• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Neural Network Backpropagation Untuk Klasifikasi Jamur Penyebab Penyakit Antraknosa Pada Cabai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Neural Network Backpropagation Untuk Klasifikasi Jamur Penyebab Penyakit Antraknosa Pada Cabai"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

LANDASAN TEORI

Bab ini membahas tentang teori penunjang dan penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penerapan metode neural network backpropagation pada image enhancement untuk mengidentifikasi jamur penyebab penyakit Antraknosa pada cabai.

2.1. Cabai (Capsicum annum L.)

Cabai adalah tumbuhan yang masuk kedalam anggota genus Capsicum. Buah cabai dapat digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu, tergantung bagaimana cara penggunaannya. Cabai sebagai bumbu sangat populer di Asia Tenggara untuk penguat rasa makanan.

2.2. Antraknosa ( Pathek )

Antraknosa atau yang sering disebut dengan istilah “Pathek” adalah sebuah penyakit yang menyerang tanaman buah cabai. Antraknosa sendiri disebabkan oleh:

2.2.1. Colletotrichum Capsici

Pada jamur Colletotrichum Capsici gejala serangan yang ditimbulkan

adalah terdapatnya bintik-bintik kecil berwarna kehitaman dan berlekuk, pada buah

yang masih hijau atau yang sudah masak. Bintik-bintik ini tepinya berwarna kuning,

membesar dan memanjang. Bagian tengahnya menjadi semakin gelap (Than, 2008).

Dan cara untuk mengatasinya adalah dengan cara pengendalian yang dapat dilakukan

pada tanaman cabai yang terserang Colletotrichum capsici yaitu sanitasi,

(2)

memanfaatkan Trichoderma dan Gliocladium serta dapat pula dengan menggunakan

varietas tahan.

Gambar 2.1. Cabai yang terkena Colletotrichum Capsici

2.2.2. Gloeosporium Piperatum.

Pada jamur Gloeosporium Piperatum gejala yang terjadi pada cabai adalah buah

berbentuk cekung dan terdapat bintik-bintik hitam pada pinggiran buah.

Gambar 2.2. Cabai yang terkena Gloesporium Piperatum

2.3. Pengenalan Citra

(3)

level (Gonzales, et al. 2002). Sedangkan citra digital adalah citra dua dimensi yang dapat diolah oleh beberapa perangkat lunak tertentu (Kadir, et al. 2013) yang mempunyai nilai digital yang disebut pixel (picture elements).

2.3.1. Citra Warna

Pada setiap citra warna memiliki pixel untuk mewakili warna yang merupakan kombinasi dari tiga warna dasar yaitu RGB (Red Green Blue). 1 pixel warna diwakili oleh 3 byte yang setiap byte-nya mempresentasikan warna merah (Red), hijau (Green) dan biru (Blue). Setiap warna dasar memerlukan tempat penyimpanan 8 bit = 1 byte atau sama dengan gradasi warna sebanyak 255 warna yang berarti setiap pixel mempunyai 224 = 16 juta warna lebih (Sutoyo, et al. 2009).

2.4. Pengolahan Citra Digital (Digital Image Processing)

Menurut Kadir & Susanto (2013) pengolahan gambar citra atau digital image

processing adalah ilmu yang mempelajari tentang manipulasi dan modifikasi citra,

seperti perbaikan kualitas citra, pemilihan ciri citra (feature images) yang bertujuan

untuk analisis, dan transformasi citra (rotasi, skala, translasi), dengan menggunakan

komputer untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Pada proses pengolahan citra ini

bermaksud agar gambar awal yang memiliki gangguan lebih mudah untuk

diinterpretasikan dengan cara memanipulasikan citra menjadi citra lain.

Pada penelitian ini, pengolahan citra yang dilakukan terhadap sebuah citra

digital cabai adalah

2.4.1. Image Enhancement

Image enhancement merupakan sebuah proses awal pada pengolahan citra yang

bertujuan untuk meningkatkan kualitas citra agar memiliki format yang lebih baik.

Salah satu penyebab citra seringkali mengalami penurunan mutu (degradasi) adalah

citra cacat (noise). Noise adalah titik-titik yang terdapat pada citra yang bukan

merupakan suatu bagian dari citra, melainkan terjadi karena suatu sebab (Putra, 2010).

Tujuan dari image enhancement adalah untuk memperoleh informasi sesuai dengan

(4)

2.4.1.1. Image Brightness

Brightness adalah proses menambah terang/gelap sebuah gambar dengan menambah nilai derajat keabuan (xg) dengan nilai perubah brightness (kb).

Adapun rumus dari image brightness adalah sebagai berikut:

fo(x,y) = fi(x,y) + k 2.1

fo(x,y) : Nilai pixel pada titik x,y setelah brightness

fi(x,y) : Nilai pixel pada titik x,y citra asli

k : nilai penguatan citra

rumus diatas digunakan pada citra greyscale. Bila digunakan pada citra RGB akan

diturunkan sebagai berikut :

foR(x,y) = fiR(x,y) + k 2.2

foG(x,y) = fiG(x,y) + k 2.3

foB(x,y) = fiB(x,y) + k 2.4

foRGB(x,y) : Nilai pixel pada titik x,y citra RGB setelah brightness

fiRGB (x,y) : Nilai pixel pada titik x,y citra RGB asli

k : nilai penguatan citra

2.4.1.2. Contrast Stretching

Contrast stretching adalah teknik yang berguna untuk mendapatkan citra baru yang

memiliki kontras lebih baik dibandingkan citra asal. Citra yang berskala keabuan

dikatakan kontras rendah karena kurangnya pencahayaan atau kesalahan setting lensa

pada saat pengambilan citra sehingga distribusi warna cenderung pada jangkauan

keabuan yang sempit dan sebaliknya, citra yang memiliki kontras tinggi apabila

jangkauan keabuan lebih terdistribusi secara melebar (Kadir & Susanto, 2013). Proses

contrast stretching adalah proses yang bersifat point processing, dimana proses hanya

(5)

lain yang ada disekitarnya (Fatmawati, 2010). Kontras pada citra dibagi menjadi 3

kelompok, yaitu:

1. Citra Kontras Rendah

Citra kontras rendah mempunyai ciri-ciri yang sebagian besar komposisi

citranya adalah terang atau gelap dengan nilai keabuan piksel rentang 0

Citra kontras tinggi mempunyai nilai keabuan yang lebar, tetapi terdapat

area yang didominasi oleh warna gelap atau terang.

2.4.1.3. Image Sharpening

Image sharpening atau penajaman citra merupakan proses pengolahan citra yang

bertujuan untuk mempertajam tepi yang ada pada sebuah citra. Image sharpening

adalah kebalikan dari image smoothing, karena pada operasi ini, bagian citra yang

lembut akan dibuang (Sundani, et al. 2014). Image sharpening lebih berpengaruh

pada tepi objek, sehingga image sharpening sering disebut edge enhancement

2.4.2. Feature Extraction

Ektrasi fitur adalah pengambilan ciri atau feature pada sebuah citra yang nantinya nilai

yang didapatkan akan diproses atau dianalisis untuk mendapatkan suatu informasi

yang penting dan berguna (Kadir & Susanto, 2013). Ekstraksi fitur dilakukan dengan

cara menghitung jumlah pixel yang ada pada sebuah citra.

Pada penelitian ini, ekstraksi fitur warna yang digunakan pada buah cabai

adalah ruang warna HSV.

2.4.2.1. Deteksi Warna HSV

Model warna HSV adalah model warna yang mendefenisikan warna Hue, Saturation

dan Value. Pada model warna ini, Hue menyatakan nilai warna yang sebenarnya,

seperti merah, kuning dan violet. Hue digunakan untuk menentukan menentukan

(6)

dengan panjang gelombang cahaya. Saturation digunakan untuk menyatakan tingkat

kemurnian warna dengan mengindikasi berapa banyak warna putih yang ada pada

sebuah warna. Value adalah atribut yang digunakan untuk menyatakan banyaknya

cahaya yang diterima oleh mata tanpa memperdulikan warna.

Hue bernilai antara 0 sampai 1 yang berarti warna dimulai dari merah

melewati kuning, cyan, biru, hijau dan magenta dan kembali menjadi merah.

Saturation bernilai antara 0 sampai 1 yang berarti dimulai dari tidak tersaturutasu

(keabuan) sampai menjadi tersaturutasi penuh (tidak putih). Nilai value antara 0

sampai 1 yang berarti warna menjadi cerah.

Gambar 2.3 Model Warna HSV (Rakhmawati, 2013).

Hue adalah variable yang menyatakan warna merah hingga violet. Hue berguna untuk mengukur sudut sekitar roda warna (merah pada 0°, hijau 120°, dan biru di 240°). Nilai pada Hue berkisar antara 0° sampai dengan 360°. Saturation, yang bisa juga disebut purity, merupakan variable untuk menyatakan vibrancy dari sebuah warna. Semakin kecil nilai pada Saturation, maka warna yang ditampilkan condong ke warna abu. Skala nilai dari Saturation berkisar antara 0% hingga 100%. Value menunjukkan nilai kecerahan dari suatu warna berkisar antara 0% hingga 100% (Rakhmawati, 2013).

Untuk mendapakan nilai fitur pada warna dimulai dengan mengkonversi citra RGB menjadi citra HSV. Sebelum citra RGB dikonversi menjadi citra HSV maka nilai RGB perlu dinormalisasikan terlebih dahulu dengan persamaan berikut 2.5.

(7)

r : nilai red yang dinormalisasi g : nilai green yang dinormalisasi b : nilai blue yang dinormalisasi R : nilai red awal mendapatkan hasil dari Hue akan dilakukan penghitungan untuk mencari hasil niali dari Saturation dan Value dengan menggunakan persamaan 2.7.

{

2.5. Neural Network (Jaringan Syaraf Tiruan)

Jaringan syaraf tiruan (JST) adalah sistem yang dapat merubah bentuk strukturnya

untuk memecahkan masalah yang ada berdasarkan infromasi yang diterima. Jaringan

2.5

2.6

(8)

syaraf tiruan merupakan bentuk pembelajaran yang tercipta karena terinspirasi dari

jaringan syaraf manusia, dengan beberapa asumsi, yaitu (Hermawan, 2006) :

1. Pemrosesan informasi yang terjadi pada elemen sederhana disebut neuron

2. Sinyal antar neuron saling berhubungan melalui saluran penghubung

3. Setiap saluran penghubung nilai bobot yang kemudian melakukan operasi

perkalian dengan sinyal yang ditransmisikan

4. Setiap neuron memberlakukakan fungsi aktivasi pada masukan total

Pada JST terdapat empat bagian utama, yaitu:

1. Neuron

Neuron atau node adalah sebuah unit/tempat memproses informasi. Setiap

neuron akan menerima input, lalu memproses input yang kemudian akan

menghasilkan output (Hermawan, 2006).

2. Layer

Terdapat 3 layer atau lapisan pada JST, yaitu layer masukan, layer

tersembunyi dan layer keluaran (Puspitaningrum, 2006).

Gambar 2.4 Pola jaringan syaraf tiruan (Hermawan, 2006)

3. Bobot

Bobot adalah nilai yang ada pada koneksi antar neuron. Pada setiap penghubung akan dilakukan operasi perkalian bobot dengan sinyal yang akan melewati penghubung tersebut.

4. Fungsi Aktivasi

(9)

2.6. Metode Backpropogation

Algoritma Backpropagation pertama kali dirumuskan oleh Werbos dan dipopulerkan oleh Rumelhart dan McClelland yang digunakan pada jaringan syaraf tiruan yang dengan lapisan jamak atau multi-layer.

Algoritma Backpropagation adalah algoritma yang melatih jaringan dengan cara menyebarkan error dari lapisan output hingga ke input, yang mempunyai fungsi untuk mengevaluasi turunan agar mendapatkan target yang diinginkan (Puspitaningrum, 2006).

Algoritma ini banyak digunakan dan dikombinasikan dengan yang algoritman lain dan diterapkan pada aplikasi yang berbeda (Alsmadi et al, 2009)

Gambar 2.5 Arsitektur Backpropagation Algorithm (Fausset, 1994)

(10)

Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan algoritma backpropagation, antara lain:

1. Inisialisasi bobot

Bobot awal menentukan apakah jaringan akan mencapai global minima atau local minima kesalahan, dan seberapa cepat jaringan akan konvergen.

2. Laju pembelajaran

Laju pembelajaran merupakan parameter jaringan dalam mengendalikan proses penyesuaian bobot. Nilai laju pembelajaran yang optimal bergantung pada kasus yang dihadapi. Laju pembelajaran yang terlalu kecil menyebabkan konvergensi jaringan menjadi lebih lambat, sedang laju pembelajaran yang terlalu besar dapat menyebabkan ketidakstabilan pada jaringan.

3. Momentum

Momentum digunakan untuk mempercepat pelatihan jaringan. Metode momentum melibatkan penyesuaian bobot ditambah dengan faktor tertentu dari penyesuaian sebelumnya.

Berikut ini adalah algoritma pelatihan backpropagation (Puspitaningrum, 2006) :

Langkah 0 : Inisiasi bobot (ambil bobot awal bilangan kecil bernilai random). Langkah 1 : Jika kondisi belum berhenti, lakukan langkah 2-9.

Langkah 2 : Lakukan langkah 3-8 pada setiap data pelatihan.

Fase 1 : Feed Forward (propagasi maju)

Langkah 3 : Setiap unit input menerima sinyal kemudian meneruskan sinyal tersebut ke semua unit selanjutnya (lapisan tersembunyi).

Langkah 4 : Hitung dengan persamaan 2.8 pada setiap unit lapisan tersembunyi. Kemudian hitung nilai dari ( =1,2,…,�) dengan menggunakan persamaan 2.9. Nilai output diperoleh dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid biner.

(11)

=

2.9

Langkah 5 : Hitung seluruh output jaringan pada unit � ( = 1,2,…, ).

Hitung nilai dari � pada lapisan output dengan menggunakan persamaan dan kemudian hitung seluruh keluaran output jaringan � ( = 1,2,…, ) dengan menggunakan persamaan 2.11.

� ∑

2.10

� � =

2.11

Fase II: Propagasi Mundur (backward)

Langkah 6 : Hitung faktor � di unit output � ( = 1,2,…, ) dengan menggunakan persamaan 2.12.

� � � � � � 2.12

Kemudian koreksi bobot (digunakan untuk memperbaiki nilai) :

� � 2.13

Langkah 7 : Hitung faktor � unit tersembunyi berdasarkan error pada lapisan tersembunyi ( =1,2,…,�)

� ∑ �

2.14

Kalikan nilai tersebut dengan turunan dari fungsi aktivasi untuk mendapatkan nilai errornya dengan menggunakan persamaan 2.15.

� = �_ ′ ( _ ) = �_ (1 − ) 2.15

(12)

� ; = 1,2,…,� ; = 0,1,…, 2.16

Fase III : perubahan bobot.

Langkah 8 : Hitung semua perubahan bobot

Perubahan bobot pada unit output Yk(k=1,2,...,m) untuk mempernaiki bobot dan bias j(0,1,2,...,p) yang ditunjukkan pada persamaan 2.17.

( � �) = ( � �) + Δ ; =1,2,…, ; =0,1,…,� 2.17 Perubahan bobot pada unit tersembunyi ditunjukkan pada persamaan 2.18.

( � �) = ( � �) + Δ ; j=1,2,…,� ; =1,2,…, 2.18

2.6. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan klasifikasi yang hampir sama dengan klasifikasi jenis jamur penyebab penyakit antraknos pada buah cabai. Penelitian pertama dilakukan oleh (Deswari et al. 2013) melakukan penelitian tentang identifikasi buah tomat dengan menggunakan metode

backpropagation. Hasil dari penelitian ini adalah algoritma backpropagation mampu

memberikan hasil identifikasi hingga 71,76%. Pada penelitian ini peneliti melakukan

pengidentifikasin kematangan buah tomat yang ditanam pada rumah kaca dengan

bantuan webcam dan menggunakan space warna RGB.

Selain itu Liana Fitriani Nunuhitu membahas tentang identifikasi penyakit pada daun cabai serta cara mengatasinya dengan menggunakan metode Laplacian of Gaussian. Pada penelitian ini, peneliti mengidentifikasi penyakit yang menyerang tumbuhan cabai dengan cara melihat bentuk dari noda yang terdapat pada daun (2011). Peneltian berikutnya berkaitan dengan metode yang akan digunakan oleh penulis, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Nila Anggraini klasifikasi kanker serviks menggunakan jaringan syaraf tiruan Backpropagation dengan Graphical User Interface (GUI). Hasil dari penelitian ini mempunyai akurasi rata-rata 85% (Anggraini, 2015).

Selanjutnya adalah penelitian tentang image enhancement yang dilakukan oleh

(Dinata, 2014) untuk implementasi metode Multiscale Retinex.penelitian ini dilakukan

(13)

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu

No. Peneliti Tahun Metode Akurasi

1. Liana Fitriani Nunuhitu

2011 Laplacian of Gaussian

-

2. Dila Deswari et

al

2013 Backpropagation 71,76%

3. Nila Anggraini 2015 Backpropagation 85%

Gambar

Gambar 2.1. Cabai yang terkena Colletotrichum Capsici
Gambar 2.3 Model Warna HSV (Rakhmawati, 2013).
Gambar 2.4 Pola jaringan syaraf tiruan (Hermawan, 2006)
Gambar 2.5 Arsitektur Backpropagation Algorithm (Fausset, 1994)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Gejala utama kelelahan umum adalah suatu perasaan letih yang luar biasa dan terasa tidak biasa. Semua aktivitas menjadi terganggu dan terhambat karena munculnya

Jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.Dalam hal terjadi sengketa di bidang

MFC ini selain menghasilkan hidrogen yang banyak hingga 4 kali lipat dari fuel cell biasa, substrat yang dipakai mikroba dalam berfermentasi adalah limbah rumah tangga,

grup-whatsapp-belajar-bahasa-arab-gratis.html belajar bahasa arab gratis.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan

Tapi bukan berarti Anda tidak boleh menampilkan foto keluarga Anda di Banner FB Anda, tapi khusus untuk foto profil FB Anda, itu harus khusus tentang Anda, bukan logo, bukan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa paving block yang menggunakan variasi serat sebanyak 0,25% dari berat semen memberikan kuat desak maksimum sebesar 314,18 Kg/cm2

Dalam periode ini, untuk pengembangan akademik, telah terjalin kerja sama dengan beberapa institusi yang terkait dengan pengembangan ilmu dan teknologi nuklir, antara lain: