12
2.1. Pengertian Ijarah dan Dasar Hukum Ijarah 2.1.1 Pengertian Ijarah
Ijarah adalah perjanjian sewa-menyewa suatu barang dalam waktu
tertentu melalui pembayaran sewa, atau ijarah adalah transaksi
sewa-menyewa atas suatu barang atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Menurut dr.
Muhammad Syafi’i Antonio, ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas
barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tampa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Sedangkan menurut kompilasi hukum ekonomi syari’ah, ijarah adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran. (Mardani, 2013: 70)
Menurut bahasa, ijarah berarti “upah” atau“ganti” dan “imbalan”,
ijarah ini mempunyai lafaz ijarah mempunyai pengertian umum yang meliputi atas pemanfaatan sesuatu benda atau imbalan sesuatu kegiatan, atau upah karena melakukan suatu kegiatan. Maka sewa-menyewa diartikan sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja tetapi harus dipahami dalam arti luas. Dalam arti luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Hal ini sama artinya dengan menjual manfaat sesuatu benda, bukan menjual ‘ain dari benda itu sendiri. (Karim, 1997: 29)
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang artinya menurut bahasa ialah al-‘iwadh yang artinya dalam bahasa Indonesianya ialah ganti atau upah
(Suhendi, 2014: 114). Ali Fikri mengartikan ijarah menurut bahasa yaitu
sewa-menyewa atau jual beli manfaat (Muslich, 2013: 316), sedangkan
menurut istilah, para ulama berbeda-beda pendapat mendefenisikan ijarah,
1. Menurut Hanafiah bahwa ijarah adalah:
“Akad untuk membolehkan pemilika manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan”.
2. Menurut Malikiyah bahwa ijarah adalah:
“Nama bagi akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan”.(Suhendi 2014,114)
3. Menurut Syafi’iyah bahwa ijarah adalah:
“Definisi akad ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu”.
4. Menurut Hanabilah bahwa ijarah adalah:
“Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan semacamnya”.
Dari definisi-definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip di antara para ulama, dalam mengartikan ijarah atau sewa-menyewa, dari definisi tersebut dapat diambil
intisari bahwa ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan
imbalan. Dengan demikian, objek sewa-menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang). (Muslich 2013, 317)
2.1.2 Dasar Hukum
Dasar hukum ijarah adalah firman Allah QS. Al-Baqarah: 233 sebagai
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.”
Ayat di menjadi dasar hukum adanya sistem sewa dalam Hukum Islam, seperti yang diungkapkan dalam ayat bahwa seseorang itu boleh menyewa orang lain untuk menyusui anaknya. (Mardani 2013, 246)
Para fuqaha’ sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang dibolehkan
oleh syara’, kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak membolehkan ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukannya akad, tidak bisa diserahkan terimakan. Setelah beberapa waktu barulah manfaat itu dapat dinikmati sedikit demi sedikit, sedangkan sesuatu yang tidak ada pada waktu akad tidak boleh diperjualbelikan, akan tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh Ibnu Rusyd, bahwa manfaat walaupun pada waktu akad belum ada, tetapi pada galibnya. Ia (manfaat) akan terwujud, dan inilah yang menjadi perhatian serta pertimbangan syara’.
Alasan jumhul ulama tentang dibolehkannya ijarah adalah:
a. QS. Ath-Thalaq (65) ayat 6
Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.
b. QS Al-Qashash (28) ayat 26 dan 27 :
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “ Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita ) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberanti kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”.
c. Hadis Aisyah :
Dari Urwah bin Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra. Istri Nabi berkata : Rasulullah dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari suku Bani Ad-Dayl, petunjuk jalan yang mahir, dan ia masih memeluk agama orang kafir Quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan mereka berdua menjanjikan kepadanya untuk bertemu di Gua Tsaur dengan kendaraan mereka setelah tiga hari pada hari selasa.(HR Al-Bukhari)
d. Hadis Ibnu Abbas :
Dari Ibnu Abbas ia berkata: Nabi berbekam dan beliau memberikan kepada tukang bekam itu upahnya.( HR. Al-Bukhari)
e. Hadis Ibnu ‘Umar :
Dari Ibnu ‘Uma ia berkata: Rasulullah bersabda: Berikanlah kepada tenaga kerja itu upahnya sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu Majah).
Ayat-ayat Al-qur’an dan beberapa hadis Nabi tersebut menjelaskan
bahwa akad ijarah, atau sewa-menyewa hukumnya dibolehkan, karena
memang akad tersebut dibutuhkan oleh masyarakat.
Di samping Alquran dan Sunnah, dasar hukum ijarah adalah ijma’.
Sejak zaman sahabat sampai sekarang ijarah, telah disepakati oleh para
ahli hukum Islam, kecuali beberapa ulama yang telah disebutkan di atas. Hal tersebut dikarenakan masyarakat sangat membutuhkan akad ini. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, ada orang yang memiliki beberapa rumah yang tidak ditepati, di sisi lain ada orang yang tidak
memiliki tempat tinggal, dengan dibolehkannya ijarah maka orang yang
tidak memiliki tempat tinggal bisa menepati rumah orang lain, yang tidak memiliki tempat tinggal bisa menempati rumah orang lain, yang tidak digunakan untuk beberapa waktu tertentu, dengan memberikan imbalan berupa uang yang disepakati bersama, tanpa harus membeli rumahnya. (Muslich 2013,318-320)
2.2Rukun dan Syarat Ijarah dan Macam-macam Ijarah 2.2.1 Rukun Ijarah
Menurut Hanafiah, rukun ijarah hanya satu, yaitu ijab dan qabul, yaitu pernyataan dari orang yang menyewa dan menyewakan, sedangkan lafaz
yang digunakan adalah lafaz ijarah ( ), isti’jar ( ),iktira’( ) dan ikra
( ).
Sedangkan menurut jumhur ulama, ijarah itu ada empat yaitu:
a. ‘Aqid, yaitu mu’jir( orang yang menyewakan) dan musta’jir ( orang
yang menyewa),
b. Shiqhat, yaitu ijab dan qabul, c. Ujrah (uang sewa atau upah), dan
d. Manfaat, baik manfaat dari suatu barang yang disewa atau jasa dan
Maka dapat diperincikan rukun ijarah ini menurut jumhul ulama. a. Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa
atau upah. Mu’jir adalah yang memberikan upah dan yang
menyewakan, Musta’fir adalah orang yang menerima upah untuk
melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu, disyaratkan pada mu’jir dan musta’jir adalah baliqh, berakal, cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta), dan saling meridhai. Allah Swt. Berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.( Al-Nisa: 29).
Bagi orang yang berakad ijarah juga disyaratkan mengetahui
manfaat barang, yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.
b. Shighat ijab dan kabul antara mu’jir dan musta’jir, ijab dan kabul sewa-menyewa dan upah-mengupah, ijab kabul sewa-menyewa minsalnya: “Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari
Rp.5.000,00,” maka musta’jir menjawab “Aku terima sewa mobil
tersebut dengan harga demikian setiap hari”. Ijab kabul upah-mengupah misalnya: seseorang berkata, “Kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp. 5000,00”.
Kemudian musta’jir menjawab “Aku akan kerjakan pekerjaan itu
sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”.
c. Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah.
d. Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat berikut:
1) Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa, dan
upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya.
2) Hendaklah benda yang menjadi objek sewa-menyewa dan
upah-mengupah, dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikutnya kegunaannya ( Khusus dalam sewa-menyewa).
3) Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah
(boleh), menurut Syara’ bukan hal yang dilarang (diharamkan).
4) Benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zat)-nya hingga
waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.( Suhendi 2014,117-118)
Rukun dan syarat ijarah
Agar transaksi sewa-menyewa atau upah-mengupah menjadi sah, harus terpenuhi rukun dan syaratnya, adapun yang menjadi rukun ijarah
menurut Hanafiyah adalah ijab dan kabul dengan lafaf ijarah atau isti’jar.
Sedangkan rukun ijarah menurut jumhur ulama ada tiga yaitu aqidam
yang terdiri dari mu’jir dan musta’jir, ma’qud ‘alaih yang terdiri dari ujrah dan manfa’at, shighat yang terdiri dari ijab dan Kabul. Berikut akan diuraikan rukun dan syarat dari ijarah:
a. Dua orang yang berakad (mua’jir danmusta’jir) disyaratkan:
1) Berakal dan mumayiz, namun tidak dipersyaratkan baligh. Ini
berarti para pihak yang melakukan akad ijarah harus sudah cakap bertindak hukum, sehingga semua perbuatannya dapat dipertanggung jawabkan. Maka tidak dibenarkan memperkerjakan orang gila, anak-anak yang belum mumaiz dan tidak berakal.
2) ‘An-taradin, artinya kedua belah pihak berbuat atas kemauan
sendiri, sebaliknya tidak dibenarkan melakukan transaksi ijarah,
karena paksaan oleh salah satu pihak ataupun dari pihak lain.
b. Sesuatu yang diakadkan (barang dan pekerjaan), disyaratkan:
1) Objek yang diijarahkan dapat diserah-terimakan baik manfaat
maupun bendanya, maka tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat diserahterimakan ketentuan ini sama, dengan
dilarangnya melakukan jual beli yang tidak dapat
diserahterimakan.
2) Manfaat dari objek yang diijarahkan harus sesuatu yang
dibolehkan agama (mutaqawwimah), seperti menyewa buku untuk
dibaca, menyewa rumah untuk didiami, atas dasar itu fuqaha
sepakat menyatakan tidak boleh melakukan ijarah, terhadap
perbuatan maksiat seperti menggaji seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir.
3) Manfaat dari objek yang akan diijarahkan, harus diketahui
sehingga perselisihan dapat dihindari.
4) Manfaat dari objek yang akan diijarahkan, dapat dipenuhi secara
hakiki, maka tidak boleh mengijarahkan sesuatu yang tidak dapat dipenuhi secara hakiki, seperti menyewa orang bisu untuk berbicara.
5) Jelas ukuran dan batas waktu ijarah, agar terhindar dari
perselisihan.
6) Perbuatan yang diijarahkan bukan perbuatan yang fardhu atau
diwajibkan kepada muajir (penyewa), seperti sholat, puasa, haji.
7) Manfaat yang diijarahkan menurut kebiasaan dapat diijarahkan
seperti menyewakan toko, computer, maka tidak boleh menyewakan pohon untuk menjemur pakaian, karena hal itu di luar kebiasaan.
c. Upah atau imbalan , disyaratkan:
1) Upah atau imbalan berupa benda, yang diketahui yang dibolehkan
memanfaatkannya (malmutaqawwim).
2) Sesuatu yang beharga atau dapat dihargai, dengan uang sesuai
dengan adat kebiasaan setempat.
3) Upah atau imbalan tidak disyaratkan dari jenisyang diakadkan,
misalnya sewa rumah dengan sebuah rumah, upah mengerjakan sawah dengan sebidang sawah syarat seperti ini sama dengan riba.
4) Shiqat, disyaratkn berkesesuaian dan menyatunya majelis akad,
seperti yang disyaratkan dalam akad jual beli, maka akad ijarah
tidak sah bila antara ijab dan kabul tidak berkesesuain, seperti tidak berkesesuain antara objek akad atau batas waktu. (Rozalinda 2005,105-107)
2.2.2 Syarat ijarah
Syarat ijarah terdiri empat macam, sebagaimana syarat dalam jual
beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat
pelaksanaan akad), syarat sah , dan syarat lazim.
2.2.2.1 Syarat terjadi akad
Syarat in’inqad (terjadi akad) berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad. Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual beli, menurut ulama hanafiyah, ‘aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus
berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus
baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak
mumayyiz, dipandang sah bila telah diizinkan walinya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah
dan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan.Dengan
demikian, akad anak mumayyiz adalah sah, tetapi bergantung atas
mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad.
2.2.2.2 Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia
memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah), dengan demikian, ijarahal-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.
2.2.2.3 Syarat Sah Ijarah
Ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafsal-‘aqad), yaitu:
a. Adanya keridaan dari kedua pihak yang akad
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.(QS. An-Nisa’: 29)
b. Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada ma’qudalaih (barang)
menghilangkan pertentangan diantara ‘aqid, sedangkan untuk
mengetahui ma’qud ‘alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
c. Penjelasan manfaat
Penjelasan dilakukan agar benda yang disewa benar-benar jelas, tidak sah mengatakan, “Saya sewakan salah satu dari rumah ini.
d. Penjelasan waktu
Jumhur ulama tidak memberikan batasan maksimal atau minimal. Jadi, dibolehkan selamanya dengan syarat asalnya, masih tetap ada dalil yang mengharuskan untuk membatasi, sedangkan menurut ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan untuk penetapan awal waktu akad, dan juga menurut Syafi’iyah mensyaratkannya sebab bila tak dibatasi, hal itu dapat menyebabkan ketidaktahuan waktu yang wajib dipenuhi.
e. Sewa bulanan
Menurut ulama Syafi’iyah seseorang tidak boleh menyatakan, “Saya menyewakan rumah ini setiap bulan Rp. 50.000,00” sebab pernyataan seperti ini membutuhkan akad baru setiap kali membayar. Akad yang betul adalah dengan menyatakan, “Saya sewa selama setahun, sedangkan menurut jumhur ulama akad tersebut dipandang sah akad pada bulan pertama, sedangkan pada bulan sisanya bergantung pada pemakaiannya, dan paling penting adalah adanya keridaan dan kesesuaian dengan uang sewa.
f. Penjelas Jenis Pekerjaan
Penjelasan tentang jenis pekerjaan sangat penting dan diperlukan ketika menyewa orang, untuk bekerja sehingga tidak terjadi kesalahan atau pertentangan.
g. Penjelas Waktu Kerja
Tentang batas waktu kerja sangat bergantung pada pekerjaan dan kesepakatan dalam akad.
h. Ma’qud ‘Alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’
Dipandang tidak sah menyewa hewan untuk berbicara dengan anaknya, sebab hal itu sangat mustahil atau dipandang tidak sah menyewa seorang perempuan, yang sedang haid untuk membersihkan mesjid sebab diharamkan syara’.
i. Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’
Pemanfaatan barang harus digunakan untuk perkara-perkara yang dibolehkan syara’, seperti menyewakan rumah untuk ditepati atau menyewakan jaringan untuk memburu, dan lain-lain.
j. Tidak menyewa untuk pekerjaaan yang diwajibkan kepadanya
Di antara contohnya adalah menyewa orang untuk sholat fardu, puasa, dan lain-lain, juga dilarang menyewa istri sendiri untuk melayaninya sebab hal itu merupakan kewajiban istri.
k. Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
Ketaatan tersebut adalah untuk dirinya, juga tidak mengambil manfaat dari sisa hasil pekerjaannya, seperti menggiling gandum dan mengambil bubuknya atau tepungnya untuk dirinya, hal itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Daruquthni bahwa Rasulullah SAW. Melarang untuk mengambil bekas gilingan gandum. Ulama Syafi’iyah menyepakati, sedangkan Ulama Hanabilah dan Malikiyah membolehkan jika ukurannya jelas, sebab hadis di atas dipandang tidak sahih.
l. Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum
Tidak boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung, sebab tidak sesuai dengan manfaat pohon yang dimaksud dalam ijarah.
2.2.2.4 Syarat Kelaziman
a. Ma’qud ‘alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat jika
terdapat cacat pada ma’qud ‘alaih (barang sewaan), penyewa
boleh memilih antara meneruskan dengan membayar penuh atau membatalkan.
b. Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad. Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa ijarah batal karena adanya uzur sebab kebutuhan, atau manfaat akan hilang apabila ada uzur. Uzur adalah sesuatu yang baru menyebabkan kemadaratan bagi yang akad. (Syafe’I 2001,125-129)
2.2.3 Macam-macam Ijarah
Ijarah ada dua macam:
2.2.3.1 Hukum ijarah Atas Manfaat (Sewa-menyewa)
Akad sewa-menyewa dibolehkan atas manfaat yang mubah, seperti rumah untuk tempat tinggal, toko dan kios untuk tempat berdagang, mobil untuk kendaraan atau angkutan, pakaian dan perhiasan untuk dipakai. Adapun manfaat yang diharamkan maka tidak boleh disewakan, karena barangnya diharamkan, dengan demikian, tidak boleh mengambil imbalan untuk manfaat yang diharamkan, seperti bangkai dan darah.
a) Cara menetapkan hukum akad ijarah
Menurut Hanafiah dan Malikiyah, ketetapan hukum akad ijarah (sewa-menyewa) berlaku sedikit demi sedikit atau setahap demi setahap, sesuai dengan timbulnya objek akad yaitu manfaat. Karena manfaat dari suatu benda yang disewa tidak bisa dipenuhi
sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit, tetapi menurut
Syafi’iyah dan hanabilah, ketetapan hukum akad ijarah
(sewa-menyewa) itu berlaku secara kontan sehingga masa sewa, dianggap seolah-olah seperti benda yang tampak.
Perbedaan antara Ulama disatu pihak dan di pihak lain, timbul perbedaan mereka dalam masalah berikutnya:
(1) Hubungan antara uang sewa dengan akad
Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, uang sewa (ujrah) dapat dimiliki dengan semata-mata telah dilakukan akad,
karena ijarah adalah akad mu’awadhah, yang apabila tidak
dikaitkan dengan syarat, secara otomatis menimbulkan hak milik atas kedua imbalan (manfaat dan sewa) begitu akad selesai, persis seperti timbulnya hak milik dalam jual beli. Sedangkan menurut Hanafiah dan Malikiyah, uang sewa tidak bisa dimiliki hanya semata-mata dengan akad saja, melainkan diperoleh sedikit demi sedikit sesuai dengan manfaat yang diterima.
(2) Penyerahan barang yang disewakan setelah akad
Menurut Hanafiyah dan Malikiyah, mu’jir (orang yang
menyewakan) diwajibkan untuk menyerahkan barang yang disewakan kepada musta’jir (penyewa) setelah dilakukan akad, dan (mu’jir) tidak boleh menahannya dengan tujuan untuk memperoleh pembayaran uang sewa. Hal tersebut menurut mereka upah itu tidak wajib dibayar hanya semata-mata karena akad, melainkan karena diterimanya manfaat, sedangkan pada waktu akad manfaat itu belum ada. Manfaat baru diterima sedikit demi sedikit setelah barang yang disewa mulai digunakan.
(3) Ijarah dikaitkan dengan masa yang akan datang
Menurut Hanafiah, Malikiyah dan Hanabilah, ijarah
boleh disandarkan kepada masa yang akan datang, misalnya, kata orang yang menyewakan: “Saya sewakan rumah ini kepada anda selama satu tahun, dimulai bulan Januari 2008” sedangkan akad yang dilakukan pada bulan November 2007. Hal tersebut dikarenakan akad ijarah itu berlaku sedikit demi sedikit, sesuai
dengan timbulnya ma’qud ‘alaih yaitu manfaat. Sebenarnya
akad ijarah disandarkan kepada saat adanya manfaat, tetapi
menurut Syafi’iyah, ijarah tidak boleh disandarkan kepada
masa yang akan datang, karena ijarah merupakan jual beli atas manfaat yang dianggap ada pada waktu akad.
b) Cara memanfaatkan barang sewaan
(1) Sewa rumah, toko, dan semacamnya
Apabila seseorang menyewa rumah, toko, atau kios, maka ia boleh memanfaatkannya sesuai dengan kehendaknya, baik dimanfaatkan sendiri, atau untuk orang lain, bahkan boleh disewakan lagi, atau dipinjamkan kepada orang lain.
(2) Sewa tanah
Dalam sewa tanah, harus dijelaskan tujuannya, untuk pertanian dan disebutkan pula jenis yang ditanamnya, seperti bayam, padi, jagung atau lainnya, bangun bengkel, atau warung, dan sebagainya.
(3) Sewa Kendaraan
Menyewa kendaraan, baik hewan maupun kendaraan lainnya, harus dijelaskan salah satu dari dua hal, yaitu waktu dan tempat, demikian pula barang yang akan dibawa, dan benda atau orang yang akan diangkut harus dijelaskan, karena
semuanya itu nantinya akan berpengaruh kepada kondisi kendaraan.
c) Memperbaiki barang sewaan
Menurut Hanafiyah, apabila barang yang disewa itu mengalami kerusakan, seperti pintu yang rusak, atau tembok yang roboh, maka yang berkewajiban memperbaikinya adalah pemiliknya, bukan penyewa. Karena barang yang disewa itu milik mu’jir, dan yang harus memperbaiki adalah pemiliknya.
d) Kewajiban penyewa setelah selesainya akad ijarah
Apabila masa sewa telah habis, maka kewajiban penyewa adalah sebagai berikut.
(1) Penyewa (musta’jir) harus menyerahkan kunci rumah atau
toko kepada pemiliknya (mu’jir)
(2) Apabila yang disewa itu kendaraan, maka penyewa (musta’jir)
harus mengembalikaan kendaraan yang telah disewanya ke tempat asalnya.
(3) Manfaat dari benda tersebut tanpa memindahkan kepemilikan
benda tersebut, baik benda bergerak.
2.2.3.2 Hukum ijarah atas pekerjaan (upah-mengupah)
Ijarah atas pekerjaan upah mengupah adalah suatu akad ijarah untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya membangun rumah, menjahit pakaian, mengangkut barang ketempat tertentu, memperbaiki mesin cuci, atau kulkas, dan sebagainya. Orang yang melakukan pekerjaan disebut ajir atau tenaga kerja.
Ajir atau tenaga kerja ada dua macam:
a) Ajir (tenaga kerja) khusus, yaitu orang yang bekerja pada satu orang untuk masa tertentu, dalam beliau tidak boleh bekerja untuk orang lain selain orang yang telah memperkerjakannya.
b) Ajir (tenaga kerja) musytarak, yaitu orang yang bekerja untuk lebih dari satu orang, sehingga mereka bersekutu di dalam memanfaatkan tenaganya. (Muslich 329-333)
2.3 Bentuk-bentuk dan serta Hak-hak dalam Ijarah 2.3.1 Bentuk-bentuk Ijarah
Dilihat dari objek ijarah berupa manfaat suatu benda maupu
tenaga manusia ijarah itu terbagi kepada dua bentuk yaitu:
a) Ijarah ain, yakni ijarah yang berhubungan dengan penyewaan benda, yang bertujuan untuk mengambil menyewa kendaraan maupun benda tidak bergerak, seperti sewa rumah.
b) Ijarah amal, yakni ijarah terhadap perbuatan atau tenaga manusia
yang diistilahkan dengan upah-mengupah. Ijarah ini digunakan
untuk memperoleh jasa dari seseorang dengan membayar upah atau jasa dari pekerjaan yang dilakukannya. (Rozalinda 2016,131)
2.3.2 Hak-hak dalam Ijarah 2.3.2.1 Hak menerima upah
Hak menerima upah dalam sewa-menyewa dapat ditentukan sebagaimana berikut:
a. Pekerjaan telah selesai dikerjakan. Ibnu Majah meriwayatkan
bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering”.
b. Mendapatkan manfaat apabila akad dilakukan pada barang,
apabila barang tersebut rusak sebelum diambil manfaatnya dan masa penyewaan belum berlalu, maka penyewaan batal.
c. Adanya kemungkinan untuk mendapatkan manfaat, jika masa
sewa berlangsung, ada kemungkinan untuk mendapatkan manfaat dari barang sewaan meskipun tidak sepenuhnya.
2.3.2.2 Dengan apa imbalan berhak didapatkan
Imbalan berhak didapatkan dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Penyelesaian pekerjaan. Dalilnya adalah sabda Nabi saw,
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya mongering.”
b. Pengambilan manfaat secara sempurna apabila akad
dilakukan pada barang, apabila barang tersebut rusak sebelum diambil manfaatnya dan masa penyewaan belum berlaku sedikitpun maka penyewaan batal.
c. Kemungkinan untuk mengambil manfaat secara sempurna,
yaitu ketika telah berlalu suatu masa yang di dalamnya manfaat mungkin diambil secara sempurna, meskipun manfaat tidak benar-benar diambil.
d. Pendahuluan imbalan atau kesepakatan dua orang yang
berakad untuk mendahulukan imbalan.
Apakah upah terhapus karena kerusakan barang pada akad pengupahan?
Apabila pekerja bekerja ditempat pengupah atau dihadapannya maka dia berhak mendapatkan upah, karena dia berada dibawah kekuasaan pengupah. Setiap kali dia mengerjakaan sesuatu, hasil pekerjaannya itu langsung diterima oleh pengupah.
Sementara apabila pekerjaan tersebut ada ditangan pekerja maka dia tidak berhak mendapatkan upah, ketika barang yang ada ditangannya itu rusak karena dia belum menyerahkan hasil pekerjaan.
Menurut para ulama mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat adalah:
a. Mengupah Inang
Seorang laki-laki tidak boleh mengupah istrinya untuk menyusui anaknya sendiri, karena ini merupakan suatu kewajiban, atasnya dalam hubungan antara dia dan Allah swt. Boleh mengupah inang selain ibu dengan upah tertentu, boleh juga dengan imbalan makanan yang dimakannya dan pakaian yang dipakainya, ketidak jelasan upah dalam kondisi ini tidak akan menimbulkan perseketaan. Biasanya pengupah bermurah hati dan bersikap dermawan, kepada inang demi kasih sayangnya kepada sang anak.
Allah swt. Berfirman,“…Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al Baqarah [2]: 233)
Inang menepati posisi sebagai pekerja khusus sehingga dia tidak boleh menyusui bayi lain, kewajiban inang adalah menyusui bayi dan mengerjakan semua yang dibutuhkannya, seperti memandikannya, mencuci pakaiannya, dan memasak makanannya. Sementara kewajiban bapak adalah membiayai makanan dan semua yang dibutuhkan oleh bayi, seperti wewangian dan minyak.
b. Mempekerjakan orang dengan imbalan makanan dan pakaian
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum mempekerjakan orang, dengan imbalan makanan yang dimakannya dan pakaiannya, sebagian dari mereka membolehkannya dan sebagian yang lain melarangnya. Dalil mereka yang membolehkan adalah riwayatdari Utbah bin Nuddar bahwa dia berkata, “ kami berada di tempat Nabi saw. Lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya Musa mempekerjakan dirinya selama delapan atau sepuluh tahun dengan imbalan kesucian kemaluannya dan makanan perutnya.”
Hadis ini juga diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, dan Abu Musa, ini adalah pendapat yang di anut oleh Maliki dan para ulama mazhab Hambali, sedangkan Abu Hanifah membolehkannya pada inang, tanpa pembatu. Sementara Syafi’i Abu Yusuf, Muhammad, para ulama Hadawiyah, dan Manshur Billah menganggapnya tidak sah karena ketidak jelasan upah.
Para ulama mazhab Maliki yang yang membolehkan untuk mempekerjakan pekerjaan, dengan imbalan makanan yang dimakannya dan pakaian yang dipakainya, berpendapat bahwa hal itu disesuaikan dengan tradisi yang berlaku.
c. Penyewaan tanah
Penyewaan tanah dibolehkan, di dalamnya disyaratkan penjelasan tentang tujuan penyewaan tanah tersebut, apakah untk pertanian atau pembangunan. Apabila penyewaan tanah adalah untuk pertanian, maka harus dijelaskan apa yang akan ditanam, kecuali apabila pemilik tanah mengizinkan penyewa untuk menanam apa saja yang dikehendakinya.
Apabila syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka penyewaan, batal karena manfaat tanah berbeda seiring dengan perbedaan penggunaanya, untuk pembangunan atau pertanian, sebagaimana umur tanaman juga berbeda satu sama lain. Penyewa boleh menanami tanah dengan selain tanaman yang telah disepakati, asalkan kerugian yang ditimbulkannya sama dengan kerugian yang ditimbulkan oleh tanaman yang
disepakati atau lebih kecil darinya, sementara Dawud mengatakan bahwa dia tidak boleh melakukan hal itu.
d. Penyewaan binatang
Penyewaan binatang dibolehkan karena didalamnya disyaratkan penjelasan tentang masa dan tempat penyewaan, sebagaimana juga disyaratkan penjelasan tentang tujuan penyewaan binatang tersebut, apakah untuk angkutan atau tunggangan, serta penjelasan tentang barang apa yang akan diangkut di atasnya dan siapa yang akan menungganginya.
Ketika binatang yang disewakan untuk angkutan dan tunggangan mati, apabila sebelumnya ia memiliki cacat lalu mati maka penyewaan tidak batal. Pemilik binatang wajib mendatangkan binatang lainnya, dia tidak memiliki hak untuk membatalkan akad, karena penyewaan berlaku pada manfaat dalam tanggungan, dia mampu menunaikan apa yang menjadi
kewajibannya berdasarkan akad, ini disepakati oleh fugaha
empat mazhab.
e. Penyewaan rumah untuk tempat tinggal
Akad penyewaan rumah untuk tempat tinggal membolehkan pemanfaatannya untuk ditinggali, baik penyewa sendiri yang tinggal di dalamnya maupun dia menepatkan orang lain, di dalamnya dengan meminjamkannya atau penyewaannya lagi. Hanya saja, rumah tersebut tidak boleh ditinggali oleh orang yang dapat membahayakan bangunan atau merusaknya, seperti tukang besi dan sejenisnya.
Pemilik rumah wajib melengkapi segala sesuatu yang memungkinkan penyewa, untuk memanfaatkannya, sesuai dengan tradisi yang berlaku.
f. Penyewaan barang sewaan
Penyewa boleh menyewakan lagi barang yang disewakannya, apabila barang tersebut adalah binatang maka ia harus disewakan untuk pekerjaan, yang sama atau mendekati pekerjaan yang untuknya ia disewa, pada kali pertama sehingga ia tidak ditimpa bahaya.
Penyewa boleh menyewakan barang sewaan setelah dia menerimanya, dengan sewa yang sama atau lebih besar, dan lebih kecil dari pada sewa yang telah dibayarkannya. Dan dia boleh mengambil apa yang dinamakan dengan persen.
g. Kerusakaan barang sewaan
Barang sewaan adalah amanat ditangan penyewa karena dia telah menerima barang tersebut, untuk mengambil manfaat yang manjadi haknya. Apabila barang tersebut rusak maka dia tidak wajib mengganti, kecuali apabila dia bertindak lalim atau lalai dalam menjaganya.
Barang siapa menyewa binatang untuk ditunggangi olehnya, lalu dia mengekang binatang tersebut dengan tali kekang sebagaimana yang berlaku dalam tradisi, maka dia tidak wajib menganti apabila binatang tersebut mati.
h. Pekerja (Ajir)
Pekerja ada dua macam: pekerja khusus dan pekerja umum. (a) Pekerja khusus
Pekerja khusus adalah orang yang di upahkan untuk bekerja selama masa yang diketahui, apabila masanya tidak diketahui maka pengupahan tidak sah, masing-masing dari pekerja dan pengupah boleh membatalkannya kapan saja dia mengkehendaki. Apabila pekerja telah menyerahkan dirinya kepada pengupah selama waktu tertentu,maka dia
tidak berhak mendapatkan selain upah yang wajar atas waktu yang di dalamnya dia bekerja.
Selama masa yang disepakati dalam akad, pekerja khusus tidak boleh bekerja untuk selain mengupah selama masa ini, maka upahnya dikurangi sesuai dengan kadar pekerjaanya. Pekerjaan khusus berhak mendapatkan upah setelah dia menyerahkan dirinya, dan tidak menolak melakukan pekerjaan yang untuknya dia diupah, pekerja khusus sama seperti wakil dalam kapasitasnya, sebagai orang yang diberi amanat untuk melaksanakan pekerjaan yang ada di tangannya. Dia tidak bertanggung jawab atas apa yang rusak dari pekerjaannya, kecuali apabila bertindak lalim atau lalai, apabila dia bertindak lalim atau lalai maka dia bertanggung jawab.
(b) Pekerja umum
Pekerjaan umum adalah orang yang bekerja untuk lebih dari satu orang dan mereka semuanya, memiliki bagian yang sama dalam mengambil manfaat darinya, seperti tukang celup, tukang jahit, tukang besi, tukang kayu, dan tukang setrika. Orang yang mengupahnya untuk bekerja untuk orang lain, dan dia tidak berhak mendapatkan upah kecuali setelah mengerjakan pekerjaan. (Sabiq 2009,157-162)
2.4 Ketentuan dalam Berakhirnya Ijarah
Ijarah berakhirnya karena sebab-sebab sebagai berikut:
2.4.1 Menurut Hanafiyah, akad ijarah berakhir dengan meninggalnya salah
seorang dari dua orang yang berakad. Ijarah hanya hak manfaat maka hak ini tidak dapat diwariskan, karena kewarisan berlaku untuk
adalah akad lazim (mengikat para pihak), seperti halnya dengan jual
beli, atas dasar ini mayoritas fugaha berpendapat, ijarah tidak dapat
dibatalkan dengan meninggalkannya para pihak yang berakad. Ijarah
berakhir dengan berakhirnya waktu akad, oleh karena itu, manfaat dari ijarah dapat diwariskan sampai berakhirnya waktu akad.
2.4.2 Akad ijarah berakhir dengan iqalah (menarik kembali). Ijarah adalah
akad mu’awadhah, di sini terjadi proses pemindahan benda dengan
benda sehingga memungkinkan untuk iqalah, seperti pada akad jual
beli.
2.4.3 Sesuatu yang disewakan hancur atau mati, misalnya hewan sewaan
mati atau rumah sewaan hancur.
2.4.4 Manfaat yang diharapkan telah terpenuhi atau pekerjaan telah selesai,
kecuali ada uzur atau halangan.
Apabila ijarah telah berakhir waktunya, penyewa wajib
mengembalikan barang sewaan utuh, seperti semula, bila barang sewaan sebidang tanah pertanian yang ditanami dengan tanaman, boleh ditangguhkan sampai buahnya bisa dipetik, dengan pembayaran yang sebanding dengan tenggang waktu yang diberikan.(Rozalinda 2016,140)
Sebenarnya, tentang penghabisan ijarah telah disinggung pada
pembahasan terdahulu. Namun demikian, akan dijelaskan kembali:
a. Menurut ulama Hanafiyah, ijarah dipandang habis dengan
meninggalnya salah seorang yang akad, sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah itu tidak batal, tetapi diwariskan.
b. Pembatalan akad
c. Terjadi kerusakan pada barang yang disewa. Akan tetapi, menurut
ulama lainnya kerusakan pada barang sewaan tidak menyebabkan habisnya ijarah, tetapi harus diganti selagi masih dapat diganti.
Pembatalan dan berakhirnya ijarah, ijarah adalah jenis akad
lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah
satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila
didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh. Ijarah akan menjadi batal
(fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut.
a. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan
penyewa
b. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menadi runtuh
dan sebagainya
c. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang
diupahkan untuk dijahitkan
d. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang
telah ditentukan dan selesainya pekerjaan
e. Menurut Hanafiyah, boleh fasakhijarah dari salah satu pihak,
sepertinya yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memanfasakhkan sewaan itu. (Suhendi 2014,122)
Sedangkan menurut para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al-ijarah akan berakhir, dan ada juga menurut para ulama ini
berbeda-beda pendapat tentang sifat akad al-ijarah, apakah besifat mengikat
kedua belah pihak atau tidak. Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa
akad al-ijarah itu bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara
sepihak apabila terdapat uzur, dari salah satu pihak yang berakad seperti, salah satu pihak wafat, atau kehilangan kecakapan bertindak dalam hukum.
Adapun jumhur ulama dalam hal ini mengatakan bahwa akad al-ijarah, itu bersifat mengikat kecuali ada cacat atau barang, itu tidak boleh dimanfaatkan, akibat perbedaan pendapat ini dapat diamati dalam kasus apabila seorang meninggal dunia. Menurut ulama
al-ijarahbatal, karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi, Jumhur Ulama mengatakan, bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk harta (al-Maal). Oleh karena itu kematian salah satu pihak
yang berakad tidak membatalkan akad al-ijarah. (Ghazaly et all.
2010,283) Dan para fiqh menyatakan bahwa akad al-ijarah akan
berakhir apabila:
a. Obyek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang
dijahitkan hilang.
b. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah
berakhir, apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh.
c. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad,
karena akad al-ijarah, menurut mereka, tidak boleh diwariskan.
Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad, karena manfaat, menurut mereka, boleh diwariskan dan al-ijarah sama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.
d. Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari salah satu pihak,
seperti rumah yang disewakan disita Negara, karena terkait utang
yang banyak, maka akad al-ijarah batal. Uzur-uzur yang dapat
membatalkan akad al-ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah adalah
salah satu pihak jatuh muflis, dan berpindah tempatnya penyewa, misalnya, seseorang digaji untuk menggali sumur di suatu desa, sebelum sumur itu selesai, penduduk desa itu pindah kedesa lain. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, uzur yang boleh membatalkan
akad al-ijarah, itu hanyalah apabila obyeknya mengandung cacat
atau manfaat yang dituju dalam akad itu hilang, seperti kebakaran dan dilanda banjir. (Haroen 2007, 237)