• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daftar Isi. Potret Uji Coba Sebuah Jasa Lingkungan. Kotoran Ternak: Masalah dan Peluang. Profil Singkat Desa Cikole. Profil Singkat Desa Sunten Jaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Daftar Isi. Potret Uji Coba Sebuah Jasa Lingkungan. Kotoran Ternak: Masalah dan Peluang. Profil Singkat Desa Cikole. Profil Singkat Desa Sunten Jaya"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Daftar Isi

Potret Uji Coba Sebuah Jasa Lingkungan

Kotoran Ternak: Masalah dan Peluang Profil Singkat Desa Cikole

Profil Singkat Desa Sunten Jaya

Hilir Peduli , Hulu Menanam dan Merawat : Sebuah Konsep Uji Coba Mekanisme Imbal Jasa Lingkungan

Sumber:

Curah hujan tinggi, Produksi susu di Bandung turun, Kabar Bisnis.com Imbal Jasa Lingkungan Dalam Pelestarian Sumber Daya Air

(Studi kasus: Kabupaten Karanganyar-Kota Surakarta), Tommy Faizal W Knowledge and Innovation Support for ADB’s Water Financing Program Pilot and Demonstration Activity for Indonesia:

Developing and Demonstrating the use of Compensation Mechanism for Watershed Protection Services in Citarum River Basin

Laporan Yayasan Peduli Citarum Foto: Ng Swan Ti

Diella Dachlan Dok Cita-Citarum

Teks dan lay-out: Diella Dachlan

3 13 17 18 19 21

(4)
(5)
(6)

D

aerah Lembang Bandung merupakan kawasan yang ramai dikunjungi wisatawan terutama pada akhir pekan atau hari libur lainnya. Selain pemandangannya yang indah, berhawa sejuk, di kawasan ini ada beberapa lokasi pariwisata yang menarik dikunjungi, seperti Gunung Tangkuban Perahu dan kawahnya. Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat terkenal akan legenda Sangkuriang yang menendang perahu hingga terbalik menyerupai perahu terbalik akibat amarahnya gagal mempersunting Dayang Sumbi yang ternyata adalah ibu kandungnya sendiri.

Jika Anda termasuk pengunjung Lembang untuk berekreasi dan berlibur, sempatkanlah untuk memperhatikan sekeliling hamparan perbukitan dan pegunungan yang menghampar sepanjang mata memandang di kawasan ini. Apakah yang Anda lihat? apakah hamparan hutan? permukiman? atau lereng-lereng yang ditanami dengan berbagai jenis sayuran?.

“Pemandangan dari bukit ini sangat indah, kalau malam terlihat lampu-lampu kota dari atas sini. Katanya daerah ini dulunya hutan, tapi sejak saya kecil, saya tau-nya disini sudah sayuran semua ” Kata Ida Suhara (31 tahun) petani dan warga desa Cikole yang mengantarkan kami mendaki bukit yang terletak di belakang desanya, sambil menunjukkan lahan-lahan garapan petani di sepanjang perbukitan yang menghampar di hadapan mata. “Desa kami pun seperti ini sudah turun temurun dari jaman kakek nenek. Kami sudah terbiasa menanami lahan di lereng-lereng bukit ini dengan sayuran” Cerita Ida Suhara yang dipanggil Pak Ida. Sepanjang jalan mendaki bukit terlihat berbagai jenis tanaman sayuran seperti brokoli, kubis, cabai, tomat dan buncis.

Hari itu (10/03) Pak Ida mengajak kami untuk melihat lahan pertanian di desa Cikole, tepatnya di kampung Cibedug, yang merupakan salah satu lokasi Payment for Environmental Service (PES) atau Mekanisme Imbal Jasa Lingkungan yang merupakan proyek pilot yang didanai oleh Asian Development Bank (ADB) bekerjasama dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), PT Aetra Air Jakarta, perusahaan jasa air minum, dan Pusat Standardisasi dan Lingkungan (Pustanling) Kementerian Kehutanan, dibantu oleh Yayasan Peduli Citarum (YPC).

(7)

Pemberi dan Penyedia Jasa

Mekanisme Jasa Lingkungan ini mengusung konsep “hilir peduli, hulu menanam dan merawat”, dimana dua desa yang terletak di Kecamatan Lembang menjadi lokasi uji coba konsep ini. (Lihat “Hilir Peduli , Hulu Menanam dan Merawat”, Sebuah Konsep). Kedua desa itu adalah Desa Cikole dan Desa Sunten Jaya, yang masih termasuk dalam kawasan hulu dan daerah tangkapan air Sungai Cikapundung, sungai sepanjang 28 kilometer yang bermuara di Sungai Citarum di daerah Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung. Dua kelompok petani, yaitu kelompok Giri Putri (desa Cikole) dan kelompok Syurga Air (desa Sunten Jaya) bersedia menjadi “penyedia jasa” yang akan menerima “kompensasi” atau pembayaran jasa lingkungan dari pemanfaat air di daerah hilir. Pak Ida merupakan ketua kelompok Giri Putri, yang beranggotakan 57 petani, dengan luas lahan milik petani yang ikut dalam kegiatan ini sekitar 33 hektar.

(8)

“Kegiatan ini dimulai sekitar kuartal akhir tahun 2009 hingga pertengahan tahun 2010, dimulai dengan persiapan pemilihan lokasi, persiapan kelompok dan pelatihan-pelatihan” Kata Didin, atau biasa dipanggil Kang Didin, Ketua dan Fasilitator pendamping dari Yayasan Peduli Citarum.

Beberapa persyaratan pemilihan lokasi di antaranya yaitu masyarakat di daerah tangkapan air yang bersedia bekerjasama untuk merehabilitasi dan menjaga kawasan sebagai bagian dari kesepakatan mekanisme, daerah dengan kemiringan lahan sekitar 20-40%, lahan kritis dan berpotensi longsor, kejelasan status lahan yaitu milik petani dan kesediaan kelompok tani untuk mengorganisir diri sendiri menjadi kelompok dan bersedia berperan aktif dalam perannya sebagai “penyedia jasa” dalam mekanisme imbal jasa lingkungan ini.

“Setelah pelatihan-pelatihan dan pertemuan kelompok, kami menanam tanaman kopi dan tanaman keras seperti Eucalyptus (Kayu Putih) dan Suren. Tanaman kopi kami tanam berselang dengan tanaman sayuran seperti brokoli, sedangkan untuk tanaman Suren dan Eucalyptus kami tanam di pinggir-pinggir tanaman sayuran” Jelas Pak Aceng (30 tahun), petani dan bendahara kelompok Giri Putri. Pak Aceng sendiri baru saja mempersiapkan lahannya untuk ditanami kembali. Seperti hal-nya petani di daerah ini, lahan milik Pak Aceng terletak pada kemiringan lereng yang dibuat sengkedan-sengkedan.

Kelompok Giri Putri dalam proyek pilot ini menandatangani kesepakatan dengan Pusat Standardisasi dan Lingkungan (Pustanling) Kementerian Kehutanan untuk menanami desa dengan 10.000 pohon kopi dan 10.000 pohon tanaman keras. Setelah hampir dua tahun, terlihat tanaman Suren dan Eucalyptus dengan tinggi berkisar antara 1.5 meter hingga 3 meter. “Kalau ada tanaman yang mati, biasanya langsung kami ganti, Sekitar 20.000 tanaman kopi ini merupakan hasil swadaya kelompok Giri Putri melalui persemaian.” kata Pak Ida.

(9)
(10)

7

Di Desa Sunten Jaya, Kelompok Syurga Air diketuai oleh Bapak Didi Darmadi, dengan anggota kelompok sebanyak 35 petani. ”Kelompok kami dinamakan Syurga Air, karena mungkin banyaknya mata-mata air di desa kami” Kata Ibu Atikah (40 tahun), bendahara kelompok Syurga Air dan petani warga desa Sunten Jaya.

Kelompok Syurga Air menandatangani perjanjian kerjasama dengan PT Aetra untuk menanami lahan seluas kurang lebih 25 hektar dengan tanaman kopi (12.000), Sobsi (500), dan Suren (500) pohon.

Ibu Atikah menunjukkan salah satu mata air Cibodas. “Mata air ini debitnya 26.8 liter per detik. Saya ikut mengukurnya lho” kata Ibu Atikah dengan bangga.

Mata air-mata air besar yang tersebar di desa ini telah menjadi suplai air bagi kawasan hulu Sungai Cikapundung. Selain digunakan untuk mengairi perkebunan, pertanian, rumah tangga, kolam, situ, sumber air ini juga digunakan untuk industri, pembangkit listrik (PLTA Dago Bengkok), air minum (PDAM kota Bandung).

Selain itu desa ini merupakan wilayah pensuplai air yang cukup besar dari sub-das Cikapundung ke sungai besar di Jawa Barat, yaitu sungai Citarum. Mata air-mata air ini tersebar dilahan-lahan perhutani, PTPN VIII, dan lahan milik penduduk. Menurut Ibu Atikah, dua lokasi yang dikerjakan meliputi blok Pasir Angling dan Baru Tisuk. Dari sela-sela lahan sayuran seperti brokoli dan kubis, terlihat pokok-pokok pohon kopi yang ditanam. Sementara tanaman seperti Eucalyptus dan Suren terlihat di tepi-tepi lahan sayuran.

(11)
(12)
(13)
(14)

”Menjadi petani itu harus sabar, sudah cape-cape menanam, ternyata begitu panen, eh harga tanaman kita jatuh. Kalau biasa harga tomat per kilogramnya bisa mencapai Rp 2,000 hingga Rp 3,000, panen kali ini harga per kilogramnya hanya Rp 500, petani jadi malas panen karena tidak tertutup biaya modal”. Kata Ibu Atikah sambil menunjuk tomat-tomat yang sudah berwarna merah yang dibiarkan tergeletak di tanah. Anjloknya harga tomat di pasaran pada musim panen awal tahun ini salah satunya diakibatkan oleh melimpahnya pasokan dari sentra pertanian di Bandung maupun dari daerah lain. Hal itu membuat harga di pasaran merosot tajam.

Menurut Ibu Atikah, modal yang dikeluarkan petani untuk menanam tomat pada lahan seluas 14 tumbak (sekitar 140 meter) berkisar antara Rp 3 hingga 5 juta, karena tomat membutuhkan pemupukan dan penyemprotan. Ibu Atikah berharap, dengan adanya penanaman jenis tanaman lain, bisa ada pemasukan dari tanaman lain, misalnya kopi. Tetapi tentu saja, pohon kopi yang baru ditanam pada tahun 2009 yang lalu, belum dapat dipanen. Panen kopi baru dapat dilakukan setelah sekitar 2,5 – 3 tahun kalau perkembangan tanaman baik. Pelatihan-pelatihan dalam masa proyek pilot di dua desa ini meliputi pelatihan pembuatan pupuk kompos, penanaman dan persemian tanaman, termasuk menanam terong kori dan pembuatan sirup serta selai dari terong kori yang melibatkan ibu-ibu di dua desa ini.

“Dalam mekanisme imbal jasa lingkungan ini, yang juga paling penting adalah pemberdayaan masyarakatnya, yang pada ujungnya diharapkan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Pelatihan, penguatan kelompok, pendampingan dan penanaman adalah cara-caranya saja, tapi intinya pemberdayaan yang dapat mendorong aktivitas ekonomi.” Tegas Kang Didin.

Baik Pak Ida dan Ibu Atikah berharap agar proyek seperti mekanisme imbal jasa lingkungan ini dapat terus berlanjut. Meski kegiatan kedua kelompok tani di dua desa ini tidak lagi seaktif dulu ketika pilot proyek masih berjalan, setelah proyek pilot ini selesai, petani di desa Cikole dan Sunten Jaya masih terus menanami lahannya dengan tanaman kopi serta Suren dan Ekaliptus di pinggir-pinggir lahan. Menurut Pak Ida dan Ibu Atikah, staf dari BPLHD Jawa Barat, YPC dan PT Aetra masih mengunjungi desa mereka ini secara berkala. “Agak sulit mengubah paradigma petani disini untuk menanam pohon keras dan kopi.” Cerita Pak Ida dengan lancar. “Yang jelas, meskipun hasilnya belum kelihatan rimbun seperti hutan di jaman dulu, saya senang, setidaknya desa ini bisa lebih hijau daripada sebelumnya”.

Jadi Petani Itu Harus Sabar

(15)
(16)

P

eternakan sapi mudah ditemui, terutama di daerah-daerah dataran tinggi di sebelah utara dan selatan kota Bandung, seperti daerah Lembang dan Pengalengan. Di daerah ini umumnya yang mudah ditemui adalah sapi perah. Karenanya tidak mengherankan jika terdapat koperasi-koperasi susu untuk mengumpulkan produksi susu dari peternakan-peternakan kelas rumah tangga.

Tidak terkecuali pasangan suami istri, Apriyanti (33 tahun) dan Suhendi (37 tahun) di kampung Cibodas, Desa Sunten Jaya. Dari hanya satu ekor sapi, kini peternakan kecilnya memiliki tiga ekor sapi dewasa dan 1 anak sapi. Rata-rata dari tiga ekor sapi menghasilkan sekitar 50 liter susu sehari-nya.

Menurut Ibu Apriyanti, satu liter susu yang dibeli oleh pihak koperasi seharga Rp 3,000 hingga Rp 3,300.

”Punya peternakan sapi buat kami lebih menguntungkan daripada bertani” Kata Ibu Apriyanti. Pasangan s u a m i i s t r i i n i s e m p a t b e r t a n i m e n a n a m t o m a t d a n b r o k o l i . T e t a p i m o d a l s e k i t a r 3 juta yang dikeluarkan tidak kembali, karena ketika saat panen harga jualnya sangat rendah, sehingga malah merugi.

”Berbeda dengan susu, kami dibayar setiap 15 hari sekali oleh koperasi yang mengumpulkan susu, sehingga asap dapur terus bisa mengepul.” Cerita Ibu Apriyanti. Harga jual sapi dewasa, apalagi yang betina, bisa mencapai sekitar 7-8 juta.

Repotnya adalah sapi harus diperah dua kali sehari. Sapi milik pasangan ini diperah setiap jam 4.30 pagi dan 15.30 sore. Jika saatnya memerah, syarat utama adalah baju yang digunakan setiap memerah harus sama, tidak boleh dicuci atau diganti.

”Kalau tidak, susu sapinya jadi lebih sedikit, atau seperti yang dialami suami saya, dia ditendang sapi sudah beberapa kali setiap pakai baju yang baru dicuci”. Kata Ibu Apriyanti sambil tertawa. Memiliki peternakan sapi sekilas memang tampak menguntungkan. Susu dapat diperah, sapi atau dagingnya dapat dijual dan kotorannya dapat dijadikan pupuk.

(17)

14

Namun hal terakhir itu, meski sudah terdengar umum dan lazim, ternyata di sebagian besar tempat, pada prakteknya tidaklah seperti itu. Bagi peternak sapi yang harus selalu memandikan sapi dan membersihkan kandang, mengumpulkan kotoran sapi bukanlah menjadi salah satu prioritas. Lebih mudah kotoran sapi disiram dengan air dan digelontorkan ke dalam saluran.

Permasalahan mulai timbul ketika ratusan bahkan ribuan peternak memiliki gagasan yang sama.

Sekedar hitung-hitungan sederhana. Jika satu ekor sapi mengeluarkan kotoran seberat rata-rata 15 kilogram perhari-nya, maka jika satu peternakan berisi lima sapi, maka kotoran dari satu peternakan tersebut sudah 75 kilogram. Baru dari satu peternakan.

Menurut data Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU), setidaknya ada sekitar 7,000 orang peternak dengan jumlah sapi sekitar 29,000 ekor di daerah Lembang dan sekitarnya, (17,000 ekor diantaranya adalah jenis sapi perah). Bagaimana seandainya jika seluruh kotoran sapi tersebut dibuang ke sungai, setidaknya sungai akan menampung lebih dari 400 ton kotoran sapi!.Jika dalam desa atau kecamatan tersebut memiliki saluran yang mengarah ke sungai yang sama, maka dapat dibayangkan selain berubah warna menjadi hijau tua dan tentunya mengandung bakteri, dalam waktu singkat sungai tersebut akan mengalami pendangkalan.

(18)

Meskipun terdengar sederhana, namun limbah dari kotoran sapi ini pula telah dimasukkan oleh para peneliti yang melakukan studi di hulu Sungai Citarum ke dalam golongan permasalahan limbah yang juga mencemari sungai.

Padahal jika dikumpulkan dan diolah menjadi pupuk kompos maka pupuk tersebut dapat dijual atau dipergunakan sendiri jika memiliki lahan pertanian. Menurut Pak Agus, petani pupuk kompos di desa Wanasari Pengalengan, harga kotoran sapi mentah yang dikumpulkan dari para tetangganya, harganya Rp 3,000 untuk 40 kilogramnya.

Sedangkan harga pupuk kandang 1 karung seberat 20 kilogram bisa mencapai sekitar Rp 20,000. Menurut Ibu Apriyanti, Koperasi Susu di Desa Sunten Jaya kini melarang peternak sapi untuk membuang limbahnya langsung ke saluran. Ada perencanaan untuk membuat biogas dari kotoran sapi ini yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.

Kotoran dari satu ekor sapi saja bisa menghasilkan biogas yang dipakai selama 6 hingga 7 jam, sehingga akan berguna untuk kebutuhan rumah tangga seperti memasak.

Dalam konteks kotoran sapi, jika diolah melalui proses sederhana, maka pupuk atau biogas yang dihasilkan tentunya akan lebih bermanfaat dibandingkan daripada hanya menjadi endapan sungai semata.

(19)
(20)

17

D

esa Cikole merupakan desa hutan terletak di bawah cagar alam Gunung Tangkuban Perahu yang termasuk ke dalam kawasan sub-sub-DAS Cigulung, sub-DAS Cikapundung, DAS Citarum. Sungai Cigulung dimulai dari Sindang Asih, melintasi perkampungan Pasir Sela dan bermuara di Maribaya. Suplai dari air Cigulung memberi kontribusi langsung pada sungai Cikapundung yang berfungsi sebagai drainase utama pusat kota Bandung.

Desa Cikole juga merupakan desa hutan dengan luas wilayah 3.429,96 km2. Menurut pendataan kependudukan tahun 2006 jumlah penduduk 11.305 orang. Mata pencaharian penduduk adalah petani, peternak, dagang PNS dan swasta.

Masalah di Cikole: Hutan Cikole yang ada di Pangkuan hutan Perhutani hampir lebih dari 70% telah beralihfungsi, dari hutan lindung menjadi lahan rumput gajah para peternak sapi. Populasi sapi perah sebanyak 6000 ekor, limbah kotorannya digelontorkan langsung ke selokan-selokan disekitar.

Permasalahan lainnya adalah meskipun lahan di daerah ini sangat subur, tetapi kebanyakan pertanian dengan tanaman sayur-sayuran dilakukan di lereng-lereng gunung yang tingkat kemiringannya lebih dari 40 persen. Praktek semacam ini dikhawatirkan akan menimbulkan erosi dan ancaman tanah longsor. Meskipun di daerah ini terdapat titik titik mata air, namun banyak pula mata air yang mati, sehingga penduduk mengalami kesulitan air terutama di musim kemarau.

Air bersih dialirkan dari mata air ke desa dengan pipa paralon yang ditanam di tanah. Lalu dari bak-bak penampungan untuk mengalirkannya ke rumah-rumah penduduk dengan menggunakan selang-selang plastik. Distribusi air dengan cara sederhana ini melalui kandang-kandang sapi, hingga sangat rentan terhadap kontaminasi bakteri jika terdapat kebocoran selang.

(21)

18

D

esa Sunten Jaya yang juga terletak di Kecamatan Lembang ini memiliki mata-mata air yang potensial sebagai sumber air di daerah-daerah sekelilingnya, termasuk menjadi suplai air untuk Sungai Cikapundung yang bermuara ke Sungai Citarum di daerah Dayeuh Kolot. Luas desa Sunten Jaya 4.556,56 km2 dengan total populasi 7.032 jiwa. Rata-rata penduduk desa ini memiliki mata pencaharian sebagai petani, peternak, pedagang, pegawai negeri dan jasa ojek.

Dengan sebagian besar lahan desa digunakan sebagai lahan pertanian, hal ini juga termasuk bercocoktanam di daerah-daerah lereng bukit dengan kemiringan yang cukup tajam. Menurut data pertanian Kabupaten Bandung Barat, semakin tahun luas lahan kritis semakin bertambah. Data menyebutkan luas lahan kritis hingga saat ini sudah mencapai sekitar 160 hektar.

Dengan bertambahnya lahan kritis ini, dikhawatirkan akan menimbulkan ancaman lingkungan seperti erosi dan tanah longsor. Jika lokasinya berdekatan dengan sungai, maka jumlah volume tanah yang masuk ke dalam sungai akan menimbulkan masalah pendangkalan pada sungai, yang juga akan sangat terasa akibatnya bagi masyarakat yang tinggal di daerah hilir sungai. Apalagi mengingat desa Sunten jaya ini merupakan hulu sub das Cikapundung yang sangat vital dan kondisinya saat ini cukup memprihatinkan.

(22)

D

emikian sebuah konsep yang diusung oleh Munawir, salah satu penggagas Payment for Environmental Services (PES) atau mekanisme imbal jasa lingkungan. Konsep ini digagas untuk mengembangkan mekanisme perlindungan daerah aliran sungai yang mencakup hulu-hilir sebagai pengguna dan penyedia manfaat di daerah aliran.

Selama ini upaya pelestarian lingkungan dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat melalui anggaran negara. Namun dengan semakin kompleksnya permasalahan lingkungan, diperlukan upaya yang dapat mendorong keterlibatan para pemangku kepentingan yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut.

“Hilir peduli, hulu menanam dan merawat”

Hilir Peduli ,

Hulu Menanam dan Merawat :

Sebuah Konsep

(23)

Skema dan mekanisme imbal jasa secara sederhana dapat dikelompokkan sebagai berikut, yaitu: 1. Kesepakatan diatur sendiri antara penyedia jasa dengan penerima jasa, biasanya bersifat tertutup, cakupannya sempit, negosiasi terjadi secara tatap muka, perjanjian cenderung sederhana, dan campur tangan yang rendah dari pemerintah.

2. Skema pembayaran publik. Pendekatan ini sering digunakan bila pemerintah bermaksud menyediakan landasan kelembagaan untuk suatu program dan sekaligus menanamkan investasinya. 3. Skema pasar terbuka. Skema ini jarang diterapkan dan cenderung dapat diterapkan di negara yang sudah maju. Pendekatan ini sering digunakan bila pemerintah bermaksud menyediakan landasan kelembagaan untuk suatu program dan sekaligus menanamkan investasinya. Pemerintah dapat memperoleh dana melalui beberapa jenis iuran dan pajak.

Dari penjelasan di atas, saat ini mekanisme yang paling memungkinkan untuk di-uji coba dan diterapkan adalah mekanisme nomor satu, dimana penyedia dan penerima jasa menyepakati kerjasama dalam lingkup kecil dengan perjanjian yang sederhana.

Mekanisme imbal jasa ini tidak hanya memberikan bantuan semata, yang tak kalah penting juga adalah proses pemberdayaan masyarakat setempat untuk meningkatkan kepedulian dan mengatasi masalah. Dalam kaitannya dengan membangun hubungan hulu hilir dalam penerapannya di Daerah Aliran Sungai (DAS), mekanisme ini diharapkan dapat membangun komunikasi hulu-hilir dan sama-sama menyadari kondisi lingkungan yang semakin menurun, sekaligus sama-sama menjaga sumber daya yang ada untuk meningkatkan taraf kehidupan yang lebih baik.

Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya air, terdapat hubungan yang sangat erat antara hulu dan hilir di daerah aliran sungai (DAS). Aktivitas yang terjadi pada daerah hulu akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap daerah hilir.

Hulu sebagai daerah tangkapan air akan memberikan dampak dari pengelolaan yang dilakukan di hulu. Hilir sebagai penerima dampak kegiatan pengelolaan di hulu, baik dampak yang baik maupun yang buruk. Meskipun demikian, daerah hulu pun dapat menerima dampak dari aktivitas ekonomi di daerah hilir dan juga berlaku dengan sebaliknya.

Salah satu kendala yang cukup besar dalam pengelolaannya adalah selama ini pemanfaatannya diperoleh secara gratis. Mengubah paradigma pemanfaatan jasa lingkungan dari yang biasanya didapat secara cuma-cuma dan kini diharapkan dapat ikut berkontribusi, tentunya bukan hal yang dapat dilakukan dalam semalam. Mekanisme imbal jasa lingkungan secara sederhana dapat diartikan sebagai mekanisme pembayaran finansial dan non-finansial yang dituangkan dalam kesepakatan atau kontrak kerja antara penyedia dan pemanfaat jasa, baik yang mengikat secara hukum maupun tidak. Kesepakatan atau kontrak kerja ini meliputi aspek legal, teknis maupun operasional. Komponen dalam mekanisme ini antara lain yaitu jasa lingkungan yang terukur, penyedia dan pemanfaat jasa serta meliputi tata cara pembayaran.

(24)

21

M

enerjemahkan sebuah konsep ke dalam pelaksanaan, juga bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Melalui sebuah proses yang cukup panjang, konsep ini terus dikembangkan dan diuji agar bentuknya nyata dalam pelaksanaan.

Tahun 2009 yang lalu, konsep mekanisme imbal jasa lingkungan ini mendapatkan dukungan dari Asian Development Bank (ADB) dalam program hibah yang disebut sebagai Pilot Demonstration Activity (PDA) yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Diharapkan melalui proyek pilot ini dapat teridentifikasi alternatif-alternatif skema sistem pembiayaan untuk membantu upaya rehabilitasi sungai Citarum dan pengelolaan sumber daya air.

Pilot project ini berlangsung sekitar akhir tahun 2009 hingga pertengahan 2010 dan dilakukan di hulu Sungai Cikapundung, yaitu di desa Cikole dan desa Sunten Jaya. Dua kelompok petani, yaitu kelompok Giri Putri (desa Cikole) dan kelompok Syurga Air (desa Sunten Jaya) bersedia menjadi “penyedia jasa” yang akan menerima “kompensasi” atau pembayaran jasa lingkungan dari pemanfaat air di daerah hilir.

(25)

22

1. Ketersediaan prasarana air yang bergantung pada perubahan penggunaan lahan

2. Masyarakat di daerah tangkapan air yang bersedia bekerjasama untuk merehabilitasi dan menjaga kawasan sebagai bagian dari kesepakatan mekanisme.

3. Adanya sumber-sumber air yang memerlukan perlindungan

4. Daerah dengan kemiringan lahan sekitar 20-40%, lahan kritis dan berpotensi longsor 5. Kemungkinan dan kesediaan untuk menanam tanaman keras seperti pohon buah-buahan sebagai pendamping tanaman sayur-sayuran yang biasa ditanam oleh petani di kawasan tersebut 6. Kejelasan status lahan yaitu milik petani 7. Kesediaan kelompok tani untuk mengorganisir diri sendiri menjadi kelompok dan bersedia berperan aktif dalam perannya sebagai “penyedia jasa” dalam mekanisme imbal jasa lingkungan ini Daerah hulu Cikapundung ini dipilih setelah melalui proses observasi dan konsultasi baik di tingkat pemerintah daerah dan desa serta survey dan observasi lapangan. Beberapa kriteria pemilihan lokasi proyek pilot antara lain:

(26)

23

Sebagai salah satu hasil yang dicapai dalam projek uji coba ini adalah adanya bentuk dukungan dari berbagai para pemangku kepentingan terkait, misalnya Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat (BPLHD), Kementerian Kehutanan, Balai Besar Wilayah Sungai Citarum (BBWSC) dan PT Aetra Air Jakarta. Selain itu, dalam pelaksanaan proyek pilot ini, LP3ES juga bekerjasama dengan Yayasan Peduli Citarum (YPC) dan Persatuan Organisasi Rakyat Tatar Alam Bandung (PORTAB).

Idealnya, pola mekanisme imbal jasa lingkungan ini dapat dipertimbangkan menjadi sebuah model mekanisme yang didukung oleh regulasi lokal, sehingga keberadaannya legal dan dapat didorong penerapannya oleh pemerintah. Karena itu, setelah masa proyek pilot ini selesai, program ini diteruskan oleh World Agroforestry Centre untuk pematangan dan replikasi mekanisme di lokasi-lokasi lainnya. Untuk mendorong penerapan mekanisme imbal jasa lingkungan ini, telah terbentuk kelompok kerja (working group) tingkat Wilayah Sungai Citarum. Selain itu, pengalaman lapangan ini disinergikan dengan proses penyusunan Peraturan Pemerintah tentang instrumen ekonomi yang sejalan dengan Undang-Undang no 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sama dengan cita-cita lainnya dalam hidup ini. Untuk mencapai sebuah tujuan dan cita-cita, akan perlu proses, itikad dan upaya untuk mencapainya.

Di bagian hilir, PT Aetra Air Jakarta, perusahaan jasa air minum, dan Pusat Standardisasi dan Lingkungan (Pustanling) Kementerian Kehutanan, sebagai pemanfaat air dari perusahaan maupun pemerintah, bersedia menjadi “pemberi kompensasi” bagi “penyedia jasa” untuk membantu menjaga daerah tangkapan air di hulu. Pemberian kompensasi ini juga dilakukan melalui kondisi dan persyaratan tertentu. Dalam konteks proyek pilot ini, kelompok Tani Syurga Air di desa Sunten Jaya bersedia menerima ketentuan PT Aetra Air Jakarta dalam perjanjian kontrak, yaitu merehabilitasi lahan kritis seluas 22 hektar melalui tahapan-tahapan, misalnya persiapan lahan, mempersiapkan lahan contoh, menanam dan merawat tanaman, termasuk mengganti tanaman yang mati dengan tanaman yang baru. Selama masa waktu enam bulan, pembayaran jasa dilakukan dalam 3 tahap. Setiap tahapan akan dilakukan verifikasi kerja petani itu sesuai kontrak kerjanya.

Kegiatan lainnya dalam proyek pilot ini adalah penguatan kelompok, pelatihan dan pendampingan, termasuk pelatihan pembuatan kompos, penanaman serta pembuatan selai dan sirup dari tanaman terong kori bagi para perempuan, pembentukan kelompok kerja dan menginformasikan kepada institusi dan lembaga pemerintahan terkait.

(27)
(28)

xx

Penguatan kelompok di Desa Cikole dan Sunten Jaya. Foto: Yayasan Peduli Citarum (YPC)

(29)
(30)
(31)
(32)

Referensi

Dokumen terkait

7.2 Kondisi untuk penyimpanan yang aman, termasuk ketidakcocokan Bahan atau campuran tidak cocok.. Pertimbangan untuk nasihat lain •

Investment.. Pada bulan Agustus mengalami peningkatan pada nilai Return On Investment sebesar 0,0241 dan pada bulan September 2017 mengalami kenaikan sampai nilai

Agus Indra Jaya, M.Sc Abdul Mahatir Najar, S.Si, M.Si Nasria Nacong, S.Si, M.Si Agusman Sahari, S.Si, M.Si Desy Lusiyanti, S.Si, M.Si Abdul Mahatir Najar, S.Si, M.Si Drs.. Agus

Dari pengujian diperoleh hasil terjadi peningkatan nilai kohesi tanah pada variasi penambahan petrasoil dan kapur 20%, yaitu sebesar 52,41 Kpa, sedangkan pada sudut geser

bahwa sebagai amanat Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49/Permentan/OT.140/9/2011 dalam rangka meningkatkan kompetensi purnawidya terkait dengan tuntutan

Hasil uji menunjukkan bahwa terjadi kekurang-pendalaman reg ponden pada pengambilan keputusan terhadap faktor upah, pes didikan/pelatihan serta gugus mutu untuk pegawai harian te-

jika dalam kasus pengambilan tutup botol (dalam operasi pengurangan), banyaknya tutup botol yang tersedia tidak cukup, maka yang kita lakukan adalah menambah tutup tutup botol

Untuk mengidentifikasi terjadinya miskonsepsi serta membedakan peserta didik yang tidak paham konsep, Saleem Hasan (1999) telah mengembangkan suatu metode identifikasi yang