• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tetralogi Pulau Buru Bumi Manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tetralogi Pulau Buru Bumi Manusia"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia)

Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia) Pramoedya akhirnya selesai.

Buku ketiga, Jejak Langkah, paling tebal di antara ke empat buku yang disebut tetralogi ini. Dalam buku ketiga ini Minke mulai melangkah dan menapaki jalan pergerakan. Perjalanan dari mulai pertama kali menapakkan kaki di Batavia, hari pertama di STOVIA, bertemu dengan Ang San Mei yang kemudian ia nikahi, sampai dengan Mei meninggal karena hepatitis. Minke dikeluarkan dari STOVIA dengan beban mengganti uang biaya pendidikan dan uang saku selama di STOVIA.

Langkah baru Minke dimulai begitu ia keluar dari pelataran STOVIA. Minke kemudia bekerja di agen adpertensi. Tidak lama, Minkepun membuat penerbitan sendiri yang diberi nama “Medan Prijaji,” seiring dengan berdirinya perkumpulan atau organisasi modern pertama yaitu Sarikat Prijaji. Perkumpulan para priyayi (yang diharapkan mampu menjadi motor penggerak bagi pergerakan nasional) ternyata tidak bertahan lama. Minke tidak putus asa, ia bersama beberapa orang kemudian mendirikan perkumpulan yang dinamai Sarikat Dagang Islam (SDI) yang kelak menjadi cikal bakal Syarikat Islam setelah dipimpin oleh Crokroaminoto. Selama

perjuangangannya itu Minke bertemu dengan Prinses Kasiruta, Putri Ambon yang sedang dalam masa pembuangan di Jawa. Dan merekapun menikah.

Minke berkembang menjadi seorang pengusaha sukse sekaligus pemimpin pergerakan yang konsisten melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Tapi kehidupan dan perjuangan Mingke masih dibayang-bayangi orang dari masa lalunya, Robert Suurhoff! Yang ternyata mendirikan kelompok anti pribumi yang punya tugas “menumpas” pergerakan pribumi di luar jalur “resmi” dan kebal hukum.

Langkah Mingke dihentikan oleh Pemerintah Kolonial Belandan dengan mengutus seorang Komisaris Polisi untuk mengawasi Minke dan kemudian menjemput Mingke untuk dibawa ke pengasingan di daerah Timur Indonesia.

Buku keempat, berjudul Rumah Kaca. Kali ini bukan Minke yang bercerita, tapi Komisaris Polisi bernama Jaques Pangemann, yang memang bertugas mengawasi Mingke dan kemudian

mengantar ke tempat pembuangannya. Pangemanann mengandaikan memiliki rumah kaca yang di dalamnya ada Minke beserta keluarga, pegawai, serta pengikutnya. Setiap kegiatan, tindakan, perkataan Minke, apapun yang dilakukannya pasti akan sampai di telinga dan meja

Pangemanann. Ia melukiskan perang batin yang terjadi dalam dirinya selama ia mengemban tugas itu. Bagaimana tidak, Pangemanann sendiri adalah seorang pribumi yang (kebetulan) diadopsi oleh keluarga Perancis dan diberi pendidikan Eropa, selain itu jauh di lubuk hatinya ia adalah pengagum Minke dan perjuangan yang dilakukan Minke, bahkan diam-diam

(2)

Uang, jabatan dan kekuasaan telah membuat Pangemanann mengesampingkan banyak hal. Demi ketiga hal itu, Pangemanann rela melepaskan anak istrinya. Pangemanann tidak lagi bisa

memilah dan memilih, ia terobsesi kepada Minke dan seluruh pergerakan serta orang-orang yang mengikuti jejak Minke.

Pangemanann menceritakan bagaimana Minke setelah kembali dari pengasingannya dan kemudian meninggal di Betawi. Perjalanannya ditutup dengan kehadiran Nyai Ontosoroh yang telah menikah dengan Jean Marais dan pindah ke Perancis. Ia datang untuk mencari Mingke dan yang ia temukan hanya kuburannya saja.

Tokoh dan peristiwa dalam buku Pram ternyata adalah nyata adanya. Berikut ini adalah kutipan dari wawancara dengan Pram dan Hesri yang diambil dari

http://www.antenna.nl/wvi/bi/puis/pram/toer.html tentang tokoh-tokoh dalam tetralogi Pulau Buru.

Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora tahun 1880. TAS yang tak

menyelesaikan sekolahnya di STOVIA Batavia pindah ke Bandung dan menikah. Di Bandung TAS menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905) dan Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Sebelum menerbitkan “Medan Prijaji”, Januari 1904 TAS mendirikan dulu badan hukum N.V. Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften Medan Prijaji. Medan Prijaji beralamat di jalan Naripan Bandung yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK). Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Selain di bidang pers, TAS juga aktif dalam pergerakan nasional, ia mendirikan Sarikat Dagang Islam di Jakarta yang kelak berubah menjadi Sarekat Islam bersama H.O.S. Tjokroaminoto, . Pada tahun 1909, TAS membongkar skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon. Delik pers pun terjadi, TAS dituduh menghina pejabat Belanda, terkena

Drukpersreglement 1856 (ditambah Undang-undang pers tahun 1906). Meskipun TAS memiliki forum privilegiatum (sebagai ningrat, keturunan Bupati Bojonegoro) ia dibuang ke Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan.

Pada pertengahan kedua tahun 1910, Medan Prijaji diubah menjadi harian ditambah edisi Mingguan, dan dicetak di percetakan Nix yang beralamat di Jalan Naripan No 1 Bandung. Inilah harian pertama yang benar-benar milik pribumi. Masa kejayaan Medan Prijaji antara 1909-1911 dengan tiras sebanyak 2000 eksemplar.

Pemberitaan-pemberitaan harian Medan Prijaji sering dianggap menyinggung pemerintahan Kolonial Hindia Belanda saat itu. Di tahun 1912 Medan Prijaji terkena delik pers yang dianggap menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi putera R. Adipati Djodjodiningrat (suami R.A. Kartini) menggantikan ayahnya. TAS pun dijatuhi

pembuangan ke pulau Bacan, wilayah Halmahera selama 6 bulan, namun baru diberangkatkan setahun kemudian karena masalah perekonomian penerbitan Medan Prijaji dengan para krediturnya.

(3)

Dua Jakarta kemudian dipindahkan ke Bogor pada tahun 1973. Di nisannya tertulis, Perintis Kemerdekaan; Perintis Pers Indonesia.

Tetralogi Pulau buru yang menceritakan tentang R.M. T.A.S. (1875-1918) yang merupakan pelopor jurnalistik terutama investigasi. Ia lahir dan hidup jauh sebelum penulisnya lahir. Dalam tiga buku pertama, Pram “menjadi” Minke yang menceritakan perjalanan hidupnya dari ketika ia masih sekolah di H.B.S. sampai dengan ia dijemput untuk diasingkan. Sementara di buku

keempat, Pram menjelma menjadi Jaques Pangemanann, yang merangkum kehidupan Minke sampai dengan hari Mingke meninggal. Untuk mampu “memerankan” Minke dan Pangemanann, Pram tentu saja telah melakukan pemahaman sejarah, yaitu usaha menempatkan diri ke dalam peristiwa, thinking oneself into the events, untuk memahami pikiran para pelaku (Dhakidae, 2003:194). usaha ini desebut “Sejarah Dalam.” Untuk mengimbanginya, Pram juga tentu saja mengumpulkan banyak akta tentang Mingke sekaligus cerita fiksi yagn melingkupinya sebagi penyeimbang pemahaman sejarahnya. Yang belakangan ini disebut sebagai “Sejarah luar.”

Perpaduan kedua “teknik’ pemahaman sejarah itu membuat buku ini terasa baru bagi

pembacanya, terutama mereka yang lahir dan besar di masa Orde Baru. Selama bertahun-tahun belajar di bangku sekolah, kita diajarkan sejarah melalui mata pelajaran sejarah dan PSPB yang mengajarkan sejarah mainstream versi pemerintah Orde Baru yang tidak kenal siapa itu Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Banyak hal baru yang bisa ditemukan dalam buku-buku Pram yang berbeda dengan sejarah mainstream. Mungkin karena hal inilah pemerintah Orde Baru melarang diterbitkannya keempat buku ini.

Daftar Pustaka :

Dhakidae, Daniel, Cendekiwan dan Kekuasaan, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003

(4)

Tetralogi Pulau Buru

Pertama kali saya mengenal karya Pramoedya Ananta Toer adalah pada bulan Juni 2001 melalui buku berjudul Gadis Pantai. Saya yang punya nafsu baca besar tapi modal seadanya, mendapat pinjaman buku ini dari teman se-kost. Dia juga meminjami 3 buku pertama dari Tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa dan Jejak Langkah (pada akhirnya buku ini menjadi milik saya). Dari membaca buku-buku tersebut, saya langsung jatuh cinta setengah mati terhadap semua karya Pramoedya Ananta Toer. Selanjutnya saya buru semua karya Pramoedya Ananta Toer setiap kali saya punya rizki berlebih.

Bumi manusia: Tetralogi Pulau Buru menceritakan tentang biografi (?) dr salah satu toko kebangkitan nasional yg tidak tercatat dalam sejarah, RM Tirto Adhi Soerjo. Dalam buku tersebut RM TAS dinyatakan dalam tokoh yang bernama Minke. Bumi Manusia menceritakan masa saat Minke menjalani HBS di Surabaya. Saat itulah Minke mengenal Nyai Ontosoroh, melalui anak perempuannya, Annelis. Nyai ini banyak sekali mempengaruhi kehidupan dan jalan pikiran Minke sehingga menjadi pribadi yg berpikiran jauh lebih maju dari generasi lain seusianya. Annelis yg merupakan keturunan indo dari Nyai Ontosoroh dan seorang belanda bernama Robert Mellema, akhirnya menikah dgn Minke secara Islam. Pernikahan ini tidak diakui Pemerintah Belanda. Dan karena perebutan warisan antara Nyai dengan anak sah Robert Mellema, Annelis terpaksa berpisah dengan Minke untuk dibawa ke Belanda. Dalam buku ini lebih banyak menceritakan proses pembelajaran Minke yang merupakan anak sekolahan yang mendasarkan semua pemikirannya pada buku dan ajaran guru sekolahnya. Wujud dari pembelajaran itu adalah mulainya Minke menulis artikel dalam bahasa belanda pada sebuah surat kabar lokal.

(5)

Buku kedua Anak Semua Bangsa, pada bagian awal menceritakan tentang perjalanan Annelis ke Belanda dan penderitaanya sampai kemudian meninggal. Selanjutnya Minke sendiri tidak berlarut-larut dalam kesedihan, dia tetap melanjutkan menulis. Ibunda Minke menginginkan agar Minke mencoba menulis dalam bahasa Jawa, akar budaya Minke, sedangkan teman-teman Minke yang lain menginginkannya menulis dalam bahasa Melayu, yang pada saat itu merupakan bahasa sehari-hari yang paling banyak digunakan di Hindia. Namun Minke menolak dengan alasan bahwa bahwa koran berbahasa Melayu merupakan bacaan bagi orang yang berpendidikan rendah. Menurut Minke tulisannya akan lebih berarti apabila dalam bahasa Belanda. Namun perkenalannya dengan salah seorang angkatan muda Tiongkok, dan juga diskusinya dengan Nyai Ontosoroh, mulai membuka pikiran Minke tentang kebangkitan suatu bangsa.

Selanjutnya, Minke mulai membuat tulisan dengan perspektif yang baru setelah berlibur bersama Nayi Ontosoroh di perkebunan tebu Sidoarjo. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, dia berharap tulisan ini akan terbit dan dapat mempengaruhi pembaca. Namun ternyata pihak penerbit yang biasanya menunggu karya-karyanya malah menolak mentah-mentah karena ternyata hal-hal yang berhubungan dengan gula sudah menjadi semacam mafia yang menyangkut hajat hidup para penguasa. Dengan rasa sakit hati Minke menghancurkan tulisan kebanggaannya itu. Namun ternyata penerbit yang sudah pernah membacanya bergerak lebih maju dan akhirnya terjadi keributan besar di perkebunan tebu itu sehingga diputuskan agar Minke segera berangkat ke Betawi untuk melanjutkan pendidikannya di STOVIA sekaligus melupakan semua kejadian yang telah lalu.

Dalam perjalanan ke Betawi menggunakan kapal laut, Minke berkenalan dengan penulis belanda yang pindah bekerja ke surat kabar Semarang. Dari penulis itu Minke semakin mengetahui mafia seperti apa yang berhubungan dengan gula. Dalam pemberhentiannya di Semarang, Minke dijemput oleh petugas sekaut untuk kembali lagi ke Surabaya dalam rangka sidang lanjutan kasus keluarga Annelis. Di akhir buku diceritakan tentang kedatangan anak kandung Robert Mellema yang datang untuk mengklaim harta warisan ayahnya. Inti dari buku kedua ini adalah pengenalan Minke terhadap lingkungan sekitar yang lebih nyata yang ternyata berbeda jauh dengan apa yang selama ini diketahui dan dipelajarinya dari buku dan sekolah.

(6)

Membaca buku ketiga ini benar-benar membangkitkan perasaan nasionalisme saya. Bukan rasa yang muncul ketika mendengar dan membaca pelajaran IPS jaman SD dulu, namun rasa cinta tanah air yang tumbuh dari pemahaman yang mendalam dari penjelasan Pramudya yang detil dalam buku ini. Sekali lagi, cara bertutur Pramudya yang sungguh sangat luar biasa, membuat saya lebih mengerti daripada saat membaca buku-buku sejarah jaman sekolah dulu. Saya selalu memotivasi adik-adik saya untuk membaca tetralogi ini untuk menggugah rasa kebangsaan mereka. Namun mungkin cara bertutur Pram yang unik masih terlalu berat buat adik-adik saya sehingga mereka lebih memilih untuk membaca Harry Potter atau yang lebih tinggi sedikit, Tetralogi-nya Andrea Hirata (yang keempat belum terbit dan membuat saya sangat penasaran) dan karya-karya Habiburrahman el Shirazy.

Rumah kaca : Buku terakhir Rumah Kaca, merupakan cerita dari sudut pandang seorang polisi Belanda bernama Jaques Pangemanann. Bagaimana Pangemanann yang merupakan intel Belanda mengawasi seluruh aktivitas pergerakan yang ada di Hindia Belanda, terutama pengamatannya terhadap sepak terjang Minke sampai akhirnya Minke diasingkan di luar Jawa. Setelah itu juga diceritakan apa yang terjadi terhadap organisasi dan surat kabar yang dimiliki Minke yang semuanya dibredel dan dikuasai pemerintah Belanda. Bahkan harta benda Minke juga dikuasai oleh Pangemanann. Setelah selesai menjalani pengasingan, Minke menjadi terlunta-lunta dan akhirnya mati mengenaskan karena semua akses kepada harta dan teman-temannya telah terputus. Bahkan Minke tidak bisa menghubungi Nyai Ontosoroh, yang sekarang tinggal di Perancis, untuk meminta pertolongan seperti biasanya.

Pangemanann sendiri akhirnya dijerat oleh perasaan bersalahnya sendiri dan kekuasaan yang semakin menurun seiring bertambahnya usia. Di akhir buku diceritakan tentang kedatangan Nyai Ontosoroh, yang sekarang dipanggil Madame Le Boucq yang berusaha mencari tahu tentang Minke namun hanya menemukan makamnya saja. Pangemanann mengembalikan semua naskah-naskah karya Minke kepada Madame Le Boucq diiringi penyesalan yang mendalam dan penyakit yang menggerogoti kesehatannya.

Demikian ulasan saya …semoga bisa menimbulkan keinginan membaca bagi yang belum membacanya…

Keempat cerita tersebut dibacakan secara lisan kepada tahanan-tahanan lain semasa Pramoedya diasingkan di Pulau Buru oleh pemerintah Indonesia antara tahun 1965-1979. Setelah Pramoedya bebas, dia menerbitkan keempat cerita tersebut dalam bentuk novel yang kemudian dilarang peredarannya tak lama setelah diterbitkan. Pemerintah Indonesia menuduh bahwa

karya-karyanya mengandung pesan Marxisme-Leninisme yang dianggap tersirat dalam kisah-kisahnya.

Keempat buku tersebut adalah (disertai tahun penerbitan dan pelarangan; semuanya diterbitkan Hasta Mitra):

 Bumi Manusia (1980; 1981)

(7)

 Rumah Kaca (1988; 1988)

Ketiga karya terakhir ini bahkan langsung dilarang oleh Kejaksaan Agung hanya 1-2 bulan setelah terbit.

Di luar negeri, Tetralogi Buru diterbitkan dengan nama The Buru Quartet. Penerjemah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa ke dalam bahasa Inggris, Max Lane, yang sejak April 1980 bertugas sebagai pegawai di Kedubes Australia di Jakarta, harus dikembalikan ke negaranya pada September 1981 karena menerjemahkan kedua buku tersebut. Karya itu diterjemahkan ke bahasa Rusia pada tahun 1986 oleh E. Rudenko dengan kata pengantar oleh V. Sikorsky (judulnya "Mir Chelovechesky") dan diterbitkan oleh badan penerbit "Progress".

Sinopsis

Tetralogi kisah pergerakan kebangkitan nasional Indonesia antara 1898

-1918, ini bercerita tentang kehidupan Minke, putra seorang bupati yang

memperoleh pendidikan Belanda pada masa pergantian abad ke-19 ke abad

ke-20. Latar utama tetralogi ini terjadi pada masa awal abad ke-20, tepatnya

tahun 1900 ketika tokoh utamanya, Raden Mas Minke lahir. Nama Minke

adalah nama samaran dari seorang tokoh pers generasi awal Indonesia yakni

Raden Tirto Adhi Soerjo. Cerita novel ini sebenarnya ada unsur sejarahnya, termasuk biografi RTAS tersebut yang juga nenek moyang penulis. Cerita lainnya diambil dari berbagai rekaman peristiwa yang terjadi pada lingkup waktu tersebut. Termasuk di antaranya rekaman pengadilan pertama pribumi

Indonesia (Nyai Ontosoroh) melawan keluarga suaminya seorang warga

Belanda totok yang terjadi di Surabaya.

Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri ..

Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi. Tetapi

sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya. Kan begitu Tuan Jenderal?

.. dan modern adalah juga kesunyian manusia yatim-piatu dikutuk untuk membebaskan diri dari segala ikatan yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan juga bumi, kalau perlu juga sesamanya.

— Jejak Langkah - Pramoedya Ananta Toer #quotage #jejak langkah #pramoedya ananta toer

(8)

Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.

Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.

— Anak Semua Bangsa - Pramoedya Ananta Toer #quotage #anak semua bangsa #pramoedya ananta toer

 notes reblog teertage: “

Pertama wisma, Gus, rumah. Tanpa rumah orang tak mungkin satria. Orang hanya gelandangan. Rumah, Gus, tempat seorang satria bertolak, tempat dia kembali. Rumah bukan sekedar alamat, Gus, dia tempat kepercayaan sesama. pada yang meninggali. Kau sudah bosan?

Kedua wanita, Gus, tanpa wanita satria menyalahi kodrat sebagai lelaki. Wanita adalah lambang kehidupan dan penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan. Dia bukan sekedar istri untuk suami. Wanita sumbu pada semua, penghidupan dan kehidupan berputar dan berasal. Seperti itu juga kau harus pandang ibumu yang sudah tua ini, dan berdasarkan itu pula anak-anakmu yang perempuan nanti kau harus persiapkan.

Ketiga turangga, Gus, kuda itu, dia alat yang dapat membawa kau kemana-mana: ilmu, pengetahuan, kemampuan, ketrampilan kebiasaan, keahlian, dan terakhir kemajuan. Tanpa turangga takkan jauh langkahmu, pendek pengelihatanmu.

Keempat kukila, burung itu, lambang keindahan, kelangenan (hobby), segala yang tak punya hubungan dengan penghidupan, hanya dengan kepuasan batin pribadi. Tanpa itu orang hanya sebongkah batu tanpa semangat. Dan kelima curiga, keris itu, Gus, lambang kewaspadaan, kesiagaan, keperwiraan, alat untuk mempertahankan yang empat sebelumnya. Tanpa keris yang empat akan bubar binasa bila mendapat gangguan.

Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya ..

— Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer

Referensi

Dokumen terkait

Seperti yang dijelaskan di Gambar 2.20, pilot frame dipilih sebagai sebuah random sequence, diikuti oleh IFFT, dan ekstensi cyclic prefix untuk menjadi sebuah frame OFDM.

COMPANY CNOOC COSL Department Drilling New Task Revision No.. DATE Task Review SHEET

Selama proses perkembangan, sel-sel germinal primordium (calon sel germinal) bermigrasi menuju gonad dan selanjutnya akan berkembang menjadi spermatozoa dan sel telur tergantung

Demplot Pengendalian OPT Nilam (Budok, Nematoda, Ulat/Kutu Daun dll).. a) Penggunaan pestisida nabati bubuk biji nimba, dosis 5 kg/ha/aplikasi. Aplikasi dilakukan 3

atau terlalu sedikit, terlalu mendalam atau terlalu dangkal, urutan penyajian yang tidak tepat, dan jenis materi bahan ajar yang tidak sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai

Selanjutnya, berkenaan dengan pendiri Masjid Taqwa Wonokromo dapat GLNHPXNDNDQ KDO KDO SHQWLQJ VHEDJDL EHULNXW %HUGDVDUNDQ SHQHOXVXUDQ VXP- ber-sumber sejarah yang ada,

Yaitu rumah sakit/ dokter sebagai pihak yang memberikan atau melaksanakan pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan 9 Sri Praptianingsih, Kedudukan

“Melalui Penelitian Tindakan Kelas, dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) diharapkan dapat memberi solusi dalam upaya meningkatkan