• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. penyaluran kredit pada segmen corporate dan commercial kepada debitur yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. penyaluran kredit pada segmen corporate dan commercial kepada debitur yang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ketatnya iklim kompetisi perbankan di Indonesia, khususnya dalam penyaluran kredit pada segmen corporate dan commercial kepada debitur yang feasible dan bankable, semakin mendorong bank-bank memberikan kelonggaran-kelonggaran persyaratan perkreditan. Negative Pledge merupakan salah satu kelonggaran dalam persyaratan jaminan kredit, yang dapat menjembatani kesulitan dalam hal pemberian kredit kepada debitur, yang mempunyai reputasi dan prospek bisnis yang baik.

Awalnya, Negative Pledge hanya merupakan suatu klausula dalam sebuah perjanjian kredit yang menyatakan debitur berjanji untuk tidak mengalihkan, menjaminkan aset tertentu kepada kepada pihak manapun dengan cara apapun. Namun, di beberapa negara maju yang menganut Common Law System, Negative Pledge mengalami perkembangan tersendiri yang dikenal dengan Negative Pledge Security yang artinya kredit yang dijamin dengan Negative Pledge.

Namun, dengan adanya globalisasi sektor perbankan, akhirnya Negative Pledge Security berkembang ke negara yang menganut Civil Law System, salah satunya adalah Indonesia. Beberapa bank di Indonesia mulai menggunakan Negative Pledge sebagai jaminan dalam pemberian fasilitas kreditnya, salah satunya yang akan

(2)

dijadikan acuan penelitian adalah Negative Pledge dalam Perjanjian Kredit Modal Kerja yang diberikan oleh PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.

PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk mengatur persyaratan pemberian kredit modal kerja yang dijamin kondisi Negative Pledge dalam Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri (“KPBM”) dan Standar Prosedur Kredit (“SPK”) Corporate. Dalam aturan tersebut disebutkan mengenai kriteria-kriteria debitur yang memenuhi persyaratan sebagai berikut ( Bank Mandiri : 2007, 10 ) :

1. Perusahaan tergolong dalam segmen corporate.

2. Perusahaan diutamakan telah terdaftar/listing di bursa efek.

3. Perusahaan pada saat analisa pemberian fasilitas kredit dilakukan, memimiliki financial rating dan costumer rating masing-masing minimal “A” berdasarkan klasifikasi rating Bank Mandiri.

4. Laporan keuangan perusahaan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang telah menjadi rekanan Bank Mandiri.

5. Harta kekayaan perusahaan belum dan tidak akan menjadi agunan kepada kreditur lain.

6. Jangka waktu kredit diutamakan bersifat jangka pendek.

7. Produk yang dihasilkan oleh perusahaan mempunyai brand image yang kuat.

Persyaratan-persyaratan khusus tersebut diberikan sebagai upaya bank melaksanakan prinsip kehati-hatian (Prudential Banking), serta meminimalisir risiko terjadinya kredit macet. Kondisi pemberian kredit dengan Negative Pledge ini tentunya berbeda dengan praktek perbankan pada umumnya. Peraturan perbankan yang dulu, yakni Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan dalam Pasal 24 ayat 1 menyatakan: “Bank Umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga”(Indonesia: 1967, Ps. 24 ayat 1).

(3)

Akan tetapi, sejak krisis moneter yang menghantam sektor bisnis, dalam aturan perbankan yang baru yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tidak mengharuskan adanya jaminan dalam pemberian kredit. Justru, bank dalam memberikan kreditnya wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang berbunyi:

“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan ” (Indonesia: 1998, Ps. 8 ayat 1).

Dalam praktek perbankan, sumber utama pelunasan kredit yang diberikan (first way out) berasal dari pendapatan operasional debitur dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sebelum pendapatan operasional dipakai untuk melunasi kewajiban kreditnya maka terlebih dahulu, pendapatan tersebut harus dapat menutup kebutuhan operasional debitur seperti biaya-biaya yang harus dikeluarkan.

Apabila ternyata debitur gagal dalam kegiatan usahanya sehingga tidak dapat mampu melunasi kreditnya dan atau mengalami kesulitan dalam usahanya sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan pendapatan yang cukup untuk membayar kreditnya, maka bank sebagai kreditur harus memperoleh kepastian bahwa hasil penjualan agunan atau hasil likuidasi atas kekayaan debitur melalui putusan

(4)

pailit dari pengadilan dapat dijadikan sumber pelunasan alternatif atas kredit yang telah diberikan. Disamping dari hasil penjualan agunan atau likuidasi kekayaan debitur karena perusahaan dinyatakan pailit, juga termasuk harta kekayaan penjamin atau guarantor serta barang agunan milik pihak ketiga, dapat pula menjadi sumber

pelunasan. Penyelesaian fasilitas kredit melalui eksekusi agunan dalam praktek perbankan disebut dengan second way out.

Selain itu, secara normatif sarana perlindungan bagi kreditur telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Undang-undang telah mengatur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan jaminan bagi pemberian uang oleh kreditur kepada debitur. Terdapat dua asas umum mengenai jaminan. Asas pertama diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:

“ Segala harta kekayaan si berutang, baik yang berupa benda bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. ”

Dengan kata lain, pasal ini memberikan ketentuan bahwa apabila debitur wanprestasi, maka hasil penjualan atas semua harta kekayaan debitur tanpa kecuali merupakan sumber pelunasan bagi utangnya. Ketentuan pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut merupakan ketentuan yang memberi perlindungan hukum kepada kreditur, selain itu ketentuan tersebut merupakan asas yang bersifat universal yang terdapat hampir pada semua sistem hukum setiap negara.

Asas umum yang kedua adalah sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

(5)

“ Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan - alasan yang sah untuk didahulukan. ”

Dengan demikian apabila debitur wanprestasi maka hasil penjualan atas harta kekayaannya akan dibagikan secara proporsional menurut besarnya piutang masing-masing kreditur, kecuali apabila diantara para kreditur tersebut terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan dari kreditur-kreditur lain ( Munir Fuady, 2003: 216 ).

Terhadap fasilitas kredit yang dijamin dengan Negative Pledge karena termasuk dalam kredit tanpa jaminan (unsecured loan) maka pemberian kredit diberikan secara selektif kepada debitur dengan kriteria tertentu, serta dengan berbagai macam pertimbangan bisnis dan mitigasi resiko yang dilakukan secara komprehensif oleh bank. Pertimbangan yang paling utama adalah dalam rangka pengembangan potensi bisnis atau cross selling untuk produk perbankan lainnya

diluar perkreditan untuk meningkatkan pendapatan fee atau pendapatan non bunga.

Sedangkan untuk mitigasi resiko, fasilitas ini hanya diberikan kepada debitur dengan reputasi dan track record baik di bisnis dan perbankan serta limit fasilitas yang jauh

di bawah nilai asetnya.

Selain pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, tentunya kajian mengenai aspek hukum, menjadi salah satu pertimbangan bank untuk menanggulangi apabila di kemudian hari kredit yang diberikan oleh bank macet. Mengingat, kredit yang telah diberikan tidak selamanya berkualitas lancar. Sementara bank tetap harus membayar

(6)

dana pihak ketiga yang ditempatkan oleh nasabah (pemilik dana) dalam kondisi apapun tanpa dapat memberikan alasan bahwa kredit yang diberikan macet dan tidak dapat ditarik sehingga penarikan dana nasabah harus ditunda menunggu penyelesaian atau pelunasan kredit tersebut. Prinsip ketidakpastian usaha debitur di satu pihak dan prinsip kepastian akan likuiditas dan solvabilitas bank terhadap nasabah di pihak lain, adalah dilema yang terus menerus harus dihadapi bank dimanapun di dunia ini ( Gunarto Suhardi, 2003 : 88 ).

Banyak terjadi kredit yang diberikan menjadi bermasalah yang disebabkan berbagai alasan, misalnya usaha yang dibiayai dengan kredit mengalami kemerosotan usaha, penurunan penjualan, kalah bersaing, adanya krisis moneter dan ekonomi seperti sekarang ini dan adanya kesengajaan debitur melakukan penyimpangan dalam penggunaan kredit, yang mengakibatkan sumber pendapatan dari usaha tidak mencukupi bahkan gagal dalam mengembangkan usahanya ( Sutarno, 2004: 7 ).

Bank sebagai kreditur tentu tidak serta merta melakukan tindakan hukum untuk mematikan usaha debitur dengan melakukan eksekusi terhadap aset-aset debitur yang akibatnya debitur kehilangan segala-galanya dalam perusahaan itu. Bank sedapat mungkin akan menghindarkan tindakan hukum berupa legal action atas aset

debitur, karena bagaimanapun debitur adalah mitra usaha yang sangat penting bagi bank dalam meningkatkan pendapatan bank. Karena itu bank sebagai kreditur memiliki kewajiban membina dan memberikan bantuan manajemen serta memberikan keringanan kepada para debitur dalam menyelesaikan utangnya. Walaupun kredit yang diberikan debitur dalam kualitas macet, tetapi sepanjang usaha

(7)

debitur diniliai masih memiliki prospek usaha yang baik dan debitur kooperatif dalam usaha menyelesaikan kredit macet tersebut maka kreditur akan melakukan restrukturisasi kredit macet tersebut, melakukan perubahan-perubahan perjanjian kredit, dan pengikatan jaminan ( Sutarno, 2004: 7 ).

Tindakan hukum terpaksa dilakukan karena usaha-usaha restrukturisasi tidak dapat dilakukan atau restrukturisasi telah dilakukan namun debitur tetap gagal melaksanakan perjanjian restrukturisasi, sehingga tidak mampu mengangkat kualitas kredit menjadi lancar kembali. Dengan tindakan hukum ini berarti bank sebagai kreditur benar-benar memutuskan hubungan dengan debitur sebagai mitra usaha yang saling memberikan manfaat dan keuntungan. Tindakan hukum tersebut dilakukan di luar lembaga hukum atau melalui lembaga-lembaga hukum. Antara lain, melalui Pengadilan Negeri, Panitia Urusan Piutang Lelang Negara /Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (PUPN/DJPLN), atau Pengadilan Niaga ( Sutarno, 2004: 7 ).

Atas dasar kepercayaan dalam pemberian kredit kepada debitur, bank hanya boleh meneruskan simpanan masyarakat kepada debitur dalam bentuk kredit, jika betul-betul yakin bahwa debitur akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui kedua belah pihak. Untuk itu, regulasi perbankan di Indonesia mewajibkan bank dalam menjalankan aktivitasnya, bank harus memegang prinsip kehati-hatian (prudential banking practices). Prinsip tersebut harus dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tetap terjaga kelangsungan usahanya.

(8)

Prinsip kehati-hatian secara normatif diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan masih dipertahankan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No.7 Tahun 1992, yang berbunyi: ” Perbankan Indonesia dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati -hatian ”. Di sini jelas bahwa prinsip kehati-hatian harus melandasi setiap gerak perbankan dalam menjalankan operasional bisnisnya.

Penyaluran kredit harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian melalui analisa yang akurat dan mendalam, penyaluran yang tepat, pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian yang sah dan memenuhi syarat hukum, pengikatan jaminan yang kuat, dan dokumentasi perkreditan yang teratur dan lengkap, semuanya itu bertujuan agar kredit yang disalurkan tersebut dapat kembali tepat pada waktunya sesuai perjanjian kredit yang meliputi pinjaman pokok dan bunga. Apabila kredit yang telah disalurkan bank kepada masyarakat dalam jumlah besar tidak dibayar kembali kepada bank tepat pada waktunya sesuai perjanjian kredit maka kualitas kredit dapat digolongkan menjadi Non Performing Loan (NPL). Jumlah kredit yang

NPL-nya tinggi mengakibakan dapat mengganggu likuiditas bank yang bersangkutan. Kondisi likuiditas terganggu akibat meningkatnya kredit bermasalah (NPL), akan bertambah parah jika terjadi Rush yaitu suatu kondisi yang terjadi jika masyarakat

yang menyimpan dana pada bank tersebut tiba-tiba menarik dananya secara serentak dalam jumlah besar dan bank harus membayar saat itu juga, tidak boleh menunda-nunda atau menolak. Akibatnya, bank tersebut bisa mengalami kesulitan likuiditas.

(9)

Oleh karena itu, setiap bank harus menjaga kepercayaan masyarakat penyimpan dana, memperlakukan nasabah penyimpan dana adalah sebagai sumber profit, ”Costumer is king”. Peranan Asset Liquidity Committee (ALCO) sangat penting dalam mengelola dan mengantisipasi likuiditas antara dana yang dipinjamkan dalam bentuk kredit dengan dana-dana yang berasal dari masyarakat ( Sutarno, 2004: 2 ).

Kredit yang dikelola dengan prinsip kehati-hatian akan menempatkan kredit pada kualitas yang Performing Loan sehingga dapat memberikan pendapatan bagi bank. Pendapatan yang diperoleh dari kegiatan perkreditan berupa selisih antara biaya dana dengan pendapatan bunga yang dibayar para pemohon kredit.

Dengan demikian, keberhasilan unit kerja pengelolaan kredit atau divisi kredit dalam menjaga kualitas kredit berupa pembayaran bunga dan pokok yang lancar merupakan sumbangan besar bagi suksesnya suatu bank. Untuk mencapai pada tujuan keberhasilan pengelolaan kredit harus dilakukan analisa yang akurat dan mendalam oleh seorang analis dan pejabat-pejabat yang bertugas di unit kerja pengelolaan kredit guna mengurangi resiko kredit yang bermasalah. Seorang analis dan pejabat yang bekerja di unit pengelolaan kredit harus mampu melakukan analisa dari berbagai aspek, seperti aspek hukum, aspek pemasaran, aspek lingkungan, aspek keuangan, aspek sosial ekonomi, aspek teknis dan aspek lainnya yang masih berkaitan dengan tujuan permohonan kredit ( Sutarno, 2004: 3 ).

(10)

B. Permasalahan

Bertitik tolak dari uraian latar belakang permasalahan seperti tersebut di atas, masalah pokok yang perlu diteliti adalah:

1. Bagaimanakah penerapan Negative Pledge dalam Perjanjian Kredit Modal Kerja perbankan?

2. Apakah syarat-syarat pemberian fasilitas kredit modal kerja yang dijamin kondisi Negative Pledge dalam operasional di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk?

3. Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur yang memberikan fasilitas kredit modal kerja kepada debitur yang dijamin kondisi Negative Pledge?

C. Keaslian Penelitian

Penulis telah melakukan tinjauan kepustakaan di Perpustakaan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjahmada, penelitian tentang “Tinjauan Yuridis Fasilitas Kredit Modal Kerja yang Dijamin Kondisi Negative Pledge Dalam Operasional Di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk,” sepanjang yang penulis ketahui belum pernah diteliti oleh pihak lain. Penelitian yang berhubungan dengan permasalahan kredit perbankan yang pernah di tulis adalah mengenai jaminan dalam perjanjian kredit perbankan, termasuk bank garansi, seputar masalah perlindungan hukum konsumen kartu kredit, kejahatan serta kecurangan (fraud) pada kartu kredit, sedangkan dalam penulisan tesis ini penulis lebih menekankan kepada kebijakan,

(11)

pertimbangan hukum untuk Fasilitas Kredit Modal Kerja yang dijamin kondisi Negative Pledge. Untuk itu maka penelitian ini merupakan hasil pemikiran sendiri dan akan diteliti lebih lanjut oleh peneliti sendiri.

D. Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan akan memperoleh kegunaan atau manfaat sebagai berikut:

1. Sebagai sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu hukum khususnya dibidang hukum perbankan dan hukum bisnis.

2. Meningkatkan pemahaman atas azas dan tujuan hukum yang melandasi hukum bisnis dan hukum perbankan.

3. Menemukan hal-hal baru dan hambatan-hambatan serta resiko-resiko dalam praktek pemberian fasilitas kredit modal kerja yang dijamin kondisi Negative Pledge.

4. Untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam mengenai fasilitas kredit yang dijamin kondisi Negative Pledge sehubungan dengan adanya keterbatasan potensial debitur dalam memberikan jaminan berupa agunan kebendaan.

E. Tujuan Penelitian

Mengacu kepada pokok permasalahan sebagaimana terurai di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi dan mencari jawaban atas masalah-masalah sebagai berikut :

(12)

1. Untuk mengetahui penerapan Negative Pledge dalam perjanjian kredit perbankan.

2. Untuk mengetahui syarat-syarat pemberian fasilitas kredit modal kerja yang dijamin kondisi Negative Pledge dalam operasional di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.

3. Untuk mendapatkan kejelasan perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur yang memberikan fasilitas kredit modal kerja kepada debitur yang dijamin kondisi Negative Pledge.

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan kompos cair pada sistem budidaya hidroponik ini konsentrasi larutan hara harus disesuaikan dengan kebutuhan tanaman.. Penelitian ini bertujuan mengetahui

Bank syariah pada umunya telah menggunakan murabahah sebagai instrumen pembiayaan (financing) yang utama (Jannah, 2009)...

Jumlah media saat menyemai juga menjadi perhatian karena media yang ketinggiannya lebih dari 1,5 cm, setelah umur 15 hari cendrung masih bersisa banyak ini

[r]

• terjadi apabila debit solid yang datang lebih kecil daripada kemampuan transpor sedimen.. • dasar sungai tererosi • dasar sungai turun

Penelitian ini menunjukkan bahwa menguras TPA (p=0.000) dan menutup TPA (p=0.000) berhubungan dengan keberadaan larva Aedes aegypti , sedangkan mengubur barang bekas yang

Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap kreditur dalam penyaluran kredit golongan berpenghasilan tetap (Golbertap) terhadap debitur dalam hal kantor

Dengan adanya perkembanganperkembangan itu maka skripsi ini membahas tentang aplikasi sistem penunjang keputusan (DSS) berbasis web untuk perjalanan wisata dimana aplikasi DSS ini