuasaan atau wewenang syar‟i atas segolongan manusia, yang

dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada

orang lain yang dikuasai itu demi kemashlahatannya.

Sedangkan Sayyid Sabiq (1998: 11) mendefinisikan wali adalah suatu

ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan

hukumnya. Maksudnya wali dalam pernikahan termasuk rukun yang harus

dipenuhi sebagai sahnya suatu pernikahan.

Perwalian dalam istilah fiqih disebut wilayah yang berarti penguasaan

atau perlindungan. Yang dimaksud perwalian ialah penguasaan penuh yang

diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai orang atau barang.

Orang yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali. Adanya penguasaan dan

perlindungan dikarenakan adanya beberapa hal sebagai berikut:

1. Pemilikan atas orang atau barang, seperti perwalian atas budak yang dimiliki atau barang-barang yang dimiliki.

2. Hubungan kekerabatan atau keturunan, seperti perwalian sesorang atas salah satu kerabatnya atau anak-anaknya.

3. Karena memerdekakan seorang budak, seperti perwalian seseorang atas budak-budak yang telah dimerdekakannya.

4. Karena pengangkatan, seperti perwalian seseorang kepala negara atas rakyatnya atau perwalian seorang pemimpin atas orang-orang yang dipimpinnya. (Mukhtar, 1974 : 9)

Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan perwalian dapat ditinjau

sebagai berikut:

1. Perwalian terhadap orang.

2. Perwalian terhadap barang.

(30)

17

Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya

berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya dia

bertindak terhadap dan atas nama orang lain karena orang lain itu memiliki

suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak

bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta atau

atas dirinya. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan wali nikah adalah

seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad

nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang

dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang

dilakukan oleh walinya. (Syarifudin, 2006 : 69)

Baik hukum Islam maupun landasan yuridis yang terdapat dalam pasal

19 Kompilasi Hukum Islam (KHI) wali nikah dalam perkawinan merupakan

rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk

menikahkannya. (DEPAG RI, 2000: 185)

Menurut Soemiyati (1999: 42) mengutip dari pendapat Imam Syafi‟i,

Imam Malik, dan Hambali, wali dalam perkawinan merupakan syarat sahnya

suatu perkawinan, artinya tanpa adanya wali perkawinan dianggap tidak sah.

Tidak sah disini bisa diartikan bahwa pernikahan tersebut fasid atau rusak dan

apabila pernikahan tersebut rusak maka pernikahan tersebut batal menurut

(31)

18

Berdasarkan Al-Quran surat An-nisa‟ ayat 35 yang berbunyi:



“dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. An-Nisa‟[4]: 35)

Jadi dapat disimpulkan bahwa perkawinan tidak hanya sekedar

perikatan antara kedua pasangan, melainkan sedikit banyak akan membawa

dampak kepada kerabat dan keluarganya termasuk wali. Oleh sebab itu wali

harus selektif untuk memilih pasangan bagi orang yang dibawah

perwaliannya.

Dengan uraian definisi wali di atas, wali nikah adalah orang yang

berhak menikahkan anak perempuan dengan pilihannya.Sementara yang

disebut wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai

perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon

mempelai perempuan. Wali nasab, ayah, kakek, saudara, laki-laki, paman dst.

B. Dasar Hukum

Memang tidak ada satu ayat Al-Quran pun yang jelas secara ibarat al-nash yang menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. Namun

(32)

19

kepada keharusan adanya wali, tetapi dari ayat tersebut secara isyarahal-nash, dapat dipahami menghendaki adanya wali.

Di antara ayat Al-Quran yang mengisyaratkan adanya wali adalah

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah

menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada

manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah[2]: 221)

Ayat di sini mengandung pengertian bahwa para wali dilarang

mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan musyrik. Paling tidak

ada dua hal yang perlu digaris bawahi:

Pertama, penggalan ayat tersebut ditujukan kepada para wali,

memberi isyarat bahwa wali mempunyai peranan yang tidak kecil

dalam perkawinan putri-putrinya atau wanita-wanita yang berada

(33)

20

perkawinan yang menjalin hubungan harmonis antara suami istri,

sekaligus antar keluarga, bukan saja keluarga masingmasing tetapi

juga antara kedua keluarga mempelai. Dari sini peranan orang tua

dalam perkawinan menjadi sangat penting. Baik dengan memberi

kepada orang tua wewenang yang besar, maupun sekedar restu, tanpa

mengurangi hak anak. Oleh karena itu, walaupun Rasul

memerintahkan orang tua supaya meminta persetujuan anak gadisnya,

namun karena tolak ukur anak itu tidak jarang berbeda dengan tolak

ukur orang tua, maka tolak ukur anak, ibu dan bapak harus dapat

menyatu dan mengambil keputusan perkawinan.

Kedua, larangan mengawinkan wanita-wanita muslimah

dengan orang-orang musyrik. Walaupun pandangan mayoritas ulama

dapat memasukkan ahl al-kitab dalam kelompok dinamai musyrik, tetapi ini bukan berarti ada izin untuk pria ahl al-kitab untuk

mengawini wanita muslimah. Larangan tersebut, menurut ayat di

atas,berlanjut hingga mereka beriman, sedang ahl al-kitab tidak dinilai beriman dengan iman yang dibenarkan oleh Islam. Maka bagi para

wali dilarang menikahkan wanita-wanita muslimah dengan

orang-orang musyrik dan juga ahl alkitab.



(34)

21

yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha

mengetahui.” (An-Nuur[24]: 32)

Secara isyarah al-nash ayat diatas merupakan perintah untuk

mengawinkan orang-orang yang bujang, dan perintah tersebut

ditujukan kepada wali untuk menikahkan.

b. Al-Hadist

(dua) saksi yang adil.” (H.R. Ibnu Majjah, Hadis No: 1879)

Menurut pendapat ulama', maksud hadits di atas, kata "la

nikaaha illa bi waliyyin" adalah diarahkan atau dimaksudkan kepada sah, yang hal itu merupakan salah satu diantara dua kiasan yang paling

dekat kepada zat yang dinafikan, sehingga nikah tanpa wali menjadi

“Dari Aisyah ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw, “ seseorang

(35)

22

Dasar hukum yang berasal dari hadist diatas jelas bahwa wali

dalam pernikahan itu harus terpenuhi dan tidak sah apabila menikah

tanpa wali bahkan Rasulullah SAW menyebutkan bahwa menikah

tanpa wali maka pernikahannya batal, batal, batal.

C. Kedudukan Wali dalam Pernikahan

Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti

dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu

ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama

secara prinsip. Dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan

sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula

sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan

tersebut.Memang tidak ada satu ayat Alquran pun yang jelas secara ibarat

al-nash yang menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. Namun di

dalam Alquran terdapat petunjuk nash yang ibarat-nya tidak menunjuk

kepada keharusan adanya wali, akan tetapi dari ayat tersebut secara isyarat nash dapat dipahami adanya wali. Disamping itu terdapat pula adanya ayat-ayat Alquran yang dipahami perempuan dapat melaksanakan sendiri

perkawinannya.(Syarifudin, 2006: 69-70)

Hal-hal yang berkenaan dengan kawin dan mengawinkan Allah swt

mengalamatkan titahnya kepada wali, karena dalam kehidupan bermasyarakat

terutama masyarakat Arab waktu turun ayat-ayat ini perkawinan itu berada di

(36)

23

adanya wali. Meskipun demikian rasanya tidak mungkin dari taqrir itu

ditetapkan hukum wajib apalagi rukun dalam perkawinan.

Di antara ayat Al quran yang mengisyaratkan adanya wali tersebut

“apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian.itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 232)

Ayat di atas jelas mengindikasikan bahwa dalam suatu pernikahan

harus ada peran wali di dalamnya. Dalam ayat tersebut terdapat dalil yang

menunjukkan bahwa seorang wanita tidak mempunyai kekuasaan untuk

menikahkan dirinya sendiri, tetapi harus ada wali baginya dalam pernikahan.

Sedangkan ayat-ayat Alquran yang mengindikasikan bahwa

pernikahan tidak harus menggunakan wali atau perempuan itu kawin sendiri

tanpa harus memakai wali adalah:

(37)

24

“apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian.itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 232)

Ayat di atas dengan tegas mengatakan perempuan itu mengawini

bekas suaminya dan wali dilarang mencegahnya. Dalam hal ini, Ahmad

Mustofa Al-Maraghi (2001: 233) menjelaskan dalam firman Allah swt, kata

“مٍى ت” menunjukkan bahwasannya tidak ada halangan bagi seseorang laki-laki

untuk melamar perempuan atau janda tersebut langsung pada dirinya untuk

melakukan pernikahan. Pada saat itu diharamkan walinya menahan dan

menghalang-halangi melakukan pernikahan dengan orang yang melamarnya.

Namun para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan wali dalam

pernilkahan, yaitu :

1. Imam Syafi‟i dan Imam Malik.

Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu

rukun perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh

sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa walihukumnya tidak

sah (batal). Sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam

Ahmad dan Al-Tirmidzi berasal dari Siti Aisyah (istri Rasulullah)

(38)

25

seseorang perempuan jika menikah tidak seizin walinya, maka nikahnya batal 3x. Dan jika (si laki-laki) campuri dia, maka wajib atasnya membayar mahar buat kehormatan yang ia telah halalkan dari perempuan itu, jika mereka bertengkar, maka sultan itu wali bagi yang tidak mempunyai wali.” (Abu Dawud, Hadis No: 2084)

Selain alasan-alasan dari hadits diatas, Imam Syafi‟i mengemukakan

pula alasan atau dasar adanya wali dari Al-Quran, antara lain:



“dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil

pelajaran.” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 221)



(39)

26

miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan

Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Q.S.

An-Nuur[24]: 32)

2. Imam Hanafi

Menurut Syarifudin (2006: 73) Golongan Hanafiyah dan

Syi‟ah Imamiyah berpendapat bahwa tidak mewajibkan adanya

wali bagi perempuan dewasa dan sehat akal, menanggapi hadits di

atas dengan menyatakan bahwa hadits tersebut mengandung dua

arti: Pertama, tidak sempurna suatu perkawinan tanpa adanya wali, bukan berarti tidak sah. Kedua, bila kata itu diartikan dengan tidak

sah, maka arahnya adalah kepada perempuan yang masih kecil dan

tidak sehat akalnya, karena terhadap dua perempuan tersebut ulama

Hanafiyah, seperti ulama Jumhur juga mewajbkan adanya wali.

Bahwa jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka ia

mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa

wali. Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah

syarat dalam akad nikah. Menurut beliau juga, walaupun wali

bukan syaratsah nikah, tetapi apabila wanita melaksanakan akad

nikah dengan pria yang tidak sekufu dengannya, maka wali

mempunyai hak mencegahnya.(Syarifudin, 2006: 78-81)

Imam Hanafi mengemukakan pendapatnya berdasarkan

(40)

27 pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 230)

Dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW. Dari Abu Abbas R.A:

عَاٍبُذبُُكبُ عَاٍبُوبْابِاعََ بُرعَ بْأعَربْسبُذ بُربْكبِثبْلاعََ عَاٍعَىبِلعََ بْهبِ عَاٍبِسبْفعَىبِت لاَّقعَ عَا بُةبِ عَثلعَا

(

ملس يَار

)

“Janda lebih berhak atas dirinyadaripada walinya, dan kepada gadis

(perawan) dimintai persetujuannya, dan persetujuan jika dimintai, (gadis itu) diam (H.R. Abu dawud, Hadis No: 2099)

Berdasarkan Al-Quran dan Hadis Rasul tersebut, menurut Hanafi

memberikan hak sepenuhnya kepada wanita mengenai urusan dirinya dengan

meniadakan campur tangan orang lain (wali) dalam urusan pernikahan.

Pertimbangan rasional logis Hanafi tentang tidak wajibnya wali nikah bagi

perempuan yang hendak menikah.Perempuan yang sudah dewasa dan sehat

akalnya dapat melakukan sendiri perkawinannya dan tidak perlu wali

mengakadkannya. Alasan rasionalnya ialah orang yang telah dewasa dan

sehat akalnya dapat bertindak hukum dengan sendiri tanpa diperlukan

(41)

28

Imam Abu Hanifah, Zufar, Asy-Sya'bi dan Az-Zuhri berpendapat

bahwa apabila seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali, sedang

calon suaminya sebanding (sekufu'), maka pernikahannya boleh. (Abidin, 1999: 91)

Namun demikian mayoritas masyarakat Indonesia madzhab yang

dianut adalah madzhab Syafi‟i, jadi di Indonesia tidak memungkinkan

menikah tanpa adanya wali yang berhak.

D. Syarat-syarat Wali Nikah

Pernikahan merupakan suatu akad yang mempunyai akibat

hukum.Sehingga dibutuhkan orang yang melakukan akad tersebut harus

cakap atau mempunyai kekuasaan untuk melakukannya.Termasuk di

dalamnya mengenai wali nikah. Oleh sebab itu, maka wali nikah harus

mempunyai beberapa syarat, di antaranya:

1. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak

berhak menjadi wali. Ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang

melakukakan akad. (Soemiyati, 1999: 43) Hal ini mengambil dari hadis

Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :

بْهعَع بِزعَ عَ بْهعَع بُمعَلعَقبْلا عَعبِ عَر عَل بْمعَلعَ عََ بًِبْ عَلعَع بُ لاَّ عَيلعَ يبِثعَو هعَع عَاٍبْىعَع بُ لاَّ عَيبِ عَر عَحعَسبِ عَاع بْهعَع

عَق بِفبُي َعَا عَلبِقبْععَي ىلاَّرعَ بِنبُْبُىبْجعَملا بْهعَععََ بُرعَثبْكعَي يلاَّرعَ بِر بِ لاَّللا بِهعَععََ عَ بِق عَرسعَي يلاَّرعَ بِمبِ الاَّىلا

“Dari Aisyah R.A. dari Nabi saw. beliau berkata : dibebaskan hukum dari tiga macam orang : dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak-anak hingga ia bermimpi (dewasa) dan dari orang-orang gila hingga ia sembuh.” (Al-Asqalani, 1996 No: 1120)

Hadits di atas memberikan pengertian bahwa anak-anak tidak

(42)

29

2. Laki-laki. Laki-laki merupakan syarat perwalian, karena ia dianggap lebih

sempurna, sedangkan wanita tidak sanggup mewakili dirinya sendiri,

apalagi orang lain. (Ayyub, 2001: 59)

Sesuai dengan hadits yang berbunyi:

اعٍَعَسبْفعَو بُجَِّعَزبُذ بِىرلاَّلا عَيبٌِ عَحعَ بِوالاَّزلا لاَّنبِاعَ عَاٍعَسبْفعَو عَجعَأبْرعَمبْلا بُجَِّعَزبُذعَلاعََ عَجعَأبْرعَمبْلا بُجعَأبْرعَمبْلا بُجَِّعَزبُذعَلا

(

ياَر

ًجا هتا

)

“Wanita tidak (dibolehkan) menikahkan wanita lainnya. Dan wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.Karena wanita pezina adalah yang menikahkan dirinya sendiri." (H.R. Ibnu Majah, Hadis No: 1882)

3. Kesamaan agama antara wali dan yang diwalikan. Oleh karena tujuan

perwalian adalah untuk kebaikan orang yang berada di bawah perwalian,

maka kesamaan agama di antara keduanya lebih layak untuk kebaikannya.

Oleh sebab itu, tidak layak perwalian non muslim atas orang muslimah.

(Madkur, tt: 178)

Hal ini sesuai dengan Al-Quran surat Ali Imran ayat 28:



“janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.

dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Q.S. Ali Imran[3]: 28)

4. Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering

(43)

30

santun. Apabila dibawa dalam konteks ke-Indonesiaan, syarat adil tidak

begitu mendapatkan perhatian. Asalkan seseorang menyatakan beragama

islam, di samping juga terdapat syarat-syarat yang lain seperti baligh,

berakal sehat, dan laki-laki, maka sudah dipandang cukup untuk bertindak

sebagai wali. (Basyir, 2006: 41)

Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak

bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak

membiasakan diri berbuat mungkar. Ada pendapat yang mengatakan

bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas

disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya

dengansebaik-baiknya atau seadil-adilnya.

5. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah. (Syarifudin, 2006:

76)

Menurut pendapat jumhur ulama, bahwa dari syarat-syarat menjadi

wali dalam pernikahan yang sudah dijelaskan di atas, tidak semua syarat

harus terpenuhi dalam diri dari seorang wali, contohnya di Indonesia yang

pada umumnya mengikuti ajaran mazhab as-Syafi‟i, dalam syarat adil (taat

beragama) bagi wali tidak mendapat tekanan. Asal orang beragama Islam,

baligh, laki-laki, dan berakal sehat sudah dianggap cakap bertindak

sebagai wali. Walaupun menurut mazhab as-Syafi‟i seorang wali itu di

samping memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut di atas juga harus orang

(44)

31

Pendapat Imam as-Syafi‟i di atas sesuai dengan ketentuan hukum

yang berlaku di negara Indonesia yaitu pasal 20 ayat (1) Kompilasi Hukum

Islam (KHI) “yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki

yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, akil dan baligh.”

E. Macam-macam Wali Nikah

Mengenai masalah wali menurut ajaran hukum Islam hanya pihak

wanita sajalah yang memerlukan wali dalam melakukan perkawinan dimana

wali itu selalu laki-laki orangnya. Adapun berbagai macam wali itu antara

lain:

Di dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 20 disebutkan :

Ayat (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki

yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.

Ayat (2) Wali nikah terdiri dari: wali nasab, wali hakim.

1. Wali nasab

Wali nasab dibagi menjadi dua, antara lain:

a. Wali Nasab Mujbir

Mujbir artinya orang yang memaksa. Sedangkan wali nasab mujbir adalah wali nasab yang berhak memaksa kehendaknya untuk mengawinkan calon mempelai perempuan tanpa adanya izin dari yang

bersangkutan dan batas-batas wajar. Wali mujbir terdiri dari ayah, kakek dan seterusnya ke atas.Ulama yang membolehkan wali (ayah

dan kakek) menikahkan tanpa izin ini menggantungkan bolehnya

(45)

32

1) Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak

2) Laki-laki pilihan wali harus kufu' (seimbang) dengan gadis yang

akan dinikahkannya.

3) Calon suami harus mampu membayar mahar mitsil.

4) Antara gadis dan calon suami tidak ada permusuhan.

5) Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajibannya sebagai

suami yang baik dan tidak terbayang akan berbuat yang

mengakibatkan kesengsaraan istri.(Mahfud, 2003: 10)

b. Wali Nasab Biasa

Dikatakan wali nasab biasa karena wali nasab tidak

mempunyai kekuasaan untuk memaksa kawin kepada calon

memepelai perempuan. Wali nasab biasa terdiri dari: saudara laki-laki

kandung atau seayah, paman yaitu saudara laki-laki ayah baik

kandung atau seayah dan seterusnya anggota keluarga laki-laki

menurut garis keturunan patrilinial.

2. Wali Hakim

Wali hakim ialah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang

dalam bidang perkawinan. Biasanya penghulu atau petugas lain dari

Departemen Agama. Calon mempelai perempuan dapat mempergunakan

bantuan wali hakim melalui Pengadilan Agama atau tidak, tergantung

pada prosedur yang dapat ditempuh.

Perwalian nasab dapat berpindah kepada perwalian hakim

(46)

33

a. Tidak terdapat wali nasab (Ghaib).

b. Wali nasab bepergian jauh atau tidak ada di tempat tetapi tidak

memberi kuasa kepada wali yang lebih dekat yang ada.

c. Wali nasab kehilangan hak perwaliannya

d. Wali nasab sedang haji atau umrah (ihram)

e. Wali nasab menolak bertindak sebagai wali (adhal)

f. Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dan perempuan yang ada di

bawah perwaliannya. Hal ini terjadi apabila yang menikah adalah

seorang perempuan dengan saudara laki-laki sepupunya, baik

kandung atau seayah. (Soemiyati, 1999: 31)

F. Orang yang Berhak Menjadi Wali Nikah

Yang berhak menempati kedudukan wali itu ada dua kelompok yaitu

wali nasab, yaitu wali berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan

yang akan kawin. Wali hakim, orang yang menjadi wali dalam kedudukannya

sebagai hakim atau penguasa. Dalam menerapkan wali nasab terdapat beda

pendapat di kalangan ulama. Beda pendapat ini disebabkan oleh tidak adanya

petunjuk yang jelas dari Nabi, sedangkan Al-Quran tidak membicarakan sama

sekali siapa-siapa yang berhak menjadi wali. Jumhur ulama yang terdiri dari

Syafi‟iyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi‟ah Imamiyah membagi wali itu

kepada dua kelompok:

Pertama: wali dekat atau wali qarib; yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak

(47)

34

anaknya yang masih berada dalam usia muda tanpa minta persetujuan dari

anaknya tersebut. Wali dalam kedudukan seperti ini disebut wali mujbir.

Ketidak harusan minta pendapat dari anaknya yang masih usia muda itu

adalah karena orang yang masih mudah tidak mempunyai kecakapan untuk

memberikan persetujuan. Ulama Hanabilah menempatkan orang yang

diberiwasiat oleh ayah untuk mengawinkan anaknya berkedudukan sebagai

ayah.

Kedua: wali jauh atau wali ab’ad yaitu wali dalam garis kerabat selain

dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu, karena anak menurut

ulama jumhur tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya dari segi dia adalah

anak, bila anak berkedudukan sebagai wali hakim boleh dia mengawinkan

ibunya sebagai wali hakim. Adapun wali ab‟ad adalah sebagai berikut:

a. Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.

b. Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.

c. Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.

d. Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.

e. Paman kandung; kalau tidak ada pindah kepada.

f. Anak paman kandung; kalau tidak ada pindah kepada.

g. Anak paman seayah; kalau tidak ada pindah kepada.

h. Anak paman seayah.

i. Ahli waris kerabat lainnya kalau ada.

Ulama Hanafiyah menempatkan seluruh kerabat nasab, baik sebagai

(48)

35

arham. Menurut mereka yang mempunyai hak ijbar bukan hanya ayah dan kakek tetapi semuanya mempunyai hak ijbar, selama yang akan dikawinkan

itu dalah perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akalnya. (Ibnu

al-Humam: 285) berbeda dengan pendapat jumhur ulama, anak dapat menjadi

wali terhadap ibunya yang akan kawin.

Ulama Malikiyah menempatkan seluruh kerabat nasab yang

ashabahsebagai wali nasab dan membolehkan anak mengawinkan ibunya,

bahkan kedudukannya lebih utama dari ayah atau kakek.Golongan ini

menambahkan orang yang diberi wasiat oleh ayah sebagai wali dalam

kedudukan sebagaimana kedudukan ayah.(Ibnu Rusyd; 19) berbeda dengan

ulama Hanafiyah golongan ini memberikan hak ijbar hanya kepada ayah saja

dan menempatkannya dalam kategori wali a‟rab. (Syarifudin, 2006: 75-76)

G. Urutan Hak Perwalian

Jumhur ulama mempersyaratkan urutan yang berhak menjadi wali

dalam arti selama masihada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali

dan selama wali nasab yang lebih dekatmasih ada wali yang lebih jauh tidak

dapat menjadi wali.

Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarib.

Bila wali qarib tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, Islam,

merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali

ab‟admenurut urutan tersebut di atas. Bila wali qarib sedang dalam ihram haji

atau umrah, maka kewalian tidak pindah kepada waliab‟ad, tetapi pindah

(49)

36

menjadi wali nikah bila keseluruhan wali nasab sudah tidak ada, atau wali

qaribdalam keadaan „adhal atau enggan mengawinkan tanpa alasan yang

dapat dibenarkan.

Sedangkan yang menjadi dasar perpindahan kewalian kepada wali

hakim pada saat wali qarib berada di tempat lain menurut pendapat jumhur ulama adalah disamakan kepada wali yang tidak ada. Undang-Undang

Perkawinan sama sekali tidak menyebutkan adanya wali dalam persyaratan

perkawinan dalam pengertian yang melangsungkan akad nikah bukan wali,

tetapi mempelai perempuan. Yang disebutkan dalam Undang-Undang

Perkawinan hanyalah orang tua, itu pun dalam kedudukannya sebagai orang

yang harus dimintai izinnya pada waktu melangsungkan perkawinan, yang

demikian pula bila kedua calon mempelai berumur di bawah 21 tahun. Hal ini

mengandung arti bila calon mempelai sudah mencapai umur 21 tahun peranan

orang tua tidak ada sama sekali. Hal ini diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4),

(5), dan (6).

Meskipun dalam Undang-Undang Perkawinan tidak menjelaskan wali

sebagai salah satu syarat atau rukun dalam perkawinan, Undang-Undang

Perkawinan ada menyinggung wali nikah dalam pembatalan perkawinanpada

pasal 26 dengan rumusan:

Perkawinan yang dilangsungkan di mukapegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh olehpara keluarga dalam garis

(50)

37

KHI berkenaan dengan urutan hak perwalian ini menjelaskan secara

lengkap dan keseluruhannya mengikuti fiqh mazhab jumhur ulama,

khususnya Syafi‟iyah. Wali ini diatur dalam pasal 21, 22, dan 23; dengan

rumusan sebagai berikut:

Pasal 21

1. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai. Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah , dan seterusnya. Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-lakilaki-laki seayah, dan keturunan laki-laki-laki-laki mereka. Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Keempat: kelompok saudara laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki-laki-laki mereka.

2. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang paling dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

3. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

4. Apabila dalam satu kelompok sama yakni sama-sama derajat kandung

atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal 22

“Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syaratsyarat sebagai wali nikah itu menderitatuna wicara, tuna rungu atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yamg lain menurut derajat berikutnya.”

Pasal 23

1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghahindarkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.

(51)

38

H. Konsekuensi Hukum Terhadap Tidak Terpenuhi Wali dalamPernikahan

Pernikahan memiliki 2 (dua) tujuan yaitu tujuan primer dan sekuder,

tujuan primer atau yang utama yaitu menjalin hubungan seksual antara

laki-laki dan perempuan yang menikah. Sedangkan tujuan sekunder yaitu menjalin

hubungan kekerabatan antara keluarga laki-laki dan perempuan.

Jika melihat sistem kekerabatan di Indonesia, masyarakat kita

menganut sistem kekerabatan masyarakat di kawasan Timur Tengah yaitu

patrilineal. Otoritas bapak (suami) menempati posisi yang dominan dan peran

penting dalam keluarga. Bapak atau suamilah yang bertanggung jawab

terhadap seluruh keutuhan, keselamatan, dan kelangsungan keluarga. Ibu atau

istri hanya ikut terlibat sebagai anggota keluarga dalam suatu rumah tangga.

Untuk itu, bapak dan kaum laki-laki pada umumnya mendapatkan beberapa

hak istimewa sebagai konsekuensi dari tanggung jawab mereka yang

sedemikian besar dibanding pihak istri atau perempuan secara umum. Dalam

masyarakat patriarki, silsilah keturunan ditentukan melalui jalur ayah dan

peran lebih besar diberikan kepada laki-laki, baik dalam urusan rumah tangga

maupun dalam urusan masyarakat luas. Sebaliknya perempuan mendapatkan

peran yang tidak menonjol didalam masyarakat. Konsep patriarki menurut

para feminis dianggap salah satu indikasi struktur sosial yang paling

menonjol diberbagai kelompok. Didalam masyarakat ini, jenis kelamin

laki-laki memperoleh keuntungan secara budaya, sedangkan perempuan

mengalami beberapa pembatasan dan tekanan.Dalam tradisi masyarakat

(52)

39

mencari nafkah dan melindungi keluarga, sementara perempuan

berperan dalam urusan reproduksi, seperti memelihara anak dan menyiapkan

makanan untuk seluruh anggota keluarga. (Umar, 1999: 128-129)

Selama ini masih ada pandangan umum yang menyatakan bahwa

perempuan menurut fiqih Islam tidak berhak menentukan pilihan atas

pasangan hidupnya. Yang menentukan dalam hal ini adalah ayah atau

kakeknya. Terlebih dalam kalangan ulama Syafi‟iyah ayah dan

kakek tergolong dalam wali mujbir. Seorang ayah atau kakek mempunyai hak

ijbār (hak memaksa) untuk menikahkan putrinya tanpa persetujuannya.

Al-Imam Al-Syirazi berpendapat dalam kitabnya al-Muhazzab ia

mengemukakan bahwa:

“Seorang ayah atau kakek boleh menikahkan anak gadisnya walaupun anak itu masih kecil ataupun telah dewasa.”(Al-Syirazi, 1999: 429)

Secara tekstual, pendapat al-Imam al-Syirazi mengidentifikasikan

bahwa ayah atau kakek boleh memaksa kepada anak atau cucunya yang masih

gadis baik kecil maupun dewasa untuk menikah dengan pilihannya walapun

tanpa sepengetahuan dan persetujuannya. walaupun seorang ayah atau kakek

boleh menikahkan tanpa persetujuan dari anak gadisnya, tetapi dianjurkan

kepada ayah atau kakek untuk meminta izin/persetujuan terlebih dahulu

apabila anak gadis tersebut telah baligh/dewasa. Meminta izin kepada calon

mempelai tidaklah sebuah keharusan/kewajiban yang harus terpenuhi,

melainkan hanya sebuah anjuran apabila gadis tersebut telah dewasa. Oleh

karena itu sah-sah saja apabila ayah memaksa anak gadisnya menikah dengan

(53)

40

Wali dalam perkawinan adalah rukun yang harus dipenuhi bagi calon

mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya (pasal 19 KHI),

dasarnya adalah firman Allah dalam QS Al-Baqarah 232:



“apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian.itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-baqarah[2]: 232)

Dan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 6 (2) juga

disebutkan bahwa untuk melangsungkan perkawinan harus mencapai umur 21

tahun dan mendapat izin dari kedua orang tua, hal ini juga diatur dalam pasal

15 (2) KHI. Dari situlah dikatakan, apabila melakukan perbuatan yang syarat

rukunnya tidak terpenuhi, maka perbuatan itu tidak sah. Begitu juga dalam

melaksanakan akad nikah, unsur-unsur dalam akad juga harus terpenuhi di

antara unsur itu adalah adanya wali yang sah dari mempelai wanita yang

bertindak untuk menikahkannya.Apabila dari sederetan orang-orang yang

berhak menjadi wali tidak ada atau ada tapi enggan maka mempelai wanita

harus mengangkat wali hakim atau wali muhakam. Kasus yang terjadi di

(54)

41

masyarakat sekitar dan keteledoran Petugas Pencatat Nikah, sehingga sampai

terjadi orang lain (bukan saudara) menjadi wali nikah dalam perkawinan,

padahal menurut hukum Islam maupun undang-undang yang berlaku di

negara Indonesia orang lain (bukan saudara) tidak berhak menjadi wali dalam

perkawinan.

Lebih lanjutnya dalam pembahasan bahwa peranan Kantor Urusan

Agama (KUA) sangat penting dalam proses pernikahan. Berdasarkan pasal 2

ayat (1) dan (2) Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang berbunyi:

Ayat (1) : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Ayat (2) : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Mengingat undang-undang yang khusus membahas tentang pencatatan

perkawinan, dimana dijelaskan bahwa bagi orang yang beragama Islam

pernikahannya dicatakan di Kantor Urusan Agama (KUA) di lingkungan

mereka tinggal.Aturan mencatatkan pernikahan ini merupakan ketentuan

yang wajib dilakukan karena perkawinan tersebut bisa dianggap tidak sah

secara hukum dan bahkan bisa dibatalkan. (DEPAG RI, 2004: 74)

Berdasarkan pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) jo. pasal 7 ayat (1)

Kompilasi Hukum Islam (KHI):

Pasal 5 Ayat (1) : Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi

(55)

42

Ayat (2) : Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan

oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No.

22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun 1954.

Pasal 7 Ayat (1) : Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta

nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah” (DEPAG RI, 2000:

181)

Dalam pencatatan perkawinan terdapat persyaratan yang harus

dipenuhi oleh pihak yang akan melaksanakan pernikahan, karena sebelum

dilaksanakannya proses pernikahan terlebih dahulu pihak Kantor Urusan

Agama (KUA) melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan persyaratan.

Jika ditemukan persyaratan tidak lengkap atau ada yang dipalsukan maka

pihak Kantor Urusan Agama (KUA) tidak berhak mencatatkan pernikahan

tersebut.Di samping itu, perkawinan menyangkut ibadah dan moralitas yang

menutut untuk bertindak selektif dan berhati-hati guna menghindari

penyalahgunaan wewenang.Apabila melihat kondisi masyarakat umumnya

dan menghindari penipuan dari lawan jenisnya.Jadi ketiadaan wali

mengandung banyak resiko dan kemudaratan, sebaliknya keberadaanya

banyak mengandung manfaat. (Farah, 2003: 24)

Selanjutnya dalam pasal 26 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan:

Referensi

Dokumen terkait

2.. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua standar keselamatan pasien bertujuan untuk tercapainya sasaran. Pertanyaan yang paling mendasar yang ingin disampaikan

Simpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah : Ha diterima dan Ho ditolak artinya terdapat Hubungan yang signifikan antara beban kerja perawat dengan waktu tanggap

TUGAS POKOK DAN FUNGSI (TUPOKSI) URUSAN KURIKULUM Membantu dan bertanggung jawab kepada Kepala Sekolah dalam: 1.. Menyusun dan menjabarkan kalender pendidikan

tersebut, Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DKI Jakarta memiliki khasanah arsip dalam wujud dan bentuk media rekam yang beragam, salah satunya adalah arsip foto, dalam rangka

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa evaluasi koleksi adalah kegiatan menilai koleksi perpustakaan dari segi ketersediaan koleksi maupun dari segi kesesuaian koleksi

Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh komponen-komponen minyak mentah dedak padi sebagai substrat murni (TG, FA, asam lemak murni (As.Palmitat dan As.Oleat), dan air)

Peneliti sungguh bersyukur bahwa pada akhirnya skripsi yang berjudul Asertivitas remaja akhir ditinjau dari Jenis Kelamin pada Mahasiswa Fakultas Psikologi UKWMS yang Berasal

Pelayanan yang dilakukan oleh Kantor Kecamatan Sukolilo harus memperhatikan dari segi mutu dan kualitas, dimana dengan mutu pelayanan yang baik, akan dapat memberikan