• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI POLA ALIRAN SUNGAI BAWAH TANAH DI DAERAH MUDAL, GEBANGHARJO, PRACIMANTORO DENGAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER-SCHLUMBERGER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI POLA ALIRAN SUNGAI BAWAH TANAH DI DAERAH MUDAL, GEBANGHARJO, PRACIMANTORO DENGAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER-SCHLUMBERGER"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

IDENTIFIKASI POLA ALIRAN SUNGAI BAWAH TANAH

DI DAERAH MUDAL, GEBANGHARJO, PRACIMANTORO

DENGAN METODE GEOLISTRIK

KONFIGURASI WENNER-SCHLUMBERGER

Disusun Oleh:

DIMAS NOER KARUNIA M 0208031

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagian Persyaratan gelar Sarjana Sains

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA Desember, 2012

(2)
(3)

commit to user

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa isi intelektual skripsi saya yang DI

DAERAH MUDAL, GEBANGHARJO, PRACIMANTORO DENGAN

METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI

WENNER-adalah hasil kerja saya dan sepengetahuan saya hingga saat ini isi skripsi tidak berisi materi yang telah dipublikasikan atau ditulis oleh orang lain atau materi yang telah diajukan untuk mendapatkan gelas kesarjanaan di Universitas Sebelas Maret atau di Perguruan Tinggi lainnya kecuali telah dituliskan di daftar pustaka skripsi ini dan segala bentuk bantuan dari semua pihak telah ditulis di bagian ucapan terimakasih. Isi skripsi ini boleh dirujuk atau diphotocopy secara bebas tanpa harus memberitahu penulis.

Surakarta, Desember 2012

(4)

commit to user

iv

IDENTIFIKASI POLA ALIRAN SUNGAI BAWAH TANAH DI DAERAH MUDAL, GEBANGHARJO, PRACIMANTORO

DENGAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER-SCHLUMBERGER

DIMAS NOER KARUNIA

Jurusan Fisika FMIPA Universitas Sebelas Maret ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian mengenai identifikasi pola aliran sungai bawah tanah Luweng Sapen dengan metode geolistrik konfigurasi Wenner-Schlumberger di kawasan Dusun Mudal, Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat Resistivitymeter OYO model 2119C McOHM-EL dengan panjang lintasan 480 meter dan 800 meter, jarak antar elektroda potensial 30 meter dan 50 meter, dan faktor pengali elektroda arus (n) adalah 1,2,3,4,5, dan 6. Data resistivitas semu yang didapat dari pengukuran diolah menggunakan software Res2Dinv ver 3.56.

Berdasarkan hasil pengolahan dapat diinterpretasikan memiliki kecenderungan membentuk pola kontur lorong pada rentang resistivitas 69,2 lintasan 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 terdapat pola kontur yang berbentuk menyerupai lorong yang diduga sebagai lorong-lorong sungai bawah tanah. Lapisan batuan karbonat yang berbentuk lorong tersebut diduga memiliki lapisan batuan penudung atau capsrock dan memiliki kantong-kantong air (water pocket) dari struktur sungai bawah tanah.Lorong-lorong dari lapisan batuan karbonat pada lintasan tersebut diduga memiliki sifat pembawa air yang merupakan jalur dari sungai bawah tanah Luweng Sapen. Pola aliran sungai bawah tanah Luweng Sapen diduga Utara pada lintasan 4 dan menuju kearah selatan pada lintasan 6 bercabang menjadi dua lorong, cabang pertama menuju kearah timur pada lintasan 7 dan cabang kedua diduga menuju semakin keselatan menuju lintasan 3 dan 5.

(5)

commit to user

v

IDENTIFICATION OF RIVER FLOW UNDERGROUND WATER PATTERN IN MUDAL, GEBANGHARJO, PRACIMANTORO THE GEOELECTRIC METHOD

CONFIGURING WENNER-SCHLUMBERGER DIMAS NOER KARUNIA

Jurusan Fisika FMIPA Universitas Sebelas Maret

ABSTRACT

This research is to identify the underground river flow patterns, namely Luweng Sapen in the Mudal, Gebangharjo, Pracimantoro, with geoelectric methods Wenner-Schlumbeger configuration. The measurement were performed by using a resistivitymeter OYO type 2119c McOHM-EL with a line length of 480 meters and 800 meters, the distance between the potential electrode are 30 meters and 50 meters, and the curent electrode multiplier factors (n) are 1,2,3,4,5, and 6. The data processing using Res2dinv ver 3.56 software.After data processing, it can be said that the result has a tendency to form a contour hallway 2, 3, 4, 5, 6 and 7 have a contour pattern resembling the hallway the alleged as underground river.

Layers of carbonate rock that form the hallway is alleged to have the capsrock and water pocket of the structure of underground river. The hallways of the layer of carbonate rocks on the line is alleged to have the properties of the water carrier which is the path of an underground river Luweng Sapen. The pattern of underground river flow of Luweng Sapen alleged heading toward to the North of the line 4 South and branched into two hallways. The first branch, heading towards to the East of the line 7 and second branch alleged toward to the South heading the line 3 and 5.

(6)

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat Identifikasi Pola Aliran Sungai Bawah Tanah di Daerah Mudal, Gebangharjo, Pracimantoro dengan Metode Geolistrik Konfigurasi Wenner-Schlumberger

ini menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dengan ikhlas dan tulus hati:

1. Bapak Darsono, S.Si, M.Si selaku dosen pembimbing satu sekaligus pembimbing akademik yang selalu memberi masukan dan arahan-arahan untuk terselesaikannya skripsi ini.

2. Bapak Darmanto, S.Si., M.Si selaku pembimbing dua yang selalu membantu memberi penjelasan teori selama ini.

3. Ibu Yofentina Iriani selaku panitia skripsi, terima kasih atas pemberian tata cara penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini.

4. Bapak Budi legowo serta bapak Sorja Koesuma yang selalu membantu memberi masukan ilmu-ilmu geofisika untuk menyelesaikan skripsi ini. 5. Teman-teman team geofisika sekaligus sahabat Ardi, Reza, Kinayung, Bugar,

Gilang, Iwan. Tomo, (alm) Alam, Agus, Tidar, Nuril, Caga, Marsudi, Andri dan yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas semangatnya tanpa kalian penulis bukanlah siapa-siapa.

6. Sahabat-sahabat Arin, Restu, Dian, Serly, Fitri, Ega, Nunul, Atus, Octa dan Zulfa terimakasih atas semua masukan dan kritik yang telah kalian berikan. 7. Arum Luvita Sari terimakasih atas waktu dan semuanya selama ini.

8. Kedua orang tua Rochmad dan Rini, serta adik-adik Angga, Ajeng, dan Rio terimakasih atas semuanya, kalian semangat dalam setiap langkahku.

9. Dan semuanya kakak tingkat dan adik tingkat yang tidak bisa penulis sebut satu persatu terimakasih atas semuanya.

(7)

commit to user

vii 10.Teman-teman 2008 terimakasih semuanya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis harap skripsi ini dapat bermanfaat.

Surakarta, Desember 2012

(8)

commit to user

viii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ... i HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN ABSTRAK ... iv

HALAMAN ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Batasan Masalah ... 2

1.3. Perumusan Masalah ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 3

1.5.Manfaat Penelitian ... 3

BAB II DASAR TEORI ... 4

2.1. Karakteristik Batuan Karst ... 4

2.2. Akuifer Karst ... 5

2.3. Akuifer non Karst ... 6

2.3.1. Porositas Batuan ... 6

2.3.2. Permeabilitas (K) dan Transmisivitas (T) ... 9

2.3.3. Zonasi Vertikal ... 10

2.4. Geologi Regional ... 11

2.5. Metode Geolistrik ... 12

2.6. Resistivitas Semu ... 14

2.7. Aliran Sumber Arus Tunggal ... 15

(9)

commit to user

ix

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 21

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

3.2. Alat Penelitian ... 21 3.3. Prosedur Penelitian ... 22 3.3.1. Survei Lokasi ... 22 3.3.2. Pengambilan Data ... 23 3.3.3. Pengolahan Data ... 25 3.4. Analisis Data ... 26

3.5. Diagram Alir Penelitian ... 27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

4.1. Interpretasi Lintasan ... 28 4.1.1. Lintasan Pertama ... 29 4.1.2. Lintasan Kedua ... 30 4.1.3. Lintasan Ketiga ... 31 4.1.4. Lintasan Keempat ... 33 4.1.5. Lintasan Kelima ... 34 4.1.6. Lintasan Keenam ... 35 4.1.7. Lintasan Ketujuh ... 37

4.2. Analisis Lintasan Pertama hingga Ketujuh ... 38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

5.1. Kesimpulan ... 42

5.2. Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

LAMPIRAN ... 45

Lampiran 1. Data Percobaan ... 45

Lampiran 2. Resistivitas Batuan ... 59

Lampiran 3. Resistivity Meter ... 61

(10)

commit to user

x

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Porositas Batuan ... 8

(11)

commit to user

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Skema pelarutan batuan Karst / gamping ... 5

Gambar 2.2 (a)Diffuse, (b)mixed dan (c)conduit aliran airtanah karst ... 6

Gambar 2.3 Porositas pada batuan (a) non karst dan (b) batuan karst ... 9

Gambar 2.4 Water Table ... 10

Gambar 2.5 Peta Geologi regional Pracimantoro ... 11

Gambar 2.6 Prinsip pengukuran geolistrik ... 13

Gambar 2.7 Material homogen yang dialiri arus ... 14

Gambar 2.8 Aliran arus pada elektroda tunggal ... 16

Gambar 2.9 Potensial pada jarak r di titik P ... 16

Gambar 2.10 Formasi Elektroda Geolistrik ... 17

Gambar 2.11 Konfigurasi Wenner-Schlumberger ... 19

Gambar 3.1 Lokasi pengambilan data ... 21

Gambar 3.2 Seperangkat Resistivitymeter ... 22

Gambar 3.3 Lintasan Pengambilan data ... 23

Gambar 3.4 Konfigurasi Wenner-Schlumberger ... 24

Gambar 3.5 Metode Pengambilan data Wenner-Schlumberger ... 25

Gambar 3.6 (a) input data resistivitas semu dan (b) input data ketinggian ... 26

Gambar 3.7 Diagram alir prosedur penelitian ... 27

Gambar 4.1 Lintasan Penelitian ... 28

Gambar 4.2 Hasil pengolahan data lintasan pertama ... 29

Gambar 4.3 Hasil pengolahan data lintasan kedua ... 30

Gambar 4.4 Hasil pengolahan data lintasan ketiga ... 31

Gambar 4.5 Hasil pengolahan data lintasan keempat ... 33

Gambar 4.6 Hasil pengolahan data lintasan kelima ... 34

Gambar 4.7 Hasil pengolahan data lintasan keenam ... 35

Gambar 4.8 Hasil pengolahan data lintasan ketujuh ... 37

Gambar 4.9 Lintasan pengukuran ... 39

(12)

commit to user

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data Percobaan ... 45

Lampiran 2. Resistivitas Batuan ... 59

Lampiran 3. Resistivity Meter ... 61

(13)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air merupakan salah satu aspek terpenting dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan seluruh makhluk hidup membutuhkan air untuk mempertahankan hidup. Pada kenyataannya ketersediaan air semakin berkurang terutama pada musim kemarau. Banyak daerah di dunia khususnya Indonesia mengalami kekeringan dan kesulitan air, terutama daerah-daerah yang memiliki struktur geologi mayoritas karst. Daerah karst merupakan daerah yang memiliki formasi batuan penyusun yang terdiri dari batuan-batuan gamping atau karbonat. Sehingga warga masyarakat yang tinggal di daerah karst pada musim kemarau terpaksa harus mencari air dari sumber alami yang terdapat pada struktur karst yang disebut dengan Luweng atau mengambil air dari daerah yang bukan berstruktur geologi karst untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari.

Seperti yang telah diketahui dari struktur geologi wilayah karst memiliki sistem sungai bawah tanah (akuifer karst). Sistem akuifer karst memiliki sifat yang anisotropis dan heterogen (Ford and William, 1992). Artinya sistem sungai bawah tanah memiliki orientasi arah aliran tertentu dan melewati beragam struktur batuan khas karst. Karakteristik geologi kawasan karst lainnya adalah terdapat porositas sekunder sebagai akibat dari retakan-retakan berbentuk lorong yang akan menjalar kesegala arah secara tidak beraturan (Adji, 2006). Sehingga akuifer

karst diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu celah (fissure), rembesan (diffuse), dan lorong (conduit). Karst dengan sistem akuifer aliran conduit adalah pola paling sering dijumpai. Hal ini dikarenakan komponen aliran conduit pada saat hujan apabila dilihat hampir menyerupai sungai bawah tanah, dimana air hujan yang berada di permukaan masuk ke dalam akuifer karst melalui sinkhole (Adji, 2009)

Daerah Mudal, Gebangharjo, Pracimantoro merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki struktur geologi mayoritas karst. Sehingga, daerah ini sering mengalami kesulitan guna memenuhi kebutuhan air sehari-sehari terutama di musim kemarau. Warga Mudal, Gebangharjo dalam memenuhi kebutuhan air

(14)

commit to user

2 hanya mengandalkan sistem tadah hujan yang ada di rumah-rumah. Namun demikian, daerah mudal terdapat Luweng Sapen, sebagai indikator keberadaan sungai bawah tanah. Hal ini memerlukan klarifikasi secara geofisika, salah satu metode geofisika untuk mengidentifikasi sungai bawah tanah adalah metode geolistrik.

Metode geolistrik merupakan salah satu teknik untuk penentuan keberadaan air tanah berdasar sifat-sifat listrik yaitu sifat tahanan jenis dari batuan di lapangan. Pada metode ini, masing-masing lapisan batuan dipresentasikan oleh variasi nilai tahanan jenis. Nilai tahanan jenis setiap lapisan batuan di tentukan oleh faktor jenis material penyusunnya, kandungan air dalam batuan, sifat kimia air dan porositas batuan. Oleh karena itu dengan mengetahui nilai tahanan jenis dari masing-masing lapisan batuan dapat di pelajari jenis material batuan dan kondisi air tanahnya. Metode ini dapat memetakan anomali air sehingga didapatkan daerah air tanah-dalam yang mempunyai banyak kandungan air dan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Penelitian ini merupakan pendeteksian bawah permukaan karst dengan metode geolistrik konfigurasi wenner-schlumbereger. Metode konfigurasi wenner schlumbereger ini dilakukan dengan bentangan sejauh 800 meter dengan jarak a sejauh 50 meter, selanjutnya dilakukan penginjeksian arus ke dalam permukaan

karst dengan menggunakan 4 buah elektroda yang terdiri dari 2 buah elektroda potensial dan 2 buah elektroda arus. Metode konfigurasi ini berguna untuk memetakan permukaan bawah tanah secara 2D dengan berdasar tahanan jenis yang terukur sehingga dapat diidentifikasi material-material apa saja penyususun bawah permukaan (Satriani dan Loperte, 2011).

1.2 Batasan Masalah

Penelitian ini dilakukan di daerah karst yang berada di Pracimantoro, Wonogiri. Metode konfigurasi yang digunakan dalam pendeteksian sungai bawah tanah ini adalah Wenner-Schlumberger.

(15)

commit to user

3 1.3. Perumusan Masalah

Berdasarkan ulasan di atas, maka permasalahan yang muncul adalah 1. Bagaimana mendeteksi sungai bawah tanah daerah karst di Pracimantoro?

2. Bagaimanakah aplikasi metode geolistrik digunakan mendeteksi

kedalaman akuifer daerah karst? 1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mencari keberadaan sungai bawah tanah dan mengidentifikasi pola aliran sungai bawah tanah daerah karst di Mudal, Gebangharjo, Pracimantoro, Wonogiri.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Memberikan informasi tentang dugaan keberadaan sungai bawah tanah pada daerah karst di Mudal, Gebangharjo, Pracimantoro, Wonogiri.

2. Berdasarkan pola penyebaran aliran sungai bawah tanah pada daerah karst sehingga dapat dibangun instalasi yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari pada musim kemarau.

3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain dalam mengembangkan penelitian lain tentang air tanah dalam.

(16)

commit to user

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Batuan Karst

Karst merupakan suatu istilah yang diadaptasi dari bahasa Slovenia yang berarti lahan gersang berbatu. Beberapa peneliti mengatakan bahwa karst merupakan suatu lahan yang memiliki suatu karakteristik medan lahan yang khas, hal ini dikarenakan kawasan karst memiliki kondisi hidrologi yang terbentuk akibat dari batuan yang mudah larut dan memiliki porositas sekunder yang berkembang dengan baik (Ford and Wiliam, 1992). Batuan karst memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. terdapatnya cekungan tertutup dan atau lembah kering dalam berbagai ukuran dan bentuk,

2. langkanya atau tidak terdapatnya drainase/ sungai permukaan, dan 3. terdapatnya goa dari sistem drainase bawah tanah.

Karst tidak hanya terjadi di daerah berbatuan karbonat, tetapi terjadi juga di batuan lain yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder (kekar dan sesar intensif), seperti batuan gipsum dan batugaram. Namun demikian, karena batuan karbonat mempunyai sebaran yang paling luas,karst yang banyak dijumpai adalah karst yang berkembang di batuan karbonat. Kawasan karst yang berkembang di batuan karbonat berdasarkan proses pembentukannya, didominasi oleh pelarutan batuan dimana batuan kapur (gamping) diawali oleh larutnya CO2

di dalam air membentuk H2CO3. Larutan H2CO3 tidak stabil terurai menjadi H

-dan HCO3

2-. Ion H- inilah yang selanjutnya menguraikan CaCO3 menjadi Ca 2+

dan

HCO3

2-. Perumusan reaksi dari proses pelarutan batuan sebagai berikut (Haryono dan Adji, 2004) :

CaCo3+ H2O+CO2 Ca2+ + 2HCO3

Proses pelarutan batuan diatas diakibatkan oleh 2 faktor, dua faktor tersebut terdiri dari faktor pendorong dan faktor pengontrol. Kedua faktor tersebut memegang peranan penting pada proses pelarutan dan pembentukan karst, sehingga tanpa

(17)

commit to user

5 kedua faktor tersebut lahan karst tidak dapat terbentuk.berikut merupakan skema pelarutan batuan karst,

Gambar 2.1 Skema pelarutan batuan Karst / gamping (Trudgil,1985)

Faktor pengontrol merupakan faktor yang menentukan dapat tidaknya proses karstifikasi berlangsung (proses pembentukan lahan karst). Faktor pengontrol antara lain :

1. Batuan mudah larut, kompak, tebal, dan mempunyai banyak rekahan 2. Curah hujan yang cukup (>250 mm/tahun)

3. Batuan terekspos di ketinggian yang memungkinkan perkembangan sirkulasi air/drainase secara vertikal.

Selanjutnya, faktor pendorong merupakan faktor yang mempengaruhi kecepatan dan kesempurnaan proses karstifikasi. Pada faktor pendorong ini terdiri dari temperatur dan penutupan hutan.

2.2. Akuifer Karst

Akuifer merupakan lapisan yang berada dibawah permukaan tanah dan mengandung air, sehingga merupakan suatu bentuk formasi geologi yang dapat menyimpan dan mengalirkan air pada periode tertentu (Acworth, 2001). Pada akuifer karst memiliki karakteristik dimana adanya sistem conduit dan diffuse

(18)

commit to user

6 yang hampir tidak terdapat pada akuifer jenis lain (White, 1988). Ada kalanya suatu formasi karst didominasi oleh sistem conduit dan ada kalanya pula tidak terdapat lorong-lorong conduit tetapi lebih berkembang sistem diffuse, sehingga hanya mempunyai pengaruh yang sangat kecil terhadap sirkulasi air tanah karst. Tetapi, pada umumnya suatu daerah karst yang berkembang baik mempunyai kombinasi dua element tersebut. Gambar 2.2 menunjukkan sistem conduit, diffuse, dan campuran pada formasi karst. Selain itu terdapat satu lagi sistem drainase di daerah karst yaitu sistem rekahan (fissure) (Gillieson,1996).

Gambar 2.2 (a) Diffuse, (b) mixed dan (c) conduit aliran air tanah karst

(Domenicoand Schwartz, 1990) 2.3. Akuifer Non Karst

Berdasarkan dari geohidrolika terdapat beberapa istilah yang membedakan sifat-sifat dan karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan akuifer satu dengan yang lainnya. Pembagian berdasarkan geohidrolika sendiri antara lain porositas, permeabilitas, transmisivitas, dan zonasi vertikal.

2.3.1 Porositas Batuan

-pori batuan dengan total volume batuan, seperti yang dinotasikan pada rumus ini :

(19)

commit to user

7

(2.1)

Besar kecilnya porositas tergantung dari jenis batuan dan matrik pada batuan itu sendiri. Berbicara mengenai besarnya porositas batuan karbonat pada daerah karst tidak semata-mata tergantung dari matriks batuan, tetapi lebih tergantung dari proses lanjutan setelah batuan itu terbentuk atau muncul di permukaan bumi. Secara umum porositas batuan dibedakan menjadi dua tipe yaitu:

a) Porositas primer, yaitu porositas yang tergantung dari matriks batuan itu sendiri; dan

b) Porositas sekunder, yaitu porositas yang lebih tergantung pada proses sekunder seperti adanya rekahan ataupun lorong hasil proses solusional.

Dalam hal ini, jika dikatakan bahwa batuan karbonat di daerah karst mempunyai porositas yang besar adalah lebih signifikan karena adanya percelahan hasil proses pelarutan sehingga lebih cocok digolongkan sebagai porositas sekunder. Kesimpulannya, batuan gamping yang belum terkarstifikasi akan mempunyai nilai porositas yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan batuan gamping yang telah terkarstifikasi dengan baik. Tabel 2.1 menyajikan porositas pada beberapa jenis batuan termasuk pada batuan gamping/karbonat.

(20)

commit to user

8

Tabel 2.1 Porositas Batuan (Acworth, 2001)

Material (%)

Sedimen tidak kompak Kerikil Sand Silt Lempung 25 40 25 50 35 50 40 70 Batuan Fractured basalt Gamping terkarstifikasi Sandstone Gamping, dolomit Shale

Fractured crystalline rock Dense crystalline rock

5 50 5 50 5 30 0 20 0 10 0 10 0 5

Batuan gamping dan juga dolomit yang belum terkarstifikasi mempunyai kisaran nilai porositas yang sangat kecil (maksimal 10%). Sebaliknya, jika jika batuan gamping telah terkarstifikasi akan mempunyai nilai porositas yang tinggi (mencapai 50%) Selanjutnya, Gambar 2.3 mengilustrasikan perbedaan tipe porositas pada daerah karst dan non karst. Berdasarkan Gambar 2.3 terlihat bahwa tipe porositas pada batuan non-karst biasanya bersifat teratur dan intergranuler (saling berhubungan ke segala arah), sementara pada batuan karst sangat tergantung dari arah dan kedudukan percelahan (cavities) yang terbentuk karena proses solusional. Proses solusional merupakan proses terbentuknya sebuah lahan yang diakibatkan oleh pelarutan material batuan karbonat yang disebabkan oleh air. Dari waktu ke waktu, jika sistem percelahan masih memungkinkan untuk terus berkembang, maka besarnya porositas sekunder ini juga akan bertambah besar.

(21)

commit to user

9

Gambar 2.3 (a) Porositas pada batuan non karst dan (b) Porositas pada

batuan karst (Adji, 2006)

2.3.2 Permeabilitas (K) dan Transmisivitas (T)

Permeabilitas atau konduktivitas hidraulik (K) secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan suatu batuan untuk meloloskan air/cairan. Nilai ketergantung dari media (batuan) dan independen terhadap jenis cairan. Transmissivitas (T) adalah sejumlah air yang dapat mengalir melewati satu unit luas akuifer secara 100% horizontal. Nilai T ini merupakan suatu fungsi berbanding lurus dengan konduktivitas hidraulik (K) dan tebal akuifer (b),

sehingga :

(2.2) dimana T= transmissivitas akuifer (m2/hari)

K= permeabilitas akuifer (m/hari)

b = tebal akuifer (m)

Nilai K dan T tergantung dari besar kecilnya porositas, sortasi batuan, tekstur batuan, deformasi dan rekahan. Akibatnya, karena lorong-lorong solusional yang dihasilkan pada batuan gamping yang terkarstifikasi

(22)

commit to user

10 dengan baik mengakibatkan nilainya menjadi cukup signifikan pula dibanding jenis batuan lain.

2.3.3 Zonasi Vertikal

Pada akuifer non karst, zonasi vertikal mempunyai pola sebagai berikut : a. lapisan paling atas dibawah tanah adalah zona tak jenuh (aerasi) b. lapisan ditengah adalah zona intermediate yang dibagi lagi menjadi

zone vadose dan zone kapiler. Zona vadose merupakan zona tanah yang berada di antara permukaan tanah dan muka airtanah. Zona vadose merupakan zona yang berada pada kedalaman 0 hingga lebih dari 100 meter dan terletak diantara zona air tanah dengan zona kapiler. Zona kapiler merupakan zona naik karena pengaruh kapiler tanah dari muka air tanah. Tinggi zona ini sangat tergantung struktur tanah dibagian tersebut.

c. lapisan di bawah muka air tanah (water table) dikenal sebagai zone jenuh air Sifat dan kedudukan akuifer non-karst secara vertikal ini cenderung tetap dan hanya berfluktuasi menurut musim sepanjang tahun.

(23)

commit to user

11 Sementara itu, sifat agihan vertikal akuifer pada batuan karbonat cenderung berubah dari waktu ke waktu tergantung dari cepat lambatnya tingkat pelarutan dan lorong-lorong yang terbentuk. Pada akhirnya, penurunan muka airtanah akan stabil setelah mencapai kedudukan yang sama dengan water level setempat (local base level) jika batuan karbonat terletak di atas formasi batuan lain.

2.4. Geologi Regional

Gambar 2.5 Peta Geologi regional Pracimantoro (Lembaga Penelitian Tanah,

1996)

Dusun Mudal, Desa Gebangharjo merupakan salah satu daerah yang berada di Kecamatan Pracimantoro dimana memiliki lahan seluas 27.972.3 Ha. Lahan daerah Pracimantoro material penyusunnya didominasi oleh batu kapur dan napal. Berdasarkan fisiografi permukaan daerah Pracimantoro merupakan daerah bukit lipatan dan macam tanahnya dalam kode TMWL merupakan wilayah dalam formasi Wonosari Punung dimana struktur batuan terdiri atas batu gamping, batu

PETA G EO LO G I KABUPATEN W ONO GIRI, JAWA TENGAH

(24)

commit to user

12 gamping napalan-tufan, batu gamping konglomerat, batu pasir tufan dan batulanau.

2.5. Metode Geolistrik

Metode geolistrik merupakan suatu cabang metode geofisika yang digunakan dalam eksplorasi dangkal pada permukaan tanah, contohnya penentuan kedalaman batuan dasar, pencarian reservoir air, dan juga digunakan dalam eksplorasi georhermal. Metode ini dilakukan dengan mengukur tahanan jenis material yang ada didalam bumi. Tahanan jenis atau disebut dengan resistivitas merupakan besaran yang digunakan untuk mengukur tingkat hambatan material terhadap kuat arus listrik. Metode geolistrik dilakukan dengan menginjeksikan arus listrik kedalam tanah kemudian mengukur besaran tegangan dan kuat arus yang digunakan untuk menghitung resistivitasnya.

Metode geolistrik merupakan salah satu metode geofisika yang didasarkan pada penerapan konsep kelistrikan kebumian. Metode geolistrik digunakan untuk memperkirakan sifat kelistrikan dari suatu formasi batuan bawah permukaan dalam kemampuannya menghantarkan (konduktivitas) atau menghambat listrik (resistivitas). Listrik yang mengalir pada suatu formasi batuan terjadi karena adanya fluida elektrolit pada pori-pori atau rekahan batuan, sehingga suatu formasi batuan bergantung pada porositas batuan serta jenis fluida yang mengisi pada pori-pori tersebut. Formasi batuan porous yang berisi air asin atau berisi air tentu lebih konduktif dibanding batuan yang hanya berisi udara atau kosong, selain itu temperatur yang tinggi juga mempengaruhi penurunan nilai resistivitas batuan keseluruhan karena meningkatnya mobilitas ion-ion penghantar muatan listrik pada fluida yang bersifat elektrolit (Hani, 2009).

Cara kerja metode geolistrik dapat diibaratkan dengan rangkaian listrik, arus yang berasal dari suatu sumber dialirkan pada suatu medium beban listrik misalkan kawat, maka besarnya resistansi dapat diperkirakan berdasarkan besarnya potensial sumber dan besarnya arus yang mengalir. Besarnya nilai resistansi tidak dapat digunakan untuk memperkirakan jenis material karena jenis material masih bergantung dengan ukuran atau geometri. Prinsip pengukuran

(25)

commit to user

13 geolistrik adalah dengan mengalirkan arus listrik ke dalam bumi melalui kontak dua elektroda arus (C1-C2), kemudian diukur distribusi potensial (P1-P2) yang dihasilkan. Resistivitas batuan bawah permukaan dapat dihitung dengan mengetahui besar arus yang dipancarkan melalui elektroda tersebut dan besar potensial yang dihasilkan seperti Gambar 2.6. Untuk mengetahui struktur bawah permukaan yang lebih dalam, maka jarak masing-masing elektroda arus dan elektroda potensial ditambah secara bertahap. Semakin besar spasi atau jarak elektroda arus maka efek penembusan arus ke bawah makin dalam, sehingga batuan yang lebih dalam akan dapat diketahui sifat-sifat fisisnya.

Gambar 2.6 Prinsip pengukuran geolistrik

Pengukuran Resistivitas batuan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti homogenitas batuan, kandungan air, porositas, permeabilitas, dan kandungan mineral. Berdasarkan hasil-hasil pengukuran yang sudah diolah kemudian dikorelasikan dengan pengetahuan geologi sehingga akan memberikan informasi mengenai keadaan geologi bawah permukaan secara logis pada daerah penelitian. Prinsip kerja dari metode resistivitas adalah mengalirkan arus listrik ke dalam bumi melalui dua elektroda arus, kemudian beda potensialnya diukur melalui dua elektroda potensial, sehingga nilai resistivitasnya dapat dihitung. Resistivitas (tahanan jenis) merupakan suatu besaran yang menunjukkan tingkat hambatan terhadap arus listrik dari suatu bahan, yang diberi simbol . Hambatan

(26)

commit to user

14 listrik R suatu bahan berbanding lurus dengan panjang penghantar L dan berbanding terbalik dengan luas penampang penghantar A seperti Gambar 2.7, yang didefinisikan sebagai berikut (Zohdy dkk., 1980).

Gambar 2.7 Material homogen yang dialiri arus memiliki luas penampang A,

panjang L dan ujung-ujung permuk V (Zohdy,

dkk., 1980)

Harga tahanan jenis batuan diperoleh dari persamaan berikut :

(2.3) Dengan R

L = panjang (meter)

A = Luas penampang (meter2) 2.6. Resistivitas semu

Tujuan survey geolistrik tahanan jenis adalah untuk mengetahui resistivitas bawah permukaan bumi dengan melakukan pengukuran di permukaan bumi. Resistivitas bumi berhubungan dengan mineral, kandungan fluida dan derajat saturasi air dalam batuan. Metode yang bisa digunakan pada pengukuran resistivitas secara umum yaitu dengan menggunakan dua elektroda arus (C1 dan C2),dan pengukuran beda potensial dengan menggunakan dua elektroda tegangan (P1 dan P2), hal ini dapat diartikan bahwa bumi homogen isotropis, sehingga tahanan jenis yang diperoleh merupakan tahanan jenis yang sebenarnya dan tidak tergantung pada spasi elektroda.

(27)

commit to user

15 Pada kenyataannya bumi tersusun atas lapisan-lapisan dengan resistivitas yang berbeda-beda, sehingga potensial yang terukur merupakan pengaruh lapisan- lapisan tersebut. Harga resistivitas yang diukur seolah-olah merupakan harga resistivitas untuk satu lapisan saja, padahal terdiri dari beberapa lapisan. Sehingga resistivitas yang terukur adalah resistivitas semu ( ), yang besarnya ditentukan dengan penurunan persamaan berikut:

(2.4) (2.5) Dengan V = Tegangan terukur (mV) I = Arus (mA) L = Panjang Material (m) A = Luas Penampang (m2)

2.7. Aliran sumber arus tunggal

Potensial di suatu titik yang ditimbulkan oleh arus pada medium homogen isotropis hanya ditentukan oleh jarak dari sumber arus ke titik pengukuran, maka potensial akan berkurang sepanjang r. Apabila panjang lapisan homogen dalam persamaan 2.8 dianggap menuju nol dengan mendefinisikan Shell tipis dengan ketebalan dr ( Gambar 2.8) maka persamaan 2.9 dapat ditulis sebagai berikut:

(2.9) (2.6) (2.7) (2.8)

(28)

commit to user

16

Gambar 2.8 Aliran arus pada elektroda tunggal (Reynolds, 2002 dalam Asmanto,

2003)

arus I dialirkan ke dalam medium Gambar 2.9, maka arus selanjutnya mengalir secara radial dan seketika terdistribusi merata (uniform) membentuk setengah

bola. Pada jarak r r2

maka rapat arus J menjadi :

Persamaan 2.8 disubstitusi ke dalam persamaan 2.11, maka diperoleh:

dengan mengintegralkan persamaan 2.11, diperoleh:

Potensial pada jarak r di titik P dalam Gambar 2.9 dari titik sumber arus C adalah dengan mempertimbangkan syarat batas, bila r ~ , maka V = 0 dan C = 0. persamaan 12 menjadi:

(29)

commit to user

17

Gambar 2.10 Formasi elektroda geolistrik

K merupakan faktor geometri, dimana besarnya faktor geometri ini bergantung pada konfigurasi elektroda yang digunakan. Berdasarkan persamaan 2.11 dapat diturunkan untuk potensial yang ditimbulkan oleh dua elektroda arus (I+ dan I-), di titik P1 seperti gambar 2.10 adalah sebagai berikut :

Sedangkan P2 sebagai berikut :

Maka beda potensial diantara dua elektroda P1 dan P2 adalah :

P1 VP2 (2.16)

Sehingga diperoleh :

Besar resisivitas semu adalah

(30)

commit to user

18 Dimana K merupakan faktor geometri, sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai K

adalah

2.8. Konfigurasi Wenner-Schlumberger

Metode konfigurasi Wenner-Schlumberger merupakan salah satu metode konfigurasi dalam geolistrik. Pada konfigurasi ini digunakan dua buah elektroda yang bertindak sebagai arus dan dua buah elektroda bertindak sebagai potensial (satriani,2011). Metode konfigurasi ini sebenarnya merupakan modifikasi dari bentuk konfigurasi Wenner dan konfigurasi Schlumberger, kedua konfigurasi ini dapat digunakan pada sistem konfigurasi yang menggunakan aturan spasi yang konstan dengan catatan faktor untuk konfigurasi ini adalah perbandingan jarak antara elektroda C1-P1 dan C2-P2 dengan spasi antara elektroda P1-P2. Dimana, a adalah jarak antara elektroda P1-P2. Konfigurasi ini secara efektif menjadi konfigurasi Schlumberger ketika faktor n menjadi 2 dan seterusnya. Sehingga ini sebenarnya merupakan kombinasi antara konfigurasi Wenner-Schlumberger yang menggunakan spasi elektroda yang konstan.

Metode konfigurasi Wenner-Schlumberger dalam cakupan horizontal dibandingkan dengan metode konfigurasi Wenner, konfigurasi Wenner-Schlumberger jauh lebih baik hal ini dikarenakan penetrasi konfigurasi ini 15% lebih baik dibanding konfigurasi Wenner (Novan, 2010). Pada konfigurasi Wenner-Schlumberger dalam memperoleh kedalaman yang lebih maka jarak antara elektroda P1-P2 ditingkatkan menjadi 2a dan pengukuran diulangi untuk n yang sama sampai pada elektroda terakhir, kemudian jarak antara elektroda P1-P2 ditingkatkan menjadi 3a, dan seterusnya.

(31)

commit to user

19

Gambar 2.11 Konfigurasi Wenner-Schlumberger (Suhendra, 2007)

Berdasarkan konfigurasi diatas dapat diperoleh nilai dari K dengan persamaan :

(2.21)

(2.22)

(2.23)

(32)

commit to user

20

(2.28)

(2.29)

Persamaan faktor geometri berdasarkan konfigurasi Wenner-Schlumberger

didapat nilai faktor geometri yakni :

(33)

commit to user

21 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Juni 2012. Lokasi pengambilan data dilakukan di daerah Mudal, Gebangharjo, Pracimantoro, Wonogiri.

Gambar 3.1 Lokasi pengambilan data (Peta Geologi)

3.2. Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Resistivity meter

OYO model 2119C McOHM-EL, sebagai sumber tegangan dari Resistivity meter

digunakan accumulator sebesar 12 V. Penghubung instrumen antara Resistivity meter dengan elektroda digunakan empat buah rol kabel yang masing-masing memiliki panjang sekitar 400 meter, serta dalam pengecekan kondisi kabel Pracimantoro

(34)

commit to user

22 digunakan multimeter apabila terjadi kabel putus. Elektroda memiliki fungsi sebagai media pentransmisian arus listrik ke dalam bumi dan mengukur beda potensial yang timbul yang selanjutnya dapat dihitung resistivitas semu dengan bantuan kalkulator. Media yang digunakan dalam menancapkan elektroda ke dalam tanah digunakan palu.

Gambar 3.2 Seperangkat Resistivitymeter

Peralatan pendukung lain yang digunakan dalam penelitian yakni rol meteran yang berfungsi untuk mengukur jarak bentangan dan spasi antar elektroda yang akan diambil datanya. Global Potisioning System (GPS) Garmin Model II plus untuk menentukan posisi letak titik ukur lintang dan bujur. Pengontrol kelurusan lintasan pengambilan data digunakan kompas, selain pengontrol kelurusan lintasan, kompas juga digunakan untuk menentukan arah pengambilan data. Alat komunikasi diperjalanan pengambilan data anatara operator dengan pengambil data pada elektroda digunakan Handy Talky.

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Survei Lokasi

Survei lokasi merupakan tahapan awal sebelum dilakukannya pengambilan data yang dilakukan bulan januari 2012, tahapan awal meliputi pegamatan lokasi-lokasi dilakukannya penelitian, sehingga dengan tahapan ini dapat diperkirakan sejauh mana lintasan data yang akan diambil dan arah bentangan berdasarkan

(35)

commit to user

23 tujuan pengambilan data. Pendugaan awal keterdapatan sungai bawah tanah pada daerah pengambilan data berdasarkan kemunculan ke permukaan luweng sapen pada daerah pengambilan data.

Gambar 3.3 Lintasan Pengambilan data

3.3.2. Pengambilan Data

Penelitian ini menggunakan metode pengambilan data konfigurasi Wenner-Schlumberger. Berdasarkan metode konfigurasi ini diperoleh data penelitian antara lain a (datum point), K (faktor geometri), n (perulangan), V ( beda potensial), I (arus), dan (resistivitas/tahanan jenis). Pengambilan data dilakukan dengan beberapa panjang lintasan, panjang lintasan pertama sepanjang 800 meter dengan a = 50 meter dan spasi elektroda sebanyak 54 kali dan panjang lintasan kedua sepanjang 480 meter dengan a = 30 meter, spasi elektroda sebanyak 54 kali. Banyak titik yang diambil adalah sebanyak 7 titik dengan pola 5 titik memotong pendugaan jalur aliran dari Luweng Sapen dan 2 titik sebagai pengontrol aliran.

(36)

commit to user

24

Gambar 3.4 Konfigurasi Wenner-Schlumberger

Pada pengambilan data geolistrik terdapat 4 buah elektroda antara lain C1,P1,P2,

dan C2. C1 dan C2 merupakan elektroda yang bekerja sebagai elektroda arus,

sedangkan P1 dan P2 merupakan elektroda yang bekerja sebagai elektroda

(37)

commit to user

25

Gambar 3.5 Metode Pengambilan data Wenner-Schlumberger

3.3.3. Pengolahan Data

Pengolahan data geolistrik menggunakan software computer antara lain Microsoft Excel yang digunakan untuk membuat form pengambilan data, notepad digunakan untuk input data, dan Res2Dinv yang digunakan untuk pengolahan data dua dimensi sehingga didapatkan peta lateral bawah permukaan bumi. Input data pada notepad dapat dilihat pada Gambar 3.6a

(38)

commit to user

26 (a)

(b)

Gambar 3.6 (a) Cara input data resistivitas semu dan (b) Cara input data

ketinggian

3.4. Analisis Data

Analisa merupakan tahap interpretasi data geolistrik hasil dari pengolahan software res2dinv yang berupa peta lateral 2 dimensi penampang bawah

Nama data

Jarak antara eletroda potensial dalam meter

Kode wenner-schlumberger

Jarak elektroda arus dengan pusat Banyak perulangan (n)

Resistivitas semu batuan Banyak data

Kode input data ketinggian

Banyak data ketinggian

(39)

commit to user

27 permukaan. Interpretasi data geolistrik diartikan sebagai penerjemah bahasa fisis berupa nilai tahanan jenis (resistivitas) menjadi bahasa geologi yang lebih umum untuk mengetahui potensi akifer.

3.5. Diagram Alir Penelitian

Penelitian dilakukan dengan tahapan prosedur kerja seperti pada gambar sebagai berikut :

Gambar 3.7 Diagram alir prosedur penelitian

Pengambilan data

Pengukuran Data Resistivity meter

Pengolahan Data Dengan Res2Dinv

Interpretasi data inversi berdasar Peta Geologi, data bor, dan literatur resistivitas

Tahanan Semu

Penampang 2 Dimensi

Kesimpulan Survai Lokasi

(40)

commit to user

28 BAB IV

HASIL DATA DAN PEMBAHASAN

4.1. Interpretasi Lintasan

Penelitian identifikasi pola aliran sungai bawah tanah ini dilakukan di daerah Dusun Mudal, Kelurahan Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro. Kecamatan Pracimatoro berdasarkan peta geologi, memiliki formasi batuan penyusun Wonosari-Punung meliputi Batu gamping, Batu gamping napalan-tufan, Batu gamping konglomerat, batu pasir tufan, dan batulanau. Penelitian ini dilakukan sebanyak 7 lintasan dengan menggunakan metode geolistrik konfigurasi Wenner-Schlumberger. Lintasan pengambilan data ditunjukkan pada Gambar 4.1. Data mapping yang diperoleh dapat diolah untuk mendapatkan informasi secara vertikal dan horizontal bawah permukaan tanah.

Gambar 4.1 Lintasan penelitian

Software yang digunakan dalam pengolahan data adalah Res2Dinv. Prosedur dalam pengolahan yaitu input data dengan memasukkan lebar jarak antar elektroda potensial, faktor pengali elektroda arus, jarak elektroda arus, nilai resistivitas semu yang didapat dari pengambilan data dilapangan, dan data ketinggian posisi pengambilan data. Faktor pengali elektroda arus yaitu 1 hingga 6, hal ini merujuk panjang lintasan pengambilan data. Langkah selanjutnya menginversi data tersebut sehingga didapatkan peta lateral 2 dimensi dengan informasi nilai resistivitas batuan-batuan penyusun, dan data topografi. Data-data

(41)

commit to user

29 setiap lintasan hasil pengoalahan selanjutnya dilakukan interpretasi sebagai berikut :

Lintasan Pertama

Gambar 4.2 Hasil pengolahan data lintasan pertama

Lintasan pertama diambil pada koordinat S 08o o

Pengambilan data dimulai dari arah utara menuju selatan. Panjang lintasan pengambilan data adalah 800 meter dengan jarak antar elektroda potensial 50 meter dan faktor pengali elektroda arus adalah 1 hinga 6. Hasil inversi pengolahan data diperoleh kedalaman hingga 200 meter dan terdapat beberapa lapisan batuan penyusun. Hasil resitivitas yang didapat dari pengolahan Gambar 4.2. Lapisan pertama paling dekat dengan permukaan tanah memiliki rentang

resistivitas 32, , retasikan sebagai

batu pasir tufan yang telah bercampur dengan batulanau. Batuan ini letaknya tersebar dari pusat lintasan hingga 800 meter. Batu pasir tufan merupakan batu pasir yang bersifat massif dengan porositas baik dan cenderung merupakan sisipan dalam lapisan penyusun batuan. Sedangkan batulanau merupakan batuan sedimen klastik yang cenderung menyerupai lempung dan berukuran lanau, yaitu sekitar 1/256 hingga 1/16 mm (Noor, 2009). Lapisan-lapisan ini bukan merupakan akifer yang baik. Hal ini dikarenakan batuan penyusun tersebut memiliki nilai porositas 25-50% (Acworth, 2001) dan letaknya tersebar.

Lapisan batuan penyusun berada pada rentang resistivitas antara 4,

hingga 32, .

Lapisan ini bersifat massif dan berupa sisipan berada pada kedalaman 150 meter hingga 200 meter.

(42)

commit to user

30 Pada lapisan selanjutnya pada Gambar 4.2 adalah batuan karbonat atau batuan kapur. Batuan ini mulai dijumpai berada pada kedalaman sekitar 40 meter. Hasil pengolahan data memperlihatkan dua buah anomali, anomali pertama pada jarak 370-430 meter dan anomali yang kedua berada pada jarak sekitar 600-720 meter dari pusat panjang lintasan. Nilai resistivitas batuan berkisar antara 438 ivitas penampang lapisan tersebut dapat diduga bahwa lapisan batuan tersebut merupakan batuan karbonat atau Batu gamping. Lapisan batuan karbonat tersebut merupakan batuan yang kedap air dan diduga berbentuk seperti lorong sungai bawah tanah. Sekitar lorong terdapat lapisan yang merupakan struktur penyusun sungai bawah tanah. Lapisan ini memiliki

resistivitas sekitar yang memiliki sifat masif, porositas baik, dan biasanya hadir sebagai sisipan (Hani, 2009). Lapisan di bawahnya memiliki resistivitas batuan

konglomerat. Batu gamping jenis ini memiliki struktur butir batuan berbentuk bulat. Lapisan ini merupakan batuan penudung (capsrock) dari struktur sungai bawah tanah. Batu gamping yang berada di bawah lapisan batu napalan-tufan

memiliki ketebalan sekitar 70 meter, sehingga lapisan ini dapat menyimpan air yang cukup dan mengalirkan melalui rongga yang diduga terbentuk melalui proses karstifikasi (Adji, 2009). Proses karstifikasi merupakan proses pelarutan batuan-batuan karbonat yang disebabkan oleh air.

Lintasan kedua

Gambar 4.3 Hasil pengolahan data lintasan kedua

(43)

commit to user

31 Pengambilan data pada lintasan kedua dilakukan pada koordinat S

08o o47,262. Pengambilan data dimulai dari arah barat menuju

timur. Panjang lintasan dalam proses pengambilan data sejauh 800 meter dengan jarak antar elektroda potensial 50 meter dan faktor pengali elektroda arus adalah 1 hingga 6. Hasil pengolahan data pada lintasan kedua ini dapat diduga lapisan yang berada paling atas terdiri dari beberapa macam struktur batuan. Berdasarkan Gambar 4.3, pada jarak sekitar 73-675 meter dari pusat lintasan memiliki resistivitas batuan sekitar 4,91-49,

batu pasir tufan dan batulanau. Lapisan ini diduga bukan merupakan akifer yang baik. Hal ini dikarenakan memiliki nilai porositas sekitar 25-75%. Sehingga pada lapisan seperti ini tidak memiliki kemampuan untuk menyimpan air dan cenderung hanya melewatkan air (Acworth, 2001).

Interpretasi selanjutnya pada lapisan penampang Gambar 4.3 dijumpai lapisan b

lapisan ini berupa batu gamping napalan tufan yang cenderung hadir sebagai sisipan. Pada permukaan, nampak struktur batuan karbonat pada jarak dari pusat sekitar 710 meter dengan pendugaan lebar 30 meter. Batuan tersebut memiliki resistivitas

kecil disekitar permukaan tanah. Batuan karbonat ini tidak berpotensi sebagai akifer yang baik. Hal ini diduga karena belum mengalami proses karstifikasi dengan baik. Sehingga dapat dikatakan pada lapisan ini hanya memiliki sedikit rongga-rongga untuk mengalirkan air.

4.1.3. Lintasan Ketiga

Gambar 4.4 Hasil pengolahan data lintasan ketiga

(44)

commit to user

32 Pengambilan data lintasan ketiga dilakukan dengan panjang lintasan sejauh 800 meter. Jarak antar elektroda potensial 50 meter dan faktor pengali elektroda arus adalah 1 hingga 6. Lokasi lintasan ketiga yang diambil pada

koordinat S 08o o ri arah

timur menuju barat. Pada lintasan ketiga ini nampak pada Gambar 4.4, terdapat lapisan batuan yang memiliki nilai resistivitas berkisar antara 22,8 hingga 49,9 -batuan penyusun pada rentang resistivitas tersebut diduga merupakan batu pasir tufan (sandstone) dan batulanau (Telford, 1976). Lapisan batuan tersebut tersebar sekitar 75 meter hingga 275 meter dari pusat panjang lintasan dengan ketebalan sekitar 50 meter. Batuan jenis ini memiliki struktur masif, dan memiliki porositas yang baik.

Diduga merupakan lapisan batuan gamping napalan tufan yang tersebar hampir diseluruh penampang lateral. Batu gamping napalan tufan yang memiliki sifat batuan yang hadir sebagai sisipan batu gamping (Hani, 2009). Batu gamping napalan-tufan ini bersifat massif dan memiliki porositas yang baik. Sehingga dapat dikatakan dapat mengalirkan air ke lorong sungai bawah tanah melalui rongga-rongga pori yang berada pada batuan karbonat (Noor, 2009). Pada Gambar

merupakan Batu gamping konglomerat. Batu gamping konglomerat memiliki sifat batuan yang berstruktur bulat massif, dan memiliki porositas yang baik sehingga dapat bertindak sebagai batuan penudung atau capsrock (Satuti, 2010).

Berdasarkan Gambar 4.4 terdapat dua buah pola kontur yang diberi tanda kotak seperti lorong (conduit). Diduga merupakan salah satu bentuk porositas sekunder. Pola kontur lorong pertama berada pada daerah sekitar permukaan dengan jarak 710 meter dari pusat lintasan dan memiliki lebar rongga sekitar 10

diidentifikasi batuan ini merupakan batuan karbonat. Anomali yang kedua berada pada jarak berkisar 475 meter hingga 575 meter dari pusat panjang lintasan. Pada lapisan batuan karbonat ini mulai nampak pada kedalaman sekitar 20 meter dari permukaan. Lapisan ini berbentuk seperti lorong yang cukup lebar berkisar 80

(45)

commit to user

33 meter dan memi

Pada lapisan karbonat kedua ini dengan resistivitas batuan karbonat yang cukup besar. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa batuan karbonat tersebut belum mengalami karstifikasi secara baik namun apabila dilihat dari rongga atau lorong yang cukup besar. Dapat dikatakan lapisan ini berpotensi akuifer yang nantinya akan dapat menampung air dalam jumlah yang cukup dan dapat mengalirkan melalui lorong atau rongga-rongga yang terbentuk akibat proses karstifikasi.

4.1.4. Lintasan Keempat

Gambar 4.5 Hasil pengolahan data lintasan keempat

Pengambilan lintasan keempat dilakukan dengan panjang lintasan sejauh 480 meter. Jarak antar elektroda potensial 30 meter dan faktor pengali elektroda arus adalah 1 hingga 6. Lintasan keempat ini diambil pada koordinat S

08o o

menuju barat. Berdasarkan hasil pengolahan data Gambar 4.5, dapat diinterpretasikan lapisan penyusun batuan yang memiliki rentang resistivitas antara

5,89-ini letaknya tersebar antara 75-725 meter dari pusat lintasan.

Pada lapisan-lapisan batuan penyusun lintasan keempat ini beradasarkan nilai resistivitas batuan dan kemunculan letak batuan, terdapat batuan dengan

dari pusat lintasan. Diduga batuan ini merupakan batu gamping napalan tufan dengan struktur batuan massif dan cenderung memiliki letak dengan arah vertikal. Lapisan batuan napalan tufan ini diduga mengalirkan air yang berasal dari permukaan. Selanjutnya masuk melalui pori-pori batuan karbonat sebagai pengisi lorong-lorong pada struktur sungai bawah tanah. Hal ini dikarenakan batuan gamping napalan tufan memiliki porositas yang baik.

(46)

commit to user

34 Pada Gambar 4.5 yang diberi tanda kotak terdapat pola kontur memiliki nilai resistivi

berbentuk lorong pada jarak sekitar 195-215 meter dari pusat panjang lintasan dengan kedalaman 85 meter dari permukaan. Lapisan karbonat ini memiliki resistivitas jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai resistivitas pada lapisan karbonat lintasan ketiga. Sekitar lorong juga terdapat lapisan-lapisan dengan

Batu gamping konglomerat. Batu gamping konglomerat ini memiliki struktur batuan bulat bersifat massif dan memiliki porositas yang baik. Pada lapisan karbonat ini dapat dikatakan telah mengalami proses karstifikasi jauh lebih baik dibandingkan dengan daerah lintasan ketiga. Sehingga lapisan karbonat ini dapat dikatakan berpotensi sebagai akifer, yang dapat menampung air yang cukup dalam waktu tertentu dan dapat mengalirkan melalui rongga atau lorong dari batuan karbonat.

4.1.5. Lintasan kelima

Gambar 4.6 Hasil pengolahan data lintasan kelima

Pengambilan data pada lintasan kelima dilakukan pada koordinat lokasi S

08o o

menuju timur. Panjang lintasan yang digunakan pada lokasi kelima ini adalah sejauh 800 meter dengan jarak antar elektroda potensial 50 meter dan faktor pengali elektroda arus adalah 1 hingga 6. Hasil pengolahan data resistivitas semu yang didapat dari data lapangan seperti nampak pada Gambar 4.6. hal ini dapat diinterpretasikan bahwa mayoritas lapisan penyusun batuan memiliki nilai

yang didapat dapat diinterpretasikan bahwa batuan penyusun tersebut merupakan

(47)

commit to user

35 batu pasir tufan (sandstone) dan batu lanau. Lapisan ini tersebar dari 75-675 meter dari pusat lintasan dan nampak hingga kedalaman sekitar 130 meter.

Pada lokasi ini nampak lapisan penyusun dengan resistivitas berkisar 50

sebagai Batu gamping napalan-tufan yang berstruktur massif dan berporositas baik. Pada panjang lintasan 475-485 meter dari pusat lintasan terdapat pola kontur batuan karbonat yang menyerupai lorong kecil yang memiliki nilai resistivitas dak berpotensi sebagai akifer hal ini disebabkan memiliki lebar rongga atau lorong yang hanya sekitar 10 meter dan diduga belum terkarstifikasi dengan baik. Sehingga lapisan ini tidak memiliki kemampuan untuk cukup menampung air dan mengalirkannya.

Pola kontur lorong kedua seperti pada Gambar 4.6, mulai nampak sekitar jarak 710-725 meter dari pusat panjang lintasan. Pada lapisan ini memiliki nilai resistivitas berkisar

376-gamping yang berbentuk lorong yang merupakan struktur sungai bawah tanah. Namun, lapisan ini memiliki lorong yang kecil dan berada di permukaan. Sehingga diduga lapisan ini belum mengalami proses kartifikasi batuan karbonat dengan baik dan hanya memiliki rongga-rongga kecil.

4.1.6. Lintasan keenam

Gambar 4.7 Hasil pengolahan lintasan keenam

Lintasan keenam diambil pada koordinat S 08o o46,960.

Pengambilan data dimulai dari arah barat menunu timur. Pengambilan pada lintasan keenam ini berada sekitar 400 meter dari lintasan lintasan pertama dan panjang lintasan keenam memotong lintasan pertama. Panjang lintasan yang digunakan adalah 480 meter dengan jarak antar elektroda potensial 30 meter dan

(48)

commit to user

36 faktor pengali elektroda arus adalah 1 hingga 6. Hasil pengolahan data pada lintasan keenam pada Gambar 4.7 dapat diinterpretasikan bahwa lintasan keenam ini memiliki lapisan penyusun batuan. Pada rentang resistivitas berkisar antara

Acworth (2001) lapisan batuan ini hadir sebagai sisipan yang berporositas tinggi 25-70%. Sehingga air yang mengenai lapisan ini hanya akan dilewatkan tanpa ditampung. Berdasarkan Gambar 4.7 lapisan batuan ini tersebar hampir diseluruh lapisan pada jarak 45 hingga 435 meter dari pusat pengambilan data. Jenis batuan ini nampak hingga kedalaman sekitar 110 meter.

Pada lintasan keenam ini pada Gambar 4.7 yang diberi tanda kotak nampak dua buah pola kontur berbentuk lorong. Lapisan batuan penyusun hasil pengolahan yang memi

resistivitas tersebut dapat diinterpretasikan bahwa lapisan tersebut merupakan batuan karbonat. Pada gambar 4.7 nampak lapisan batuan karbonat tersebut membentuk lorong-lorong. Diduga sebagai batuan penudung atau capsrock yang merupakan struktur penyusun sungai bawah tanah. Batuan penudung tersebut terdiri beberapa lapis batuan penyusun. Berdasarkan nilai resistivitas yang

batuan ini merupakan Batu gamping konglomerat karena lapisan batuan ini hadir dengan struktur batuan yang bulat dan memiliki porositas yang baik.

Struktur lapisan batuan ini bersifat masif sehingga bertindak sebagai batuan penudung dalam struktur sungai bawah tanah. Anomali berbentuk pola kontur lorong batuan karbonat pertama nampak pada jarak 180-200 meter dari pusat pengambilan data. Pada anomali ini dapat dikorelasikan dengan pengambilan data pada lintasan pertama dan dapat dikatakan merupakan lorong yang sama hal ini dikarenakan diperoleh bentuk lorong dan rentang yang hampir sama.

Pada anomali yang kedua nampak pada jarak 280-350 meter dari pusat lintasan pengambilan data. Anomali kedua ini nampak lorong yang lebih lebar dari lorong yang pertama. Berdasarkan lebar lorong dan nilai resistivitas dapat diduga bahwa lapisan karbonat ini telah mengalami proses karstifikasi dan dapat

(49)

commit to user

37 dikatakan lapisan ini berpotensi sebagai akifer yang baik yang dapat menampung air pada jumlah yang cukup dan mengalirkannya pada waktu tertentu.

4.1.7. Lintasan ketujuh

Gambar 4.8 Hasil pengolahan data lintasan ketujuh

Pengambilan data pada lintasan ketujuh dilakukan dengan panjang lintasan 480 meter. Jarak antar elektroda potensial 30 meter dan faktor pengali elektroda arus adalah 1 hingga 6. Lintasan pengambilan data berada pada koordinat S

08o o . Pengambilan data dimulai dari arah utara menuju

selatan. Hasil pengolahan data pada lintasan ketujuh ini didapatkan penampang lateral dua dimensi seperti nampak pada Gambar 4.8. Berdasarkan Bambar 4.8 nampak bahwa lapisan ketujuh juga terdiri dari beberapa lapisan batuan penyusun. Pada hasil pengolahan nampak rentang resistivitas berkisar 8,61 hingga 49,9 dapat diinterpretasikan sebagai lapisan batuan penyusun yang terdiri dari batu pasir tufan dan batu lanau. Lapisan-lapisan batuan penyusun ini hadir sebagai sisipan diantara lapisan batuan karbonat dan tersebar antara jarak 45 hingga 435 meter dari pusat pengambilan data. Lapisan-lapisan ini bukan merupakan akifer yang baik. Hal ini dikarenakan memiliki porositas yang relatif tinggi 25-70% (Acworth, 2001). Sehingga lapisan ini tidak dapat menyimpan air dan cenderung air mudah lolos.

Pada jarak sekitar 280 meter dari pusat pengambilan data dijumpai pola kontur berbentuk seperti lorong dengan resistivitas batuan sebesar 82, seperti nampak pada Gambar 4.8 yang diberi tanda kotak. Berdasarkan resistivitas nilai batuan tersebut dapat diinterpretasikan bahwa batuan tersebut merupakan batuan karbonat. Anomali berbentuk lorong yang cukup lebar ini dan memiliki batuan penudung atau capsrock. Pada batuan yang diduga sebagai lapisan batuan

(50)

commit to user

38 Batu gamping konglomerat. Batu gamping konglomerat memiliki struktur batuan berbentuk bulat dan berstruktur masif, lapisan ini merupakan satuan dari sistem sungai bawah tanah. Lapisan batuan karbonat yang berbentuk seperti lorong tersebut memiliki resistivitas relatif kecil sekitar 82,

lapisan karbonat berisi banyak air, sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Telford, dkk (1976), yang menyatakan bahwa batuan bertipe karbonat apabila dalam keadaan basah memiliki rentang nilai resistivitas yang lebih rendah daripada batuan bertipe karbonat dalam keadaan kering. Sehingga dapat dikatakan bahwa lapisan batuan karbonat ini merupakan akifer yang baik. Hal ini karena diduga menyimpan air yang cukup dan dapat mengalirkan air pada waktu tertentu yang terbentuk dari proses karstifikasi.

4.2. Analisis Lintasan Pertama Hingga Ketujuh

Hasil dari pengambilan dan pengolahan data dari lintasan pertama hingga ketujuh dapat diambil kesimpulan bahwa disetiap lintasan diperoleh lapisan-lapisan batuan penyusun yang hampir sama. Hal ini merujuk peta geologi wilayah Pracimantoro. Mayoritas lapisan yang berisikan batu pasir tufan dan batulanau berada tersebar diseluruh permukaan penampang 2 dimensi. Lapisan ini memiliki porositas yang cukup tinggi sekitar 25-75 % sehingga air yang meresap kedalam tanah yang melewati lapisan ini hanya akan dilewatkan saja tanpa ditampung (Acworth, 2001). Selain lapisan batu pasir tufan dan lanau terdapat Batu gamping napalan tufan, batuan ini hadir sebagai sisipan vertikal dan berporositas baik. Sehingga air-air akan melewati rongga-rongga pada batuan ini dan diduga akan diteruskan menuju lorong-lorong sungai bawah tanah.

Pada lorong-lorong sungai bawah tanah dikelilingi oleh lapisan batu gamping konglomerat yang berstruktur batuan bulat dan massif. Sehingga batuan yang diduga Batu gamping konglomerat ini bertindak sebagai capsrock sebagai penudung dalam struktur sungai bawah tanah. Pendugaan adanya sistem akuifer sungai bawah tanah apabila dihubungkan dengan nilai resistivitas. Batuan karbonat yang dalam keadaan menampung air dalam jumlah yang cukup dan dapat mengalirkannya. Maka batuan karbonat tersebut akan mengalami penurunan

(51)

commit to user

39 nilai resistivitas atau memiliki nillai resistivitas lebih rendah dibandingkan nilai resistivitas pada batuan karbonat dalam keadaan kering.

Pada keadaan batuan karbonat berstruktur massif memiliki rentang resistivitas berkisar 3,5 X 102 5 X 103

yaitu lintasan 1,4,6, dan 7 yang memiliki lorong yang diduga merupakan struktur penyusun sungai bawah tanah dengan resistivitas sekitar 50 -

dapat dikatakan bahwa lapisan batuan karbonat pada lintasan-lintasan tersebut telah mengalami proses karstifikasi dengan baik. Lokasi-lokasi lintasan tersebut dapat dikatakan berpotensi menjadi akuifer yang baik sebab berdasarkan sistem pola akuifer karst, pada daerah karst memiliki tipe akifer diffuse dan conduit. Sehingga air masuk berupa rembesan pada permukaan batuan karbonat (diffuse), rembesan air selanjutnya tertampung ke dalam lorong-lorong (conduit) dan air diteruskan masuk ke dalam sungai bawah tanah Luweng Sapen.

Gambar 4.9 Lintasan pengukuran (a) lintasan pertama (b) lintasan kedua

(c) lintasan ketiga (d) lintasan keempat (e) lintasan kelima (f) lintasan keenam (g) lintasan ketujuh

Identifikasi pola aliran sungai bawah tanah Luweng Sapen dilakukan dengan pendugaan berdasarkan nilai rentang resistivitas dan ketinggian lokasi lorong sungai bawah tanah hasil pengolahan data. Pada Gambar 4.9 nilai rentang

(52)

commit to user

40 resistivitas antara lintasan satu dengan yang lain dipilih dengan rentang berkisar 69,2

pengolahan data memiliki kecenderungan membentuk pola kontur lorong. Diduga sebagai batuan penudung sebagai struktur penyusun sungai bawah tanah. Sungai bawah tanah diduga memiliki aliran yang berhubungan satu dengan yang lain, pada aliran pertama air yang berasal dari Luweng Sapen diduga mengalir kearah utara. Selanjutnya mengisi lorong pada lintasan keempat yang mem iliki kedalaman 100 meter sementara Luweng Sapen memiliki kedalaman 48 meter. Pendugaan ini muncul berdasarkan dari pola aliran air yang mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah maka air bergerak melewati lorong-lorong yang saling berhubungan yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan alirannya bersifat turbulen (Hani, 2009).

Gambar 4.10 Dugaan pola aliran sungai bawah tanah

Pada Gambar 4.10, aliran yang berasal dari Luweng Sapen berikutnya bergerak ke selatan pada lintasan 6 dan lintasan 3. Pada lintasan 6 memiliki anomali batuan karbonat yang diduga lorong dari sungai bawah tanah bercabang menjadi dua. Kedua lorong berada pada kedalaman sekitar 70 meter dari permukaan sehingga aliran yang berasal dari Luweng Sapen dapat dikatakan

(53)

commit to user

41 bergerak menuju lorong pada lintasan keenam. Selanjutnya bergerak semakin ke selatan menuju lorong pada lintasan ke 3 dengan dasar lorong berada pada kedalaman 120 meter. Diduga pada lintasan lima juga terdapat lorong aliran sungai bawah tanah namun letaknya lebih dalam dari lorong lintasan sebelumnya sehingga tidak tercakup dalam penampang lateral 2 dimensi. Selain aliran yang bergerak ke selatan aliran air sungai bawah tanah yang berasal dari Luweng Sapen. Diduga juga bergerak menuju bergerak kearah timur yakni lintasan 7 dengan lorong berada pada kedalaman 60 meter.

Penelitian menggunakan metode geolistrik konfigurasi

Wenner-Schlumberger ini, dapat digunakan sebagai survei awal untuk menambah referensi dalam melakukan pengeboran untuk mencari sumber-sumber mata air baru yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan. Adanya survei awal ini dapat memperbesar kemungkinan didapatkan letak-letak keberadaan akifer sebagai tempat kesarangan air pada daerah ini.

(54)

commit to user

42 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan dan interpretasi dapat diambil kesimpulan bahwa pada Dusun Mudal, Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro diduga terdapat sistem sungai bawah tanah. Potensi akifer berdasarkan nilai rentang resistivitas hasil pengolahan data berada pada rentang

50-resistivitas batuan karbonat tersebut diduga batuan karbonat dalam keadaan basah dan berisi air sehingga dapat mensuplai sungai bawah tanah Luweng Sapen. Pada lintasan ketujuh lapisan batuan karbonat berbentuk seperti lorong yang berada pada kedalaman sekitar 60 meter dari permukaan dengan jarak 280-360 meter dari pusat pengambilan data dan memiliki resistivitas batuan karbonat sekitar 82,8 karbonat dalam keadaan basah sehingga dapat dikatakan lorong tersebut berpotensi sebagai akifer yang dapat menampung dan mengalirkan air pada waktu tertentu. Pola aliran sungai bawah tanah Luweng Sapen diduga menuju kearah utara pada lintasan empat dan kemudian ke selatan bercabang menjadi dua lorong, cabang pertama menuju kearah timur lintasan tujuh dan cabang kedua diduga menuju semakin ke selatan menuju lintasan tiga dan menuju lorong yang lebih dalam pada lintasan lima.

5.2. Saran

Dilakukan penelitian dengan panjang lintasan dan datum point lebih panjang, agar didapat kedalaman dan cakupan area yang lebih dalam dan luas, serta pengambilan data yang lebih banyak dengan jarak lintasan satu dengan yang lain lebih rapat agar diperoleh informasi bawah permukaan lebih detail akurat.

Gambar

Gambar 2.1 Skema pelarutan batuan Karst / gamping (Trudgil,1985)  Faktor  pengontrol  merupakan  faktor  yang  menentukan  dapat  tidaknya  proses  karstifikasi  berlangsung  (proses  pembentukan  lahan  karst)
Gambar 2.4 Water Table
Gambar 2.5 Peta Geologi regional Pracimantoro (Lembaga Penelitian Tanah,  1996)
Gambar 2.6 Prinsip pengukuran geolistrik
+7

Referensi

Dokumen terkait

11 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kadar kolesterol total antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan serta mengetahui perbedaan kadar

Drama, Types of Drama, Plot, Character, Setting,

4.1.7 Upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam Prosedur Pelaksanaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas Pelayanan Jasa Pengujian Tekstil di Balai

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perencanaan, teknik, evaluasi, tindak lanjut, dan implikasinya pengelolaan SDM Di SMA Negeri 5 Mataram.

Tesis ini merupakan karya tulis dari penulis tanpa adanya plagiasi dalam proses penelitian dan penulisannya. Maka dari itu karya tulis ini dapat

Peserta Pandu Penuntun yang dimaksud adalah Pandu HW Penuntun yang memenuhi persyaratan dan terdaftar sebagai peserta Hizbul Wathan Scout Virtual Got Talens Kwarwil Jawa

Setelah melakukan berbagai tahapan dalam melakukan value engineering pekerjaan plat lantai dan perhitungan mulai dari menganalisa struktur untuk mengetahui kebutuhan wire mesh

Variabel yang berpangaruh signifikan terhadap jumlah kasus DBD di Kota Semarang pada model regresi poisson adalah presentasi kepadatan penduduk (X 1 ) dan presentasi curah hujan (X