i
PENETAPAN KADAR NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH
OLEH HAKIM PADA CERAI TALAK DI
PENGADILAN AGAMA SALATIGA
(Studi Putusan Cerai Talak Tahun 2017)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Muhlifa Nur Prahandika
NIM : 21113010
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
َرْيِسْيَّتلا ُبِلْجَت ُةَّقَشَمْلَا
“Kesulitan itu Mendatangkan adanya Kemudahan”
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Kedua orang tua saya tercinta, Bapak Muji Setiyo dan Ibu Sri Nur Fuatun yang
selalu memberi semangat, dukungan, doa, dan kasih sayang yang tak terbatas.
Adik saya Hanifa Nur Prahandaffa, yang selalu mengingatkan untuk segera
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirobbil’alamiin
, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah dan taufiq-Nya kepada
penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul
”
Penetapan Kadar Nafkah
Iddah
dan
Mut’ah
oleh Hakim pada Cerai Talak di
Pengadilan Agama Salatiga (Studi Putusan Cerai Talak Tahun 2017)
” tanpa
halangan yang berarti.
Shawalat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW,
kepada keluarga, sahabat dan pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya
suritauladan. Beliau merupakan sosok pencerah kehidupan di dunia maupun di
akhirat nanti dan semoga kita semua senantiasa mendapatkan Syafaatnya min hadza
ila yaumil qiyamah, Aamiin Yaa Robbal’alamin.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan skripsi
ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1.
Dr Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga;
2.
Dr. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakul
tas Syari’ah;
3.
Sukron Ma’mun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga Islam;
4.
Luthfiana Zahriani, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing yang dengan ikhlas
dan sabar membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu, tenaga dan
pikirannya sehingga skripsi ini terselesaikan;
5.
Seluruh dosen IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmunya yag sangat
bermanfaat;
vii
7.
Kepada orang tua dan adik serta keluarga besar yang telah memberikan dan
mencurahkan segala kemampuan dan dukungannya secara material dan
immaterial hingga saat ini. Tanpa mereka mungkin karya ini tidak akan pernah
ada;
8.
Sahabat-sahabat dan teman-teman khususnya sahabat dan teman seperjuangan
di Ahwal Al-Syakhshiyyah ( Hukum Keluarga Islam) angkatan 2013 atas segala
bantuan, semangat, dan hiburannya sehingga penulis mampu menyelesaikan
skripsi ini;
9.
Teman gamer saya, Zaid, Badrul, Mujib, dan Apid yang selalu memberikan
hiburan disela-sela waktu mengerjakan karya ini, dan doaku kepada temanku
semua semoga kita sukses di dunia dan akhirat, Aamiin.
10.
Semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi
ini.
Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, serta kepada
pembaca pada umumnya. Aamiin.
Salatiga, 16 Maret 2018
Penulis
viii
ABSTRAK
Nur Prahandika, Muhlifa.
“Penetapan Kadar Nafkah Iddah dan Mut’ah oleh
Hakim pada Cerai Talak di Pengadilan Agama Salatiga (Studi Putusan
Cerai Talak Tahun 2017)”.
Skripsi. Fakultas Syari’ah. Jurusan Hukum
Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Pembimbing: Luthfiana Zahriani, S.H., M.H.
Kata Kunci: Kadar, Nafkah Idda
h, Mut’ah, Cerai Talak
Cerai talak sesuai dengan ketentuan pasal 149 KHI, bahwa suami
berkewajiban memberikan biaya penghidupan bagi mantan isterinya berupa nafkah
iddah
maupun
mut’ah
. Dalam menentukan kadar biaya penghidupan tidak ada
aturan yang jelas terhadap penetapan kadar nafkah
iddah
dan
mut’ah
. Hal tersebut
merupakan hak hakim untuk berijtihad dalam menetapkan kadar nafkah
iddah
dan
mut’ah
. Oleh karena itu, peneliti berupaya menggali informasi terkait alasan yang
menjadi pertimbangan putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam
menetapkan kadar nafkah
iddah
dan
mut’ah
pada perkara cerai talak. Pernyataan
utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimana profil
putusan perkara cerai talak dalam penetapan kadar nafkah
iddah
dan
mu
t’ah
di
Pengadilan Agama Salatiga tahun 2017, (2) Apakah alasan yang menjadi
pertimbangan pengambilan putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam
menetapkan kadar nafkah
iddah
dan
mut’ah
pada perkara cerai talak, dan (3)
Bagaimana tinjauan Undang-undang Perkawinan dan hukum Islam atas putusan
hakim Pengadilan Agama Salatiga terhadap penetapan kadar nafkah
iddah
dan
mut’ah
pada perkara cerai talak.
Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan yang bertempat di
Pengadilan Agama Kota Salatiga dengan subjek penelitiannya adalah hakim.
Metode pendekatan yang digunakan adalah kualitatif deskriptif analisis dan yuridis
normatif. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan
dokumentasi. Dan untuk menguji hasil temuan data tersebut maka peneliti
menganalisa data dengan menggunakan deskriptif analitis dengan pola deduktif.
Temuan penelitian ini menujukkan bahwa pada tahun 2017 terdapat 26
putusan dari 263 putusan cerai talak yang terdapat penetapan kadar nafkah
iddah
dan atau
mut’ah.
Alasan hakim dalam penetapan kadarnya adalah
mempertimbangkan kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan suami,
kesanggupan suami, biaya hidup sebelum perceraian, tuntutan isteri, lamanya
pernikahan, dan pendapat ahli Hukum Islam yang menyatakan pemberian
mut’ah
berupa nafkah selama satu tahun. Dalam pengambilan putusan kadar nafkah
iddah
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
NOTA PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... viii
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.
Latar Belakang ... 1
B.
Rumusan Masalah ... 5
C.
Tujuan Penelitian ... 5
D.
Kegunaan Penelitian ... 6
E.
Penegasan Istilah ... 6
F.
Kajian Pustaka ... 8
G.
Metode Penelitian ... 12
H.
Sistematika Penulisan ... 15
BAB II KAJIAN
TEORI: NAFKAH IDDAH, MUT’AH DAN
CERAI TALAK ... 17
x
1.
Pengertian Nafkah ... 17
2.
Dasar Hukum Nafkah ... 17
3.
Syarat-syarat Isteri Menerima Nafkah ... 20
4.
Kadar Nafkah ... 22
5.
Nafkah Suami atas Isteri yang Beriddah ... 23
a.
Pengertian Iddah ... 23
b.
Dasar Hukum Iddah ... 24
c.
Macam-macam Iddah ... 27
d.
Hukum Mengenai Nafkah Suami atas Isteri yang
Beriddah ... 29
B.
KONSEP MUT’AH
... 36
1.
Pengertian Mut’ah
... 36
2.
Dasar Hukum Mut’ah
... 36
3.
Perbedaan Pandangan Ulama Mengenai Hukum Mut’ah
... 38
4.
Kadar Mut’ah
... 42
C.
KONSEP CERAI TALAK ... 44
1.
Pengertian Talak ... 44
2.
Macam-macam Talak ... 45
3.
Prosedur Cerai Talak ... 49
4.
Akibat Talak ... 52
BAB III HASIL PENELITIAN ... 58
xi
B.
Penetapan Kadar Nafkah Iddah dan Mut’ah
... 61
1.
Putusan Pengadilan Agama Salatiga tentang Nafkah Iddah
dan Mut’ah
... 61
a.
Putusan No. 122/Pdt.G/2017/PA.Sal ... 61
b.
Putusan No. 668/Pdt.G/2016/PA.Sal ... 63
c.
Putusan No. 608/Pdt.G/2017/PA.Sal ... 65
d.
Putusan No. 1258/Pdt.G/2016/PA.Sal ... 67
2.
Hasil Wawancara Hakim ... 69
a.
Wawancara dengan Hakim Drs. H. Salim, SH., MH ... 69
b.
Wawancara dengan Hakim Drs. M. Muslih ... 71
BAB IV PEMBAHASAN ... 75
A.
Alasan yang Menjadi Pertimbangan Pengambilan Putusan Hakim
Pengadilan Agama Salatiga dalam Menetapkan Kadar Nafkah Iddah
dan Mut’ah pada Perkara Cerai Talak
... 75
B.
Tinjauan Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam atas Putusan
Hakim Pengadilan Agama Salatiga terhadap Penetapan Kadar Nafkah
Iddah dan Mut’ah pada Perkara Cerai Talak
... 81
1.
Putusan No. 122/Pdt.G/2017/PA.Sal ... 81
2.
Putusan No. 668/Pdt.G/2016/PA.Sal ... 83
3.
Putusan No. 608/Pdt.G/2017/PA.Sal ... 88
4.
Putusan No. 1258/Pdt.G/2016/PA.Sal ... 91
BAB V PENUTUP ... 97
xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinan merupakan langkah awal bagi setiap pasangan untuk
membangun sebuah keluarga. Dalam menjalani kehidupan bersama, setiap
pasangan akan mengalami banyak halangan dan rintangan yang menjadi bagian
dari kehidupan berkeluarga. Suatu halangan dan rintangan yang dialami setiap
pasangan harus dilalui bersama agar tercapai sebuah keluarga yang bahagia.
Kebahagiaan yang digapai merupakan tujuan awal dalam sebuah perkawinan.
Sabagaimana firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21:
َقَلَخ ْنَأ ِهِتَياَء ْنِم َو
ًةَّد َوَّم ْمُكَنْيَب َلَعَج َو اَهْيَل ِإ اوُنُكْسَتِ ل اًج َو ْزَأ ْمُكِسُفْنَأ ْنِ م مُكَل
.َن ْوُرَّكَفَتَي ٍم ْوَقِ ل ٍتَيَ َلَ َكِلَذ ىِف َّنِإ .ًةَمْح َر َو
Artinya:
“dan diantara tanda
-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kamu yang berfikir”
(Ar-Rum: 21).
Selaras dengan Pasal 1 UU Perkawinan no 1 tahun 1974 yang menyebutkan
bahwa:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa
”
.
Serta dalam Pasal 3 KHI,
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
2
Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat
diinginkan orang Islam. Akad nikah diadakan adalah untuk selama-lamanya dan
seterusnya hingga meninggal dunia. Allah menyebutkan ikatan perjanjian
dalam akad itu sebagai
mitsaqon ghalidhan
yang berarti perjanjian yang kokoh.
Jika ikatan antara suami istri demikian kokoh kuatnya maka tidak sepatutnya
dirusak dan disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekan merusak hubungan
perkawinan itu adalah dibenci oleh Islam karena merusak kebaikan dan
menghilangkan kemaslahatan antara suami istri (Sabiq, 1994: 9).
Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, hambatan dan rintangan pasti
selalu ada dalam setiap rumah tangga. Hambatan dan rintangan bukanlah alasan
untuk mengakhiri sebuah ikatan. Islam mengajarkan kepada setiap pasangan
untuk memperbaiki keretakan yang timbul didalamnya. Sementara itu, apabila
keretakan yang telah timbul sudah tidak bisa utuh kembali, maka Islam tidak
akan memaksakan untuk mempertahankan ikatan mereka. Karenanya Islam
memberikan jalan keluar, yaitu dengan talak.
Islam membolehkan talak (
thalaq
) ketika perbedaan di antara pasangan
sudah menganga lebar dan tidak bisa lagi dijembatani. Namun, talak atau
perceraian merupakan tindakan yang dibenci Allah Swt meskipun halal.
Rasulullah Saw bersabda:
ِق َلََّطلا ىَلاَعَت ِهللا ىَلِإ َضَغْبَأ ِل َلََحْل َنِم ٌءْيَش َسْيَل
)دواد وبأ هاور(
3
Perceraian akan menimbulkan hak dan kewajiaban bagi suami istri
didalamnya. Dan untuk melindungi hak isteri atas talak yang dijatuhkan suami,
dalam Peraturan Perundang-undangan telah diatur beberapa kewajiban suami
akibat terjadinya perceraian. Yaitu sewaktu istri menjalani waktu
iddah
mantan
suami berkewajiban memberikan nafkah
iddah
dan
mut’ah
sebagai pemberian
bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan
lainnya. Sesuai dalam KHI pasal 149 huruf (a) dan (b)
“Bilamana perkawinan
putus karena talak, maka bekas suami wajib: (a). memberikan mut`ah yang
layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri
tersebut qobla al dukhul; (b). memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada
bekas isteri selama dalam iddah
, kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba’in
atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil
”.
Kewajiban suami terhadap istri
yang ditalak dikuatkan dalam pasal 41 huruf (c) Undang-undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian
ialah:
“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajib
an bagi bekas isteri”
.
4
tentang hak nafkah bagi istri ber
iddah
ba’in
yang sedang hamil baik itu karena
dithalaq tiga,
khulu’,
ataupun karena
fasakh.
Namun istri yang ditalak
ba’in
dalam keadaan tidak hamil para ulama berbeda pendapat akan hal tersebut
(Mardani, 2011: 76). Selain kewajiban nafkah
iddah
, suami juga berkewajiban
memberikan
mut’ah
kepada istri yang diceraikan. Sesuai firman Allah SWT
dalam surah al-Baqarah ayat 241 yaitu sebagai berikut:
.َنْيِقَّتُمْلا َلَع اًّقَح ِفوُرْعَمْلاِب ٌعاَتَم ِتَقَّلَطُمْلِل َو
“Dan bagi perempuan
-perempuan yang diceraikan hendaklah diberi
mut’ah
menurut cara yang patut, sebagai suatu kewajiban orang yang
bertakwa”
(Al-Baqarah: 241).
Dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan hukum Islam telah
dijelaskan bahwa istri berhak mendapatkan nafkah
iddah
dan
mut’ah
dari suami
yang menceraikannya.
Namun tidak dijelaskan bahwa kadar atau besar kecilnya
nafkah
iddah
dan
mut’ah
yang wajib diberikan kepada istri yang diceraikannya.
Hal ini yang menjadi hak hakim atas jabatanya (
ex officio
) di Pengadilan Agama
khususnya Pengadilan Agama Salatiga dalam menentukan besar kecilnya kadar
nafkah
iddah
dan
mut’ah
yang akan diberikan suami kepada isteri pasca
terjadinya perceraian.
Berdasarkan keterangan diatas, maka penulis tertarik untuk menggali lebih
jauh tentang apa saja yang menjadi penentuan besar kecilnya kadar nafkah
5
Cerai Talak di Pengadilan Agama Salatiga (Studi Putusan Cerai Talak
Tahun 2017)
”
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana profil putusan perkara cerai talak dalam penetapan kadar nafkah
iddah
dan
mut’ah
di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2017?
2.
Apa alasan yang menjadi pertimbangan pengambilan putusan hakim
Pengadilan Agama Salatiga dalam menetapkan kadar nafkah
iddah
dan
mut’ah
pada perkara cerai talak?
3.
Bagaimana tinjauan Undang-undang Perkawinan dan hukum Islam atas
putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga terhadap penetapan kadar
nafkah
iddah
dan
mut’ah
pada perkara cerai talak?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui profil putusan perkara cerai talak dalam penetapan kadar
nafkah
iddah
dan
mut’ah
di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2017.
2.
Untuk mengatahui alasan yang menjadi pertimbangan pengambilan putusan
hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam menetapkan kadar
mut’ah
dan
nafkah
iddah
pada perkara cerai talak.
3.
Untuk mengetahui bagaimana tinjauan UU Perkawinan dan hukum Islam
atas putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga terhadap penetapan kadar
6
D.
Kegunaan Penelitian
1.
Memperkaya wawasan ilmu dalam bidang hukum, khususnya dalam hal-hal
yang berkaitan dengan penetapan kadar nafkah
iddah
dan
mut’ah
pada
perkara cerai talak.
2.
Diharapkan penelitian ini bisa dijadikan bahan untuk menyusun karya
ilmiah selanjutnya yang berkaitan dengan nafkah
iddah
dan
mut’ah.
E.
Penegasan Istilah
Penegasan istilah dipergunakan untuk menghindari penafsiran ganda
ataupun perbedaan pendapat bagi para pembaca. Oleh karena hal tersebut,
penulis berkepentingan untuk menjelaskan arti dalam judul penelitian ini, agar
istilah-istilah yang terkandung dalam judul penelitian memiliki arti yang tegas
dan jelas. Istilah yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut:
1.
Nafkah
Iddah
Nafkah
iddah
adalah sesuatu yang diberikan oleh suami kepada isteri
yang telah diceraikannya untuk memenuhi kebutuhan baik berupa pakaian,
makanan maupun tempat tinggal. Bahwa nafkah tersebut diberikan selama
isteri menjalani
iddah
dan isteri belum boleh melangsungkan pernikahan
kepada orang lain selama masa
iddah
belum habis.
2.
Mut’ah
Mut’ah
adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak
7
3.
Cerai Talak
Cerai talak yaitu cerai khusus bagi yang beragama Islam, di mana suami
(pemohon) mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama untuk
memperoleh izin menjatuhkan talak kepada isteri (Bahari, 2012 :17).
Penjelasan menganai tata cara talak terdapat dalam KHI Pasal 117, yaitu
“Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131”.
4.
Hakim Pengadilan Agama
Pengertian Hakim menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
orang yang mengadili perkara (dalam pengadilan atau mahkamah). Hakim
merupakan pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Hakim
Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua
Mahkamah Agung (Musthofa, 2005: 22).
Kemudian pengertian pengadilan dalam istilah Inggris disebut
court
,
sedangkan dalam istilah bahasa Belanda disebut
rechtbank
. Keduanya
memiliki maksud sebagai ‘badan yang melakukan peradilan berupa
memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara’
(Mujahidin, 2014: 2).
8
sebagai pengadilan tingkat pertama adalah pengadilan yang menerima,
memeriksa, dan memutus, setiap perkara yang diajukan pencari keadilan
(
yustisiabel
) pada tahap awal (Musthofa, 2005: 21).
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, pengertian
Peradilan Agama disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa Peradilan
Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
Jadi Pengertian Hakim Pengadilan Agama adalah orang yang mengadili
perkara di pengadilan tingkat pertama bagi orang-orang yang beragama
Islam.
F.
Kajian Pustaka
Berikut adalah beberapa penelitian yang berkaitan dengan pemberian
nafkah
iddah
dan
mut’ah
, diantaranya adalah:
Pertama, skripsi yang disusun oleh Khurul Aini dengan judul
“Kewajiban
Nafkah
Iddah
Suami Kepada Isteri yang Telah Dicerai” (Studi Terhadap
Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 394/Pdt.G/2005/PA.SAL). Karya
ilmiyah ini merupakan skripsi dari jurusan Syariah, program studi Al-Ahwal
Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga tahun 2007. Rumusan masalah yang diangkat
dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: bagaimana konsep nafkah
iddah
menurut hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia, bagaimana cara
penyelesaian nafkah
iddah
dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama
Salatiga dalam mengabulkan permohonan nafkah
iddah
dan bagaimana
kesesuaian putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga tentang nafkah
iddah
9
penelitiannya adalah sebagai berikut: pertama, konsep
iddah
menurut hukum
Islam berdasarkan Al-Quran surat At Thalaq ayat 7, dan menurut hukum
perundang-undangan berdasarkan pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang hak kewajiban suami istri pasal 34. Kedua, hakim Pengadilan Agama
dalam mengambil keputusan-keputusan atau penetapan nafkah
iddah
mempunyai kekuatan hukum tetap apabila diucapkan pada sidang terbuka untuk
umum. Akan tetapi dalam pengambilan putusan atau ketetapan Pengadilan
Agama dalam penyelesaian nafkah iddah melalui sebuah
pertimbangan-pertimbangan yang menyangkut kesepakatan antara suami istri yang
mengajukan gugatan perceraian. Ketiga, dalam pengambilan putusan, seorang
hakim Pengadilan Agama Kota Salatiga pada tahun 2005 dalam penyelesaian
nafkah
iddah
sudah ada kesesuaian dengan hukum Islam. Akan tetapi ada
beberapa kasus yang diputuskan tidak sesuai dengan hukum Islam hal ini
dikarenakan berbagai pertimbangan-pertimbangan sehingga tidak merujuk
kembali dengan hukum Islam bahwa nafkah
iddah
dalam Islam itu wajib
dilaksanakan bagi suami yang bercerai dengan istrinya.
Kedua, skripsi yang disusun oleh Risae Muhammad dengan judul
“Peniadaan Nafkah Iddah dalam Perkara Cerai Gugat”
(Studi Komparasi
10
Indonesia, apa dasar hukum dan pertimbangan hakim dalam memutuskan
masalah nafkah
iddah
dalam putusan gugat cerai No 286/Pdt.G/1998/PA.SAL
dan No. 241 K/AG/2000 Dan mengapa ada perbedaan putusan PA dan MA
dalam hal pemberian nafkah
iddah
dalam perkara gugat cerai. Setelah
mengatahui rumusan masalah di atas maka hasil penelitiannya adalah sebagai
berikut: pertama, menurut fiqh dan perundang-undangan dijelaskan bahwa
isteri yang telah dicerai berhak mendapatkan nafkah
iddah
, selama isteri
tersebut tidak
nusyuz
. Namun dalam perkara talak
ba’in
para ulama’ berbeda
pendapat.
Imam Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa t
idak
mempunyai hak atas nafkah
iddah
. Sedangkan Imam Hanafi berpendapat
bahwa isteri yang telah dicerai
ba’in
tetap berhak nafkah
iddah
. Kedua, bahwa
dalam memutusakan masalah nafkah
iddah
, hakim mengacu pada dalil-dalil
fiqh dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan menganalisa
konteks suatu perkara dan mempertimbangkan sisi humanisme. Ketiga, Dalam
perkara perceraian ini meskipun hukum perundang-undangan yang digunakan
hakim PA dan MA relatif sama, namun yang membuat produk hukum jadi
berbeda adalah metode pendekatan dan penafsiran dalam memeriksa perkara
tersebut. Putusan hakim PA untuk tidak memberikan nafkah
iddah
kepada isteri
yang telah dicerai sejalan dengan pendapat madzhab Maliki, Syafi’i dan
11
perempuan, dengan tujuan agar putusan tersebut lebih sesuai dan lebih
mendekati nilai keadilan.
Ketiga, skripsi yang disusun oleh Faris Jundhi dengan judul
“Pemberian
Nafkah
Iddah
pada Cerai Gugat” (Studi Putusan Pengadilan Agama Pati
No.1925/Pdt.G/2010/PA.Pt). Karya ilmiyah ini merupakan skripsi dari jurusan
Syariah, program studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga tahun
2013. Rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
bagaimana hak nafkah
iddah
setelah mengajukan cerai gugat kepada suaminya
menurut fiqh, bagaimana hak nafkah
iddah
setelah mengajukan cerai gugat
kepada suaminya menurut hukum yang berlaku di Indonesia, dan apakah
pertimbangan hakim memperbolehkan istri sebagai penggugat mendapatkan
hak nafkah
iddah
dari suami setelah cerai gugat. Setelah mengatahui rumusan
masalah diatas maka hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: pertama, bahwa
hakim mempertimbangkan permberian nafkah
iddah
dan
mut’ah
pada talak
bai’in
didasarkan pada pendapat Imam Hanafi. Ulama Hanafiyah berpendapat
12
putusan Mahkamah Agung RI nomor 137/K/AG/2007 tanggal 19 September
2007. Pemberian nafkah iddah tersebut didasarkan pada pasal 41 huruf (c) UU
No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 149 KHI. Ketiga, terdapat 5 (lima) dasar
pertimbangan hakim dalam pemberikan nafkah
iddah
kepada istri yang
mengajukan gugatan cerai, yaitu: adanya rasa keadilan bagi kedua belah pihak,
adanya ketertiban hukum, menempatkan harkat perempuan pada proporsinya,
adanya kemampuan bekas suami untuk memberikan nafkah
iddah
dan
mut’ah
kepada bekas istri, dan adanya kelayakan bekas istri untuk menerima nafkah
iddah
dan
mut’ah
dari bekas suami.
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, yang membedakan antara
penelitian sebelum-sebelumnya adalah penentuan kadar nafkah
iddah
dan
mut’ah
. Yakni belum ada penelitian yang meneliti tentang bagaimana
penentuan kadar nafkah
iddah
dan
mut’ah
oleh hakim Pengadilan Agama
Salatiga pada perkara cerai talak tahun 2017. Oleh karenanya penulis
menyimpulkan bahwa penelitian yang diteliti bukan merupakan duplikasi
ataupun pengulangan dari penelitian-penelitian yang ada.
G.
Metode Penelitian
1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
13
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan metode yuridis normatif.
Metode tersebut akan menjelaskan bagaimana hukum yang berlaku
diterapkan oleh hakim Pengadilan Agama Salatiga.
2.
Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan merupakan hasil dari observasi langsung di
Pengadilan Agama Salatiga yang berkaitan dengan permasalahan tersebut.
Data yang dikumpulkan meliputi:
a.
Data yang berkaitan dengan putusan Pengadilan Agama Salatiga tentang
nafkah
iddah
dan
mut’ah
dalam perkara cerai talak.
b.
Data tentang dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Salatiga
pada perkara tersebut baik segi hukum positif maupun hukum Islam.
3.
Sumber Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan
sekunder, penjelasannya sebagai berikut:
a.
Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan dari
sumber utama yang berada di lapangan penelitian, yaitu hasil
wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Salatiga dan
putusan-putusan cerai talak mengenai penetapan nafkah
iddah
dan
mut’ah
di
Pengadilan Agama Salatiga.
14
4.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan Data adalah berbagai cara yang digunakan untuk
mengumpulkan data, menghimpun, atau menjaring data penelitian.
1.
Observasi
Observasi atau pengamatan dapat didefinisikan sabagai “perhatian
yang terfokus terhadap kejadian, gejala, atau sesuatu”
. Adapun
observasi ilmiah adalah perhatian terfokus terhadap gejala, kejadian,
atau sesuatu dengan maksud menafsirkannya, mengungkapkan
faktor-faktor penyebabnya, dan menemukan kaidah-kaidah yang mengaturnya
(Emzir, 2011: 38). Dimana observasi dilakukan di Pengadilan Agama
Salatiga.
2.
Wawancara
Wawancara dapat didefinisikan sebagai interaksi bahasa yang
berlangsung antara dua orang dalam situasi saling berhadapan salah
seorang, yaitu yang melakukan wawancara meminta informasi atau
ungkapan kepada orang yang diteliti yang berputar di sekitar pendapat
dan keyakinannya (Emzir, 2011: 50). Adapun wawancara yang
dilakukan ditujukan kepada Hakim di Pengadilan Agama Salatiga dan
pihak-pihak terkait.
3.
Dokumentasi
15
sumber informasi. Dokumentasi dapat diperoleh dari beberapa putusan
yang menyangkut penetapan kadar nafkah
iddah
dan
mut’ah
dalam
perkara cerai talak.
5.
Teknik Analisa Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data penelitian ini adalah
deskriptif analitis dengan pola deduktif. Dimana akan digambarkan terlebih
dahulu mengenai data-data yang berkaitan dengan perkara tersebut secara
umum dan pertimbangan hukum para hakim dalam menetapkan kadar
nafkah
iddah
dan
mut’ah
serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
kadarnya dalam perkara carai talak di Pengadilan Agama Salatiga.
Kemudian diakhiri dengan kesimpulan yang bersifat khusus terhadap
perkara putusan cerai talak di Pengadilan Agama Salatiga tentang penetapan
kadar nafkah
iddah
dan
mut’ah
tersebut. Apakah penetapan kadar tersebut
sudah sesuai dengan UU Perkawinan dan hukum Islam yang ada. Sehingga
mendapat gambaran yang jelas menganai masalah yang diteliti dalam
penelitian ini.
H.
Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan skripsi ini, penulis memuat pembahasan
penelitian dalam beberapa bab, yaitu sebagai berikut:
16
Bab kedua berisikan tentang landasan teori tentang cerai talak dan akibat
hukumnya, teori mengenai nafkah
iddah
dan
mut’ah
,
serta dasar hukum nafkah
iddah
dan
mut’ah
. Yang nantinya akan dijadikan sebagai alat analisis dalam
menjelaskan dan mendeskripsikan obyek penelitian.
Bab ketiga berisikan hasil penelitian di Pengadilan Agama Salatiga,
mengenai gambaran perkara dan hasil wawancara hakim mengenai alasan yang
mempengaruhi pengambilan keputusan dalam penetapan kadar nafkah
iddah
dan
mut’ah
pada cerai talak.
Bab keempat berisikan pembahasan, dimana akan dijelaskan oleh penulis
alasan yang menjadi pertimbangan pengambilan putusan dan tinjauan UU
Perkawinan dan Hukum Islam oleh hakim Pengadilan Agama Salatiga terhadap
penetapan kadar nafkah
iddah
dan
mut’ah
dalam perkara cerai talak tersebut.
17
BAB II
KAJIAN TEORI
NAFKAH IDDAH, MUTAH DAN CERAI TALAK
A.
KONSEP NAFKAH IDDAH
1.
Pengertian Nafkah
Nafkah secara etimologi berarti sesuatu yang bersirkulasi karena dibagi
atau diberikan orang dan membuat kehidupan orang yang mendapatkannya
tersebut berjalan lancar karena dibagi atau diberikan, maka nafkah tersebut
secara fisik habis atau hilang dari pemiliknya. Secara tertimologi, nafkah itu
adalah sesuatu yang wajib diberikan berupa harta untuk mematuhi agar
dapat bertahan hidup (Mardani, 2011: 75). Disebutkan juga bahwa nafkah
berarti "belanja". Maksudnya ialah sesuatu yang diberikan oleh seseorang
kepada isteri, kerabat, dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka.
Keperluan pokok, seperti makanan pakaian dan tempat tinggal (Departeman
Agama RI, 1985: 184). Dan disebutkann pula oleh (Sabiq, 1981: 77) dalam
kitab Fikih Sunnah Jilid 7, bahwa yang dimaksud dengan belanja (nafkah)
di sini yaitu memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah
tangga, pengobatan isteri, jika ia seorang kaya. Memberi belanja hukumnya
wajib menurut Al-Quran,
Sunnah
dan
Ijma’
.
2.
Dasar Hukum Nafkah
18
،َةَعاَض َّرلا َّمِتُّي ْنَأ َداَرَأ ْنَمِل ِنْيَلِماَك ِنْيَل ْوَح َّنُهَدَلا ْوَأ َنْع ِض ْرُي ُتاَدِلا َوْلا َو
َّنُهُت َوْسِكَو َّنُهُق ْز ِر ُهَلِد ْوُل ْوَمْلا ىَلَع َو
اَهَعْسُو َّلاِإ ٌسْفَن ُفَّلَكُتَلا ،ِف ْوُرْعَمْلاِب
...َكِلَذ ُلْثِم ِث ِرا َوْلا ىَلَع َو ِهِدَلَوِب ُهَل ٌد ْوُل ْوَمَلا َو اَهِدَلَوِب ُةَدِلا َو َّراَضُتَلا
“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang patut.
Tidak diberati seorang diri, kecuali menurut usahanya. Janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya
dan warispun berkewajiban demikian...”
(Q.S Al-Baqarah: 233).
“Rizki”
yang dimaksud dalam ayat ini ialah makanan secukupnya.
“Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan
hati mereka...”
(Al-Thalaaq : 6).
ْقِفْنُيِل
،ُهَّللا ُهَتَا اَّمِم ْقِفْنُيْلَف ُهُق ْز ِر ِهْيَلَع َرِدُق ْنِم َو ،ِهِتـَعَس ْنِ م ٍةَعَس ْوُذ
.ا ًرْسُّي ٍرْسُع َدْعَب ُهَّللا ُلَعْجَيَس ،اَهَتَا اَم َّلاِا اًسْفَن ُهَّللا ُفِ لَكُيَلا
“Orang yang mampu hend
aklah memberi nafkah menurut
19
ْمُكْيَلَع َّنُهَل َو ِعاَدَوْلا ِةَّجُح ىِف َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُهَّللا ىَّلَص ِهَّللا ُل ْوُسَر َلَق
)ملسم هاور(. ِفوُرْعَمْلاِب َّنُهُت َوْسِكَو َّنُهُق ْز ِر
“Berkata Rasulullah saw pada
(waktu beliau menunaikan ibadah) haji
yang penghabisan: “... kewajiban suami ialah memberi makan dan pakaian
isterinya menurut yang patut”
(HR. Muslim).
Adapun menurut Ijma’ sebagai berikut:
Ibnu Qudamah berkata: Para ahli ilmu sepakat tentang kewajiban suami
membelanjai isteri-isterinya, bila sudah
baligh
, kecuali kalau isteri itu
berbuat durhaka. Ibnu Mundzir dan lain-lainnya berkata: Isteri yang
durhaka boleh dipukul sebagai pelajaran. Perempuan adalah orang yang
tertahan di tangan suaminya. Ia telah menahannya untuk bepergian dan
bekerja. Karena itu ia berkewajiban untuk memberikan belanja kepadanya
(Sabiq, 1981: 80).
Dasar hukum kewajiban suami terhadap istrinya memberikan nafkah
menurut KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdapat dalam
pasal-pasal berikut:
a.
Kompilasi Hukum Islam
Pasal 80
1)
Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya,
akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang
penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama.
2)
Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
3)
Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
20
a)
nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b)
biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan
bagi isteri dan anak;
c)
biaya pendididkan bagi anak.
5)
Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4)
huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna
dari isterinya.
6)
Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap
dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7)
Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila
isteri nusyuz.
b.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Pasal 33Suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
3.
Syarat-syarat Isteri Menerima Nafkah
21
umum:
“setiap orang yang menahan hak orang lain atau kemanfaatannya,
maka
ia bertanggung jawab membelanjainya.”
(Sabiq, 1981: 80).
Berikut ini adalah syarat-syarat isteri berhak menerima nafkah, yakni:
a.
Telah terjadi akad yang syah antara suami dan isteri.
b.
Isteri telah sanggup melakukan hubungan sebagai suami-isteri dengan
suaminya.
c.
Isteri telah terikat atau telah bersedia melaksanakan semua hak-hak
suami (Departeman Agama RI, 1985: 187).
Hak isteri menerima nafkah menjadi gugur apabila:
a.
Bila ternyata akad nikah mereka batal atau
fasid
(rusak)
b.
Isteri masih belum
baligh
dan ia masih tetap di rumah orang tuanya.
Menurut Abu Yusuf isteri berhak menerima nafkah dari suaminya jika
isteri telah serumah dengan suaminya, karena dengan serumah itu
berarti telah terikat di rumah suaminya.
c.
Isteri dalam keadaan sakit karena itu ia tidak bersedia serumah dengan
suaminya. Tetapi jika ia bersedia serumah dengan suaminya is tetap
berhak mendapatkan nafkah.
d.
Bila isteri melanggar larangan Allah yang berhubungan dengan
kehidupan suami isteri, seperti meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa seizin suami, berpergian tanpa izin suami dan tanpa disertai/
mahram
, dan sebagainya.
22
4.
Kadar Nafkah
Al Qur'an dan hadits tidak ada yang menyebutkan dengan tegas kadar
atau jumlah nafkah baik minimal atau maximal yang wajib diberikan suami
kepada isterinya. Hanya dalam ayat 6 dan ayat 7 Surat At-talaq diberikan
gambaran umum, yaitu nafkah itu diberikan kepada isteri menurut yang
patut dengan arti cukup untuk keperluan isteri dan sesuai pula dengan
penghasilan suami. Bahkan ada yang berpendapat bahwa jumlah nafkah itu
harus pula disesuaikan dengan kedudukan isteri. Dalam pada itu
diterangkan bahwa jumlah nafkah yang diberikan itu hendaklah sedemikian
rupa sehingga tidak memberatkan suami, apalagi menimbulkan
mudarat
baginya (Departeman Agama RI, 1985: 189).
Dalam sebuah riwayat hadits dijelaskan bahwa:
َناَيْفُس اَبَا َّنا ،ِهَّللا َل ْوُس َراَي : ْتَلاَق َةَبتُع َتْنِب اًدْنِه َّنَا .ع.ر َةَشِئاَع ْنَع
:َلاَق مَلْعَي َلا َوُه َو ُهْنِم ُتْذَخَا اَم َّلاِا يِدَل َو َو ىِنْيِطْعُي َسيَل َو ٌحْي ِحَش ٌلُج َر
ىِذُح
.ِف ْوُرْعَمْلاِب ِكَدَل َو َو ِكْيِفْكَي اَم
“Dari Aisyah r.a. sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah pernah bertanya
“Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir.
Is tidak mau memberi nafkah kepadaku sehingga aku harus mengambil
darinya tan
pa sepengetahuannya.” Maka Rasulullah Saw. bersabda,
“Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang
baik.”
(HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i)
.
23
Adapun Imam Syafi'i mengqiaskan jumlah nafkah kepada
''kaffarat"
.
Kaffarat
yang terbanyak ialah dua
mud
(-+ 2 x 2,5 kilogram beras) sehari,
yaitu
kaffarat
karena merusak atau menyakiti di waktu mengerjakan ibadah
haji. Sedang
kaffarat
yang terendah ialah satu
mud
sehari, yaitu
kaffarat
zhihar
. Karena itu beliau menetapkan bahwa kadar nafkah maximal ialah
dua
mud
sehari sedang kadar nafkah minimal ialah satu
mud
sehari
(Departeman Agama RI, 1985: 190).
5.
Nafkah Suami atas Istri yang Beriddah
a.
Pengertian
Iddah
Menurut bahasa Arab, kata
“iddah”
adalah
mashdar
dari kata kerja
‘adda –
ya’uddu
yang artinya “menghitung”, jadi kata
“iddah”
artinya
24
suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan
(Nuruddin, 2006: 240).
Menurut Ashshon’ani
definisi
‘iddah
adalah sebagai berikut:
َّدُمِل ٌمْسِإ
اَهَل ِهِقا َرِفَو اَه ِج ْوَز ِةاَف َو َدْعَب ِجْيِو ْزَّتلا ِنَع ُةَأ ْرَمْلا اَهِب ُصَّبَرَتَت ِة
. ِرُهْشَ ْلَاِوَأ ِءاَرْقَ ْلَاِوَأ ِةَدَلاِوْلاِباَّمِإ
‘Iddah ialah suatu nama bagi suatu masa tunggu yang wajib
dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah
kematian suaminya atau perceraian dengan suami itu, baik dengan
melahirkan anaknya, atau beberapa kali suci/haidh, atau bebrapa
bulan tertentu
(Departeman Agama RI, 1985: 274).
Prof. Abu Zahrah memberi definisi
‘iddah
sebagai berikut
َأ
ِحاَكِ نلا ِراَثَأ ْنِم َىِقَباَم ِءاَضِقْنِلا َب ِرُض ٌلَج
‘Iddah ialah suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri
pengaruh-pengaruh perkawinan
(Departeman Agama RI, 1985: 274).
Lebih lanjut prof.Abu Zahrah menyatakan:
َنْيَب ُةَق ْرُفْلا ِتَلَصَحَاَذِءاَف
ْنِم ِةَّي ِج ْوَّزلااَرُع ُم ِصَفْنَتَلا ِهِلْهَأ َو ِلُجَّرلا
ُه َرْيَغ ُج َّو َزَتَتَلا َو ُةَأ ْرَمْلا ُصَّبَرَتَت ْلَب ِةَق ْرُفْلا ِع ْوُقُو ِدَّرَجُمِب ِه ْوُجُوْلا ِ لُك
.ُع ِراَّشلا اَهَرَّدَق ىِتَّلا ُةَّدُمْلا َكْلِت َىِهَتْنَت ىَّتَح
Jika terjadi perceraian antara seorang lelaki dengan isterinya,
tidaklah terputus secara tuntas ikatan suami isteri itu dari segala
seginya dengan semata-mata terjadi perceraian, melainkan isteri wajib
menunggu, tidak boleh kawin dengan laki-laki lain, sampai habisnya
masa tertentu yang telah ditentukan oleh Syara’
(Departeman Agama
RI, 1985: 275).
b.
Dasar Hukum Iddah
25
َّنِهِسُفْنَأِب َنْصَّبَرَتَي ُتَقَّلَطُمْلا َو
.ٍءوُرُق َةَثَلَث
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru’
(Q.S. Al-Baqarah: 228).
Dalam
Sunnah/ Hadits
, sebagaimana dalam Shahih Muslim dari
Fatimah binti Qais bahwa Rasulullah SAW. bersabda kepadanya:
يِف ْىِ دَتْعِا
.ٍمُتْكَم ِ مُا ِنْبا ِكِ مَع ِنْبا ِتْيَب
Hendaklah engkau beriddah dirumah putra pamanmu Ibnu Ummi
Maktum.
Dan secara
Ijma’
, umat Islam sepakat wajibnya
iddah
sejak masa
Rasulullah SAW. sampai sekarang
(Azzam, 2009: 319-320).
Hukum Islam mewajibkan ber
’iddah
terhadap wanita setelah
perkawinan putus, baik sebab meninggalnya suami, bercerai dengan
suaminya, maupun sebab keputusan Pengadilan (Departeman Agama
RI, 1985: 275).
Dasar hukum
iddah
menurut KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan terdapat dalam pasal-pasal berikut:
1)
Kompilasi Hukum Islam
Pasal 153
(1)
Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu
tunggu atau iddah, kecuali qobla al-dukhul dan perkawinannya
putus bukan karena kematian suami.
(2)
Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a)
Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun
qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga
puluh) hari:
b)
Apabila
perkawinan
putus
karena
26
c)
Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda
tersebut dalam keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan
sampai melahirkan;
d)
Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda
tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan
sampai melahirkan.
(3)
Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas
suaminya qobla al dukhul.
(4)
Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang
waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan
Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan
bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu
tunggu dihitungsejak kematian suami.
(5)
Waktu tunggu bagi isteri yang oernah haid sedang pada waktu
menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya
tiga kali waktu haid.
(6)
Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka
iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu
tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali
waktu suci.
Pasal 154
Apabila isteri bertalak raj`i kemudian dalam waktu iddah
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan
ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya
berubah menjadi empat bulansepuluh hari terhitung saat matinya
bekas suaminya.
Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk,
fasakh dan li`an berlaku iddah talak.
2)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974
27
Perkawinan, disebutkan dan dijelaskan dalam pasal 39, sebagai
berikut:
Pasal 39
(1)
Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut :
a)
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari
b)
Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu
bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali
suci dengan sekurangkurangnya 90 (sembilan puluh) hari
dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90
(sembilan puluh) hari ;
c)
Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam
keadaan
hamil,
waktu
tunggu
ditetapkan
sampai
melahirkan.
(2)
Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan
karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas
suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
(3)
Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang
waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi
perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak kematian suami.
c.
Macam-macam
Iddah
Iddah
dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu
iddah
cerai hidup
dan cerai mati. Penjelasannya sebagai berikut:
1)
Iddah
cerai hidup
Dalam
iddah
cerai hidup terdapat empat kemungkinan yaitu
28
diceraikan suaminya (ditalaknya) hendaklah menantikan
dengan sendirinya tiga kali suci/haid
h...”.
b)
Bagi perempuan yang belum atau tidak
haidh
, iddahnya tiga
bulan.
c)
Apabila perempuan tersebut dalam keadaan hamil, maka
iddahnya sampai melahirkan. Ini sesuai dengan surat at-Talaq
ayat 4 yang artinya sebagai berikut
“Perempuan
-perempuan
yang telah putus asa daripada haidh (darah bulanan), jika kamu
ragu-
ragu (tentang ‘iddahnya), maka iddah tiga bulam, dan
(begitu pula iddah) perempuan yang belum haidh.
Perempuan-perempuan yang hamil (mengandung anak) iddahnya ialah
sampai mereka melahirkan kandunganny
a...”
d)
Apabila perempuan tersebut belum digauli sama sekali oleh
suaminya, maka hal ini tidak ada iddahnya. Ketentuan ini sesuai
dengan surat al-Ahzab ayat 49, yang artinya sebagai berikut:
“Hai orang
-orang yang beriman, apabila kamu mengawini
perempuan-perempuan mukmin kemudian kamu thalaq
(ceraikan) mereka, sebelum menyentuhnya (bersetubuh dengan
dia), maka tidak ada bagi mereka iddah, yang kamu
perhitungkan. Maka kamu berilah mereka kesukaan (pemberian
sekedarnya), dan ceraikanlah mereka dengan perceraian yang
29
2)
Iddah cerai
mati
Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, maka iddahnya
adalah 4 bulan 10 hari. Ketentuan ini sesuai dengan surat
Al-Baqarah ayat 234, yang berarti sebagai berikut:
“Orang
-orang yang
mati di antara kamu, sedang mereka meninggalkan janda hendaklah
janda mereka menantikan dengan sendirinya (ber’iddah) empat
bulan sepuluh hari. Apabila sampai ‘iddahnya itu, maka tiada
berdosa kamu, tentang apa-apa yang diperbuat perempuan itu
terhadap dirinya
secara ma’ruf. Allah Maha mengetahui apa
-apa
yang kamu kerjakan.”
(Sudarsono, 1991: 104).
Kendatipun masa
‘iddah
ini dikenakan kepada wanita, tidak
berarti suami yang ditinggal mati istrinya, bebas melakukan
pernikahan setelah itu. Hukum memang tidak menetapkan berapa
lama, suami tersebut harus menjalani masa
‘iddah
nya, tetapi paling
tidak dengan berpijak pada asas kepatutan, seorang suami juga
mestinya dapat menahan diri untuk tidak langsung menikah, ketika
istrinya baru saja meninggal. Hikmahnya tentu saja untuk
menunjukkan rasa berkabung sekaligus menjaga timbulnya fitnah
(Nuruddin, 2006: 251).
d.
Hukum Mengenai Nafkah Suami atas Istri yang Ber
iddah
30
dalam masa
'iddah
tetap dipandang sebagai isteri dari suaminya yang
memiliki hak dan kewajiban kendatipun tidak penuh lagi (Nuruddin,
2006: 245).
Para
fuqaha’
sepakat bahwa perempuan yang sedang dalam iddah
talak
raj’i
berhak atas nafkah dari bekas suami. Nafkah yang dimaksud
di sini adalah nafkah seperti yang diberikan sebelum terjadi perceraian
(Basyir,1996: 89).
Allah Swt. berfirman dalam surat At-Talaq ayat 6 sebagai berikut:
ْمُتْنَكَس ُثْيَح ْنِم َّنُه ْوُنِكْسَا
ْمُكِدْج ُّو ْنِ م
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu betempat tinggal
menurut kemampuanmu
(QS Al-Talaq(65) : 6).
َّنُهَلْمَح َنْعَضَي ىَّتَح َّنِهْيَلَع ا ْوُقِفْنَاَف ٍلْمَح ِتَلاوُا َّنُك ْنِا َو
Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin
(QS Al-Talaq (65): 6).
Dua ayat tersebut menunjukkan bahwa perempuan hamil berhak
mendapatkan nafkah, baik dalam keadaan
iddah talak raj’i
atau
ba’in
,
atau juga dalam
iddah
kematian. Adapun dalam
talak ba’in
, para ahli
fikih berbeda pendapat tentang hak nafkahnya. Jika dalam keadaan tidak
hamil, maka ada tiga pendapat: Pendapat pertama, ia berhak
mendapatkan rumah, tetapi tidak berhak mendapatkan nafkah. Ini
pendapat Imam Malik dan Syafi’i. Mereka be
r
hujjah
dengan Firman
Allah Swt (Tihami, 2009: 173-174).
31
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu betempat tinggal
menurut kemampuanmu
(QS Al-Talaq(65) : 6).
Dan berdasarkan hadis dari Fatimah binti Qays untuk menjalankan
iddahnya di rumah Ummu Maktum dan tidak memberikan dirinya
nafkah (Mardani, 2011: 76).
Pendapat kedua dikemukakan oleh Umar bin Khathab, Umar bin
Abdul Azis dan golongan Hanafi, mereka mengatakan bahwa istri
berhak mendapatkan nafkah dan rumah. Mereka juga mengambil dalil
pada firman Allah Swt. Surat Al-Talaq: 6 sepeti di atas. Ayat tersebut
menunjukkan wajibnya memberikan tempat tinggal. Jika memberikan
tempat tinggal itu hukumnya wajib, maka dengan sendirinya juga wajib
memberikan nafkah seperti makanan, pakaian, dan lainnya (Tihami,
2009: 174). Dan juga berdalil kepada hadis Nabi yang berbunyi, dari
Fathimah binti Qays, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
bagi wanita
yang dithalaq tiga memiliki hak nafkah dan tempat tinggal selama ia
dalam iddah
(H.R. Al Darimi dan Abu Daud) (Mardani, 2011: 76).
Pendapat ketiga, istri tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat
tinggal. Ini dikemukakan oleh Ahmad, Abu Dawud, Abu Saur, dan
Ishaq. Dalam sebuah riwayat dari Ali, Ibnu Abbas, Al-
Hasan, ‘Atha’,
Sya’bi Abu Abi Laila, dan Syi’ah Imamiyah, mereka mengemukakan
alasan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari Fatimiah
binti Qais, ia berkata,
“Suamiku telah menceraikan aku tiga kali pada
masa Rasulullah Saw... ia tidak menberikan nafkah kepadaku atau
32
SAW. bersabda
,
“
tempat tinggal dan nafkah hanyalah berhak bagi
perempuan yang suaminya ada hak rujuk.”
(Tihami, 2009: 175).
Rasulullah Saw. bersabda.
.ًةَلِماَح ىِن ْوكَت ْنَا َّلاِا ِكَلَةَقَفَنَلا .م.ص ِهَّللا ُل ْوُسَر اَهَل َلاَق ُهَّنَا
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda kepada Fatimah, “Tidak
ada nafkah bagimu kecuali kalau kamu hamil.”
(HR Ahmad, Muslim,
Abu Dawud, dan Nasa’i
).
Wanita hamil yang sedang dalam masa
iddah
, telah sepakat ulama,
bahwa nafkahnya wajib ditanggung oleh suami. Namun terjadi
perbedaan pandapat. Menurut mazhab Maliki, bahwa suami wajib
membayarkan nafkah, sekiranya janin dalam kandungan itu adalah
anaknya sendiri. Suami tidak dibebani nafkah sekiranya janin itu
diyakininya bukan anaknya. Dan menurut mazhab
Hanafi, Syafi’i dan
Hambali, berpendapat bahwa nafkah wajib diberikan disebabkan
kehamilan itu sebagai berikut: nafkah itu diberikan karena kehamilan itu
sendiri. Jadi, bila janinnya gugur, maka nafkah tidak wajib lagi. Sebab
yang kedua adalah nafkah itu wajib diberikan karena wanita hamil. Jadi
tidak dipersoalkan apakah janin itu selamat lahir atau gugur (Hasan,
2006: 223).
33
kewajiban antara suami-istri. Dengan mengacu kepada Q.S An-
Nisa’
ayat 34, ulama menetapkan bahwa ketaatan istri adalah wajib dan
merupakan hak suami. Karena kalau ketaatan istri tidak menjadi hak
suami maka kepemimpinan suami yang diisyaratkan dalam ayat ini
tidak akan terlaksana. Hak suami atas ketaatan istrinya ini lebih tegas
lagi diterangkan dalam ayat yang memberikan wewenang kapada suami
untuk menghukum istrinya dalam rangka memperbaiki kelakuan istri
untuk taat kepada suaminya. Di pihak lain ulama menetapkan bahwa
nafkah adalah hak istri dan kewajiban suami. Jadi meninggalkan
kewajiban (taat) oleh istri kepada suami disimpulkan mengakibatkan
gugurnya hak nafkah istri dari suaminya.
Walaupun para ulama sepakat bahwa nusyuz menghilangkan hak
nafkah istri, tetapi mereka berbeda pendapat tentang batasan perilaku
nusyuz (tidak taat) yang menyebabkan hilangnya hak nafkah tersebut.
Perbedaan ini timbul atas dasar perbedaan pandangan tentang aspek
perkawinan yang menimbulkan kewajiban nafkah.
34
nafkah. Pendapat ini berbeda dari pendapat mazhab lainnya. Karenanya
menurut Hanafi, Imamiyah, dan satu golongan dari Hanabilah bahwa
istri yang sakit, mandul, dan mengalami kelainan pada alat seksualnya
hak nafkahnya tidak gugur, sedangkan menurut Maliki gugur.
Mazhab selain Hanafi berpendapat sama bahwa walaupun istri tidak
keluar rumah tetapi dia tidak memberikan kemungkinan suami untuk
menggaulinya dan berkhalwat dengannya tanpa adanya alasan yang
logis serta dibenarkan oleh
syara’
maka istri tersebut dipandang nusyuz
dan tidak berhak atas nafkah.
Ulama Syafi’iyah bahkan lebih mengkhususkan bahwa walaupun
istri masih bersedia digauli dan berkhalwat dengan suami, kalau dia
tidak menawarkan dirinya seraya mengatakan dengan tegas,
“aku
menyerahkan diriku padamu”
, istri tersebut belum cukup patuh. Namun
35