i
UPAYA PEMBATALAN PERNIKAHAN ATAS KESALAHAN
PENETAPAN WALI HAKIM OLEH WALI NASAB
(Studi Kasus Pernikahan dengan Akta 04/04/I/2012 di KUA
Kecamatan Pabelan)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Disusun Oleh:
MUHAMMAD SULHI MAHBUB
211.10.008
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
v
MOTTO
“DO THE BEST AND BE YOUR SELF”
ىلع هكسي نا ملاعلل لاَ ًلٍج ىلع هكسي نأ لٌاجلل ىغثىي لا
ًملع
(
يوارثطلا ياَر
)
“TAK PANTAS ORANG BODOH MENDIAMKAN
KEBODOHANNYA DAN TAK PANTAS ORANG BERILMU
MENDIAMKAN ILMUNYA”
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada keluarga besar Simbah Siti Khadijah orang tua tercinta Bapak Ja’farin dan Ibu Millati
Kakak tersayang, Fatkhi beserta istri Wulan, S.Pd
Bulik Minnati, Adik (Arini, Dzuha, Silfi, Mukhlis), Keponkan (Ungki, Riha)
Teman-teman seperjuangan AS’10 (Alfin, Danang, Umam “Coy” Lina “Nha”, Ietha, Khusen, Ari “Mbil”, Arya, Rita, Risa, Rizak”Pak Bo”, Budi “Wah Ono”, Fariul, Hasan, Yusuf “Ucup”, Umam “Sembir”, Hanif, Zend “Brow”, Andika, Ulya, Via “Nopy”,
Leny, mb‟Alfy, mb‟Irma, Pak Mujahidin, Pak Ibnu Hajar)
Rekan-rekan “KARISMA” Tingkir Lor (Kang Ilan, Barik, Pak Yam, Umam, Awin, Puput, Marisal, Pais, Sifa, Fajar, Angga, Zacky, Noval, Rizaq”PAK BO”, Wahyu “MBEK”, Zidni, Bayu “o.on”, Rofiq “Bokir”, Panji, Piyan “Kepleh”, Enggar, Dani, Huda,
Alfa “Tole”, Ayik “Bardolo”, Taufan “LIKUN”, kumala, Willy, Silmi, Sally, Sila, Maily, Hila, Atik, Yuniar, Sinna, Sinta, Indah)
Terima kasih
vii
ABSTRAK
Mahbub, Muhammad Sulhi. 2016. Upaya Pembatalan Pernikahan atas kesalahan
penetapan wali hakim Oleh Wali Nasab (Studi Kasus Pernikahan dengan Akta 04/04/I/2012 di KUA Kecmatan Pabelan). Skripsi Fakultas Syari‟ah Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: M. Yusuf Khumaini, S.HI, M.SI.
Kata Kunci: Pembatalan, Pemalsuan Data, Pernikahan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kasus kesalahan penetapan wali hakim yang terjadi di KUA Kecamatan Pabelan. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah (1) Bagaimana praktek pernikahan di KUA Pabelan ? (2) Bagaimana upaya yang dilakukan wali nasab mengenai kesalahan penetapan wali hakim ? (3) Bagaimana peran KUA dalam mengatasi permasalahan kesalahan penetapan wali hakim ?
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif sosiologis. dengan mengambil lokasi penelitian di KUA Kecamatan Pabelan. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan
dokumentasi. Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya, Selama
pengumpulan data, data sudah mulai dianalisis. Data yang terkumpul, dipaparkan berdasarkan klasifikasi sehingga tergambar pola atau struktur dari fokus masalah yang dikaji kemudian diinterpretasikan sehingga mendapatkan jawaban dari fokus penelitian tersebut.
viii
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayahNya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul "UPAYA
PEMBATALAN PERNIKAHAN ATAS PEMALSUAN DATA WALI NIKAH OLEH WALI NASAB (Studi di KUA Kecmatan Pabelan)".
Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Agung
Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabatnya, dan orang-orang yang
senantiasa mengikuti jejaknya. Semoga kita semua mendapatkan syafa'atnya di
hari kiamat kelak. Amiin.
Penulis sangat menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini
penulis banyak mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dan
kemampuan yang belum sempurna. Namun berkat adanya bantuan, motivasi dan
bimbingan dari berbagai pihak, syukur Alhamdulillah skripsi ini dapat
terselesaikan.
Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Dra. Siti Zumrotun, M. Ag selaku dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
3. Ilya Muhsin, S.H.I, M.Si selaku dosen pembimbing akademik
4. Sukron Makmun, M. Si selaku Ketua Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakkhsiyyah
5. M. Yusuf Khumaini. S.HI, M.H selaku pembimbing skripsi yang telah sudi
meluangkan waktunya untuk membimbing dalam penulisan skripsi
6. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Kepada Bapak Ibu penulis, Ja‟farin, Millati dan kakak penulis beserta istri
Fatkhi dan Wulan yang telah memberi dukungan baik materi maupun
ix
8. Kepada teman-teman fakultas Syari‟ah dan Ekonomi Islam angkatan 2010
khususnya jurusan AS „10
9. Kepada semua pihak yang telah mendukung penulis, semua pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukung hingga bisa
menyelesaikan skripsi
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis senatiasa mengharapkan masukan dan kritik yang membangun dari
pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para
pembaca pada umumnya.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis memohon petunjuk dan
berserah diri memohon ampunan dan rahmatNya.
Salatiga, 05 September 2016
Penulis,
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
NOTA PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Kegunaan Penelitian ... 7
E. Penegasan Istilah ... 8
F. Tinjauan Pustaka ... 9
G. Metode Penelitian ... 11
H. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Wali dalam Pernikahan ... 15
xi
C. Kedudukan Wali dalam Pernikahan ... 22
D. Syarat-syarat Wali Nikah ... 28
E. Macam-macam Wali Nikah ... 31
F. Orang yang Berhak Menjadi Wali Nikah ... 33
G. Urutan Hak Perwalian ... 35
H. Konsekuensi Hukum Terhadap Tidak Terpenuhi wali dalam Pernikahan ... 38
BAB III PRAKTIK PERNIKAHAN DENGAN WALI HAKIM DI KUA KECAMATAN PABELAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 44
1. Kondisi Geografis ... 44
2. Visi dan Misi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pabelan ... 45
3. Tujuan dan Sasaran Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pabelan ... 46
4. Wilayah Yuridiksi dan Kewenangan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pabelan ... 47
5. Struktur Organisasi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pabelan ... 49
6. Tugas dan fungsi Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pabelan ... 49
xii
C. Upaya yang Dilakukan Wali Nasab Mengenai
Kesalahan Penetapan Wali Hakim ... 58
D. Peran KUA dalam Mengatasi Kesalahan Penetapan
Wali Hakim ... 60
BAB IV ANALISIS DATA
A. Analisis Praktek Pernikahan di KUA Kecamatan
Pabelan ... 65
B. Analisis Upaya yang Dilakukan Wali Nasab Mengenai
Kesalahan Penetapan Wali Hakim ... 70
C. Analisis Peran KUA dalam Mengatasi Kesalahan
Penetapan Wali Hakim ... 72
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 81
B. Saran ... 84
C. Kata Penutup ... 85
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan muara atas rasa saling kasih dan mencintai
antara lelaki dan perempuan yang diciptakan oleh Tuhannya. Sudah menjadi
qadrat dan iradah Allah manusia diciptakan saling berjodoh-jodoh dan
diciptakan oleh Allah mempunyai keingin untuk berhubungan antara lelaki
dan perempuan. (Ghazaly, 2003:27)
Dalam perkawinan menurut agama Islam ada beberapa syarat dan
rukun yang harus dipenuhi, diantara rukun perkawinan itu salah satunya
adalah wali nikah. Wali nikah yaitu orang yang menikahkan seorang wanita
dengan seorang pria. Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang
harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pernikahan tanpa adanya wali nikah maka pernikahannya tidak sah. (Ali,
2012:54)
Hal ini sesuai dengan KHI pasal 19 yang berbunyi :
“wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya.” (Abudurrahman, 1992:120)”
Peranan wali nikah menurut hukum Islam sangat penting
keberadaannya, karena ada atau tidaknya wali nikah mempengaruhi sah atau
tidaknya pernikahan yang dilangsungkan. Perempuan yang menikah tanpa
adanya persetujuan dari wali nikah maka pernikahan tersebut tidak sah (batal).
2
berhak menikahkan anak perempuan dan menjadi salah satu rukun sah nya
perkawinan. Wali yang menjadi rukun nikah adalah wali nasab, yaitu wali
yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita. Dalam
keadaan luar biasa, wali nasab dapat digantikan oleh wali hakim, yaitu petugas
pencatat nikah jika wali nasab tersebut tidak ada atau tidak ditemukan.
Demikian pula, jika wali nasab tidak mau atau tidak bersedia menikahkan
calon mempelai wanita, maka wali hakimlah yang bertindak untuk
menikahkannya. (Saleh, 2008:300)
Status wali nikah dalam hukum perkawinan merupakan rukun yang
menentukan sahnya akad nikah (perkawinan). Seseorang yang menjadi wali
nikah harus memnuhi syarat wali nikah, yaitu laki-laki, dewasa (baligh),
mempunyai hak perwalian dan tidak terdapat halangan perwalian. seperti yang
diatur dalam KHI pasal 20 ayat 1 “yang bertindak sebagai wali nikah ialah
seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, akil dan
baligh.
Adapun yang berhak menjadi wali nikah menurut pandangan Islam
adalah ayah dari calon mempelai wanita. Dan apabila keadaan memaksa, ayah
dari calon mempelai wanita tidak bisa menjadi wali nikah karena meninggal,
ghaib atau berada di tempat yang jauh dan tidak mungkin untuk bisa datang,
maka yang berhak menjadi wali adalah kakek. Apabila kakeknya tidak ada
juga maka dapat berpindah kepada derajat yang lebih jauh yakni saudara
laki-laki kandung dari calon mempelai wanita dengan syarat Islam, adil, dan jika
3
lebih jauh yakni pamannya. Dari keempat laki-laki yang akan menjadi wali itu
tidak ada juga maka saudara laki-laki dari ibu calon mempelai wanita dengan
syarat mengerti tentang hukum munakahat atau yang disebut juga dengan
hakam atau orang lain yang terpandang dan disegani, luas ilmu tentang
munakahat, berpandangan luas, adil, Islam dan laki-laki yang di sebut dengan
wali Muhakam. (Ramulyo, 1996:216)
Rukun pernikahan yang tidak terpenuhi maka pernikahan tersebut
tidak sah atau batal, dalam pembahasan ini yang menjadi pembahasan adalah
wali nikah yang tidak terpenuhi. Dalam pernikahan keberadaan wali nikah
sangat penting karena menentukan sah atau tidaknya suatu pernikahan.
Yang menjadi dasar hukum dalam masalah ini adalah hadits Nabi
Muahammad SAW yang diriwayatkan Abu Burdah yaitu:
عَامبٍُبْىعَع بُ بّ عَىبِ عَر بًِ بِتعَا بْهعَع ىعَسبُ يبِتعَا بْهعَع عَجعَ بْربُت يبِتعَا بْهعَع
.
عَ عَا
:
بّ ُبُ عَر عَ اعَ
يٍّيبِلعَُبِتلاَّلابِا عَ عَاكبِو عَلا بْمعَلعَ عََ بًِبْ عَلعَع بّ عَيلعَ
“Dari Abu Burdah r.a. dari Abu Musa r.a. dari ayahnya r.a. beliau berkata. Rasulullah saw. bersabda: tidak sah nikah tanpa wali.” (Ibnu Majjah, tt: 605)
Pasal 22 UU No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. (Arto, 1996:231) Didalam hukum positif
indonesia diatur dalam undang-undang tentang pernikahan pasal 37 dan 38
ayat (1) dan (2) PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
4
Batalnya pernikahan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan,
permohonan pembatalan perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak
mengajukannya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal kedua suami isteri atau suami atau isteri.
Adapun pihak yang berhak mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan menurut pasal 23 dan 24 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
yaitu:
1. Para keluarga dari garis keturunan lurus keatas dari suami atau
isteri.
2. Suami atau isteri.
3. Pejabat berwenang selama perkawinan belum diputuskan.
4. Pejabat yang ditunjuk oleh UU perkawinan pasal 16 ayat 2 dan
setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut.
Sedangkan menurut pasal 73 KHI yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan adalah :
1. Para keluarga dari garis keturunan keatas dan kebawah dari pihak
suami atau isteri.
2. Suami atau isteri.
3. Pejabat berwenang yang mengawasi pelaksanaan perkawinan
menurut undang-undang.
4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat
5
peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal
67.
Gugatan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat:
1. Di mana perkawinan dilangsungkan,
2. Di tempat tinggal kedua suami isteri,
3. Di tempat tinggal suami, atau
4. Di tempat tinggal isteri.
Yang paling tepat adalah diajukan kepada Pengadilan Agama dimana
perkawinan dilangsungkan, atau tempat tinggal suami dan isteri tersebut
(yurisprudensi). (Arto, 1996:235)
Mengingat pentingnya keberadaan wali seperti uraian diatas maka tata
pelaksanaan pernikahan di indonesia sangat memperlukan kehati-hatian dalam
pencatatan indentitas pihak yang akan melangsungkan akad pernikahan. Bagi
orang yang beragama islam maka Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi
lembaga resmi yang melakukan pencatatan bahkan memberikan status sah
apabila semua syarat terpenuhi menurut Undang-undang.
Praktik pernikahan yang dilakukan oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN)
atau KUA harus memperhatikan masalah indetitas dan harus hati-hati dalam
melakukan pemeriksaan, karena masyarakat memiliki pola pikir yang beragam
dan kadang sangat meremehkan prosedur dan kejujuran dalam pengisian
formulir yang telah ditetapkan oleh Undang-undang. Seperti halnya pengisian
6
Masalah tersebut ada kaitannya dengan praktik pernikahan dengan
wali hakim di Kantor Urusan Agama (KUA) Pabelan yang meniadakan wali
nikah karena dianggap mafqud (tidak diketahui keberadaaannya), namun sebernarnya ayah dari calon mempelai perempuan tidak tinggal serumah dan
diketahui tempat tinggalnya tepatnya di Desa Doplang Kecamatan Beringin
Kabupaten Semarang.
Melihat latar belakang dan permasalahan di atas, maka penulis tertarik
untuk meneliti masalah pemalsuan data wali nikah di KUA Kecamatan
Pabelan dan mengajukan skripsi dengan judul: “UPAYA PEMBATALAN
PERNIKAHAN ATAS KESALAHAN PENETAPAN WALI HAKIM
OLEH WALI NASAB (Studi Kasus Pernikahan Dengan Akta
04/04/I/2012 di Kua Kecamatan Pabelan).”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti
memfokuskan pada beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik pernikahan di KUA Pabelan ?
2. Bagaimana upaya yang dilakukan wali nasab mengenai kesalahan
penetapan wali hakim ?
3. Apa saja peran KUA dalam mengatasi permasalahan kesalahan penetapan
wali hakim ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang penulis tuturkan di atas, maka
7
1. Untuk mengetahui bagaimana praktik pernikahan di KUA Kecamatan
Pabelan.
2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan wali nasab mengenai
kesalahan penetapan wali hakim.
3. Untuk mengetahui apa saja peran KUA dalam mengatasi masalah
kesalahan penetapan wali hakim.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk menjawab pertanyaan
dari permasalahan yang ditemukan oleh penulis, namun penelitian ini tidak
hanya bertujuan untuk menjawab pertanyaan itu saja namun juga terdapat
manfaatnya baik secara teoritis maupun praktis. Oleh karena itu penelitian ini
bermanfaat antara lain sebagai berikut:
1. Kegunaan teoritis
a. Sebagai upaya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya
masalah wali nikah.
b. Untuk mengetahui upaya pembatalan pernikahan yang dilakukan oleh
wali nasab.
2. Kegunaan praktis
a. Untuk memenuhi tugas dan melengkapi persyaratan guna memperoleh
gelar Sarjana Hukum Islam pada Jurusan Syari‟ah Program Studi
Ahwal al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga.
8
Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berfikir
kritis serta pemenuhan prasyarat dalam menyelesaikan pembelajaran
Ilmu Hukum Islam dalam bidang hukum keluarga, sehingga dapat
mencetak Pegawai Pencatat Nikah yang jujur, handal, cerdas dan
trampil.
c. Bagi KUA
Untuk menjadikan masukan agar KUA agar lebih selektif dan
berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya sebagai pegawai pencatat nikah.
d. Bagi masyarakat
Untuk memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat
mengenai wali nikah.
E. Penegasan Istilah
Untuk mempermudah pemahaman serta menghindari kesalahpahaman
terhadap judul UPAYA PEMBATALAN PERNIKAHAN ATAS
KESALAHAN PENETAPAN WALI HAKIM OLEH WALI NASAB
(Studi Kasus Pernikahan Dengan Akta 04/04/I/2012 di Kua Kecamatan
Pabelan), maka terlebih dahulu penulis jelaskan maksud istilah dalam judul
tersebut.
1. Pembatalan pernikahan
Pembatalan dalam hukum islam disebut fasakh. Jadi fasakh sebagai
salah satu penyebab putusnya perkawinan ialah merusakkan atau
membatalkan hubungan pernikahan yang telah berlangsung (Basyir,
9
2. Wali
Wali adalah orang yang berhak atau berwenang untuk melakukan
suatu perbuatan hukum bagi yang diwakilinya untuk kepentingan dan atas
nama yang diwakili (Rofiq, 1997:258).
3. Nasab
Nasab diartikan dengan Keturunan ikatan keluarga sebagai
hubungan darah keatas (bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya) maupun
kesamping (saudara, paman, bibi, dan lain-lain) (Zaidan, 1993: 321).
F. Tinjauan Pustaka
Penulis telah melakukan penelusuran karya ilmiah yang ada kaitannya
dengan pemalsuan data dalam pernikahan. Adapaun karya ilmiah tersebut
adalah sebagai berikut:
Skripsi dari Mauliawati Ulfah mahasiswa IAIN Salatiga yang berjudul
“Pemalsuan Umur dalam Pernikahan di Desa Ketapang Kecamatan Susukan
Kabupaten Semarang Tahun 2011”. Dalam skripsi tersebut, beliau
memfokuskan penelitian mengenai praktek pemalsuan umur dalam
pernikahan di Desa Ketapang, faktor penyebab pemalsuan umur dalam
pernikahan tersebut, dapmpak yang ditimbulkan dari pemalsuan umur dan
bagaimana status pernikahan dari pelaku pemalsuan umur nikah.
Skripsi yang ditulis oleh M. Rosyiduddin dengan judul “Putusan
Hakim tentang Pembatalan Nikah Karena salah wali di Pngandilan Agama
Nganjuk” tahun 2002. Dalam bahasan skripsi ini memaparkan isi dari putusan
10
pemalsuan identitas wali tersebut kurang mengenai terhadap aspek
masyarakat dan prosedur awal mengapa terjadi pemalsuan identitas, yakni
menafikan peran penting KUA dalam menangani masalah kelengkapan
identitas dalam perkawinan.
Skripsi yang ditulis oleh Amil Farah dengan judul, “Pemalsuan
Identitas Wali Sebagai Alasan Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama
Bangkalan”, tahun 2003. Membahas tentang pembatalan perkawinan dan
analisis terhadap pertimbangan hakim dalam memberi putusan terhadap
pembatalan perkawinan.
Pada dasarnya skripsi ini berbeda dengan karya ilmiah terdahulu yaitu
fokus penelitian dari penulis adalah mengenai praktik pernikahan di KUA,
upaya yang dilakukan wali nasab dalam mengatasi kesalahan penetapan wali
hakim, bagaimana peran KUA dalam mengatasi kesalahan penetapan wali
hakim.
G. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field
research) yaitu penelitian yang dilakukan di kancah atau medan terjadinya gejala (Hasan, 2002:11) guna melakukan penelitian pada objek yang
dibahas yaitu mengenai pemalsuan data wali nikah. Serta penelitian
kualitatif yang memusatkan pada studi kasus terhadap satu latar atau satu
11 2. Kehadiran peneliti
Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama
dan penting karena seorang peneliti secara langsung mengumpulkan data
yang ada di lapangan.
3. Lokasi penelitian
Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian di KUA Kecamatan
Pabelan.
4. Sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber data primer, yaitu sumber yang langsung memberikan data
kepada peneliti (Sugiyono, 2007:308), Sumber data ini meliputi para
pihak yang terlibat dalam pemalsuan identitas wali yang terdiri dari
responden yaitu Kepala KUA, staf dan kedua mempelai, orang tua
mempelai wanita.
b. Sumber data sekunder, yaitu mencakup dokumen-dokumen,
buku-buku, dan hasil penelitian yang lain yang menyangkut permasalahan
mengenai wali dalam perkawinan.
5. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar
untuk memperoleh data yang diperlukan. Pengumpulan data tidak lain
dari suatu proses pengadaan data primer untuk keperluan penelitian
12
Dalam pengumpulan data disini, peneliti menggunakan beberapa
metode, yaitu:
a. Interview (Wawancara), yaitu proses tanya jawab dalam penelitian
yang berlangsung secara lisan dimana 2 (dua) orang atau lebih
bertatap muka, mendengarkan secara langsung informasi atau
keterangan (Ahmadi, 2009:83). Adapun wawancara ini dilakukan
terkait dengan penelitian ini adalah pihak-pihak yang melakukan
pemalsuan identitas wali di KUA Kecamatan Pabelan yaitu penghulu,
kedua mempelai, orang tua pihak wanita yang telah mendaftarkan.
b. Dokumentasi, yaitu mengumpulkan data-data yang dikumpulkan
berdasarkan arsip-arsip, misalnya berupa berkas pemalsuan identitas
wali di KUA Kecamatan Pabelan.
6. Analisis data
Setelah penulis mengumpulkan data yang dihimpun, kemudian
menganalisisnya dengan menggunakan metode deskriptif analisis yaitu
mengumpulkan data tentang pemalsuan identitas wali nikah di KUA
Kecamatan Pabelan yang disertai analisis untuk diambil kesimpulan. Dan
metode pembahasan yang dipakai adalah induktif merupakan metode
yang digunakan untuk mengemukakan fakta-fakta atau kenyataan dari
hasil penelitian di KUA Kecamatan Pabelan, kemudian diteliti sehingga
ditemukan pemahaman yang terkait dengan pemalsuan identitas wali
13
H. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini penulis mencoba menguraikan secara sistematis
yang terdiri dari lima bab. Setiap bab terdiri dari beberapa sub bab yang
terperinci sebagai berikut:
BAB I : Pendauluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan maslah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah,
tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II : kajian pustaka dalam bab ini akan menguraiakan tentang
Pengertian Wali, Dasar Hukum, Kedudukan Wali dalam Perkawinan,
Syarat-syarat Wali, Macam-macam Wali, Orang Yang Berhak Menjadi Wali, Urutan
Hak Perwalian, Konsekuensi Hukum terhadap tidak terpenuhi wali dalam
pernikahan.
BAB III : Berisi tentang data penelitian yang meliputi tiga bahasan
meliputi : Pertama, Keadaan georafis, Visi dan Misi, Wilayah Yuridiksi dan
Kewenangan KUA Kecamatan Pabelan, Struktur Organisasi KUA Kecamatan
Pabelan, Tugas dan fungsi KUA Kecamatan Pabelan, Program Kerja Kantor
Urusan Agama Kecamatan Pabelan, Kedua praktek pernikahan di KUA
Kecamatan Pabelan, Ketiga upaya yang dilakukan wali nasab mengenai
kesalahan penetapan wali hakim dan peran KUA dalam kesalahan penetapan
wali hakim.
BAB IV : berisi tentang analisis praktek pernikahan di KUA
14
mengenai kesalahan penetapan wali hakim, ketiga analisis tentang peran
KUA dalam mengatasi kesalahan penetapan wali hakim.
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Wali dalam Pernikahan
Secara etimlogi, alwilayah (wali) berasal dari ungkapan wala'
asy-syay' wa ala' alayhi wilayatan wa wilayatan yang berarti "Menguasainya". ada juga yang mengatakan wala' fulanan wilayatan wa wilayatan "membantu dan menolongnya". Sedangkan alwalayatan ditafsirkan dengan pertolongan,
sedangkan al wilayat ditafsirkan kekuasaan dan kekuatan. Sedangkan dalam pengertian terminologis perwalian (wilayah) ialah kekuasaan secara syariat
yang dimiliki orang yang berhak untuk melakukan tasharruf (aktivitas) dalam kaitan dengan keadaan atau urusan orang lain untuk membantunya. (Yanggo,
2004: 306-307) Dari makna demikian disebutkanlah bahwa wali bagi seorang
wanita ialah yang mempunyai hak atau kekuasaan untuk melakukan akad
pernikahannya dan ia tidak membiarkannya diganggu oleh orang lain.
Menurut Prof. Abdullah Kelib (1990: 11), wali di dalam perkawinan
adalah orang yang bertanggung jawab atas perkawinan yang dilaksanakan
dibawah perwaliannya, sehingga perkawinan tidak dianggap sah apabila tidak
terdapat wali yang menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ijab didalam
perkawinan menurut hukum Islam adalah wewenang wali semata-mata.
Sehingga karena peranan wali yang mempunyai arti penting akan tetap
dipertahankan, apabila wanita itu tidak mempunyai wali nasab bisa
16
Menurut Muhammad Jawwad Mughniyah (2000: 345) wali adalah
suatu kekuasaan atau wewenang syar‟i atas segolongan manusia, yang
dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada
orang lain yang dikuasai itu demi kemashlahatannya.
Sedangkan Sayyid Sabiq (1998: 11) mendefinisikan wali adalah suatu
ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan
hukumnya. Maksudnya wali dalam pernikahan termasuk rukun yang harus
dipenuhi sebagai sahnya suatu pernikahan.
Perwalian dalam istilah fiqih disebut wilayah yang berarti penguasaan
atau perlindungan. Yang dimaksud perwalian ialah penguasaan penuh yang
diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai orang atau barang.
Orang yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali. Adanya penguasaan dan
perlindungan dikarenakan adanya beberapa hal sebagai berikut:
1. Pemilikan atas orang atau barang, seperti perwalian atas budak yang dimiliki atau barang-barang yang dimiliki.
2. Hubungan kekerabatan atau keturunan, seperti perwalian sesorang atas salah satu kerabatnya atau anak-anaknya.
3. Karena memerdekakan seorang budak, seperti perwalian seseorang atas budak-budak yang telah dimerdekakannya.
4. Karena pengangkatan, seperti perwalian seseorang kepala negara atas rakyatnya atau perwalian seorang pemimpin atas orang-orang yang dipimpinnya. (Mukhtar, 1974 : 9)
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan perwalian dapat ditinjau
sebagai berikut:
1. Perwalian terhadap orang.
2. Perwalian terhadap barang.
17
Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya
berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya dia
bertindak terhadap dan atas nama orang lain karena orang lain itu memiliki
suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak
bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta atau
atas dirinya. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan wali nikah adalah
seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad
nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang
dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang
dilakukan oleh walinya. (Syarifudin, 2006 : 69)
Baik hukum Islam maupun landasan yuridis yang terdapat dalam pasal
19 Kompilasi Hukum Islam (KHI) wali nikah dalam perkawinan merupakan
rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya. (DEPAG RI, 2000: 185)
Menurut Soemiyati (1999: 42) mengutip dari pendapat Imam Syafi‟i,
Imam Malik, dan Hambali, wali dalam perkawinan merupakan syarat sahnya
suatu perkawinan, artinya tanpa adanya wali perkawinan dianggap tidak sah.
Tidak sah disini bisa diartikan bahwa pernikahan tersebut fasid atau rusak dan
apabila pernikahan tersebut rusak maka pernikahan tersebut batal menurut
18
Berdasarkan Al-Quran surat An-nisa‟ ayat 35 yang berbunyi:
“dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. An-Nisa‟[4]: 35)
Jadi dapat disimpulkan bahwa perkawinan tidak hanya sekedar
perikatan antara kedua pasangan, melainkan sedikit banyak akan membawa
dampak kepada kerabat dan keluarganya termasuk wali. Oleh sebab itu wali
harus selektif untuk memilih pasangan bagi orang yang dibawah
perwaliannya.
Dengan uraian definisi wali di atas, wali nikah adalah orang yang
berhak menikahkan anak perempuan dengan pilihannya.Sementara yang
disebut wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai
perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon
mempelai perempuan. Wali nasab, ayah, kakek, saudara, laki-laki, paman dst.
B. Dasar Hukum
Memang tidak ada satu ayat Al-Quran pun yang jelas secara ibarat al-nash yang menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. Namun
19
kepada keharusan adanya wali, tetapi dari ayat tersebut secara isyarahal-nash, dapat dipahami menghendaki adanya wali.
Di antara ayat Al-Quran yang mengisyaratkan adanya wali adalah
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah[2]: 221)
Ayat di sini mengandung pengertian bahwa para wali dilarang
mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan musyrik. Paling tidak
ada dua hal yang perlu digaris bawahi:
Pertama, penggalan ayat tersebut ditujukan kepada para wali,
memberi isyarat bahwa wali mempunyai peranan yang tidak kecil
dalam perkawinan putri-putrinya atau wanita-wanita yang berada
20
perkawinan yang menjalin hubungan harmonis antara suami istri,
sekaligus antar keluarga, bukan saja keluarga masingmasing tetapi
juga antara kedua keluarga mempelai. Dari sini peranan orang tua
dalam perkawinan menjadi sangat penting. Baik dengan memberi
kepada orang tua wewenang yang besar, maupun sekedar restu, tanpa
mengurangi hak anak. Oleh karena itu, walaupun Rasul
memerintahkan orang tua supaya meminta persetujuan anak gadisnya,
namun karena tolak ukur anak itu tidak jarang berbeda dengan tolak
ukur orang tua, maka tolak ukur anak, ibu dan bapak harus dapat
menyatu dan mengambil keputusan perkawinan.
Kedua, larangan mengawinkan wanita-wanita muslimah
dengan orang-orang musyrik. Walaupun pandangan mayoritas ulama
dapat memasukkan ahl al-kitab dalam kelompok dinamai musyrik, tetapi ini bukan berarti ada izin untuk pria ahl al-kitab untuk
mengawini wanita muslimah. Larangan tersebut, menurut ayat di
atas,berlanjut hingga mereka beriman, sedang ahl al-kitab tidak dinilai beriman dengan iman yang dibenarkan oleh Islam. Maka bagi para
wali dilarang menikahkan wanita-wanita muslimah dengan
orang-orang musyrik dan juga ahl alkitab.
21
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui.” (An-Nuur[24]: 32)
Secara isyarah al-nash ayat diatas merupakan perintah untuk
mengawinkan orang-orang yang bujang, dan perintah tersebut
ditujukan kepada wali untuk menikahkan.
b. Al-Hadist
(dua) saksi yang adil.” (H.R. Ibnu Majjah, Hadis No: 1879)
Menurut pendapat ulama', maksud hadits di atas, kata "la
nikaaha illa bi waliyyin" adalah diarahkan atau dimaksudkan kepada sah, yang hal itu merupakan salah satu diantara dua kiasan yang paling
dekat kepada zat yang dinafikan, sehingga nikah tanpa wali menjadi
“Dari Aisyah ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw, “ seseorang
22
Dasar hukum yang berasal dari hadist diatas jelas bahwa wali
dalam pernikahan itu harus terpenuhi dan tidak sah apabila menikah
tanpa wali bahkan Rasulullah SAW menyebutkan bahwa menikah
tanpa wali maka pernikahannya batal, batal, batal.
C. Kedudukan Wali dalam Pernikahan
Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti
dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu
ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama
secara prinsip. Dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan
sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula
sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan
tersebut.Memang tidak ada satu ayat Alquran pun yang jelas secara ibarat
al-nash yang menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. Namun di
dalam Alquran terdapat petunjuk nash yang ibarat-nya tidak menunjuk
kepada keharusan adanya wali, akan tetapi dari ayat tersebut secara isyarat nash dapat dipahami adanya wali. Disamping itu terdapat pula adanya ayat-ayat Alquran yang dipahami perempuan dapat melaksanakan sendiri
perkawinannya.(Syarifudin, 2006: 69-70)
Hal-hal yang berkenaan dengan kawin dan mengawinkan Allah swt
mengalamatkan titahnya kepada wali, karena dalam kehidupan bermasyarakat
terutama masyarakat Arab waktu turun ayat-ayat ini perkawinan itu berada di
23
adanya wali. Meskipun demikian rasanya tidak mungkin dari taqrir itu
ditetapkan hukum wajib apalagi rukun dalam perkawinan.
Di antara ayat Al quran yang mengisyaratkan adanya wali tersebut
“apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian.itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 232)
Ayat di atas jelas mengindikasikan bahwa dalam suatu pernikahan
harus ada peran wali di dalamnya. Dalam ayat tersebut terdapat dalil yang
menunjukkan bahwa seorang wanita tidak mempunyai kekuasaan untuk
menikahkan dirinya sendiri, tetapi harus ada wali baginya dalam pernikahan.
Sedangkan ayat-ayat Alquran yang mengindikasikan bahwa
pernikahan tidak harus menggunakan wali atau perempuan itu kawin sendiri
tanpa harus memakai wali adalah:
24
“apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian.itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 232)
Ayat di atas dengan tegas mengatakan perempuan itu mengawini
bekas suaminya dan wali dilarang mencegahnya. Dalam hal ini, Ahmad
Mustofa Al-Maraghi (2001: 233) menjelaskan dalam firman Allah swt, kata
“مٍى ت” menunjukkan bahwasannya tidak ada halangan bagi seseorang laki-laki
untuk melamar perempuan atau janda tersebut langsung pada dirinya untuk
melakukan pernikahan. Pada saat itu diharamkan walinya menahan dan
menghalang-halangi melakukan pernikahan dengan orang yang melamarnya.
Namun para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan wali dalam
pernilkahan, yaitu :
1. Imam Syafi‟i dan Imam Malik.
Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu
rukun perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh
sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa walihukumnya tidak
sah (batal). Sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan Al-Tirmidzi berasal dari Siti Aisyah (istri Rasulullah)
25
seseorang perempuan jika menikah tidak seizin walinya, maka nikahnya batal 3x. Dan jika (si laki-laki) campuri dia, maka wajib atasnya membayar mahar buat kehormatan yang ia telah halalkan dari perempuan itu, jika mereka bertengkar, maka sultan itu wali bagi yang tidak mempunyai wali.” (Abu Dawud, Hadis No: 2084)
Selain alasan-alasan dari hadits diatas, Imam Syafi‟i mengemukakan
pula alasan atau dasar adanya wali dari Al-Quran, antara lain:
“dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 221)
26
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan
Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Q.S.
An-Nuur[24]: 32)
2. Imam Hanafi
Menurut Syarifudin (2006: 73) Golongan Hanafiyah dan
Syi‟ah Imamiyah berpendapat bahwa tidak mewajibkan adanya
wali bagi perempuan dewasa dan sehat akal, menanggapi hadits di
atas dengan menyatakan bahwa hadits tersebut mengandung dua
arti: Pertama, tidak sempurna suatu perkawinan tanpa adanya wali, bukan berarti tidak sah. Kedua, bila kata itu diartikan dengan tidak
sah, maka arahnya adalah kepada perempuan yang masih kecil dan
tidak sehat akalnya, karena terhadap dua perempuan tersebut ulama
Hanafiyah, seperti ulama Jumhur juga mewajbkan adanya wali.
Bahwa jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka ia
mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa
wali. Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah
syarat dalam akad nikah. Menurut beliau juga, walaupun wali
bukan syaratsah nikah, tetapi apabila wanita melaksanakan akad
nikah dengan pria yang tidak sekufu dengannya, maka wali
mempunyai hak mencegahnya.(Syarifudin, 2006: 78-81)
Imam Hanafi mengemukakan pendapatnya berdasarkan
27 pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 230)
Dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW. Dari Abu Abbas R.A:
عَاٍبُذبُُكبُ عَاٍبُوبْابِاعََ بُرعَ بْأعَربْسبُذ بُربْكبِثبْلاعََ عَاٍعَىبِلعََ بْهبِ عَاٍبِسبْفعَىبِت لاَّقعَ عَا بُةبِ عَثلعَا
(
ملس يَار
)
“Janda lebih berhak atas dirinyadaripada walinya, dan kepada gadis
(perawan) dimintai persetujuannya, dan persetujuan jika dimintai, (gadis itu) diam (H.R. Abu dawud, Hadis No: 2099)
Berdasarkan Al-Quran dan Hadis Rasul tersebut, menurut Hanafi
memberikan hak sepenuhnya kepada wanita mengenai urusan dirinya dengan
meniadakan campur tangan orang lain (wali) dalam urusan pernikahan.
Pertimbangan rasional logis Hanafi tentang tidak wajibnya wali nikah bagi
perempuan yang hendak menikah.Perempuan yang sudah dewasa dan sehat
akalnya dapat melakukan sendiri perkawinannya dan tidak perlu wali
mengakadkannya. Alasan rasionalnya ialah orang yang telah dewasa dan
sehat akalnya dapat bertindak hukum dengan sendiri tanpa diperlukan
28
Imam Abu Hanifah, Zufar, Asy-Sya'bi dan Az-Zuhri berpendapat
bahwa apabila seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali, sedang
calon suaminya sebanding (sekufu'), maka pernikahannya boleh. (Abidin, 1999: 91)
Namun demikian mayoritas masyarakat Indonesia madzhab yang
dianut adalah madzhab Syafi‟i, jadi di Indonesia tidak memungkinkan
menikah tanpa adanya wali yang berhak.
D. Syarat-syarat Wali Nikah
Pernikahan merupakan suatu akad yang mempunyai akibat
hukum.Sehingga dibutuhkan orang yang melakukan akad tersebut harus
cakap atau mempunyai kekuasaan untuk melakukannya.Termasuk di
dalamnya mengenai wali nikah. Oleh sebab itu, maka wali nikah harus
mempunyai beberapa syarat, di antaranya:
1. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak
berhak menjadi wali. Ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang
melakukakan akad. (Soemiyati, 1999: 43) Hal ini mengambil dari hadis
Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
بْهعَع بِزعَ عَ بْهعَع بُمعَلعَقبْلا عَعبِ عَر عَل بْمعَلعَ عََ بًِبْ عَلعَع بُ لاَّ عَيلعَ يبِثعَو هعَع عَاٍبْىعَع بُ لاَّ عَيبِ عَر عَحعَسبِ عَاع بْهعَع
عَق بِفبُي َعَا عَلبِقبْععَي ىلاَّرعَ بِنبُْبُىبْجعَملا بْهعَععََ بُرعَثبْكعَي يلاَّرعَ بِر بِ لاَّللا بِهعَععََ عَ بِق عَرسعَي يلاَّرعَ بِمبِ الاَّىلا
“Dari Aisyah R.A. dari Nabi saw. beliau berkata : dibebaskan hukum dari tiga macam orang : dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak-anak hingga ia bermimpi (dewasa) dan dari orang-orang gila hingga ia sembuh.” (Al-Asqalani, 1996 No: 1120)
Hadits di atas memberikan pengertian bahwa anak-anak tidak
29
2. Laki-laki. Laki-laki merupakan syarat perwalian, karena ia dianggap lebih
sempurna, sedangkan wanita tidak sanggup mewakili dirinya sendiri,
apalagi orang lain. (Ayyub, 2001: 59)
Sesuai dengan hadits yang berbunyi:
اعٍَعَسبْفعَو بُجَِّعَزبُذ بِىرلاَّلا عَيبٌِ عَحعَ بِوالاَّزلا لاَّنبِاعَ عَاٍعَسبْفعَو عَجعَأبْرعَمبْلا بُجَِّعَزبُذعَلاعََ عَجعَأبْرعَمبْلا بُجعَأبْرعَمبْلا بُجَِّعَزبُذعَلا
(
ياَر
ًجا هتا
)
“Wanita tidak (dibolehkan) menikahkan wanita lainnya. Dan wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.Karena wanita pezina adalah yang menikahkan dirinya sendiri." (H.R. Ibnu Majah, Hadis No: 1882)
3. Kesamaan agama antara wali dan yang diwalikan. Oleh karena tujuan
perwalian adalah untuk kebaikan orang yang berada di bawah perwalian,
maka kesamaan agama di antara keduanya lebih layak untuk kebaikannya.
Oleh sebab itu, tidak layak perwalian non muslim atas orang muslimah.
(Madkur, tt: 178)
Hal ini sesuai dengan Al-Quran surat Ali Imran ayat 28:
“janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.
dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Q.S. Ali Imran[3]: 28)
4. Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering
30
santun. Apabila dibawa dalam konteks ke-Indonesiaan, syarat adil tidak
begitu mendapatkan perhatian. Asalkan seseorang menyatakan beragama
islam, di samping juga terdapat syarat-syarat yang lain seperti baligh,
berakal sehat, dan laki-laki, maka sudah dipandang cukup untuk bertindak
sebagai wali. (Basyir, 2006: 41)
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil, maksudnya adalah tidak
bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak
membiasakan diri berbuat mungkar. Ada pendapat yang mengatakan
bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas
disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya
dengansebaik-baiknya atau seadil-adilnya.
5. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah. (Syarifudin, 2006:
76)
Menurut pendapat jumhur ulama, bahwa dari syarat-syarat menjadi
wali dalam pernikahan yang sudah dijelaskan di atas, tidak semua syarat
harus terpenuhi dalam diri dari seorang wali, contohnya di Indonesia yang
pada umumnya mengikuti ajaran mazhab as-Syafi‟i, dalam syarat adil (taat
beragama) bagi wali tidak mendapat tekanan. Asal orang beragama Islam,
baligh, laki-laki, dan berakal sehat sudah dianggap cakap bertindak
sebagai wali. Walaupun menurut mazhab as-Syafi‟i seorang wali itu di
samping memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut di atas juga harus orang
31
Pendapat Imam as-Syafi‟i di atas sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku di negara Indonesia yaitu pasal 20 ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam (KHI) “yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki
yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, akil dan baligh.”
E. Macam-macam Wali Nikah
Mengenai masalah wali menurut ajaran hukum Islam hanya pihak
wanita sajalah yang memerlukan wali dalam melakukan perkawinan dimana
wali itu selalu laki-laki orangnya. Adapun berbagai macam wali itu antara
lain:
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 20 disebutkan :
Ayat (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki
yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.
Ayat (2) Wali nikah terdiri dari: wali nasab, wali hakim.
1. Wali nasab
Wali nasab dibagi menjadi dua, antara lain:
a. Wali Nasab Mujbir
Mujbir artinya orang yang memaksa. Sedangkan wali nasab mujbir adalah wali nasab yang berhak memaksa kehendaknya untuk mengawinkan calon mempelai perempuan tanpa adanya izin dari yang
bersangkutan dan batas-batas wajar. Wali mujbir terdiri dari ayah, kakek dan seterusnya ke atas.Ulama yang membolehkan wali (ayah
dan kakek) menikahkan tanpa izin ini menggantungkan bolehnya
32
1) Tidak ada permusuhan antara bapak dan anak
2) Laki-laki pilihan wali harus kufu' (seimbang) dengan gadis yang
akan dinikahkannya.
3) Calon suami harus mampu membayar mahar mitsil.
4) Antara gadis dan calon suami tidak ada permusuhan.
5) Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajibannya sebagai
suami yang baik dan tidak terbayang akan berbuat yang
mengakibatkan kesengsaraan istri.(Mahfud, 2003: 10)
b. Wali Nasab Biasa
Dikatakan wali nasab biasa karena wali nasab tidak
mempunyai kekuasaan untuk memaksa kawin kepada calon
memepelai perempuan. Wali nasab biasa terdiri dari: saudara laki-laki
kandung atau seayah, paman yaitu saudara laki-laki ayah baik
kandung atau seayah dan seterusnya anggota keluarga laki-laki
menurut garis keturunan patrilinial.
2. Wali Hakim
Wali hakim ialah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang
dalam bidang perkawinan. Biasanya penghulu atau petugas lain dari
Departemen Agama. Calon mempelai perempuan dapat mempergunakan
bantuan wali hakim melalui Pengadilan Agama atau tidak, tergantung
pada prosedur yang dapat ditempuh.
Perwalian nasab dapat berpindah kepada perwalian hakim
33
a. Tidak terdapat wali nasab (Ghaib).
b. Wali nasab bepergian jauh atau tidak ada di tempat tetapi tidak
memberi kuasa kepada wali yang lebih dekat yang ada.
c. Wali nasab kehilangan hak perwaliannya
d. Wali nasab sedang haji atau umrah (ihram)
e. Wali nasab menolak bertindak sebagai wali (adhal)
f. Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dan perempuan yang ada di
bawah perwaliannya. Hal ini terjadi apabila yang menikah adalah
seorang perempuan dengan saudara laki-laki sepupunya, baik
kandung atau seayah. (Soemiyati, 1999: 31)
F. Orang yang Berhak Menjadi Wali Nikah
Yang berhak menempati kedudukan wali itu ada dua kelompok yaitu
wali nasab, yaitu wali berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan
yang akan kawin. Wali hakim, orang yang menjadi wali dalam kedudukannya
sebagai hakim atau penguasa. Dalam menerapkan wali nasab terdapat beda
pendapat di kalangan ulama. Beda pendapat ini disebabkan oleh tidak adanya
petunjuk yang jelas dari Nabi, sedangkan Al-Quran tidak membicarakan sama
sekali siapa-siapa yang berhak menjadi wali. Jumhur ulama yang terdiri dari
Syafi‟iyah, Hanabilah, Zhahiriyah, dan Syi‟ah Imamiyah membagi wali itu
kepada dua kelompok:
Pertama: wali dekat atau wali qarib; yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak
34
anaknya yang masih berada dalam usia muda tanpa minta persetujuan dari
anaknya tersebut. Wali dalam kedudukan seperti ini disebut wali mujbir.
Ketidak harusan minta pendapat dari anaknya yang masih usia muda itu
adalah karena orang yang masih mudah tidak mempunyai kecakapan untuk
memberikan persetujuan. Ulama Hanabilah menempatkan orang yang
diberiwasiat oleh ayah untuk mengawinkan anaknya berkedudukan sebagai
ayah.
Kedua: wali jauh atau wali ab’ad yaitu wali dalam garis kerabat selain
dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu, karena anak menurut
ulama jumhur tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya dari segi dia adalah
anak, bila anak berkedudukan sebagai wali hakim boleh dia mengawinkan
ibunya sebagai wali hakim. Adapun wali ab‟ad adalah sebagai berikut:
a. Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
b. Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
c. Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
d. Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
e. Paman kandung; kalau tidak ada pindah kepada.
f. Anak paman kandung; kalau tidak ada pindah kepada.
g. Anak paman seayah; kalau tidak ada pindah kepada.
h. Anak paman seayah.
i. Ahli waris kerabat lainnya kalau ada.
Ulama Hanafiyah menempatkan seluruh kerabat nasab, baik sebagai
35
arham. Menurut mereka yang mempunyai hak ijbar bukan hanya ayah dan kakek tetapi semuanya mempunyai hak ijbar, selama yang akan dikawinkan
itu dalah perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akalnya. (Ibnu
al-Humam: 285) berbeda dengan pendapat jumhur ulama, anak dapat menjadi
wali terhadap ibunya yang akan kawin.
Ulama Malikiyah menempatkan seluruh kerabat nasab yang
ashabahsebagai wali nasab dan membolehkan anak mengawinkan ibunya,
bahkan kedudukannya lebih utama dari ayah atau kakek.Golongan ini
menambahkan orang yang diberi wasiat oleh ayah sebagai wali dalam
kedudukan sebagaimana kedudukan ayah.(Ibnu Rusyd; 19) berbeda dengan
ulama Hanafiyah golongan ini memberikan hak ijbar hanya kepada ayah saja
dan menempatkannya dalam kategori wali a‟rab. (Syarifudin, 2006: 75-76)
G. Urutan Hak Perwalian
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan yang berhak menjadi wali
dalam arti selama masihada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali
dan selama wali nasab yang lebih dekatmasih ada wali yang lebih jauh tidak
dapat menjadi wali.
Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qarib.
Bila wali qarib tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, Islam,
merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali
ab‟admenurut urutan tersebut di atas. Bila wali qarib sedang dalam ihram haji
atau umrah, maka kewalian tidak pindah kepada waliab‟ad, tetapi pindah
36
menjadi wali nikah bila keseluruhan wali nasab sudah tidak ada, atau wali
qaribdalam keadaan „adhal atau enggan mengawinkan tanpa alasan yang
dapat dibenarkan.
Sedangkan yang menjadi dasar perpindahan kewalian kepada wali
hakim pada saat wali qarib berada di tempat lain menurut pendapat jumhur ulama adalah disamakan kepada wali yang tidak ada. Undang-Undang
Perkawinan sama sekali tidak menyebutkan adanya wali dalam persyaratan
perkawinan dalam pengertian yang melangsungkan akad nikah bukan wali,
tetapi mempelai perempuan. Yang disebutkan dalam Undang-Undang
Perkawinan hanyalah orang tua, itu pun dalam kedudukannya sebagai orang
yang harus dimintai izinnya pada waktu melangsungkan perkawinan, yang
demikian pula bila kedua calon mempelai berumur di bawah 21 tahun. Hal ini
mengandung arti bila calon mempelai sudah mencapai umur 21 tahun peranan
orang tua tidak ada sama sekali. Hal ini diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4),
(5), dan (6).
Meskipun dalam Undang-Undang Perkawinan tidak menjelaskan wali
sebagai salah satu syarat atau rukun dalam perkawinan, Undang-Undang
Perkawinan ada menyinggung wali nikah dalam pembatalan perkawinanpada
pasal 26 dengan rumusan:
Perkawinan yang dilangsungkan di mukapegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh olehpara keluarga dalam garis
37
KHI berkenaan dengan urutan hak perwalian ini menjelaskan secara
lengkap dan keseluruhannya mengikuti fiqh mazhab jumhur ulama,
khususnya Syafi‟iyah. Wali ini diatur dalam pasal 21, 22, dan 23; dengan
rumusan sebagai berikut:
Pasal 21
1. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai. Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah , dan seterusnya. Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-lakilaki-laki seayah, dan keturunan laki-laki-laki-laki mereka. Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Keempat: kelompok saudara laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki-laki-laki mereka.
2. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang paling dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
3. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
4. Apabila dalam satu kelompok sama yakni sama-sama derajat kandung
atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
“Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syaratsyarat sebagai wali nikah itu menderitatuna wicara, tuna rungu atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yamg lain menurut derajat berikutnya.”
Pasal 23
1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghahindarkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
38
H. Konsekuensi Hukum Terhadap Tidak Terpenuhi Wali dalamPernikahan
Pernikahan memiliki 2 (dua) tujuan yaitu tujuan primer dan sekuder,
tujuan primer atau yang utama yaitu menjalin hubungan seksual antara
laki-laki dan perempuan yang menikah. Sedangkan tujuan sekunder yaitu menjalin
hubungan kekerabatan antara keluarga laki-laki dan perempuan.
Jika melihat sistem kekerabatan di Indonesia, masyarakat kita
menganut sistem kekerabatan masyarakat di kawasan Timur Tengah yaitu
patrilineal. Otoritas bapak (suami) menempati posisi yang dominan dan peran
penting dalam keluarga. Bapak atau suamilah yang bertanggung jawab
terhadap seluruh keutuhan, keselamatan, dan kelangsungan keluarga. Ibu atau
istri hanya ikut terlibat sebagai anggota keluarga dalam suatu rumah tangga.
Untuk itu, bapak dan kaum laki-laki pada umumnya mendapatkan beberapa
hak istimewa sebagai konsekuensi dari tanggung jawab mereka yang
sedemikian besar dibanding pihak istri atau perempuan secara umum. Dalam
masyarakat patriarki, silsilah keturunan ditentukan melalui jalur ayah dan
peran lebih besar diberikan kepada laki-laki, baik dalam urusan rumah tangga
maupun dalam urusan masyarakat luas. Sebaliknya perempuan mendapatkan
peran yang tidak menonjol didalam masyarakat. Konsep patriarki menurut
para feminis dianggap salah satu indikasi struktur sosial yang paling
menonjol diberbagai kelompok. Didalam masyarakat ini, jenis kelamin
laki-laki memperoleh keuntungan secara budaya, sedangkan perempuan
mengalami beberapa pembatasan dan tekanan.Dalam tradisi masyarakat
39
mencari nafkah dan melindungi keluarga, sementara perempuan
berperan dalam urusan reproduksi, seperti memelihara anak dan menyiapkan
makanan untuk seluruh anggota keluarga. (Umar, 1999: 128-129)
Selama ini masih ada pandangan umum yang menyatakan bahwa
perempuan menurut fiqih Islam tidak berhak menentukan pilihan atas
pasangan hidupnya. Yang menentukan dalam hal ini adalah ayah atau
kakeknya. Terlebih dalam kalangan ulama Syafi‟iyah ayah dan
kakek tergolong dalam wali mujbir. Seorang ayah atau kakek mempunyai hak
ijbār (hak memaksa) untuk menikahkan putrinya tanpa persetujuannya.
Al-Imam Al-Syirazi berpendapat dalam kitabnya al-Muhazzab ia
mengemukakan bahwa:
“Seorang ayah atau kakek boleh menikahkan anak gadisnya walaupun anak itu masih kecil ataupun telah dewasa.”(Al-Syirazi, 1999: 429)
Secara tekstual, pendapat al-Imam al-Syirazi mengidentifikasikan
bahwa ayah atau kakek boleh memaksa kepada anak atau cucunya yang masih
gadis baik kecil maupun dewasa untuk menikah dengan pilihannya walapun
tanpa sepengetahuan dan persetujuannya. walaupun seorang ayah atau kakek
boleh menikahkan tanpa persetujuan dari anak gadisnya, tetapi dianjurkan
kepada ayah atau kakek untuk meminta izin/persetujuan terlebih dahulu
apabila anak gadis tersebut telah baligh/dewasa. Meminta izin kepada calon
mempelai tidaklah sebuah keharusan/kewajiban yang harus terpenuhi,
melainkan hanya sebuah anjuran apabila gadis tersebut telah dewasa. Oleh
karena itu sah-sah saja apabila ayah memaksa anak gadisnya menikah dengan
40
Wali dalam perkawinan adalah rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya (pasal 19 KHI),
dasarnya adalah firman Allah dalam QS Al-Baqarah 232:
“apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian.itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-baqarah[2]: 232)
Dan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 6 (2) juga
disebutkan bahwa untuk melangsungkan perkawinan harus mencapai umur 21
tahun dan mendapat izin dari kedua orang tua, hal ini juga diatur dalam pasal
15 (2) KHI. Dari situlah dikatakan, apabila melakukan perbuatan yang syarat
rukunnya tidak terpenuhi, maka perbuatan itu tidak sah. Begitu juga dalam
melaksanakan akad nikah, unsur-unsur dalam akad juga harus terpenuhi di
antara unsur itu adalah adanya wali yang sah dari mempelai wanita yang
bertindak untuk menikahkannya.Apabila dari sederetan orang-orang yang
berhak menjadi wali tidak ada atau ada tapi enggan maka mempelai wanita
harus mengangkat wali hakim atau wali muhakam. Kasus yang terjadi di
41
masyarakat sekitar dan keteledoran Petugas Pencatat Nikah, sehingga sampai
terjadi orang lain (bukan saudara) menjadi wali nikah dalam perkawinan,
padahal menurut hukum Islam maupun undang-undang yang berlaku di
negara Indonesia orang lain (bukan saudara) tidak berhak menjadi wali dalam
perkawinan.
Lebih lanjutnya dalam pembahasan bahwa peranan Kantor Urusan
Agama (KUA) sangat penting dalam proses pernikahan. Berdasarkan pasal 2
ayat (1) dan (2) Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang berbunyi:
Ayat (1) : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ayat (2) : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Mengingat undang-undang yang khusus membahas tentang pencatatan
perkawinan, dimana dijelaskan bahwa bagi orang yang beragama Islam
pernikahannya dicatakan di Kantor Urusan Agama (KUA) di lingkungan
mereka tinggal.Aturan mencatatkan pernikahan ini merupakan ketentuan
yang wajib dilakukan karena perkawinan tersebut bisa dianggap tidak sah
secara hukum dan bahkan bisa dibatalkan. (DEPAG RI, 2004: 74)
Berdasarkan pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) jo. pasal 7 ayat (1)
Kompilasi Hukum Islam (KHI):
Pasal 5 Ayat (1) : Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
42
Ayat (2) : Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam UU No.
22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun 1954.
Pasal 7 Ayat (1) : Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta
nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah” (DEPAG RI, 2000:
181)
Dalam pencatatan perkawinan terdapat persyaratan yang harus
dipenuhi oleh pihak yang akan melaksanakan pernikahan, karena sebelum
dilaksanakannya proses pernikahan terlebih dahulu pihak Kantor Urusan
Agama (KUA) melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan persyaratan.
Jika ditemukan persyaratan tidak lengkap atau ada yang dipalsukan maka
pihak Kantor Urusan Agama (KUA) tidak berhak mencatatkan pernikahan
tersebut.Di samping itu, perkawinan menyangkut ibadah dan moralitas yang
menutut untuk bertindak selektif dan berhati-hati guna menghindari
penyalahgunaan wewenang.Apabila melihat kondisi masyarakat umumnya
dan menghindari penipuan dari lawan jenisnya.Jadi ketiadaan wali
mengandung banyak resiko dan kemudaratan, sebaliknya keberadaanya
banyak mengandung manfaat. (Farah, 2003: 24)
Selanjutnya dalam pasal 26 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan: