• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERUBAHAN SOSIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERUBAHAN SOSIAL"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERUBAHAN SOSIAL

Ghufron Mustofa

Guru PAI SMA Negeri Sapuran, Dosen FITK UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo

Abstrak

Pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa tertentu memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan rekayasa bangsa di masa mendatang, karena pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia, bahkan M. Natsir menegskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan maju mundurnya kehidupan masyarakat tersebut. Oleh karenanya mau tidak mau pendidikan harus di desain mengikuti irama perubahan zaman kalau tidak ingin pendidikan akan ketinggalan. Tuntutan pembaharuan pendidikan menjadi suatu keharusan dan “pembaharuan” pendidikan selalu mengikuti dan relevan dengan kebutuha masyarakat, baik pada lembaga pendidikan, dan sumber daya pengelola pendidikan. Jika kita lihat dalam konteks ke Indonesia-an bahwa pendidikan Islam selama ini masih membedakan antara pendidikan agama dengan non agama dengan meminjam istilah dari Abdurrahman Mas’ud pendidikan Islam yang masih membedakan antara ulumuddin dan ulumuddunya belum layak disebut sebagai pendidikan Islam yang kaffah atau komprehensif.

Kata Kunci: Pendidikan, Perubahan Sosial

A.

Pendahuluan

Telah kita ketahui bahwa berbicara tentang Pendidikan, dalam hal ini adalah Pendidikan Islam pada hakekatnya merupakan perbincangan mengenai diri kita sendiri, artinya perbincangan tentang manusia sebagai pelaksana sekaligus sebagai pihak penerima pendidikan, dalam arti lain bahwa manusia adalah makhluk pedagogic yang berarti manusia sebagai makhluk yang dapat di didik sekaligus sebagai makhluk yang memiliki kemampuan untuk melakukan aktifitas pendidikan. Oleh karenanya pendidikan bagi manusia menjadi suatu kebutuhan pokok guna menunjang pelaksanaan amanat yang dilimpahkan Allah kepadanya. Ini merupakan kebutuhan manusia terhadap pendidikan yang bersifat individual1.

Pendidikan Islam yang bersumber pada nilai-nilai dan ajaran Islam yang didalamnya juga mengandung berbagai petunjuk bagi kehidupan manusia, dimana petunjuk itu sifatnya serba pasti dan mutlak benar, yang terkadang muncul dalam bentuknya yang bersifat garis besarnya saja. Keadaan ini dimaksudkan oleh Tuhan agar manusia melalui penalaran dan daya analisanya dapat mengaktualisasikan ajaran-ajaran tersebut dalam rangka merespon berbagai masalah-masalah yang dihadapinya, dan dengan cara demikian itulah eksistensi ajaran agama tetap aktual dan fungsional bagi kehidupan manusia yang secara pasti memandu perjalanan hidup manusia agar mencapai tujuannya, yaitu terciptanya kesejahteraan lahir maupun batin dengan cara mendorong agar manusia membina sumber daya yang dimilikinya baik fisik, akal maupun potensi lainnya secara seimbang.

1 Baharudin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik (Konsep, teori dan Aplikasi dalam Dunia Pendidikan),

(2)

Melihat bahwa pendidikan adalah suatu proses penyampaian nilai dengan lingkup yang sangat luas. Pendidikan adalah bagaimana manusia dapat melaksanakan hidup dan kehidupan yang menggambarkan dinamika hubungan antara tatanan sosial dimana tatanan sosial tersebut sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan kabijakan-kebijakan yang diambil pemerintah dalam hal ini adalah kebijakan-kebijakan politik yang menggerakkan dan mengarahkannya. Perubahan sosial (social change) dalam berbagai sektor struktur kehidupan masyarakat, yang memiliki ragam tujuan secara betahap maupun revolusioner, muncul karena berbagai perkembangan dan kemajuan zaman.

Pendidikan sebagai wadah dan tempat berlangsungnya agen perubahan sosial yang menginginkan peran aktif dan kreatif pada semua komponen pendidikan yang terlibat, sebab pendidikan sebagai salah satu agen perubahan ( agen social of change) tidak hanya melihat dari segi afektif saja akan tetapi meliputi segi kognitif dan psikomotorik, yang berusaha mentransfer pengetahuan dan nilai-nilai (transfer of knowledge and transfer of valleu) untuk menghadapi tantangan perubahan zaman, mencetak anak didik yang mampu mengikuti dan menanggapi arus perubahan tatanan kehidupan sosial yang semakin cepat.

Proses pendidikan yang terjadi bukanlah secara monolog, dimana hanya guru yang aktif dan membunuh daya aktif kreatif dan inovatif para murid. Proses pendidikan tidak terjadi di ruang hampa, melihat anak didik sebagai makhluk yang tersisolasi. Tujuan utama pendidikan menurut hemat penulis adalah membantu anak didik untuk dapat mencapai kematangan pribadi. Pendidikan merupakan bagian terpenting dari kehidupan manusia yang sekaligus membedakan dengan hewan. Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh insting, sedangkan bagi manusia, belajar berarti rangkaian kegiatan menuju “pendewasaan” guna menuju kehidupan yang lebih berarti2. Oleh karenanya pendidikan sering dipandang sebagai proses budaya untuk mengangkat “harkat” dan “martabat” manusia dan berlangsung sepanjang hayat. Dengan demikian pendidikan memegang peranan yang dapat menentukan eksistensi dan perkembangan manuisa, “ karena pendidikan merupakan usaha melestarikan, dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya kepada generasi penerusnya”3, untuk mengangkat harkat dan martabat manusia atau dengan kata lain memanusiakan manusia.

B.

Pengertian Pendidikan Islam

Sebelum membahas tentang pengertian Pendidikan Islam marilah kita terlebih dahulu membahas pengertian pendidikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan dapat diartikan sebagai proses perubahan dan tata laku seseorang atau kelompok orang untuk berusaha mendewasakan melalui upaya pengajaran dan penelitian4. Ahmad D. Marimba

2M Rusli Karim, “Pendidikan Islam sebagai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Muslim Usa (ed), Pendidikan

Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, cet 1, hal. 27

3 Ibid, hal. 11

(3)

mengartikan Pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama5. Adapun dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 2 tahun 1989, pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan pendidikan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya dimasa yang akan datang6. Dengan demikian pendidikan dalam arti luas adalah meliputi perbuatan atau semua usaha generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi kehidupannya, baik jasmani maupun rohani7. Pendidikan dalam Islam memiliki makna sentral dan berarti proses pencerdasan secara utuh, as a whole, dalam rangka mencapai

sa’adatuddarain, kebahagiaan dunia akhirat atau keseimbangan materi dan religius spiritual. Salah satu ajaran Nabi adalah intelektualisasi total, yakni proses penyadaran kepada umat dalam pelbagai dimensi dengan mau’idhah hasanah, wisdom atau hikmah dan excellent argumentation8 Dalam merumuskan pengertian pendidikan sebenarnya sangat tergantung kepada pandangan terhadap manusia ; hakekat, sifat atau karakteristik dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Meski demikian keanekargaman pandangan tentang pendidikan terdapat titik terang persamaan, yaitu pendidikan dilihat sebagai suatu proses. Proses disini merupakan kegiatan secara sadar untuk mengarahkan perkembangan seseorang menuju kedewasaan. Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian yang utama menurut ukuran-ukuran Islam9.

Sejalan dengan hal tersebut Achmadi memberikan pengertian pendidikan Islam adalah segala usaha untuk mengembangkan fitroh manusia dan sumber daya insani menuju terbentuknya insan kamil sesuai dengan norma Islam, yang dimaksud dengan Insan kamil disini adalah muttaqin yang terefleksikan dengan perilaku baik, dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama maupun dengan alam sekitarnya10. Dengan demikian Pendidikan Islam adalah suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Kalau dicermati dengan seksama, pendidikan merupakan suatu kegiatan yang melibatkan dua pihak sekaligus. Pihak pertama adalah subjek pendidikan, yakni pihak yang melaksanakan pendidikan, sedagkan pihak kedua dinamakan objek pendidikan, yaitu pihak yang menerima pendidikan. Secara global pendidikan dapat dimaknai sebagai usaha yang sengaja oleh pihak pertama untuk membantu pihak kedua mengembangkan potensi dasar yang dimilikinya kearah tujuan yang telah ditentukan. Sejalan dengan pandangan diatas, Oemar Muhammad Al Toumy Al Syaibani menjelaskan bahwa pendidikan Islam merupakan usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya serta kehidupan alam sekitarnya melalui kependidikan11.

5 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Islam, PT Al Ma’arif, Bandung, 1989, hal.19 6 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 2 Tahun 1989

7 Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Bandung, 1995, hal. 92

8Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, Gama Media, Yogyakarta, 2003, hal.185 9 Ahmad D. Marimba, Ibid, hal.23

(4)

Dari definisi ini pendidikan Islam mempunyai serangkaian tugas, yaitu membimbing, membina, dan mengarahkan potensi hidup manusia berupa kemampuan dasar serta kemampuan ajarnya. Melalui upaya ini diharapkan terjadi perubahan kearah yang lebih baik, sebagai bekal menjalankan kehidupannya baik sebagi individu maupun sebagai makhluk sosial. Disisi lain Mohammad Fadil Al-Djamaly mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan juga mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarannya (pengaruh dari luar)12.

Proses pendidikan harus dilaksanakan melalui proses kegiatan yang membimbing kemampuan dasar manusia (fitrah) agar bisa terbentuk suatu akhlak yang mulia, serta memberi kesempatan terhadap pengaruh luar atau lingkungan untuk masuk dalam proses tersebut. Sedagkan rumusan hasil kongres se-Dunia II tentang pendidikan Islam melalui seminar tentang konsepsi kurikulum pendidikan Islam (1980) menyatakan bahwa: “pendidikan Islam ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan diri pribadi manusia secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan, dan pancaindra. Oleh karena iu, pendidikan Islam harus mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari spiritual, intelektual, imajinasi (fantasi), jasmani, keilmiahan, secara individual maupun kelompok serta mendorong aspek-aspek itu kearah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup13. Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa : pertama, pendidikan Islam merupakan usaha bimbingan sadar yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan jasmani dan ruhani menurut ajaran Islam. Kedua, pendidikan Islam merupakan suatu usaha untuk mencapai pertumbuhan kepribadian sesuai dengan ajaran Islam dalam proses kependidikan melalui latihan-latihan akal pikiran (kecerdasan), kejiwaan, keyakinan, kemauan, dan perasaan serta pancaindra dalam seluruh aspek kehidupan manusia.

Keberadaan Pendidikan Islam digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia kearah kebahagiaan dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah, oleh karenanya perlu diperhatikan adanya nilai-nilai Islam tentang manusia, hakekat dan sifat-sifatnya manusia dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Oleh sebab itu Pendidikan Islam tidak hanya melihat bahwa pendidikan itu sebagai upaya mencerdaskan semata (pendidikan intelek, kecerdasan) melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya. Jika kita lihat bahwa tujuan pendidikan Islam tidak akan lepas dari keberadaan manusia itu sendiri, secara umum tujuan pendidikan Islam adalah membentuk insan kamil atau muslim paripurna. Menurut A. Malik Fadjar, tujuan demikian masih dalam pengertian abstrak-umum. Oleh karena itu, harus dilakukan substansiasi sehingga yang abstrak-umum itu menjadi operasional14.

Sedangkan Al Attas mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Sedangkan Marimba berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah

12 Ibid, hal.16

13 Ibid, hal. 15. Lihat juga dalam Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1989,

hal. 115

14 A. Malik Fadjar, Pendidikan Islam: Permasalahan dan Pemecahannya, Bestari, No 44 Th.VI (Mei-Juli), 1993,

(5)

terbentuknya orang-orang yang berkepribadian Muslim. Selain itu, AL Abrasy mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya manusia yang berakhlak mulia. Bahkan lebih umum lagi, Munir Mursyi mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia sempurna15. Tujuan pendidikan secara umum ialah membawa anak kepada kedewasaan, yang berarti ia harus dapat menentukan diri sendiri dan bertanggung jawab sendiri16. Dalam Islam tujuan pendidikan Islam secara umum adalah membentuk kepribadian sebagai khalifah Allah atau sekurang-kurangnya mempersiapkan ke jalan yang mengacu kepada tujuan akhir manusia. “ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya manusia yang berkepribadian muslim untuk menghambakan diri kepada Allah sesuai dengan tujuan penciptaannya. Secara lebih detail dapat dikatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah mencari kebahagiaan17 dunia dan akhirat dengan mempertajam kesolehan soisal lewat menjalankan apa yang diperintah Allah dan menjauhi segala yang telah dilarang-Nya. Pendidikan Islam sebagai suatu sistem sekaligus proses bermaksud membina, mengembangkan dan mengarahkan potensi dasar insaniah (jamaniah-rohaniah) berdasarkan nilai-nilai normative Islam. Karena Islam sendiri memandang manusia sebagai satu kesatuan integral antara jamani dan ruhani. Pendidikan Islam pada hakekatnya ingin mengembangkan dan menjadikan kedua unsur itu berjalan secara harmonis menuju tujuan kematangan menurut ajaran Islam18 yang dilihat dari penciptaan manusia hanyalah untuk beribadah kepada Allah.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam terletak dalam realisasi sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, baik secara perorangan, masyarakat maupun sebagai umat keseluruhannya19.

C.

Perubahan Sosial

Setiap manusia berada dalam masyarakat selama hidupnya pasti mengalami banyak peubahan-perubahan . Perubahan itu dapat berlangsung secara cepat maupun lambat, dan memerlukan proses yang lama. Oleh karenanya perubahan sosial merupakan proses yang berkesinambung. Penelaahan mengenai proses tersbut mempunyai perspektif sejarah maupun evolusioner. Perubahan-perubahan pada masyarakat dewasa ini dapat berlangsung secara terus menerus, tetapi perlahan-lahan tanpa kita rencanakan (Unplanned sosial change). Galibnya, perubahan sosial yang disebabkan oleh perubahan dalam bidang tekhnologi atau globalisasi20. Dan adapula perubahan yang direncanakan, kita planning dan kita arahkan pada tujuan yang hendak kita

15 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1992, hal. 46 16 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Rosda Karya, Bandung, 2000, hal.19

17 Kebahagiaan yang sebenarnya ialah kebahagiaan yang timbul dari mengetahui hikmat-hikmat. Hikmat ada

yang bersifat teoritis yang diperoleh dengan pengetahuan yang benar, dan ada pula hikmat yang bersifat praktis yang diperoleh dengan menggunakan budi pekerti yang mulia, lihat Harun Nasution dalam Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid II, U I Press, Jakarta, 1986, hal.51

18 Zuhairini dkk, Op.Cit , hal. 93

19 M Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu tinjauan teoritis dan Praktis berdasarkan pendekatan Interdisipliner,

Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hal. 41

20 Jalaludin Rakhmat, Rekayasa Sosial, Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar, PT. Rosda Karya, Bandung,

(6)

capai, inilah perubahan sosial yang kita sebut Planned social Change (perubahan sosial yang kita rencanakan)21.

Perubahan pada masyarakat tertuju pada struktur sosial, baik didalam keluarga, lembaga-lembaga keagamaan, sosial maupun politik. Perubahan ini berubah sesuai dengan kondisi dimana perubahan itu berlangsung. Yang berjalan untuk mencapai tujuan atau sasaran, terjadi bukan sekedar otomatis dan secara mekanis. Dari asumsi ini dapat dikatakan bahwa perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dapat ditinjau dari tiga segi. Pertama, dari segi sosologis22. Maksudnya bagaiamana terjadinya perubahan pada struktur sosial dan budaya juga terhadap struktur sosial. Dari asumsi ini dapat dilihat bahwa proses terjadinya perubahan sosial di dalam masyarakat memerlukan adanya peran aktif dari para individu untuk membentuk dan mencetuskan ide-ide serta gagasan yang menuju terbentuknya tatanan yang semakin berkembang. Kedua, dari segi psikologi23. Penekanannya adalah bagaimana individu itu beradaptasi terhadap perubahan sosial ini terkait akan adanya sejauh mana individu-individu memahami, mengerti serta beradaptasi pada tatanan struktur sosial yang ada di masyarakat, baik secara cepat maupun lambat. Ketiga, bahwa perubahan sosial dapat dilihat dari segi paedagogik24, bahwa pada saat pendidikan yang masih bersifat tradisional memandang lembaga pendidikan sebagai salah satu dari struktur dan kebudayaan dalam suatu masyarakat.

Di dalam pendidikan tradisional anak didik di tempatkan sebagai obyek dalam perubahan sosial, karenanya lembaga pendidikan yang tidak dapat mengikuti perubahan sosial, maka dapat kehilangan fungsi sebagai tempat mentransfer nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat dan kebudayaan, banyak kemungkinan-kemungkinan akan ditinggalkan oleh masyarakat, sebab tidak dapat memberi jawaban akan tuntutan zaman yang semakin berkemabang.

Sedangkan pendidikan modern menganggap seorang individu hanya dapat berkembang di dalam interaksinya dengan tatanan kehidupan sosial budaya dimana dia hidup25. Artinya pendidikan modern menganggap anak didik tidak hanya sebatas objek dari perubahan sosial melainkan anak didik juga sebagai pelaku dari perubahan sosial, dimana adanya pengakuan peran aktif partisipatif dalam proses perubahan sosial tersebut. Dengan demikian ada perbedaan pandangan antara pendidikan tradisional dengan pendidikan modern, yang melihat anak didik tidak hanya sebatas makhluk yang aktif reaktif, yang berusaha meyongsong dan melakukan perubahan-perubahan di sekelilingnya. Sebab pendidikan yang berlangsung selama ini ditempatkan pada garda depan sebagai sarana perubahan sosial, pada dasarnya jika kita melihat adanya perubahan pada komponen tertentu dalam masyarakat itu, William F. Ogburn menyatakan jika salah satu lembaga sosial berubah maka yang lainnya juga akan ikut terpengaruh26.

Perubahan sosial yang berkembang di masyarakata mencakup berbagai aspek mendukung terciptanya sebuah keserasian hidup, bahwa pada perkembangannya muncul 2 aliran dalam

21 Ibid, hal. 46 22 Tilaar, Op.Cit hal. 4 23 Ibid.

(7)

perubahan sosial (social change), yang pertama aliran sinkronis melihat perubahan sosial secara cross-section, terlepas dari perkembangann dalam waku (timeless) dan sifatnya statis, yang kedua pandangan modern yaitu pandangann diakrinik, pendekatan ini melihat kenyataan sosial bukan sesuatu yang statis, tetapi merupakan suatu proses27. Asumsi ini berpandangan baha pandangan sinkrois menganggap perubahan sosial mengalami jalan ditempat atau statis dan tidak mengalami sebuah perubahan dan perkembangan. Namun sebaliknya pandangan diakronik melihat perubahan sosial sebagai perubahan stuktur organisasi dan keterkaitan antar komponen yang ada di dalam masyarakat.

Perubahan sosial secara garis besar merupakan suatu perubahan pola kelakuan, hubungan sosial, institusi-institusi dan struktur sosial dalam waktu tertentu. Perubahan selalu mengalami sebuah kapasitas, perubahan sosial (social change) yang pertama kali dikembangkan leh William F. Ogburn, dalam bukunya yang berjudul “social chenge” membicarakan konsep-konsep evolusi sosial serta peranan faktor-faktor biologis dan kebudayaan terhadap perubahan sosial28.

Analisis Ogburn akan perubahana sosial dilatar belakangi dari situasi yang pernah dikembangkan oleh Weber dimana ia mengatakan pembedaan antar kebudayaan dan perubahan. Pada perkembangannya perubahan-perubahan sosial banyak ditafsirkan dan menelurkan berbagtai macam teori, yang pertama teori linier barasal dari Auguste Comte, Spenser, Hobbes, dan Marx. Yang menjelaskan bahwa perubahn sosial sebagai hail perkembangn intelektual manusia yang di formulasikan dalam hukum tiga tahap (law of three stages), yang merupakan perkembangan dari cara-cara berfikir secara cepat29. Dalam kesempatan yang sama Spencer mengakui adanya berbagai faktor yang terlibat dalam perubahan sosila dan betapa sulitnya untuk menyajikan proses evolusi yang terjadi di dalam masyarakat-masyarakat tertentu30. Dalam hal ini Spencer menekankna bahwa perubahan merupakan proses evolusi dari suatu keadaan yang bersifat homogen, yang tidak berketentuan ke arah keadaan heterogen yang stabil dan dinamis.

Tidak jauh berbeda dengan padangan Marx yang hanya mempergunakan konsep perubahan sosial untuk menganalisa timbul dan tumbuhnya kapitalisme modern31. Teori yang dihasilkan dari perkembangan perubahan sosial yang kedua adalah teori cyclicall yang berusaha untuk meremehkan fakta, memandang perubahan sosial terjaid karena pertentangan antar golongan-golongan tertentu untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan melihat berbagai asumsi dari pelbagai pendapat, baik dari teory linear maupun cyclicall dapat dikatakan bahwa perubahan sosial yang terjadid tidaklah dengan sendirinya, akan tetapi adanya pelbagai komponen yang dapat menyebabkan perubahan sosial itu terjadi. Sebab pada dasarnya, perubahan sosial dapat terjadi dari mana kita melihat, karena biasanya berhubungann erat dengan faktor-faktor yang ada dalam perubahan, sehingga menimbulkan permasalahan yang kompleks mengenai penyebab- penyebab perubahan.

27 Ibid, hal. 11

28 Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 17 29 Ibid, hal. 18

(8)

Seperti apa yang dikataka Herbert Spencer, dalam Progres : its law and cause, Spnecer memfokuskan teorinya mengenai hukum dan penyebab terjadinya perubahan, adalah perubahan-perubahan itu sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung yang cenderung mempertinggi atau meningkatkan kebahagiaan dan hal ini dapat dianggap sebagai perkembangan semata-mata32. Perkembangan pada dasarnya akan membuahkan adanya evolusi33 dari yang sederhana ke arah yang lebih kompleks, melalui pelbagai taraf diferensiasi yang sambung menyambung.

Berbeda dengan Durkheim dalam teori konsensusnya memandang msyarakat merupakan sebuah tatanan moral, seperangkat tuntutan normatif lebih dengan kenyataan ideal dari pada kenyataan material, yang ada dalam kesadaran individual dan meski demikian dalam cara tertentu berada di luar individu. Dan terkadang tampak bahwa masyarakat tidak lebih spesifik dari sebuah entita supra personal yang misterius yang diperkenalkan untuk mengisi kekosongan yang tercipta karena atas pernyataan individualitas. Kenyataan sosial ini melahirkan consceince collective (diterjemahkan kesadaran kolektif atau suara hati kolektif), dan representation collectif (gambaran kolektif)34. Kesadaran kolektif disini diartikan adanya kesamaan bagi semua anggota kelompok, gambaran ini memperlihatkan bagaimana cara anggota kelompok melihat diri mereka sendiri dalam hubungan mereka dengan obyek-obyek yang mempengaruhinya. Kesadaran bersama ini mengandung semua gagasan dan maksud beraman. Dalam bukunya yang lain The Rules of Sociological Method, peraturan-peraturan Metode Sosioligi yang meletakkan pendekatannya secara keseluruhan untuk keterangan sosiologi, termasuk doktrinnya “fakta sosial sebagai benda-benda” 35. Dengan meletakkan fungsionalismenya dengan memperhatikan fenomena secara umum dari kesadaran individu menuju “kesadaran kolektif” .

Ibnu Khaldun telah lebih jauh membahas gejala-gejala kemasyarakatan atau fenomena sosial, katanya :

Hakikat sejarah adalah catatan tentang masyarakat umat manusia. Sejarah itu identik dengan peradaban dunia, tentang perubahan yang terjadi pada watak peradaban itu, seperti keliatan, keramah-tamahan, dan solidaritas golongan: tentang revolusi dan pemberontakan oleh segolongan rakyat melawan golongan yang lain dengan akibat timbulnya kerajaan-kerajan dan negara dengan berbagai macam tingkatannya: tentang kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupannya, maupun dalam ilmu pengetahuan dan teknologi: dan pada umumnya, tentang segala perubahan yang terjadi dalam peradaban karena watak peradaban itu sendiri36.

32 Soerjono Soekanto, Ibid, hal. 64

33 Evolusi dalam pandangan comte dlam hal ini merupakan evolusi intelektual yang berperan lebih besar,

karena pengaruh penalaran meyebabkan manusia berkembang, mencapai keteraturan dan hidup berkesinambungan, lihat Sorejono Soekanto, dalam Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 61

34 Tom Compbell, Tujuh Teori Sosial, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hal. 179 35 Abdurrahman, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, Ibid, hal. 26

(9)

Dari pandangan Ibnu Khaldun ini kita bisa melihat adanya kecenderungan umum yang dibentuk oleh individu-individu satu masyarakat sebagai dasar dalam mengatur masalah-masalah sosial yang terjadi di antara mereka, serta mempererat hubungan-hubunga yang mengikat mereka satu sama lainnya dan yang mengikat mereka dengan orang lain selain golongan mereka. Disiplin lainnya adalah aturan-aturan politik, yang mencakup masalah-masalah pemerintahan, mengikat kesatuan kedaulatannya, serta menentukan ciri-ciri khas yang dimiliki oleh kedaulatan, hak-hak, dan kewajiban-kewajiban masing-masing, serta hubungannya negara dengan individu-individu. Sudah menjadi kenyataan bahwa keberadaan pendidikan tidak akan bisa lepas dari keberadaan politik dan perangkatnya. Pendidikan dan Politik adalah dua elemen penting dalam sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara, hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan manusia, perkembangan kegiatan kependidikan banyak di pengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan dukungan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka, hal ini dapat dipahami karena tujuan pemerintah Islam pada saat itu adalah menegakkan kebenaran dan keadilan.

Tujuan itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan melaksanakan syariat Islam. Syariat Islam tidak akan berjalan bila umat tidak memahami ajaran Islam. Seperti apa yang telah dituturkan oleh Abdurrasyid bahwa para penguasa Islam senantiasa terlibat langsung dalam persoalan pendidikan, menurutnya ada dua alasan utama mengapa para penguasa muslim sangat peduli dengan pendidikan, Pertama karena Islam adalah agama yang totaliter jam’i, mencakup aspek kehidupan seoarang muslim mulai dari makan dan minum, tata cara berumah tangga, urusan sosial kemasyarakatan, sampai pada ibadat semuanya diatur oleh syariat, untuk mengetahui bagaimana hidup yang Islami seorang muslim terlibat langsung dengan pendidikan. Kedua, karena motivasi politik, sebab di dalam Islam antara politik dan agama sangat sulit untuk dipisahkan. Hubungan timbal balik antara politik dan pendidikan dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment), dan peranana politik kaum cendekia (the political role of intellegentsia) 37. Kecenderungan lain

yang mewarnai kehidupan umat manusia dewasa ini ialah ke arah dunia yang lebih mementingkan nilai-nilai kemanusiaan baik dalam usahanya untuk pengaturan kehidupan politik maupun sosial ekonomi38. Pendidikan diakui ataupun tidak lebih merupakan alat dimana pemerintah menggunakannya untuk menggiring rakyat dan umat kepada tujuan politik yang diinginkan. Secara teoritis tidaklah salah jika pemerintah menginginkan agar produk lulusan lembaga pendidikan memberikan kontribusi bagi pembangunan. Namun pada saat yang sama seharusnya pemerintah juga memberikan kebebasan kepada dunia pendidikan untuk menentukna arahnya dengan memperoleh bantuan, dukungan dan fasilitas dari pemerintah39. Fungsi politik pendidikan secara khusus juga dapat diaktualisasikan melalui proses pembelajaran baik bersifat kognitif (misalnya, mendapatkan pengetahuan dasar tentang suatu

37 M. Sirozi, Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan antara Kpentingan Kekuasaan dan Praktik

Penyelenggaraan Pendidikan, Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hllm. 7

38 H.A.R Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, Remaja Rosda Karya, Jakarta, 2004, hal. 5

39 Abudin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi kelemahan pendidikan Islam di Indonsia, Prenada Media,

(10)

sistem), afektif (misalnya, mengetahu isikap-sikap positif dan negatif terhadap penguasa atau simbol-simbol), dan bisa berrsifat evaluatif (misalnya, melalui peran-peran politik berdasarkan standar tertentu), atau bersifat motivatif (misalnya, penanaman rasa ingin berpartisipatif) sebagian besar unsur-unsur pembelajaran tersebut dapat dirancang dan diarahkan sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan politik tertentu40.

Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategis bagi kehidupan manusia sehingga program-program dan proses yang ada di dalamnya dapat dirancang, diatur dan diarahkan sedemikian rupa unuk mendapatkan output yang diinginkan, tak heran jika kemudian negara menerapkan kontrol sangat ketat terhadap program-program pendidikan, baik yang diselenggarakan sendiri oleh negara maupun diselenggarakan oleh masyarakat. Dalam menjalankan perannya, berbagai institusi negara, baik pada tingkat lokal maupun nasioanl, didanai oleh publik. Inilah antara lain alasan mengapa salah satu fungsi ideal negara yang terpenting adalah memberikan pelayanan publik (to serve the public). Apa yang diprogramkan oleh negara diharapkan senantiasa memperhatikan kepentingan-kepentingan publik (public interests) dan bersifat ensitif terhadap persoalan-persoalan publik.

Begitu kuatnya negara mengontrol pendidikan yang dilakukan dengan, pertama sistem pendidikan diatur secara legal, kedua sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, menekankan pada aturan dan objektivitas, ketiga, penerapan wajib pendidikan (compulsary education), keempat reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung disekolah dalam konteks politik tertentu. Untuk mempertahankan legitimasinya secara gradual dan kontinu negara perlu mengintegrasikan berbagai kepantingan yang ada dikalangan pendukungnya dan pihak oposisi.

Dinegara-negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis, pendidikan memainkan peranan penting sebagai media mencapai tujuan-tujuan negara, sementara banyak kekuatan sosial yang memengaruhi pendidikan dengan cara-cara tertentu, motor utama perubahan pendidikan dalam masyarakat kapitalis adalah sifat negara kapitalis yang berubah-ubah.

Dalam skala apapun, kontrol negara terhadap pendidikan membawa implikasi terhadap kinerja dan performa suatu sistem pendidikan. Berbagai tuntutan perubahan terhadap dunia pendidikan tidak akan banyak artinya jika tidak menyentuh berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur substansi dari tuntutan-tuntutan tersebut. Pengalaman dalam melaksanakan pembangunan nasional selama ini membuktikan bahwa stabilitas nasional kita cukup mapan. Hal ini, menguntungkan karena stabilitas nasional itumerupakan prasyarat mutlak untuk melaksankan demokratisasi pendidikan41.

Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program pendidikan tidak mungkin berhasil jika hanya dilakukan dengan menjelaskan makna, manfaat, dan tujuan pendidikan. Masyarakat harus diperkenalkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur dunia pendidikan dan dibiasakan untuk sensitif dan kritis terhadap berbagai peraturan

40 M. Sirozi, Ibid, hal. 39

41 Ace Suryadi, H.A.R Tilaar, Analisisi Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Remaja Rosdakarya, Bandung,

(11)

undangan tersebut. Sehingga kiranya para profesional pendidikan perlu membuat suara mereka didengar di pusat politik, dalam lingkaran interaksi dimana keputusan-keputusan kebijakan penting dipertimbangkan.

Secara umum dapat dikatakan, bahwa manusia dan masyarakat yang berkualitas adalah mansuai yang memiliki ciri sebagai hamba Allah yang beriman, berilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat memberikanmanfaat bagi sesama. Manusia yang berusaha meningkatkan diri dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan, memiliki inovasi, kemampuan melakukan perubahan serta mengajak orang untuk meningkat.

D.

Pendidikan

Islam

dalam Perubahan Sosial

Perubahan sosial, sebagaimana diatas merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Pendidikan sebagai aspek kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat, juga harus terlibat dalam arus perubahan itu. Keterlibatannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya untuk mengadakan penyesuaian diri terhadap perubahan, tetapi bagaimana supaya pendidikan merupakan agen perubahan sosial. Pendidikan berfungsi untuk menyampaikan, meneruskan atau mentransfer misi kebudayaan, diantaranya, nilai-nilai nenek moyang, kepada generasi muda42. Artinya adanaya sebuah transfer akan nilai-nilai hidup dalam masyarakat dan kebudayaan pada saat itu. Untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi diperlukan terobosan pemikiran kembali suatu konsep pendidikan Islam dan harus dikembalikan kepada fungsinya untuk memberdayakan manusia dan masyarakat. Pendidikan merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan manusia, dalam sejarah umat manusia43.

Pendidikan sebagai usaha sadar yang dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa tertentu memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan rekayasa bangsa di masa mendatang, karena pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia, bahkan M. Natsir menegskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan maju mundurnya kehidupan masyarakat tersebut44. Oleh karenanya mau tidak mau pendidikan harus di desain mengikuti irama perubahan zaman kalau tidak ingin pendidikan akan ketinggalan. Tuntutan pembaharuan pendidikan menjadi suatu keharusan dan “pembaharuan” pendidikan selalu mengikuti dan relevan dengan kebutuha masyarakat, baik pada lembaga pendidikan, dan

42 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta, 1994, hal. 22

43Ahmand Syafii Ma’arif, menyatakan apabila dilihat dari segi sejarah, pendidikan merupakan suatu gerakan

yang telah berumur sangat tua. Dalam bentuk sederhana dapat dipahami pendidikan telah dijalankan sejak dimilainya manusia di muka bumim ini. Penguasaan alam semsta, memberi contoh pendidikan kepada manusia dan dilanjutkan dengan mendidik keluarga, lihat dalam Ahmad Syafii Ma’arif, Pendidikan Islam dan proses Pemberdayaan Umat. Dalam Jurnal Pendidikan Islam (JPI), No 2 Th. Fakultas Tarbiyah UII, 1 Oktober 1996, hal. 6

(12)

sumber daya pengelola pendidikan45. Jika kita lihat dalam konteks ke Indonesia-an bahwa pendidikan Islam selama ini masih membedakan antara pendidikan agama dengan non agama dengan meminjam istilah dari Abdurrahman Mas’ud pendidikan Islam yang masih membedakan antara ulumuddin dan ulumuddunya belum layak disebut sebagai pendidikan Islam yang kaffah atau komprehensif46. Sejarah perkemabangan peradaban Islam sangat ditandai dengan hubungan yang harmonis dan dialogis antara ilmu agama dan pengeathuan umum (termasuk social science dalam pengertian modern). Kedua ilmu ini ternyata saling meleangkapi. Ilmu-ilmu agama berkembang terlebih dahulu dan sungguh mengisaratkan bahwa manusia dan peradabannya harus dilandasi dengan bangunan keagamaan dan keimanan yang kokoh sebelum ilmu-ilmu lain mewarnai pendidikan Islam47. Dengan demikian jelas bahwa pendidikan Islam harus berupaya mengikuti setiap perubahan yang terjadi sebagai langkah untuk menciptakan pendidikan Islam yang selalu konten dengan zaman, atau sesuai dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Atau dengan kata lain bagaimana pendidikan dapat mengkorelasikan antara manusia, masyarakat, alam serta perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Karena jika menafikan akan keterlibatan manusia dan aspek-aspek kemanusiaan maka yang terjadi kemandekan dari pendidikan itu sendiri, karena dengan memahami secara baik keterkaitan antara manusia, masyarakat, alam, dan perkembangan ilmu pengetahuan, akan dimungkinkan pengembangan pendidikan Islam48. Akibat yang mungkin lebih buruk dari keadaan ini ialah pengurangan nilai-nilai manusiawi dari pekerja yang dianggap hanya sebagi alat atau bagian dari mesin-mesin dalam industri besar. Situasi ini akan mendorong terjadinya suasana psikoogis yang ditandai dengan individualistis, egosentris, dan mungkin kurang manusiawi. Akibat-akibat buruk ini perlu dikurangi bahkan dicegah oleh upaya-upaya dalam meningkatkan humaniora, otonomi, pemerataan kesempatan pendidikan, dan demokratisasi pendidikan49.

Diakui atau tidak pendidikan Islam di Indonesia menghadapi berbagai persoalan dan kesenjangan yaitu munculnya persoalan dikotomi pendidikan, usaha pembaharuan dan peningkatan pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan menyeluruh serta sebagian besar sistem dan lembaga pendidikan Islam belum dikelola secara profesional50. Usaha pembaruan pendidikan Islam secara mendasar selalu dihambat oleh berbagai masalah, mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli, sehingga “pendidikan Islam dewasa ini terlihat orientasinya yang semakin kurang jelas”51.

45 Lihat dalam solusi yang ditawarkan Abdurrahman Mas’ud untuk memfollow-upi dari kegiatan civitas

akademik diantaranya- pengembangan akademik adalah pengembangan sikap learning yang harus diupayakan secara komprehensif, integrated, kontunyu, konsisten bagi dosen dan mahasiswa,- Menjadikan perpusatkaan sebagi learning center bagi civitas akademika khususnya dosen dan mahasiswa, lihat dalam Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan,Aneka Ilmu, Semarang, 2004, hal. xi

46 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma

Pendidikan Islam), Gama Media, Yogyakarta, 2002, hal. xxii

47Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Huamnis, Op.Cit, hal. 201 48 Abdurrahman, Menggagas Pendidikan… Op.Cit, hl. xxvi

49 Ace Sumardi, Ibid, hal. 93

50 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Logo Wacana Ilmu,

Jakarta, 1999, hal. 59

51 Muslih Usa (ed) Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, cet 1,

(13)

Dengan kenyataan ini, maka sebenarnya “sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasi diri untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai konsekuensi logis dari perubahan”52, namun asumsi diatas telah dijawab oleh Abdurrahman, dalam rekomendasinya bahwa pendidikan Islam dengan paradigma humanisme religius harus mempertimbangkan akal sehat, individualisme menuju kemandirian, pendidikan pluralisme, antidikotomi, semangat menggali ilmu yang tulus, fungsionalisme mengalahkan simbolisme, serta keseimbangan antara penghargaan dan sanksi53.

E.

Tujuan Pendidikan Islam dalam Perubahan Sosial

Tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan ketaqwaan dan akhlak serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur menurut ajaran Islam. Tujuan tersebut ditetapkan berdasarkan pengertian bahwa “ pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi semua ajaran Islam”54. Dalam proses humanisasi, berarti manusia bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologisnya saja, tetapi juga ia harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap kesejahteraan masyarakat. Proses humanisasi merupakan proses yang terbuka dimana manusia diberdayakan dan dioptimalkan dalam penggunaan potensi (fitrah) sehinggga manusia dapat menguasai ilmu pengetahuan, keterampilan, teknologi serta penerapannya dan penghayatannya pada seni serta budaya, dan sebagainya55. Pendidikan dalam konsep Islam sebenarnya telah menetapkan dasar dan tujuan untuk membangun manusia sebagai insan kamil, yaitu manusia paripurna, integral, totalitas dalam membangun hidup dan kehidupannya. Pendidikan Islam meletakkan kedudukan manusia sangat sentral sebagi subyek didik dalam upaya pembinaan dan pengembangannya. Secara lebih detail dapat dikatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah mencari kebahagiaan 56dunia dan akhirat dengan mempertajam kesolehan sosial lewat menjalankan apa yang diperintah Allah dan menjauhi segala yang telah dilarangNya. Karena pada hakekatnya pendidikan Islam bukan bermaksud untuk meleburkan sifat-sifat insaniyah (manusia) ke dalam sifat-sifat malakiyah (malaikat), melainkan justru merupakan proses “pemeliharaan dan penguatan “ sifat potensi insaniyah sehingga dapat menumbuhkan kesadaran ilmiah dalam rangka menegakkan kebenaran di muka bumi.

Hakekat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia atau proses humanisaisi melihat manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya yaitu manusia ditentukan oleh relasi moralnya terhadap hak asasi manusia yang mempunyai implikasi kewajiban-kewajiban tertentu sehubungan dengan relasi eksistensinya. Proses pendidikan

52 Azyumardi, Ibid, hal. 57

53 Abdurrahman, Menggagas Pendidikan.. Ibid, hal. 229 54 M.Arifin, Op.Cit, hal. 41

55 H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Maani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan

Nasional, Remaja Rosdakarya, Bandaung, 1999, hal.171

56 Kebahagiaan yang sebenarnya ialah kebahagiaan yang timbul dari mengetahui hikmat-hikmat. Hikmat ada

(14)

sebagai proses humanisasi menunjukkan bahwa pendidikan bukanlah suatu yang telah berkesudahan, tetapi merupakan suatu aksi yang selalu bersinambung.

Dengan demikian berangkat dari pemahaman tersebut proses pendidikan Islam yang benar-benar mewujudkan keberadaan manusia akan terwujud. Hal ini memberi pengertian bahwa ada dua kepentingan manusia yaitu kepentinag duniawi dan ukhrawi, jasmani dan ruhani harus digarap dan di penuhi melalui proses pendidikan, dengan jalan menggunakan proses pembimbingan, pengembangan dan mengarahkan kepada potensi dasar manusia itu baik jasmani maupun ruhani secara seimbang dengan menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang lain, karena dengan asumsi ini dapat ditarik beberapa pernyataan.

Pertama, pemahaman tenatang esensi bahwa manusia adalah makhluk monodualis, makhluk jasmaniah dan ruhaniah, maka pendidikan tidak hanya bersifat antroposentris, akan tetapi harus bersifat theosentris. Kedua, bahwa manusia adalah makhluk yang berkembang dengan tahapan-tahapan maka pendidikan mestilah sejalan dengan tahapan-tahapan yang dilaluinya. Ketiga, bahwa pendidikan dalam konsepsi Al Qur’an adalah memperhatikan nilai keseimbangan antar jasmani (fisik) dan ruhani (psikis), keempat nilai pendidiakn Islam terletak pada keseimbangan antara aspek pemikiran dan perasaan57.

Proses pendidikan yang dilakukan untuk mengisi otak dengan berbagai pengetahuan yang bersifat kognitif, afektif, psikomotorik (mengisi hati), agar bias memperteguh potensi keimanan seta memberi kebebasan kepada peserta didik untuk menjadi mandiri. Proses pendidikan dengan pemberian pengetahuan dapat berbentuk penyampaian materi di sekolah ataupun dimanapun. Pengisian hati bisa berupa pendidikan yang bermuatan normative religius dengan memberikan kebebasan yang proporsional sebagai upaya akselerasi pematangan kemanusiaan. Dalam hubungannya denan kesadaran manusia dan dunia, pendidikan yang dilihat sebagai bentuk dominasi menganggap kesadaran manusia semata-mata merupakan wadah kosong yang harus diisi, sedangkan pendidikan sebagai sebuah proses pembebasan dan humanisasi memandang kesadaran itu sebagai suatu “hasrat” (intention) terhadap dunia58. Manusia peserta didik di beri kesempatan untuk mengembangkan dirinya sendiri sesuai dengan kodratnya secara bebas dan merdeka tetapi harus diinsyafi bahwa itu bukan kebebasan yang leluasa, melainkan kebebasan terbatas pada tertib-damainya hidup bersama59.

“ Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

57 A. Noerhadi Djamal, Epistemologi Pendidikan Islam (Suatu telaah reflektif Qurany) dalam Reformasi

Filsafat Pendidikan Islam (ed) M. Chabib Thoha, F. Syukur Priyono, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 289

58 Paulo Freire, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj, Agung Prihantoro Fuad Arif

Fudiyanto, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet III, 2002, hal. 191

(15)

Dengan demikian jelaslah bahwa tugas pendidikan adalah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi potensi baik untuk tumbuh dan berkembang untuk mewujudkan manusia sesuai dengan kodratnya sebagi khalifah dan ‘abd Allah untuk mewujudkan terbentuknya kepribadian yang mulia, dengan jalan melalui latihan kejiwaan, kecerdasan otak, penalaran, perasaan dan indera. Dimana pendidikan ini harus melayani pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, maupun penguasaan terhadap bahasa, dimana tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, baik secara perorangan maupun sebagai umat manusia secara keseluruhan. Q.S Al An’am : 162

“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

Pendidikan seringkali dipahami sebagi fenomena individu di satu pihak dan fenomena sosial di pihak lain. Sebagai fenomena individual, bertolak dari suatu pandangan antropologi dengan pemahaman terhadap manusia sebagai ralitas mikrokosmos dengan kepemilikan potensi-potensi (fitrah) dasar yang dapat dikembangkan di masa yang akan datang, yang menitik beratkan pada orientasi internal seseorang. Sedangkan dilihat dari fenomena sosial diarahkan pada orientasi eksternal dalam kerangka perkembangan budaya masyarakat, sehingga riil kehidupan manusia mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitar, pendidikan dalam hal ini dimaknai sebagai proses kulturisasi, yakni sosialisasi (pemasyarakatan).

Dalam ajaran Islam manusia menjadi makhluk individu sekaligus makhluk sosial yang memiliki kemampuan berpikir, dengan meminjam perkataan Aris toteles manusia sebagai zoon politicon yakni makhluk yang mempunyai pembawaan untuk hidup bermasyarakat. Pemahaman pendidikan yang humanis disini sejalan dengan apa yang dikatakan Abdurrahman Mas’ud bahwa humanisme dalam pendidikan adalah proses pendidikan yang lebih memperhatikan aspek potensi manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk religius, ‘abdullah dan khalifatullah, serta sebagi individu yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengembangkan potensi-potensinya60, Al Qur’an mendudukkan manusia ke dalam dua fungsi pokok; pertama sebagai ‘abdullah (hamba Allah) yang mempunyai tugas fungsional yang harus diemban manusia dalam melakukan tugas kehidupannya di muka bumi. Konsep ini mengacu pada tugas-tugas individual sbagi hamba Allah yang diwujudkan dalam bentuk pengabdian yang bersifat ritual kepada-Nya. Kedudukan yang kedua manusia sebagi khalifatullah fil ardh, yang diposisikan secara positif-konstruktif untuk senantiasa menciptakan kemakmuran bagi segenap komunitas alam raya.

Dengan meminjam kata dari Abdurrahman Mas’ud bahwa kata kunci untuk mengantisipasi perubahan kini dan mendatang adalah informasi dan ilmu pengatahuan. Dua kata tersebut bukanlah vocabulary baru bagi kaum muslimin61, dimana kalau kita lihat dalam wahyu pertama Iqra’ untuk senantiasa membaca dalam arti yang sangat luas, baik membaca teks-teks wahyu maupun gejala-gejala sosial yang muncul baik sekarang maupun yang akan datang. Terlebih manusia dalam penciptaannya mempunyai kelebihan dibanding dengan makhluk Tuhan yang lain,

(16)

yaitu adanya potensi berupa akal dan iman, yang harus digunakannya dalam kehidupan bermasyarakat selaku ‘abd Allah maupun Khalifatullah di muka bumi ini, yang tentunya harus ada keseimbangan dalam memerankannya.

Dengan demikian pendidikan Islam humanistik bermaksud membentuk insan manusia yang memiliki komitmen humaniter sejati, yaitu insan manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab sebagai insan manusia individual, namun tidak terangkat dari kebenaran faktualnya bahwa dirinya hidup di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, ia memiliki tangung jawab moral kepada lingkungannya, berupa keterpanggilan untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan masyarakat.

Daftar Pustaka

Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, Aneka Ilmu, Semarang, 2004. __________________, Menggagas Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai

Paradigma Pendidikan Islam), Gama Media, Yogyakarta, 2002,

_________________, Menuju Paradigma Islam Humanis, Gama Media, Yogyakarta, 2003. Abudin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi kelemahan pendidikan Islam di Indonsia,

Prenada Media, Jakarta, 2003.

Ace Suryadi, H.A.R Tilaar, Analisisi Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.

A. Noerhadi Djamal, Epistemologi Pendidikan Islam (Suatu telaah reflektif – Qurany) dalam Reformasi Filsafat Pendidikan Islam (ed) M. Chabib Thoha, F. Syukur Priyono, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.

A. Malik Fadjar, Pendidikan Islam: Permasalahan dan Pemecahannya, Bestari, No 44 Th.VI (Mei-Juli), 1993

Achmadi, Ilmu Pendidikan Islam I, FT IAIN Walisongo, Salatiga, 1987. Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Islam, PT Al Ma’arif, Bandung, 1989.

Ahmad Syafii Ma’arif, Pendidikan Islam dan proses Pemberdayaan Umat. Dalam Jurnal Pendidikan Islam (JPI), No 2 Th. Fakultas Tarbiyah UII, 1 Oktober 1996.

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1992 Agus Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan, CV Ilmu, Bandaung, 1997.

Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1989.

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Logo Wacana Ilmu, Jakarta, 1999.

(17)

Benny Susetyo, Politik Pendidikan Penguasa, Lkis, Yogyakarta, 2005

Harun Nasution dalam Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid II, U I Press, Jakarta, 1986. H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformasi untuk

Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2002 .

___________, Manajemen Pendidikan Nasional, Remaja Rosda Karya, Jakarta, 2004.

___________, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Maani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Remaja Rosdakarya, Bandaung, 1999.

Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1995. Ibnu Khaldun, Muqoddimah, (terj. Ahmadie Thoha), Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000.

Jalaludin Rakhmatt, Rekayasa Sosial, Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar, PT. Rosda Karya, Bandung, 1999.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Marasudin Siregar, Manusia Menurut Ibnu Khaldun (Suatu Tinjauan Filosofis) dalam, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (ed) Chabib Thoha, F Syukur, Priyono, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Bumi Aksara, Jakarta, 2000

_________, Filsafat Pendidikan Islam, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

M. Chabib Thoha , Demokratisasi dalam Pendidikan Islam (ed)Ismail SM, Abdul Mukti dalam Pendidikan Islam, Demokrastisasi dan Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.

M. Natsir, Kapita Selekta, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Rosda Karya, Bandung, 2000.

M Rusli Karim, “Pendidikan Islam sebagai Upaya Pembebasan Manusia”, dalam Muslim Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta, cet 1. M. Sirozi, Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan antara Kpentingan Kekuasaan dan Praktik

Penyelenggaraan Pendidikan, Raja Grafindo, Jakarta, 2005.

Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban, Membangun Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995.

Paulo Freire, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, terj, Agung Prihantoro Fuad Arif Fudiyanto, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet III, 2002.

(18)

Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984. Tom Compbell, Tujuh Teori Sosial, Kanisius, Yogyakarta, 1994.

Referensi

Dokumen terkait

• Untuk mengetahui nilai tegangan output optocoupler dari sensor arus pada saat motor berputar, , seperti tampak pada gambar 4.4. • Untuk mengetahui nilai arus yang dihasilkan oleh

Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah metode purposive sampling , dengan kriteria Jumlah deposito dan tingkat suku bunga yang tercatat dalam laporan

ABSTRAK: Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji masalah peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan penalaran matematis siswa serta self efficacy siswa melalui strategi

Pakistan misalnya, mempunyai 7 (tujuh) juta hafizh, Palestina 60 ribu hafizh, Libya 1 (satu) juta hafiz, sementara Saudi arabiya lebih sedikit dengan jumlah 6

Jika dibandingkan dengan aplikasi simulasi test TOEFL menggunakan Visual Basic 2010 yang harus di install di komputer atau laptop terlebih dahulu dan soal yang

Peneliti juga melihat dalam penelitian ini bahwa, demam berdarah dengue terjadi bukan hanya karena dari 1 fakror seperti masyarakat yang tidak melakukan

1) Kebijakan penurunan fraksi pertambahan jumlah penduduk dan dampaknya pada penurunan jumlah limbah yaitu limbah KJA, ternak babi dan sapi, tinja manusia, dan

Hasil pengujian tersebut dapat diartikan bahwa jika budaya organisasi dijalankandengan baik lagi dari biasanya yang baik atau nilai-nilai perusahaan kuat , maka