• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENETAPAN KADAR NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH OLEH HAKIM PADA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA (Studi Putusan Cerai Talak Tahun 2017) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENETAPAN KADAR NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH OLEH HAKIM PADA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA (Studi Putusan Cerai Talak Tahun 2017) - Test Repository"

Copied!
229
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENETAPAN KADAR NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH

OLEH HAKIM PADA CERAI TALAK DI

PENGADILAN AGAMA SALATIGA

(Studi Putusan Cerai Talak Tahun 2017)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

Muhlifa Nur Prahandika

NIM : 21113010

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

َرْيِسْيَّتلا ُبِلْجَت ُةَّقَشَمْلَا

“Kesulitan itu Mendatangkan adanya Kemudahan”

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada:

Kedua orang tua saya tercinta, Bapak Muji Setiyo dan Ibu Sri Nur Fuatun yang

selalu memberi semangat, dukungan, doa, dan kasih sayang yang tak terbatas.

Adik saya Hanifa Nur Prahandaffa, yang selalu mengingatkan untuk segera

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirobbil’alamiin

, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah dan taufiq-Nya kepada

penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul

Penetapan Kadar Nafkah

Iddah

dan

Mut’ah

oleh Hakim pada Cerai Talak di

Pengadilan Agama Salatiga (Studi Putusan Cerai Talak Tahun 2017)

” tanpa

halangan yang berarti.

Shawalat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW,

kepada keluarga, sahabat dan pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya

suritauladan. Beliau merupakan sosok pencerah kehidupan di dunia maupun di

akhirat nanti dan semoga kita semua senantiasa mendapatkan Syafaatnya min hadza

ila yaumil qiyamah, Aamiin Yaa Robbal’alamin.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan

dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan skripsi

ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1.

Dr Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga;

2.

Dr. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakul

tas Syari’ah;

3.

Sukron Ma’mun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga Islam;

4.

Luthfiana Zahriani, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing yang dengan ikhlas

dan sabar membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu, tenaga dan

pikirannya sehingga skripsi ini terselesaikan;

5.

Seluruh dosen IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmunya yag sangat

bermanfaat;

(7)

vii

7.

Kepada orang tua dan adik serta keluarga besar yang telah memberikan dan

mencurahkan segala kemampuan dan dukungannya secara material dan

immaterial hingga saat ini. Tanpa mereka mungkin karya ini tidak akan pernah

ada;

8.

Sahabat-sahabat dan teman-teman khususnya sahabat dan teman seperjuangan

di Ahwal Al-Syakhshiyyah ( Hukum Keluarga Islam) angkatan 2013 atas segala

bantuan, semangat, dan hiburannya sehingga penulis mampu menyelesaikan

skripsi ini;

9.

Teman gamer saya, Zaid, Badrul, Mujib, dan Apid yang selalu memberikan

hiburan disela-sela waktu mengerjakan karya ini, dan doaku kepada temanku

semua semoga kita sukses di dunia dan akhirat, Aamiin.

10.

Semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi

ini.

Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga

hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, serta kepada

pembaca pada umumnya. Aamiin.

Salatiga, 16 Maret 2018

Penulis

(8)

viii

ABSTRAK

Nur Prahandika, Muhlifa.

“Penetapan Kadar Nafkah Iddah dan Mut’ah oleh

Hakim pada Cerai Talak di Pengadilan Agama Salatiga (Studi Putusan

Cerai Talak Tahun 2017)”.

Skripsi. Fakultas Syari’ah. Jurusan Hukum

Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

Pembimbing: Luthfiana Zahriani, S.H., M.H.

Kata Kunci: Kadar, Nafkah Idda

h, Mut’ah, Cerai Talak

Cerai talak sesuai dengan ketentuan pasal 149 KHI, bahwa suami

berkewajiban memberikan biaya penghidupan bagi mantan isterinya berupa nafkah

iddah

maupun

mut’ah

. Dalam menentukan kadar biaya penghidupan tidak ada

aturan yang jelas terhadap penetapan kadar nafkah

iddah

dan

mut’ah

. Hal tersebut

merupakan hak hakim untuk berijtihad dalam menetapkan kadar nafkah

iddah

dan

mut’ah

. Oleh karena itu, peneliti berupaya menggali informasi terkait alasan yang

menjadi pertimbangan putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam

menetapkan kadar nafkah

iddah

dan

mut’ah

pada perkara cerai talak. Pernyataan

utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimana profil

putusan perkara cerai talak dalam penetapan kadar nafkah

iddah

dan

mu

t’ah

di

Pengadilan Agama Salatiga tahun 2017, (2) Apakah alasan yang menjadi

pertimbangan pengambilan putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam

menetapkan kadar nafkah

iddah

dan

mut’ah

pada perkara cerai talak, dan (3)

Bagaimana tinjauan Undang-undang Perkawinan dan hukum Islam atas putusan

hakim Pengadilan Agama Salatiga terhadap penetapan kadar nafkah

iddah

dan

mut’ah

pada perkara cerai talak.

Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan yang bertempat di

Pengadilan Agama Kota Salatiga dengan subjek penelitiannya adalah hakim.

Metode pendekatan yang digunakan adalah kualitatif deskriptif analisis dan yuridis

normatif. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan

dokumentasi. Dan untuk menguji hasil temuan data tersebut maka peneliti

menganalisa data dengan menggunakan deskriptif analitis dengan pola deduktif.

Temuan penelitian ini menujukkan bahwa pada tahun 2017 terdapat 26

putusan dari 263 putusan cerai talak yang terdapat penetapan kadar nafkah

iddah

dan atau

mut’ah.

Alasan hakim dalam penetapan kadarnya adalah

mempertimbangkan kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan suami,

kesanggupan suami, biaya hidup sebelum perceraian, tuntutan isteri, lamanya

pernikahan, dan pendapat ahli Hukum Islam yang menyatakan pemberian

mut’ah

berupa nafkah selama satu tahun. Dalam pengambilan putusan kadar nafkah

iddah

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

NOTA PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.

Latar Belakang ... 1

B.

Rumusan Masalah ... 5

C.

Tujuan Penelitian ... 5

D.

Kegunaan Penelitian ... 6

E.

Penegasan Istilah ... 6

F.

Kajian Pustaka ... 8

G.

Metode Penelitian ... 12

H.

Sistematika Penulisan ... 15

BAB II KAJIAN

TEORI: NAFKAH IDDAH, MUT’AH DAN

CERAI TALAK ... 17

(10)

x

1.

Pengertian Nafkah ... 17

2.

Dasar Hukum Nafkah ... 17

3.

Syarat-syarat Isteri Menerima Nafkah ... 20

4.

Kadar Nafkah ... 22

5.

Nafkah Suami atas Isteri yang Beriddah ... 23

a.

Pengertian Iddah ... 23

b.

Dasar Hukum Iddah ... 24

c.

Macam-macam Iddah ... 27

d.

Hukum Mengenai Nafkah Suami atas Isteri yang

Beriddah ... 29

B.

KONSEP MUT’AH

... 36

1.

Pengertian Mut’ah

... 36

2.

Dasar Hukum Mut’ah

... 36

3.

Perbedaan Pandangan Ulama Mengenai Hukum Mut’ah

... 38

4.

Kadar Mut’ah

... 42

C.

KONSEP CERAI TALAK ... 44

1.

Pengertian Talak ... 44

2.

Macam-macam Talak ... 45

3.

Prosedur Cerai Talak ... 49

4.

Akibat Talak ... 52

BAB III HASIL PENELITIAN ... 58

(11)

xi

B.

Penetapan Kadar Nafkah Iddah dan Mut’ah

... 61

1.

Putusan Pengadilan Agama Salatiga tentang Nafkah Iddah

dan Mut’ah

... 61

a.

Putusan No. 122/Pdt.G/2017/PA.Sal ... 61

b.

Putusan No. 668/Pdt.G/2016/PA.Sal ... 63

c.

Putusan No. 608/Pdt.G/2017/PA.Sal ... 65

d.

Putusan No. 1258/Pdt.G/2016/PA.Sal ... 67

2.

Hasil Wawancara Hakim ... 69

a.

Wawancara dengan Hakim Drs. H. Salim, SH., MH ... 69

b.

Wawancara dengan Hakim Drs. M. Muslih ... 71

BAB IV PEMBAHASAN ... 75

A.

Alasan yang Menjadi Pertimbangan Pengambilan Putusan Hakim

Pengadilan Agama Salatiga dalam Menetapkan Kadar Nafkah Iddah

dan Mut’ah pada Perkara Cerai Talak

... 75

B.

Tinjauan Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam atas Putusan

Hakim Pengadilan Agama Salatiga terhadap Penetapan Kadar Nafkah

Iddah dan Mut’ah pada Perkara Cerai Talak

... 81

1.

Putusan No. 122/Pdt.G/2017/PA.Sal ... 81

2.

Putusan No. 668/Pdt.G/2016/PA.Sal ... 83

3.

Putusan No. 608/Pdt.G/2017/PA.Sal ... 88

4.

Putusan No. 1258/Pdt.G/2016/PA.Sal ... 91

BAB V PENUTUP ... 97

(12)

xii

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Perkawinan merupakan langkah awal bagi setiap pasangan untuk

membangun sebuah keluarga. Dalam menjalani kehidupan bersama, setiap

pasangan akan mengalami banyak halangan dan rintangan yang menjadi bagian

dari kehidupan berkeluarga. Suatu halangan dan rintangan yang dialami setiap

pasangan harus dilalui bersama agar tercapai sebuah keluarga yang bahagia.

Kebahagiaan yang digapai merupakan tujuan awal dalam sebuah perkawinan.

Sabagaimana firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21:

َقَلَخ ْنَأ ِهِتَياَء ْنِم َو

ًةَّد َوَّم ْمُكَنْيَب َلَعَج َو اَهْيَل ِإ اوُنُكْسَتِ ل اًج َو ْزَأ ْمُكِسُفْنَأ ْنِ م مُكَل

.َن ْوُرَّكَفَتَي ٍم ْوَقِ ل ٍتَيَ َلَ َكِلَذ ىِف َّنِإ .ًةَمْح َر َو

Artinya:

“dan diantara tanda

-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa

tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi

kamu yang berfikir”

(Ar-Rum: 21).

Selaras dengan Pasal 1 UU Perkawinan no 1 tahun 1974 yang menyebutkan

bahwa:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau

rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa

.

Serta dalam Pasal 3 KHI,

“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan

(14)

2

Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat

diinginkan orang Islam. Akad nikah diadakan adalah untuk selama-lamanya dan

seterusnya hingga meninggal dunia. Allah menyebutkan ikatan perjanjian

dalam akad itu sebagai

mitsaqon ghalidhan

yang berarti perjanjian yang kokoh.

Jika ikatan antara suami istri demikian kokoh kuatnya maka tidak sepatutnya

dirusak dan disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekan merusak hubungan

perkawinan itu adalah dibenci oleh Islam karena merusak kebaikan dan

menghilangkan kemaslahatan antara suami istri (Sabiq, 1994: 9).

Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, hambatan dan rintangan pasti

selalu ada dalam setiap rumah tangga. Hambatan dan rintangan bukanlah alasan

untuk mengakhiri sebuah ikatan. Islam mengajarkan kepada setiap pasangan

untuk memperbaiki keretakan yang timbul didalamnya. Sementara itu, apabila

keretakan yang telah timbul sudah tidak bisa utuh kembali, maka Islam tidak

akan memaksakan untuk mempertahankan ikatan mereka. Karenanya Islam

memberikan jalan keluar, yaitu dengan talak.

Islam membolehkan talak (

thalaq

) ketika perbedaan di antara pasangan

sudah menganga lebar dan tidak bisa lagi dijembatani. Namun, talak atau

perceraian merupakan tindakan yang dibenci Allah Swt meskipun halal.

Rasulullah Saw bersabda:

ِق َلََّطلا ىَلاَعَت ِهللا ىَلِإ َضَغْبَأ ِل َلََحْل َنِم ٌءْيَش َسْيَل

)دواد وبأ هاور(

(15)

3

Perceraian akan menimbulkan hak dan kewajiaban bagi suami istri

didalamnya. Dan untuk melindungi hak isteri atas talak yang dijatuhkan suami,

dalam Peraturan Perundang-undangan telah diatur beberapa kewajiban suami

akibat terjadinya perceraian. Yaitu sewaktu istri menjalani waktu

iddah

mantan

suami berkewajiban memberikan nafkah

iddah

dan

mut’ah

sebagai pemberian

bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan

lainnya. Sesuai dalam KHI pasal 149 huruf (a) dan (b)

“Bilamana perkawinan

putus karena talak, maka bekas suami wajib: (a). memberikan mut`ah yang

layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri

tersebut qobla al dukhul; (b). memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada

bekas isteri selama dalam iddah

, kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba’in

atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil

”.

Kewajiban suami terhadap istri

yang ditalak dikuatkan dalam pasal 41 huruf (c) Undang-undang Perkawinan

No. 1 Tahun 1974 mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian

ialah:

“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajib

an bagi bekas isteri”

.

(16)

4

tentang hak nafkah bagi istri ber

iddah

ba’in

yang sedang hamil baik itu karena

dithalaq tiga,

khulu’,

ataupun karena

fasakh.

Namun istri yang ditalak

ba’in

dalam keadaan tidak hamil para ulama berbeda pendapat akan hal tersebut

(Mardani, 2011: 76). Selain kewajiban nafkah

iddah

, suami juga berkewajiban

memberikan

mut’ah

kepada istri yang diceraikan. Sesuai firman Allah SWT

dalam surah al-Baqarah ayat 241 yaitu sebagai berikut:

.َنْيِقَّتُمْلا َلَع اًّقَح ِفوُرْعَمْلاِب ٌعاَتَم ِتَقَّلَطُمْلِل َو

“Dan bagi perempuan

-perempuan yang diceraikan hendaklah diberi

mut’ah

menurut cara yang patut, sebagai suatu kewajiban orang yang

bertakwa”

(Al-Baqarah: 241).

Dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan hukum Islam telah

dijelaskan bahwa istri berhak mendapatkan nafkah

iddah

dan

mut’ah

dari suami

yang menceraikannya.

Namun tidak dijelaskan bahwa kadar atau besar kecilnya

nafkah

iddah

dan

mut’ah

yang wajib diberikan kepada istri yang diceraikannya.

Hal ini yang menjadi hak hakim atas jabatanya (

ex officio

) di Pengadilan Agama

khususnya Pengadilan Agama Salatiga dalam menentukan besar kecilnya kadar

nafkah

iddah

dan

mut’ah

yang akan diberikan suami kepada isteri pasca

terjadinya perceraian.

Berdasarkan keterangan diatas, maka penulis tertarik untuk menggali lebih

jauh tentang apa saja yang menjadi penentuan besar kecilnya kadar nafkah

(17)

5

Cerai Talak di Pengadilan Agama Salatiga (Studi Putusan Cerai Talak

Tahun 2017)

B.

Rumusan Masalah

1.

Bagaimana profil putusan perkara cerai talak dalam penetapan kadar nafkah

iddah

dan

mut’ah

di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2017?

2.

Apa alasan yang menjadi pertimbangan pengambilan putusan hakim

Pengadilan Agama Salatiga dalam menetapkan kadar nafkah

iddah

dan

mut’ah

pada perkara cerai talak?

3.

Bagaimana tinjauan Undang-undang Perkawinan dan hukum Islam atas

putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga terhadap penetapan kadar

nafkah

iddah

dan

mut’ah

pada perkara cerai talak?

C.

Tujuan Penelitian

1.

Untuk mengetahui profil putusan perkara cerai talak dalam penetapan kadar

nafkah

iddah

dan

mut’ah

di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2017.

2.

Untuk mengatahui alasan yang menjadi pertimbangan pengambilan putusan

hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam menetapkan kadar

mut’ah

dan

nafkah

iddah

pada perkara cerai talak.

3.

Untuk mengetahui bagaimana tinjauan UU Perkawinan dan hukum Islam

atas putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga terhadap penetapan kadar

(18)

6

D.

Kegunaan Penelitian

1.

Memperkaya wawasan ilmu dalam bidang hukum, khususnya dalam hal-hal

yang berkaitan dengan penetapan kadar nafkah

iddah

dan

mut’ah

pada

perkara cerai talak.

2.

Diharapkan penelitian ini bisa dijadikan bahan untuk menyusun karya

ilmiah selanjutnya yang berkaitan dengan nafkah

iddah

dan

mut’ah.

E.

Penegasan Istilah

Penegasan istilah dipergunakan untuk menghindari penafsiran ganda

ataupun perbedaan pendapat bagi para pembaca. Oleh karena hal tersebut,

penulis berkepentingan untuk menjelaskan arti dalam judul penelitian ini, agar

istilah-istilah yang terkandung dalam judul penelitian memiliki arti yang tegas

dan jelas. Istilah yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut:

1.

Nafkah

Iddah

Nafkah

iddah

adalah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada isteri

yang telah diceraikannya untuk memenuhi kebutuhan baik berupa pakaian,

makanan maupun tempat tinggal. Bahwa nafkah tersebut diberikan selama

isteri menjalani

iddah

dan isteri belum boleh melangsungkan pernikahan

kepada orang lain selama masa

iddah

belum habis.

2.

Mut’ah

Mut’ah

adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak

(19)

7

3.

Cerai Talak

Cerai talak yaitu cerai khusus bagi yang beragama Islam, di mana suami

(pemohon) mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama untuk

memperoleh izin menjatuhkan talak kepada isteri (Bahari, 2012 :17).

Penjelasan menganai tata cara talak terdapat dalam KHI Pasal 117, yaitu

“Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang

menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana

dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131”.

4.

Hakim Pengadilan Agama

Pengertian Hakim menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

orang yang mengadili perkara (dalam pengadilan atau mahkamah). Hakim

merupakan pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Hakim

Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua

Mahkamah Agung (Musthofa, 2005: 22).

Kemudian pengertian pengadilan dalam istilah Inggris disebut

court

,

sedangkan dalam istilah bahasa Belanda disebut

rechtbank

. Keduanya

memiliki maksud sebagai ‘badan yang melakukan peradilan berupa

memeriksa,

mengadili, dan memutus perkara’

(Mujahidin, 2014: 2).

(20)

8

sebagai pengadilan tingkat pertama adalah pengadilan yang menerima,

memeriksa, dan memutus, setiap perkara yang diajukan pencari keadilan

(

yustisiabel

) pada tahap awal (Musthofa, 2005: 21).

Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, pengertian

Peradilan Agama disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa Peradilan

Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.

Jadi Pengertian Hakim Pengadilan Agama adalah orang yang mengadili

perkara di pengadilan tingkat pertama bagi orang-orang yang beragama

Islam.

F.

Kajian Pustaka

Berikut adalah beberapa penelitian yang berkaitan dengan pemberian

nafkah

iddah

dan

mut’ah

, diantaranya adalah:

Pertama, skripsi yang disusun oleh Khurul Aini dengan judul

“Kewajiban

Nafkah

Iddah

Suami Kepada Isteri yang Telah Dicerai” (Studi Terhadap

Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 394/Pdt.G/2005/PA.SAL). Karya

ilmiyah ini merupakan skripsi dari jurusan Syariah, program studi Al-Ahwal

Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga tahun 2007. Rumusan masalah yang diangkat

dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: bagaimana konsep nafkah

iddah

menurut hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia, bagaimana cara

penyelesaian nafkah

iddah

dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama

Salatiga dalam mengabulkan permohonan nafkah

iddah

dan bagaimana

kesesuaian putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga tentang nafkah

iddah

(21)

9

penelitiannya adalah sebagai berikut: pertama, konsep

iddah

menurut hukum

Islam berdasarkan Al-Quran surat At Thalaq ayat 7, dan menurut hukum

perundang-undangan berdasarkan pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974

tentang hak kewajiban suami istri pasal 34. Kedua, hakim Pengadilan Agama

dalam mengambil keputusan-keputusan atau penetapan nafkah

iddah

mempunyai kekuatan hukum tetap apabila diucapkan pada sidang terbuka untuk

umum. Akan tetapi dalam pengambilan putusan atau ketetapan Pengadilan

Agama dalam penyelesaian nafkah iddah melalui sebuah

pertimbangan-pertimbangan yang menyangkut kesepakatan antara suami istri yang

mengajukan gugatan perceraian. Ketiga, dalam pengambilan putusan, seorang

hakim Pengadilan Agama Kota Salatiga pada tahun 2005 dalam penyelesaian

nafkah

iddah

sudah ada kesesuaian dengan hukum Islam. Akan tetapi ada

beberapa kasus yang diputuskan tidak sesuai dengan hukum Islam hal ini

dikarenakan berbagai pertimbangan-pertimbangan sehingga tidak merujuk

kembali dengan hukum Islam bahwa nafkah

iddah

dalam Islam itu wajib

dilaksanakan bagi suami yang bercerai dengan istrinya.

Kedua, skripsi yang disusun oleh Risae Muhammad dengan judul

“Peniadaan Nafkah Iddah dalam Perkara Cerai Gugat”

(Studi Komparasi

(22)

10

Indonesia, apa dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam memutuskan

masalah nafkah

iddah

dalam putusan gugat cerai No 286/Pdt.G/1998/PA.SAL

dan No. 241 K/AG/2000 Dan mengapa ada perbedaan putusan PA dan MA

dalam hal pemberian nafkah

iddah

dalam perkara gugat cerai. Setelah

mengatahui rumusan masalah di atas maka hasil penelitiannya adalah sebagai

berikut: pertama, menurut fiqh dan perundang-undangan dijelaskan bahwa

isteri yang telah dicerai berhak mendapatkan nafkah

iddah

, selama isteri

tersebut tidak

nusyuz

. Namun dalam perkara talak

ba’in

para ulama’ berbeda

pendapat.

Imam Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa t

idak

mempunyai hak atas nafkah

iddah

. Sedangkan Imam Hanafi berpendapat

bahwa isteri yang telah dicerai

ba’in

tetap berhak nafkah

iddah

. Kedua, bahwa

dalam memutusakan masalah nafkah

iddah

, hakim mengacu pada dalil-dalil

fiqh dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan menganalisa

konteks suatu perkara dan mempertimbangkan sisi humanisme. Ketiga, Dalam

perkara perceraian ini meskipun hukum perundang-undangan yang digunakan

hakim PA dan MA relatif sama, namun yang membuat produk hukum jadi

berbeda adalah metode pendekatan dan penafsiran dalam memeriksa perkara

tersebut. Putusan hakim PA untuk tidak memberikan nafkah

iddah

kepada isteri

yang telah dicerai sejalan dengan pendapat madzhab Maliki, Syafi’i dan

(23)

11

perempuan, dengan tujuan agar putusan tersebut lebih sesuai dan lebih

mendekati nilai keadilan.

Ketiga, skripsi yang disusun oleh Faris Jundhi dengan judul

“Pemberian

Nafkah

Iddah

pada Cerai Gugat” (Studi Putusan Pengadilan Agama Pati

No.1925/Pdt.G/2010/PA.Pt). Karya ilmiyah ini merupakan skripsi dari jurusan

Syariah, program studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga tahun

2013. Rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

bagaimana hak nafkah

iddah

setelah mengajukan cerai gugat kepada suaminya

menurut fiqh, bagaimana hak nafkah

iddah

setelah mengajukan cerai gugat

kepada suaminya menurut hukum yang berlaku di Indonesia, dan apakah

pertimbangan hakim memperbolehkan istri sebagai penggugat mendapatkan

hak nafkah

iddah

dari suami setelah cerai gugat. Setelah mengatahui rumusan

masalah diatas maka hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: pertama, bahwa

hakim mempertimbangkan permberian nafkah

iddah

dan

mut’ah

pada talak

bai’in

didasarkan pada pendapat Imam Hanafi. Ulama Hanafiyah berpendapat

(24)

12

putusan Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September

2007. Pemberian nafkah iddah tersebut didasarkan pada pasal 41 huruf (c) UU

No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI. Ketiga, terdapat 5 (lima) dasar

pertimbangan hakim dalam pemberikan nafkah

iddah

kepada istri yang

mengajukan gugatan cerai, yaitu: adanya rasa keadilan bagi kedua belah pihak,

adanya ketertiban hukum, menempatkan harkat perempuan pada proporsinya,

adanya kemampuan bekas suami untuk memberikan nafkah

iddah

dan

mut’ah

kepada bekas istri, dan adanya kelayakan bekas istri untuk menerima nafkah

iddah

dan

mut’ah

dari bekas suami.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, yang membedakan antara

penelitian sebelum-sebelumnya adalah penentuan kadar nafkah

iddah

dan

mut’ah

. Yakni belum ada penelitian yang meneliti tentang bagaimana

penentuan kadar nafkah

iddah

dan

mut’ah

oleh hakim Pengadilan Agama

Salatiga pada perkara cerai talak tahun 2017. Oleh karenanya penulis

menyimpulkan bahwa penelitian yang diteliti bukan merupakan duplikasi

ataupun pengulangan dari penelitian-penelitian yang ada.

G.

Metode Penelitian

1.

Pendekatan dan Jenis Penelitian

(25)

13

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan metode yuridis normatif.

Metode tersebut akan menjelaskan bagaimana hukum yang berlaku

diterapkan oleh hakim Pengadilan Agama Salatiga.

2.

Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan merupakan hasil dari observasi langsung di

Pengadilan Agama Salatiga yang berkaitan dengan permasalahan tersebut.

Data yang dikumpulkan meliputi:

a.

Data yang berkaitan dengan putusan Pengadilan Agama Salatiga tentang

nafkah

iddah

dan

mut’ah

dalam perkara cerai talak.

b.

Data tentang dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Salatiga

pada perkara tersebut baik segi hukum positif maupun hukum Islam.

3.

Sumber Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan

sekunder, penjelasannya sebagai berikut:

a.

Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan dari

sumber utama yang berada di lapangan penelitian, yaitu hasil

wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Salatiga dan

putusan-putusan cerai talak mengenai penetapan nafkah

iddah

dan

mut’ah

di

Pengadilan Agama Salatiga.

(26)

14

4.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan Data adalah berbagai cara yang digunakan untuk

mengumpulkan data, menghimpun, atau menjaring data penelitian.

1.

Observasi

Observasi atau pengamatan dapat didefinisikan sabagai “perhatian

yang terfokus terhadap kejadian, gejala, atau sesuatu”

. Adapun

observasi ilmiah adalah perhatian terfokus terhadap gejala, kejadian,

atau sesuatu dengan maksud menafsirkannya, mengungkapkan

faktor-faktor penyebabnya, dan menemukan kaidah-kaidah yang mengaturnya

(Emzir, 2011: 38). Dimana observasi dilakukan di Pengadilan Agama

Salatiga.

2.

Wawancara

Wawancara dapat didefinisikan sebagai interaksi bahasa yang

berlangsung antara dua orang dalam situasi saling berhadapan salah

seorang, yaitu yang melakukan wawancara meminta informasi atau

ungkapan kepada orang yang diteliti yang berputar di sekitar pendapat

dan keyakinannya (Emzir, 2011: 50). Adapun wawancara yang

dilakukan ditujukan kepada Hakim di Pengadilan Agama Salatiga dan

pihak-pihak terkait.

3.

Dokumentasi

(27)

15

sumber informasi. Dokumentasi dapat diperoleh dari beberapa putusan

yang menyangkut penetapan kadar nafkah

iddah

dan

mut’ah

dalam

perkara cerai talak.

5.

Teknik Analisa Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data penelitian ini adalah

deskriptif analitis dengan pola deduktif. Dimana akan digambarkan terlebih

dahulu mengenai data-data yang berkaitan dengan perkara tersebut secara

umum dan pertimbangan hukum para hakim dalam menetapkan kadar

nafkah

iddah

dan

mut’ah

serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi

kadarnya dalam perkara carai talak di Pengadilan Agama Salatiga.

Kemudian diakhiri dengan kesimpulan yang bersifat khusus terhadap

perkara putusan cerai talak di Pengadilan Agama Salatiga tentang penetapan

kadar nafkah

iddah

dan

mut’ah

tersebut. Apakah penetapan kadar tersebut

sudah sesuai dengan UU Perkawinan dan hukum Islam yang ada. Sehingga

mendapat gambaran yang jelas menganai masalah yang diteliti dalam

penelitian ini.

H.

Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan skripsi ini, penulis memuat pembahasan

penelitian dalam beberapa bab, yaitu sebagai berikut:

(28)

16

Bab kedua berisikan tentang landasan teori tentang cerai talak dan akibat

hukumnya, teori mengenai nafkah

iddah

dan

mut’ah

,

serta dasar hukum nafkah

iddah

dan

mut’ah

. Yang nantinya akan dijadikan sebagai alat analisis dalam

menjelaskan dan mendeskripsikan obyek penelitian.

Bab ketiga berisikan hasil penelitian di Pengadilan Agama Salatiga,

mengenai gambaran perkara dan hasil wawancara hakim mengenai alasan yang

mempengaruhi pengambilan keputusan dalam penetapan kadar nafkah

iddah

dan

mut’ah

pada cerai talak.

Bab keempat berisikan pembahasan, dimana akan dijelaskan oleh penulis

alasan yang menjadi pertimbangan pengambilan putusan dan tinjauan UU

Perkawinan dan Hukum Islam oleh hakim Pengadilan Agama Salatiga terhadap

penetapan kadar nafkah

iddah

dan

mut’ah

dalam perkara cerai talak tersebut.

(29)

17

BAB II

KAJIAN TEORI

NAFKAH IDDAH, MUTAH DAN CERAI TALAK

A.

KONSEP NAFKAH IDDAH

1.

Pengertian Nafkah

Nafkah secara etimologi berarti sesuatu yang bersirkulasi karena dibagi

atau diberikan orang dan membuat kehidupan orang yang mendapatkannya

tersebut berjalan lancar karena dibagi atau diberikan, maka nafkah tersebut

secara fisik habis atau hilang dari pemiliknya. Secara tertimologi, nafkah itu

adalah sesuatu yang wajib diberikan berupa harta untuk mematuhi agar

dapat bertahan hidup (Mardani, 2011: 75). Disebutkan juga bahwa nafkah

berarti "belanja". Maksudnya ialah sesuatu yang diberikan oleh seseorang

kepada isteri, kerabat, dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka.

Keperluan pokok, seperti makanan pakaian dan tempat tinggal (Departeman

Agama RI, 1985: 184). Dan disebutkann pula oleh (Sabiq, 1981: 77) dalam

kitab Fikih Sunnah Jilid 7, bahwa yang dimaksud dengan belanja (nafkah)

di sini yaitu memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah

tangga, pengobatan isteri, jika ia seorang kaya. Memberi belanja hukumnya

wajib menurut Al-Quran,

Sunnah

dan

Ijma’

.

2.

Dasar Hukum Nafkah

(30)

18

،َةَعاَض َّرلا َّمِتُّي ْنَأ َداَرَأ ْنَمِل ِنْيَلِماَك ِنْيَل ْوَح َّنُهَدَلا ْوَأ َنْع ِض ْرُي ُتاَدِلا َوْلا َو

َّنُهُت َوْسِكَو َّنُهُق ْز ِر ُهَلِد ْوُل ْوَمْلا ىَلَع َو

اَهَعْسُو َّلاِإ ٌسْفَن ُفَّلَكُتَلا ،ِف ْوُرْعَمْلاِب

...َكِلَذ ُلْثِم ِث ِرا َوْلا ىَلَع َو ِهِدَلَوِب ُهَل ٌد ْوُل ْوَمَلا َو اَهِدَلَوِب ُةَدِلا َو َّراَضُتَلا

“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh,

yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban

memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang patut.

Tidak diberati seorang diri, kecuali menurut usahanya. Janganlah seorang

ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena

anaknya

dan warispun berkewajiban demikian...”

(Q.S Al-Baqarah: 233).

“Rizki”

yang dimaksud dalam ayat ini ialah makanan secukupnya.

“Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal

menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk

menyempitkan

hati mereka...”

(Al-Thalaaq : 6).

ْقِفْنُيِل

،ُهَّللا ُهَتَا اَّمِم ْقِفْنُيْلَف ُهُق ْز ِر ِهْيَلَع َرِدُق ْنِم َو ،ِهِتـَعَس ْنِ م ٍةَعَس ْوُذ

.ا ًرْسُّي ٍرْسُع َدْعَب ُهَّللا ُلَعْجَيَس ،اَهَتَا اَم َّلاِا اًسْفَن ُهَّللا ُفِ لَكُيَلا

“Orang yang mampu hend

aklah memberi nafkah menurut

(31)

19

ْمُكْيَلَع َّنُهَل َو ِعاَدَوْلا ِةَّجُح ىِف َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهَّللا ىَّلَص ِهَّللا ُل ْوُسَر َلَق

)ملسم هاور(. ِفوُرْعَمْلاِب َّنُهُت َوْسِكَو َّنُهُق ْز ِر

“Berkata Rasulullah saw pada

(waktu beliau menunaikan ibadah) haji

yang penghabisan: “... kewajiban suami ialah memberi makan dan pakaian

isterinya menurut yang patut”

(HR. Muslim).

Adapun menurut Ijma’ sebagai berikut:

Ibnu Qudamah berkata: Para ahli ilmu sepakat tentang kewajiban suami

membelanjai isteri-isterinya, bila sudah

baligh

, kecuali kalau isteri itu

berbuat durhaka. Ibnu Mundzir dan lain-lainnya berkata: Isteri yang

durhaka boleh dipukul sebagai pelajaran. Perempuan adalah orang yang

tertahan di tangan suaminya. Ia telah menahannya untuk bepergian dan

bekerja. Karena itu ia berkewajiban untuk memberikan belanja kepadanya

(Sabiq, 1981: 80).

Dasar hukum kewajiban suami terhadap istrinya memberikan nafkah

menurut KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdapat dalam

pasal-pasal berikut:

a.

Kompilasi Hukum Islam

Pasal 80

1)

Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya,

akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang

penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama.

2)

Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya

3)

Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan

memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan

bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

(32)

20

a)

nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;

b)

biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan

bagi isteri dan anak;

c)

biaya pendididkan bagi anak.

5)

Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4)

huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna

dari isterinya.

6)

Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap

dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

7)

Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila

isteri nusyuz.

b.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974

Pasal 33

Suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34

1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.

3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

3.

Syarat-syarat Isteri Menerima Nafkah

(33)

21

umum:

“setiap orang yang menahan hak orang lain atau kemanfaatannya,

maka

ia bertanggung jawab membelanjainya.”

(Sabiq, 1981: 80).

Berikut ini adalah syarat-syarat isteri berhak menerima nafkah, yakni:

a.

Telah terjadi akad yang syah antara suami dan isteri.

b.

Isteri telah sanggup melakukan hubungan sebagai suami-isteri dengan

suaminya.

c.

Isteri telah terikat atau telah bersedia melaksanakan semua hak-hak

suami (Departeman Agama RI, 1985: 187).

Hak isteri menerima nafkah menjadi gugur apabila:

a.

Bila ternyata akad nikah mereka batal atau

fasid

(rusak)

b.

Isteri masih belum

baligh

dan ia masih tetap di rumah orang tuanya.

Menurut Abu Yusuf isteri berhak menerima nafkah dari suaminya jika

isteri telah serumah dengan suaminya, karena dengan serumah itu

berarti telah terikat di rumah suaminya.

c.

Isteri dalam keadaan sakit karena itu ia tidak bersedia serumah dengan

suaminya. Tetapi jika ia bersedia serumah dengan suaminya is tetap

berhak mendapatkan nafkah.

d.

Bila isteri melanggar larangan Allah yang berhubungan dengan

kehidupan suami isteri, seperti meninggalkan tempat kediaman bersama

tanpa seizin suami, berpergian tanpa izin suami dan tanpa disertai/

mahram

, dan sebagainya.

(34)

22

4.

Kadar Nafkah

Al Qur'an dan hadits tidak ada yang menyebutkan dengan tegas kadar

atau jumlah nafkah baik minimal atau maximal yang wajib diberikan suami

kepada isterinya. Hanya dalam ayat 6 dan ayat 7 Surat At-talaq diberikan

gambaran umum, yaitu nafkah itu diberikan kepada isteri menurut yang

patut dengan arti cukup untuk keperluan isteri dan sesuai pula dengan

penghasilan suami. Bahkan ada yang berpendapat bahwa jumlah nafkah itu

harus pula disesuaikan dengan kedudukan isteri. Dalam pada itu

diterangkan bahwa jumlah nafkah yang diberikan itu hendaklah sedemikian

rupa sehingga tidak memberatkan suami, apalagi menimbulkan

mudarat

baginya (Departeman Agama RI, 1985: 189).

Dalam sebuah riwayat hadits dijelaskan bahwa:

َناَيْفُس اَبَا َّنا ،ِهَّللا َل ْوُس َراَي : ْتَلاَق َةَبتُع َتْنِب اًدْنِه َّنَا .ع.ر َةَشِئاَع ْنَع

:َلاَق مَلْعَي َلا َوُه َو ُهْنِم ُتْذَخَا اَم َّلاِا يِدَل َو َو ىِنْيِطْعُي َسيَل َو ٌحْي ِحَش ٌلُج َر

ىِذُح

.ِف ْوُرْعَمْلاِب ِكَدَل َو َو ِكْيِفْكَي اَم

“Dari Aisyah r.a. sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah pernah bertanya

“Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir.

Is tidak mau memberi nafkah kepadaku sehingga aku harus mengambil

darinya tan

pa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah Saw. bersabda,

“Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang

baik.”

(HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i)

.

(35)

23

Adapun Imam Syafi'i mengqiaskan jumlah nafkah kepada

''kaffarat"

.

Kaffarat

yang terbanyak ialah dua

mud

(-+ 2 x 2,5 kilogram beras) sehari,

yaitu

kaffarat

karena merusak atau menyakiti di waktu mengerjakan ibadah

haji. Sedang

kaffarat

yang terendah ialah satu

mud

sehari, yaitu

kaffarat

zhihar

. Karena itu beliau menetapkan bahwa kadar nafkah maximal ialah

dua

mud

sehari sedang kadar nafkah minimal ialah satu

mud

sehari

(Departeman Agama RI, 1985: 190).

5.

Nafkah Suami atas Istri yang Beriddah

a.

Pengertian

Iddah

Menurut bahasa Arab, kata

“iddah”

adalah

mashdar

dari kata kerja

‘adda –

ya’uddu

yang artinya “menghitung”, jadi kata

“iddah”

artinya

(36)

24

suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan

(Nuruddin, 2006: 240).

Menurut Ashshon’ani

definisi

‘iddah

adalah sebagai berikut:

َّدُمِل ٌمْسِإ

اَهَل ِهِقا َرِفَو اَه ِج ْوَز ِةاَف َو َدْعَب ِجْيِو ْزَّتلا ِنَع ُةَأ ْرَمْلا اَهِب ُصَّبَرَتَت ِة

. ِرُهْشَ ْلَاِوَأ ِءاَرْقَ ْلَاِوَأ ِةَدَلاِوْلاِباَّمِإ

‘Iddah ialah suatu nama bagi suatu masa tunggu yang wajib

dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah

kematian suaminya atau perceraian dengan suami itu, baik dengan

melahirkan anaknya, atau beberapa kali suci/haidh, atau bebrapa

bulan tertentu

(Departeman Agama RI, 1985: 274).

Prof. Abu Zahrah memberi definisi

‘iddah

sebagai berikut

َأ

ِحاَكِ نلا ِراَثَأ ْنِم َىِقَباَم ِءاَضِقْنِلا َب ِرُض ٌلَج

‘Iddah ialah suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri

pengaruh-pengaruh perkawinan

(Departeman Agama RI, 1985: 274).

Lebih lanjut prof.Abu Zahrah menyatakan:

َنْيَب ُةَق ْرُفْلا ِتَلَصَحَاَذِءاَف

ْنِم ِةَّي ِج ْوَّزلااَرُع ُم ِصَفْنَتَلا ِهِلْهَأ َو ِلُجَّرلا

ُه َرْيَغ ُج َّو َزَتَتَلا َو ُةَأ ْرَمْلا ُصَّبَرَتَت ْلَب ِةَق ْرُفْلا ِع ْوُقُو ِدَّرَجُمِب ِه ْوُجُوْلا ِ لُك

.ُع ِراَّشلا اَهَرَّدَق ىِتَّلا ُةَّدُمْلا َكْلِت َىِهَتْنَت ىَّتَح

Jika terjadi perceraian antara seorang lelaki dengan isterinya,

tidaklah terputus secara tuntas ikatan suami isteri itu dari segala

seginya dengan semata-mata terjadi perceraian, melainkan isteri wajib

menunggu, tidak boleh kawin dengan laki-laki lain, sampai habisnya

masa tertentu yang telah ditentukan oleh Syara’

(Departeman Agama

RI, 1985: 275).

b.

Dasar Hukum Iddah

(37)

25

َّنِهِسُفْنَأِب َنْصَّبَرَتَي ُتَقَّلَطُمْلا َو

.ٍءوُرُق َةَثَلَث

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)

tiga kali quru’

(Q.S. Al-Baqarah: 228).

Dalam

Sunnah/ Hadits

, sebagaimana dalam Shahih Muslim dari

Fatimah binti Qais bahwa Rasulullah SAW. bersabda kepadanya:

يِف ْىِ دَتْعِا

.ٍمُتْكَم ِ مُا ِنْبا ِكِ مَع ِنْبا ِتْيَب

Hendaklah engkau beriddah dirumah putra pamanmu Ibnu Ummi

Maktum.

Dan secara

Ijma’

, umat Islam sepakat wajibnya

iddah

sejak masa

Rasulullah SAW. sampai sekarang

(Azzam, 2009: 319-320).

Hukum Islam mewajibkan ber

’iddah

terhadap wanita setelah

perkawinan putus, baik sebab meninggalnya suami, bercerai dengan

suaminya, maupun sebab keputusan Pengadilan (Departeman Agama

RI, 1985: 275).

Dasar hukum

iddah

menurut KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan terdapat dalam pasal-pasal berikut:

1)

Kompilasi Hukum Islam

Pasal 153

(1)

Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu

tunggu atau iddah, kecuali qobla al-dukhul dan perkawinannya

putus bukan karena kematian suami.

(2)

Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :

a)

Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun

qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga

puluh) hari:

b)

Apabila

perkawinan

putus

karena

(38)

26

c)

Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda

tersebut dalam keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan

sampai melahirkan;

d)

Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda

tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan

sampai melahirkan.

(3)

Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena

perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas

suaminya qobla al dukhul.

(4)

Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang

waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan

Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan

bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu

tunggu dihitungsejak kematian suami.

(5)

Waktu tunggu bagi isteri yang oernah haid sedang pada waktu

menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya

tiga kali waktu haid.

(6)

Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka

iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu

tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali

waktu suci.

Pasal 154

Apabila isteri bertalak raj`i kemudian dalam waktu iddah

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan

ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya

berubah menjadi empat bulansepuluh hari terhitung saat matinya

bekas suaminya.

Pasal 155

Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk,

fasakh dan li`an berlaku iddah talak.

2)

Undang-undang No. 1 Tahun 1974

(39)

27

Perkawinan, disebutkan dan dijelaskan dalam pasal 39, sebagai

berikut:

Pasal 39

(1)

Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam

Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut :

a)

Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu

ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari

b)

Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu

bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali

suci dengan sekurangkurangnya 90 (sembilan puluh) hari

dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90

(sembilan puluh) hari ;

c)

Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam

keadaan

hamil,

waktu

tunggu

ditetapkan

sampai

melahirkan.

(2)

Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan

karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas

suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.

(3)

Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang

waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang

mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi

perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu

tunggu dihitung sejak kematian suami.

c.

Macam-macam

Iddah

Iddah

dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu

iddah

cerai hidup

dan cerai mati. Penjelasannya sebagai berikut:

1)

Iddah

cerai hidup

Dalam

iddah

cerai hidup terdapat empat kemungkinan yaitu

(40)

28

diceraikan suaminya (ditalaknya) hendaklah menantikan

dengan sendirinya tiga kali suci/haid

h...”.

b)

Bagi perempuan yang belum atau tidak

haidh

, iddahnya tiga

bulan.

c)

Apabila perempuan tersebut dalam keadaan hamil, maka

iddahnya sampai melahirkan. Ini sesuai dengan surat at-Talaq

ayat 4 yang artinya sebagai berikut

“Perempuan

-perempuan

yang telah putus asa daripada haidh (darah bulanan), jika kamu

ragu-

ragu (tentang ‘iddahnya), maka iddah tiga bulam, dan

(begitu pula iddah) perempuan yang belum haidh.

Perempuan-perempuan yang hamil (mengandung anak) iddahnya ialah

sampai mereka melahirkan kandunganny

a...”

d)

Apabila perempuan tersebut belum digauli sama sekali oleh

suaminya, maka hal ini tidak ada iddahnya. Ketentuan ini sesuai

dengan surat al-Ahzab ayat 49, yang artinya sebagai berikut:

“Hai orang

-orang yang beriman, apabila kamu mengawini

perempuan-perempuan mukmin kemudian kamu thalaq

(ceraikan) mereka, sebelum menyentuhnya (bersetubuh dengan

dia), maka tidak ada bagi mereka iddah, yang kamu

perhitungkan. Maka kamu berilah mereka kesukaan (pemberian

sekedarnya), dan ceraikanlah mereka dengan perceraian yang

(41)

29

2)

Iddah cerai

mati

Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, maka iddahnya

adalah 4 bulan 10 hari. Ketentuan ini sesuai dengan surat

Al-Baqarah ayat 234, yang berarti sebagai berikut:

“Orang

-orang yang

mati di antara kamu, sedang mereka meninggalkan janda hendaklah

janda mereka menantikan dengan sendirinya (ber’iddah) empat

bulan sepuluh hari. Apabila sampai ‘iddahnya itu, maka tiada

berdosa kamu, tentang apa-apa yang diperbuat perempuan itu

terhadap dirinya

secara ma’ruf. Allah Maha mengetahui apa

-apa

yang kamu kerjakan.”

(Sudarsono, 1991: 104).

Kendatipun masa

‘iddah

ini dikenakan kepada wanita, tidak

berarti suami yang ditinggal mati istrinya, bebas melakukan

pernikahan setelah itu. Hukum memang tidak menetapkan berapa

lama, suami tersebut harus menjalani masa

‘iddah

nya, tetapi paling

tidak dengan berpijak pada asas kepatutan, seorang suami juga

mestinya dapat menahan diri untuk tidak langsung menikah, ketika

istrinya baru saja meninggal. Hikmahnya tentu saja untuk

menunjukkan rasa berkabung sekaligus menjaga timbulnya fitnah

(Nuruddin, 2006: 251).

d.

Hukum Mengenai Nafkah Suami atas Istri yang Ber

iddah

(42)

30

dalam masa

'iddah

tetap dipandang sebagai isteri dari suaminya yang

memiliki hak dan kewajiban kendatipun tidak penuh lagi (Nuruddin,

2006: 245).

Para

fuqaha’

sepakat bahwa perempuan yang sedang dalam iddah

talak

raj’i

berhak atas nafkah dari bekas suami. Nafkah yang dimaksud

di sini adalah nafkah seperti yang diberikan sebelum terjadi perceraian

(Basyir,1996: 89).

Allah Swt. berfirman dalam surat At-Talaq ayat 6 sebagai berikut:

ْمُتْنَكَس ُثْيَح ْنِم َّنُه ْوُنِكْسَا

ْمُكِدْج ُّو ْنِ م

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu betempat tinggal

menurut kemampuanmu

(QS Al-Talaq(65) : 6).

َّنُهَلْمَح َنْعَضَي ىَّتَح َّنِهْيَلَع ا ْوُقِفْنَاَف ٍلْمَح ِتَلاوُا َّنُك ْنِا َو

Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil,

maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin

(QS Al-Talaq (65): 6).

Dua ayat tersebut menunjukkan bahwa perempuan hamil berhak

mendapatkan nafkah, baik dalam keadaan

iddah talak raj’i

atau

ba’in

,

atau juga dalam

iddah

kematian. Adapun dalam

talak ba’in

, para ahli

fikih berbeda pendapat tentang hak nafkahnya. Jika dalam keadaan tidak

hamil, maka ada tiga pendapat: Pendapat pertama, ia berhak

mendapatkan rumah, tetapi tidak berhak mendapatkan nafkah. Ini

pendapat Imam Malik dan Syafi’i. Mereka be

r

hujjah

dengan Firman

Allah Swt (Tihami, 2009: 173-174).

(43)

31

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu betempat tinggal

menurut kemampuanmu

(QS Al-Talaq(65) : 6).

Dan berdasarkan hadis dari Fatimah binti Qays untuk menjalankan

iddahnya di rumah Ummu Maktum dan tidak memberikan dirinya

nafkah (Mardani, 2011: 76).

Pendapat kedua dikemukakan oleh Umar bin Khathab, Umar bin

Abdul Azis dan golongan Hanafi, mereka mengatakan bahwa istri

berhak mendapatkan nafkah dan rumah. Mereka juga mengambil dalil

pada firman Allah Swt. Surat Al-Talaq: 6 sepeti di atas. Ayat tersebut

menunjukkan wajibnya memberikan tempat tinggal. Jika memberikan

tempat tinggal itu hukumnya wajib, maka dengan sendirinya juga wajib

memberikan nafkah seperti makanan, pakaian, dan lainnya (Tihami,

2009: 174). Dan juga berdalil kepada hadis Nabi yang berbunyi, dari

Fathimah binti Qays, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

bagi wanita

yang dithalaq tiga memiliki hak nafkah dan tempat tinggal selama ia

dalam iddah

(H.R. Al Darimi dan Abu Daud) (Mardani, 2011: 76).

Pendapat ketiga, istri tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat

tinggal. Ini dikemukakan oleh Ahmad, Abu Dawud, Abu Saur, dan

Ishaq. Dalam sebuah riwayat dari Ali, Ibnu Abbas, Al-

Hasan, ‘Atha’,

Sya’bi Abu Abi Laila, dan Syi’ah Imamiyah, mereka mengemukakan

alasan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Fatimiah

binti Qais, ia berkata,

“Suamiku telah menceraikan aku tiga kali pada

masa Rasulullah Saw... ia tidak menberikan nafkah kepadaku atau

(44)

32

SAW. bersabda

,

tempat tinggal dan nafkah hanyalah berhak bagi

perempuan yang suaminya ada hak rujuk.”

(Tihami, 2009: 175).

Rasulullah Saw. bersabda.

.ًةَلِماَح ىِن ْوكَت ْنَا َّلاِا ِكَلَةَقَفَنَلا .م.ص ِهَّللا ُل ْوُسَر اَهَل َلاَق ُهَّنَا

“Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda kepada Fatimah, “Tidak

ada nafkah bagimu kecuali kalau kamu hamil.”

(HR Ahmad, Muslim,

Abu Dawud, dan Nasa’i

).

Wanita hamil yang sedang dalam masa

iddah

, telah sepakat ulama,

bahwa nafkahnya wajib ditanggung oleh suami. Namun terjadi

perbedaan pandapat. Menurut mazhab Maliki, bahwa suami wajib

membayarkan nafkah, sekiranya janin dalam kandungan itu adalah

anaknya sendiri. Suami tidak dibebani nafkah sekiranya janin itu

diyakininya bukan anaknya. Dan menurut mazhab

Hanafi, Syafi’i dan

Hambali, berpendapat bahwa nafkah wajib diberikan disebabkan

kehamilan itu sebagai berikut: nafkah itu diberikan karena kehamilan itu

sendiri. Jadi, bila janinnya gugur, maka nafkah tidak wajib lagi. Sebab

yang kedua adalah nafkah itu wajib diberikan karena wanita hamil. Jadi

tidak dipersoalkan apakah janin itu selamat lahir atau gugur (Hasan,

2006: 223).

(45)

33

kewajiban antara suami-istri. Dengan mengacu kepada Q.S An-

Nisa’

ayat 34, ulama menetapkan bahwa ketaatan istri adalah wajib dan

merupakan hak suami. Karena kalau ketaatan istri tidak menjadi hak

suami maka kepemimpinan suami yang diisyaratkan dalam ayat ini

tidak akan terlaksana. Hak suami atas ketaatan istrinya ini lebih tegas

lagi diterangkan dalam ayat yang memberikan wewenang kapada suami

untuk menghukum istrinya dalam rangka memperbaiki kelakuan istri

untuk taat kepada suaminya. Di pihak lain ulama menetapkan bahwa

nafkah adalah hak istri dan kewajiban suami. Jadi meninggalkan

kewajiban (taat) oleh istri kepada suami disimpulkan mengakibatkan

gugurnya hak nafkah istri dari suaminya.

Walaupun para ulama sepakat bahwa nusyuz menghilangkan hak

nafkah istri, tetapi mereka berbeda pendapat tentang batasan perilaku

nusyuz (tidak taat) yang menyebabkan hilangnya hak nafkah tersebut.

Perbedaan ini timbul atas dasar perbedaan pandangan tentang aspek

perkawinan yang menimbulkan kewajiban nafkah.

(46)

34

nafkah. Pendapat ini berbeda dari pendapat mazhab lainnya. Karenanya

menurut Hanafi, Imamiyah, dan satu golongan dari Hanabilah bahwa

istri yang sakit, mandul, dan mengalami kelainan pada alat seksualnya

hak nafkahnya tidak gugur, sedangkan menurut Maliki gugur.

Mazhab selain Hanafi berpendapat sama bahwa walaupun istri tidak

keluar rumah tetapi dia tidak memberikan kemungkinan suami untuk

menggaulinya dan berkhalwat dengannya tanpa adanya alasan yang

logis serta dibenarkan oleh

syara’

maka istri tersebut dipandang nusyuz

dan tidak berhak atas nafkah.

Ulama Syafi’iyah bahkan lebih mengkhususkan bahwa walaupun

istri masih bersedia digauli dan berkhalwat dengan suami, kalau dia

tidak menawarkan dirinya seraya mengatakan dengan tegas,

“aku

menyerahkan diriku padamu”

, istri tersebut belum cukup patuh. Namun

(47)

35

Hambali kepergian seorang istri untuk menunaikan ibadah haji wajib,

walaupun tanpa izin suami tidak menyebabkan nusyuz dan

menggugurkan hak nafkahnya (Mardani, 2011: 77-78).

Adapun menurut hukum yang berlaku di Indonesia, hak nafkah bagi

wanita ber

iddah

tertuang di dalam peraturan sebagai berikut:

1)

Kompilasi Hukum Islam

Pasal 149

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a)

memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik

berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al

dukhul;

b)

memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama

dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau

nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;

c)

melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh

apabila qobla al dukhul;

d)

memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum

mencapai umur 21 tahun

Pasal 152

Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya

kecuali ia nusyuz.

2)

UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a.

Baik ibuatau bapak tetap berkewajiban memelihara dan

mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan

anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan

anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.

Referensi

Dokumen terkait

Nilai DS tertinggi yaitu 0,0929 yang dapat diperoleh dengan perlakuan penggunaan konsentrasi substrat sebesar 40 %; penggunaan asam suksinat 5 % serta penggunaan metode

Dalam kajian ini, tumpuan diberikan kepada hubungan kesebaban jangka pendek dalam sistem yang terdiri daripada lima pemboleh ubah, iaitu indeks komposit Bursa Malaysia, harga emas,

Prasarana yang belum memenuhi standar Perpustakaan SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta adalah ruang perpustakaan, karena ukuran standar ruang perpustakaan yang ditentukan dengan

Kemudian pada birama 43 hingga bagian akhir komposisi dimainkan oleh combo band secara lengkap, yaitu; paduan suara dan solo vokal pria yang menggambarkan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hambatan tersebut antara lain adalah: (a) lemahnya koordinasi antarunit pelaksana praktik mengajar yang berdampak pada rendahnya kinerja

Burchardt (1986) menambahkan bahwa kadar alkalin fosfatase pada perlakuan teknik tandur tulang bentuk blok autograft non- dekortikasi sesudah operasi bisa terlihat

(b) jika terjadi kesalahan hasil pengalian antara volume dengan harga satuan pekerjaan maka dilakukan pembetulan, dengan ketentuan volume pekerjaan sesuai dengan

Mengenal konsep penjumlahan dan perkalian dalam peluang Membedakan “kejadian saling lepas” dan ‘kejadian saling bebas” Menghitung peluang bersyarat dan menggunakan