• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

  BAB I PENDAHULUAN      

A.Latar Belakang Masalah  

Penyakit menular seperti diare telah menyebabkan kematian lebih dari 5 juta anak di seluruh dunia (Boschi-Pinto et al., 2009), yang dimana kebanyakan terjadi

di Negara Afrika dan Afrika Selatan (Wardlaw et al., 2010). Dengan angka ini

pula penyakit diare berada di peringkat kedua paling mematikan bagi anak-anak di dunia. Setiap tahunnya ada 2,5 juta anak yang terjangkit diare. Dari keseluruhan penyakit yang diderita anak-anak, 16 persennya adalah penyakit diare (Wardlaw

et al., 2010). Tingginya angka penyakit menular merupakan imbas dari minimnya

aktifitas hygiene. Negara-negara berkembang merupakan tempat yang memiliki masalah penyakit menular yang lebih besar dibandingkan dengan di negara maju. Di kebanyakan negara berkembang tidak mengimbangi pertumbuhan penduduk dengan kepedulian kesehatannya. Hal ini menyebabkan masih ditemukan kurangnya perilaku hygiene—mencuci tangan dengan sabun khususnya—yang dapat mencegah penularan penyakit di negara-negara tersebut (Pengpid and Peltzer, 2012, Tumwine et al., 2002).

Perilaku mencuci tangan dapat membantu mencegah terjangkitnya penyakit menular. Di sekolah, mencuci tangan dapat mencegah siswa agar terhindar dari penyakit dan meningkatkan kehadiran siswa di kelas (Nandrup-Bus, 2009). Tidak hanya di sekolah, promosi kesehatan cuci tangan pakai sabun juga dilakukan di rumah tangga. Di sebuah penelitian di Pakistan pada tahun 2002, anak yang melakukan cuci tangan pakai sabun 53% lebih rendah kemungkinan terkena diare\ (Luby et al., 2004).Tindakan sederhana dengan melakukan cuci tangan dengan

sabun dapat mengurangi kematian per tahun sebesar 0,5-1,4 juta jiwa (Curtis and Cairncross, 2003). Hal ini dikarenakan dengan mencuci tangan menggunakan sabun dapat menurunkan resiko penularan dan perpindahan penyakit ke dalam tubuh sebesar 42-47%(Curtis and Cairncross, 2003). Mengingat bahwa angka kematian akibat penyakit menular mencapai 573/100.000 penduduk di dunia

(2)

14            

(WHO, 2013). Namun sayang, kesadaran untuk berperilaku cuci tangan masih belum bisa dibilang baik.

Angka perilaku cuci tangan dari berbagai kalangan umur masih sangat kecil, khususnya dari golongan remaja. Remaja sebagai golongan penerus diharapkan memiliki kesadaran kesehatan yang baik. Di Portugal 18,8% remaja laki-laki yang selalu mencuci tangan setelah menggunakan toilet, dan hanya 24,39% dari remaja perempuan yang melakukannya (Gomes et al., 2011). Dan sebuah studi di empat

negara Asia (India, Indonesia, Myanmar, Thailand), memperlihatkan hanya ada 45,2% responden yang selalu mecuci tangan sebelum makan, dan hanya 26,5% yang mencuci tangannya setelah menggunakan toilet (Peltzer and Pengpid, 2014).

Pemerintah Indonesia mewacanakan pentingnya cuci tangan yang baik dengan memasukannya ke dalam sepuluh indikator berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Cuci tangan penting dilakukan di lima waktu krisis yaitu, sebelum makan, sehabis buang air besar, sebelum menyusui, sebelum menyiapkan makan, setelah menceboki bayi, dan setelah kontak dengan hewan (Curtis et al., 2005,

Kleinau and Pyle, 2004). Sosialisasi pentingnya mencuci tangan terus dilakukan sejak tahun 1996 oleh pemerintah Indonesia. Perilaku mencuci tangan yang ada di dalam PHBS terus diupayakan demi menekan angka penyakit menular yang menjadi penyebab menurunnya status kesehatan masyarakat di dalam negeri.

Status kesehatan merupakan resultan dari faktor lingkungan, perilaku, genetik, dan pelayanan kesehatan (Notoatmojo, 2003). Pengaruh empat faktor tersebut dapat mempengaruhi status kesehatan individu ataupun derajat kesehatan suatu masyarakat. Di antara keempat faktor tersebut, faktor perilaku merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling sukar ditanggulangi, disusul faktor lingkungan karena status kesehatan manusia dipengaruhi oleh faktor ini.

Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus dengan proses: stimulus organisme (makhluk hidup/manusia) respon (Skinner, 1938, Notoatmodjo, 2010). Dengan demikian dapat dipahami bahwa perilaku/respon manusia tergantung dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik itu dari dalam (internal) atau dari luar (eksternal). Dan perilaku kesehatan adalah suatu respon terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit

(3)

 

(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), sistem pelayanan kesehatan (sarana dan prasarana), makanan (pemenuhan nutrisi) serta lingkungannya (penyediaan air bersih, jamban sehat, rumah sehat) (Sopacua, 2011). Secara garis besar terdapat dua determinan atau faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan unsur yang melekat pada individu tersebut seperti umur, jenis kelamin, dsb. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu seperti lingkungan fisik, lingkungan sosial, dsb (Maulana et al., 2009)—yang berawal dari sebuah keluarga dimana individu

tersebut tinggal.

Rumah tangga adalah komunitas terkecil di dalam masyarakat. Interaksi sosial berawal di dalam sebuah rumah tangga. Masing-masing anggota rumah tangga memiliki peranan dan tugas serta tanggung jawab. Kedekatan yang terbangun di dalam sebuah rumah tangga akan menimbulkan pengaruh satu sama lain. Perilaku salah seorang anggota rumah tangga bisa dengan mudah mempengaruhi perilaku anggota rumah tangga lainnya (Farkas et al., 2000).

Peraturan yang dibuat dan dibiasakan di dalam rumah pun akan turut mempengaruhi perilaku anggota rumah tangga tersebut (Szabo et al., 2006).

Perilaku cuci tangan di dalam rumah tangga atau keluarga perlu diperhatikan, karena infeksi atau penularan penyakit akan sangat mudah terjadi antar anggota keluarga. Ketersediaan fasilitas cuci tangan juga perlu diperhatikan. Availabilitas air bersih dan fasilitas cuci tangan akan meningkatkan awareness

dan perilaku cuci tangan (Schmidt et al., 2009, Cairncross et al., 2007). Selain itu

tingkat kesejahteraan ekonomi juga turut andil dalam perilaku cuci tangan benar di dalam rumah tangga (Luby et al., 2009).

Perilaku cuci tangan pada rumah tangga di Indonesia bisa dilihat melalui survei yang dilakukan baik melalui pihak swasta ataupun oleh pemerintah, atau keduanya (pemerintah bekerja sama dengan swasta). Survei ini dilakukan sebagai bahan evaluasi dan monitor atas program yang sedang berjalan dan bisa dijadikan pertimbangan sebelum pengambilan keputusan kebijakan. Berdasarkan studi Basic Human Services (BHS) di Indonesia tahun 2006, perilaku masyarakat dalam mencuci tangan adalah (i) setelah buang air besar 12%, (ii) setelah

(4)

16            

membersihkan tinja bayi dan balita 9%, (iii) sebelum makan14%, (iv) sebelum memberi makan bayi 7%, dan (v) sebelum menyiapkan makanan 6% (Kemenkes, 2008). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa angka perilaku cuci tangan masyarakat hanya sebesar 9,6%.

Angka perilaku masyarakat dalam mencuci tangan pakai sabun terus meningkat dari tahun ke tahun. Hasil yang didapat dari dua periode Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2013 menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang berperilaku cuci tangan dengan benar meningkat pesat (Depkes, 2014). Penduduk yang berperilaku cuci tangan yang benar dihitung berdasarkan sampel yang melakukan cuci tangan dengan sabun sebelum makan, sebelum menyiapkan makanan, setelah buang air besar, setelah menceboki anak/bayi, dan setelah memegang atau kontak dengan hewan. Pada tahun 2007 jumlah penduduk berperilaku cuci tangan benar penduduk ≥ 10 tahun adalah sebesar 23,2%. Provinsi dengan tingkat perilaku cuci tangan paling tinggi ada di provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 44,7% dan yang paling kecil ada di Provinsi Sumatra Barat yaitu 8,4%. Riskesdas di tahun 2013 jumlah penduduk yang sadar pentingnya berperilaku cuci tangan bertambah. Hal ini dapat dilihat dari hasil riskesdas bahwa jumlah penduduk yang berperilaku cuci tangan dengan benar berjumlah 47,0%. Bila dilihat perbandingan antara jumlah penduduk yang berperilaku cuci tangan benar dalam kurun waktu enam tahun adalah seperti pada Gambar 1. Dari Riskesdas 2007 dan 2013 dapat dilihat bahwa pada usia remaja merupakan golongan yang perilakunya lebih kecil bila dibandingkan pada usia produktif di atasnya. Pada Riskesdas 2007 angka cuci tangan usia remaja sebesar 17,2% di seluruh Indonesia, yang kemudian naik ke angka 42,8% di tahun 2013. Angka tersebut semakin meningkat sampai kepada golongan kelompok umur dewasa dan kemudian turun pada kelompok umur lansia.

(5)

   

 

Gambar 1. Grafik Perbandingan Persentase Jumlah Pelaku Cuci Tangan Dengan Baik Penduduk Berumur ≥ 10 Tahun

 

Sumber Riskesdas 2013 Litbang Depkes RI, 2014  

 

Perbedaan perilaku cuci tangan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor sosiodemografi (umur, jenis kelamin, tempat tinggal, pendidikan). Tao melihat adanya perbedaan perilaku berdasarkan elemen sosiodemografi seperti umur, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, dan status perkawinan (Tao et al., 2013). Serta penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan

cenderung berperilaku cuci tangan dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di pedesaan. Faktor gender atau jenis kelamin juga turut mempengaruhi. Anderson membuktikan adanya perbedaan praktik cuci tangan antar gender (Anderson et al.,

2008). Selain sosiodemografi, lingkungan fisik (ketersediaan akses air, sumber air) juga berpengaruh terhadap perilaku cuci tangan. Penduduk dengan akses air yang baik akan mencuci tangannya dibandingkan penduduk yang akses airnya kurang (Sopacua, 2011). Selain kedua faktor di atas, unsur sosioekonomi juga berpengaruh dalam perilaku cuci tangan. Masyarakat yang berpenghasilan tinggi lebih memiliki kesadaran untuk mencuci tangan setelah kontak dengan feces atau setelah menggunakan toilet. Kepemilikan fasilitas media seperti televisi atau radio pun ikut meningkatkan perilaku cuci tangan (Schmidt et al., 2009). Hal ini

(6)

18            

Sehingga penduduk yang memiliki dan menggunakan media lebih mendapatkan manfaat dari promosi kesehatan dibandingkan mereka yang tidak memiliki fasilitas media di rumahnya.

Mencuci tangan erat hubungannya dengan ketersdiaan air bersih sebagai media mencuci tangan. Namun sayangnya di Indonesia masih mengalami kesulitan dalam hal ini. Menurut UNICEF dan WHO memperkirakan, Indonesia adalah salah satu kelompok dari 10 negara yang hampir dua - pertiga dari populasi tidak mempunyai akses ke sumber air minum. Mereka adalah : China (108 juta) , India 99 juta ) , Nigeria (63 juta) , Ethiopia (43 juta) , Indonesia (39 juta) , Republik Demokratik Kongo (37 juta) , Bangladesh (26 juta), Inggris Republik Tanzania (22 juta) , Kenya (16 juta) dan Pakistan (16 juta). Hal ini disebabkan oleh pembangunan yang tidak merata di seluruh penjuru Indonesia. Keadaan geografis Indonesia menjadi kendala pembangunan infrastruktur tidak merata.

Terdapat perbedaan yang terlihat jelas antara angka cuci tangan di wilayah Indonesia. Bila dikelompokkan menjadi dua antara wilayah Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali didapat angka rata-rata cuci tangan pada wilayah Jawa-Bali sebesar 52,5% sedangkan di luar Jawa-Bali 47,7%. Memang menjadi masalah Indonesia sejak lama bahwa pembangunan terlalu terpusat di wilayah Jawa-Bali dan kurang memperhatikan wilayah di luar itu khususnya Indonesia bagian timur khususnya Papua. Hal ini baiknya menjadi perhatian pemerintah daerah yang mempunyai tanggung jawab untuk memajukan daerahnya terlebih sejak terbitnya UU otonomi dimana daerah dipercaya menjadi sosok yang lebih mandiri yang tidak selalu bergantung pada pusat dan APBN.

Penelitian tentang cuci tangan sudah banyak dilakukan oleh para peneliti di dunia. Banyak peneltian yang menyelidiki determinan dan faktor yang lain yang menyebabkan dan mempengaruhi perilaku cuci tangan khususnya pada anak-anak. Namun, dari sekian banyak penelitian seputar cuci tangan masih jarang ditemukan penelitian yang berfokus atau melihat perilaku cuci tangan pada remaja khususnya di Indonesia. Sedangkan Indonesia memiliki target menaikkan angka cuci tangan sampai ke 70% pada 2014 ini (Kemenkes, 2011), dan hasil yang sekarang masih jauh dari angka itu. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat perilaku

(7)

 

mencuci tangan pada remaja awal di wilayah perkotaan dan determinan- determinannya.       B.Perumusan Masalah  

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, peneliti menyusun sebuah rumusan masalah “apakah determinan sosial dan lingkungan fisik berhubungan dengan perilaku cuci tangan remaja awal wilayah perkotaan di Indonesia”.       C.Tujuan Penelitian  

Tujuan penelitian ini adalah:  

1. Tujuan Umum  

Untuk mengetahui determinan sosial dan lingkungan fisik pada perilaku cuci tangan remaja awal wilayah perkotaan di Indonesia.

2. Tujuan Khusus  

a. Untuk melihat hubungan elemen sosiodemografi pada perilaku cuci tangan remaja awal di wilayah perkotaan di Indonesia.

b. Untuk melihat hubungan elemen sosioekonomi pada perilaku cuci tangan remaja awal di wilayah perkotaan di Indonesia.

c. Untuk melihat hubungan lingkungan fisik pada perilaku cuci tangan remaja awal di wilayah perkotaan di Indonesia.

 

D.Manfaat Penelitian  

1. Manfaat Bagi Program Kesehatan  

Memberikan informasi dan masukan kepada pengelola program di Departemen Kesehatan RI dalam melaksanakan program pembangunan dan membuat kebijakan pembangunan serta penyehatan masyarakat di wilayahnya. 2. Manfaat Bagi Masyarakat

 

Mengingatkan dan memotivasi masyarakat tentang pentingnya berperilaku cuci tangan dengan benar dalam kehidupan sehari-hari.

(8)

20                    

3. Manfaat Bagi Peneliti  

Sebagai tambahan pengetahuan, pengalaman dan memperkaya wawasan ilmiah serta sebagai salah satu cara untuk menerapkan ilmu dan teori di dalam kehidupan sehari-hari dan di lingkungan di sekitar peneliti.

   

E.Keaslian Penelitian  

Penelitian tentang determinan cuci tangan sudah banyak dilakukan, antara lain:  

1. Associations among handwashing indicators, wealth, and symptoms of

childhood respiratory illness in urban Bangladesh oleh Stephen P. Luby and

Amal K. Halder. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross

sectional dengan karakteristik rumah tangga sebagai indikator sosioekonomi.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa status ekonomi keluarga mempunyai pengaruh pada perilaku cuci tangan dalam rumah tangga.

2. Handwashing behaviour among Chinese adults: a cross-sectional study in

five province oleh S. Y. Tao. Tao melakukan penelitian terhadap penduduk

berusia dewasa yang telah dibagi berdasarkan lima wilayah di Cina. Penelitian ini mencoba melihat hubungan perilaku cuci tangan yang dilakukan oleh orang dewasa 18-60 tahun dengan pengetahuan dan data sosiodemografi. Dari penelitian ini diketahui bahwa faktor sosiodemografi seperti tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan lokasi tempat tinggal mempunyai pengaruh terhadap perilaku cuci tangan.

3. Determinants of handwashing practices in Kenya: the role of media

exposure, poverty and infrastructure oleh Wolf-Peter Schmidt. Penelitian ini

dilakukan di Kenya dengan sampel sebanyak 800 rumah tangga dan menggunakan desain penelitian cross sectional. Schmidt memperlihatkan

tentang hubungan antara pendidikan, sumber air, dan fasilitas sanitasi, serta kepemilikan barang-barang penyalur informasi (tv, radio, dll) dengan mencuci tangan menggunakan sabun.

(9)

 

4. Hygiene behaviour of adolescents in the Pasific: associations with socio-

demographic, health behaviour and school environment oleh Tran D. dkk.

Tran meneliti prevalensi perilaku menggosok gigi dan mencuci tangan dengan faktor sosiodemografi, perilaku hygiene, dan campur tangan sekolah pada 9013 siswa di Vanuatu, Tonga, dan Pohnpei. Pada penelitiannya Tran menemukan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, pekerjaan orang tua, dan peran sekolah pada perilaku cuci tangan pada remaja di sekolah.

Penelitian ini dengan penelitian-penelitian tersebut memiliki kesamaan yaitu sama-sama meneliti tentang hubungan dan determinan perilaku cuci tangan. Yang membedakan adalah lokasi, subjek, waktu, dan beberapa variabel di dalam penelititan.

Gambar

Gambar 1. Grafik Perbandingan Persentase Jumlah Pelaku Cuci Tangan Dengan  Baik Penduduk Berumur ≥ 10 Tahun

Referensi

Dokumen terkait

Ketiga tesis di atas secara substantif memang meneliti tentang pemasaran pendidikan di sebuah lembaga, baik pada sekolah tingkat menengah maupun sekolah tinggi. Akan

Puji syukur Alhamdulillahirabbil'alamin penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan kasih sayang, rahmat dan hidayahNya sehingga penyusunan tesis

Diterima 7 26-02-2018 140121096 Yogi Kurnia Sistem Pendukung Keputusan Penilaian Kinerja Guru Menggunakan Metode TOPSIS Diterima 8 26-02-2018 140121086 Sri Wulandari Implementasi

Surat keterangan masih dalam perawatan adalah surat yang dikeluarkan oleh PIHAK KEDUA yang ditujukan kepada PIHAK PERTAMA, yang berisi keterangan bahwa pasien

43 Perkataan menyuruh mengobati, tidak sama artinya dengan menyuruh lakukan (doonplegen) dalam Pasal 55 ayat (1) butir 1, karena menyuruh lakukan pada Pasal 55

“Biasanya area yang kami utamakan adalah Toilet, Lobby dan canteen selain kelas yang tentunya kami bersihkan setiap hari. Ini yang biasanya menjadi hal yang mereka

Dalam konteks pelestarian warisan budaya bangsa maka makna warisan budaya tidak dibatasi hanya pada karya cetak dan karya rekam yang dihasilkan oleh penerbit dan pengusaha

Ruang lingkup lingkup usaha resto ini kami rancang dengan sebaik mungkin karena semua itu bisa berpengaruh terhadap maju mundurnya usaha kami, maka dari itu kami