• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Tanaman Kakao - PENGARUH KINETIN ( 6 – F urfuryl amino p urin e ) TERHADAP KEBERHASILAN EMBRIO GENESIS SOMATIK BUNGA KAKAO ( Theobroma cacao L.) - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Tanaman Kakao - PENGARUH KINETIN ( 6 – F urfuryl amino p urin e ) TERHADAP KEBERHASILAN EMBRIO GENESIS SOMATIK BUNGA KAKAO ( Theobroma cacao L.) - repository perpustakaan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Tanaman Kakao

Tanaman kakao (Theobroma cacao, L.) merupakan salah satu anggota familiaSterculiaceae yang berasal dari daerah beriklim tropis di Amerika Tengah dan Selatan, namun negara asal yang tepat masih belum dapat diketahui (Roesmanto, 1991). Pada awal abad 19, produsen kakao utama dunia banyak berasal dari negara di Amerika Selatan seperti Equador dan Brazil, sedangkan saat ini negara produsen kakao mulai tersebar di seluruh wilayah tropis di dunia mulai dari Afrika sampai Amerika Selatan (Baon dan Wardani, 2010).

(2)

2.1.1 Morfologi Kakao

Tanaman kakao berbentuk pohon dengan tinggi dapat mencapai 4,5 - 7 meter setelah berumur 12 tahun (Prawoto & Winarsih, 2010). Tanaman kakao memiliki sistem perakaran tunggang yang merupakan salah satu ciri umum dari tanaman dikotil. Akar utamanya tumbuh lurus ke bawah dan bercabang banyak sehingga batang menjadi kokoh, sedangkan akar lateral (mendatar) tumbuh dan berkembang di dekat permukaan tanah dan memiliki jangkauan yang luas sehingga dapat menyerap air dan unsur hara lebih banyak (Prawoto & Winarsih, 2010).

Tanaman kakao bersifat dimorfisme, yaitu memiliki 2 pola percabangan. Cabang yang arah pertumbuhannya ke atas disebut cabang ortotrop, sedangkan cabang yang arah pertumbuhannya ke samping disebut cabang plagiotrop. Tanaman kakao yang masih muda memiliki batang yang lurus, namun pada umur sekitar 10 bulan akan membentuk cabangplagiotrop(Prawoto & Winarsih, 2010; Karmawatiet al.,2010).

(3)

Tanaman kakao mampu berbunga sepanjang tahun dengan masa pembungaan maksimum pada bulan Februari - April dan masa pembungaan minimun pada bulan Agustus - September (Rahardjo, 2011). Bunga kakao tumbuh dan berkembang di bekas ketiak daun pada bagian batang atau cabang sehingga kakao biasa disebut pula sebagai tanaman caulifloris (Prawoto, 2008; Gambar 2.1). Tempat tumbuh bunga kakao semakin lama semakin menebal dan membesar disebut bantalan bunga (cushion). Dari setiap bantalan bunga akan muncul satu bunga majemuk dengan tangkai yang pendek sehingga nampak seperti bunga tunggal (Prawoto & Winarsih, 2010). Bantalan bunga akan tetap aktif menghasilkan kuntum bunga selama beberapa tahun dan akan berhenti menghasilkan kuntum bunga jika terganggu fisiologisnya karena gangguan mekanis seperti terpotong saat pemanenan atau terserang penyakit (Prawoto, 2008).

(4)

Setiap kuntum bunga tersusun atas 5 daun kelopak (sepala) dan 5 daun mahkota (petala) yang bebas satu sama lain serta organ kelamin (Gambar 2.2). Bunga kakao merupakan bunga hermaprodit dengan organ betina (gynaecium) terdiri atas bakal buah (ovary), tangkai putik (stylus), dan kepala putik (stigma). Organ kelamin jantan (androecium) yang terdiri dari 5 benang sari (stamen) dan staminodia. Stamen merupakan organ kelamin jantan fertil karena mampu menghasilkan tepung sari (pollen) dengan diameter 2 - 3 mikron, sedangkan staminodia merupakan organ kelamin jantan palsu yang steril (Prawoto & Winarsih, 2010; Rahardjo, 2011).

Gambar 2.2 Diagram bunga kakao (A) yang menunjukkan bagian sepala dan petala; sedangkan (B) adalah diagram organ kelamin pada bunga kakao yang menunjukkan adanya stamen dan staminodia (Rahardjo, 2011).

Proses pembungaan kakao diawali dengan terbentuknya kuncup (primordia) bunga (Gambar 2.3 a). Setelah 30 hari, kuncup bunga akan mekar (Gambar 2.3 b) yang menandakan bahwa putik dan kepala sari telah masak dan siap melakukan penyerbukan dan pembuahan. Setelah mengalami penyerbukan, bakal biji (ovule)

(5)

akan tumbuh menjadi biji dan bakal buah (ovarium) akan tumbuh menjadi buah (Gambar 2.3 c dan d; Rahardjo, 2011).

Gambar 2.3 Tahap perkembangan bunga kakao; (a) kuncup bunga kakao; (b) bunga kakao yang mekar; (c) buah kakao; (d) biji kakao terbungkus olehpulpa(Karmawatiet al.,2010)

Setiap tahunnya, tanaman kakao dapat menghasilkan kuntum bunga antara 5.000– 12.000 kuntum per pohon. Namun, hanya sekitar 1 % dari seluruh bunga yang dihasilkan mengalami penyerbukan dan menjadi buah, sedangkan sisanya akan gugur dalam waktu 24 jam (Prawoto, 2008). Setelah terjadi pembuahan, buah kakao mulai tumbuh dan berkembang secara perlahan sampai hari ke 40. Setelah melewati fase tersebut, pertumbuhan buah mulai cepat dan mencapai puncaknya saat buah berumur 75 hari. Pembesaran buah akan berlangsung sampai buah berumur 120 hari serta siap panen pada hari ke 143 - 170. Pemanenan dilakukan apabila telah terjadi perubahan warna pada kulit buah (Prawoto & Winarsih, 2010; Karmawatiet al., 2010).

Kulit buah kakao memiliki alur dalam dan dangkal tergantung pada varietas kakao. Bijinya tersusun dalam lima baris mengelilingi poros buah dan berjumlah antara 20 - 50 butir per buah. Biji terbungkus oleh pulpa yang berwarna putih

(6)

(Gambar 2.3), rasanya asam manis dan diduga mengandung zat penghambat perkecambahan. Di bagian dalamnya terdapat kulit biji (testa) yang membungkus 2 kotiledon. Biji kakao tidak memiliki masa dorman sehingga terkadang ditemukan biji yang telah berkecambah di dalam buah yang terlambat dipanen (Prawoto & Winarsih, 2010).

Untuk dapat menghasilkan biji dengan baik, tanaman kakao memerlukan naungan atau pohon pelindung untuk mengurangi intensitas cahaya matahari dan suhu udara (Prawoto & Winarsih, 2010). Tanaman kakao akan tumbuh dengan baik jika mendapat penyinaran dari matahari secara langsung selama kurang lebih 2 jam dalam sehari. Intensitas cahaya yang tinggi dapat menyebabkan penurunan produksi dan mempengaruhi morfologi tanaman (Roesmanto, 1991).

Temperatur udara juga memegang peran yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan bunga dan buah. Temperatur lingkungan yang optimum untuk pertumbuhan bunga kakao berkisar 25° C. Pada temperatur di bawah 10° C, bunga akan mengering, sedangkan temperatur di atas 32° C akan menyebabkan bunga kakao gugur (Roesmanto, 1991; Karmawatiet al, 2010).

2.1.2 Varietas Kakao

(7)

berwarna putih. Criollo memiliki mutu biji yang sangat baik karena memberikan cita rasa khas sehingga disebut juga sebagai kakao mulia. Namun, pertumbuhannya kurang kuat (mudah terserang penyakit), produktivitas yang rendah serta kadar lemak yang rendah menyebabkan varietas ini jarang dibudidayakan di Indonesia (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

Kakao forastero disebut juga kakao lindak (bulk; Gambar 2.4 B) yang memiliki ciri-ciri kulit buah berwarna hijau dengan permukaan halus dan alur yang dangkal. Daging buahnya tipis tetapi keras, bentuk biji gepeng dan berukuran lebih kecil dari biji kakaocriollo, serta kotiledon berwarna ungu gelap. Namun, kakao forastero memiliki pertumbuhan yang cepat dan tahan terhadap beberapa jenis hama dan penyakit, serta memiliki produktivitas tinggi. Kakao forastero sering juga disebut sebagai kakao industri (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

Kakao trinitario (Gambar 2.4 C) merupakan hibrida criollo dan forastero sehingga sifat morfologi dan fisiologisnya sangat bervariasi, begitu juga dengan daya dan mutu hasilnya (Prawoto & Winarsih, 2010).

(8)

2.1.3 Manfaat kakao

Kakao merupakan tanaman yang dibudidayakan untuk dimanfaatkan buahnya. Kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak hewan ruminansia (Tuty, 2009). Kulit buah kakao juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan pulp. Pulp merupakan bahan yang dapat diolah menjadi kertas dan rayon (Harsini dan Susilowati, 2010). Manfaat lain dari kulit buah kakao adalah dapat dibuat briket sebagai pengganti arang atau batubara,

bahan baku pembuatan bioetanol, pigmen β-karoten serta bahan baku pembuatan pektin yang memiliki peran penting dalam industri pangan, kosmetika, maupun obat-obatan (Patabang, 2011; Sariet al.,2012; Pratiwiet al.,2010; Wulan, 2001).

(9)

Gambar 2.5 Biji kakao (a); cokelat bubuk (b); makanan dan minuman berbahan baku coklat (c,d,e,f; http://www.digstar.com/images/cocoa)

2.2 Budidaya Kakao dan Permasalahannya

2.2.1 Produksi Kakao Dunia dan Indonesia

Kakao merupakan komoditas perkebunan terbesar ke tiga di Indonesia setelah kelapa sawit dan karet (FAO, 2013). Total produksi kakao di Indonesia mencapai lebih dari 700 ribu ton per tahun (Taufik et al., 2010) dan mampu menjadi sumber pendapatan negara yang cukup tinggi yaitu lebih dari US$ 1,8 milyar pada tahun 2009 (Ariati et al., 2012). Selain itu, perkebunan kakao juga mampu menyerap tenaga kerja yang cukup tinggi, yaitu mencapai 1,5 juta kepala keluarga pada tahun 2009 (Limbongan, 2011).

Total produksi kakao di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003, produksi kakao di Indonesia hanya sekitar 690 ribu ton.

a

e

d f

b

(10)

Angka ini naik menjadi sekitar 760 ribu ton pada tahun 2006. Sedangkan pada tahun 2010, total produksi kakao di Indonesia sudah mencapai lebih dari 840 ribu ton (FAO, 2013). Jika dibandingkan dengan produksi kakao di negara lain, maka Indonesia merupakan negara dengan total produksi kakao terbesar kedua di dunia setelah Pantai Gading (Gambar 2.6). Pada tahun 2010, produksi kakao di Pantai gading mencapai hampir 1,4 juta ton dan Ghana sekitar 700 ribu ton, sedangkan Nigeria sebagai negara produsen kakao terbesar ke empat dunia hanya sekitar 400 ribu ton (Gambar 2.6; FAO, 2013).

Gambar 2.6 Sepuluh negara produsen kakao terbesar di dunia tahun 2010. Indonesia (panah hitam) menempati posisi kedua sebagai produsen kakao terbesar dunia (FAO, 2013).

(11)

et al., 2010). Luas area perkebunan tersebut meningkat menjadi hampir 1,7 juta ha pada tahun 2011 (FAO, 2013). Berdasarkan rata-rata luas area perkebunan kakao pada tahun 2011, Indonesia menempati urutan ke-2 sebagai negara dengan luas area perkebunan kakao terbesar dunia di bawah negara Pantai Gading (Gambar 2.7). Pantai Gading memiliki luas area perkebunan terbesar dunia dengan total luas hampir 2,5 juta ha atau berkontribusi sebesar 25,28 % dari total luas area kakao dunia (FAO, 2013).

Gambar 2.7 Negara dengan rata-rata luas area kakao terbesar dunia tahun 2011. Indonesia berada diperingkat kedua setelah negara Pantai Gading (FAO, 2013).

2.2.2 Permasalahan Budidaya Kakao di Indonesia

(12)

lahannya. Produktivitas kakao tersebut juga menurun selama lima tahun terakhir (Gambar 1.1). Pada tahun 2007, produktivitas perkebunan kakao di Indonesia mencapai 800 kg per hektar lahan, sedangkan pada tahun 2011 produktivitas tersebut menurun hampir setengahnya menjadi sekitar 400 kg per hektar. Angka tersebut hampir sepertujuh produktivitas perkebunan kakao di Guatemala dan Thailand (lebih dari 2,6 ton biji kering per hektar;Gambar 1.1).

Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas kakao di Indonesia, diantaranya adalah adanya serangan hama dan penyakit seperti layu pentil (cherelle wilt) yaitu kematian pada buah kakao yang masih muda (pentil) dengan persentase kematian mencapai 60–90 % (Oktaviani, 2008; Widiancas, 2010). Tanaman kakao juga sering terkena penyakit Vascular-streak Dieback (VSD) yang menyerang pembuluh kayu kakao sehingga merusak tanaman kakao. Hama penggerek buah kakao (PBK) juga dapat mengurangi produksi kakao hingga 90 % karena larva hama ini memakan plasenta buah sehingga mengakibatkan menurunnya produksi dan mutu biji kakao (Susilo & Sari, 2011; Limbongan, 2011).

(13)

sifat fisik tanah yang dapat mengurangi produktivitas kakao (Prawoto & Soedarsono, 2010). Pemangkasan juga harus dilakukan secara tepat sehingga tidak menyebabkan kematian pada cabang dan meningkatkan kepekaan tanaman terhadap serangan penyakit. Pemangkasan yang terlalu kurang dapat mengakibatkan jumlah buah yang dihasilkan sedikit (Prawoto & Soedarsono, 2010).

Kondisi tanaman yang telah tua (lebih dari 20 tahun) mulai menurun produktivitasnya sekitar 0,2 – 0,3 kg per pohon (Firdaus dan Ariyoso, 2010; Soedarto & Bulu, 2013). Kondisi demikian tidak dapat dipertahankan sehingga memerlukan adanya rehabilitasi atau peremajaan tanaman untuk kembali meningkatkan produktivitas kakao.

Salah satu faktor utama yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivtias kakao di Indonesia adalah rendahnya kualitas bibit yang ditanam (Martede & Basri, 2011; Sugiharti, 2006). Oleh karena itu, penyediaan bibit unggul dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas kakao di Indonesia.

2.3 Pembibitan Kakao di Indonesia

(14)

disemai selama 12 hari. Benih yang telah berkecambah kemudian dipelihara selama 4 - 5 bulan sampai siap ditanam di lahan (Gambar 2.8; Rahardjo, 2011).

Gambar 2.8 Bibit hasil semaian biji kakao berumur 2 bulan yang dipelihara sampai siap untuk ditanam di lahan (Prihastanti, 2012).

Pembibitan secara generatif tersebut relatif mudah dilakukan dan sederhana (Winarsih et al., 2003). Namun, kendala yang dihadapi adalah bibit yang dihasilkan memiliki variasi genetik yang tinggi dan tidak sama dengan induknya (Liet al.,1998; Traoreet al.,2002). Hal ini karena bunga kakao bersifatprotogini yang artinya putik masak lebih awal daripada kepala sari (Prawoto, 2008) sehingga penyerbukan yang terjadi pada bungakakao termasuk penyerbukan silang (cross-polination; Issaliet al.,2011).

(15)

biasanya akan cepat berbunga dan berbuah (Rahardjo, 2010). Namun, pada tanaman kakao penerapan teknik ini memiliki tingkat keberhasilan yang rendah, merusak tanaman induk yang dijadikan sumber stek, serta jumlah bibit yang dihasilkan terbatas (Hendrata dan Sutardi, 2009; Rahardjo, 2010).

Cara vegetatif lain yang dikembangkan untuk menghasilkan bibit kakao adalah melalui okulasi. Mata tunas yang berwarna hijau dari pohon kakao berkualitas ditempelkan ke batang bawah bibit kakao berumur satu tahun yang diperoleh dari perkecambahan biji. Mata tunas kemudian diikat dengan tali plastik dan dibiarkan tumbuh sampai berdaun sekitar 8 lembar. Bibit hasil okulasi kemudian dipelihara selama 12 bulan sebelum ditanam ke lahan. Kelebihan teknik ini adalah pertumbuhannya cepat dibandingkan bibit asal setek dan tingkat keberhasilannya tinggi yaitu lebih dari 90%. Namun, teknik okulasi membutuhkan mata tunas yang banyak sehingga merusak tanaman induknya. Disamping itu, jumlah mata tunas yang terbatas menyebabkan jumlah bibit yang dihasilkan juga terbatas (Rahardjo, 2010).

(16)

singkat (Avivi et al., 2010). Namun, tingkat keberhasilan penggunaan teknik kultur jaringan untuk menghasilkan bibit masih sangat terbatas. Disamping itu teknik ini memerlukan keahlian khusus, dan harus dilakukan di laboratorium sehingga biaya yang dibutuhkan relatif mahal (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

Ada beberapa macam teknik kultur jaringan yang telah dikembangkan untuk menghasilkan bibit suatu tumbuhan seperti teknik kultur meristem, kultur pucuk, tunas aksiler maupun organogenesis (Zulkarnain, 2009). Kultur meristem merupakan salah satu teknik perbanyakan tanaman dengan menggunakan eksplan meristem dengan beberapa primordia daun. Teknik ini biasanya digunakan untuk mendapatkan tanaman yang bebas virus. Teknik ini telah diterapkan pada berbagai jenis tanaman seperti, kentang (Solanum tuberosum), pisang (Musa), dan anyelir (Dianthus caryophyllus) tetapi belum berhasil diaplikasikan pada tanaman kakao (Zulkarnain, 2009).

(17)

Organogenesis merupakan proses pembentukan organ yang berlangsung setelah periode pertumbuhan kalus. Teknik ini dapat menghasilkan tanaman dalam jumlah yang banyak, tetapi belum berhasil diaplikasikan pada tanaman kakao (Zulkarnain, 2009).

Salah satu teknik yang mulai dikembangkan untuk memperbanyak kakao secarain vitroadalah melalui teknik embryogenesis somatik.

2.4 Perkembangan Penelitian Embriogenesis Somatik Kakao

Embriogenesis somatik adalah proses pembentukan embrio suatu tumbuhan yang berasal dari sel-sel somatik (Purnamaningsih, 2002). Teknik ini telah banyak diterapkan pada beberapa tumbuhan diantaranya, jati (Tectona grandis L. Armaniar, 2002); kopi arabika (Coffea arabica, Oktavia et al., 2003; Riyadi & Tirtoboma, 2004); kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq., Sumaryono, 2007), meranti (Shorea pinanga; Yelnititis, 2008), dan lamtoro (Leucaena leucocephala; Sapsuhaet al.,2011).

(18)

\Tahap induksi embryo somatik yaitu tahap perkembangan kalus embrionik menjadi embryo. Secara spesifik tahap perkembangan embrio somatik kakao dimulai dari fase globular, fase hati (heart), fase torpedo, kotiledon, dan planlet (Gambar 2.9; Li,et al.,1998). Pada tahap ini biasanya digunakan auksin dengan konsentrasi rendah. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tahap ini merupakan tahap yang paling sulit (Purnamaningsih, 2002).

Gambar 2.9 Tahap perkembangan morfologi embrio somatik kakao; (a) embrio somatik pada tahap globular; (b) embrio tahap heart; (c) pembentukan embrio sekunder; (d) embrio tahap torpedo; (e) tahap kotiledon; (f dan g) plantlet; (h) aklimatisasi plantlet (Li et al., 1998)

Tahap selanjutnya adalah perkecambahan yaitu fase pembentukan tunas dan akar. Medium yang digunakan untuk perkecambahan yaitu dengan penambahan zat pengatur tumbuh dengan konsentrasi yang sangat rendah atau samasekali tidak ditambahkan zat pengatur tumbuh (Purnamaningsih, 2002).

Tahap akhir dalam embriogenesis somatik yaitu hardening. Pada tahap ini dilakukan aklimatisasi bibit embrio somatik dari kondisi in vitro ke lingkungan baru di rumah kaca (ex vitro) dengan cara menurunkan kelembaban dan meningkatkan intensitas cahaya (Purnamaningsih, 2002).

a

f g h

b c d

(19)

Melalui teknik embryogenesis somatik, bibit kakao dapat dihasilkan secara cepat dan dapat diproduksi secara masal serta tidak merusak tanaman induk (Purnamaningsih, 2002). Namun, untuk mengaplikasikan teknik ini dalam skala besar untuk penyediaan bibit kakao measih mengalami kendala berupa tingkat keberhasilan yang masih sangat rendah yaitu kurang dari 50 % (Winarsih et al., 2003).

Beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan teknik embriogenesis somatik kakao, diantaranya dengan menggunakan berbagai jenis eksplan dari tanaman kakao, beberapa medium dasar maupun penambahan zat aditif ke dalam medium tanam.

Beberapa eksplan telah dujikan untuk menari jenis eksplan terbaik dalam menginduksi embryogenesis somatik kakao. Ekplan embryo buah muda dari beberapa genotipe kakao telah dicobakan dan hasilnya menunjukkan bahwa persentase keberhasilannya masih rendah yaitu kurang dari 28 % (Dinarti, 1991). Selain itu, eksplan kotiledon pernah digunakan Chantrapradist & Kanchanapoom (1995), namun tidak terbentuk embrio dari kalus yang terbentuk.

(20)

Winarsihet al., (2003) dengan persentase keberhasilan 46,67 % (petala) dan 32,3 % (staminodia).

Upaya peningkatan keberhasilan induksi embryo somatik kakao juga telah dilakukan dengan menggunakanbeberapa medium dasar seperti medium

Murashige & Skoog (MS; Alemanno et al., 1996) dan Driver Kuniyuki (DKW; Maximova et al., 2002; Tan dan Furtek, 2004). Medium MS telah dicobakan untuk meningkatkan keberhasilan embriogenesis somatik kakao. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase keberhasilannya hanya sekitar 0 – 11,6 % (Alemannoet al.,1996).

Medium lain yang juga pernah dicobakan dalam embriogenesis somatik kakao yaitu DKW. Persentase keberhasilannya sekitar 4 – 70 % tergantung genotipe yang digunakan sebagai eksplan (Maximovaet al.,2002). Hasil ini lebih baik jika dibandingkan dengan Tan & Furtek (2004) yang hanya mampu menginduksi embrio dengan persentase keberhasilan berkisar 0 – 16,7 % (Tan & Furtek, 2004).

(21)

dengan tingkat keberhasilan yang lebih baik, yaitu 5,77 % - 64,91 % tergantung konsentrasi sulfat yang ditambahkan dan genotipe eksplan yang digunakan.

Salah satu faktor utama yang berperan dalam meningkatkan keberhasilan embryogenesis somatik adalah pemilihan zat pengatur tumbuh dengan jenis dan konsentrasi yang tepat (Lengkong, 2009).

2.5 Zat Pengatur Tumbuhan

Zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan senyawa organik baik yang disintesis oleh tumbuhan itu sendiri (hormon) maupun senyawa sintetik yang dalam konsentrasi sangat rendah mampu mendukung, menghambat, atau menimbulkan suatu respons fisiologis (Salisburry & Ross, 1995). Ada lima kelompok ZPT yaitu sitokinin, auksin, giberelin, etilen, dan asam absisat. Setiap ZPT mempunyai ciri khas dan pengaruh yang berbeda terhadap proses fisiologis tanaman (Hendaryono dan Wijayani, 1994; Salisburry & Ross, 1995).

(22)

Auksin berfungsi meningkatkan pembelahan sel, pemanjangan sel, dan pembentukan akar adventif. Penambahan auksin dengan konsentrasi tinggi ke dalam medium kultur akan merangsang pembentukan kalus, sedangkan penambahan auksin konsentrasi rendah akan meningkatkan pembentukan akar adventif. Auksin yang banyak digunakan dalam kultur jaringan diantaranya, 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D), indole-3-acetic acid (IAA), dan α

-naftalenacetic acid (α-NAA; Zulkarnain, 2009).

Dalam kultur jaringan, giberelin berperan meningkatkan perkecambahan biji dan pemanjangan pucuk. Sedangkan etilen menyebabkan penuaan pucuk-pucuk muda tanaman sehingga akan menghambat pertumbuhan tanaman. Etilen jarang digunakan dalam kultur jaringan karena tidak tahan panas sehingga tidak dapat diautoklaf (Zulkarnain, 2009). Asam absisat jarang sekali digunakan dalam kultur jaringan, namun menurut George dan Sherringtone (1984) dalam Zulkarnain (2009), asam absisat dapat merangsang pembentukan embrioid dari kalus.

Salah satu ZPT yang biasa digunakan dalam kultur jaringan dari golongan auksin adalah2,4-Dichlorocfenoxyacetat acid(2,4-D) dan6-furfuryl amino purine (Kinetin) dari golongan sitokinin (Lestari, 2011).

2.5.1 2,4-Dichlorophenoxyacetic acid(2,4-D)

(23)

(Hendaryono dan Wijayani, 1994; Rahayu et al., 2002). 2,4-D dapat meningkatkan sintesis protein, memacu pembelahan dan pembesaran sel serta memacu pembentukan kalus (Hendaryono dan Wijayani, 1994; Rahayu et al., 2002; Lestari, 2011). 2,4-D merupakan auksin yang paling efektif untuk menginduksi kalus embriogenik (Purnamaningsih, 2002).

Gambar 2.10Rumus bangun 2,4–D (Salisburry & Ross, 1995)

Penelitian tentang penggunaan 2,4-D dalam menginduksi embriogenesis somatik tanaman telah banyak dilaporkan, diantaranya adalah pengaruh pemberian 2,4-D pada tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq; Sumaryono et al., 2007), jati (Tectona grandis, L; Armaniar, 2002), dan kopi arabika (Coffea arabica; Oktaviaet al.,2003).

(24)

maupun konsentrasi 2,4 - D yang sama pula. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa persentase keberhasilan induksi embryo masih cukup rendah, yaitu 46,67 % pada eksplan petala serta 32,33 % pada eksplan staminodia. Namun, penelitian yang lain menunjukkan bahwa penambahan 2,4-D sebesar 4 x 10-7M ke dalam medium tanam tidak mampu menginduksi pembentukan embryo somatik kakao dari eksplan petala dan staminodia. Pada penelitian tersebut digunakan medium dasar DKW (Tan & Furtek, 2004).

Keberhasilan yang rendah pada penggunaan 2,4-D dalam menginduksi embrio somatik kakao tersebut terjadi karena belum ditemukannya konsentrasi 2,4-D yang tepat untuk ditambahkan ke dalam medium tanam, sehingga dalam penelitian ini diujikan beberapa konsentrasi 2,4-D yang tepat untuk menginduksi kalus dan embrio somatik kakao.

2.5.26-Furfuryl amino purine(Kinetin)

(25)

Gambar 2.11Rumus bangun kinetin (Salisburry & Ross, 1995).

Penelitian tentang pengaruh kinetin terhadap embriogenesis somatik berbagai tanaman telah banyak dilaporkan, diantaranya adalah pengaruh pemberian kinetin terhadap embriogenesis pada bawang merah (Allium cepa; Hellyanto, 2008); jati (Tectona grandis; Armaniar, 2002); dan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.; Sumaryonoet al.,2007).

Kemampuan kinetin dalam meningkatkan keberhasilan induksi embrio somatik tersebut diduga karena kinetin memiliki cincin adenin yang merupakan suatu basa purin yang terdapat pada asam nukleat sehingga kinetin diduga berperan penting dalam metabolisme asam nukleat maupun sintesis protein. Selain itu, kinetin juga mampu merangsang pembelahan sel, pembesaran sel, dan meningkatkan volume sel (Wattimena, 1987).

(26)

Gambar

Gambar 2.1 Bunga kakao muncul dari bekas ketiak daun pada batang ataucabang (Caulifloris)
Gambar 2.2 Diagram bunga kakao (A) yang menunjukkan bagian sepala dan
Gambar 2.3 Tahap perkembangan bunga kakao; (a) kuncup bunga kakao; (b)
Gambar 2.4 Morfologi buah kakao dari tiga varietas, criollo (A), forastero (B)dan trinitario (C; Karmawati et al., 2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk menginduksi somatik embriogenesis primer menggunakan eksplan petal dan staminodia bunga

Kelebihan dari kultur embriogenesis somatik kakao di antaranya mampu mampu menghasilkan bibit dalam jumlah besar (Li et al., 1998), sifat genetik bibit yang dihasilkan identik

Embriogenesis somatik dan regenerasi tanaman pada kultur in vitro organ bunga kakao.. Kemungkinan pemanfaatan limbah kulit buah kakao ( Theobroma cacao L.)

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan keberhasilan induksi embrio adalah dengan menggunakan teknik induksi embrio somatik sekunder (ESS).

Pada tanaman kakao, banyak penelitian telah dilakukan untuk mengaplikasikan teknik embriogenesis somatik untuk menyediakan bibit tanaman tersebut, namun sampai saat ini

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Membandingkan dua metode regenerasi tanaman kakao menggunakan media yang berbeda sehingga dihasilkan embrio somatik melalui jalur

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk menginduksi somatik embriogenesis primer menggunakan eksplan petal dan staminodia bunga

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Membandingkan dua metode regenerasi tanaman kakao menggunakan media yang berbeda sehingga dihasilkan embrio somatik melalui jalur