ISSN 1410-1939
J
URNAL
A
GRONOMI
Publikasi Nasional Ilmu Budidaya Pertanian
Volume 8, Nomor 1, Januari – Juni 2004
J
URNAL
A
GRONOMI
Publikasi Nasional Ilmu Budidaya Pertanian
Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember, berisi tulisan yang diangkat dari hasilhasil penelitian dan kajian analisis-kritis di bidang ilmu budidaya pertanian (teknologi benih, perbanyakan tanaman, pemu-liaan tanaman, perlindungan tanaman, produksi tanaman, panen dan pasca panen, bioteknologi tanaman, dan ilmu tanah). ISSN 1410-1939.
Ketua Penyunting Zulkarnain
Wakil Ketua Penyunting Sarman S.
Penyunting Pelaksana Bambang Irawan
Nerty Soverda Wilma Yunita
Henny H. Eliyanti
Pelaksana Tata Usaha Husda Marwan
Gusniwati M. Zuhdi
Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361. Telpon/Faksimil (0741) 583051 atau (0741) 582781. Email: doktor_zulkarnain@unja.ac.id
JURNAL AGRONOMI diterbitkan oleh Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Dekan: Zulkifli, Pemban-tu Dekan I: A. Rahman, Pembantu Dekan II: Sarman S., Pembantu Dekan III: Y.M.S. Rambe. Terbit pertama kali pada tahun 1996 dengan nama Buletin Agronomi Universitas Jambi.
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan pada media lain, baik cetak mau-pun elektronik. Naskah tulisan diketik di atas kertas HVS ukuran A4 spasi ganda, panjang tulisan 10 – 20 halaman dengan format seperti tercantum pada halaman kulit dalam-belakang (“Pedoman Penulisan”). Naskah yang masuk akan dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lain-nya tanpa mengubah isi tulisan. Kontribusi penulisan sebesar Rp100.000,00 bagi pelanggan dan Rp150.000,00 bagi bukan pelanggan untuk setiap artikel yang dimuat, dan dapat dibayar setelah ada pem-beritahuan pemuatan tulisan. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapatkan lima eksemplar cetak lepas dan satu eksemplar nomor bukti pemuatan. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan.
J
URNAL
A
GRONOMI
Publikasi Nasional Ilmu Budidaya Pertanian
Volume 8, Nomor 1, Januari - Juni 2004
Daftar Isi
Pemanfaatan Metoda Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman
Zulkarnain 1 - 10
Kajian Berbagai Kombinasi Pengapuran dan Pemupukan terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kacang Tanah (Arachis hypogea L.) di Lahan Pasang Suru
Jumakir, Waluyo dan Suparwoto 11 - 15
Pengaruh Konsentrasi Pupuk Pelengkap Cair Plant Catalyst 2006 terhadap Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.)
Hanibal dan Sosiawan Nusifera 17 - 19
Pengaruh Varietas dan Metoda Pemupukan terhadap Hasil Padi di Rawa Lebak
Suparwoto, Waluyo dan Jumakir 21 - 25
Respon Tanaman Sawi (Bras-sica juncea L.) terhadap Pupuk Daun Nutra-Phos N dengan Konsentrasi Bervariasi
Sosiawan Nusifera 27 - 29
Karakterisasi Tapak Tanaman Acacia mangium pada Tanah Spodosol di P.T. Wira Karya Sakti, Provinsi Jambi
Nursanti 31 - 42
Pengaruh Sludge Pabrik Bubur Kertas pada Erodibilitas Ultisol
Sunarti dan Wiskandar 43 - 45
Korelasi Uji Fosfor Tanah Ultisol untuk Tanaman Jagung (Zea mays L.)
Ermadani 47 - 52
Pengujian Dosis Kompos Trichoderma untuk Pengendalian Jamur Patogen Tular Tanah pada Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogea L.)
Husda Marwan 53 - 57
Kajian kualitas spora Beauveria bassiana pada berbagai jenis media dan lama penyimpanan
Yuni Ratna 59 - 62
Masa Inkubasi Bakteri Patogenik Ralstonia solanacearum RAS 3 pada Beberapa Klon Kentang
Dodo Rusnanda Sastra 63 - 68
Kebutuhan Pupuk Fosfor Berdasarkan Status Hara Fosfat Lahan Sawah di Provinsi Jambi
Busyra, B. S. 69 - 74
ISSN 1410 - 1939
1
PEMANFAATAN METODE KULTUR ANTERA DALAM PEMULIAAN
TANAMAN
[THE USE OF ANTHER CULTURE METHOD IN PLANT BREEDING]
Zulkarnain1
Abstract
One of impediments in breeding programme of cross-pollinated species has been the high level of heterozygous plants within population. This results in longer period of the breeding process in order to produce homozygous plants using conventional techniques. This problem can be overcome by the use of haploid and doubled-haploid technology via aseptic anther or microspore culture. This review discuss the principles of plant regeneration mechanism through androgenesis and the factors playing key role in the success of the induction of microspore embryogenesis within an in vitro system. The success of plant regeneration via
anther or microspore culture was influenced by factors such as plant genotype, factors associated with donor plants, cytological status of microspores, anther pre-treatment, the properties of medium used, and the environmental conditions where cultures were incubated. A number studies revealed that the response of anthers or microspore on these factors was specific, depending on plant species investigated. For this reason, there is no general procedure that can be universally applied on all plant species.
Key words: androgenesis, microspore embryogenesis, anther culture, plant breeding. Kata kunci: androgenesis, embryogenesis mikrospora, kultur antera, pemuliaan tanaman.
1 Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361
PENDAHULUAN
Upaya mendapatkan galur-galur homozigot dari spesies tanaman yang menyerbuk silang dapat memakan waktu yang cukup lama. Prosesnya dimulai dari persilangan untuk mengkombinasikan sifat-sifat yang diinginkan dari tetuanya, dan menghasilkan zuriat yang heterozigot namun seragam secara genetik. Perbanyakan zuriat ini seringkali disertai dengan pemisahan kromosom yang homolog dan pemisahan gen-gen induk pada saat meiosis, sehingga menimbulkan keragaman genetik antar individu di dalam populasi pada generasi berikutnya (Croughan, 1995). Oleh karenanya keseluruhan proses produksi galur homozigot sebagaimana diprediksikan oleh Ferrie dan Keller (1995) dapat memakan waktu hingga 10 tahun atau bahkan lebih, bergantung pada spesies tanaman.
Penggunaan embriogenesis mikrospora melalui kultur antera atau kultur mikrospora juga sangat bermanfaat untuk mendeteksi sifat-sifat
resesif dan eksploitasi tanaman gametoklonal (Christou, 1992). Beberapa sifat resesif yang dapat dideteksi secara dini pada tanaman haploid yang berkembang dari embriogenesis mikrospora antara lain adalah toleransi terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti kekeringan, suhu rendah, hara rendah atau pun kandungan logam berat yang tinggi di dalam tanah (Taji et al., 2002). Lebih penting lagi, teknik ini menawar-kan peluang untuk mendapatkan galur-galur ho-mozigot lebih cepat dan lebih efisien dibanding-kan cara-cara konvensional (Tomasi et al., 1999). Taji et al.
Jurnal Agronomi 8(1): 1–10
2
Tulisan ini bertujuan untuk membahas pemanfaatan teknologi haploid melalui kultur antera di dalam pemuliaan tanaman. Beberapa aspek yang berkaitan dengan mekanisme regenerasi tanaman melalui embriogenesis mikrospora serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dibahas secara ringkas guna memberikan gambaran bagaimana teknik ini dapat berjalan dengan sukses.
MEKANISME REGENERASI TANAMAN MELALUI ADROGENESIS
Istilah androgenesis ditujukan pada regenerasi tanaman secara langsung dari mikrospora di dalam sistem kultur antera maupun kultur mikrospora. Prinsip yang mendasari androgenesis adalah menghentikan perkembangan sel-sel mikrospora, yang pada keadaan normal menjadi sel-sel gamet, dan memaksa perkembangannya langsung menjadi tanaman lengkap (Nitsch, 1981). Proses ini menghambat diferensiasi gametofitik, namun justru memungkinkan terjadinya pembelahan dan regenerasi sel (Dunwell, 1986).
Begitu gametogenesis (perkembangan mikrospora) berlangsung, serbuk sari matang akan terbentuk melalui mitosis. Oleh karena lintasan perkembangan belum ditentukan selama proses gametogenesis, ada peluang untuk menginterupsi lintasan gametofitik normal dan menginduksi perkembangan sporofitik. Vicente
et al. (1992) dan Mitykó et al. (1996)
menyatakan bahwa mikrospora dengan kisaran tahap perkembangan uninukleat hingga pertengahan binukleat adalah bahan tanaman yang sesuai untuk induksi perkembangan sporofitik haploid pada berbagai spesies tanaman. Namun harus diingat bahwa hal ini sangat beragam tergantung pada spesies tanaman (lihat uraian di bawah ini). Sebagai hasil perkembangan sporofitik, mikrospora multiseluler berkembang di dalam antera. Diferensiasi unit-unit multiseluler ini menghasilkan embrio, yang kemudian berkembang menjadi tanaman lengkap dengan jumlah kromosom haploid (2n = x).
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDUKSI EMBRIOGENESIS
MIKROSPORA
Kultur antera sangat potensial dalam pemu-liaan tanaman dikarenakan kemampuannya untuk menghasilkan tanaman-tanaman haploid dari
mikrospora muda, yang jumlah kromosomnya dapat digandakan guna mendapatkan individu doubled-haploid yang fertil dan memiliki sifat yang sama dengan induknya. Kultur antera telah berhasil diterapkan pada tanaman-tanaman monokotil seperti Oryza sativa (Lentini et al., 1995; Aryan, 2002) dan Triticum aestivum
(Touraev et al., 1996). Teknologi ini juga telah berhasil diterapkan pada tanaman-tanaman dikotil seperti Brassica napus (Lichter, 1982),
Populus sp. (Hyun et al., 1986), Malus
domestica (Höfer et al., 1999), dan Anemone
sp., Zantedeschia sp. and Delphinium sp. (Custers et al., 2001). Juga ditemukan adanya laporan tentang regenerasi tanaman haploid dari kultur antera maupun kultur mikrospora pada tanaman legum seperti Medicago sativa
(Zagorska et al., 1997), Cajanus cajun (Kaur dan Bhalla, 1998), Lupinus spp. (Bayliss et al., 2002) dan sejumlah tanaman legum pohon seperti
Albizzia lebbeck (Gharyal et al., 1983) and
Peltophorum pterocarpum (Rao dan De, 1987).
Namun demikian, pada tanaman lain belum ditemui keberhasilan yang memuaskan, dan bahkan di antara tanaman-tanaman yang respon terhadap kultur antera terdapat keragaman embriogenesis yang cukup besar (Zhong et al., 1995; Zhao et al., 1996; Saïdi et al., 1998).
Keberhasilan kultur antera berkaitan dengan sejumlah faktor (Sunderland, 1974; Dodds dan Roberts, 1985), sebagaimana diuraikan berikut ini.
Genotipe tanaman
Sudah jelas bahwa respons antera selama kultur in vitro sangat tergantung pada genotipe tanaman donor. Palmer dan Keller (1997) menambahkan bahwa genotipe tanaman donor tidak hanya mempengaruhi frekuensi embriogenesis tetapi juga mempengaruhi kualitas embrio yang dihasilkan.
Zulkarnain: Pemanfaatan Metoda Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman
3
Umur tanaman donor
Umur tanaman donor merupakan faktor kun-ci lain yang mempengaruhi embriogenesis mi-krospora. Hal ini dapat dikaitkan dengan kera-gaman kandungan zat pengatur tumbuh endogen serta proses-proses biokimia di dalam antera se-lama perkembangan tunas bunga. Namun, pe-ngaruh tanaman donor tergantung pada spesies. Pada Aesculus carnea, Marinkovic dan Radoje-vic (1992) melaporkan bahwa frekuensi embrio-genesis yang tinggi di-peroleh pada mikrospora yang berasal dari tanaman berumur lebih tua. Sementara pada Casicum annuum, Kristiansen dan Andersen (1993) menemukan bahwa tanam-an berumur lebih muda menghasilktanam-an mikro-spora yang lebih responsif daripada tanaman berumur lebih tua. Oleh karenanya, tingkat umur yang berbeda mempengaruhi respon mikrospora, tergantung pada spesies tanaman.
Kondisi lingkungan tanaman donor
Walaupun tidak mungkin untuk membuat suatu rekomendasi umum mengenai kondisi pertumbuhan yang optimal, jelas bahwa faktor-faktor lingkungan di mana tanaman donor ditumbuhkan mempengaruhi respon antera di dalam kultur in vitro. Faktor-faktor seperti suhu dan fotoperiodisitas (Dunwell, 1986) dapat berinteraksi dengan genotipe dan mem-pengaruhi frekuensi embriogenesis mikrospora.
Kristiansen dan Andersen (1993) menemu-kan bahwa pada C. annuum suhu lingkungan tumbuh yang optimum bagi tanaman induk ada-lah 26oC. Pada kebanyakan spesies, tanaman yang ditumbuhkan pada kisaran suhu rendah menghasilkan lebih banyak mikrospora yang responsif (Palmer dan Keller, 1997). Guo et al.
(1999) melaporkan bahwa produksi embrio pada
P. pratense meningkat apabila tanaman induk
di-tumbuhkan pada lingkungan dengan suhu ren-dah. Pra-perlakuan suhu rendah terhadap tanam-an donor nampaknya penting untuk menahtanam-an perkembangan gametofitik mikrospora karena pada mikrospora embriogenik yang berasal dari tanaman yang diperlihara pada suhu rendah di-temukan bukti adanya modifikasi sitologi.
Pada Nicotiana tabacum cv. White Burley, antera yang paling produktif berasal dari tanaman yang ditumbuhkan pada suhu 20oC dan fotoperiodesitas 8 jam per hari (Dunwell, 1974). Namun demikian, fotoperiodesitas nampaknya tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada pembentukan embrio dari kultur antera C.
annuum (Kristiansen dan Andersen, 1993).
Tahap perkembangan mikrospora
Tahap perkembangan mikrospora pada saat inisiasi kultur dilakukan memainkan peranan
penting bagi keberhasilan embriogenesis mikrospora. Suatu perbedaan kecil dalam tahap perkembangan mikrospora dapat menyebabkan perbedaan hasil yang besar.
Palmer and Keller (1997) menyatakan bahwa uni-nukleat akhir hingga awal binukleat merupakan tahap perkembangan mikrospora yang optimum untuk induksi pembentukan embrio. Akan tetapi, tahap perkembangan mikrospora yang tepat, yang lebih siap untuk diarahkan pada lintasan sporofitik, nampaknya berbeda tergantung pada spesies tanaman. Pada
N. tabacum, Sunderland (1974) melaporkan
bahwa respon antera meningkat dengan tajam selama fase mikrospora dan mencapai puncaknya pada tahap mitosis serbuk sari yang pertama. Tahap uninukleat akhir dilaporkan memproduksi paling banyak plantlet untuk setiap antera yang dikulturkan. Mikrospora dengan tahap perkembangan uninukleat akhir juga digunakan oleh Nichterlein and Friedt (1993) pada penelitian mereka terhadap kultur mikrospora L.
usitatissimum. Akan tetapi, pada P. pratense,
Guo et al. (1999) menemukan bahwa tahap
perkembangan mikrospora yang optimum adalah di antara uninukleat akhir dan binukleat.
Meskipun banyak peneliti yang membuat generalisasi bahwa periode optimum bagi respon serbuk sari berada di antara tahap perkembangan tetrad dan binukleat, penentuan tahap perkembangan mikrospora yang tepat sebelum diintroduksikan pada kultur membutuhkan suatu analisis sitologi. Oleh karenanya, untuk tujuan praktis kebanyakan peneliti mengandalkan parameter morfologi seperti ukuran tunas dan mahkota bunga (Mitykó et al., 1996; Takahata et al., 1996; Tomasi et al., 1999). Walaupun ukuran tunas bunga yang optimum bervariasi antar genotipe, populasi mikrospora yang terdapat di dalam tunas-tunas tersebut sebagian besar berada pada kisaran tahap pertumbuhan uninukleat dan binukleat.
Dalam kaitannya dengan respon yang paling baik di dalam kultur, Dodds and Roberts (1985) menganjurkan tiga kategori tahap perkembangan mikrospora, yakni premitosis, mitosis dan postmitosis. Tanaman-tanaman yang tergolong ke dalam kategori premitosis memperlihatkan pembentukan embrioid terbaik bilamana mikrospora telah menyelesaikan meiosis namun masih belum memulai pembelahan polen yang pertama (misalnya Hyoscyamus niger dan
Hordeum vulgare). Tanaman-tanaman yang
termasuk ke dalam kelompok mitosis memperlihatkan respon terbaik apabila mikrospora berada pada tahap perkembangan pembelahan polen pertama (misalnya N.
Jurnal Agronomi 8(1): 1–10
4
Sementara itu, tanaman-tanaman yang tergolong ke dalam postmitosis memperlihatkan respon terbaik bilamana mikrospora berada dalam tahan perkembangan binukleat awal (misalnya Atropa
belladonna).
Pra-perlakuan terhadap antera
Berbagai macam tindakan pra-perlakuan terhadap antera terbukti dapat meningkatkan embriogenesis mikrospora pada sejumlah besar spesies tanaman. Pra-perlakuan ini termasuk suhu rendah (Cistué et al., 1995; Kiviharju dan Pehu, 1998; Immonen dan Anttila, 1999; Bishnoi
et al., 2000), suhu tinggi (Kiviharju dan Pehu,
1998) dan starvasi manitol (Cistué et al., 1995; Hoekstra et al., 1997) atau kombinasi antara ketiga faktor tersebut.
Suatu pra-perlakuan suhu rendah terhadap tunas bunga atau antera yang diisolasi dari tanaman induk dapat meningkatkan embriogenesis, sekali pun jika tanaman induk pada awalnya tidak ditumbuhkan pada suhu rendah (Palmer dan Keller, 1997). Sebagai contoh pada N. tabacum Nitsch (1974) melaporkan 58% pembentukan embrioid apabila tunas bunga diberi pra-perlakuan suhu rendah pada 5oC selama 72 jam. Sebaliknya, hanya 21% antera memproduksi embrioid apabila tunas bunga diberi pra-perlakuan 21oC untuk periode waktu yang sama. Suatu peningkatan regenerasi tanaman hijau yang signifikan dicapai pada kultur antera Secale cereale kultivar spring dan winter apabila antera terlebih dahulu diberi pra-perlakuan suhu rendah 4oC selama 2 - 4 minggu sebelum inisiasi kultur (Immonen dan Anttila, 1999). Pada kultur antera O. sativa var. indica
Bishnoi et al. (2000) menemukan bahwa pra-perlakuan suhu rendah (10oC) selama 10 hari terbukti efektif untuk induksi embriogenesis mikrospora. Pra-perlakuan antera dengan suhu rendah pada 4oC juga terbukti bermanfaat pada kultur antera Vitis vinifera (Bensaad dan Hennerty, 1996), Secale sereale (Immonen dan Anttila, 1999) dan triticale (× Triticosecale) (Immonen dan Robinson, 2000). Akan tepai pada H. vulgare hasil yang lebih baik diperoleh dengan starvasi manitol sebagai ganti pra-perlakuan suhu rendah (Cistué et al., 1995). Pra-perlakuan antera pada medium starvasi yang dilengkapi dengan manitol juga terbukti efektif untuk androgenesis pada T. aestivum (Indrianto
et al., 1999).
Peranan pra-perlakuan suhu rendah merupakan refleksi dari pengaruh suhu terhadap metabolisme jaringan. Pada suhu rendah laju metabolisme mengalami penurunan dikarenakan berkurangnya aktifitas enzim. Penempatan jaringan pada kondidi in vitro yang normal dapat
memacu jaringan tersebut untuk memulai metabolisme dengan lintasan yang baru. Nitsch (1974) menyatakan bahwa pra-perlakuan suhu rendah mempengaruhi pembelahan pertama pada mikrospora, dan oleh karenanya terbentuk dua inti yang identik, bukan satu inti vegetatif dan satu inti generatif.
Kadang-kadang memberi pra-perlakuan pada antera dengan suhu tinggi sebelum inisiasi kultur dapat pula meningkatkan androgenesis. Misalnya memperlakukan antera B. compestris
(Keller dan Armstrong, 1979) dan B. oleracea
var. italica (Arnison et al., 1990) dengan suhu 35oC selama 24 jam sebelum dikulturkan pada suhu 25oC dapat meningkatkan embriogenesis mikrospora. Selanjutnya, pra-perlakuan suhu 32oC selama 5 hari yang diberikan pada antera
Avena sativa dan A. sterilis merupakan
pra-perlakuan yang paling baik untuk induksi pembentukan embrio (Kiviharju dan Pehu, 1998). Pra-perlakuan stres terhadap antera ini merupakan faktor penting untuk memblokir perkembangan gametofitik dan untuk memicu embriogenesis pada mikrospora yang kompeten (Touraev et al., 1997).
Media cair vs. media padat
Selain komposisi hara, sifat-sifat fisik medium hendaknya juga dipertimbangkan dalam kultur jaringan. Media yang dipadatkan dengan agar telah digunakan secara luas pada berbagai sistem kultur jaringan, namun pemanfaatan media cair kini juga makin populer. Androgenesis pada T. aestivum (Trottier et al., 1993) dan H. vulgare (Trottier et al., 1993; Cistué et al., 1995) terjadi pada media cair. Sementara itu embriogenesis mikrospora pada kultur antera O. sativa (Bishnoi et al., 2000; Aryan, 2002) berhasil diinduksi pada media padat. Namun demikian, baik media cair maupun media padat terbukti tidak berhasil menginduksi androgenesis pada kultur antera S.
formosa (Tade, 1992).
Zulkarnain: Pemanfaatan Metoda Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman
5 Penambahan Ficoll-400 ke dalam medium cair
meningkatkan jumlah embrio dan tanaman hijau yang diregenerasikan pada kultur antera H.
vulgare (Cistué et al., 1995). Pada T. aestivum
Zhou (1992) menemukan bahwa Ficoll-400 nyata menurunkan produksi kalus namun meningkatkan persentase kalus yang dapat beregenerasi serta meningkatkan rasio tanaman hijau:albino. Immonen dan Robinson (2000) melaporkan bahwa Ficoll-400 meningkatkan induksi androgenesis pada triticale (× Triticosecale) kultivar Bor 96151 sebesar tiga hingga empat kali lipat, tetapi pada kultivar Modul dan Wintri induksi androgenesis tetap sama atau bahkan merosot. Pengaruh positif dati Ficoll-400 adalah dikarenakan kemampuannya untuk memperbaiki kerapatan, viskositas dan osmolalitas medium (Zhou et al., 1992).
Suatu pendekatan baru pada kultur antera adalah penggunaan medium fase ganda (
double-phase). Antera dikulturkan pada satu lapisan
tipis medium cair, yang berada di atas agar padat di dalam wadah kultur. Metode ini terbukti berhasil pada kultur antera triticale (×
Triticosecale) (Immonen dan Robinson, 2000).
Kondisi lingkungan kultur
Selain persyaratan bahan tanaman sebagai-mana dikemukan di atas, faktor-faktor lingkung-an di mlingkung-ana kultur ditempatklingkung-an juga memainklingkung-an peranan penting bagi keberhasilan embriogenesis mikrospora. Beberapa faktor kunci untuk induksi androgenesis dibahas berikut ini.
Cahaya
Cahaya memainkan peranan penting dalam induksi endrogenesis, namun respon yang diperlihatkan oleh antera atau pun mikrospora yang dikulturkan berbeda antara spesies. Sopory and Maheshwari (1976) melaporkan bahwa pengaruh adanya pengaruh positif dari cahaya terhadap kultur antera D. innoxia. Sopory, Jacobsen dan Wenzel (1978) juga melaporkan hal yang sama pada Solanum tuberosum. Pada sejumlah spesies, frekuensi pembentukan individu haploid dan pertumbuhan plantlet lebih baik pada kondisi terang dari pada kondisi gelap (Nitsch, 1977). Misalnya pada tanaman cabe (Mitykó et al., 1996), fotoperiodesitas 12 jam per hari dengan intensitas cahaya kira-kira 37 µmol m-2 s-1 sangat efektif untuk embriogenesis mikrospora. Akan tetapi pada kultur antera N.
tabacum, inkubasi awal pada kondisi gelap perlu
dilakukan untuk pembentukan embrioid (Sunderland dan Roberts, 1977). Perbedaan kebutuhan akan cahaya yang terdapat pada spesies yang berbeda ini kemungkinan
disebabkan oleh perubahan pada kadar hormon endogen, terutama auksin, sebagai refleksi atas responnya terhadap cahaya.
Suhu
Secara umum, suhu untuk kultur in vitro di tetapkan antara 25 hingga 30oC, tergantung pada tipe kultur dan tujuan penelitian. Suhu awal berperan penting bagi embriogenesis mikrospora meskipun nampaknya tergantung pada spesies tanaman. Pada gandum musim semi (McGregor dan McHughen, 1990) perlakuan suhu menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap androgenesis. Induksi kalus dan regenerasi tanaman yang maksimum dicapai pada antera yang dikulturkan selama 14 atau 28 hari pada suhu 30oC sebelum dipindahkan ke suhu to 28oC. Pada kultur antera C. annuum, dibutuhkan inkubasi awal di dalam kondisi gelap selama 8 hari pada suhu 35oC sebelum kultur tersebut dihadapkan pada fotoperiodesitas 12 jam per hari dengan suhu 25oC (Mitykó et al., 1996). Hal yang sama juga dijumpai pada tanaman flax (L.
usitatissimum), di mana kultur antera selama
sehari pada suhu 35oC sebelum dipindahkan ke suhu 25oC secara kontinyu di dalam keadaan gelap nyata meningkatkan efisiensi regenerasi tanaman (Chen et al., 1998b). Sebagaimana diketahui bahwa naiknya suhu dapat menghambat sintesis protein, yang mengarah pada induksi sporofitik. Selain itu, sentakan suhu tinggi (heat shock) dapat menyebabkan rusaknya organ pengendali post-transcriptional yang telah ada di dalam mikrospora. Bate, Spurr, Foster dan Twell. (1996) menyatakan bahwa dalam beberapa hal tertentu translasi transkrip gen spesifik polen meningkat, sedangkan transkrip gen-gen lain kemungkinan terhambat yntuk sementara hingga tahap perkembangan kemudian (Curie dan MacCormick, 1997). Rusaknya mekanisme kontrol post-transcriptional ini kemungkinan menyebabkan terjadinya pemrograman ulang di dalam mikrospora, yang secara seharusnya berkembang menjadi sel-sel seksual, namun justru menjadi tanaman lengkap.
Nutrisi mineral
Jurnal Agronomi 8(1): 1–10
6
1962), LS (Linsmaier dan Skoog, 1965), B5 (Gamborg et al., 1968), Nitsch (Nitsch, 1969), WPM (Lloyd dan McCown, 1980), R2M (Wang dan Hu, 1984) dan FHG (Cistué et al., 1995).
Kebutuhan akan nutrisi bagi kultur mikrospora lebih kompleks dari pada kultur antera. Pada kultur mikrospora, beberapa faktor tertentu yang berperanan di dalam induksi androgenesis yang selama ini disediakan oleh antera, bisa jadi tidak ada; dan faktor tersebut harus tersedia melalui medium kultur (Reinert dan Bajaj, 1977). Misalnya antera N. tabacum
berhasil dikulturkan dengan baik pada medium dasar yang sederhana, sedangkan kultur mikrosporanya membutuhkan nitrogen dalam jumlah yang lebih besar dalam bentuk asam-asam amino (Reinert et al., 1975).
Kehadiran unsur-unsur mikro, terutama sekali besi dalam dalam bentuk Fe-EDTA, diketahui penting bagi embriogenesis mikrospora. Pada penelitian kultur mikrospora
N. tabacum (Kyo, 1990) dan kultur anther
Anemone canadensis (Johansson et al., 1990)
penambahan Fe-EDTA terbukti meningkatkan embriogenesis mikrospora. Ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA) adalah suatu senyawa kelat, di mana besi diikat tetapi masih tetap tersedia pada pH hingga 8.0 selama pertumbuhan kultur. Ketersediaan besi dapat berkurang secara tajam apabila di dalam medium kultur tidak ditambahkan senyawa kelat (Dixon, 1985). Zat pengatur tumbuh
Penambahan zat pengatur tumbuh ke dalam medium kultur perlu dilakukan untuk mendukung keberhasilan induksi embriogenesis mikrospora. Auksin dan sitokinin adalah dua zat pengatur tumbuh yang paling banyak digunakan di dalam kultur antera maupun kultur mikrospora berbagai spesies tanaman. Pada kultur antera tanaman-tanaman dari famili Poaceae and Brassicaceae biasanya ditambahkan 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) (Bishnoi et al., 2000). Mitykó et al. (1996) menggunakan 2,4-D dan kinetin untuk menginduksi pembentukan embrio haploid pada kultur antera
C. annuum, dan zat pengatur tumbuh yang sama
juga digunakan oleh Metwally, Moustafa, El-Sawy dan Shalaby (1998) untuk mendapatkan plantlet haploid dari kultur antera Cucurbita pepo. Plantlet hijau yang sehat berhasil diregenerasikan dari kultur mikrospora H.
vulgare berkat adanya auksin seperti indoleacetic
acid (IAA) atau naphthaleneacetic acid (NAA) (Castillo et al., 2000).
Kinetin dan benzylamino purine (BAP) adalah dua jenis sitokinin yang dapat meningkatkan regenerasi pucuk dari dalam kalus
yang berasal dari kultur antera Oryza sativa
(Bishnoi et al., 2000). Jenis sitokinin yang lain, zeatin, diketahui lebih efektif dibandingkan dengan thidiazuron (TDZ) dalam meningkatkan perkembangan pucuk dari dalam kalus L.
usitatissimum yang berasal dari kultur antera
(Chen et al., 1998a).
Meskipun pemberian zat pengatur tumbuh terbukti meningkatkan embriogenesis mikrospora pada sebagian besar spesies, apabila kehadirannya di dalam medium kultur dihilangkan bersamaan dengan diturunkannya konsentrasi sukrosa secara simultan akan berdampak pada terjadinya inisiasi embriogenesis atau organogenesis pucuk pada kultur antera S. columbaria (Romeijn dan Lammeren, 1999). Hal ini mendukung asumsi bahwa kebutuhan akan auksin dan sitokinin eksogen tergantung pada kadar auksin dan sitokinin endogen di dalam antera (Reinert dan Bajaj, 1977).
Sumber karbon
Sukrosa adalah polisakarida yang paling banyak digunakan di dalam kultur jaringan, meskipun sumber karbon yang lain seperti glukosa, maltosa dan fruktosa adakalanya digunakan tergantung pada macam dan tujuan penelitian (Trottier et al., 1993; Coumans dan Zhong, 1995; Kiviharju dan Pehu, 1998).
Reinert and Bajaj (1977) menyatakan bahwa kadar normal sukrosa di dalam kebanyakan sistem kultur antera adalah 2 – 4%. Akan tetapi Metwally et al. (1998) melaporkan bahwa sukrosa konsentrasi tinggi (15%) menghasilkan lebih banyak plantlet pada kultur antera C. pepo
dibandingkan dengan konsentrasi lebih rendah. Sebaliknya, Zhong et al. (1995) melaporkan adanya peningkatan perkecambahan embrio pada antera H. annuus bila dikulturkan pada media dengan konsentrasi sukrosa yang dikurangi secara terus-menerus.
Pada kultur mikrospora, Coumans and Zhong (1995) menemukan bahwa maltosa memperlihatkan pengaruh yang lebih baik dibandingkan sukrosa ataupun kombinasi antara glukosa dan fruktosa. Maltosa terbukti merupakan sumber karbon yang lebih baik dibandingkan dengan sukrosa pada kultur antera
Avena sativa and A. sterilis (Kiviharju dan Pehu,
1998). Penggunaan 3% maltosa di dalam medium kultur menghasilkan plantlet yang lebih sehat pada kultur mikrospora H. vulgare
Zulkarnain: Pemanfaatan Metoda Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman
7 yang dipadatkan dengan agarose. Namun
demikian, pada kultur antera H. vulgare
pengaruh maltosa sebagai pengganti sukrosa nampaknya tergantung pada genotipe The effect of maltose as a sucrose substitute, however, seems to be genotype dependent in H. vulgare
anther culture (Trottier et al., 1993). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh sumber karbon lebih bersifat osmotik dari pada sebagai respon terhadap sumber karbohidrat. Telah diketahui bahwa sumber karbon yang berbeda menghasilkan potensi osmotik yang berbeda pula di dalam medium dikarenakan perbedaan berat molekulnya. Potensi osmotik medium merupakan faktor kunci untuk penyerapan air dan konstituen lain oleh antera atau pun mikrospora yang dikulturkan, sehingga mempengaruhi keberhasilan androgenesis.
PENUTUP
Pemanfaatan teknologi haploid dan doubled-haploid masih memerlukan eksploitasi lebih jauh untuk sejumlah spesies tanaman. Keberhasilan pada suatu kultivar atau galur belum tentu dapat diadopsi secara menyeluruh untuk kultivar atau galur-galur lain. Bukti dari sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa sekalipun spesies dari genus yang sama atau bahkan dari genotipe dari spesies yang sama dapat memperlihatkan respon yang berbeda terhadap perlakuan yang sama. Oleh karenanya, pemanfaatan teknologi ini untuk program pemuliaan tanaman masih harus menempuh perjalanan panjang, sekalipun dalam skala penelitian telah memperlihatkan prospek yang sangat baik.
DAFTAR PUSTAKA
Arnison, G. P., Donaldson, A., Jackson, A., Semple, C. dan Keller, W. 1990. Genotypic-specific response of cultured broccoli
(Brassica oleracea var. italica) anther to
cytokinin. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 20: 217-222.
Aryan, A. P. 2002. Production of double haploids in rice: anther vs. microspore culture. In 'The Importance of Plant Tissue Culture and Biotechnology in Plant Sciences'. Armidale. (Ed. R Williams) pp. 201-208. (University of New England Press) Bate, N., Spurr, C., Foster, G. D. dan Twell, D.
1996. Maturation-specific translational enhancement mediated by the 5'-UTR of a
late pollen transcript. Plant Journal 10: 613-623.
Bayliss, K. L., Wroth, J. M. dan Cowling, W. A. 2002. Production of multicellular microspores of Lupinus species: first step toward haploid lupin embryos. In 'The Importance of Plant Tissue Culture and Biotechnology in Plant Sciences'. Armidale. (Ed. R Williams) pp. 145-157. (University of New England Press)
Bensaad, Z. M. dan Hennerty, M. J. 1996. Effects of cold pretreatment, carbohydrate source and gelling agents on somatic embryogenesis from anthers of Vitis vinifera
L. cvs. "Regina" and "Reichensteiner". In 'International Symposium on Plant Production in Closed Ecosystems: Automation, Culture, and Environment'. Narita, Japan. (Ed. S Sase) pp. 504-509. (International Society for Horticultural Science)
Bishnoi, U., Jain, R. K., Rohilla, J. S., Chowdhury, V. K., Gupta, K. R. dan Chowdury, J. B. 2000. Anther culture of recalcitrant indica x Basmati rice hybrids. Euphytica 114: 93-101.
Castillo, A. M., Vallés, M. P. dan Cistué, L. 2000. Comparison of anther and isolated microspore cultures in barley. Effects of culture density and regeneration medium. Euphytica 113: 1-8.
Chen, Y., Hausner, G., Kenaschuk, E., Procunier, D. J., Dribnenki, P. dan Penner, G. 1998a. High frequency of plant regeneration from anther culture in flax
(Linum usitatissimum L.). Plant Breeding
117: 463-467.
Chen, Y., Kenaschuk, E. O. dan Procunier, D. J. 1998b. Plant regeneration from anther culture in Canadian cultivars of flax (Linum
usitatissimum L.). Euphytica 102.
Christou, P. 1992. 'Genetic Engineering and In Vitro Culture of Crop Legumes.' (Technomic Publishing Co. Inc.: Lancaster, Pennsylvania)
Cistué, L., Ziauddin, A., Simion, E. dan Kasha, K. J. 1995. Effects of culture conditions on isolated microspore response of barley cultivar Igri. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 42: 163-169.
Jurnal Agronomi 8(1): 1–10
8
Plant Cell, Tissue and Organ Culture 41: 203-209.
Croughan, T. P. 1995. Anther Culture for Doubled Haploid Production. In 'Plant Cell, Tissue and Organ Culture: Fundamental Methods'. (Ed. GC Phillips) pp. 143-152. (Springer Verlag: Berlin)
Curie, C. dan MacCormick, S. 1997. A strong inhibitor of gene expression in the 5' untranslated region of the pollen-specific LAT59 gene of tomato. The Plant Cell 9: 2025-2036.
Custers, J., Visser, M., Snijder, R., Litovkin, K. dan Geest, L. v. d. 2001. 'Model plants pave the way to haploid technology; microspore embryogenesis in ornamentals.' Plant Research International B.V., Wageningen, The Netherlands.
Dixon, A. R. 1985. 'Plant Cell Culture: A Practical Approach.' (IRL Press Ltd: Oxford)
Dodds, J. H. dan Roberts, L. W. 1985. Experiments in Plant Tissue Culture. In. (Cambridge University Press: Cambridge) Dunwell, J. M. 1974. Influence of in vivo growth
conditions of tobacco plants on the in vitro
embryogenic of their anthers. In 'Haploids in Higher Plants: Advances and Potential'. Guelph, Canada. (Ed. KJ Kasha) p. 140. (University of Guelph)
Dunwell, J. M. 1986. Pollen, ovule and embryo culture as tools in plant breeding. In 'Plant Tissue Culture and its Agricultural Application'. (Ed. PG Alderson) pp. 375-404. (Butterworths: London)
Ferrie, A. M. R. dan Keller, W. A. 1995. Microspore Culture for Haploid Plant Production. In 'Plant Cell, Tissue and Organ Culture: Fundamental Methods'. (Ed. GC Phillips) pp. 155-164. (Springer Verlag: Berlin)
Gamborg, O. L., Millers, R. A. dan Ojima, K. 1968. Nutrient requirements of suspension cultures of soybean root cells. Experimental Cell Research 50: 151-158.
Gharyal, P. K., Rashid, A. dan Maheshwari, S. C. 1983. Production of haploid plantlets in anther cultures of Albizzia lebbeck L. Plant Cell Reports 2: 308-309.
Guo, Y.-D., Sewón, P. dan Pulli, S. 1999. Improved embryogenesis from anther culture and plant regeneration in timothy. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 57: 85-93.
Hoekstra, S., Bergen, S. v., Brouwershaven, I. R. v., Schilperoort, R. A. dan Wang, M. 1997. Androgenesis in Hordeum vulgare L: effects of mannitol, calcium and abscisic acid on anther pretreatment. Plant Science 126: 211-218.
Höfer, M., Touraev, A. dan Heberle-Bors, E. 1999. Induction of embryogenesis from isolated apple microspores. Plant Cell Reports 18: 1012-1017.
Hyun, S. K., Kim, J. H., Noh, E. W. dan Park, J. I. 1986. Induction of haploid plants of
Populus species. In 'Plant Tissue Culture
and its Agricultural Application'. (Ed. PG Alderson) pp. 413-418. (Butterworths: London)
Immonen, S. dan Anttila, H. 1999. Cold pretreatment to enhance green plant regeneration from rye anther culture. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 57: 121-127. Immonen, S. dan Robinson, J. 2000. Stress
treatment and Ficoll for improving green plant regeneration in triticale anther culture. Plant Science 150: 77-84.
Indrianto, A., Haberle-Bors, E. dan Touraev, A. 1999. Assesment of various stresses and carbohydrates for their effect on the induction of embryogenesis in isolated wheat microspores. Plant Science 143: 71-79.
Johansson, B. L., Calleberg, E. dan Gedin, A. 1990. Correlations between activated charcoal, Fe-EDTA and other organic media ingredients in cultured anthers of Anemone
canadensis. Physiologia Plantarum 80.
Kaur, P. dan Bhalla, J. K. 1998. Regeneration of haploid plants from microspore culture of pigeon pea (Cajanus cajun L.). Indian Journal of Experimental Biology 36: 736-738.
Keller, W. A. dan Armstrong, K. C. 1979. Stimulation of embryogenesis and haploid production in Brassica campestris anther cultures by elevated temperature treatment. Theoretical and Applied Genetics 55: 65-67. Kiviharju, E. dan Pehu, E. 1998. The effect of
cold and heat pretreatment on anther culture response of Avena sativa and A. sterilis. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 54: 97-104.
Zulkarnain: Pemanfaatan Metoda Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman
9 response of Capsicum annuum L. Euphytica
67: 105-109.
Kyo, M. 1990. Effects of EDTA and acidified medium on the dedifferentiation of immature pollen in a tobacco pollen culture. Plant and Cell Physiology 31: 1249-1251. Lentini, Z., Reyes, P., Martínez, C. P. dan Roca,
W. M. 1995. Androgenesis of highly recalcitrant rice genotypes with maltose and silver nitrate. Plant Science 161: 677-683. Lichter, R. 1982. Induction of haploid plants
from isolated pollen of Brassica napus. Zeitschrift für Pflanzenphysiologie 105: 427-434.
Linsmaier, E. M. dan Skoog, F. 1965. Organic growth factor requirements of tobacco tissue cultures. Physiologia Plantarum 18: 100-127 Lloyd, G. B. dan McCown, B. H. 1980.
Commercially feasible micropropagation of mountain laurel (Kalmia latifolia) by use of shoot tip culture. Proceedings of the International Plant Propagators' Society 30: 412-427.
Marinkovic, N. dan Radojevic, L. 1992. The influence of bud length, age of the tree and culture media on androgenesis induction in
Aesculus carnea Hayne anther culture. Plant
Cell, Tissue and Organ Culture 31: 51-59. McGregor, J. L. dan McHughen, A. 1990. The
influence of various cultural factors on anther culture of four cultivars of spring wheat (Triticum aestivum L.). Canadian Journal of Plant Science 70: 183-191.
Metwally, E. I., Moustafa, S. A., El-Sawy, B. I. dan Shalaby, T. A. 1998. Haploid plantlets derived by anther culture of Cucurbita pepo. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 52: 171-176.
Mitykó, J., Andrásfalvy, A. dan Fári, M. 1996. Hungarian pepper cultivar breaks through traditional barriers in breeding practices. Hungarian Agricultural Research 1: 18-22. Murashige, T. dan Skoog, F. 1962. A revised
medium for rapid growth and bio assays with tobacco tissue cultures. Physiologia Plantarum 15: 473-497.
Nichterlein, K. dan Friedt, W. 1993. Plant regeneration from isolated microspores of linseed (Linum usitatissimum L.). Plant Cell Reports 12: 426-430.
Nitsch, C. 1974. Pollen culture - a new technique for mass production of haploid and homo-zygous plants. In 'Haploids in Higher Plants: Advances and Potential'. Guelph, Canada.
(Ed. KJ Kasha) pp. 123-125. (University of Guelph)
Nitsch, C. 1981. Production of isogenic lines: basic technical aspects of androgenesis. In 'Plant Tissue Culture: Methods and Application in Agriculture'. (Ed. TA Thorpe) pp. 241-252. (Academic Press, Inc.: New York)
Nitsch, J. P. 1969. Experimental androgenesis in
Nicotiana. Phytomorphology 19: 389-404.
Nitsch, J. P. 1977. Culture of isolated microspores. In 'Applied and Fundamental Aspects of Plant Cell, Tissue and Organ Culture'. (Ed. YPS Bajaj) pp. 268-278. (Springer-Verlag: Berlin)
Palmer, C. E. dan Keller, W. A. 1997. Pollen Embryos. In 'Pollen Biotechnology for Crop Production and Improvement'. (Ed. VK Sawhney) pp. 392-422. (Cambridge University Press: Cambridge)
Rao, P. V. dan De, D. N. 1987. Haploid plants from in vitro anther culture of the leguminous tree, Peltophorum pterocarpum
(DC) K. Hayne (Copper pod). Plant Cell, Tissue and Organ Culture 11: 167-177. Reinert, J. dan Bajaj, Y. P. S. 1977. Anther
culture: haploid production and its significance. In 'Applied and Fundamental Aspects of Plant Cell, Tissue and Organ Culture'. (Ed. YPS Bajaj) pp. 251-267. (Springer-Verlag: Berlin)
Reinert, J., Bajaj, Y. P. S. dan Haberle-Bors, E. 1975. Induction of haploid tobacco plants from isolated pollen. Protoplasma 84: 191-196.
Romeijn, G. dan Lammeren, A. A. M. v. 1999. Plant regeneration through callus initiation from anthers and ovules of Scabiosa
columbaria. Plant Cell, Tissue and Organ
Culture 56: 169-177.
Saïdi, N., Chlyah, O. dan Chlyah, H. 1998. Production of green diploid durum wheat plants by pollination of wheat with maize. Canadian Journal of Botany 76: 652-656. Sopory, S. K., Jacobsen, E. dan Wenzel, G.
1978. Production of mono-haploid embryoids and plantlets in cultured anthers
of Solanum tuberosum. Plant Science Letter
12: 47-54.
Jurnal Agronomi 8(1): 1–10
10
Sunderland, N. 1974. Anther Culture as a Means of Haploid Induction. In 'Haploids in Higher Plants: Advances and Potential'. Guelph, Canada pp. 91-122. (University of Guelph) Sunderland, N. dan Roberts, M. 1977. A new
approach to pollen culture. Nature 270: 236-238.
Tade, E. 1992. Anther and ovule culture of
Clianthus formosus. Master of Rural Science
thesis, University of New England.
Taji, A., Kumar, P. dan Lakshmanan, P. 2002. 'In
Vitro Plant Breeding.' (Haworth Press, Inc.:
New York)
Takahata, Y., Komatsu, H. dan Kaizuma, N. 1996. Microspore culture of radish (
Rapha-nus sativus L.): influence of genotype and
culture conditions on embryogenesis. Plant Cell Reports 16: 163-166.
Tomasi, P., Dierig, D. A., Backhaus, R. A. dan Pigg, K. B. 1999. Floral bud and mean petal length as morphological predictors of microspore cytological stage in Lasquerella. HortScience 34: 1269-1270.
Touraev, A., Indrianto, A., Wratschko, I. dan Vicente, O. 1996. Efficient microspore em-bryogenesis in wheat (Triticum aestivum L.) induced by starvation at high temperature. Sexual Plant Reproduction 9: 209-215. Touraev, A., Vicente, O. dan Heberle-Bors, E.
1997. Initiation of microspore embryogenesis by stress. Trends in Plant Science 2: 285-323.
Trottier, M.-C., Collin, J. dan Comeau, A. 1993. Comparison of media for their aptitude in wheat anther culture. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 35: 59-67.
Vicente, O., Garrido, D., Zarsky, V., Eller, N., Rihova, L., Berenyi, M., Tupy, J. dan Heberle-Bors, E. 1992. Induction of Embryogenesis in Isolated Pollen Cultures of Tobacco. In 'Angiosperm Pollen and Ovules'. (Ed. GB Mulcahy) pp. 279-284. (Springer Verlag: Berlin)
Wang, X. dan Hu, H. 1984. The effect of potato II medium for Triticale anther culture. Plant Science Letter 36: 237-239.
White, P. R. 1962. 'The Cultivation of Animal and Plant Cells.' (Ronald Press: New York) Zagorska, N., Dimitrov, B., Gadeva, P. dan
Robeva, P. 1997. Regeneration and characterisation of plants obtained from anther culture of Medicago sativa L. In
Vitro Cellular and. Developmental Biology -
Plant 33: 107-110.
Zhao, J., Simmonds, D. H. dan Newcomb, W. 1996. High frequency production of double haploid plants of Brassica napus cv. Topas derived from colchicine-induced microspore embryogenesis without heat shock. Plant Cell Reports 15: 668-671.
Zhong, D., Michaux-Farriére, N. dan Coumans, M. 1995. Assay for doubled haploid sunflower (Helianthus annuus) plant production by androgenesis: fact or artifact? Part 1. In vitro anther culture. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 41: 91-97.
Zhou, H., Ball, S. T. dan Konzak, C. F. 1992. Functional properties of Ficoll and their influence on anther culture responses of wheat. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 30: 77-83.
Zulkarnain. 2003. The production of tetraploid
Swainsona formosa by colchicine
mutagenesis. Jurnal Agronomi Universitas Jambi 7: 1-4.
Zulkarnain. 2004. Comparison of diploid
Swainsona formosa and their tetraploid
relatives obtained from oryzalin treatment. Hayati 11: 6-10.