• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ERGONOMI

2.1.1. Pengertian Ergonomi

Pengertian ergonomi menurut Departemen Kesehatan Kerja RI (2003) yaitu ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya dengan pekerjaan mereka. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ergonomi ialah penyesuaian tugas pekerjaan dengan kondisi tubuh manusia ialah untuk menurunkan stress yang akan dihadapi. Istilah ergonomi berasal dari bahasa latin yaitu “ergon” yang artinya kerja dan “nomos” yang artinya hukum dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi,

engineering, manajemen dan desain atau perancangan (Nurmianto, 2008).

Ergonomi adalah ilmu dan seni dan penerapan teknologi untuk menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik (Tarwaka, 2004).

Ergonomi didefinisikan juga sebagai “a discipline concerned with designing man-made objects (equipments) so that people can use them effectively and savely and creating environtment suitable for human living and work”, dengan demikian dijelaskan bahwa

pendekatan ergonomi akan mampu menimbulkan “functional effectiveness” dan kemudahan pemakaian peralatan fasilitas maupun lingkungan kerja yang dirancang (Wignjosoebroto, 2008).

Ergonomi adalah ilmu yang menemukan dan mengumpulkan informasi tentang tingkah laku, kemampuan, keterbatasan, dan karakteristik manusia untuk perancangan mesin, peralatan, sistem kerja, dan lingkungan yang produktif, aman, nyaman dan efektif bagi manusia. Ergonomi merupakan suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan informasi mengenai sifat manusia, kemampuan manusia dan untuk

(2)

merancang suatu sistem kerja yang baik agar tujuan dapat dicapai dengan efektif, aman dan nyaman (Sutalaksana, 2000).

Ergonomi adalah suatu cabang ilmu yang secara sistematis memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan, dan keterbatasan manusia untuk merancang suatu sistem kerja sehingga orang dapat hidup dan bekerja pada sistem itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerjaan itu dengan efektif, aman, dan nyaman. Untuk mencapai hasil yang optimal, perlu diperhatikan performansi pekerjanya. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah postur dan sikap tubuh pada saat melakukan aktivitas tersebut. Hal tersebut sangat penting untuk diperhatikan karena hasil produksi sangat dipengaruhi oleh apa yang dilakukan pekerja. Bila postur kerja yang digunakan pekerja salah atau tidak ergonomis, pekerja akan cepat lelah sehingga konsentrasi dan tingkat ketelitiannya menurun. Pekerja menjadi lambat, akibatnya kualitas dan kuantitas hasil produksi menurun yang pada akhirnya menyebabkan turunnya produktivitas (Santosa, 2004).

Menurut Mira (2009) terdapat beberapa aspek dalam penerapan ergonomi yang perlu diperhatikan, antara lain:

1. Faktor manusia

Penataan dalam sistem kerja menuntut faktor manusia sebagai pelaku atau pengguna menjadi titik sentralnya. Pada bidang rancang bangun dikenal istilah Human Centered Design (HCD) atau perancangan berpusat pada manusia. Perancangan dengan prinsip

HCD, berdasarkan pada karakter-karakter manusia yang akan berinteraksi dengan produknya. Sebagai titik sentral maka unsur keterbatasan manusia haruslah menjadi patokan dalam penataan suatu produk yang ergonomis.

Ada beberapa faktor pembatas yang tidak boleh dilampaui agar dapat bekerja dengan aman, nyaman dan sehat, yaitu: faktor dari dalam (internal factors) dan faktor dari luar

(external factor). Tergolong dalam faktor dari dalam (internal factors) ini adalah yang berasal dari dalam diri manusia seperti: umur, jenis kelamin, kekuatan otot, bentuk dan ukuran tubuh, dll. Sedangkan faktor dari luar (external factor) yang dapat

(3)

mempengaruhi kerja atau berasal dari luar manusia, seperti: penyakit, gizi, lingkungan kerja, sosial ekonomi dan adat istiadat, dll.

2. Faktor Antropometri

Antropometri yaitu pengukuran yang sistematis terhadap tubuh manusia, terutama mengenai dimensional ukuran dan bentuk tubuh manusia. Antropometri yang merupakan ukuran tubuh digunakan untuk merancang atau menciptakan suatu sarana kerja yang sesuai dengan ukuran tubuh penggunanya. Ukuran alat kerja menentukan sikap, gerak dan posisi tenaga kerja, dengan demikian penerapan antropometri mutlak diperlukan guna menjamin adanya sistem kerja yang baik. Ukuran alat-alat kerja erat kaitannya dengan tubuh penggunanya. Jika alat-alat tersebut tidak sesuai, maka tenaga kerja akan merasa tidak nyaman dan akan lebih lamban dalam bekerja yang dapat menimbulkan kelelahan kerja atau gejala penyakit otot yang lain akibat melakukan pekerjaan dengan cara yang tidak alamiah.

3. Faktor Sikap Tubuh dalam Bekerja

Hubungan tenaga kerja dalam sikap dan interaksinya terhadap sarana kerja akan menentukan efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja, selain SOP (Standard Operating Procedures) yang terdapat pada setiap jenis pekerjaan. Semua sikap tubuh yang tidak alamiah dalam bekerja, misalnya sikap menjangkau barang yang melebihi jangkauan tangannya harus dihindarkan. Penggunaan meja dan kursi kerja ukuran baku oleh orang yang memiliki ukuran tubuh yang lebih tinggi atau sikap duduk yang terlalu tinggi sedikit banyak akan berpengaruh terhadap hasil kerjanya.

4. Faktor Manusia dan Mesin

Penggunaan teknologi dalam pelaksanaan produksi akan menimbulkan suatu hubungan timbal balik antara manusia sebagai pelaku dan mesin sebagai sarana kerjanya. Dalam proses produksi, hubungan ini menjadi sangat erat sehingga merupakan satu kesatuan. Secara ergonomis, hubungan antara manusia dengan mesin haruslah merupakan suatu hubungan yang selaras, serasi dan sesuai.

(4)

5. Faktor Pengorganisasian Kerja

Pengorganisasian kerja terutama menyangkut waktu kerja, waktu istirahat, kerja lembur dan lainnya yang dapat menentukan tingkat kesehatan dan efisiensi tenaga kerja. Diperlukan pola pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat yang baik, terutama untuk kerja fisik yang berat. Jam kerja selama 8 (delapan) jam/hari diusahakan sedapat mungkin tidak terlampaui, apabila tidak dapat dihindarkan, perlu diusahakan group kerja baru atau perbanyakkan kerja shift. Untuk pekerjaan lembur sebaiknya ditiadakan, karena dapat menurunkan efisiensi dan produktivitas kerja serta meningkatnya angka kecelakaan kerja dan sakit.

6. Faktor Pengendalian Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja yang manusiawi merupakan faktor pendorong bagi efisiensi kerja. Sedangkan lingkungan kerja yang buruk (melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan), yang melebihi toleransi manusia untuk menghadapinya, tidak hanya akan menurunkan produktivitas kerja tetapi juga akan menyebabkan penyakit akibat kerja, kecelakaan kerja, pencemaran lingkungan sehingga tenaga kerja dalam melaksanakan pekerjaannya tidak mendapat rasa aman, nyaman, sehat dan selamat. Terdapat berbagai faktor lingkungan kerja yang berpengaruh terhadap kesehatan, keselamatan dan efisiensi serta produktivitas kerja, yaitu faktor fisik seperti: pengaruh kebisingan, penerangan, iklim kerja, getaran, faktor kimia: seperti pengaruh bahan kimia, gas, uap, debu, faktor fisiologis: seperti sikap dan cara kerja, penentuan jam kerja dan istirahat, kerja gilir, kerja lembur, faktor psikologis seperti: suasana tempat kerja, hubungan antar pekerja dan faktor biologis, seperti: infeksi karena bakteri, jamur, virus, cacing, dsb. Untuk pengendalian lingkungan kerja dapat dilakukan melalui beberapa tahapan atau cara yaitu pengendalian secara teknik, pengendalian secara administratif dan pengendalian dengan pemberian alat pelindung diri (APD).

2.2. POSTUR KERJA

Pengertian Postur Kerja Postur kerja merupakan titik penentu dalam menganalisa keefektifan dari suatu pekerjaan. Apabila postur kerja yang dilakukan oleh operator sudah baik dan ergonomis maka dapat dipastikan hasil yang diperoleh oleh operator

(5)

tersebut akan baik. Akan tetapi bila postur kerja operator tersebut tidak ergonomis maka operator tersebut akan mudah kelelahan. Apabila operator mudah mengalami kelelahan maka hasil pekerjaan yang dilakukan operator tersebut juga akan mengalami penurunan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan (Susihono, 2012).

Terdapat tiga klasifikasi sikap dalam bekerja: 1. Sikap kerja duduk

menjalankan pekerjaan dengan sikap kerja duduk menimbulkan masalah muskuloskeletal terutama masalah punggung karena terdapat tekanan pada tulang belakang (Salvendy, 2012). Menurut Nurmianto (2004), keuntungan bekerja dengan sikap kerja duduk adalah mengurangi beban statis pada kaki dan berkurangnya pemakaian energi.

2. Sikap kerja berdiri

sikap kerja berdiri merupakan sikap siaga baik sikap fisik maupun mental, sehingga aktivitas kerja dilakukan lebih cepat, kuat dan teliti namun berbagai masalah bekerja dengan sikap kerja berdiri dapat menyebabkan kelelahan, nyeri dan terjadi fraktur pada otot tulang belakang (Santoso, 2013). Adapun sikap kerja berdiri serta membungkuk, gerakan membungkuk serta gerakan statis yang dilakukan dalam waktu lama dan berulang-ulang akan terjadi deviasi postur yang mengakibatkan perubahan titik tumpu pusat berat badan dan tubuh akan mengembalikan titik tumpu ke tempat normal. Sudut normal membungkuk yaitu sebesar 30° - 35° dari posisi badan tegak (Santoso, 2013). 3. Sikap kerja duduk berdiri

Sikap kerja duduk berdiri merupakan kombinasi kedua sikap kerja untuk mengurangi kelelahan otot karena sikap paksa dalam satu posisi kerja. Posisi duduk berdiri merupakan posisi yang lebih baik dibandingkan posisi duduk atau posisi berdiri saja. Penerapan sikap kerja duduk-berdiri memberikan keuntungan di sektor industri dimana tekanan pada tulang belakang dan pinggang 30% lebih rendah dibandingkan dengan posisi duduk maupun berdiri saja secara terus-menerus (Tarwaka, 2010).

(6)

2.3. KELELAHAN KERJA 2.3.1. Pengertian Kelelahan

Kelelahan (fatigue) adalah suatu kondisi yang telah dikenal dalam kehidupan sehari-hari. Istilah kelelahan mengarah pada kondisi melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan, walaupun ini bukan satu-satunya gejala. Secara umum, gejala kelelahan yang lebih dekat adalah pada pengertian kelelahan fisik (physical fatigue) dan kelelahan mental (mental fatigue). Kelelahan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu kelelahan otot (muscular fatigue) dan kelelahan umum (general fatigue).

Kelelahan otot ditunjukkan melalui gejela sakit nyeri yang luar biasa seperti ketegangan otot dan daerah sekitar sendi. Sebaliknya kelelahan umum terlihat pada munculnya sejumlah keluhan yang berupa perasaan lamban dan keengganan untuk melakukan aktivitas (Budiono, 2003).

Menurut Suma’mur (2009), kata lelah (fatigue) menunjukkan keadaan tubuh fisik dan mental yang berbeda tetapi semuanya berakibat kepada penurunan daya kerja dan berkurangnya ketahanan tubuh untuk bekerja. Terdapat dua jenis kelelahan, yaitu kelelahan otot dan kelelahan kelelahan umum. Kelelahan otot ditandai antara lain oleh tremor atau rasa nyeri yang terdapat pada otot. Kelelahan umum ditunjukkan oleh hilangnya kemauan untuk bekerja yang penyebabnya adalah keadaan persarafan sentral atau kondisi psikis-psikologis. Akar masalah kelelahan umum adalah monotonnya pekerjaan, intensitas dan lamanya kerja mental serta fisik yang tidak sejalan dengan kehendak tenaga kerja yang bersangkutan, keadaan lingkungan yang berbeda dari estimasi semula, tidak jelasnya tanggung jawab, kekhawatiran yang mendalam dan konflik batin serta kondisi sakit yang diderita oleh tenaga kerja. Pengaruh dari keadaan yang menjadi sebab kelelahan tersebut seperti berkumpul dalam tubuh dan mengakibatkan perasaan lelah. Perasaan lelah demikian yang berkadar tinggi dapat menyebabkan seseorang tidak mampu lagi bekerja sehingga berhenti bekerja sebagaimana halnya kelelahan fisiologis yang mengakibatkan tenaga yang bekerja fisik menghentikan kegiatannya karena merasa lelah bahkan yang bersangkutan tertidur karena kelelahan.

(7)

Menurut Soedirman dan Suma’mur (2014), kelelahan didefinisikan sebagai suatu pola yang timbul pada suatu keadaan yang secara umum terjadi pada setiap individu yang telah tidak sanggup lagi untuk melakukan aktivitasnya. Kelelahan (kelesuan) adalah perasaan subjektif tetapi berbeda dengan kelemahan dan memiliki sifat bertahap. Tidak seperti kelemahan, kelalahan dapat diatasi dengan periode istirahat. Kelelahan dapat disebabkan secara fisik dan mental. Kelelahan fisik atau kelelahan otot adalah ketidak mampuan fisik sementara otot untuk tampil maksimal. Permulaan kelelahan otot selama aktivitas fisik secara bertahap, dan bergantung pada tingkat kebugaran fisik individu dan juga pada faktor-faktor lain seperti kurang tidur dan kesehatan secara keseluruhan. Hal ini dapat diperbaiki dengan istirahat.

Kelelahan mental adalah ketidak mampuan sementara untuk mempertahankan kinerja kognitif yang optimal. Permulaan kelelahan mental selama kegiatan kognitif yang optimal. Permulaan kelelahan mental selama kegiatan kognitif secara bertahap dan bergantung pada kemampuan kognitif seseorang dan juga pada faktor-faktor lain seperti kurang tidur dan kesehatan secara keseluruhan. Kelelahan mental juga telah terbukti menurunkan kinerja fisik. Hal ini dapat bermanifestasi sebagai mengantuk, lesu, atau diarahkan kelelahan perhatian (Kuswana, 2014). Kelelahan kerja termasuk suatu kelompok gejala yang berhubungan dengan adanya penurunan efisiensi kerja, keterampilan serta peningkatan kecemasan atau kebosanan. Kelelahan kerja ditandai oleh adanya perasaan lelah, output menurun, dan kondisi fisiologis yang dihasilkan dari aktivitas yang berlebihan. Kelelahan akibat kerja juga sering kali diartikan sebagai menurunnya performa kerja dan berkurangnya kekuatan atau ketahanan fisik tubuh untuk terus melanjutkan yang harus dilakukan (Wignjosoebroto, 2008).

2.3.2. Jenis Kelelahan

Menurut Budiono (2003), kelelahan dibedakan menjadi dua yaitu kelelahan otot dan kelehan umum.

(8)

Otot Gejala kelelahan otot dapat terlihat pada gejala yang tampak dari luar

(external signs). Ini dikarenakan kinerja otot berkurang dengan meningkatnya ketegangan otot sehingga stimulasi tidak lagi menghasilkan respon tertentu. Fenomena berkurangnya kinerja otot setelah terjadinya tekanan melalui fisik untuk suatu waktu tertentu disebut kelelahan otot secara fisiologi dan gejala yang ditunjukkan tidak hanya berupa berkurangnya tekanan fisik namun juga pada semakin rendahnya gerakan.

Pada akhirnya kelelahan fisik ini dapat menyebabkan sejumlah hal yang kurang menguntungkan seperti melemahnya kemampuan tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya dan meningkatnya kesalahan dalam melakukan kegiatan kerja serta akibat fatalnya adalah terjadinya kecelakaan kerja.

2. Kelelahan Umum

Gejala utama kelelahan umum adalah suatu perasaan letih yang luar biasa dan terasa tidak biasa. Semua aktivitas menjadi terganggu dan terhambat karena munculnya gejala kelelahan tersebut. Tidak adanya gairah untuk bekerja baik secara fisik maupun psikis, semuanya terasa berat. Timbulnya gejala kelelahan seperti ini dapat diatasi dengan menyediakan waktu khusus untuk beristirahat dan bersikap lebih santai. Perasaan letih seperti rasa haus, lapar, dan perasaan lainnya yang sejenis merupakan alat pelindung alami sebagai indikator bahwa kondisi fisik dan psikis seseorang sedang dalam keadaan menurun.

Disamping kelelahan yang murni merupakan kelelahan otot, kelelahan secara umum dikelompokkan sebagai berikut:

a) Kelelahan penglihatan, yang muncul dari terlalu letihnya mata.

b) Kelelahan seluruh tubuh, sebagai akibat terlampau besarnya beban fisik bagi seluruh organ tubuh.

c) Kelelahan mental, penyebabnya dipicu oleh pekerjaan yang bersifat mental dan intelektual.

d) Kelelahan syaraf, disebabkan oleh terlalu tertekannya salah satu bagian dari sistem psikomotorik.

(9)

f) Kelelahan kronis, sebagai akibat terjadinya akumulasi efek kelelahan pada jangka waktu yang panjang.

g) Kelelahan siklus hidup sebagai bagian dari irama hidup siang dan malam serta pertukaran periode tidur

2.4. MOSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs)

Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan sekumpulan gejala atau gangguan yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligament, kartilago, sistem saraf, struktur tulang dan pembuluh darah. MSDs pada awalnya menyebabkan sakit, nyeri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan, gemetar, gangguan tidur dan rasa terbakar (OSHA, 2000).

MSDs bukanlah merupakan diagnosis klinis tapi merupakan label untuk perspsi rasa sakit atau nyeri pada sistem musculoskeletal. Keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan yang ringan sampai dengan yang fatal. Apabila otot menerima bebean statis secara berulang dalam waktu yang lama, akan menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan musculoskeletal Disorders (MSDs) atau cidera pada sistem musculoskeletal

(Tarwaka, dkk. 2004).

Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokan menjadi dua (Tarwaka, dkk. 2004) yaitu:

1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembenanan dihentikan.

2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap, walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut.

(10)

Nordic Body Map merupakan salah satu metoda pengukuran untuk mengukur rasa sakit otot para pekerja (Wilson and Corlett, 1995). Kuesioner Nordic Body Map merupakan salah satu bentuk kuesioner checklist ergonomi. Nordic Body Map dapat melakukan identifikasi dan memberikan penilaian terhadap keluhan rasa sakit yang dialami. Metode ini dilakukan dengan memberikan penilaian subjektif pada pekerja (Tarwaka, 2002). Kuesioner Nordic Body Map merupakan kuesioner yang paling sering digunakan untuk mengetahui ketidak nyamanan pada para pekerja karena sudah terstandarisasi. Kuesioner Nordic Body Map ini dalam penilaiannya menggunakan dua kategori yaitu pegal dan tidak pegal. Responden diminta untuk memberikan penilaian terhadap bagian tubuhnya yang dirasakan sakit selama melakukan aktivitas kerja sesuai dengan kategori yang telah ditentukan.

Form pengisian kuesioner Nordic Body Map dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2. 1 Format Kuesioner Nordic Body Map

(11)

2.6. ANTROPOMETRI A. Pengertian Antropometri

Antropometri adalah suatu bagian yang mendukung Ergonomi, terutama dalam perancangan peralatan berdasar prinsip Ergonomi. “Antropometri” berasal dari kata “Antro” yang artinya manusia, dan “Metri” yang artinya ukuran. Sehingga, “Antropometri” adalah ilmu tentang hubungan antara struktur dan fungsi tubuh (termasuk bentuk dan ukuran tubuh) dengan desain alat-alat yang digunakan manusia (Wignjosoebroto, 2008). Data antropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara luas antara lain dalam hal:

1. Perancangan area kerja (work station, interior mobil, dan lain-lain). 2. Perancangan peralatan kerja seperti mesin, equipment, perkakas (tools) dan

lain sebagainya.

3. Perancangan produk konsumtif seperti pakaian, kursi atau meja komputer, dan lain-lain.

4. Perancangan lingkungan kerja fisik.

Antropometri pada dasarnya akan menyangkut ukuran fisik atau fungsi dari tubuh manusia, termasuk disini ukuran linier, berat, volume, ruang gerak, dan lain-lain. Data antropometri akan sangat bermanfaat dalam perencanaan peralatan kerja atau fasilitasfasilitas kerja. Persyaratan ergonomis mensyaratkan agar peralatan dan fasilitas kerja harus sesuai dengan orang yang menggunakannya, khususnya yang menyangkut dimensi ukuran tubuh (Wignjosoebroto, 2008). Dalam kaitan ini, maka perancangan produk harus mampu mengakomodasikan dimensi tubuh dari populasi terbesar yang akan menggunakan produk hasil rancangannya tersebut (Wignjosoebroto, 2008). B. Data Antropometri dan Cara Pengukurannya

Data antropometri diperlukan agar rancangan suatu produk dapat disesuaikan dengan orang yang akan mengoperasikannya. Ukuran tubuh yang diperlukan pada hakikatnya tidak sulit diperoleh dari pengukuran secara individual. Pengukuran data antropometri dibedakan menjadi dua jenis (Wignjosoebroto, 2008) yaitu:

(12)

1) Dimensi tubuh struktural (Antropometri statis) disini tubuh diukur dalam berbagai posisi standard dan tidak bergerak (tetap tegak sempurna). Istilah lain dari pengukuran tubuh dengan cara ini dikenal dengan “static anthropometry”.

Ukuran dalam hal ini diambil dengan persentil.

2) Dimensi tubuh fungsional (Antropometri dinamis) disini pengukuran dilakukan terhadap posisi tubuh pada saat berfungsi melakukan gerakan-gerakan tertentu yang berkaitan dengan kegiatan yang harus diselesaikan.

Pengukuran dimensi tubuh berdasarkan data antropometri dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2. 2 Dimensi Antropometri Indonesia (Sumber: Wignjosoebroto, 2008) Keterangan Gambar:

1. Tinggi badan tegak (Tbt), yaitu dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai sampai dengan ujung kepala).

2. Tinggi mata berdiri (Tmb), yaitu tinggi mata dalam posisi berdiri tegak. 3. Tinggi bahu berdiri (Tbb), yaitu tinggi bahu dalam posisi berdiri tegak. 4. Tinggi siku berdiri (Tsb), yaitu tinggi siku dalam posisi berdiri tegak.

5. Tinggi kepalan tangan (Tkt), yaitu tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak.

6. Tinggi duduk tegak (Tdt), yaitu tinggi tubuh dalam posisi duduk (diukur dari alas tempat duduk atau pantat sampai dengan kepala).

(13)

7. Tinggi mata duduk (Tmd), yaitu tinggi mata dalam posisi duduk. 8. Tinggi bahu duduk (Tbd), yaitu tinggi bahu dalam posisi duduk.

9. Tinggi siku duduk (Tsd), yaitu tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus). 10. Tebal paha (Tp), yaitu tebal atau lebar paha.

11. Pantat ke lutut (Pkl), yaitu panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan ujung lutut.

12. Pantat popliteal (Pp), yaitu panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan bagian belakang dari lutut atau betis.

13. Tinggi lutut duduk (Tld), yaitu tinggi lutut yang bisa diukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk.

14. Tinggi popliteal (Tpo), yaitu tinggi tubuh dalam posisi duduk yang diukur dari lantai sampai dengan lutut bagian dalam.

15. Lebar bahu (Lb), yaitu lebar dari bahu (bisa diukur dalam posisi berdiri ataupun duduk).

16. Lebar pinggul (Lp), yaitu lebar pinggul atau pantat.

17. Lebar sandaran duduk (Lsd), yaitu lebar dari punggung, jarak horizontal antara kedua tulang belikat.

18. Tinggi pinggang (Tpg).

19. Panjang lengan bawah (Plb), yaitu panjang siku yang diukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam posisi tegak lurus.

20. Lebar kepala (Lkp).

21. Panjang tangan (Pt), yaitu panjang tangan diukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari.

22. Lebar telapak tangan.

23. Lebar tangan (Lt), yaitu lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar-lebar ke samping kiri-kanan.

24. Tinggi jangkauan tangan tegak (Tjtt), yaitu tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak, diukur dari lantai sampai dengan telapak tangan yang terjangkau lurus ke atas (vertikal).

(14)

25. Tinggi jangkauan tangan duduk (Tjtd), yaitu tinggi jangkauan tangan dalam posisi duduk tegak, diukur seperti halnya No. 24, tetapi dalam posisi duduk.

26. Jangkauan tangan ke depan (Jtd), yaitu jarak jangkauan tangan yang terjulur ke depan diukur dari bahu sampai ujung jari tangan.

2.7. KONSEP PERSENTIL

Persentil adalah suatu nilai yang menunjukkan persentase tertentu dari orang yang memiliki ukuran pada atau dibawah nilai tersebut (Wigjoesoebroto, 2008). Persentil pada dasarnya menyatakan persentase manusia dalam suatu populasi yang memiliki dimensi tubuh yang sama atau lebih kecil dari nilai tersebut.

Sebagai contoh, persentil ke-95 akan menunjukkan 95% populasi akan berada pada atau dibawah ukuran tersebut, sedangkan persentil ke-5 akan menunjukkan 5% populasi akan berada pada atau dibawah ukuran itu. Dalam antropometri, angka persentil ke-95 akan menggambarkan ukuran manusia yang “terbesar” dan persentil ke-5 sebaliknya akan menunjukkan ukuran “terkecil” (Wigjoesoebroto, 2000). Bilamana diharapkan ukuran yang mampu mengakomodasikan 95% dari populasi yang ada, maka diambil rentang 2.5-th dan 97.5-th persentil sebagai batas-batasnya.

2.8. OVAKO WORK POSTURE ANALYSIS SYSTEM (OWAS)

OWAS merupakan sebuah prosedur untuk menilai kualitas sebuah postur terutama ketika sedang menerapkan kekuatan. OWAS mengindentifikasi postur, kekuatan, siklus kerja dan postur kerja dimana postur kekuatan meningkatkan risiko injuri (Tarwaka, 2011).

Metode OWAS dalam melakukan penilaian terhadap postur melakukan identifikasi pada bagian-bagian tubuh, seperti:

1. Tulang belakang yang terdiri dari 4 postur, yaitu: 1. Punggung lurus

2. Punggung membungkuk 3. Punggung memuntir

(15)

4. Punggung ditekuk memutar

Klasifikasi sikap punggung dapar dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2. 3 Klasifikasi Sikap Punggung (Sumber: Sriyanto, 2018)

2. Lengan yang terdiri dari 3 postur, yaitu: 1. Kedua lengan dibawah bahu

2. Satu lengan dibawah bahu dan satu lengan diatas bahu 3. Kedua lengan diatas bahu

Klasifikasi sikap lengan dapat dilihat pada gambar 2.4.

Gambar 2. 4 Klasifikasi Sikap Lengan (Sumber: Sriyanto, 2018) 3. Kaki yang terdiri dari 7 postur, yaitu:

1. Posisi duduk

2. Berdiri bertumpu pada kedua kaki lurus dengan berat badan seimbang antara dua kaki

3. Berdiri dengan satu kaki lurus dan kaki lainnya menekuk dengan berat badan seimbang antara kedua kaki

4. Berdiri atau jongkok dengan kedua kaki agak ditekuk dan berat seimbang antara kedua kaki

5. Berdiri bertumpu pada satu kaki dengan lutut ditekuk dan berat seimbang antara kedua kaki

6. Kaki dengan posisi berlutut 7. Berjalan

(16)

Klasifikasi sikap kaki dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2. 5 Klasifikasi Sikap Kaki (Sumber: Sriyanto, 2018)

Metode OWAS juga memperhitungkan berat beban yang ditangani oleh pekerja yang dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:

1. Berat beban adalah kurang dari 10 Kg (W = 10 Kg) 2. Berat beban adalah 10 Kg – 20 Kg (10 Kg < W ≤ 20 Kg) 3. Berat beban adalah lebih besar dari 20 Kg (W > 20 Kg)

Hasil dari analisa postur kerja OWAS terdiri dari empat level skala sikap kerja yang berbahaya bagi para pekerja. Perhitungan hasil OWAS dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2. 1 Tabel Perhitungan Hasil OWAS

BACK ARMS 1 2 3 4 5 6 7 LEGS 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 USE OF FORCE 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 1 2 2 3 2 2 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 3 3 2 2 2 3 2 2 3 2 3 3 3 4 4 3 4 4 3 3 4 2 3 4 3 2 2 4 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 2 3 4 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 3 3 3 4 4 4 1 1 1 1 1 1 2 2 2 3 1 1 1 1 1 2 4 4 4 4 4 4 3 3 3 1 1 1 3 2 2 3 1 1 1 2 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 1 1 1 4 1 2 3 3 2 2 3 2 2 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 3 4 2 3 3 4 2 3 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 3 4 3 4 4 4 2 3 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 2 3 4 (Sumber: Sriyanto, 2018)

Hasil pengamatan melalui metode OWAS dikategorikan dalam empat kategori, kategori Nilai OWAS dapat dilihat pada Tabel 2.2.

(17)

Tabel 2. 2 Grand Score OWAS Kategori Action level

1 Tidak perlu perbaikan

2 Tindakan koreksi dalam waktu dekat 3 Tindakan koreksi sesegera mungkin 4 Segera lakukan tindakan perbaikan (Sumber: Tarwaka, 2011)

2.9. CUMMULATIVE TRAUMA DISORDERS (CTD’s) RISK INDEX

CTD’s Risk Index merupakan suatu metode untuk mengetahui tingkat resiko yang dapat terjadi pada suatu aktivitas kerja. Analisis risiko CTD’s Risk Index menjumlahkan nilai risiko untuk ketiga faktor penyebab utama menjadi satu skor risiko. Faktor frekuensi ditentukan oleh jumlah gerakan pergelangan tangan yang rusak, dan kemudian diskalakan dengan nilai ambang 10.000. Sebuah postur Faktor ditentukan dari derajat deviasi dari postur netral untuk atasan mayor gerakan ekstremitas. Faktor kekuatan ditentukan dari persentase relatif maksimum pengerahan tenaga otot diperlukan untuk tugas itu, dan kemudian ditingkatkan sebesar 15 persen, maksimum yang diizinkan kontraksi statis yang diperpanjang. Faktor aneka akhir mencakup berbagai kondisi yang mungkin memiliki peran dalam penyebab CTD. Untuk kondisi yang relatif aman, indeks harus lebih kecil daripada satu (Grepo, et al. 2013). Form pengisian untuk metode CTD’s Risk Index dapat dilihat pada Tabel 2.3.

(18)

Tabel 2. 3 Form Cummulative Trauma Disorders (CTD’s) Risk Index

(Sumber: Grepo, et al. 2013)

Job Title: Job Description: ① ② ③ ④ 0 1 2 3

Working Posture Sit Stand

Hand Posture 1: Pulp Pinch No Yes

Hand Posture 2: Lateral Pinch No Yes

Hand Posture 3: Palm Pinch No Yes

Hand Posture 4: Finger Press No Yes

Hand Posture 5: Power Grip Yes No

Type of Reach Horizontal Up/Down

Hand Deviation 1: Flexion No Yes

Hand Deviation 2: Extension No Yes

Hand Deviation 3: Radial Dev. No Yes

Hand Deviation 4: Ulnar Dev. No Yes

Forearm Rotation Neutral In/Out

Elbow Angle =90° ≠90°

Shoulder Abduction 0 <45° <90° >90°

Shoulder Flexion 0 <90° <180° >180°

Back/Neck Angle 0 <45° <90° >90°

Balance Yes No

Grip or Pinch Force Used on Task lbs. ⑥

Max Grip or Pinch Force lbs. ⑦

0 1 2 3

Sharp Edge No Yes

Glove No Yes

Vibration No Yes

Type of Action Dynamic Intermittent Static

Temperature Warm Cold

Total the Points for the Circled Conditions

Miscellaneous Factor (Divide by 3) =

CTD Risk Index = .3 x (Frequency + Posture + Force Factors) + .1 x (Miscellaneous Factor) CTD Risk Index = .3 x ( + + ) + .1 x ( ) =

Total the Points for the Circled Condition

Posture Factor (Divide by 10) =

⑧ Divide ⑥ by ⑦:

Force Factor (Divide by .15) =

(Circle appropriate condition) Points

Cycle/Day = = = Handmotions / Cycle

Handmotions / Day ( ② x ③)

Frequency Factor (Divide by 10,000) =

(Circle appropriate condition) Points

VCR Counter No.: Date: Department: Analyst:

Cycle Time (in minutes; obtain from videotape)

(19)

Faktor-faktor CTD’s RISK INDEX 1. Faktor Frekuensi Faktor frekuensi = (𝑐𝑦𝑐𝑙𝑒/𝑑𝑎𝑦)(ℎ𝑎𝑛𝑑𝑚𝑜𝑡𝑖𝑜𝑛/𝑐𝑦𝑐𝑙𝑒) 10.0000 (2.1) Cycle/Day = (480−𝐿𝑢𝑛𝑐ℎ−𝐵𝑟𝑒𝑎𝑘𝑠) 𝐶𝑦𝑐𝑙𝑒/𝑡𝑖𝑚𝑒 (2.2) 2. Faktor Postur a. Working Posture

Working posture atau postur kerja ada dua jenis yaitu postur kerja dengan posisi berdiri atau duduk.

b. Hand Posture

1) Pulp Pinch

Gambar 2. 6 Pulp Pinch

(Sumber: Grepo, et al. 2013)

Jari menjepit benda, biasanya benda berbentuk pipih.

2) Lateral Pinch

Gambar 2. 7 Lateral Pinch

(Sumber: Grepo, et al. 2013)

Posisi ibu jari lurus dan keempat jari lain ditekuk, benda di jepit dan berada antara ibu jari dan telunjuk. Contoh Gerakan ini misalnya memegang pulpen untuk menulis.

(20)

3) Palm Pinch

Gambar 2. 8 Palm Pinch

(Sumber: Grepo, et al. 2013)

Jari menggenggam benda dengan telapak tangan terbuka.

4) Finger Press

Gambar 2.9 Finger Press

(Sumber: Grepo, et al. 2013)

postur jari-jari tangan menekan benda atau objek.

5) Power Grip

Gambar 2. 10 Power Grip

(Sumber: Grepo, et al. 2013)

Jari-jari menggenggam benda dengan sangat kuat.

c. Type of Reach

Type of reach ini merupakan tipe pergerakan jangkauan apakah jangkauan tangan terhadap benda secara vertical atau horizontal.

(21)

d. Hand Deviation

1) Flextion dan Extension

Flextion yaitu postur pergelangan tangan yang menekuk ke arah dalam dan membentuk sudut ≤ 45°, sedangkan Extension adalah postur pergelangan tangan yang menekuk ke arah luar atau punggung tangan dengan membentuk sudut ≤ 45°. Postur ini dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 2. 11 Flextion dan Extension

(Sumber: Grepo, et al. 2013)

2) Deviasi ulnar dan Deviasi radial

Deviasi ulnar yaitu postur tangan yang miring menjauhi ibu jari dan deviasi radial adalah postur tangan yang miring mendekati ibu jari. Postur ini dapat Dilihat sebagai berikut:

Gambar 2. 12 Radial Deviation dan Ulnar Deviaton (Sumber: Grepo, et al. 2013)

(22)

27 Jurnal penelitian terdahulu yang menjadi acuan penulis dalam skripsi ini dapat dilihat pada Tabel 2. 4.

Tabel 2. 4 Penelitian Terdahulu

Penulis Judul Metode Penjelasan Hasil

1. Jonatan Halomoan 2. Arfan

Bakhtiar

Analisa Postur Kerja Dengan Metode Rula

Pada Pekerja CV. MANSGROUP

Rapid Upper Limb Assessment

(RULA)

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode

Rapid Upper Limb Assessment (RULA) dan

juga dibantu

menggunakan software

CATIA dalam pembuatan alat bantu yang digunakan sebagai rekomendasi perbaikan.

Terdapat dua stasiun kerja yang diamati, sebelum dilakukan perbaikan pengolahan data menggunakan software CATIA stasiun kerja pertama dan kedua menghasilkan skor 7 dan 5 yang berarti diperlukan saran perbaikan terhadap postur kerja, setelah diajukan perbaikan yaitu dengan penambahan fasilitas berupa meja dan kursi maka skor RULA turun menjadi 3 pada stasiun kerja satu dan juga stasiun kerja 2.

(23)

28 Tabel 2. 4 Penelitian Terdahulu (Lanjutan)

Penulis Judul Metode Penjelasan Hasil

1. Dian Palupi Restuputri 2. M. Lukman 3. Wibisono

Metode REBA Untuk Pencegahan

Musculoskeletal

Disorders Tenaga Kerja

Rapid Entire Body Assessment

(REBA)

Tahap awal penelitian dilakukan dengan cara penyebaran kuesioner Nordic Body Map, lalu data diolah dengan mengguanakan metode

Rapid Entire Body Assessment (REBA)

6 postur kerja pada operator berada pada level resiko sedang terkena MSDs dan 4 postur kerja dengan resiko tinggi terkena MSDs, setelah dilakukan perbaikan, skor REBA terhadap rekomendasi perbaikan pertama memiliki skor 1 yang berarti memiliki resiko level bisa diabaikan dan terhadap rekomendasi perbaikan kedua, skor REBA menjadi 3 yang berarti resiko cidera rendah. 1. Reza

Fatimah Nur

Analisis Postur Kerja

pada Stasiun

Pemanenan Tebu dengan Metode OWAS

1. Ovako Work Posture Analysis Membandingkan tingkat risiko musculoskeletal disorders (MSDs) atau gangguan

Hasil pengolahan data menunjukan bahwa masing-masing elemen aktivitas memanen tebu, hampir seluruh

(24)

29 Tabel 2. 4 Penelitian Terdahulu (Lanjutan)

Penulis Judul Metode Penjelasan Hasil

2. Endah Rahayu Lestari 3. Siti Asmaul

Mustaniroh

dan REBA, Studi Kasus di PG Kebon Agung, Malang System (OWAS) 2. Rapid Entire Body Assessment (REBA) muskuloskeletal akibat postur kerja pada saat

pemanenan tebu

berdasarkan metode

Ovako Work Posture Analysis System

(OWAS)

dan Rapid Entire Body Assessment (REBA).

kegiatan elemen kerja memiliki tingkat resiko yang berbahaya. Hasil pada OWAS menunjukan sebanyak 85% kegiatan termasuk dalam kategori sangat berbahaya dan perlu perbaikan saat ini, sedangkan pada REBA menunjukan 62,5% kegiatan memiliki tingkat resiko sangat tinggi dan perlu perbaikan saat ini. 1. Alfin Nur Bintang 2. Shanty Kusuma Dewi

Analisa Postur Kerja Menggunakan Metode OWAS dan RULA

3. Ovako Work Posture Analysis System (OWAS) 4. Rapid Upper Limb Membandingkan tingkat risiko musculoskeletal disorders (MSDs) atau gangguan muskuloskeletal akibat postur kerja pada saat

Hasil yang diperoleh bahwa aktivitas yang dilakukan dapat

menyebabkan cedera

musculoskeletal, sehingga diperluka perbaikan sesegera mungkin untuk mengurangi

(25)

30 Tabel 2. 4 Penelitian Terdahulu (Lanjutan)

Penulis Judul Metode Penjelasan Hasil

Assessment

(RULA)

pemanenan tebu

berdasarkan metode

Ovako Work Posture Analysis System (OWAS) dan Rapid Upper Limb Assessment (RULA).

resiko terjadinya cedera hasil skor metode OWAS diperoleh level resiko 3 dan pada metode RULA skor resiko berada pada level 4.

2. Laelawati Perancangan Stasiun Kerja Di PT XYZ Berdasarkan Metode

Ovako Work Posture Analysis System (OWAS) Dan Cummulative Trauma Disorders (CTD’s) Risk Index 1. Ovako Work Posture Analysis System (OWAS ) 2. Cummulative Trauma Disorders (CTD’s) Risk Index -

(26)

31 Penelitian menggabungkan dua metode yaitu metode OWAS dan metode CTD’s Risk Index, dengan mengunakan dua metode tersebut penelitian ini tidak hanya melihat dari postur tubuh melainkan dari faktor lain yaitu frekuensi, sehingga penelitian ini lebih komprehensif menganalisis risiko gangguan muskuloskeletal di PT XYZ.

Gambar

Gambar 2. 1 Format Kuesioner Nordic Body Map  (Sumber: Tarwaka, 2004)
Gambar 2. 2 Dimensi Antropometri Indonesia  (Sumber: Wignjosoebroto, 2008)  Keterangan Gambar:
Gambar 2. 3 Klasifikasi Sikap Punggung   (Sumber: Sriyanto, 2018)
Gambar 2. 5 Klasifikasi Sikap Kaki  (Sumber: Sriyanto, 2018)
+7

Referensi

Dokumen terkait

tidak lagi, ini dikarenakan untuk menarik konsumen bernuansa Islam yang merupakan  penduduk terbesar di Indonesia. Dengan itu cokelat Monggo dapat memberikan Jaminan

Siklus hidup (Muh. Isnan Anshari).. Spesies dari genus Culex meletakkan telurnya secara  berkelompok membentuk menjadi rakit. Rakit umumnya mengandung antara 100 dan

Pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagai mana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir dengan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang peradilan agama dinyatakan bahwa “ Hukum Acara

Adapun cara untuk mendekati atau mengetahui ada tidaknya otokorelasi antara lain dengan uji Durbin-Watson (uji DW), yaitu dengan cara membandingkan antara nilai DW

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh melalui angket, focus group discussions (FGD), workshop serta wawancara mendalam dan

berpendapat bahwa data mining merupakan salah satu solusi untuk menjelaskan proses penggalian informasi dalam suatu basis data yang berskala besar dan proses klasifikasi

Laba atau rugi yang timbul dari penghentian pengakuan aset tetap ditentukan sebesar perbedaan antara jumlah neto hasil pelepasan, jika ada, dengan jumlah tercatat dari

Mengingat sampai saat ini belum ada suatu ketentuan atau standard kesehatan dipanti rehabilitasi dari Departemen Kesehatan maupun Departemen Sosial maka pengelolah panti