• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ega Karolina 1, Ernawati Nasution 2, Evawany Y Aritonang 2 ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ega Karolina 1, Ernawati Nasution 2, Evawany Y Aritonang 2 ABSTRACT"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 HUBUNGAN PERILAKU KADARZI DENGAN STATUS GIZI BALITAUSIA 12-59 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BLANGKEJEREN KECAMATAN BLANGKEJEREN

KABUPATEN GAYO LUES TAHUN 2012

(THE RELATIONSHIP BETWEEN KADARZI BEHAVIOR WITH NUTRITIONAL STATUS OF THE CHILDREN IN AGE OF 12-59 MONTHS IN AREA OF COMMUNITY HEALTH CENTER

BLANGKEJEREN DISTRICT OF BLANGKEJEREN REGENCY OF GAYO LUES IN 2012) Ega Karolina1, Ernawati Nasution2, Evawany Y Aritonang2

1

alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat

2

Staf Pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU

ABSTRACT

The nutritional behavior of mother that consist of knowledge, attitude and action in the daily activities influence the nutrition status of the child. KADARZI is a family which have a balance nutrition behavior, understand the nutrition problem and can solve the nutrition problem for household.

The study is aimed to know the relationship between KADARZI behavior with nutritional status of the children in age of 12-59 months. This research is an analytic survey using cross sectional design. The population is all mother of children by simple random sampling as 106 people. The primary data was collected by observation and direct interview to the respondent and the secondary data from community health center and statistical data from district office of Blangkejeren.

The results of this study showed that (67,9%) of the mother had medium knowledge, had good attitude (60,7%).The household had to be the KADARZI as many as (16,0%). The result of statistical test showed that significant correlation between knowledge and attitude with nutritional status of the children. That significant correlation KADARZI, continiously child weighing, to provide the exclusive breastfeeding and used of iodine salt with nutritional status of the children.

The finding to do the socialization evenly about the KADARZI and the indicator of behavior to the society in order to prevent and minimize the nutrition problem for the child.

Keyword: Nutritional Status, Children, KADARZI

PENDAHULUAN

Keadaan gizi masyarakat Indonesia pada saat ini masih belum menggembirakan. Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk, kurang vitamin A, anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium dan gizi lebih (obesitas) masih banyak terjadi di sekitar kita. Data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, yang menyebutkan bahwa status gizi buruk dan kurang pada balita berturut-turut adalah 5,4% dan 13,0%. Masih banyaknya kasus gizi kurang menunjukkan bahwa asupan gizi ditingkat keluarga belum memadai karena masyarakat belum memahami pentingnya gizi bagi kesehatan tubuh makhluk hidup. Untuk mengatasi masalah gizi tersebut pemerintah

telah menetapkan prioritas pembangunan kesehatan salah satunya adalah keluarga sadar gizi (KADARZI). Menurut Depkes RI (2007), KADARZI adalah keluarga yang berperilaku gizi seimbang, mampu mengenal masalah gizi dan mampu mengatasi masalah gizi setiap anggota keluarganya. Suatu keluarga disebut KADARZI apabila telah beperilaku gizi yang baik dengan menerapkan kelima indikator kadarzi dengan menimbang berat badan secara teratur, memberikan air susu ibu (ASI) saja sampai umur 6 bulan (ASI Ekslusif), makan beranekaragam, menggunakan garam beryodium dan minum suplemen gizi (kapsul vitamin A dosis tinggi).

Merubah perilaku keluarga menjadi keluarga sadar gizi bukanlah hal mudah,

(2)

2 diperlukan suatu upaya pendidikan gizi

masyarakat yang terus menerus, termasuk penyebarluasan infomasi melalui media massa, pembinaan dan penggerakan tokoh dan kelompok-kelompok masyarakat, serta pendampingan keluarga baik oleh tenaga profesional maupun masyarakat terlatih. Menurut Departemen Kesehatan RI (2007) selama ini telah dilakukan upaya perbaikan gizi mencakup promosi gizi seimbang termasuk penyuluhan gizi di posyandu, fortifikasi pangan, pemberian makanan tambahan termasuk MP-ASI, pemberian suplemen gizi (kapsul vitamin A dan tablet tambah darah/TTD), pemantauan dan penanggulangan gizi buruk. Namun kenyataannya masih banyak keluarga yang belum berperilaku gizi yang baik sehingga penurunan masalah gizi berjalan lamban. Ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas dapat menentukan keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa. Untuk mewujudkan sumber daya manusia yang baik salah satu hal yang penting diupayakan pemerintah adalah dengan memperbaiki status gizi anak balita, karena usia balita merupakan priode penting dalam perkembangan yang akan menentukan pembentukan fisik, psikis maupun intelegensinya. Menurut Almatsier (2002) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang dibedakan antara gizi buruk, gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih. Status gizi balita dapat di ukur dengan indeks antropometri BB/U, TB/B dan BB/TB.

Perilaku dalam kaitannya dengan masalah kekurangan gizi pada anak balita dapat dilihat dari adanya kebiasaan yang salah dari ibu terhadap gizi anak balitanya, misalnya anak tidak memberi telur dan ikan kepada anak mereka, hal ini dilakukan karena mereka percaya bahwa ikan dapat menyebabkan kecacingan dan telur dapat menyebabkan bisul bagi anak-anak.

Kurang gizi pada balita juga dapat disebabkan perilaku ibu dalam pemilihan bahan makanan yang tidak benar. Pemilihan bahan makanan, tersedianya jumlah makanan yang cukup dan keanekaragaman makanan ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu tentang makanan

dan gizinya. Ketidaktahuan ibu dapat menyebabkan kesalahan pemilihan makanan terutama untuk balita.

Menurut hasil penelitian Zahraini (2009) di provinsi DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur memperlihatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status kadarzi dengan status gizi balita berdasarkan indeks BB/U dan TB/U (p<0,05). Balita dari keluarga yang sadar gizi cenderung 1,13 kali untuk menjadi gizi baik, dan 1,16 kali untuk memiliki tinggi badan yang normal.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia WHO (2005) Indonesia tergolong negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi karena 5.119.935 (28,47%) dari 17.983.244 balita di Indonesia termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk. Angka ini meningkat pada tahun 2005 yaitu dari 1,8 juta menjadi 2,3 juta pada tahun 2006 dari total seluruh balita di Indonesia. Demikian juga data dari laporan Dinas Kesehatan Provinsi Aceh tahun 2007 bahwa terdapat 18 % (7.002) balita di Aceh masih menderita gizi kurang dan gizi buruk dari jumlah 38.900 balita.

Dari hasil penelitian Untoro (2006) di Nanggroe Aceh Darussalam, selain permasalahan gizi kurang dan gizi buruk, masih terdapat masalah gizi lainnya yaitu Gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada balita. Prevalensi Gangguan akibat kurang yodium sebesar 9,8% pada tahun 1998 menjadi 11,1% pada tahun 2003.

Menurut Arisman (2007) kekurangan vitamin A terjadi pada ratusan ribu anak setiap tahun sekitar 2,8 juta anak balita menunjukkan tanda-tanda klinis xerroftalmia (WHO 2001), sementara 251 juta anak lainnya mengalami kekurangan vitamin A, sehingga risiko kematian akibat infeksi berat meningkat. Sedangkan 25% anak balita di negara berkembang berisiko mengalami defisiensi vitamin A. Dua puluh persen berisiko lebih tinggi mengalami infeksi umum, dua persen mengalami kebutaan atau gangguan penglihatan yang serius.

Di kecamatan Blangkejeren cakupan penggunaan garam beryodium dalam keluarga sudah baik berdasarkan hasil pemeriksaan garam beryodium dengan test yodina dan pemberian suplemen vitamin A pada balita juga sudah merata, semua balita sudah

(3)

3 mendapat vitamin A berdasarkan laporan

pencapaian indikator kinerja pembinaan gizi masyarakat di kabupaten Gayo Lues.

Kecamatan Blangkejeren merupakan salah satu kecamatan sekaligus sebagai ibu kota di kabupaten Gayo Lues. Luas kecamatan Blangkejeren keseluruhan adalah 170,37 Km2 atau 2,98% dari total wilayah kabupaten Gayo Lues terdiri dari dua belas desa dan memiliki jumlah penduduk 2.011 jiwa dengan 560 kepala keluarga. Secara topografi kecamatan Blangkejeren merupakan daerah dataran tinggi atau pengunungan. Kecamatan ini juga memiliki jumlah penduduk paling banyak dan jumlah balita paling banyak dibanding sebelas desa lain yang berada di kecamatan ini.

Berdasarkan data penimbangan yang diperoleh berdasarkan laporan Puskesmas pada tahun 2012 jumlah balita usia 12-59 bulan sebanyak 238 orang. Berdasarkan kartu menuju sehat (KMS) terdapat 21 orang balita yang mengalami pola pertumbuhan terganggu (BGM), delapan diantaranya mengalami mengalami berat badan lahir rendah (BBLR) pada saat lahir. Status gizi balita berdasarkan BB/U 12 orang balita dengan kategori gizi kurang, berdasarkan TB/U 15 orang balita dengan kategori sangat pendek, berdasarkan BB/TB 33 orang balita dengan kategori sangat kurus.

Di Kecamatan Blangkejeren terdapat sarana kesehatan seperti Puskesmas, prektek dokter, praktek bidan dan perawat. Juga terdapat dua belas pos posyandu dengan sebanyak 24 kader posyandu yang aktif setiap bulan, namun masih ada ditemukan balita yang mengalami gangguan pertumbuhan bawah garis merah (BGM) berdasarkan kartu menuju sehat (KMS) sebesar 11,33% dari 238 balita usia 12-59 bulan berdasarkan data penimbangan balita di puskesmas tahun 2012. Seluruh balita sudah memiliki kartu menuju sehat (KMS) yang dibagikan secara merata dan gratis oleh dinas kesehatan kabupaten.

Pelaksanaan program KADARZI sudah berjalan dengan baik tetapi penyebarluasan informasi tentang KADARZI dan penyuluhan tentang KADARZI secara khusus tidak pernah dilakukan, meskipun program sudah berjalan. Kegiatan KADARZI di kecamatan ini disebut kegiatan pembinaan gizi masyarakat. Penyuluhan yang sudah

pernah dilakukan antara lain tentang ASI Eksklusif, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan imunisasi.

Kecamatan Blangkejeren beribukota di kota Blangkejeren. Kecamatan ini telah mengalami pemekaran pada tahun 2004 terdiri dari 12 desa. Jarak tempuh masing-masing desa menuju ibukota bervariasi. Kota Blangkejeren memiliki jarak tempuh terdekat menuju kota kecamatan dengan jarak hanya 0,5 Km. Sementara itu, jarak tempuh desa lain berkisar 1-10 Km. Masyarakat di daerah kecamatan ini berdasarkan jumlah rumah tangga menurut mata pencarian dari 560 kepala rumah tangga di kecamatan ini sebagian besar bekerja sebagai petani sebesar 37,14% dan sebagian kecil bekerja sebagai wiraswasta sebesar 7,14%. Penghasilan di kecamatan ini adalah ternak dan pertanian.

Dengan latar belakang diatas penulis tertarik untuk meneliti hubungan perilaku KADARZI dengan status gizi balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja puskesmas Blangkejeren kecamatan Blangkejeren kabupaten Gayo Lues tahun 2012. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan perilaku KADARZI dengan status gizi balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Blangkejeren Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues tahun 2012.

Manfaat penelitian sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Blangkejeren untuk meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya dalam hal peningkatan status gizi pada balita.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini bersifat survei analitik dengan menggunakan desain penelitian cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita usia 12-59 bulan yang memiliki KMS yaitu sebanyak 238 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah balita umur 12-59 bulan. Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling. Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai balita sebanyak 106 ibu.

Data primer dikumpulkan melalui observasi dan wawancara langsung kepada ibu dengan instrumen berupa kuesioner. Untuk mengetahui jenis dan frekuensi makanan diperoleh dengan menggunakan formulir

(4)

4 frekuensi konsumsi makanan ( food

frequency). Data sekunder berupa gambaran umum kecamatan dan data jumlah penduduk yang ada di wilayah kerja Puskesmas Blangkejeren tahun 2012 yang diperoleh dari Puskesmas Blangkejeren dan dari data statistik Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada tabel 4.1. menunjukkan bahwa ibu yang secara teratur menimbang berat badan balitanya setiap bulan dengan kategori baik sebesar (61,3%).

Tabel. 4.1. Distribusi Menimbang BB Balita Secara Teratur Berdasarkan

Umur Di Kecamatan Blangkejeren Tahun 2012 Umur (bulan) Menimbang BB balita secara teratur Total Baik Tidak baik

n % n %

12-23 17 16,0 8 7,5 23,6 24-35 20 18,9 14 13,2 32,1 36-59 28 26,4 19 17,9 44,3 Total 65 61,3 41 38,7 100,0

Pada tabel 4.2. menunjukkan bahwa sebagian besar ibu tidak memberikan ASI Eksklusif kepada balita hal ini ditunjukkan bahwa ibu yang memberikan ASI Eksklusif kepada balita hanya (31,1%). Sebagian besar balita belum makan beranekaragam makanan, hanya (34,0%) balita yang makan beranekaragam makanan setiap harinya. Namun hampir sebagian besar keluarga sudah menggunakan garam beryodium dalam pengolahan makanan yaitu sebesar (73,6%) dan kesadararan ibu terhadap pentingnya memberikan kapsul vitamin A kepada balita juga sudah baik yaitu sebesar (95,3%).

Tabel 4.2. Distribusi Memberikan ASI

Eksklusif, Makan

Beranekaragam Makanan

Menggunakan Garam

Beryodium Dan Memberikan Kapsul Vitamin A Pada Balita Di Kecamatan Blangkejeren Tahun 2012 Indikator KADARZI n % Memberikan ASI Ekskusif Baik Tidak baik 33 73 31,1 68,9 Total 106 100,0 Makan Beranekaragam Makanan Baik Tidak baik 36 70 34,0 66,0 Total 106 100,0 Menggunakan Garam Beryodium Baik Tidak baik 78 28 73,6 26,4 Total 106 100,0 Memberikan Kapsul Vitamin A Baik Tidak baik 101 5 95,3 4,7 Total 106 100,0

Pada tabel 4.3. perilaku ibu dilihat dari pengetahuan dan sikap ibu berdasarkan jawaban pertanyaan kuesioner. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu memiliki pengetahuan sedang (67,9%). Sedangkan sebagian besar ibu sudah memiliki sikap baik (67,0%).

Tabel 4.3. Distribusi Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Gizi

Balita di Kecamatan Blangkejeren Tahun 2012 Pengetahuan n % Pengetahuan Tinggi Sedang 34 72 32,1 67,9 Total 106 100,0 Sikap Baik Sedang 71 35 67,0 33,0 Total 106 100,0

(5)

5 Pada tabel 4.4. menunjukkan bahwa

terdapat 14 balita (13,2%) dengan status gizi kurang berdasarkan indikator BB/U, sebanyak 18 balita (17,0%) dengan status gizi pendek berdasarkan indikator TB/U dan sebanyak 34 balita (32,1%) dengan status gizi kurus berdasarkan indikator BB/TB.

Tabel 4.4. Distribusi Status gizi Balita Berdasarkan Indikator BB/U, TB/U dan BB/TB Di Kecamatan Blangkejeren Tahun 2012

Status Gizi Balita n %

BB/U Baik Kurang 92 14 86,8 13,2 Total 106 100,0 TB/U Normal Tinggi Pendek 74 14 18 69,8 13,2 17,0 Total 106 100,0 BB/TB Normal Kurus Gemuk 71 34 1 67,0 32,1 0,9 Total 106 100,0

Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Status Gizi Balita

Pengetahuan serta keterampilan ibu sangat diperlukan dalam upaya peningkatan status gizi balitanya secara baik, semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu semakin banyak usaha yang dilakukan dalam mengatur makanan agar lebih berguna bagi tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu memiliki pengetahuan sedang (67,9%). Berdasarkan hasil uji chi square diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita berdasarkan indikator TB/U (p= 0,000) dan BB/TB (p= 0,021). Menurut penelitian Mardiana (2006) menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan status gizi balita. Pengetahuan ibu yang tinggi tentang gizi berhubungan dengan praktek pemenuhan gizi keluarga. Semakin tinggi pengetahuan dan banyaknya pengalaman ibu semakin bervariasi ibu dalam menyediakan makanan bagi balitanya

sehingga kualitas dan kuantitas makanan yang disajikan oleh ibu mempunyai nilai gizi yang tinggi. Dari hasil penelitian yang dilakukan antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita menunjukkan bahwa ibu dengan pengetahuan sedang memiliki (15,3%) balita dengan status gizi kurang berdasarkan indikator BB/U, (15,3%) dengan status gizi pendek berdasarkan indikator TB/U dan (58,3%) status gizi normal berdasarkan indikator BB/TB. Masih terdapat balita dengan status gizi kurang, status gizi pendek dan status gizi kurus pada penelitian dapat dikarenakan praktek pengasuhan terhadap balita yang beragam, pendidikan ibu, pendapatan keluarga dan ketahanan keluarga (fisik, sosial dan psikolosis. Menurut Sunarti (2001) fungsi pengasuhan anak berkaitan dengan keberfungsian keluarga lainnya, terutama fungsi ekonomi keluarga.

Hubungan Sikap Ibu Dengan Status Gizi Balita

Sikap yang positif terhadap nilai-nilai kesehatan terutama nilai gizi biasanya terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (67,0%) ibu memiliki sikap baik. Berdasarkan hasil uji chi square diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sikap gizi ibu dengan status gizi balita berdasarkan indikator TB/U (p= 0,025) dan BB/TB (p= 0,033). Jadi sikap dapat mempengaruhi keadaan status gizi balita dalam keluarga. Namun ibu yang memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang gizi belum semuanya dapat menyediakan kebutuhan gizi yang baik, terutama bagi balitanya hal ini terlihat dari masih terdapat (9,9%) balita dengan status gizi kurang berdasarkan indikator BB/U, (16,9%) status gizi pendek berdasarkan indikator TB/U, dan (23,9%) status gizi kurus berdasarkan indikator BB/TB. Hal ini dapat dikarenakan sikap merupakan faktor tidak langsung mempengaruhi status gizi balita, hal lain dapat diasumsikan bahwa kondisi sosial budaya dan kebiasaan dalam keluarga menjadi penghambat dalam memenuhi gizi keluarga. Sejalan dengan teori menurut Jellife (1994) faktor yang mempengaruhi status gizi anak, diantaranya adalah faktor eksternal yang

(6)

6 meliputi keadaan infeksi, konsumsi makanan,

kebudayaan, sosial ekonomi, produksi pangan, sarana kesehatan serta pendidikan kesehatan.

Hubungan Menimbang Berat Badan Secara Teratur Dengan Status Gizi Balita

Pemantauan pertumbuhan balita bisa dilakukan dengan menimbang berat badan balita di rumah maupun di posyandu atau di puskesmas. Pemantauan ini dimaksudkan untuk mengetahui pertumbuhan balita dan bisa mencegah masalah sedini mungkin apabila terjadi penyimpangan. Pemantauan pertumbuhan ini dapat dilihat dari KMS. Berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan keteraturan menimbang berat badan memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi berdasarkan indikator BB/U (p= 0,039) dan BB/TB (p= 0,012). Pada hasil penelitian Zahraini (2009) juga menunjukkan ada hubungan bermakna antara keteraturan menimbang berat badan balita dengan status gizi berdasarkan indikator BB/U. Terlihat bahwa ibu yang menimbang berat badan balitanya secara teratur memiliki (76,9%) balita dengan status gizi normal berdasarkan indikator BB/TB. Namun terdapat (21,5%) balita dengan status gizi kurus berdasarkan indikaror BB/TB, (13,8%) balita dengan status gizi kurang berdasarkan indikator BB/U dan (18,5%) balita dengan status gizi pendek berdasarkan indikator TB/U, meskipun sudah menimbang berat badan secara teratur. Hasil ini menunjukkan tidak adanya kecenderungan positif atau negatif, artinya ibu yang menimbang berat badan balitanya secara teratur masih memiliki balita dengan gizi normal dan kurus, demikian juga sebaliknya hal ini dapat disebabkan karena perubahan konsumsi makanan atau karena gangguan kesehatan serta kurangnya pengetahuan ibu tentang manfaat penimbangan bila dilihat dari masih terdapatnya ibu dengan pendidikan rendah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (61,3%) ibu yang secara teratur menimbang berat badan balitanya setiap bulan dengan kategori baik. Artinya angka tersebut masih rendah menurut Depkes (2007), dari target cakupan penimbangan balita minimal adalah (80%). Padahal semestinya angka cakupan

penimbangan itu lebih tinggi pada balita usia dibawah dua tahun namun hal tersebut tidak tampak pada hasil penelitian ini. Umur balita tidak mempengaruhi kesadaran ibu dalam menimbang berat badan balitanya. Hal ini dapat disebabkan karena rutinitas penimbangan ini biasanya dilakukan oleh ibu yang rumahnya dekat dengan posyandu atau rumah kader. Dari wawancara dengan ibu beberapa alasan ibu tidak menimbang balitanya antara lain, anak sudah mendapat imunisasi lengkap atau sudah tidak di imunisasi lagi, posyandu jauh dari rumah, ibu lupa jadwal posyandu di desanya dan ibu sibuk bekerja sehingga tidak sempat membawa anak ke posyandu. Dapat diasumsikan hal tersebut dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan masyarakat tentang manfaat penimbangan untuk mengetahui status gizi dan pertumbuhan balitanya. Padahal dengan menimbang berat badan secara teratur maka segera dapat diketahui apabila terjadi penyimpangan pola pertumbuhan untuk dilakukan perbaikan dan pencegahan kearah yang lebih jelek.

Menurut Riskesdas tahun 2007 masih adanya balita yang belum ditimbang berat badannya dapat disebabkan karena fasilitas yang jauh dari jangkauan, sarana yang belum memadai, hingga kesadaran keluarga utamanya ibu masih kurang.

Hubungan Memberikan ASI Eksklusif Dengan Status Gizi Balita

Bayi sangat dianjurkan untuk diberi ASI Eksklusif kerena pencernaan bayi belum siap untuk mencerna makanan selain ASI. ASI juga mengandung zat-zat kekebalan yang sangat diperlukan oleh bayi karena bayi sangat rentan terhadap penyakit.

Berdasarkan hasil chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara memberikan ASI Eksklusif dengan status gizi balita berdasarkan indeks BB/TB (p= 0,048). Terlihat bahwa balita yang tidak diberi ASI Eksklusif memiliki (84,9%) status gizi baik berdasarkan indikator BB/U, (71,2%) status gizi normal berdasarkan indikator TB/U dan (61,6%) status gizi normal berdasarkan indikator BB/TB. Hal ini dapat diasumsikan bahwa balita dapat

(7)

7 memiliki status gizi baik atau normal bila

mendapat asupan gizi yang cukup dari sumber zat gizi lain seperti dari susu formula, suplemen penambah nafsu makan atau dari makanan yang dikonsumsi balita sehari-hari meskipun balita tidak diberi ASI Eksklusif. Pada balita yang diberi ASI Eksklusif pada kategori baik juga terdapat (21,2%) balita dengan status gizi pendek berdasarkan indikator TB/U dan (18,2%) status gizi kurus berdasarkan indikator BB/TB. Hal ini dapat dikarenakan komposisi ASI ibu yang kurang, keadaan infeksi dan faktor genetik. Sesuai dengan penelitian Utamy (2008) komposisi ASI ibu satu berbeda dengan komposisi ASI ibu lainnya. Misalnya, komposisi air susu ibu yang melahirkan cukup bulan berbeda dengan komposisi air susu ibu yang melahirkan kurang bulan meskipun kedua ibu melahirkan pada waktu yang sama. Menurut Jellife (1994) faktor yang mempengaruhi status gizi anak, diantaranya adalah faktor eksternal yang meliputi keadaan infeksi, konsumsi makanan, kebudayaan, sosial ekonomi, produksi pangan, sarana kesehatan serta pendidikan kesehatan. Sedangkan faktor internal meliputi faktor genetik dan individual.

Hubungan Makan Beranekaragam Makanan Dengan Status Gizi Balita

Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian balita cenderung tidak mengkonsumsi beranekaragam makanan. Padahal balita perlu mengkonsumsi beranekargam makanan untuk menunjang pertumbuhan fisik maupun mental. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi beraneka ragam makanan dengan status gizi balita berdasarkan indikator manapun. Hasil penelitian berbeda dengan hasil penelitian Zahraini (2009) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara makan beranekaragam makanan dengan status gizi balita berdasarkan indeks BB/U dan TB/U. Dapat diketahui bahwa balita yang tidak makan beranekaragam memiliki (87,1%) status gizi baik berdasarkan indikator BB/U dan (68,6%) status gizi normal berdasarkan indikator BB/TB. Hal ini karena sebagian besar balita mendapat asupan gizi dari susu

formula, suplemen makanan, dan jajanan yang diberikan kepada balita seperti biskuit, bubur dan kue. Masih kurangnya konsumsi beranekaragam makanan pada balita di kecamatan ini menunjukkan peran ibu yang masih kurang dalam membiasakan balitanya mengkonsumsi beranekaragam makanan. Balita juga sangat jarang mengkonsumsi buah, balita terkadang mengkonsumsi buah hanya sekali dalam seminggu itupun tidak rutin.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa balita yang makan beranekaragam makanan pada kategori baik terdapat (13,9%) dengan status gizi kurang berdasarkan indikator BB/U, (11,1%) dengan status gizi pendek berdasarkan indikator TB/U dan (33,3%) status gizi kurus berdasarkan indikator BB/TB. Hal ini dapat dikarenakan walaupun sudah mengkonsumsi makanan beranekaragam tetapi jika asupannya kurang dalam memenuhi kebutuhan dan penyerapan makanan terganganggu maka tidak dapat mamenuhi kebutuhan gizi. Sesuai dengan teori Herdiansyah (2006) bahwa makanan beranekaragam saja belum cukup sehingga perlu didukung dengan jumlah asupannya yang mencukupi kebutuhan tubuh. Praktek keluarga yang mampu mengkonsumsi makanan yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan, dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan setiap individu dalam keluarga dan bebas dari pencemaran.

Hubungan Menggunakan Garam

Beryodium Dengan Status Gizi Balita Sebagian besar rumah tangga di kecamatan Blangkejeren sudah menggunakan garam beryodium dalam pengolahan makanan dan menyimpan garam dalam wadah tertutup sebesar (73,6%) dan (26,4%) keluarga masih belum baik dalam penggunaan dan penyimpanan garam.

Hasil uji chi square menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara penggunaan garam beryodium dengan status gizi balita berdasarkan indikator TB/U (p=0,40) dan indikator BB/TB (p= 0,000). Dapat diketahui bahwa keluarga yang menggunakan garam beryodium dengan kategori baik memiliki (9,0%) status gizi tinggi berdasarkan indikator TB/U dan (78,2%) status gizi normal

(8)

8 berdasarkan indikator BB/TB. Hasil penelitian

Zahraini (2009) juga menyatakan bahwa ada hubungan antara menggunakan garam beryodium dengan status gizi berdasarkan indeks TB/U dan BB/TB.

Hasil penelitian juga menunjukkan keluarga yang menggunakan garam beryodium dengan kategori baik terdapat (17,9%) status gizi pendek berdasarkan indikator TB/U dan (20,5%) status gizi kurus berdasarkan indikator BB/TB. Hal ini dapat dikarenakan meskipun sebagian besar keluarga sudah menggunakan garam beryodium namun belum diyakini apakah jumlah yodium yang digunakan cukup atau tidak karena hanya melihat label pada garam saja, penanganan dan cara penyimpanan garam yang kurang baik dapat menyebabkan kandungan dalam yodium berkurang bahkan hilang. Menurut Depkes RI (2005) garam beryodium baik adalah garam yang mempunyai kandungan yodium dengan kadar yang cukup (>30 ppm kalium yodat). Faktor genetik juga dapat mempengaruhi anak memiliki status gizi kurus.

Hubungan Memberikan Kapsul Vitamin A Kepada Balita Dengan Status Gizi Balita

Vitamin A sangat diperlukan oleh tubuh, penyakit akibat kekurangan vitamin A ini disebut xeropthalmia. Hasil penelitian uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara memberikan kapsul vitamin A kepada balita dengan status gizi berdasarkan indikator BB/U (p= 1,000), TB/U (p= 0,148) dan BB/TB (p= 0,063). Hasil penilitian serupa dengan hasil penelitian Zahraini (2009) juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara memberikan kapsul vitamin A kepada balita dengan status gizi balita. Hasil penelitian dapat diketahui bahwa kesadaran keluarga terhadap gizi berdasarkan indikator pemberian kapsul vitamin A pada balita yang paling banyak adalah pada kategori baik yaitu (95,3%). Hal ini diharapkan dapat membantu agar anak balita terhindar dari penyakit yang disebabkan kurang vitamin A (xeropthalmia) dan membantu meningkatkan daya tahan tubuh anak balita. Hal ini diharapkan dapat membantu agar anak balita terhindar dari penyakit yang disebabkan

kurang vitamin A (xeropthalmia) dan membantu meningkatkan daya tahan tubuh anak balita.

Menurut Poejiadi (1994) vitamin A berperan dalam sintesi mukoprotein dan mukopolisakarida yang berfungsi mempertahankan kesatuan epitel, khususnya jaringan mata, mulut, alat pernafasan, alat pernafasan, dan saluran genital. Oleh karena itu, apabila terjadi kekurangan vitamin dan mineral maka akan terjadi gangguan pembentukan mukosa yang dapat menyebabkan tubuh mudah terkena infeksi sehingga jadi mudah sakit.

Hubungan Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) Dengan Status Gizi Balita

Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar keluarga belum malaksanakan perilaku KADARZI sepenuhnya. Keluarga termasuk sudah KADARZI apabila sudah melaksanakan semua indikator KADARZI yaitu menimbang berat badan secara teratur, memberikan ASI Eksklusif dan makan beranekaragam makanan, menggunakan garam beryodium dan memberikan kapsul vitamin A kepada balita. Apabila salah satu dari indikator KADARZI tidak dilaksanakan maka keluarga termasuk belum KADARZI.

Menurut Gabriel (2008) faktor yang mempengaruhi KADARZI diantaranya adalah faktor sosio demografi yang meliputi tingkat pendidikan orang tua, umur orang tua, jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, ketersediaan pangan, pengetahuan dan sikap ibu terhadap gizi.

Hasil penelitian uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara KADARZI dengan status gizi berdasarkan indikator BB/TB (p= 0,014). Hasil penelitian Zahraini (2009) juga menyatakan bahwa ada hubungan antara KADARZI dengan status gizi balita berdasarkan indeks BB/U dan TB/U.

Dari 17 keluarga yang sudah menjalankan kelima indikator KADARZI dengan kategori baik masih terdapat (11,8%) balita dengan status gizi kurang, (17,6%) balita dengan status gizi pendek dan (11,8%) balita dengan status gizi kurus hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor sosio demografi yang

(9)

9 meliputi tingkat pendidikan, pendapatan

keluarga, ketersediaan pangan, pengetahuan dan sikap ibu terhadap gizi. Hal ini sejalan dengan teori menurut Jellife (1994) ada dua faktor yang mempengaruhi status gizi anak, pertama adalah faktor eksternal yang meliputi keadaan infeksi, konsumsi makanan, kebudayaan, sosial ekonomi, produksi pangan, sarana kesehatan serta pendidikan kesehatan. Sedangkan yang kedua adalah faktor internal meliputi faktor genetik dan individual.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa perilaku gizi ibu yang terdiri dari pengetahuan dan sikap sudah baik. Namun tindakan KADARZI ibu masih rendah dalam hal menimbang berat badan secara teratur, memberikan ASI Eksklusif dan makan beranekaragam makanan. Perilaku KADARZI yang tidak berhubungan dengan peningkatan status gizi balita adalah makan beranekaragam makanan dan memberikan kapsul vitamin A pada balita. Secara umum dijumpai ada hubungan yang bermakna antara perilaku KADARZI dengan status gizi balita usia 12-59 bulan diwilayah kerja puskesmas Blangkejeren kecamatan Blangkejeren kabupaten Gayo Lues.

SARAN

Menambah pengetahuan masyarakat tentang KADARZI dengan cara meningkatkan penyuluhan mengenai KADARZI dengan penyebarluasan informasi melalui media penyuluhan tradisional (wirit yasin, kegiatan PKK dan lain-lain) yang ada diwilayah Puskesmas secara berkala dan berkesinambungan.

Masih perlu dilakukan sosialisasi secara merata tentang KADARZI serta indikator perilakunya kepada masyarakat untuk mencegah dan mengurangi terjadinya masalah gizi pada balita.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S.2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Arisman. 2007. Gizi Dalam Daur

Kehidupan. Jakarta. EGC.

Danuatmoja, B,.Meiliasari M, 2004. 40 Hari Pasca Persalinan Masalah Dan Solusinya, penerbit Puspa Swara, Jakarta.

Depkes RI, 2000. Buku Pintar Konseling Keluarga Mandiri Sadar Gizi. Depkes, Jakarta

Depkes RI, 2000. Ibu Bekerja Tetap Memberi ASI. Depkes, Jakarta.

Depkes RI, 2005. Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Penyelenggara Perbaikan Gizi Masyarakat (KADARZI), Jakarta.

Depkes RI. 2007. Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kadarzi, Jakarta. Depkes RI. 2007. Laporan Riset Kesehatan

Dasar. Badan Litbangkes, Jakarta. Dinkes Aceh. 2007. Pengolahan Program

Perbaikan Gizi Kabupaten/Kota. Aceh.

Dinkes Blangkejeren. 2010. Profil Kesehatan Dinkes Blangkejeren. Gayo Lues. Dinkes Blangkejeren. 2012. Profil Puskesmas

Perawatan Kota Blangkejeren. Gayo Lues.

Dinas Kependudukan Blangkejeren. 2011. Statistik Kecamatan Blangkejeren 2011. Gayo Lues.

Grabiel, A. 2008. Perilaku Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) Serta Hidup Bersih Dan Sehat Ibu Kaitannya Dengan Status Gizi Dan Kesehatan Balita Di Desa Cikarawang Bogor Tahun 2008, Skripsi IPB, Bogor.

Hardiansyah, Martianto D.2006. Menaksir Angka Kecukupan Energi Dan Protein Serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Bogor: Winasari. Jelliffe DB. 1994. Kesehatan anak di daerah

tropis. Bumi aksara. Jakarta.

Kemenkes RI. 2011. Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk. Kemenkes RI, Jakarta.

(10)

10 Mardiana. 2006. Hubungan Perilaku Gizi

Ibu Dengan Status Gizi Balita Di Puskesmas Tanjung Beringin Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat 2006, Skripsi FKM USU, Medan.

Notoatmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat Dan Ilmu Seni, Penerbit Rineka Cipta.Jakarta.

Poedjiadi A. 1994. Dasar-Dasar Biokomia. Universitas Indonesia, Jakarta.

Soekirman, 2000. Ilmu Gizi Dan Aplikasinya Untuk Keluarga Dan Masyarakat. Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Tinggi Nasional, Jakarta. Soekirman, dkk.2006. Hidup Sehat: Gizi

Seimbang Dalam Siklus Kehidupan Manusia. PT. Primamedia Pustaka, Jakarta.

Sunarti, E. 2001. Peningkatan Ketahanan Keluarga Terhadap Bencana. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Bogor.

Untoro, R, 2006. Penanggulangan Kurang Gizi Merupakan Bagian Integral Pembangunan SDM Di Nangro Aceh Darussalam. http://www.depkes.go.id Diakses pada tanggal 2 feb 2009. UNICEF, 2003. A World Fit for Children,

New York

Utamy, R, 2008, ASI Ekslusif, Jakarta ,Trubus Agriwiya.

Zahraini, Y. 2009. Hubungan Status Kadarzi Dengan Sataus Gizi Balita Usia 12-59 Bulan Di Provinsi DI Yogyakarta Dan Nusa Tanggara Timur Tahun 2009, Skripsi, FKM UI, Jakarta.

WHO. 2005. Interpensi Pemantauan Pertumbuhan. WHO.

(11)

Gambar

Tabel  4.2.  Distribusi  Memberikan  ASI
Tabel  4.4.  Distribusi  Status  gizi  Balita  Berdasarkan  Indikator  BB/U,  TB/U  dan  BB/TB  Di  Kecamatan  Blangkejeren  Tahun 2012

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti hanya melakukan analisis prediksi kondisi tingkat kesehatan keuangan perusahaanpada perusahaan food and beverage yang terdaftar di BEI periode 2013-2015 dengan model

Pengusaha Retail Untuk Meningkatkan Usaha, dapat diambil kesimpulan yaitu salah satu cara mengetahui kelayakan sebuah perusahaan atau bisnis untuk dijadikan

Beberapa penelitian menerapkan terapi kognitif perilaku dan terapi interpersonal yang dimana dapat mencegah onset awal dari terjadinya gangguan depresi pada

Malang Nomor 7 Tahun 2010 yo Pasal 4 Peraturan Bupati Malang Nomor 7 Tahun 2012 terkait dengan rekomendasi Dokumen UKL- UPL yang dihadapi oleh Badan

Ulangi pengamatan arus DC, penguatan mode diferensial, dan penguatan mode bersama ini untuk rangkaian dengan resistansi bias dan tegangan bias negatif yang lebih tinggi

Cara yang dijalankan oleh pemerintah kolonial ini dapat dimaklumi karena untuk dapat memenuhi kebutuhan yang berhubungan dengan keuangan dalam pelaksanaan kegiatan pengajaran

Kombinasi perlakuan (Teknologi budidaya) terhadap hasil gabah kering giling ton/ha varietas spesial/beras khusus pada kegiatan super impose, Desa Karangwangi,

Hasil pelaksanaan IbM menunjukkan bahwa (1) Secara umum anggota Kelompok Wanita Tani Tunas Harapan I dan Tunas Harapan II telah memahami arti penting pertanian organik,