i
KAJIAN LITERATUR RASIONALITAS PERESEPAN ANTIBIOTIKA BERDASARKAN KRITERIA GYSSENS PADA PASIEN PEDIATRIK RAWAT INAP DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE
JANUARI 2013
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh :
Realita Rosada
Nim : 108114088
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
Halaman Persembahan
Karya ini kupersembahkan untuk: Keluarga Tercinta, Terima kasih atas support dan doanya (Papah, Mama, Iki, Iham, Kakek, Nenek (alm), Saudara-saudari yang terkasih di
Palangka raya) Dosen Pembimbing yang selalu setia, sabar, dan cekatan, thank you very much
vii PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.Penulisan
skripsi ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.Penulis
menyadari sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sejak penyusunan proposal sampai
dengan terselesaikannya skripsi ini. Bersama ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dekan Fakultas Farmasi Sanata Dharma yang telah memberikan sarana
dan prasarana kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
2. Staf Instalasi Rekam Medik dan Diklit RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang telah membantu dalam proses pengumpulan data dan proses pembuatan izin penelitian.
3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., Ph.D. selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis dalam
penyusunan Skripsi ini.
4. Orang tua beserta keluarga penulis yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat baik moral maupun material.
viii
6. Para sahabat A.A. Sagung Intan, Maria Carolina, Gede Wiwid Santika, Defilia Anogra, dan Ni Made Putri Laksmi Dewi teman-teman FKK A
2010, FSM 2010 dan kakak kos Dewi 2 yang selalu memberi dukungan dan semangat dalam menyelesai skripsi ini.
7. Serta pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu atas bantuannya secara langsung maupun tidak langsung sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini dapat
ix DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… ii
HALAMAN PENGESAHAN……… iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi
PRAKATA……….. vii-viii DAFTAR ISI……….. ix-xi DAFTAR TABEL……….. xii
DAFTAR GAMBAR………. xiii
DAFTAR LAMPIRAN………. xiv
INTISARI……….. xv
ABSTRACT……….. xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……… 1-5 1. Perumusan Masalah……….. 5
2. Keaslian Penelitian……… 5-8 3. Manfaat Penelitian……… 8-9 B. Tujuan Penelitian 1. Umum……… 9
2. Khusus……… 9
x
A. Antibiotika……… 10-12
B. Pengunaan Antibiotika………. 13-16
C. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotika ………...… 16-21
D. Keterangan Empiris……….. 22
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian……… 23
B. Variabel dan Definisi Operasional……… 23-25
C. Subyek Penelitian………... 25
D. Bahan Penelitian……… 25-26
E. Alat Penelitian...………...… 26
F. Tempat Penelitian……….... 26
G. Waktu Pengambilan Data………..…. 26
H. Tata Cara Penelitian……….. 26-30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Profil Pasien………...…..… 31-32
B. Profil Penyakit Infeksi..………..……… 32-34
C. Profil Peresepan Antibiotika……….. 34-42
D. Kualitas Penggunaan Antibiotika……… 42-76
E. Keterbatasan Penelitian...……… 76-78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………. 79
B. Saran……… 80
xi
LAMPIRAN……… 86-213
xii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel I. Distribusi jumlah pasien berdasarkan range usia pada
pasien pediatrik periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.………...…… 32
Tabel II. Diagnosis utama penyakit pada pasien pediatrik periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta.………. 33
Tabel III. Diagnosis penyerta penyakit pada pasien pediatrik periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta.………...…... 33 Tabel IV. Golongan dan jenis antibiotika pada pasien pediatrik
periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.………...….... 35 Tabel V. Durasi lama penggunaan antibiotika pada pasien
pediatrik periode januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta.………... 40-41
Tabel VI. Kualitas penggunaan antibiotika berdasarkan metode Gyssens pada pasien pedratrik periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Perbandingan jumlah pasien pediatrik laki-laki dan
perempuan yang menerima antibiotika periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta………….. 32 Gambar 2. Diagram presentase rute penggunaan antibiotika pada
pasien pediatrik periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.………... 39 Gambar 3. Diagram presentase bentuk sediaan penggunaan
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Lembar/form data pengobatan pasien………..…….. 86
Lampiran 2. Surat izin penelitian dari RSUP Dr. Sardjito………. 87
Lampiran 3. Ethical clearance………... 88
Lampiran 4. Uraian lengkap kasus pada pasien pediatrik Periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta ………...…...… 89-173 Lampiran 5. Tabel hasil evaluasi persepan antibiotika
pada pasien pediatrik periode Januari 2013
xv Intisari
Meningkatnya prevalensi peresepan antibiotika yang tidak rasional merupakan salah satu penyebab timbulnya resistensi bakteri terhadap antibiotika. Hal ini menjadi problem utama dalam perawatan pasien. Resistensi bakteri akan memperpanjang lama tinggal di rumah sakit, meningkatkan biaya perawatan dan bahkan meningkatkan mortalitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji rasionalitas peresepan antibiotika berdasarkan literatur pada pasien pediatrik rawat inap RSUP Dr. Sardjito periode Januari 2013 menggunakan metode Gyssens.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif evaluatif menggunakan data retrospektif. Kriteria Gyssen merupakan suatu diagram alir untuk membantu mengevaluasi kualitas/kerasionalan peresepan antibiotika.
Dari 31 kasus, penyakit terbanyak yang dialami pasien adalah pneumonia 25% dan antibiotika terbanyak yang digunakan gentamisin 23%. Penelitian ini menemukan 53,6% peresepan antibiotika termasuk rasional menurut kriteria Gyssens dan 46,4% termasuk tidak rasional menurut kriteria Gyssens. Adanya peresepan antibiotika yang kurang rasional menyebabkan perlunyapengawasan untuk meningkatkan kualitas peresepan antibiotika.
xvi ABSTRACT
The increasing prevalence of prescribing antibiotics that are not rational causes of the incidence of bacterial resistance to antibiotics. this become a major problem in the treatment of patients. A resistant bacterial infections will extend the length of stay in hospital, increasing maintenance costs and even increase mortality. This research aims to analyze the rationality of prescribing antibiotics based on the literature on inpatient pediatric patients was Dr. Sardjito period January 2013 Gyssens method.
This research is a descriptive evaluative using data retrospective. The Gyssen criteria is a flow chart category of antibiotics to determine the quality or rationality of antibiotic prescribing.
Of the 32 cases, most patients experienced disease was pneumonia 25% and most used antibiotic gentamicin 23% This research finding 53,6% prescribing antibiotics including to rational according to Gyssens criteria and 46,4% including to not rational according to Gyssens criteria. The existence of the less rational prescribing antibiotics causing the need for oversight to improve the quality of antibiotic prescribing.
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Antibiotika pertama kali mulai diperkenalkan untuk pengobatan pada
manusia pada tahun 1940. Sepanjang 60 tahun belakangan antibiotika telah banyak digunakan. Mulanya dikembangkan untuk mengobati penyakit infeksi pada manusia, namun selanjutnya digunakan pula dalam bidang kedokteran
hewan, pertanian dan budi daya perairan. Namun demikian, penggunaan antibiotika yang luas dan penggunaannya yang tidak sesuai (inappropriate)
dapatmenyebabkan bakteri resisten (Barbosa dkk, 2000).
Banyaknya pemakaian antibiotika dan penggunaanya yang sering salah atau tidak sesuai, tidak diragukan lagi itu merupakan penyebab utama tingginya
jumlah patogen dan bakteri komensal resisten di seluruh dunia (Barbosa dkk, 2000). Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan akan obat baru pada saat fase
penemuan antibiotika menurun secara drastis. Mengurangi penggunaan antibiotika yang tidak tepat dianggap sebagai cara terbaik dalam mengontrol resistensi (Bruton dkk, 2008).
Pemakaian antibiotika selama 5 dekade terakhir mengalami peningkatan yang luar biasa, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga menjadi
antibiotik yang tidak diperlukan (unnescecery prescribing) dari 150 juta peresepan setiap tahun (Akalin,2002).
Penggunaan obat yang rasional secara sederhana diartikan sebagai meresepkan obat yang tepat, dalam dosis yang kuat untuk durasi yang cukup dan
sesuai dengn kebutuhan klinis pasien, serta dengan harga yang paling rendah (Ambwani dkk, 2006). Konsep dan indikator – indikator penggunaan obat yang rasional tersebut juga berlaku bagi peresepan antibiotika. Menurut WHO (World
Health Organization) penggunaan antibiotika yang tepat adalah penggunaan antibiotika yang efektif dari segi biaya dengan peningkatan efek teraupetik klinis,
meminimalkan toksisitasobat dan meminimalkan terjadinya resitensi (WHO,2001)
Penjualan antibiotika di dunia diperkirakan dua per tiganya dilakukan tanpa ada persepan. Hasil penelitian dari studi Antimicrobial Resistence in
Indonesia (AMRIN study) tahun 2000 - 2004 menunjukkan bahwa terapi antibiotik diberikan tanpa indikasi di RSUP Dr Kariadi Semarang sebanyak 20 -
53% . Dalam penelitian tim AMRIN study juga didapatkan peresepan antibiotika terjadi pada anak dengan prevalensi tinggi yaitu 76%(Hadi,2008).
Tingginya kejadian penyakit infeksi pada pasien anak di rawat inap
menyebabkan antibiotika sering diresepkan sebagai obat yang digunakan untuk melawan kuman penyebab penyakit infeksi (Bauchner, 1999; Kemenkes, 2011a).
Sebuah studi di dua kota besar di Indonesia (Semarang dan Surabaya) menemukan 76% peresepan antibiotika ditujukan untuk kelompok pasien anak
Pemberian antibiotika berlebihan pada anak tampaknya memang semakin meningkat dan semakin mengkawatirkan. Sebenarnya permasalahan ini dahulu
juga dihadapi oleh negara maju seperti Amerika Serikat.Menurut penelitian US National AmbulatoryMedical Care Survey, pada tahun 1989, setiap tahun sekitar
84% anak mendapatkan antibiotika. Hasil lainnya didapatkan 47,9% resep pada anak usia 0-4 tahun terdapat antibiotika. Angka tersebut menurut perhitungan banyak ahli sebenarnya sudah cukup mencemaskan. Dalam tahun yang sama, juga
ditemukan resistensi kuman yang cukup tinggi karena pemakaian antibiotika berlebihan tersebut (Judarwanto, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Bauchner (1999) dan Darmansjah (2008) terdapat sekitar 90% peresepan antibiotika pada pediatrik untuk penyakit virus dengan gejala demam. Penelitian lain yang dilakukan oleh tim AMRIN terdapat
49 sampai dengan 97 persen pasien anak yang menjalani rawat inap dan menerima peresepan antibiotika yang sebagian besarnya 46-54% dianggap tidak
diperlukan dan tidak tepat indikasi (Hadi et al., 2008)
Penggunaan obat antibiotika untuk mengobati infeksi tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Para ahli memperingatkan dokter dan perawat
untuk lebih berhati-hati dalam memberikan antibiotika dosis tinggi terutama pada pasien pediatrik karena penggunaan antibiotika yang irrasional atau berlebihan
pada pediatrik tampaknya memang semakin meningkat dan semakin mengkawatirkan.Penggunaan antibiotika berlebihan atau penggunaan irrasional
keselamatan dan kesehatan pada pasien pediatrik nantinya. Pemberian antibiotika yang terlalu banyak atau terlalu sedikit juga dapat mempengaruhi efektivitas dan
toksisitas dari obat itu sendiri (Bahrarah, 2010).
Tingginya peresepan antibiotika yang ditujukan pada pasien anak akan
menimbulkan potensi terjadinya ketidakrasionalan penggunaan antibiotika. Ketidakrasionalan penggunaan antibiotika diartikan sebagai penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dengan salah satu atau lebih dari beberapa kriteria
berikut: tepat indikasi, penderita, obat, dosis, dan tidak waspada terhadap efek samping yang ditimbulkan (World Health Organization, 2001). Ketidakrasionalan
penggunaan antibiotika pada anak yang sering ditemui adalah ketidaktepatan pada indikasi penggunaan antibiotika.Salah satu penyebab utamanya adalah klinisi tidak dapat membedakan infeksi bakterial dan infeksi virus yang terjadi pada anak
dengan gejala demam. Hal ini menyebabkan klinisi mengindikasikan antibiotika pada hampir semua anak yang mengalami gejala demam (Darmansjah, 2008).
Hasil penelitian Antimicrobial Resistan Indonesia (AMRIN-Study) terbukti dari 2494 individu di masyarakat, 43% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain: ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan
kloramfenikol (25%). Hasil penelitian 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% Escherichia coliresisten terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu
ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%) ( Kemenkes RI, 2011).
ditujukan untuk mengetahui kualitas penggunaan antibiotika pada pasien pediatrik rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode bulan Januari 2013, sehingga
hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk melihat profil peresepan penggunaan antibiotika, profil penyakit dan kualitas penggunaan antibiotika di
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode bulan Januari 2013.
1. Perumusan Masalah
a. Bagaimana gambaran profil peresepan antibiotika pada pasien
pediatrik rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari 2013?
b. Bagaimana profil penyakit infeksi pada pediatrik rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari 2013 menurut hasil diagnosis kerja yang tercantum di Rekam Medis?
c. Bagaimana kerasionalan peresepan antibiotika pada pasien pediatrik rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari 2013
yang dikaji dengan metode Gyssen? 2. Keaslian Penelitian
Penelitian Mengenai Kajian Literatur Rasionalitas Penggunaan
Antibiotika dengan Metode Gyssens Pada Pasien Pedriatrik Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Daerah Istimewa Yogyakarta Periode BulanJanuari
2013belum pernah dilakukan. Ada pula penelitian terkait yang pernah dilakukan sebelumnya antara lain:
dilakukan oleh Tia Febiana (2012) dengan jenis penelitian non- Eksperimental dengan desain observasional deskriptif dengan
pendekatan retrospektif dengan hasil pengunaan antibiotika secara kuantitas didapat antibiotik yang paling banyak digunakan adalah
seftriaxon, sedangkan kualitas penggunaan antibiotika yang masuk dalam kategori 0 adalah sebesar 55,1%. Pada penelitian ini terdapat 2 metode pendekatan yang digunakan yakni, pendekatan dengan
metode kuantitatif DDD dan metode kualitatif Gyssens sementara pada penelitian penulis metode yang digunakan hanya metode
kuantitatif Gyssen.
b. Studi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Sistem ATC/DDD dan Kriteria Gyysens di Bangsal Penyakit Dalam RSUP DR.M.Djamil
Padang. Penelitian dilakukan oleh Lestari, Almahdy, Zubir, dan Darwin (2011) dengan jenis studi observasional menggunakan
desain cross-sectional, dan diperoleh hasil dari 105 resep yang diterima penyakit dalam secara kuantitatif dengan sistem ATC/DDD yang terbanyak yaitu seftriakson 38,955 DDD/100pasien-hari
dengan kode ATC J01DD04 sedangkan yang paling sedikit yaitu gentamisin 0,507 DDD/100pasien-hari dengan kode ATC J01DH02.
Sedangkan studi penggunaan antibiotik secara kualitatif dengan alur kriteria gyssens yang tepat atau kategori I sebesar 43,18% dan yang
penelitian ini subjek uji yang digunakan adalah pasien dewasa yang di rawat inap sementara pada penelitian penulis subjek uji yang
digunakan adalah pasien pediatrik rawat inap. Perbedaan lainnya terletak pada metode yang digunakan dimana pada penelitian ini
terdapat 2 metode yang digunakan yaitu metode analisis secara kuantitatif dengan menggunakan DDD dan metode analisis secara kualititatif dengan menggunakan metode Gyssens sedangkan peneliti
hanya menggunakan metode analisis kualitatif dengan menggunakan metode Gyssens.
c. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Pediatrik Penderita Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD Purbalingga Tahun 2009. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
retrospektif dan dianalisis secara deskriptif non analitik dari data rekam medik. Sampel yang digunakan diambil secara menyeluruh
dengan jumlah sampel sebanyak 117 pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien terbanyak yaitu anak-anak sebanyak 106 (45,74%) pasien, berdasarkan jenis kelamin jumlah
terbanyak yaitu pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 68 (58,12%) pasien. Kesesuaian jenis antibiotika dengan SPM RSUD Purbalingga
sebesar 30,44%, dengan SPM PAPDI 80,34%. Kesesuaian dosis berdasarkan SPM RSUD Purbalingga sebesar 64,95%, dengan SPM
penelitian dan metode penelitian yang digunakan, selain itu jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 117 sedangkan
peneliti hanya menggunakan 32 sampel, dengan tempat penelitian adalah di RSUP Dr. Sardjito Daerah Istimewa Yogyakarta periode
bulan januari 2013 menggunakan metode Gyssens. Perbedaan Penggunaan Antibiotik Sebelum dan Sesudah Pelatihan Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP. Dr. Kariadi yang dilakukan oleh Fenny
Halim (2011) dengan menggunakan quasy experimental pre-test and posttest design. Penggolongan rasionalitas penggunaan antibiotik
diukur dengan metode Gyssen dengan hasil terdapat peningkatan penggunaan antibiotik sebesar ± 9% sesudah dilakukan pelatihan dan biaya penggunaan antibiotik secara umum meningkat sebesar 29%
.Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terletak pada tempat penelitian,waktu penelitian dan metode
penelitian yang digunakan, dengan tempat penelitian adalah di RSUP Dr. Sardjito Daerah Istimewa Yogyakarta periode bulan Januari 2013 menggunakan metode Gyssens.
3. Manfaat Penelitian
a. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian selanjutnnya
Mendapatkan informasi mengenai kerasionalan penggunaan antibiotika berdasarkan kriteria Gyssens. Penelitian ini dapat
kualitas berdasarkan kriteria Gyssens dan dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian selanjutnya.
b. Bagi pelayanan kesehatan
Menjadi bahan evaluasi kualitas penggunaan antibiotika di rumah
sakit.
B. Tujuan Penelitian 1. Umum
Mengevaluasi kualitas peresepan antibiotika pada pasien pediatrik rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode bulan Januari
2013 yang dievaluasi dengan menggunakan metode Gyssen. 2. Khusus
a. Mengidentifikasi profil penyakit infeksi pada pasien pediatrik
rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periodeJanuari 2013 berdasarkan diagnosis kerja pada data rekam medis dan
kemungkinan adanya penyakit penyerta pasien.
b. Mengidentifikasi profil peresepan antibiotika pada pasien pediatrik rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode
Januari 2013.
c. Melihat rasionalitas peresepan antibiotika pada pasien pediatrik
rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari 2013 dikaji dari segi kualitas penggunaan antibiotika menurut
10 BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Antibiotika
Antibiotika merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh
mikroorganisme (bakteri dan jamur), yang mempunyai kemampuan dalam menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme. Antibiotika yang relatif non-toksik bagi pejamunya digunakan sebagai agen kemoterapetik
dalam pengobatan penyakit infeksi pada manusia, hewan, tanaman. Istilah ini sebelumnya digunakan terbatas pada zat yang dihasikan oleh mikroorganisme,
tetapi penggunaan istilah ini meluas meliputi senyawa sintetik dan semisintetik dengan aktivitas kimia yang mirip (Dorland, 2010).
Antibiotika memiliki sifat toksisitas selektif, yang artinya bersifat
sangat toksik terhadap mikroba tetapi relatif tidak toksik terhadap hospes. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, antibiotika memiliki dua aktivitas yaitu
bakteriostatik dan bakterisid. Bakteriostatik bersifat menghambat pertumbuhan mikroba sedangkan bakterisid bersifat membunuh mikroba (Katzung, 1997).
1. Jenis Antibiotika
Berdasarkan spektrum kerja, antibiotika dibagi menjadi dua kelompok, yaitu berspektrum sempit (misalnya streptomisin) dan berspektrum
efektivitas kliniknya belum tentu seluas spektrumnya sebab efektivitas maksimal diperoleh dengan menggunakan obat terpilih untuk infeksi yang
diderita terlepas dari efeknya terhadap mikroorganisme lain. Selain itu antibiotika berspektrum luas cenderung menimbulkan infeksi oleh kuman atau
jamur yang resisten (Staf Pengajar FKUI, 2007).
2. Penggolongan antibiotika berdasarkan struktur kimia
Berdasarkan struktur kimianya antibiotika dibedakan menjadi :
1. B-laktam, contoh antibiotik : penisilin, sefalosforin dan karbapenem. 2. Makrolida, contoh antibiotik : eritromisin, spiramisin, azitromisin,
klaritromisin.
3. Aminoglikosida, contoh : streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin, amikasin, tobramisin.
4. Fluorokuinolon, contoh : siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin. 5. Tetrasiklin, contoh : tetrasiklin, doksisiklin, oksitetrasiklin.
6. Kuinolon, contoh : asam nalidiksat
7. Glikopeptida, contoh : vankomisin, teikoplanin.
8. Antibiotika jenis lain : kloramfenikol, tiamfenikol,metronidazol,
kotrimoksazol, klindamisin.
( Kasper et. al., 2005, Setiabudi, 2007).
3. Mekanisme kerja antibiotika
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotika dibedakan menjadi 5
1. Inhibisi sinstesis protein bakteri. Sel dari bakteri akan mensitensis berbagai macam protein yang berada di ribosom dengan bantuan
mRNA dan tRNA. Penghambatan ini terjadi melalui interaksi antara ribosom dengan bakteri, antibiotika yang termasuk kelompok ini
adalah aminoglikosida, makrolida, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Selain aminoglikosida, pada umumnya obat ini bersifat bakteriostatik.
2. Inhibisi sintesis dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri terdiri dari polipeptidoglikan yang merupakan suatu kompleks polimer
glikopeptida. Antibiotika golongan ini dapat mengakibatkan lisis sel pada bakteri. Antibiotika yang termasuk dalam golongan ini adalah sefalosforin, penisilin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin yang
pada umumnya bersifat bakterisidal.
3. Inhibisi metabolisme bakteri (antibiotika yang mempengaruhi sitesis
asam folat dari bakteri. Antibiotika yangtermasuk dalam golongan ini adalah sulfonamida, trimetoprim, aal paminosalisilat dan sulfon yang pada umumnya bersifat bakteriostatik.
4. Inhibisi sitesis atau aktivitas asam nukleat dari bakteri. Antibiotika yang temasuk golongan ini adalah rimfapisin dan antibiotika golongan
kuinolon.
5. Antibiotika yang mempengaruhi permeabilitas membran sel bakteri.
Antibiotika yang termasuk golongan ini adalah polimiksin.
B. Penggunaan antibiotika
Penggunaan antibiotika secara bijak erat kaitannya dengan
penggunaan antibiotika berspektrum sempit dengan indikasi yang tepat, tepat dosis, serta pemakaian tidak lebih lama dari yang dibutuhkan.Terapi inisial
dapat menggunakan antibiotik spektrum luas dan sebaiknya segera disesuaikan setelah hasil laboratorium mikrobiologi keluar. Proses ini disebut
streamlining(Staf Pengajar FKUI, 2008). Hal ini tidak hanya mengubah dari spektrum luas ke spektrum yang lebih sempit, tetapi juga dari terapi kombinasi ke terapi tunggal, serta dari antibiotika jenis baru ke jenis yang
lebih lama. Strategi ini lebih menguntungkan dalam hal biaya, dapat menambah pengalaman dengan obat jenis lama terhadap jenis infeksi yang sama serta pencegahan terjadinya resistensi. Indikasi yang tepat diawali
dengan diagnosis infeksi yang tepat. Antibiotika tidak diresepkan pada kasus infeksi virus atau self limited disease (Dertarani, 2009).
1. Penggunaan antibiotika pada pasien anak
Anak-anak berbeda dengan orang dewasa terutama pada dosis yang digunakan. Kurangnya data penting mengenai farmakokinetika dan
farmakondinamika pada anak yang sering menimbulkan masalah keamananan dalam penggunaan obat maupun antibiotika pada anak (Staf Pengajar FKUI,
2008).
Efektivitas dan keamanan obat itu berbeda antara pada anak dan dewasa.
yang mudah. Pada penemuaan obat baru, penelitian farmakologis dan toksikologis umumnya dilakukan pada populasi dewasa, sehingga informasi
yang didapat pada anak-anak dan bayi sangat kurang (Staf Pengajar FKUI, 2008).
Dalam penggunaan obat perlu memperhatikan perubahan fungsi organ yang sedang tumbuh ataupun berkembang yang terjadi pada anak-anak. Perkembangan organ tersebut akan mengakibatkan distribusi, metabolisme dan
eliminasi obat pada anak yang dapat berbeda. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain (Staf Pengajar FKUI, 2008) :
a. Absorpsi
Pada labung dengan pHnetral pada saat kelahiran , namun akan turun ke tingkat dewasa pada umur 2-3 tahun. Pengosongan lambung juga lebih
lambat pada 3 bulan pertama. Obat yang tidak stabil terhadap asam, seperti penisilin oral, akan lebih efisien jika diabsorpsi pada usia anak 3
bulan pertama dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau dewasa. Absorpsi obat yang bervariasi di saluran cerna, tempat injeksi intrmuskular, dan kulit perlu diperhatikan terhadap pasien anak,
terutama pada bayi prematur dan bayi yang baru lahir.
b. Distribusi
distribusi dari obat, yang dapat mempengaruhi waktu paruh dan kosentrasi obat- obat tertentu.
c. Metabolisme
Banyak obat termasuk antibiotika yang akan mengalami
biotransformasi metabolik sebelum tereliminasi dari tubuh. Sebagian dari transformasi tersebit akan dipengaruhi oleh berbagai macam sistm ensim yang terdapat di hati. Pada bayi, organ dan enzim masih dalam
bentuk proses berkembang.
d.Ekskresi
Pada bayi yang baru lahir, fungsi ginjal masih kurang efisien dibandingkan dengan anak-anak, karena fungsi dari glomerulus dan tubulus sedang mengalami pematangan. Kecepatan klirens pada bayi
yang baru lahir sekitar sepertiga dari anak-anak. Namun pada sebagian besar bayi dapat mencapai filtrasi glomelurus seperti yang terjadi pada
orang dewasa pada usia 12 bulan.
Metode dalam pemberian obat yang khusus sering diperlukan pada bayi dan anak. Banyak obat yang diperlukan pada anak namun kadang tidak tersedia
dalam sediaan yang tepat untuk digunakan pada anak, oleh karena itu sediaan obat pada orang dewasa perlu dimodifikasi agar dapat diterima oleh bayi dan anak
Berdasarkan penggunaannya, antibiotika digunakan dalam 3 jenis terapi yaitu :
a. Terapi empiris : terapi yang diberikan berdasarkan diagnosis klinis dengan pendekatan ilmiah dari klinisisebelum mikroorganisme penyebab dapat
diidentifikasi dan antibiotika yang spesifik dapat ditentukan.
b. Terapi definitif : pemberian antibiotika untuk mikroorganisme spesifik yang menyebabkan infeksi aktif.
c. Profilaksis : pemberian antibiotika untuk mencegah agar tidak terjadi infeksi.
Kualitas penggunaan antibiotika untuk terapi empiris dan profilaksis umumnya dinilai dari data yang tersedia di penelitian lokal dan resistensi mikroba serta dari informasi yang didapatkan pada epidemiologi infeksi dan organisme
penyebab lokal ( Gyssens, 2005)
C. Kajian Rasionalitas penggunaan antibiotika
Pengkajian kualitas penggunaan antibiotika dapat dilakukan dengan pendekatan retrospektif dengan melihat rekam medik. Penilaian penggunaan
antibiotika yang rasional atau tidak rasional berdasarkan indikasi, dosis, lama pemberian, pilihan jenis, dan lain-lain (Shea, 2001).
Penilaian peresepan antibiotika yang akan dilakukan menggunakan metode Gyssens (2001) yang terbagi dalam kategori 0-VI dan akan dinyatakan
dalam presentase(Van Der Meer, 2003). Metode Gyssens ini berbentuk diagram alir yang diadaptasi dari kriteria (Kunin et. al). Metode ini mengevaluasi seluruh
aspek mengenai peresepan antibiotika, misalnya seperti penilaian peresepan atau penggunaan alternatif yang lebih efektif, lebih tidak toksik, lebih murah, spektrum lebih sempit. Selain itu juga dievaluasi lama penggunaan obat dan dosis, interval
rute pemberian serta waktu pemberian (Gyssens, 2005).
Diagram alir Gyssen ini merupakan alat yang sangat penting untuk menilai
Gambar diagram alur penilaian kualitas pemberian antibiotika metode Gyssens
Evaluasi antibiotika dimulai dari kotak yang paling atas, yaitu dengan melihat apakah data pasien sudah lengkap atau tidak untuk bisa digunakan dalam
mengkategorikan penggunaan antibiotika.
1. Bila data tidak lengkap, berhenti di ketgori VI.
Data tidak lengkap adalah data rekam medis tanpa diagnosis kerja, atau ada halaman rekam medis yang hilang sehingga tidak dapat dievaluasi. Pemeriksaan penunjang/laboratorium tidak harus dilakukan
karena mungkin tidak ada biaya, dengan catatan sudah direncanakan pemeriksaannya untuk mendukung diagnosis. Diagnosis kerja dapat
ditegakkan secara klinis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bila data lengkap, dilanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada infeksi yang membutuhkan antibiotika?
2. Bila tidak ada indikasi pemberian antibiotika, berhenti di kategori V.
Bila antibiotika memang terindikasi, lanjutkan dengan pertanyaan di
bawahnya. Apakah pemilihan antibiotika sudah tepat ?
3. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif, berhenti di kategori IVa.
Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif lain yang kurang toksik ?
Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif lain yang spektrumnya lebih sempit ?
5. Bila ada pilihan antibiotika lain yang lebih murah, berhenti di kategori IVc.
Bila tidak, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya, apakah ada alternatif lain yang spektrumnya lebih sempit ?
6. Bila ada pilihan antibiotika lain dengan spektrum yang lebih sempit, berhenti di kategori IVd.
Jika tidak ada alternatif lain yang lebih sempit, lanjutkan dengan
pertanyaan di bawahnya, apakah durasi antibiotika yang diberikan terlalu panjang ?
7. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu panjang, berhenti di kategori IIIa.
Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan apakah durasi antibiotika terlalu
singkat ?
8. Bila durasi pemberian antibiotika terlalu singkat, berhenti di kategori IIIb.
Bila tidak, diteruskan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah dosis antibiotika yang diberikan sudah tepat ?
Bila dosisnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, apakah interval antibiotika yang diberikan sudah tepat ?
10.Bila interval pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIb.
Bila intervalnya tepat, lanjutkan dengan pertanyaan di bawahnya. Apakah rute pemberian antibiotika sudah tepat ?
11.Bila rute pemberian antibiotika tidak tepat, berhenti di kategori IIc.
Bila rute tepat, lanjutkan ke kotak berikutnya.
12.Bila timing pemberian tidak tepat, berhenti dikategori I
13.Bilaantibiotika tidak termasuk kategori I sampai dengan VI, antibiotika tersebut merupakan kategori 0.
D. Keterangan Empiris
Masih terdapat ketidakrasionalan dalam peresepan antibiotika pada
pasien pediatrik yang menjalani rawat inap. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kualitas peresepan antibiotika pasien pediatrik rawat
23 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian kajian literatur rasionalitas antibiotika berdasarkan kriteria
Gyssens pada pasien pediatrik rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode bulan Januari 2013 merupakan jenis penelitian deskriptif evaluatif dengan rancangan penelitian cross sectional menggunakan data retrospektif.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel
a. Profil pasien
Profil pasien dalam penelitian ini meliputi umur, berat badan jenis kelamin.
b. Profil penyakit infeksi
Dalam penelitian ini yang dimaksud jenis penyakit infeksi
yang terjadi pada pasien pediatrik yang ditetapkan berdasarkan diagnosis kerja yang tertulis di rekam medik.
c. Profil peresepan obat
Disini profil peresepan obat meliputi :
1. Golongan antibiotika yang dimaksud dalam penelitian
2. Jenis antibiotika misalnya ampisilin, gentamisin, rifampisin dll.
3. Rute pemberian, misalnya intravena dan per oral.
4. Lama penggunaan yaitu jumlah hari penggunaan antibiotika.
5. Bentuk sediaan misalnya injeksi, tablet, dan sirup.
d. Kualitas / rasionalitas persepan antibiotika.
Kualitas/ rasionalitas ini di evaluasi menggunakan metode Gyssens (2011) yang akan dimasukkan dalam 10 kategori dengan
kategori sebagai berikut : 0 : penggunaan tepat /rasional
I :timingtidak tepat
IIA : tidak tepat dosis
IIB : tidak tepat interval
IIC : tidak tepat cara pemberian
IIIA : pemberian yang terlalu lama
IIIB : pemberian yang terlalu singkat
IVA : ada antibiotika lain yang lebih efektif
IVB : ada antibiotika lain yang kurang toksik
IVD : ada antibiotika lain yang lebih spesifik
V : penggunaan antibiotika tanpa ada indikasi
VI : rekam medik tidak lengkap untuk dievaluasi
Golongan 0 termasuk kategori rasional.
Golongan I-V termasuk kategori tidak rasional
Pada penelitian ini kajian rasionalitas peresepan antibiotika dilakukan dengan menggunakan kriteria Gyssens (Gyssens &
Meers, 2001). Literatur seperti , Tan & Rahardja (2007), Kemenkes (2011), Lacy, Amstrong, Goldman, Lace (2011), SPM (Standar
Pelayanan Medik) RSUP Dr. Sardjito (2005) , berbagai buku farmakoterapi seperti Sukandar, dkk, (2008), Dipiro & Schwinghammer, Dipiro (2009), Gunawan (2012), dan berbagai
jurnal terkait.
C. Subyek Penelitian
Subyek penelitian terdiri dari pasienpediatrik rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode bulan Januari 2013.
D. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah lembar rekam medik pasien pediatrik yang menerima resep obat antibiotika berdasarkan SPM
Yogyakarta periode bulan Januari 2013 yang ditulis oleh dokter, perawat dan apoteker mengenai data klinis pasien, pengobatan, dan pemeriksaan
lainnya yang dilakukan.
E. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
1. Form yang digunakan untuk mengambil data pengobatan pasien (Lampiran 1).
2. Diagram Gyssen yang digunakan untuk mengkaji rasionalitas peresepan antibiotika. Literatur untuk mengkaji seperti yang telah
disebutkan di atas. F. Tempat Penelitian
Penelitian di bangsal anak INSKA II RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta.Bangsal anak INSKA II terdiri atas sub-bagian ruangan yang terbagi atas paviliun VIP Cempaka Mulya, paviliun rawat inap kelas I, II
dan III serta ruang NICU dan PICU.Tempat pengambilan data di instalasi catatan medik RSUP Dr. Sardjito Kota Yogyakarta.
G. Waktu pengambilan data
Pengambilan data dilakukan pada bulan September 2013 – November 2013.
H. Tata Cara Penelitian
Tata cara penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
1. Tahap Orientasi dan Studi Pendahuluan
Pada tahapan ini dilakukan penyusunan proposal kegiatan
dan mengurus perizinan No. 1156/D/VII/13 (Lampiran X).Dilakukan pula pengurusan ethical clearance di RSUP Dr.
Sardjito No.KE/FK/799/EC (Lampiran 3).
Pada tahap orientasi dilakukan pencarian informasi mengenai teknis pengambilan bahan penelitian. Setelah itu
dilakukan studi pendahuluan mengenai teknis pengambilan data secara rinci. Dilakukan studi pendahuluan untuk mencari
informasi tentang gambaran penggunaan antibiotika pada pasien pediatrik rawat inap di RSUP Dr. Sardjito selama periode Januari 2013. Hasil studi pendahuluan selama periode Januari 2013,
tercatat ada 187 rekam medik pasien pediatrik rawat inap.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan, tidak didapatkan data pasti
tentang berapa banyak pasien pediatrik yang benar-benar menggunakan antibiotika.
2. Pengambilan Data
Pengambilan data ini dilakukan dengan cara mencetak print out yang memuat data dasar pasien meliputi (Identitas, diagnosis
masuk, diagnosis penyerta dan tanggal keluar-masuk RS) yang dirawat selama Januari 2013, lalu memilah rekam medik pasien.
inklusi, peneliti mencocokan diagnosis utama dan penyerta dari pasien dengan standar pelayanan medik (SPM) yang digunakan
RSUP Dr. Sardjito sehingga akan didapat data/bahan penelitian yang diperkirakan benar-benar menggunakan antibiotika.
Pencocokan dengan menggunakan SPM merupakan teknis yang paling memungkinkan untuk memastikan bahwa rekam medis yang diambil adalah yang memuat penggunaan antibiotika pada
pasien anak rawat inap di bangsal INSKA II selama periode penelitian, karena sistem yang digunakan RSUP Dr. Sardjito itu
sendiri berbeda dengan rumah sakit lainya terkait dengan masalah teknis akses data yaitu harus membayar setiap rekam medik pasien yang keluar, sedangkan belum tentu semua rekam medik
pasien yang keluar tersebut menerima resep antibiotika.
3. Penelusuran data
Penelusuran data dilakukan dengan cara melihat data rekam medik pasien pediatrik rawat inap yang memuat identitas, tanda vital, riwayat pengobatan, riwayat penyakit, lama tinggal di
rumah sakit, anamnesis, diagnosis, obat yang diberikan (terapi), jenis antibiotika yang diberikan dan data laboratorium serta
keterangan kesembuhan di rumah sakit tersebut.
Data yang di telusuri harus memenuhi kriteria inklusi dan
tidak memenuhi kriteria eksklusi.
1. Rekam medik pasien pediatrik rawat di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari 2013 yang dengan penyakit infeksi
yang menerima resep antibiotika menurut SPM (standar pelayanan medik) di RSUP Dr. Sardjito
2. Rekam medik yang jelas terbaca.
3. Pasien dengan status keluar dari rumah sakit diizinkan dengan keadaan keluar membaik atau sembuh.
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
1. Pasien yang mendapatkan antibiotika pulang paksa sebelum
program pemberian antibiotika pasien tersebut selesai. 2. Pasienmelanjutkanpengobatan di tempat lain.
3. Pasien yang menjalani rawat inap di NICU/PICU.
4. Pasien dengan status meninggal dunia.
4. Pengolahan Data
Pengolahan data akan dilakukan dengan : 1. Editting dan Cleaning
Editting dilakukan dengan memeriksa ulang kelengkapan data – data yang diperoleh dari rekam medik RSUP Dr. Sardjito YogyakartaperiodebulanJanuari 2013.Sedangkan Cleaning
dilakukan dengan memeriksa ulang data-data yang telah dimasukkan.
Analisis data dilakukan secara analisis deskriptif. Analisis deskriptif dilakukan dengan menguraikan data-data yang
didapatkan dari rekam medik antara lain nama antibiotika, jenis antibiotika, dosis, frekuensi, rute pemberian, lama penggunaan,
data demografi (umur, jenis kelamin). Penilaian kualitas penggunaan antibiotika di evaluasi dengan menggunakan kriteria Gyssens. Hasilnya disajikan dalam bentuk tabel berupa presentase
peresepan antibiotika yang rasional atau tidak rasional .
5. Penyajian Data
Hasil yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dengan pembahasannya, yaitu profil pasien, profil penyakit, profil peresepan, evaluasi peresepan antibiotika yang diberikan kepada
31 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian mengenai “Kajian Literatur Rasionalitas Peresepan Antibiotika Berdasarkan Kriteria Gyssens Pada Pasien Pediatrik Rawat Inap Di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta Periode Januari 2013” dilakukan dengan cara menelusuri kasus pasien pediatrik rawat inap yang didiagnosa terkena penyakit infeksi dan menerima resep antibiotika. Disini data rekam medik yang digunakan bersifat
retrospektif.
Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini akan dibahas menjadi beberapa
bagian, yaitu mengidentifikasi profil pasien, profil penyakit infeksi pada pasien pediatrik, mengidentifikasi profil penggunaan antibiotika pada pasien pediatrik dan mengevaluasi rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien pediatrik rawat
inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari 2013 dikaji dari segi kualitas penggunaan antibiotika menurut kriteria Gyssen.
A. Profil Pasien
Selama periode Januari 2013, terdapat 31 pasien yang didiagnosa terkena
penyakit infeksi dan dipastikan menerima resep antibiotika berdasarkan SPM (standar pelayanan medik) yang digunakan oleh RSUP Dr. Sardjito. Berdasarkan 31 rekam medik tersebut, didapatkan distribusi jenis kelamin dan umur, dapat di
Gambar 1. Perbandingan jumlah pasien pediatrik laki-laki dan perempuan yang menerima antibiotika periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta
Tabel I. Distribusi jumlah pasien berdasarkan range usia pada pasien pediatrik periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Range Usia Jumlah pasien Presentase (%)
< 1 bulan - -
1 – 24 bulan 8 25,8%
2-12 tahun 23 74,2%
Total 31 100
Pembagian usia pada pasien pediatrik pada penelitian ini berdasarkan yang telah disebutkan World Health Organization (2007) yang membagi usia
pediatrik menjadi : neonatus (≤ 1 bulan ), bayi (1-24 bulan), serta anak (2-12 tahun).
B. Profil Penyakit Infeksi
Dari 31 rekam medik didapatkan data profil penyakit infeksi yang
Tabel II. Diagnosis utama penyakit pada pasien pediatrik periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Nama Penyakit Jumlah Presentase (%)
Gastroenteritis Akut 4 12,5
Tonsilofaringitis Akut 1 3,1
Asma 3 9,4
Gagal Ginjal Dengan CAPD* 1 3,1
ISK* 1 3,1
Kejang Demam Kompleks 1 3,1
Total 32 100
Keterangan : *ISK (Infeksi Saluran Kemih), HIV (Human Immunodeficiency Virus), CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis), ALL (Acute Leukemia Lymphoblastic)
Tabel III. Diagnosis penyerta penyakit pada pasien pediatrik periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Nama Penyakit Jumlah Presentase (%)
Hipokalimia 1 3,3
Sepsis 4 13,3
Gastroenteritis Akut 3 10,0
ISK* 2 6,7
Ketoasidosis Diabetikum 1 3,3
ALL* 2 6,7
Asidosis Metabolik 1 3,3
Demam Neutropenia 2 6,7
Gizi Buruk Tipe Marasmik 2 6,7
Pneumonia 3 10,0
Tonsilo Faringitis Akut 1 3,3
Krisis Hipertensi 1 3,3
Dari 31 catatan medik didapatkan urutan teratas diagnosis utama penyakit yang paling banyak terjadi adalah pneumonia yaitu sebesar 25% dan
diagnosis penyerta yang paling banyak terjadi adalah sepsis yaitu sebesar 13,3%. Hal ini serupa dengan yang telah dikemukan pada buku Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2010 dan buku Profil Kesehatan Provinsi D. I. Yogyakarta tahun 2011 yang menyatakan bahwa penyakit infeksi merupakan penyakit yang termasuk dalam kategori 10 besar untuk penyakit yang sering ditemui pada pasien
pediatrik rawat inap. Beberapa penyakit infeksi seperti pneumonia dan sepsis neonatal termasuk dalam kategori 10 besar penyakit yang sering ditemui pada
pasien pediatrik rawat inap (Kemenkes 2011; Dinkes Provinsi D. I. Yogyakarta, 2012).
Penelitian serupa yang pernah dilakukan terkait penggunaan antibiotika
adalah penelitian di bangsal anak RSUP Dr. Kariadi periode Agustus – Desember 2011, ditemukan jenis penyakit terbanyak adalah Demam Tifoid (Febiana, 2012).
Penelitian lain yang juga serupa adalah evaluasi kualitatif penggunaan antibiotika dengan metode Gyssens di ruang kelas 3 Infeksi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM yang dilakukan pada tahun 2011ditemukan jenis penyakit terbanyak
adalah infeksi pada saluran pernafasan (ISPA) dengan presentase 30,7% (Pamela, 2011).
C. Profil Peresepan Antibiotika
Tercatat ada 31 rekam medik didapatkan data pola peresepan antibiotika
a. Golongan dan jenis antibiotika
Tabel IV. Golongan dan jenis antibiotika pada pasien pediatrik periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
No Golongan Dan Jenis Antibiotika
dengan jumlah 69 antibiotika yang digunakan. Pada penelitian ini penggunaan antibiotika terbanyak adalah golongan aminoglikosida dengan jenis antibiotika
gentamisin dengan presentase sebesar 23% dan antibiotika yang paling sedikit digunakan adalah azitromisin dan klindamisin. Penelitian serupa yang pernah
Kariadi Semarang periode Agustus - Desember 2011, dilihat dari peresepan yang dilakukan pada 71 pasien, didapatkan distribusi penggunaan antibiotik
yang paling banyak digunakan adalah ampisillin sebanyak 22,8% (Febiana, 2012). Penelitian lainya yang serupa adalah penggunaan antibiotika pada infeksi saluran
pernafasan anak di Bangsal Pediatrik Rumah Sakit Penang, Malaysia. Data didapatkan antibiotika terbanyak yang digunakan adalah penisilin (50,0%), eritromisin (32,1%), amoksisilin (30,2%), asam klavulanat (33,2%). Penelitian
lain yang juga serupa adalah evaluasi kualitatif penggunaan antibiotika dengan metode Gyssens di ruang kelas 3 Infeksi Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSCM yang dilakukan pada tahun 2011 antibiotika yang paling banyak digunakan adalah sefotaksin (19.0%) diikuti oleh kloramfenikol (9,8%) dan ampisilin (9,5%) (Pamela,2011).
Pada penelitian antibiotika yang paling banyak digunakan adalah golongan aminoglikosida dengan jenis antibiotika gentamisin. Menurut (Bueno,
2009), antibiotika dari golongan aminoglikosida merupakan antibiotika yang memiliki spektrum luas dan merupakan antibiotika pilihan yang digunakan terutama untuk menangani infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif,
seperti E. coli, Salmonella spp., Shigella spp., Enterobacter spp., Citrobacter spp., Acinetobacter spp., Proteus spp., Klebsiella spp., Serratia spp., Morganella spp.,
Pseudomonas spp., dan mikrobakteria. Dalam penggunaannya, antibiotika golongan ini jarang berdiri sendiri biasanya dikombinasikan dengan antibiotika
oleh bakteri Gram negatif. Kombinasi antibiotika gentamisin dan ampisilin digunakan sebagai antibiotika lini pertama untuk pasien anak. Hal ini
disebabkan gentamisin yang dikombinasikan dengan penisilin akan menghasilkan efek bakterisid yang kuat, yang sebagian disebabkan oleh penghambatan sintesis
dinding sel. Penisilin mengubah struktur dinding sel sehingga memudahkan penetrasi gentamisin kedalam kuman (Katzung, 2004).
Penggunaan monoterapi antibiotika golongan aminoglikosida akan sama
efektifnya dengan penggunaan kombinasi bila digunakan untuk menangani penyakit infeksi pada wilayah yang tingkat resistensinya terhadap antibiotika
rendah (Reeves, 2010). Akan tetapi tingginya kasus resistensi yang terjadi pada beberapa wilayah di Indonesia (Ieven et al., 2003; Tjaniadi et al., 2003) membuat penggunaan antibiotika golongan ini lebih sering ditemukan dalam penggunaan
kombinasi. (Hardman et al., 2012).Selain itu harga dari antibiotika gentamisin jauh lebih murah daripada antibiotika yang lain sehingga klinisi dan pasien lebih
sering memilih gentamisin untuk digunakan dalam terapi (Hardman et al., 2012).
Gentamisin dan seftazidim dalam penelitian ini banyak ditemui dikarenakan antibiotika ini banyak digunakan untuk pasien pediatrik yang sedang
menjalani kemoterapi karena dikhawatirkan akan terjadi komplikasi demam netropenia selain itu antibiotika ini juga digunakan untuk mencegah terjadinya
infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial adalah Infeksi yang didapat atau timbul pada saat seseorang tersebut dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan
nosokomial biasanya terjadi setelah pasien dirawat minimal 3 x 24 jam di rumah sakit atau 72 jam (Light, 2001). Antibiotika yang digunakan sebagai terapi
profilaksis biasanya digunakan sekali pakai dan dengan dosis besar, oleh karena itu biasanya digunakan antibiotika yang memiliki ambang terapi lebar
sehingga lebih aman untuk digunakan (Katzung, 2004).
Di RSUP Dr. Sardjito antibiotika gentamisin kombinasi dengan seftazidim merupakan antibiotika yang digunakan sebagai terapi profilaksis dengan lama
pemakaian tidak lebih dari 5 hari. Pemakaian lebih dari 5 hari dapat mempertinggi resiko toksik pemakaian gentamisin pada pasien, oleh karena itu
pemakaian yang lama harus dihindari jika gentamisin digunakan sebagai terapi antibiotik profilaksis, namun pemakaian lama (lebih dari 5 hari) untuk terapi penyakit dapat digunakan tapi harus dengan pertimbangan besar dosis
yang diberikan berdasarkan konsentrasi obat dalam serum darah dan monitoring fungsi ginjal serta pendengaran pasien (Katzung, 2004).
Selain itu tingginya penggunaan gentamisin pada penelitian ini dikarenakan gentamisin merupakan salah satu first line therapy untuk kasus pneumonia dan sepsis pada pasien pediatrik (SPM, 2005), mengingat tingginya
angka kejadian pneumonia dan sepsis sebagai penyakit utama dan penyakit penyerta (lihat tabel II dan III) yang terjadi selama periode penelitian sehingga
b. Rute penggunaan antibiotika
Gambar 2. Diagram presentase rute penggunaan antibiotika pada pasien pediatrik periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Di RSUP Dr. Sardjito rute yang paling banyak digunakan adalah rute
intravena yaitu sebanyak 67,6% dibandingkan dengan penggunaan rute per oral yaitu sebanyak 32,4%. Penelitian serupa yang pernah dilakukan terkait penggunaan antibiotika adalah evaluasi penggunaan antibiotik berdasarkan
kriteria Gyssens di bagian ilmu bedah RSUP Dr. Kariadi periode Agustus-Desember 2008 dengan penggunaan antibiotika sebagian besar dengan cara
intravena (84,1%) dan per oral (15,9%) (Dertarani, 2009).
Rute pemakaian intravena lebih dipilih untuk menangani pasien dengan infeksi sedang sampai dengan berat dikarenakan onsetnya yang cepat dan
biaoavailibilitas yang didapatkan melalui rute intravena ini juga lebih besar daripada rute pemberian per oral. Cepatnya onset dan besarnya bioavailibilitas
akan menyebabkan efek aksi dari antibiotika dalam menghambat/membunuh kuman penyebab penyakit infeksi akan lebih maksimal (Hakim, 2012). Sedangkan rute pemberian antibiotika per-oral menjadi pilihan pertama untuk
dipertimbangkan menggunakan antibiotika parenteral seperti rute intravena (Kemenkes, 2011b).
c. Bentuk Sediaan antibiotika
Gambar 3. Diagram presentase bentuk sediaan penggunaan antibiotika pada pasien pediatrik periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Dari 31 rekam medik didapatkan bentuk sediaan antibiotika yang paling
banyak digunakan adalah bentuk sediaan antibiotika yang injeksi dengan presentase sebesar 67,6% sedangkan untuk antibiotika sediaan tablet dengan presentase sebesar 32,4%.
d. Durasi lama penggunaan antibiotika
Tabel V. Durasi lama penggunaan antibiotika pada pasien pediatrik periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Nama Antibiotika
Durasi Lama Pemakaian Antibiotika (Hari)
Lanjutan Tabel V.
Sefiksim 1
Kortimoksazol 1
Kloramfenikol 3
Metronidazol 1 1
Tercatat ada 31 catatan medik yang diperoleh, didapatkan durasi lama penggunaan antibiotika terlama adalah lebih dari atau sama dengan 7 hari,
sedangkan durasi lama penggunaan antibiotika tersingkat selama satu hari.
Durasi lama penggunaan antibiotika untuk sebagian besar penyakit infeksi
adalah selama 3-7 hari (Kemenkes, 2011). Untuk mempermudah, penggunaan antibiotika dibagi dengan interval 1 hari sehingga pembagian interval pada lama
rawat inap menjadi 1, 2, 3, 4,5, 6, sampai dengan lama penggunaan lebih dari 7 hari.
Beberapa faktor kemungkinan besarnya mengenai temuan lama pemakaian
antibiotika 1 sampai dengan 5 hari diantaranya adalah banyak antibiotika yang diresepkan dengan tujuan digunakan sebagai terapi empiris yang dimana untuk
penggunaan terapi empiris lama pemakaian antibiotika adalah 2-3 hari (Permenkes, 2011). Dalam kasus terapi empiris ini antibiotika yang paling sering digunakan adalah antibiotika dengan spektrum luas seperti antibiotika golongan
sefalosporin atau penisilin dengan lama pemakaian antibiotika adalah 2 sampai dengan 3 hari. Pada penelitian ini ditemukan antibiotika yang paling sering
Lama penggunaan antibiotika untuk sebagian besar penyakit infeksi seperti pneumonia, ISK, cystitis, dan sepsis adalah 3 sampai dengan 7 hari (Coyle
dan Prince, 2005; Finch, 2010; Kemenkes RI, 2011a). Dalam penelitian ini ditemukan sebagian besar antibiotika diresepkan dengan lama pemakaian 1
sampai dengan 5 hari.Hal ini relevan dengan temuan jenis penyakit utama dan penyakit penyerta yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini yaitu pneumonia dan sepsis.
D. Kualitas Penggunaan Antibiotika
Evaluasi penggunaan antibiotikadengan pendekatan kualitatif dilakukan
dengan menggunakan kriteria Gyssens.
Tabel VI. Kualitas penggunaan antibiotika berdasarkan metode Gyssens pada pasien pediratrik periode Januari 2013 di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta.
Katetegori Jumlah Presentase (%)
Penelitian ini mendapatkan hasil sebesar 53,7% untuk penggunaan antibiotika yang memenuhi kategori Gyssens 0 (rasional) dan untuk peresepan
antibiotika yang memenuhi kategori Gyssens adalah kategori V (tidak rasional karena penggunaan antibiotika tanpa ada indikasi) sebesar 4,3%. Sisanya
penggunaan antibiotika tidak rasional dengan rincian sebesar 1,5% kategori Gyssens I (penggunaan antibiotika waktu tidak tepat), 14,5 kategori Gyssens IIA (tidak rasional karena pemberian antibiotika yang tidak tepat), 4,3% kategori
Gyssens IIIA (tidak rasional karena pemberian antibiotika yang terlalu lama), 4,3% kategori Gyssens IIIB (tidak rasional karena pemberian antibiotika yang
terlalu singkat), 2,9% kategori Gyssens IVA (tidak rasional karena ada antibiotika lain yang lebih efektif), 14,5% kategori Gyssens IVB (tidak rasional karena ada antibiotika lain yang kurang toksik).
Kajian literatur rasionalitas antibiotika per kasus, menggunakan alur Gyssens yang lebih detail akan disajikan di bawah ini.
1. Kasus 02
Pasien pediatrik dengan diagnosis utama gastroenteritis akut dan diagnosis penyerta hipokalimia menerima antibioka berupa sefotaksim. Dalam kasus ini
penggunaan sefotaksim termasuk dalam kategori 0 (penggunaan antibiotika tepat/bijak). Hal ini berdasarkan kajian literatur yang telah menunjukan
kesesuaian dengan kategori Gyssens. Lolos kategori V karena adanya indikasi penyakit akibat infeksi bakteri. Gastroenteritis akut merupakan penyakit yang
& Rahardja, 2007). Lolos kategori IVa karena tidak ada antibiotika yang lebih efektif dikarenakan pasien sembuh. Lolos kategori IVb karena cukup aman
digunakan dan tidak ada interaksi dengan obat lain (Kemenkes, 2011b). Lolos kategori IVc karena untuk antibiotika sejenis tidak ada yang lebih murah. Lolos
kategori IVd karena antibiotika yang digunakan merupakan terapi lini pertama GEA, khususnya akibat Salmonella (Dipiro, 2009) jadi tidak ada antibiotika lain yang lebih spesifik. Lolos kategori IIIa dan kategori IIIb karena lama penggunaan
antibiotika sesuai dengan waktu yang dianjurkan untuk terapi empiris yaitu 2 – 3 hari (Kemenkes, 2011b). Lolos kategori IIa karena dosis yang digunakan tepat
tepat, dosis antibiotika untuk anak 50–200mg/kgbb/hari dalam 2 – 4 dosis terbagi (APA, 2011 ; ISFI, 2008). Lolos kategori IIb karena interval pemberian sudah tepat, sesuai dengan yang dianjurkan setiap 6 – 12 jam dalam sehari (APA, 2011)
(ISFI, 2008). Lolos kategori Iic karena rute pemberian tepat, pasien mengalami muntah-muntah sehingga pemberian obat secara intravena dirasa tepat. Lolos
kategori I karena waktu pemberian antibiotika sudah sesuai.
2. Kasus 03
Pasien pediatrik dengan diagnosis utama HIV stadium III dengan
diagnosis penyerta sepsis menerima antibiotika berupa seftazidim, ampisilin, gentamisin, dan kortimoksazol. Gentamisin dan ampisilin termasuk dalam
kategori 0 (penggunaan tepat/bijak). Hal ini berdasarkan kajian literatur yang telah menunjukan kesesuaian dengan kategori Gyssen. Lolos kategori V karena
Lolos kategori IVa karena tidak ada antibiotika yang lebih efektif, kondisis pasien membaik dan menurut SPM ampisilin dan gentamisin termasuk dalam first line
untuk terapi sepsis (SPM, 2005). Lolos kategori IVb karena antibiotika cukup aman digunakan dan tidak ada interaksi dengan obat lain. Lolos kategori IVc
karena untuk antibiotika sejenis tidak ada yang lebih murah. Lolos kategori IVd karena antibiotika yang digunakan merupakan terapi lini pertama jadi tidak ada antibiotika lain yang lebih spesifik dan dalam kasus ini belum diketahui jenis
bakteri jadi masih digunakan antibiotika dengan spektrum luas. Lolos kategori IIIa dan IIIB karena lama penggunaan pemberian antibiotika sesuai dengan waktu
yang dianjurkan SPM untuk terapi sepsis menggunakan ampisilin yaitu 2-7 hari (SPM, 2005). Lolos kategori IIa dosis ampisilin sudah tepat untuk anak 50-100 mg/kgbb/hari dalam kasus ini diberikan dosis 800mg dengan BB 8,5kg
(SPM,2005), dosis gentamisin juga sudah tepat dosis yang digunakan untuk pasien pediatrik 5mg/kgbb/hari dalam kasus ini diberikan dosis sebesar 50mg/hari
dengan BB 8,5kg, (SPM, 2005). Lolos kategori IIb interval pemberian sesuai dengan yang dianjurkan 2-4 kali dalam sehari (SPM, 2005). Lolos kategori IIc rute pemberian tepat, dan lolos kategori I karena waktu pemberian yang sudah
sesuai. Kortimoksazol termasuk dalam kategori IIIb (pemberian antibiotika terrlalu singkat) antibiotika hanya diberikan selama 2 hari, sedangkan 3-7 hari
merupakan terapi awal untuk penyakit infeksi berat menggunakan antibiotik (Kemenkes, 2011b). Seftazidim termasuk dalam kategori IIa dosis pemberian
sedangankan BB pasien 8,5 kg, seharusnya dosis yang diberikan adalah 1275mg/hari (SPM, 2005).
3. Kasus 05
Pasien pediatrik dengan diagnosis utama DM tipe I dengan peyakit
penyerta ketoasidosis diabetikum dan ISK menerima antibiotika berupa ampisilin yang termasuk dalam kategori 0 (penggunaan tepat/bijak). Hal ini berdasarkan kajian literatur yang telah menunjukan kesesuaian dengan kategori Gyssens.
aLolos kategori V karena indikasi penyakit akibat infeksi bakteri ISK umumnya disebabkan oleh Escherichia coli dan Staphylococcus saprophyticus
Staphylococcus saprophyticus. Lolos kategori IVa karena tidak ada antibiotika yang lebih efektif dikarenakan pasien sembuh dan ampisilin termasuk dalam first line untuk terapi ISK, dan juga ampicilin merupakan antibiotik dengan spektrum
luas (Dipiro, 2009 ; SPM,2005). Lolos kategori IVb karena cukup aman digunakan dan tidak ada interaksi dengan obat lain (Permenkes, 2011). Lolos
kategori IVc karena untuk antibiotika sejenis tidak ada yang lebih murah. kategori IVd karena antibiotika yang digunakan merupakan terapi lini pertama jadi tidak ada antibiotika lain yang lebih spesifik dan dalam kasus ini belum
diketahui jenis bakteri jadi masih digunakan antibiotika dengan spektrum luas. Lolos kategori IIIa dan IIIb karena lama penggunaan antibiotika antibiotika sesuai
dengan waktu yang dianjurkan SPM untuk terapi ISK menggunakan ampisilin yaitu 7-10 hari (SPM, 2005). Lolos kategori IIa karena dosis tepat dosis
setiap 6 – 12 jam dalam sehari (SPM, 2005). Lolos kategori IIc karena rute pemberian sudah tepat, dan lolos kategori I karena waktu pemberian yang sudah
sesuai.
4. Kasus 06
Pasien pediatrik dengan diagnosis utama demam netropenia dengan diagnosis penyerta ALL dan gastroenteritis akut menerima antibiotika berupa ampisilin, siprofloksasin, gentamisin, metronidazol dan seftazidime. Dalam kasus
ini penggunaan ampisilin dan metronidazol termasuk dalam kategori 0 (penngunaan antibiotika tepat/bijak). Hal ini berdasarkan kajian literatur yang
telah menunjukan kesesuaian dengan kategori Gyssens. Lolos kategori V karena ada indikasi penyakit akibat infeksi bakteri antibiotik diindikasikan karena adanya penyakit akibat infeksi bakteri. Gastroenteritis akut merupakan penyakit yang
dapat disebabkan oleh bakteri, diantaranya Salmonella, Shigella, dan E. Coli (Tan & Rahardja, 2007). Lolos kategori IVa karena tidak ada antibiotika yang lebih
efektif dikarenakan pasien sembuh. Lolos kategori IVb karena cukup aman digunakan dan tidak ada interaksi dengan obat lain (Permenkes, 2011). Lolos kategori IVc karena untuk antibiotika sejenis tidak ada yang lebih murah. Lolos
kategori IVd karena antibiotika yang digunakan merupakan terapi lini pertama GEA, khususnya akibat Salmonella (Dipiro, 2009). Lolos kategori IIIa dan IIIb
karena lama penggunaan antibbiotika pemberian antibiotika sesuai dengan waktu yang dianjurkan untuk terapi empiris yaitu 2 – 3 hari (Kemenkes, 2011b). Lolos
Rahardja, 2007). Lolos kategori IIb karena inteval pemberian yang dianjurkan setiap 8 jam dalam sehari (Tan & Rahardja, 2007). Lolos kategori IIc karena rute
pemberian sudah tepat, dan lolos kategori I karena waktu pemberian yang sudah sesuai. Siprofloksasin dan gentamisin termasuk dalam kategori IVb (ada alternatif
lain yang lebih tidak toksik) untuk penggunaan siprofloksasin ada alternatif lain yang lebih tidak toksik contohnya kortimoksazol yang juga merupakan antibiotika dengan spektrum luas yang juga jarang menimbulkan resistensi sehingga banyak
digunakan untuk berbagai penyakit infeksi (Tan & Rahardja, 2007), siprofloksasin juga kurang aman jika digunakan pada pasien pediatrik karena dapat
menyebabkan gangguan pada persendian (Hardman et al., 2012) dan untuk penggunaan gentamisin ada interaksi dengan golongan sefalosforin (Permenkes, 2011). Seftazidim termasuk dalam kategori IIIb (penggunaan antbiotika terlalu
lama), lama penggunaan 3-7 hari merupakan terapi awal untuk penyakit infeksi berat menggunakan antibiotik, sedangkan dalam kasus ini antibiotika lama
penggunaannya 9 hari (Kemenkes, 2011b).
5. Kasus 07
Pasien pediatrik dengan diagnosis utama pertunis klinis menerima
antibiotika eritromisin yang termasuk dalam kategori 0 (penggunaan antibiotika tepat/bijak). Hal ini berdasarkan kajian literatur yang telah menunjukan
kesesuaian dengan kategori Gyssens. Lolos kategori V karena adanya indikasi penyakit akibat infeksi bakteri, untuk diagnosis pertusis klinis disebabkan oleh